PEREMPUAN PUNK: BUDAYA PERLAWANAN TERHADAP GENDER NORMATIF ...
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar...
-
Upload
truonglien -
Category
Documents
-
view
241 -
download
1
Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar...
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keanekaragaman budaya (culture) melahirkan subkultur (sub-
culture) yang merupakan cabang dari budaya induk atau budaya yang
banyak dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, salah satunya
adalah Punk. Punk pertama kali muncul di Inggris akibat gejolak
perekenomian, sosial dan politik ataupun kelompok buruh. Sebagian
dari mereka menganut Punk sebagai gaya hidup (life style), dan ada
yang memaknainya sebagai jalan hidup (way of life).1
Semangat D.I.Y (Do It Yourself) yang mereka usung yaitu
menolak segala macam bentuk ketidakadilan atau penindasan yang
dialami dengan cara mereka sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh
Lefebvre dalam Hebdige, mengenai subkultur kaum muda, bahwa
mereka menggunakan style sebagai simbol perlawanan terhadap
hegemoni budaya2.
Budaya punk yang lahir akibat gejolak perekonomian dan
politik di Inggris dan Amerika menyebar hingga ke berbagai Negara,
termasuk di Indonesia. Punk di Indonesia tidak hadir karena gejolak
yang terjadi, namun berkat pemberitaan media mainstream melalui
musik dan fashion.3 Kemudian permasalahan yang terjadi adalah copy-
paste budaya kekerasan dan kerusuhan yang dilakukan beberapa
individu punk tanpa memperhatikan dampak buruknya, serta
pemberitaan media massa yang cenderung negatif dan menimbulkan
1 Widya. G. 2010. Punk: Ideologi yang Disalahpahami. Yogyakarta: Garasi House of Book. Hal: 12. 2 Dick Hebdige. Subculture: The Meaning of Style. London: Routledge. Halaman 17.
3 Widya. loc.cit. Hal: 117.
stereotype tentang punk di kalangan masyarakat, menyebabkan
kelompok-kelompok punk semakin terpinggirkan.
Beberapa kasus yang melibatkan kelompok-kelompok punk di
Indonesia seperti kasus penangkapan 64 punkers Aceh pada akhir tahun
2011 dan punkers di Bali pada Februari 20144, pelarangan dan
pembubaran konser-konser punk, penutupan usaha yang dijalankan oleh
punkers, diusir oleh warga, serta keterlibatan punkers dengan narkotika
dan kekerasan. Meskipun banyak ketidakadilan dan kasus yang dialami
oleh inidividu-individu punk, namun tidak cukup untuk menghentikan
perkembangan punk di Indonesia. Bahkan menurut investigasi ABC
Australia pada tahun 2014 mengatakan bahwa Indonesia memiliki
kelompok punk yang terbesar di dunia.5
Salah satu komunitas Punk yang yang terdapat di wilayah
Jakarta Selatan dan memiliki massa yang cukup banyak dan tersebar di
beberapa wilayah Indonesia adalah Taringbabi. Pada mulanya
kelompok ini memiliki nama AFRA (Anti Facist Racist Action), yaitu
suatu wadah diskusi yang terbentuk oleh beberapa kelompok aktivis
pemuda yang merasa tidak puas dengan kebijakan-kebijakan otoriter
yang diterapkan pada era Orde Baru. Kemudian individu-individu
dalam AFRA tersebut membentuk sebuah komunitas yang mereka
jadikan sebagai wadah untuk berkumpul, berdiskusi, berkreatifitas dan
berbagi pengetahuan, yang diberi nama Taringbabi
Komunitas ini tidak memiliki struktur keanggotaan, siapa saja
dapat menjadi bagian komunitas ini selama memiliki kreatifitas,
pemikiran yang kritis, rasa kepedulian terhadap masyarakat atau
lingkungan sekitar dan dapat menjaga kesadaran diri masing-masing
untuk keberlangsungan komunitas ini kedepannya. Kebanyakan
4 (2 Desember 2014). Kelompok Punk Bawah Tanah Indonesia Terbesar di Dunia. Republika Online. 5 Kirsti Melville. (30 November 2014). Indonesian Punk: Punk’s Not Dead!. ABC Australia.
anggotanya meliputi anak-anak jalanan, masyarakat miskin dan kelas
menengah, hingga kelompok intelektual, dan lain-lain. Anggotanya
tidak hanya berada disekitaran Jakarta atau kota-kota besar saja, namun
hingga ke pelosok-pelosok Indonesia.
Pada akhir tahun 1997 mereka memutuskan untuk mengontrak
sebuah rumah di wilayah Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa,
Jakarta Selatan dengan tujuan ingin membentuk sebuah ruang agar
dapat saling berdiskusi dengan siapapun, memiliki tempat singgah,
serta menjadi pusat kegiatan perekonomian mereka yang menjual
beberapa alat-alat kerajinan seperti cukil kayu, emblem, pin, zine, baju,
membuat tatto, dan lain-lain.
Srengseng Sawah yang menjadi tempat tinggal komunitas
Taringbabi berjarak tidak jauh dengan Setu Babakan yang merupakan
daerah alternatif perkampungan Betawi yang masih kental dengan adat
dan budaya mereka. Berbagai macam kegiatan adat, kesenian, serta
makanan khas Betawi masih terdapat di wilayah Setu Babakan.
Kedekatan budaya Betawi dengan agama Islam memberikan
pengaruh kepada masyarakat Srengseng Sawah. Meskipun masyarakat
Srengseng Sawah banyak dihuni oleh pendatang dari luar Jakarta,
namun peranan pemuka agama terutama Kyai juga masih dirasakan
penting dalam mengambil keputusan. Perbedaan kebudayaan dan gaya
hidup antara masyarakat Srengseng Sawah dengan komunitas Punk
dapat menimbulkan stereotype negatif.
Perbedaan budaya, minimnya pengetahuan masyarakat dan
stereotype negatif yang melekat dengan komunitas Punk menjadi faktor
utama kesulitan mereka untuk beradaptasi dengan masyarakat sekitar.
Pada saat awal kedatangan komunitas Taringbabi di rumah tersebut
mendapatkan banyak protes dari masyarakat sekitar tempat mereka
tinggal. Ketua RT (Rukun Tetangga) pada saat itu banyak mendapatkan
keluhan dan protes dari warga karena dikhawatirkan komunitas tersebut
dapat menimbulkan masalah dan memberikan efek negatif bagi remaja
dan masyarakat lainnya di wilayah tersebut.
Tidak adanya struktur keanggotaan yang jelas dalam komunitas
ini menyebabkan banyak keluar masuknya anggota-anggota baru dalam
komunitas Taringbabi. Kurangnya pengetahuan anggota baru tersebut
akan gaya hidup komunitas Taringbabi serta perbedaan pemikiran dan
tingkah laku dalam diri tiap individu-individu tersebut, terkadang
menimbulkan masalah baru bagi komunitas Taringbabi.
Predikat buruk tersebut juga kian melekat ketika terdapat
perilaku kekerasan atau pemaksaan yang dilakukan oleh beberapa
pengamen atau anak jalanan kepada masyarakat, yang menilai Punk
hanya dari sisi fashion saja tanpa memahami ideologi dibalik budaya
Punk tersebut. Hal-hal tersebut menjadi faktor utama yang
menyebabkan sulitnya suatu komunitas Punk untuk dapat bertahan
lama, tidak jarang dari mereka berpindah-pindah tempat atau bahkan
memilih untuk kembali mencari penghasilan dijalan.
Berangkat dari fenomena tersebut, pada mulanya timbul
masalah bagi komunitas Taringbabi untuk beradaptasi dengan
masyarakat sekitar tempat mereka tinggal. Samovar (1998),
mengkategorikan stereotype dan ketidakpastian (uncertainty) sebagai
faktor yang berpotensi menimbulkan permasalahan dalam komunikasi
antarbudaya.6
Melalui stereotype yang dikaitkan dengan komunitas punk pada
umumnya, menyebabkan komunitas ini mendapatkan pandangan yang
berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Persepsi yang dimiliki
oleh masyarakat tersebut mengakibatkan komunitas ini menggunakan
6 Larry A. Samovar. (1998). Communication Between Cultures: 3
rd Edition. Wadsworth Publishing
Company. Hal: 246.
strategi-strategi khusus untuk beradaptasi dengan masyarakat
Srengseng Sawah. Konsep co-cultural nantinya akan menjelaskan
strategi-strategi komunikasi yang dilakukan oleh komunitas Taringbabi.
Keberhasilan pendekatan yang dilakukan oleh komunitas Taringbabi
tidaklah cukup ditandai dengan lamanya jangka waktu keberadaan
mereka di wilayah tersebut, namun juga akan dinilai melalui respon
atau reaksi masyarakat setelah kehadiran mereka menggunakan konsep
pengurangan ketidakpastian (uncertainty reduction), yang nantinya
akan melihat persepsi dan strategi-strategi pendekatan yang digunakan
oleh masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian mereka mengenai
kehadiran komunitas Taringbabi ditengah-tengah lingkungan tempat
mereka tinggal.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana strategi komunikasi antara komunitas Punk
Taringbabi dan masyarakat di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui pendekatan-pendekatan komunikasi antarbudaya
yang dilakukan oleh komunitas Punk Taringbabi dengan masyarakat
Srengseng Sawah.
Mengetahui strategi-strategi komunikasi yang dilakukan oleh
masyarakat Srengseng Sawah dalam mengurangi ketidakpastian
terhadap komunitas Punk Taringbabi.
D. Manfaat Penelitian
D.1 Manfaat Akademis
Menambah kajian dalam komunikasi antarbudaya, khususnya
yang berkaitan dengan kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
D.2 Manfaat Praktis
Mengetahui strategi komunikasi dan hubungan kelompok yang
terpinggirkan dengan kelompok masyarakat yang dominan.
Memahami dan menyediakan faktor-faktor yang membuat suara
kelompok terpinggirkan dapat didengar oleh masyarakat dominan.
D.3 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang peneliti temukan, terdapat diantaranya
mempunyai benang merah dengan penelitian ini, diantaranya:
1. Dari Subkultur ke budaya perlawanan: Aspirasi dan pemikiran
sebagian dari kaum punk/hardcore dan skinhead di Yogyakarta dan
Bandung, oleh Joanna Pickles (Universitas Muhammadiyah Malang).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kelompok punk
menyampaikan suara atau aspirasi mereka kepada publik. Selain itu
bertujuan untuk mengetahui representasi masyarakat umum,
pemerintah dan gambaran media massa mengenai kelompok punk.
2. Queering the Doctor’s Office: A Co-cultural Examination of Doctor-
Patient Communication oleh Katy Ross (Texas Tech University).
Dalam penelitian ini, Dokter digambarkan sebagai sosok dominan
yang menentukan keputusan bagi pasien. Sedangkan transgender
sebagai pasien digambarkan sebagai kelompok co-cultures. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana transgender
menegosiasikan perbedaan kebudayaan yang mereka miliki, ketika
melakukan konsultasi kepada Dokter.
3. Living the punk lifestyle in Jakarta, oleh Jeremy Wallach (Bowling
Green State University).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana komunitas punk
di Jakarta dapat bertahan hidup ditengah-tengah keanekaragaman
budaya masyarakat, dan kondisi politik di Indonesia.
E. Objek Penelitian
Dalam melihat fenomena sebagaimana yang ada dalam rumusan
masalah, maka objek penelitian ditetapkan menjadi dua sampling,
pertama komunitas punk Taringbabi. Kedua, masyarakat Srengseng
Sawah akan diambil sebagai sampling untuk mengetahui strategi-
strategi komunikasi yang berlangsung dalam proses beradaptasi antara
kebudayaan yang berbeda.
Komunitas punk Taringbabi diambil sebagai objek utama dalam
tulisan ini untuk mengetahui praktek-praktek yang digunakan dalam
negosiasi identitas dan ideologi, kelompok co-cultures dengan tujuan
agar suara mereka dapat didengar oleh kelompok dominan. Pemilihan
komunitas Taringbabi didasari oleh faktor, merupakan salah satu
komunitas punk di Jakarta yang memiliki kedekatan anggota komunitas
dengan masyarakat dan eksistensi mereka di dalam wilayah tersebut
yang sudah berjalan selama 17 tahun.
Objek kedua dalam tulisan ini meliputi masyarakat Srengseng
Sawah yang terdiri dari berbagai macam budaya dan keyakinan,
terutama adat Betawi dan Islam. Perbedaan kebudayaan yang dimiliki
diharapkan dapat mengetahui praktek-praktek pendekatan yang
dilakukan dalam memahami respon terhadap hadirnya kebudayaan
asing (strangers) di dalam wilayah mereka.
F. Kerangka Pemikiran
F.1 Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya memiliki dua konsep utama yaitu,
konsep komunikasi dengan konsep budaya. Keduanya memiliki kaitan
yang sangat kompleks. Gudykunst mengatakan bahwa komunikasi
antarbudaya merupakan komunikasi antar kelompok (komunikasi
diantara anggota yang memiliki perbedaan kelompok sosial).7
Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi
individu para anggotanya.
Antara komunikasi dan kebudayaan mempunyai hubungan yang
sangat erat. Cara-cara berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi,
bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, dan perilaku-perilaku
nonverbal, semua itu merupakan respons terhadap fungsi budaya yang
individu tersebut miliki.8
Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk
menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para
pendukungnya. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perkataan, dan
perbuatan. Seperti kebudayaan secara umum, bahasa dipelajari untuk
melayani setiap pikiran manusia. Bahasa menerjemahkan nilai dan
norma, menerjemahkan skema kognitif manusia, menerjemahkan
7 William B Gudykunst dan Bella Moddy. (2002). Handbook of International and Intercultural Communication 2nd edition. London: Sage. Hal: 179. 8 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (ed). 2009. Komunikasi Antarbudaya. Bandung:
Rosdakarya. Hal: 25.
persepsi, sikap, dan kepercayaan manusia tentang dunia para
pendukungnya9.
Pada akhirnya, isi kebudayaan itu diadaptasi ke dalam suatu
proses yang disebut adaptasi budaya, yang terjadi tatkala para individu
atau kelompok menggunakan peta persepsi yang mereka miliki lalu
membangun suatu gambaran atau struktur kognisi tentang dunia
lingkungan mereka.10
Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek
komunikasi yang berbeda. Praktek-praktek atau interaksi yang dapat
menghargai budaya satu dengan yang lainnya dapat menciptakan
masyarakat yang beragam. Namun, tidak jarang latar belakang budaya
yang berbeda-beda dan keanekaragaman yang dimiliki juga sering
menimbulkan masalah di dalam komunikasi antarbudaya itu sendiri.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa stereotype mengenai
suatu budaya dan ketidakpastian (uncertainty) terhadap budaya lain
atau stranger termasuk beberapa faktor yang berpotensi menimbulkan
permasalahan dalam komunikasi antarbudaya.11
F.1.1 Stereotype Dalam Komunikasi Antarbudaya
Dalam komunikasi yang berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, ada kecenderungan mencerminkan suatu perilaku atau
sikap yang menjadi ciri khusus suatu budaya. Ciri-ciri khusus tersebut
tidak jarang menjadi acuan ketika salah satu budaya berinteraksi
dengan budaya lainnya. Jika komunikasi di antara mereka yang berbeda
budaya didahului oleh stereotype yang negatif antarbudaya akan
mempengaruhi efektivitas komunikasi.12
9 Alo Liliweri. (2001). Gatra-gatra Komunikasi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal: 129.
10 ibid. Hal: 5. 11
Larry A. Samovar. op, cit. Hal: 246. 12 Alo Liliweri. op, cit. Hal: 177.
Richard Schaefer (sebagaimana dikutip dalam Neuliep, 2012)
mendefinisikan stereotype sebagai penggambaran yang berlebihan
mengenai karakteristik kelompok tertentu yang didasari oleh prasangka
individu-individu yang memiliki perasaan buruk terhadap kelompok
tersebut. Sedangkan, Gudykunst dan Kim mendefinisikan stereotype
sebagai representasi kognitif dari kelompok lain yang mempengaruhi
perasaan seseorang mengenai kelompok tersebut.13
Stereotype negatif dapat menimbulkan suatu kecemasan yang
berpotensi menjadi prasangka terhadap suatu kebudayaan. Stereotype
tersebut yang terkadang menjadi penghambat di dalam proses
komunikasi antarbudaya, tidak jarang menjadi pemicu suatu konflik.14
Dalam hal ini, komunitas Punk yang kebanyakkan dari mereka terdiri
dari kelompok remaja dan pemuda seringkali mendapatkan stereotype
yang menyebabkan mereka kesulitan untuk berkomunikasi dengan
masyarakat sekitar.
Menurut Samovar (1998), terdapat beberapa alasan stereotype
dapat menjadi penghambat dalam melakukan komunikasi. Pertama,
stereotype gagal untuk menentukan karakteristik individu. Mereka
menganggap bahwa semua anggota kelompok memiliki sifat yang
sama. Kedua, stereotype menjauhkan kesuksesan sebagai seorang
komunikator, karena mereka disederhanakan, disamaratakan, dan
berlebihan. Didasarkan oleh setengah kebenaran dan sering tidak benar.
Ketiga, stereotype cenderung menghambat komunikasi antarbudaya,
apabila mereka terus berulang dan memperkuat keyakinan, hingga
dianggap menjadi suatu kebenaran. Beliau juga mengatakan bahwa
stereotype terbentuk karena dipelajari melalui berbagai cara:
13
James W. Neuliep. (2012). Intercultural Communication: A Contextual Approach. Sage. Hal: 182 14 Ibid. Hal: 182.
1. Masyarakat mempelajari stereotype dari keluarga, kerabat, dan
teman.
2. Stereotype dipelajari melalui hubungan pribadi dan informasi yang
terbatas.
3. Stereotype diperoleh melalui media massa.15
Kebanyakan komunitas-komunitas Punk di Jakarta tidak dapat
bertahan lama tinggal di suatu wilayah, mereka cenderung tinggal
berpindah-pindah tempat atau bahkan ada yang memilih untuk tinggal
dijalan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya protes atau kekhawatiran
dari masyarakat sekitar dengan komunitas atau individu Punk tersebut.
Pada awal komunitas Taringbabi menempati kontrakan di wilayah
Srengseng Sawah juga tidak luput dari stereotype negatif yang banyak
didapat oleh masyarakat baik dari pengamatan, pengalaman masa
lampau ataupun informasi yang mereka dapat melalui kerabat dan
media massa.
Meskipun belum sampai tindakan konfrontasi fisik, tetapi diakui
oleh beberapa anggota komunitas Taringbabi, belajar dari pengalaman
sebelumnya, stereotype negatif yang tidak dapat dikomunikasikan
dengan baik akan sangat berpengaruh terhadap proses mereka
melakukan kegiatan sehari-hari, interaksi mereka dengan masyarakat
dan kekhawatiran terhadap kelangsungan komunitas mereka nanti di
masa yang akan datang.
F.1.2 Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction)
Ketika orang asing bertemu untuk pertama kalinya, perasaan
utama mereka adalah ketidakpastian. Ketika perasaan ketidakpastian
tinggi, kekhawatiran yang dialami juga cenderung tinggi, dan
komunikasi akan berjalan terhambat. Hal tersebut juga yang mendasari
seseorang menghindari interaksi dengan orang lain yang berbeda
15 Larry A. Samovar. op, cit. Hal: 246.
budaya.16
Charles Berger (sebagaimana dikutip dalam Griffin, 2006),
mendefinisikan teori pengurangan ketidakpastian sebagai:
Central to the present theory is the assumption that when
strangers meet, their primary concern is one of uncertainty
reduction or increasing predictability about the behavior of
both themselves and other in interaction.17
Tujuan dari teori ini adalah untuk memahami tindakan dan
reaksi dari percakapan setiap orang, dalam rangka untuk mengurangi
ketidakpastian. Setiap individu berusaha untuk memprediksi dan
mendapatkan penjelasan mengenai apa yang terjadi di dalam
pertemuan awal. Strategi-strategi komunikasi yang digunakan untuk
mengurangi ketidakpastian pada setiap individu atau budaya berbeda-
beda. Individu dengan konteks budaya tinggi misalnya, dengan
mengamati situasi lingkungan sekitar, hubungan sosial,
(sociorelational), dan mempersepsikan informasi yang didapat.
Sedangkan individu dengan konteks budaya rendah cenderung
mengandalkan strategi komunikasi verbal untuk mendapatkan
informasi, biasanya dengan mengajukan pertanyaan.18
Masyarakat melakukan pengurangan ketidakpastian ini biasanya
disebabkan oleh beberapa faktor seperti: antisipasi interaksi di masa
yang akan datang, nilai insentif (mereka memiliki sesuatu yang mereka
inginkan), dan penyimpangan atau perilaku yang berbeda. Dalam teori
ini memiliki serangkaian aksioma untuk menjelaskan hubungan antara
konsep ketidakpastian dan delapan variable utama dalam
pembentukkan suatu hubungan, yaitu19
:
16 James W. Neuliep. op, cit. Hal: 83-84. 17EM Griffin. 2006. A First Look at Communication Theory, 6th edition. New York: McGraw-Hill. Hal: 130.
18 James. W Neuliep. loc, cit. Hal: 84.
19 EM Griffin, op.cit. hal: 132-134.
1. Aksioma 1, komunikasi verbal: Tingkat ketidakpastian yang tinggi pada
fase awal, dan jumlah komunikasi verbal antara orang asing meningkat,
tingkat ketidakpastian dalam setiap interaksi akan menurun, dan jumlah
komunikasi verbal akan meningkat.
2. Aksioma 2, kedekatan nonverbal: Ketika ekspresi afiliatif meningkat,
tingkat ketidakpastian menurun dalam situasi awal. Penurunan tingkat
ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan ekspresif afiliatif
nonverbal.
3. Aksioma 3, mencari informasi: Ketidakpastian yang tinggi
menyebabkan peningkatan perilaku dalam mencari informasi. Ketika
ketidakpastian menurun, perilaku pencari informasi juga menurun
4. Aksioma 4, pengungkapan diri: Tingkat ketidakpastian yang tinggi
dalam sebuah hubungan menyebabkan penurunan tingkat keintiman
dari isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan
tingkat keintiman yang tinggi.
5. Aksioma 5, timbal-balik: Ketidakpastian yang tinggi menghasilkan
resiprositas (timbal-balik) yang tinggi. Tingkat ketidakpastian yang
rendah, menghasilkan resiprositas yang rendah juga.
6. Aksioma 6, kesamaan: Kesamaan akan mengurangi ketidakpastian,
sementara ketidaksamaan akan meningkatkan ketidakpastian.
7. Aksioma 7, kesukaan: Peningkatan ketidakpastian akan menghasilkan
penurunan dalam kesukaan, penurunan dalam ketidakpastian
menghasilkan peningkatan dalam kesukaan.
8. Aksioma 8, berbagi jaringan: Berbagi jaringan komunikasi secara
bersama mengurangi ketidakpastian, sedangkan kurangnya jaringan
meningkatkan ketidakpastian.
Pada awal kedatangannya, hubungan komunitas Taringbabi
dengan warga Srengseng Sawah merupakan dua kebudayaan asing
yang belum mengenal satu sama lainnya. Keadaan canggung, tidak
nyaman dan ketidakpastian terjadi pada awal pertemuan keduanya,
terlebih lagi bagi warga yang belum pernah terlibat dengan sosok
individu Punk.
Perasaan canggung, tidak nyaman, dan ketidakpastian dapat
diwujudkan melalui sikap seperti, mengajukan pertanyaan, menghindari
perjumpaan, gerak tubuh yang terkesan menolak, memilih untuk tidak
terlibat komunikasi, keraguan dalam memulai perbincangan dan
ketidaktahuan untuk bersikap.
Kasus ini dirasa tepat apabila menggunakan teori pengurangan
ketidakpastian. Hal ini didasarkan pada kondisi ketidakpastian warga
yang cenderung minim akan informasi mengenai kelompok Punk yang
ada di wilayah mereka. Tentunya warga memiliki strategi-strategi
tertentu agar dapat mengurangi ketidakpastian diantara mereka agar
komunikasi keduanya dapat terjalin dengan baik.
F.2 Punk sebagai co-cultures di Indonesia
Co-culture atau yang biasa lebih dikenal dengan minoritas atau
sub-kultur merupakan bagian kecil dari induk budaya atau budaya yang
dominan. Co-culture dapat terdiri dari komunitas rasial, etnik, regional,
ekonomi, atau sosial yang memperlihatkan pola budaya atau perilaku
dari budaya masyarakat yang melingkupinya20
. Co-culture lahir bukan
hanya sebagai fenomena reaksi individual saja, melainkan reaksi
kelompok terhadap masalah-masalah yang sudah ada, terutama
problematika sistem dan kelas.
Di Indonesia sendiri banyak terdapat kelompok-kelompok co-
culture, salah satunya adalah komunitas Punk. Sama seperti kelompok
sub-kultur lainnya, Punk yang terlahir pada 1970an di Inggris ini
memiliki perilaku atau budaya yang bertentangan dengan budaya
20 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. op, cit. Hal: 19.
mayoritas. Mereka hadir biasanya dikarenakan ketidakpuasan dan tidak
sepaham akan kondisi sosial dan politik yang sedang terjadi, serta
memiliki kesulitan untuk berinteraksi dengan budaya dominan. Punk
sendiri hadir sebagai salah satu budaya yang lahir dari sifat melawan,
tidak puas hati, marah, dan benci pada sesuatu yang tidak pada
tempatnya, terutama tindakan yang menindas. Para Punker
mewujudkan perasaan tersebut melalui musik, gaya hidup, komunitas,
dan kebudayaan sendiri sebagai bentuk perlawanan.21
Hal ini menyebabkan kesulitan para anggotanya untuk berbaur
dengan masyarakat sekitar, sehingga tidak jarang sebagian dari mereka
merasa terkucilkan, menjadi ancaman, atau bahkan pelampiasan
kekerasan oleh kelompok-kelompok mayoritas yang tidak senang
dengan kehadiran mereka. Oleh karena itu diperlukan strategi-strategi
dan pendekatan khusus, supaya suara kelompok punk tersebut dapat
didengar oleh kelompok dominan.
F.2.1 Konsep co-cultural
Konsep co-cultural yang dikemukakan oleh Orbe (sebagaimana
dikutip dalam Gudykunst, 2002), mendefinisikan kelompok yang
termasuk co-cultures seperti masyarakat selain kulit putih, orang yang
memiliki ketidakmampuan fisik, gay, lesbians, dan masyarakat dari
tingkat sosial yang rendah. Ia juga menjelaskan bahwa terdapat dua
pedoman untuk memahami co-cultural yaitu, anggota co-cultural yang
terpinggirkan dalam struktur sosial yang dominan dan anggota co-
cultural yang menggunakan gaya komunikasi khusus untuk mencapai
21 Widya. op, cit. Hal: 12.
kesuksesan saat berhadapan dengan struktur dominan yang cenderung
menindas.22
Konsep ini juga menjelaskan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi komunikasi di dalam anggota kelompok co-cultural
yaitu, pengalaman masa lampau, kemampuan individu dalam
memainkan peran yang berbeda, konteks situasional, perasaan pro dan
kontra terhadap praktek tertentu dan pendekatan komunikasi yang
dilakukan. Kombinasi dari tujuan, interaksi, praktek-praktek dan
pendekatan komunikasi yang dilakukan oleh kelompok co-cultural
menghasilkan sembilan orientasi komunikasi yang dilakukan, dan
praktek-praktek berbeda yang cenderung digunakan, yaitu seperti
dalam tabel berikut:23
Tabel 1.1: Pendekatan dalam Teori co-cultural
Sumber: http://rru515.wikispaces.com/co-
cultural+communication+orientations+%28table%29
Co-culture atau microculture digunakan untuk merujuk kepada
kelompok-kelompok yang dapat diidentifikasi melalui orang yang
22
William Gudykunst, Op.cit, Hal: 190. 23 ibid, Hal: 191.
memiliki berbagai nilai, keyakinan, dan perilaku dari budaya dominan
(macroculture), sejarah, penggunaan verbal dan non-verbal.24
Dalam
tulisan ini akan membahas strategi komunikasi komunitas Taringbabi
menggunakan verbal dan non-verbal kepada masyarakat Srengseng
Sawah. Samovar (2013), memasukan penggunaan bahasa dalam kategori
komunikasi verbal.25
Sedangkan komunikasi non-verbal diklasifikasikan
menjadi dua kategori meliputi: bahasa tubuh (penampilan, ekspresi wajah,
dan paralanguage) dan setting atau proxemics26
.
G. Kerangka Konsep
Tabel 1.2 Konsep dan Indikator Penelitian
Konsep Makna Indikator
Stereotype Sudut pandang atau
pedoman dalam
memahami kebudayaan
yang berbeda
berdasarkan pendapat,
sikap, dan pengalaman
yang sudah ada
sebelumnya.
Judul berita, nilai
kultural, makna
identitas dan makna
ideologi
Co-cultural Proses adaptasi yang
dilakukan oleh kelompok
minoritas melalui
strategi-strategi
komunikasi khusus yang
mereka lakukan.
Interaksi sosial,
pendekatan kultural,
perilaku, negosiasi
identitas dan
ideologi, verbal
(bahasa), dan non-
verbal (penampilan,
ekspresi wajah,
paralanguage, dan
proxemics)
Pengurangan
Ketidakpastian
Strategi-strategi
pengurangan
ketidakpastian untuk
memprediksi tindakan
yang dilakukan ketika
berhadapan dengan
kebudayaan pendatang
Perilaku masyarakat
mengurangi
ketidakpastian,
gesture, dan
negosiasi nilai-nilai
kultural.
24 James W. Neuliep. op, cit. Hal: 94. 25
Larry A. Samovar op, cit. Hal: 234. 26 ibid. Hal: 262.
H. Metodologi Penelitian
H.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah studi etnografi.
Metode ini dipandang paling tepat untuk mengetahui proses-proses
komunikasi antarbudaya yang digunakan oleh komunitas Punk
Taringbabi dan masyarakat yang terdapat di wilayah Srengseng Sawah,
Jakarta Selatan. Studi etnografi digunakan untuk melihat proses
interaksi antarindividu atau antar kelompok dalam kehidupan sehari-
harinya. Pada etnografi ini yang menjadi fokus perhatian adalah melihat
perilaku komunikasi, tindakan atau kegiatan kelompok, atau persepsi
khalayak ketika terlibat langsung dalam interaksi tersebut.
Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang
meliputi teknik penelitian, teori etnografis, dan berbagai macam
deskripsi kebudayaan. Etnografi bermakna untuk membangun suatu
pengertian yang sistemik mengenai semua kebudayaan manusia dari
perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu.27
Pengumpulan data dengan jenis pendekatan etnografi dilakukan
dengan membangun relasi antara peneliti dengan objek atau informan
yang akan diteliti. Beberapa kelebihan dalam menggunakan metode
etnografi adalah memperoleh tingkat kedalaman penelitian, karena
peneliti berada di lapangan dalam jangka waktu yang cukup lama dan
intensif sehingga peneliti memperoleh pengalaman dan pemahaman
yang mendalam tentang individu, kelompok dan masyarakat yang
diteliti. Kemudian data yang diperoleh berasal dari sumber utama yang
memiliki tingkat validitas tinggi.
Munculnya perbedaan pandangan terhadap komunitas
Taringbabi di wilayah tersebut dikarenakan oleh beberapa hal seperti
27 James P. Spradley. (2006). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal: 13.
persepsi negatif, ketidaktahuan masyarakat, ketakutan akan hilangnya
budaya lokal, informasi yang kurang akurat oleh media massa, dan
faktor-faktor lainnya yang dapat menimbulkan sikap kecurigaan
terhadap kelompok subkultur tersebut. Hal tersebut akan dijelaskan
menggunakan konsep stereotype yang akan menilai komunitas
Taringbabi melalui sudut pandang masyarakat Srengseng Sawah.
Kemudian, dengan konsep co-cultural akan melihat strategi-strategi
adaptasi yang dilakukan oleh komunitas Taringbabi terhadap
masyarakat. Perasaan kekhawatiran yang dimiliki masyarakat
Srengseng Sawah dapat dilihat dari proses pengurangan ketidakpastian
yang mereka lakukan, sehingga nantinya dapat diketahui adanya
perilaku saling menghargai serta perasaan saling menjaga yang
dilakukan oleh masyarakat, sehingga dapat mencegah terjadinya
konflik.
Berdasarkan objek penelitian yang melibatkan komunitas co-
cultures, maka penelitian ini menggunakan paradigma kritis.
Pendekatan kritis mampu menganalisa alternatif budaya atau budaya
perlawanan yang ada ditengah-tengah budaya dominan. Selain itu juga
dapat menjelaskan proses-proses bagaimana budaya terpinggirkan
memberikan alternatif budaya lain atau menyampaikan
ketidakpuasannya kepada budaya yang sudah ada.
H.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan ditempat komunitas Taringbabi
tersebut melakukan kegiatan sehari-hari, yaitu di Srengseng Sawah,
Jagakarsa, Jakarta Selatan. Periode waktu penelitian ini dilakukan
mulai 10 Februari hingga 15 September 2014.
H.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini akan menggunakan tiga cara pengumpulan
data diharapkan cukup memadai untuk memperoleh data-data yang
dibutuhkan di lapangan. Ketiga cara pengumpulan data tersebut, yaitu :
Wawancara
Dalam memperoleh data, peneliti akan mewawancarai secara
mendalam informan yang dianggap berkompeten sesuai dengan objek
penelitian, dan pertanyaan yang diajukan bersifat tidak berstruktur.
Informan primer akan didapat melalui pihak-pihak terkait dengan objek
penelitian. Hal ini meliputi mereka yang berperan aktif sebagai kaum
punk di dalam komunitas Taringbabi dan mereka yang mempunyai
andil dalam menjalankan aktivitas di dalam komunitas tersebut.
Informan sekunder merupakan kelompok dominan atau
kelompok yang memiliki perbedaan budaya dengan komunitas punk
Taringbabi. Kelompok ini merupakan masyarakat sekitar wilayah
Srengseng Sawah, yang meliputi tokoh adat Betawi dan tokoh agama.
Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat, serta
respon masyarakat mengenai komunitas tersebut dalam wujud strategi-
strategi pengurangan ketidakpastian.
Berikut adalah pihak-pihak yang akan diwawancarai:
1. Bobby: Pendiri sekaligus anggota yang paling lama dalam komunitas
Taringbabi, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses-
proses komunikasi yang dilakukan untuk dapat berinteraksi dengan
masyarakat Srengseng Sawah.
2. Mike: Salah satu anggota yang sudah cukup lama hidup di dalam
komunitas Taringbabi, sekaligus sering menjadi pembicara atau juru
bicara di beberapa kesempatan diskusi. Sehingga dapat menjelaskan
proses komunikasi dan perilaku yang diterima oleh komunitas
Taringbabi.
3. Bule: Salah satu anggota dari komunitas Taringbabi.
4. Indra Sutisna: Tokoh Betawi dan Pengelola Perkampungan Betawi di
Setu Babakan, Jakarta Selatan.
5. Bang Roni: Tokoh Betawi dan Pengelola Perkampungan Betawi di Setu
Babakan, Jakarta Selatan.
6. Wamil Bagya: Ketua Rukun Tetangga.
7. Irma: Warga Srengseng Sawah. anggota Majlis Talim.
8. Ibu Dwi: Warga Srengseng Sawah. Ibu rumah tangga.
9. Ibu Sumiati: Warga Srengseng Sawah. Ibu rumah tangga.
10. Pak Yamin: Warga Srengseng Sawah. Wiraswasta.
Observasi
Observasi atau pengamatan akan peneliti lakukan dengan objek yang
sedang diteliti, yaitu komunitas Taringbabi di Srengseng Sawah,
Jagakarsa, Jakarta Selatan. Hal ini sangat diperlukan agar peneliti lebih
dekat dengan objek dan memperoleh data yang lebih akurat, agar dapat
mengetahui strategi-strategi komunikasi dan perilaku yang digunakan
oleh komunitas tersebut untuk berinteraksi terhadap masyarakat. Selain
itu dengan observasi juga dapat mengetahui tanggapan dan reaksi
masyarakat sekitar mengenai keberadaan komunitas tersebut.
Kajian Pustaka atau literature
Sebagai pelengkap dalam menganalisa data yang diperoleh, peneliti
akan memasukkan sumber-sumber tulisan ataupun dokumen yang
terkait dengan penelitian ini. Dokumen tersebut dapat berupa foto, zine,
video, penelitian sebelumnya, berita dari media massa, ataupun
dokumentasi aktifitas komunitas Punk tersebut.
H.4 Teknik Analisis Data
Penelitian ini menempatkan proses komunikasi antarbudaya
dalam komunitas Taringbabi dan masyarakat Srengseng Sawah.
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui strategi-strategi komunikasi
yang digunakan oleh komunitas Taringbabi sebagai objek penelitian
dan bagaimana seharusnya komunikasi antarbudaya yang diterapkan
sehingga dapat mencegah konflik dan pandangan negatif terhadap
kelompok co-cultures.
Mengingat keduanya memiliki latar belakang budaya yang
berbeda, baik dari perspektif agama mayoritas penduduk yaitu Islam,
dan pengaruh budaya adat Betawi yang masih sangat kuat, maka
penelitian ini juga akan menggunakan teori-teori yang berkaitan dengan
komunikasi antarbudaya, seperti : stereotype, co-cultural theory, dan
uncertainty reduction theory. Teori-teori tersebut menjelaskan tentang
persepsi masyarakat, strategi-strategi yang digunakan komunitas
tersebut untuk melakukan negosiasi budaya agar “suara” mereka dapat
didengar oleh masyarakat, dan strategi pengurangan ketidakpastian
yang dilakukan masyarakat Srengseng Sawah. Sehingga komunitas
tersebut dapat terus bertahan dan dapat memberikan contoh kepada
kelompok co-cultures yang lain agar dapat bertahan ditengah
masyarakat dominan.
Data-data yang diperoleh dari informan primer dan informan
sekunder, dideskripsikan secara kualitatif kemudian dianalisis untuk
mengetahui bagaimana perbedaan kebudayaan mempengaruhi dalam
menjalankan strategi-strategi pendekatan yang dilakukan oleh kedua
komunitas Taringbabi dan masyarakat Srengseng Sawah ditengah
stereotype yang berkembang.