BAB 2 dasar teori - farmasi- ginjal.doc
-
Upload
farida-maksum-lz -
Category
Documents
-
view
23 -
download
0
description
Transcript of BAB 2 dasar teori - farmasi- ginjal.doc
BAB 2
DASAR TEORI
2.1 Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan salah satu Drug Related Problem (DRP) yang dapat
mempengaruhi outcome terapi pasien. Suatu interaksi obat dapat digambarkan sebagai suatu
interaksi antar suatu obat dan unsur lain yang dapat mengubah kerja salah satu atau
keduanya, atau kerja obat menjadi lebih atau kurang aktif, kadang-kadang menimbulkan efek
samping yang tak diduga.
Salah satu faktor yang mempengaruhi respons tubuh terhadap pengobatan adalah faktor
interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk dari
lingkungan, atau dengan obat lain. Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan atau
merugikan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap interaksi obat:
1. Usia pasien (bayi, anak-anak, dewasa, lansia)
2. Farmakogenetik, perbedaaan suku bangsa dapat memberikan perbedaan
metabolisme obat dan respon obat.
3. Penyakit yang sedang diderita.
4. Fungsi hati dan ginjal, mempengaruhi metabolisme dan ekskresi obat.
5. Dosis obat.
6. Pemberian obat ganda.
7. Bentuk sediaan obat.
8. Jangka waktu pemberian obat.
9. Urutan pemberian obat.
Bentuk interaksi obat ada 3 kelompok, yaitu (a) interaksi farmaseutik: interaksi fisika-
kimia yang terjadi pd saat obat mulai diformulasikan sebelum digunakan oleh pasien,
(b) interaksi farmakokinetik: interaksi terjadi in vivo, obat mempengaruhi atau mengubah
salah satu dari empat proses dasar dalam tubuh, ADME, dan (c) interaksi farmakodinamik:
perubahan efek obat karena pengaruhnya terhadap tempat kerja obat sehingga menimbulkan
efek sinergis dan antagonis.
Interaksi yang menguntungkan untuk interaksi obat, misalnya:
1. Penisilin dengan probenesid; probenesid menghambat sekresi penisilin di tubuli ginjal
sehingga meningkatkan kadar penisilin dalam plasma dan dengan demikian
meningkatkan efektivitasnya dalam terapi gonore
2. Kombinasi obat antihipertensi; meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping
3. Kombinasi obat antiasma; meningkatkan efektivitas
4. Kombinasi obat antidabetik; meningkatkan efektivitas
5. Kombinasi antibiotik antipseudomonas; meningkatkan efektivitas
6. Kombinasi obat antikanker; meningkatkan efektivitas
7. Kombinasi obat antituberkulosis; memperlambat timbulnya resistensi kuman terhadap
obat
8. Kombinasi obat anti-HIV; memperlambat timbulnya resistensi virus terhadap obat
9. Kombinasi obat antihepatitis; meningkatkan efektivitas
10. Kombinasi obat untuk H. pylori; meningkatkan efektivitas
11. Kombinasi antibiotik betalaktam dengan penghambat betalaktamase; meningkatkan
efektivitas
12. Kombinasi sulfametoksazol dengan trimetropim; meningkatkan efektivitas
13. Antagonisme efek toksik obat oleh antidotnya masing-masing.
Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (polifarmasi), yang menjadi kebiasaan para
dokter, memudahkan tejadinya interaksi obat. Interaksi obat dianggap penting secara klinik
jika berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat yang
berinteraksi, terutama jika menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit.
2.2 Mekanisme Interaksi Obat
Interaksi Farmaseutik / Inkompatibilitas
Inkompatibilitas ini terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak
dapat dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya
interaksi langsung secara fisik atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai
pembentukan endapan, perubahan warna, dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat.
Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat. Interaksi farmaseutik yang penting adalah
interaksi antar obat suntik dan interaksi antara obat suntik dengan cairan infus.
Obat A Obat B Efek
Gentamisin Karbenisilin Inaktif
Penisilin G Vitamin C Inaktif
Amfoterisin B Ggaram fisiologis/ringer Endapan
Fenitoin Dekstrosa 5 % Endapan
Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi pada tahap-tahap adalah adsorbsi, distribusi,
metabolisme, ekskresi. Yang dapat mengakibatkan kadar plasma meningkat/menurun,
menyebabkan peningkatan toksisitas dan penurunan efektivitas obat.
Interaksi farmakodinamik
Farmakodinamik ialah salah satu subdisiplin farmakologi yang mempelajari tentang efek
biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Dengan memahami farmakologi
diharapkan diketahui bagaimana interaksi obat dengan sel dan bagaimana efek dan respons
yang terjadi.
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel
organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional, yang
pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen
(misalnya: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat
mengubah kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang
baru. Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon,
faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator
(seperti dihidrofolat reduktase, asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat
pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormon dan
neurotransmitter). Reseptor bagi ligan endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik
(hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan). Obat-obatan yang berinteraksi dengan
reseptor fisiologis dan melakukan efek regulator seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis
Ada obat yang juga berikatan dengan reseptor fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek
regulator dan menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis)
disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan bloker. Obat yang berikatan
dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa memedulikan jumlah
dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonis-parsial bermanfaat untuk
mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh karena itu disebut pula dengan istilah
antagonis parsial. Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru
menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif.
Pembagian reseptor fisiologik adalah :
i. Reseptor enzim – mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi protein
efektor di membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut.
Selain kinase, siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase,
tirosin fosfatase, serin/treonin kinase, dan guanil siklase berfungsi sebagai situs katalitik,
dan berperan layaknya suatu enzim. Contoh ligan untuk reseptor ini: insulin, epidergmal
growth factor (EGF), platelet-derived growth factor (PDGF), atrial natriuretic factor
(ANF), transforming growth factor-beta (TGF-_), dan sitokin.
ii. Reseptor kanal ion – reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan
istilah ligandgated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah
potensial membran sel dan komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar. Contoh
ligan untuk reseptor ini: nikotinik, _-aminobutirat tipe A (GABAA), glutamat, aspartat,
dan glisin.
iii. Reseptor tekait Protein G – Protein G merupakan suatu protein regulator pengikatan
GTP berbentuk heterotrimer. Protein G adalah penghantar sinyal dari reseptor di
permukaan sel ke protein efektor. Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase,
fosfolipase C dan A2, fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma
yang selektif untuk ion Ca2+ dan K+. Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja
dengan mekanisme ini. Contoh ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan
hormon-hormon peptida lain.
iv. Reseptor faktor transkripsi DNA (DNA binding domain mengaktifkan atau
menghambat transkripsi. Contoh ligan: hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan
retinoid
v. Second Messenger pada sitoplasma kedua (second messenger) yang bertindak sebagai
sinyal lanjutan untuk jalur transduksin sinyal. (NO). Ciri khas cara kedua adalah
produksinya yang sangat cepat dengan konsentrasi yang rSetelah sinyal utama (first
messenger) tidak ada, cara kedua akan disingkarkan melalui proses daur ulang. Contoh:
AMP, siklik GMP, siklik ADP Selain daripada reseptor, obat juga dapat bekerja tanpa
melalui reseptor, misalnya obat yang mengikat molekul atau ion dalam tubuh. Contohnya
penggunaan antasida sebagai penetral keasaman lambung yang berlebihan. merkaptoetana
sulfonat (mesna) meniadakan sebagai analog struktur normal tubuh yang bisa “bergabung”
ke dalam sel sehingga mengganggu fungsi sel dan tubuh. Misalnya analog purin dan
pirimidin yang dapat diinsersei ke dalam asam nukleat antivirus dan kemoterapi untuk
kanker.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan, SG. Setiabudy R. Nafrialdi, Elysabeth (editor). Farmakologi dan Terapi.
5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.
2. Brunton LL. Lazo JS. Parker KL (editor). Goodman & Gilman’s The Pharmacological
Basis of Therapeutics. 11th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.
3. Katzung BG, ed. Basic and Clinical Pharmacology. 7th ed. London: Prentice Hall Int;
1998.
4. Anonymous. Mata Kuliah Profesi : Interaksi Obat. Sumatera Utara : Universitas
Sumatera Utara.
5. Ganiswara, G, Sulistia., dkk. Farmakologi dan Terapi Edisi 3. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 1987.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberculosis. Jakarta 2002.
7. Harkness Richard, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan Mathilda B.Widianto.
Interaksi obat. Bandung : Penerbit ITB. 1989