BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

44
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Disabilitas memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang. Menurut World Health Organization (1980), disabilitas adalah suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan kondisi impairmen, yakni kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis, maupun kelainan struktur, atau fungsi anatomi. 1 Meski demikian, definisi disabilitas tidak hanya dilihat dari kacamata kesehatan. Disabilitas juga mengandung muatan moral dan konstruksi sosial (Hevey,1993: 426). Sebagaimana pendapat Finkelstein (2002), terdapat interpretasi-interpretasi yang berbeda satu sama lain dalam model sosial mengenai disabilitas. Dalam The Disability Studies Reader (Davis. Ed.,2006: 181), disabilitas dapat dipahami sebagai penanda identitas. Terlepas dari kondisi fisik, disabilitas merupakan identitas yang dapat dipahami secara positif sebagai salah satu bentuk keberagaman yang terdapat dalam masyarakat. Berdasarkan data yang dihimpun International Classification of Functioning for Disability and Health (IFC) pada 2009, terdapat sekitar dua puluh tiga juta jiwa penyandang disabilitas di Indonesia. Rupanya, keberadaan penyandang disabilitas di negeri ini mendapat sorotan dari Majalah Diffa. Majalah Diffa adalah satu-satunya majalah komersial di Indonesia serta majalah komersial pertama di Asia yang mengangkat tema disabilitas (Damanik, 2013). Motto “Setara dalam Keberagaman” merepresentasikan visi Majalah Diffa untuk memberikan edukasi dan inspirasi kepada penyandang disabilitas, sehingga mereka mampu memberdayakan dirinya secara optimal. Lebih lanjut, Majalah Diffa 1 Presentasi berjudul ―Penyandang Cacat Berdasarkan Klasifikasi International Classification of Functioning for Disability and Health (IFC)‖ oleh Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial Republik Indonesia Dr. Marjuki, Msc.

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Disabilitas memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang.

Menurut World Health Organization (1980), disabilitas adalah suatu

ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas atau kegiatan tertentu

sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan kondisi impairmen,

yakni kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis, maupun

kelainan struktur, atau fungsi anatomi.1 Meski demikian, definisi disabilitas

tidak hanya dilihat dari kacamata kesehatan. Disabilitas juga mengandung

muatan moral dan konstruksi sosial (Hevey,1993: 426). Sebagaimana

pendapat Finkelstein (2002), terdapat interpretasi-interpretasi yang berbeda

satu sama lain dalam model sosial mengenai disabilitas. Dalam The Disability

Studies Reader (Davis. Ed.,2006: 181), disabilitas dapat dipahami sebagai

penanda identitas. Terlepas dari kondisi fisik, disabilitas merupakan identitas

yang dapat dipahami secara positif sebagai salah satu bentuk keberagaman

yang terdapat dalam masyarakat. Berdasarkan data yang dihimpun

International Classification of Functioning for Disability and Health (IFC)

pada 2009, terdapat sekitar dua puluh tiga juta jiwa penyandang disabilitas di

Indonesia.

Rupanya, keberadaan penyandang disabilitas di negeri ini mendapat

sorotan dari Majalah Diffa. Majalah Diffa adalah satu-satunya majalah

komersial di Indonesia serta majalah komersial pertama di Asia yang

mengangkat tema disabilitas (Damanik, 2013). Motto “Setara dalam

Keberagaman” merepresentasikan visi Majalah Diffa untuk memberikan

edukasi dan inspirasi kepada penyandang disabilitas, sehingga mereka mampu

memberdayakan dirinya secara optimal. Lebih lanjut, Majalah Diffa

1Presentasi berjudul ―Penyandang Cacat Berdasarkan Klasifikasi International Classification of

Functioning for Disability and Health (IFC)‖ oleh Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian

Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial Republik Indonesia Dr. Marjuki, Msc.

2

menyajikan perspektif positif mengenai dunia disabilitas guna memberikan

persepsi yang benar bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan target hadirin

Majalah Diffa yang turut membidik pihak-pihak bukan penyandang

disabilitas, seperti individu atau anggota keluarga penyandang disabilitas,

organisasi dan industri terkait dunia disabilitas, serta institusi pendidikan yang

berkutat pada isu disabilitas (Damanik, 2013).

Kemunculan Majalah Diffa pun tidak lepas dari minimnya perhatian

media arus utama terhadap isu disabilitas. Sebelum Majalah Diffa hadir, tidak

ada media berskala nasional yang menghadirkan informasi tentang disabilitas,

dari perspektif disabilitas itu sendiri, secara menyeluruh. Padahal, pemenuhan

informasi yang tepat menyoal disabilitas merupakan hal penting dan

dibutuhkan oleh masyarakat guna meluruskan stigma negatif mengenai

penyandang disabilitas yang seringkali dianggap beban (Gunawan, 2010).

Jikapun ada pemberitaan mengenai disabilitas oleh media, hal tersebut hanya

berupa artikel ringan, seperti artikel berjudul ―UGM Rancang Mouse Khusus

Penyandang Disabilitas‖ yang termuat dalam Tempo online tanggal 29 Maret

2013 misalnya. Selain itu, pemberitaan-pemberitaan mengenai isu disabilitas

oleh media sebatas melihat disabilitas dari kerangka pikir masyarakat pada

umumnya. Sebagaimana Cooke dkk. (2000: 6) berpendapat, penyandang

disabilitas terkadang menjadi subjek berita, akan tetapi berita tersebut

cenderung memposisikan disabilitas dari perspektif non-disabilitas. Berbeda

dengan Indonesia, isu disabilitas telah menjadi sorotan tersendiri di luar

negeri. Terbukti dengan sejumlah media bertema disabilitas, seperti suratkabar

AbleNews di Amerika Serikat dan majalah Able Magazine, Posibility

Magazine, juga Ability Magazine di Inggris.

Keunikan Majalah Diffa sebagai pemantik ide baru dalam lingkup media

di Indonesia dibarengi dengan keunikan pada produknya. Majalah Diffa

memproduksi konten untuk „multi-platform‘ sebagai upaya memberikan

platform yang memfasilitasi kondisi khusus khalayak penyandang disabilitas.

Menurut Andriani (2013), aksesibilitas dalam bermedia merupakan isu yang

mencuat di kalangan internal disabilitas. Penyandang disabilitas kerap

3

mengalami kendala dalam mengakses produk media yang tidak responsif

terhadap kekhususan kondisi fisik mereka. Hal ini diperkuat oleh International

Labour Organization (ILO) Indonesia dalam reader kit-nya yang berjudul

Mempromosikan Pekerjaan Layak bagi Semua Orang: Membuka Kesempatan

Pelatihan dan Kerja bagi Penyandang Disabilitas (2001: 10), bahwa United

Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD)

menyatakan aksesibilitas merupakan hal penting dalam memberikan

kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk dapat hidup secara mandiri dan

berpartisipasi penuh dalam kehidupan. Diantaranya aksesibilitas informasi dan

komunikasi, seperti akses terhadap internet, dokumentasi, atau informasi aural

(bahasa isyarat).

Pengertian multi-platform merujuk pada penyebaran konten melalui

beragam outlet seperti cetak, online, maupun audio-visual (Bennet dan

Strange dalam Doyle,2010: 3). Selain menerbitkan produk berupa majalah

cetak, tiap edisi Majalah Diffa turut disertai informasi berformat CD audio

sebagai media penyampaian pesan bagi penyandang disabilitas yang tidak

mampu mengakses informasi dalam bentuk visual. Majalah Diffa juga

menghadirkan versi online untuk memperlebar ruang komunikasi yang

diberikan pada khalayak. Penyebaran konten melalui multi-platform, kerap

melibatkan penciptaan teks ganda untuk meningkatkan kesesuaian konten

dengan cara pengirimannya, yang kerap diklaim menguntungkan khalayak

terkait dengan layanan inovatif, fleksibilitas tinggi, kendali yang dimiliki

khalayak atas bagaimana dan kapan ia mengakses media, serta kesempatan

yang lebih besar untuk berpartisipasi bagi khalayak.

Produksi konten untuk multi-platform memiliki pola yang berbeda dengan

produksi konten pada platform tunggal. Ia melibatkan kerjasama antardivisi

yang bertanggung jawab untuk masing-masing platform guna berbagi dan

mereproduksi konten inti menjadi konten yang disesuaikan dengan kekhasan

tiap platform. Para pekerja dalam media yang mengusung konsep multi-

platform dituntut untuk melakukan banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan,

4

seperti mengubah transkrip wawancara menjadi naskah awal yang kemudian

diolah menjadi konten berformat audio atau video (Erdal, 2011: 2017).

Ciri khas itulah yang membangkitkan ketertarikan penulis untuk meneliti

keseluruhan proses produksi konten oleh Majalah Diffa, yang meliputi tahap

pengembangan, pra-produksi, produksi, serta pasca-produksi (Bignell, 2004:

136) dengan mempertimbangkan keistimewaan sifat multi-platform. Di

samping itu, klaim Majalah Diffa sebagai media disabilitas juga membuat

peneliti tertarik untuk mengetahui lebih detil tentang bagaimana kebutuhan

khalayak pembacanya (konsumen) diidentifikasikan dan kemudian

diaktualisasikan dalam konten berformat cetak, versi online, serta versi CD

audio.

Sejauh penelusuran peneliti terhadap penelitian terdahulu terkait isu

disabilitas, belum terdapat penelitian yang mengorelasikan isu disabilitas

dengan majalah. Penelitian-penelitian sebelumnya sebatas membahas

disabilitas dari segi kesehatan, ilmu psikologi, maupun pembahasan mengenai

sarana-prasarana material untuk mendukung penyandang disabilitas dalam

ilmu teknik. Adapun penelitian tentang disabilitas dan media yang peneliti

jumpai, telah dilakukan oleh R. Williams-Findlay dari University of Leeds2..

Dalam skripsi berjudul ‗Pemanfaatan Koleksi Digital Talking Book di

Perpustakaan Yayasan Mitra Netra, Jakarta‘, Ade Kristiani mengkaji tentang

perkembangan serta pemanfaatan digital talking book atau buku „berbicara‟

dalam wujud CD audio oleh pengunjung perpustakaan. Berbeda dengan

penelitian ini, yang membahas mengenai bagaimana internal media bertema

disabilitas memproduksi konten multi-platform sebagai respons terhadap

kebutuhan khalayaknya, yaitu penyandang disabilitas serta pihak-pihak terkait

isu disabilitas. Diharapkan, penelitian ini dapat menarik minat para penggerak

media di Indonesia untuk memberitakan disabilitas dari perspektif yang tepat

tanpa disertai stigmatisasi sebagaimana yang dilakukan Majalah Diffa sebagai

media yang mengusung tema disabilitas.

2 Penelitian tersebut berobjekkan isi pesan, yakni artikel-artikel dalam suratkabar The Time dan

The Guardian, yang dikomparasikan guna melihat bagaimana representasi disabilitas dalam

pemberitaan keduanya.

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian akan mengeksplorasi

persoalan utama:

Bagaimana manajemen produksi konten multi-platform dilakukan

oleh Majalah Diffa sebagai media disabilitas?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan dari penelitian ialah mengetahui keseluruhan proses

produksi konten oleh Majalah Diffa sebagai majalah yang mengusung tema

disabilitas. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini dapat dispesifikasi sebagai

berikut:

1. Mengetahui pengidentifikasian kebutuhan khalayak, yakni penyandang

disabilitas maupun pihak-pihak terkait isu disabilitas, yang dilakukan oleh

Majalah Diffa.

2. Mengetahui tentang manajemen produksi konten multi-platform berupa

majalah cetak, versi online, serta versi CD audio sebagai respon atas hasil

pengidentifikasian kebutuhan khalayak oleh Majalah Diffa.

3. Mengetahui faktor pendukung serta faktor penghambat dalam manajemen

produksi konten multi-platform yang dialami Majalah Diffa sebagai media

bertema disabilitas.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat akademis

Secara akademis, hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai

referensi dalam mempelajari manajemen produksi konten majalah disabilitas

dan juga manajemen produksi konten untuk multi-platform. Berpijak pada

pengertian bahwa setiap internal media memiliki kekhasan tersendiri, maka

penelitian ini mampu menggambarkan keunikan produksi konten multi-

platform yang dilakukan oleh Majalah Diffa sebagai media bertema

disabilitas. Adapun manfaat-manfaatnya secara lebih terperinci, yaitu:

6

1. Memberikan penjabaran mengenai pengidentifikasian kebutuhan khalayak,

yang dalam kasus ini adalah penyandang disabilitas maupun pihak-pihak

terkait isu disabilitas.

2. Memberikan gambaran mengenai manajemen produksi konten multi-

platform oleh media guna merespons kebutuhan khalayaknya.

3. Mengetahui faktor yang menjadi penghambat dalam proses produksi pesan

secara multi-platform oleh media bertema disabilitas.

2. Manfaat praktis

Secara praktis, hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh Majalah

Diffa, dalam mengevaluasi praktik manajemen produksi konten multi-

platform yang telah dijalankan.

E. Kerangka Penelitian

1. Pengertian dan lingkup manajemen produksi konten media

Manajemen memiliki banyak artian. Menurut Oe Liang Lee dalam

Swastha dan Sukotjo (1993: 82), manajemen adalah ilmu dan seni

merencanakan, mengorganisasi, mengarahkan, mengoordinasi, serta

mengawasi tenaga manusia dengan bantuan alat-alat untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan. Stoner (1982: 9) menyatakan manajemen

merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan

pengendalian upaya anggota organisasi dan menggunakan semua sumber-

daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara

Handoko (1984: 10) berpendapat manajemen dapat didefinisikan sebagai

bekerja dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan, dan

mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi

perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penyusunan

personalia atau kepegawaian (staffing), pengarahan dan kepemimpinan

(leading), dan pengawasan (controlling).

Jika Stoner menganggap manajemen sebagai keseluruhan proses

perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian, maka

7

Lee justru menitikberatkan manajemen sebagai bidang keilmuan sekaligus

seni yang mempelajari cara menerapkan proses-proses tersebut secara

ideal sehingga tujuan organisasi dapat dicapai. Berbeda dengan kedua

definisi sebelumnya, Handoko melihat manajemen sebagai perbuatan,

yakni menerapkan proses-proses terpapar, yang dilakukan oleh segenap

manusia untuk mencapai tujuan organisasinya. Meski demikian, terdapat

persinggungan antara ketiga pendapat ini. Ketiganya menyadari adanya

tahapan proses yang harus dijalani apabila hendak mewujudkan tujuan

organisasi.

Proses-proses bertahap yang memiliki beragam versi dari tiap pakar

tersebut diringkas oleh Fayol dalam Djuroto (2002: 96) menjadi empat,

yang disebut fungsi manajemen, yaitu planning, organizing, acting, dan

controlling yang kemudian disingkat menjadi POAC. Planning diartikan

sebagai penetapan tujuan, penetapan aturan, penyusunan rencana, dan

sebagainya. Organizing meliputi pembentukan bagian-bagian, pembagian

tugas, pengelompokan pegawai, dan lain-lain. Acting terbagi atas

melaksanakan tugas, memproduksi, mengemas produk, menjual produk,

dan selanjutnya. Controlling meliputi melihat pelaksanaan tugas,

menyeleksi produk, mengevaluasi penjualan, dan sebagainya. Beberapa

pakar seperti George (2006: 8) dan Stoner (1982: 9), memasukkan leading

atau directing dalam himpunan fungsi tersebut, yang berarti seorang

manajer harus mengarahkan dan mempengaruhi bawahannya,

menggunakan orang lain untuk melaksanakan suatu tugas tertentu.

Konsep manajemen diterapkan dalam banyak hal, diantaranya pada

kajian media, yang kemudian disebut dengan manajemen media. Menurut

Rahayu dalam Rahmitasari (2010:35), manajemen media mengkaji

sejumlah persoalan menyangkut fungsi manajemen, leadership, produksi

content, marketing, manajemen sumber daya manusia, manajemen

teknologi, budaya organisasi, dan sebagainya. Siregar dalam Rahmitasari

(2010:5) memandang manajemen media sebagai sebuah ilmu yang

mempelajari bagaimana pengelolaan media dengan prinsip-prinsip dan

8

seluruh proses manajemennya dilakukan, baik terhadap media sebagai

industri yang bersifat komersial maupun sosial, media sebagai institusi

komersial, maupun sebagai institusi sosial.

Penelitian ini menggunakan dua pengertian di atas untuk memberikan

batasan konsep. Lebih spesifiknya, penelitian akan berfokus pada

manajemen produksi konten, berikut pengaplikasian fungsi-fungsi

manajemennya, di mana objek penelitian merupakan suatu organisasi

media, yakni Majalah Diffa, yang memiliki kekhususan sifat. Majalah

Diffa merupakan media komersial yang memiliki sifat sosial tinggi. Hal

tersebut dapat dilihat dari genrenya yang mengkhususkan diri pada isu

disabilitas.

Adapun poin-poin fungsi manajemen yang berbeda dari tiap pakar,

telah dikombinasikan oleh Albarran (2002: 21-23) untuk dijadikan

pedoman dalam menerapkan konsep manajemen oleh organisasi media.

Fungsi-fungsi inilah yang dijadikan pijakan dalam penelitian ini, yakni:

a. Planning (perencanaan)

Perencanaan meliputi penetapan tujuan organisasi dan pembagian

tugas kepada anggota, berikut pembagian perlengkapan penunjang

pekerjaan. Pada tahap perencanaan, tujuan jangka pendek dan tujuan

jangka panjang ditetapkan. Baik manajer maupun pekerja memiliki

kesempatan yang sama untuk berbagi ide dalam proses menetapkan

tujuan. Ada tiga kriteria yang harus diperhatikan dalam menetapkan

tujuan, yaitu: (1) pencatatan secara tertulis atas ide-ide tentang tujuan

yang telah digagas, (2) penelaahan tujuan dengan menggunakan

beberapa perspektif, dan (3) pemberian tenggat waktu, kapan tujuan

tersebut harus tercapai. Ketiga kriteria tersebut akan membuat tujuan

yang ditetapkan bersifat konkret serta memiliki masa pengerjaan yang

spesifik.

Peralihan dari media tradisional ke media digital mengharuskan

perusahaan media mencanangkan perencanaan secara strategis.

Keberadaan majalah versi cetak masih memiliki nilai dan kemampuan

9

yang tinggi dalam menarik minat khalayak maupun pengiklan, akan

tetapi keberadaan media baru dalam bentuk platform-platform digital

memaksa perusahaan media untuk berinovasi guna menjangkau

khalayak yang telah bermigrasi ke media digital.

b. Organizing (pengorganisasian)

Fungsi pengorganisasian adalah menentukan tanggung jawab

masing-masing anggota untuk mencapai tujuan organisasi. Tiap

departemen bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing, di mana

perlu dilakukan perencanaan, penetapan anggaran, serta pembagian

kerja tiap anggota dalam departemen tersebut. Meskipun tiap

departemen mengorganisasi tanggung jawabnya sendiri, para manajer

antardepartemen tetap harus berkoordinasi satu sama lain supaya

tercipta lingkungan kerja yang bagus.

c. Motivating (memberikan motivasi)

Memotivasi pekerja untuk mencapai performa kerja yang tinggi

akan membantu suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Di sisi

lain, jika motivasi pekerja rendah, produktivitas akan menurun.

d. Controlling (pengontrolan)

Pengontrolan sebagai salah satu fungsi manajemen meliputi

beberapa hal, antara lain memberikan respons atas pekerjaan yang

telah dilakukan oleh para pekerja maupun para manajer pada

departemen yang berbeda. Respons bersifat positif sekaligus menjadi

motivasi bagi pekerja untuk melakukan pekerjaan secara lebih baik

pada masa mendatang. Memantau sejauh mana upaya pencapaian

tujuan organisasi serta membuat perubahan dalam lingkungan kerja

atas desakan situasi juga tercakup dalam fungsi controlling.

e. Facilitating (memfasilitasi)

Dalam fungsi ini, manajer harus berfungsi sebagai fasilitator yang

memberdayakan para pekerjanya dengan sumber daya yang

dibutuhkan sehingga mereka dapat menyelesaikan tugasnya. Sumber

10

daya yang dimaksud mencakup personil tambahan, uang, atau

peralatan.

f. Communicating (berkomunikasi)

Sebuah fungsi yang mencakupi seluruh area dalam manajemen

adalah komunikasi. Seorang manajer memiliki beberapa cara untuk

berkomunikasi dengan para pekerjanya, baik secara formal dengan

menggunakan media internal organisasi misalnya, ataupun secara

informal.

g. Negotiating (bernegosiasi)

Seorang manajer dalam organisasi media memainkan peran

sebagai negosiator dalam berbagai situasi, terutama saat proses

produksi akan berlangsung. Misal, melakukan negosiasi dengan

vendor peralatan teknis produksi guna mencapai kesepakatan harga

sewa.

Selanjutnya, membahas manajemen produksi konten media secara

mendalam. Menurut Priest dalam Albarran (2006: 40), manajemen

produksi adalah semua aktivitas atau proses untuk mewujudkan semua

produk sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen produksi

meliputi:

a. Merancang produk, di mana ditetapkan bentuk produk yang akan

dibuat atau dihasilkan, sehingga apa yang akan diproduksi atau

dihasilkan sesuai degan rencana yang telah ditetapkan.

b. Merancang proses pembuatan atau produksi (routing), semua aktivitas

yang diperlukan untuk menghasilkan produk, telah ditetapkan terlebih

dahulu sehingga semua aktivitas yang akan dilakukan dapat dihitung,

baik waktu yang diperlukan serta biayanya.

c. Merencanakan material, menentukan atau menetapkan bahan baku

yang diperlukan untuk dapat menghasilkan produk yang telah

ditetapkan.

d. Menjadwalkan proses produksi, menetapkan dan mengatur waktu yang

diperlukan bagi proses produksi.

11

e. Membagi pekerjaan dalam melaksanakan pembuatan atau produksi.

Semua pekerjaan dibagikan sesuai dengan kemampuan masing-masing

pekerja.

f. Menyerahkan pekerjaan atau dispatching, pekerjaan yang telah

ditetapkan diserahkan kepada yang memiliki kemampuan atau

bidangnya.

g. Melacak kemajuan, setiap waktu mesti diketahui kemajuan jalannya

gerak produksi, apakah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

h. Merevisi rencana, apabila ada kekeliruan atau rencana tidak dapat

diwujudkan maka segera diadakan perbaikan terhadap rencana yang

telah ditetapkan itu.

Peran manajemen dalam keseluruhan proses produksi konten

melingkupi beberapa tingkatan. Dalam konteks produksi konten pada

media elektronik, Van Tassel dan Poe-Howfield (2010: 180) memaparkan

tingkat-tingkat tersebut melalui tabel berikut:

12

Tabel 1. 1 Peran manajemen dalam tahap produksi

Management Roles in Each Production Stage

Production Stage Manager Activities

Development Planning, budgeting, green-lighting, shaping

through initial input and notes on scripts as

they are written and rewritten

Preproduction Budgeting, approving spending, and signing

contracts

Production Budgeting, shaping through notes on dailies

and approval process

Postproduction Budgeting, shaping through audience/ user

research and approval process

Predistribution Budgeting, planning, coordinating with

marketing efforts

Sumber: Van Tassel dan Poe-Howfield (2010: 180)

Meski tabel tersebut khusus menjelaskan tentang manajemen produksi

konten media elektronik, namun tahap-tahap yang dipaparkan mampu

menerangkan peran manajemen dalam proses produksi konten media

secara general. Tahap pengembangan (development) meliputi riset serta

pencarian ide oleh para pekerja kreatif. Semua ide ataupun gagasan yang

telah terkumpul, kemudian dibahas dalam rapat produksi atau rapat redaksi

untuk diputuskan ide terpilih yang akan dijadikan konten media.

Selanjutnya, dibuat rencana anggaran untuk pelaksanaan proses produksi.

Penetapan aturan yang akan diaplikasikan selama berlangsungnya proses

produksi serta penetapan tujuan yang ingin dicapai dari pengadaan proses

produksi juga terjadi dalam tahap pengembangan (development). Tahap

pra-produksi (prepoduction) merupakan perpanjangan dari tahap

pengembangan (development), yakni mengevaluasi rencana pengeluaran

supaya tidak melebihi batas anggaran yang diperkirakan kemudian

13

menyetujuinya, mempersiapkan hal-hal teknis yang dibutuhkan dalam

proses produksi seperti pembuatan naskah wawancara ataupun

menghubungi narasumber.

Tahap produksi (production) adalah tahap mewujudkan perencanaan,

yang telah diputuskan dalam tahap sebelumnya, melalui kegiatan teknis,

seperti pencarian informasi ke lapangan lalu dituangkan dalam bentuk

visual (naskah tertulis ataupun gambar) serta audio (rekaman). Dalam

tahap ini, para pekerja kreatif di bidang produksi melaksanakan tugasnya

masing-masing dan bersinergi satu sama lain untuk menghasilkan konten

dengan kualitas optimal. Rencana anggaran juga diaplikasikan dalam

pembiayaan kegiatan produksi. Tahap produksi juga mencakup proses

penyuntingan konten yang telah dibuat dalam tahap produksi, seperti

penyuntingan naskah tulisan dalam produksi konten media cetak ataupun

penyuntingan video dan/ atau audio dalam produksi konten media

elektronik. Pembuatan tataletak atau desain grafis sebagai penentu bentuk

fisik konten media turut dilaksanakan dalam tahap ini

Tahap pasca-produksi (postproduction) merupakan tahap evaluasi,

yakni pengoreksian kinerja serta mendata kendala-kendala yang dialami

selama proses produksi sehingga proses produksi pada periode selanjutnya

dapat lebih baik lagi. Tahap pra-distribusi kerap digabung dengan tahap

pasca-produksi. Tahap pra-distribusi penting bagi produksi konten media

elektronik seperti film, televisi, media online, ataupun radio yang

membutuhkan sarana teknologi yang kompleks untuk pendistribusian

kontennya, sedangkan untuk produksi konten media cetak, tahap ini

meliputi pembagian lokasi distribusi yang telah direncanakan sebelumnya

serta menyelaraskan kerja tim produksi dengan tim marketing yang

bertugas memasarkan produk fisik media.

14

2. Kriteria kualitas konten media

Terdapat dua komponen dalam suatu produk media, yakni komponen

non-material berupa konten serta komponen material berupa wujud fisik

untuk menjangkau khalayak. Menurut Harley yang dikutip oleh Rahayu

dalam Rahmitasari (2010: 43), media content bukan sebagai barang

(“good”) dan konsumsi bukanlah “what media audience do”. Hartley

melihat media content sebagai cultural atau symbolic goods, karena

produk media tidak hanya berupa produk fisik (kotak televisi, keping CD,

layar bioskop dan sebagainya) namun justru yang lebih pokok adalah

content, yang berada atau menyertai bentuk fisik tersebut, seperti musik,

screen narrative, printed story, dan sebagainya. Pendapat Hartley

menggambarkan bahwa produk utama dari organisasi media adalah konten

yang termuat pada bentuk fisik media.

Keistimewaan dari produk media seperti yang terpapar di atas,

menjadikan kualitas produknya sulit untuk dinilai. Masih mengutip

Rahayu dalam Rahmitasari (2010), produk media menuntut kreativitas dan

keahlian spesifik, harus memenuhi selera konsumen yang bervariasi, dan

juga mematuhi peraturan perundangan yang berlaku. Penjabaran tersebut

dapat digunakan dalam melihat sejauh mana organisasi media

mengerahkan kemampuan dan kreativitasnya untuk memproduksi konten

yang memenuhi selera konsumen serta mematuhi regulasi. Pun, sejauh

mana selera konsumen terpenuhi dan sejauh mana peraturan dipatuhi.

Reca dalam Albarran (2006: 189) mengemukakan beberapa elemen

untuk menilai kualitas konten media, yaitu (1) fitur kualitas objektif

(berdasarkan definisi pakar), (2) fitur kualitas subjektif (berdasarkan

tingkat kepuasan khalayak atas terpenuhinya kebutuhan), dan (3) kualitas

sosial (kemampuan produk media dalam memenuhi perannya di bidang

budaya, politik, serta sosial sebagai wujud demokrasi).

McQuail (1992: 11-12) mengemukakan bahwa sebuah organisasi

media harus memenuhi nilai-nilai tertentu, seperti konsistensi, objektivitas,

maupun reliabilitas, meskipun pada kenyataannya banyak organisasi

15

media memproduksi konten yang bersifat subjektif dan condong pada

preferensi tertentu. Berikut pernyataannya:

―It has to adhere to the canons of social scientific enquiry,

especially consistency, objectivity, and reliability. This

commitment to objectivity has to be maintained, despite the fact

that most of the standards of performance which are applied to

the mass media in policy debates, within the framework sketched,

are normative, prescriptive, and, in the end, subjective- a matter

of preference, perspective, and value judgement.‖

Pemaparan McQuail di atas membahas mengenai performa suatu

organisasi media, di mana tercermin melalui konten yang diproduksinya.

Kualitas konten dinilai dari sejauh mana konten mampu konsisten,

objektif, serta reliabel. Lebih lanjut, nilai-nilai yang disebutkan McQuail

mengerucut pada standar nilai berita. Siregar (1992: 96) dalam Rahayu

(1998: 12) menjelaskan standar nilai berita mencakup timeliness (aktual),

proximity (dekat), prominence (terkenal), impact (berpengaruh),

magnitude (besar), conflict (konflik), oddity (aneh), dan pseodeovent.

Hiebert, Ungurait dan Bohn (1991: 411) dalam Rahayu (1998: 12), turut

menambahkan bahwa berita pun memiliki kualitas yang ditentukan oleh

objectivity, accuracy, balance dan fairness.

Kaidah-kaidah yang dipaparkan para pakar tersebut diaplikasikan

dalam menilai kualitas artikel berformat berita. Berita adalah hasil

rekonstruksi tertulis dari realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan

(Abrar,2005: 2). Santana K (2005: 18-20), menjelaskan dalam menulis

berita, ada sepuluh elemen nilai berita yang harus diperhatikan, yakni:

i. Immediacy (timeliness), kesegaran peristiwa yang dilaporkan.

ii. Proximity, kedekatan peristiwa dengan pembaca dalam kehidupan

mereka.

iii. Consequence, mengubah kehidupan pembaca atau memiliki

konsekuensi.

iv. Conflict, mengandung konflik.

v. Oddity, peristiwa yang tidak biasa terjadi.

16

vi. Sex, mengandung unsur seks.

vii. Emotion (human interest), mengandung komedi atau tragedi.

viii. Prominence, mengandung nama-nama (orang) terkenal.

ix. Suspense, sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

x. Progress, perkembangan peristiwa yang ditunggu masyarakat.

Aktualitas (timeliness) adalah salah satu nilai utama dalam berita,

sedangkan konten majalah memiliki kekhususan sifat yang

membedakannya dari suratkabar, yakni tahan lama (timeless). Hal ini

dikarenakan produk fisik majalah yang tidak sekadar sebagai bacaan tetapi

juga benda koleksi. Kekhususan sifat majalah yang tidak mengejar

aktualitas dikukuhkan oleh Schement (2002: 568):

―At most basic level, a magazine provides information that may

be more in depth but less timely than that of, for example, a

neswpaper.‖

Meskipun demikian, tetap terdapat majalah yang bergenre berita atau

biasa disebut dengan news magazine. Lebih spesifik, menilik Majalah

Diffa yang khusus memproduksi konten mengenai isu disabilitas, maka

konten Majalah Diffa lebih cocok dikategorikan sebagai „informasi‟.

Menurut Davis (1974: 32), informasi ialah data yang telah diolah menjadi

sebuah bentuk yang berguna bagi penerimanya dan nyata, berupa nilai

yang dapat dipahami di dalam keputusan sekarang maupun masa depan.

Davis menerangkan bahwa informasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

i. Benar atau salah. Dalam hal ini, informasi berhubungan dengan

kebenaran terhadap kenyataan. Jika penerima informasi yang salah

mempercayainya, efeknya seperti kalau informasi itu benar.

ii. Baru. Informasi benar-benar baru bagi si penerima.

iii. Tambahan. Informasi dapat memperbarui atau memberikan perubahan

terhadap informasi yang telah ada.

17

iv. Korektif. Informasi dapat digunakan untuk melakukan koreksi

terhadap informasi sebelumnya yang salah atau kurang benar.

v. Penegas. Informasi dapat mempertegas informasi yang telah ada

sehingga keyakinan terhadap informasi semakin meningkat.

Membahas lebih lanjut tentang fitur kualitas objektif, peran pakar

untuk mendefinisikan kualitas konten media juga dapat dilakukan sesaat

setelah mereka mengonsumsi media, bagaimana penilaian dilakukan

dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang mereka yakini, sehingga hal

tersebut dapat mempengaruhi ekspektasi maupun pengalaman khalayak

(Eliashberg dan Sugan dalam Albarran,2006: 190).Tidak ada standar

umum mengenai nilai-nilai, yang dianut oleh seluruh pakar dalam menilai

kualitas konten media. Tiap pakar memiliki pemahaman masing-masing,

meski demikian, unsur-unsur normatif terkait kinerja media dari perspektif

teoritis dapat digunakan oleh pakar untuk menilai bagaimana upaya

organisasi media dalam mencapai tujuannya, misal dilihat dari seberapa

idealnya penerapankonsep manajemen dalam proses produksi sehingga

menghasilkan konten berkualitas baik.

Tingkat pemenuhan informasi yang dibutuhkan khalayak oleh media

menjadikannya sebagai salah satu kriteria penentu kualitas konten secara

subjektif. Kualitas konten ditetapkan melalui standar dalam internal

organisasi media, yang biasa dikenal dengan code of conduct, sehingga

organisasi medialah yang memperkirakan informasi-informasi yang

dibutuhkan oleh khalayak, sesuai dengan segmentasi yang telah

ditetapkan. Selanjutnya, sejauh mana tercukupinya kebutuhan khalayak

atas informasi dapat diketahui melalui penelitian terhadap kepuasan

khalayak.

Adapun penilaian terhadap kualitas konten media dalam lingkup sosial

dapat dilihat dari seberapa jauh media mampu menjalankan fungsi-fungsi

dasar melalui kontennya. Fungsi-fungsi dasar tersebut merupakan

idealisme yang melekat pada media. Effendy (2005: 149) menjelaskan

18

keempat fungsi dasar media, yang dapat diterapkan pula dalam menilai

majalah sebagai salah satu jenis media, yakni:

a. Fungsi menyiarkan informasi

Majalah berfungsi melayani kebutuhan khalayak akan informasi,

terlebih pada era global sekarang ini, di mana informasi sudah menjadi

kebutuhan sehari-hari. Konten-konten yang tersaji di dalamnya harus

bersifat informatif.

b. Fungsi mendidik

Selain berfungsi menyiarkan informasi, majalah sebagai salah satu

subjenis media juga memiliki fungsi mendidik. Dalam memainkan

fungsinya ini, ada majalah yang khusus menyajikan ruang ilmu

pengetahuan untuk menambah pengetahuan para pembacanya, namun

banyak pula majalah yang hanya memasukkannya secara implisit pada

berita-berita, artikel, atau tajuk rencana.

c. Fungsi menghibur

Secara umum, majalah memang mempunyai fungsi menghibur.

Terlebih bagi khalayak yang tingkat apresiasinya terhadap informasi

masih relatif rendah, majalah hanya semata-mata disikapi sebagai

media hiburan.

d. Fungsi mempengaruhi

Majalah mempunyai fungsi mempengaruhi. Melalui konten-konten

yang ada di dalamnya, majalah dapat mempersuasi khalayak untuk

berpikir sesuai dengan apa yang diinginkan.

Melengkapi kriteria-kriteria penilaian kualitas yang diajukan Reca,

Napoli dalam Albarran (2006: 275) menegaskan:

―Media firms are, of course, more than econoic identities (Cook,

1998; Napoli, 1997; Sparrow, 1999). Media firms also have the

ability – and, in some contexts, the obligation – to have a

profound impact on the political and cultural studies, opinions,

and behaviors of the audiences who consume their product

(Croteau & Hoynes, 2001).‖

19

Organisasi media merupakan suatu entitas ekonomi sekaligus institusi

yang memiliki kemampuan, juga kewajiban dalam beberapa konteks,

dalam memberikan pengaruh terhadap situasi politik, budaya, serta opini

maupun perilaku khalayak. Secara ekonomis, kualitas atas konten dapat

dinilai dari kemampuannya dalam mendatangkan keuntungan bagi

organisasi media yang memproduksinya. Sedangkan berdasarkan fungsi

normatif media, kualitas konten ditentukan dari kemampuannya dalam

memenuhi kepentingan khalayak atas informasi, yang pada akhirnya dapat

mempengaruhi perilaku khalayak secara positif.

Napoli dalam Albarran (2006: 285) menambahkan:

―Marketplace pressures also may compel media managers to

neglect certain segments of the media audience – particularly

those segments that advertisers consider less valuable (Napoli,

2002). For instance, research has suggested that advertisers‘

higher valuations of wealthier readers led newspapers to skew

editorial content in ways that attract high-income readers and

intentionally repel lower-income readers‖ (Baker, 1994).

Napoli menggambarkan kecenderungan yang dilakukan media

komersial dalam menghadapi tekanan pasar, di mana pengelola media

mengabaikan segmen tertentu yang dianggap kurang bernilai bagi

pengiklan. Selanjutnya, Gandy, Rodriguez, Wildman, dan Karamanis

dalam Albarran (2010: 285) menyatakan bahwa tekanan untuk memenuhi

permintaan pengiklan atas segmen tertentu memaksa organisasi media

untuk mengabaikan kebutuhan dan kepentingan segmen khalayak

minoritas. Berikut kutipannya:

―A growing body of analysis of managerial decision making

suggests that the pressure to satisfy advertiser demand for

particular audience segments compels media firms to neglect the

needs and interests of minority audience segments.‖

20

3. Produksi konten multi-platform

Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak organisasi media yang

merespons pesatnya pertumbuhan internet serta kemunculan fenomena

konvergensi media dengan cara melakukan produksi dan pendistribusian

konten untuk multi-platform. Menurut Bennet dan Strange dalam Doyle

(2010: 3) multi-platform merupakan penyebaran konten melalui beragam

outlet, yang kadang kala, melibatkan penciptaan beberapa teks untuk

meningkatkan kesesuaian konten dalam berbagai modus pengiriman,

meskipun pada prakteknya tidak selalu demikian. Definisi tersebut

menyatakan bahwa produksi konten multi-platform melibatkan sejumlah

platform media, baik medium tradisional, seperti cetak, maupun platform

digital berupa online ataupun CD audio, di mana penciptaan masing-

masing kontennya diselaraskan dengan jenis platform pendistribusian.

Rupanya, pemaparan Bennet dan Strange senada dengan argumen

sejumlah ahli lainnya, antara lain Anderson, Caldwell, Johnson, dan

Roscoe dalam Champion dkk. (2012: 1):

“While adoption of a multi-platform approach is widespread

amongst media firms, what this actually means in terms of the

sort of content being supplied, the combination of delivery

platforms being used, the sorts of opportunities being pursued

and the level of investment and experimentation involved varies

widely.‖

Dalam petikan di atas, pengadopsian pendekatan multi-platform yang

dilakukan oleh organisasi media berupa penyediaan konten melalui

kombinasi platform-platform pendistribusian yang digunakan, disertai

tingkat investasi dan bervariasinya tingkat eksperimen terhadap

pengaplikasian pendekatan tersebut antara satu organisasi media dengan

organisasi media yang lain.

Sementara dalam penelitiannya berjudul Documentary in Multi-

platform Context, Sørensen (2012: 35) menjabarkan definisi multi-

platform dengan lebih terperinci, yakni:

“The terms ‗crossplatform‘ and ‗multiplatform‘ programmes and

programming are used interchangeably by academics and

21

industry professionals and refer to the migration of different

media content across media platforms, digital (TV radio,

Internet, iPad, computer, mobile phone) as well as non-digital

(e.g. printed newspapers, books, analogue TV, radio, computer).

In the interviews conducted for this thesis and the material I have

relied on for this thesis, it has very much been the case that

‗multiplatform‘, ‗crossplatform‘,‗360‘ and ‗transmedia‘ have

been used almost as synonyms.‖

Sørensen menjelaskan kedudukan istilah cross-platform dan multi-

platform, yang sering digunakan dalam membahas pembuatan konten di

beragam medium pada waktu bersamaan. Kedua istilah tersebut kerap

menimbulkan miskonsepsi bagi pembelajar di ranah Ilmu Komunikasi.

Ternyata, keduanya merupakan sinonim, di mana pengertiannya merujuk

pada perpindahan konten media yang berbeda di berbagai platform media,

baik media digital seperti TV, radio, internet, dan lain sebagainya maupun

media non-digital semisal suratkabar cetak ataupun buku. Pernyataan

Sørensen bahwa cross-platform memiliki artian yang serupa dengan multi-

platform.―I will use cross media production to refer to production of

content for more than one media platform within the same producer or

organization,‖ sebagaimana dikukuhkan oleh Erdal (2007: 52).

Penelitian ini sepakat dengan definisi-definisi yang dikemukakan oleh

para pakar tersebut. Namun untuk memperjelas konsep yang akan menjadi

pedoman riset, penelitian menggunakan term „multi-platform‘ dalam

melakukan studi kasus terhadap manajemen produksi konten yang

dilakukan oleh Majalah Diffa, di mana konten dibuat untuk tiga platform

sekaligus, yakni cetak, online, dan CD audio. Kata „multi‘ dalam „multi-

platform‟ menekankan adanya penggunaan lebih dari satu platform,

sehingga dinilai tepat untuk menggambarkan apa yang hendak diteliti.

Setelah menjabarkan pengertian multi-platform, penting pula untuk

memberikan penjelasan singkat atasistilah „platform media‟. Berikut

Petersen dalam Erdal (2008: 22) mendeskripsikan platform media,

―...media platforms in terms of the spatial and temporal dimensions of a

medium and its use defined by the interface.‖

22

Dalam pemahaman ini, suatu medium terdiri dari sebuah platform

yang penggunaannya terkait dengan dimensi ruang dan waktu serta

ditentukan oleh antarmuka. Kedudukan antarmuka menjadi sesuatu yang

penting sebab ketika media mengomunikasikan kontennya, ia akan

melakukannya melalui platform-platform media yang dimilikinya.

Berbeda dengan Petersen yang menjelaskan platform media dengan

memasukkan unsur informasi teknologi, Lüders (2007: 94) menerangkan

bahwa penggunaan idiom platform media berangkat dari „media forms‟,

istilah yang ia sarankan untuk menggantikan sebutan „media product‘.

Penggantian ini digunakan untuk menyesuaikan sifat dari media digital

yang dinamis. Sebutan media product identik dengan produk media

tradisional semata, seperti cetak. Sedangkan media forms memiliki artian

lebih luas yang mencakup produk-produk media dalam wujud digital.

Bahasan tentang produksi multi-platform erat kaitannya dengan

konvergensi. Beberapa ahli telah menjabarkan tentang konvergensi, salah

satunya Jenkins (2006):

―By convergence, I mean the flow of content across multiple

media platforms, the cooperation between multiple media

industries, and the migratory behavior of media audiences who

would go almost anywhere in search of the kinds of

entertainment experiences they wanted... In the world of media

convergence, every important story gets told, every brand gets

sold, every consumer gets courted across multiple media

platforms. Right now, convergence culture is getting defined top-

down by decisions being made in corporate boardrooms and

bottom-up by decisions made in teenagers‘ bedrooms. It is

shaped by the desires of media conglomerates to expand their

empires across multiple platforms and by the desires of

consumers to have the media they want where they want it, when

they want it, and in the format they want.‖

Jenkins menggambarkan konvergensi sebagai aliran konten di berbagai

platform media, kerja sama antara beberapa industri media, dan perilaku

khalayak yang dapat mengakses jenis informasi sesuai keinginan mereka

secara bebas berdasarkan format yang mereka kehendaki tanpa terikat

ruang dan waktu. Konvergensi turut menyentuh ranah ekonomi, di mana

23

organisasi media memperluas platform penyebaran kontennya guna

mendapatkan keuntungan berlipat. Pengertian senada juga diungkapkan

Quandt dan Singer dalam Wahl-Jorgensen dan Hanitzsch (2009: 130-131),

meskipun mereka tidak mengaitkan konvergensi dengan ekonomi media,

melainkan sebatas pengadaan konten pada lebih dari satu platform dengan

memanfaatkan teknologi:

―The buzzword ‗convergence‘ has become a synonym for rapid

developments in media technology, markets, production, content,

and reception. The term broadly refers to the blending or

merging of formerly distinct media technology, mainly based on

digitization processes, though the issues extend beyond those

raised by the technology itself... Convergence approach has been

to produce parallel content for two media platform, of which one

is digital. ‖

Sekilas deskripsi tentang konvergensi media dinilai perlu dituangkan

dalam pembahasan pada penelitian ini, guna memberikan batasan konsep.

Penelitian hanya berpusat pada produksi konten di tiga jenis platform,

yakni cetak, online, serta CD audio, sehingga penggunaan istilah multi-

platform telah mampu menggambarkan fokus penelitian. Sementara term

konvergensi media memiliki artian lebih luas. Produksi konten secara

multi-platform menjadi salah satu ciri dari konvergensi media, namun

tidak selalu organisasi media yang melakukan produksi konten secara

multi-platform menerapkan keseluruhan nilai-nilai konvergensi.

Kekhasan dalam produksi konten untuk multi-platform, salah satunya,

terletak pada pemanfaatan teknologi digital. Digitalisasi dalam produksi

konten multi-platform memiliki nilai tambah, sebagaimana diterangkan

Van Tassel dan Poe-Howfield (2010: 44):

“When content is in digital form, it is easy to transport, copy, and

revise. Transferring the material over computer networks

facilitates the transfer of work between team members,

departments, vendors, and partner.‖

Menurut pernyataan tersebut, konten yang dibuat dalam format digital

mudah untuk dipindahkan, disalin, serta direvisi. Proses produksi pun

24

makin mudah dan ringkas karena konten dapat dikirimkan melalui

jaringan komputer oleh satu pekerja dengan pekerja lain dalam satu tim

ataupun pengiriman konten antardepartemen, pengiriman konten kepada

pihak vendor, maupun partner kerja lainnya. Kemudahan yang didapat

dalam penggunaan teknologi digital ini juga disinggung oleh Doyle (2010:

4),―the shared use of digital technologies in production, content

management, and distribution has made reversioning and reuse of content

easier than before.‖

Keistimewaan lain dari produksi konten multi-platform terletak pada

saat berlangsungnya pembuatan konten oleh para pekerja kreatif,

sebagaimana yang diterangkan Quandt dan Singer dalam Wahl-Jorgensen

dan Hanitzsch (2009: 131-132):

―With this cross-platform content production, journalists are

moving away from creating stories for a single medium; instead,

they are gathering information in a content pool and

disseminating it in a variety of formats, includingnot only the

Intern et but, increasingly, portable devices such as cellular

phones and PDAs.‖

Menurut pendapat Quandt dan Singer, yang secara khusus membahas

produksi konten berita untuk multi-platform, para jurnalis bekerja untuk

mencari informasi, mengubah informasi menjadi konten lalu

mengumpulkannya dalam suatu wadah penyimpanan. Kemudian konten-

konten yang telah dihimpun tersebut dibagi dalam berbagai format.

Pemaparan ini diperjelas dengan bagan berikut:

25

Bagan 1. 1 Alur Produksi Konten Multi-platform

Sumber: Quandt dan Singer dalam Wahl-Jorgensen dan Hanitzsch (2009: 132)

Erdal selaku pengampu di bidang media dan jurnalisme University of

Oslo yang menitikkan kajiannya pada riset produksi konten cross-

platform, menjabarkan empat jenis alur pembuatan konten untuk multi-

platform dalam perspektif organisasi media dan praktik jurnalistik, yakni:

1. Single-reporter multi-platform journalism

Kategori ini melibatkan seorang reporter yang memproduksi

konten yang sama untuk lebih dari satu platform sekaligus. Konten

antar-platform hampir identik, yakni meliputi unsur verbal serta

penggunaan kata pada konten tiap platform.

2. Hard-drive multi-platform journalism

Kategori ini menggambarkan reporter tunggal menciptakan versi

baru dari konten yang sudah ada dari platform yang berbeda.

26

3. Intra-platform coordination

Praktik jurnalisme di mana reporter atau editor antar-platform

berbagi informasi dan mengoordinasikan upaya-upaya mereka dalam

meliput berita tertentu. Misal, reporter versi cetak mempublikasikan

suatu berita pada pagi hari, reporter versi radio akan berkoordinasi

dengan reporter versi cetak guna mendapatkan naskah berita versi

cetak yang kemudian diubah dalam format naskah audio untuk

disiarkan pada berita radio pada siang harinya.

4. Intra-platform production

Jenis ini merupakan yang paling kompleks diantara ketiga jenis

sebelumnya, di mana para reporter dari tiap platform bekerja sama

secara ekstensif dalam meliput berita tertentu, lalu berbagi bahan baku

konten (Erdal, 2011: 219-220).

Terdapatnya alur pembagian kerja dalam pembuatan konten multi-

platform diperkuat oleh pernyataan Quinn, Filak, Dupagne, dan Garrison

dalam Verweij (2009: 76):

―Quinn refers to a shared desk where the multi-media editors

assess each news event on its merits and assign the most

appropriate staff (Quinn and Filak, 2005: 32). Sometimes called

a ‗super desk‘, it consist of a circular multi-media assignment

desk where editors of the various platforms work side by side

(Dupagne and Garrison, 2006: 242). The next key factor is the

technology. Quinn mentions a central database, from which all

relevant materials can be extracted to tell the story in the most

appropriate way (Quinn and Filak, 2005:32). This implies there

must be an editorial or workflow system that feeds the database

and which must be able to handle print, audio, video and

photographs. Working in such a new journalistic production

environment demands a spesific attitude or mindset of the

journalists. To cultivate cooperation and resource sharing in

news-gathering operations is, according to Dupagne and

Garrison (2006: 242), a central element.‖

Menurut para pakar tersebut, para editor masing-masing platform

merumuskan berita apa yang penting diangkat dan menetapkan pembagian

tugas untuk para reporternya. Diperlukan database pusat, sebagaimana

istilah „content pool‘ yang dipakai oleh Quandt dan Singer, yang berfungsi

27

sebagai wadah pengumpul bahan baku konten yang relevan untuk

diekstraksi dalam platform-platform yang berbeda. Dibutuhkan adanya

kerja sama yang baik oleh anggota internal media sebagai sebuah

kesatuan, terlepas dari perbedaan jenis platform yang mereka tangani.

Dengan melakukan produksi konten secara multi-platform, organisasi

media dapat mengoptimalkan kreativitas sumber daya manusianya,

organisasi media dapat memanipulasi suatu konten dari sumber yang sama

dengan tampilan yang berbeda, misal dari perbedaan tataletak antara versi

cetak dengan online, tanpa perlu mengeluarkan biaya produksi tambahan

yang cukup besar. Organisasi media juga tidak perlu melakukan produksi

masing-masing platform dari awal proses, melainkan hanya pengemasan

ulang atas konten yang disesuaikan dengan jenis platform-nya, sehingga

keuntungan yang didapat pun akan berlipat. Argumen ini didukung oleh

pernyataan Van Tassel dan Poe-Howfield (2010: 177):

―Managers can use existing content that has already been

produced to increase revenues, without adding greatly to their

production budgets. Today‘s commercial market encourages

them to consider this strategy, because content intended for one

media platform is routinely formatted, packaged, and marketed

for one or more additional media platforms. The very nature of

digital content lends itself to shape- shifting- reuse, repackaging,

recreation- because it is easily copied, transcoded into other

digital formats, and redesigned into completely different content

types. This ease of re-fashioning content allows producers to

package existing content into other profitable products without

starting from scratch.‖

Kung dkk. (2008: 133) turut berpendapat demikian, bahwa produksi

konten untuk multi-platform menggarisbawahi karakteristik konten media

sebagai barang publik, di mana dengan biaya marjinal relatif rendah dapat

memungkinkan terjadinya eksploitasi secara komersil terhadap aset

intelektualitas yang dimiliki media melalui saluran-saluran pendistribusian

tambahan. Doyle (2013: 31) memiliki pemaparan yang mendukung dua

pendapat di atas, yakni:

28

―In theory, the impetus to adopt a multi-platform approach

towards supplying content seems to make a great deal of

economic sense, because it capitalizes on the public good

characteristics of media content. It allows fuller and more

thorough exploitation of intellectual property assets across

additional outlets at what may be a relatively low marginal

cost.‖

Selain kelebihan dari produksi konten untuk multi-platform terkait

nilai ekonomis yang menguntungkan organisasi media, penerapan

produksi konten untuk multi-platform memunculkan suatu isu negatif

terhadap lingkup internal media maupun konten yang diproduksi. Menurut

Anderson dan Bula dalam Huang dkk. (2006: 87), pengaplikasian konsep

multi-platform dalam produksi konten yang dilakukan organisasi media

menjadikan para jurnalis memiliki beban berlebih karena harus

memproses informasi-informasi yang lebih banyak tanpa adanya

kompensasi secara finansial. Dari segi konten, meskipun jumlah yang

disajikan pada khalayak bertambah begitu pula dengan kesempatan untuk

mengaksesnya, namun ada kecenderungan bahwa kualitas satu platform

akan lebih unggul daripada lainnya, dikarenakan penekanan biaya

produksi sehingga hanya platform paling diminati khalayak sajalah yang

mendapatkan perhatian lebih dari organisasi media. Sebagaimana

diterangkan oleh Johnson dalam Murray (2005: 431):

―However, whereas volumes of output have grown and

opporunities to access it have multiplied, wether this has brought

about an improved experience for audiences is open to question.

Because the construction of attractive multi-platform content

propositions can be expensive and because some forms of media

content are inherently much better suited towards diversified

distribution than others, the widespread adoption of a multi-

platform approach is inevitably contributing to the ascendance

of some forms of content at the expense of others.‖

Terdapat banyak alasan yang melatarbelakangi organisasi media

memilih produksi konten untuk multi-platform. Keadaan di mana khalayak

tengah dihadapkan pada beragam pilihan dalam mengakses informasi,

membuat organisasi media diharuskan untuk menciptakan lebih banyak

konten baru dengan format pengiriman yang lebih banyak pula (Bell,

29

2009: 4). Sejumlah organisasi media melakukan transisi menuju multi-

platform sebagai strategi defensifnya dalam mempertahankan posisi

pasarnya (Ofcom3, 2008: 118, 160). Kedua pendapat ini menyatakan

bahwa migrasi yang dilakukan oleh organisasi media menuju produksi

konten untuk multi-platform merupakan tindakan yang wajib dilakukan

sebagai wujud mempertahankan eksistensinya di tengah pesatnya

perkembangan teknologi dan internet yang menghadirkan semakin banyak

cara bagi khalayak untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan.

Sedangkan Doyle (2010: 7) meyakini, daya tarik utama penerapan multi-

platform ialah kesempatan untuk terlibat dengan khalayak secara lebih

komprehensif dan efektif. Dalam hal ini, organisasi media memiliki

kemauan untuk berinteraksi dengan khalayak, baik untuk mempertahankan

relasinya dengan para pelanggan maupun untuk mendapatkan umpan balik

dari khalayak atas apa yang telah dikerjakan organisasi media tersebut.

Saluran digital dalam multi-platform yang memungkinkan adanya

interaksi dua arah dengan khalayak membuat kebutuhan penonton dapat

lebih dipahami lalu dipenuhi. Tantangan dalam produksi konten multi-

platform, salah satunya, adalah membangun relevansi antara media dengan

khalayak maupun pengiklan melalui sumber daya yang tepat. Oleh karena

itu, guna meminimalisasi hambatan yang muncul akibat tidak dapat

menjawab tantangan yang ada, dibutuhkan manajemen dalam proses

produksi konten untuk multi-platform.

Konsep manajemen yang diterapkan dalam proses produksi konten

untuk multi-platform meliputi tiga bagian pengertian, yakni manajemen

sebagai suatu proses pelaksanaan tujuan tertentu, manajemen sebagai

kreativitas orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen, serta

tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan penilaian

(Djuroto, 2004: 96).

3 Ofcom adalah sebuah regulator independen sekaligus ‗competition authority‘ yang bergerak pada

industri komunikasi di Inggris. Untuk mengakses informasi dari Ofcom, berikut alamat webnya:

www.ofcom.org.uk.

30

4. Kebutuhan khalayak pengguna media

Pada intensitas tertentu, kebutuhan memunculkan motivasi pada diri

manusia untuk memenuhinya. Saat manusia telah memenuhi kebutuhan

dasarnya, manusia akan mencari pemenuhan untuk kebutuhan lain yang

lebih tinggi tingkatannya. Salah satunya adalah kebutuhan atas informasi

yang merupakan perpanjangan dari kebutuhan aktualisasi diri. Manusia

akan terdorong untuk mencari informasi sebagai bekal pengetahuan

dirinya, karena itulah organisasi media memproduksi konten. McCombs

dan Becker dalam Djuroto (2002: 97) memaparkan ada tujuh sebab

mengapa manusia membutuhkan media, yakni:

a. Untuk mengetahui apa yang penting dan perlu baginya.

b. Untuk membantunya mengambil keputusan (media jadi bahan rujukan

sebelum mengambil keputusan).

c. Untuk memperoleh informasi sebagai bahan pembahasan.

d. Memberikan perasaan ikut serta dalam kejadian.

e. Memberikan penguatan atas pendapatnya.

f. Mencari konfirmasi atas keputusan yang diambilnya.

g. Memperoleh relaksasi dan hiburan.

Adapun menurut McQuail, Blumer, dan Brown, berdasarkan penelitian

mereka di Inggris dalam Severrin dan Tankard (2007: 356), memaparkan

kategori-kategori berikut sebagai motif manusia dalam menggunakan

media untuk memenuhi kebutuhan:

a. Pengalihan – pelarian dari rutinitas dan masalah, pelepasan emosi.

b. Hubungan personal – manfaat sosial informasi dalam percakapan.

c. Identitas pribadi atau psikolog individu – penguatan nilai atau

penambah keyakinan, pemahaman diri, eksplorasi realitas, dan

sebagainya.

d. Pengawasan – informasi mengenai hal-hal yang mungkin

mempengaruhi seseorang atau akan membantu seseorang dalam

menuntaskan masalah tertentu.

31

Terdapat kesamaan inti dari sebab-sebab yang dikemukakan para pakar

di atas. Mereka memandang kebutuhan manusia akan media didasari oleh

nilai-nilai yang terkandung dalam media, diantaranya informatif,

memberikan petunjuk dalam pengambilan keputusan maupun keyakinan,

memperluas wacana, serta menghibur. Akan tetapi, poin-poin yang

diutarakan McQuail, Blumer, dan Brown lebih rinci karena

memperhitungkan faktor psikologis individu, di mana informasi yang

disajikan media mampu membuat seseorang lebih percaya diri.

Penjabaran paling detail datang dari Katz, Gurevitch, dan Haas (1973).

Mereka membuat 35 daftar kebutuhan yang diambil dari literatur tentang

fungsi-fungsi sosial dan psikologis media, kemudian menggolongkannya

dalam empat kategori sebagai berikut:

a. Kebutuhan kognitif – memperoleh informasi, pengetahuan, dan

pemahaman.

b. Kebutuhan afektif – emosional, pengalaman menyenangkan, dan

estetis.

c. Kebutuhan integratif personal – memperkuat kredibilitas, rasa percaya

diri, dan status.

d. Kebutuhan integratif sosial – mempererat hubungan dengan keluarga,

teman, dan sebagainya (Severrin dan Tankard, 2007: 357).

Keempat kategori di atas tidak hanya memetakan kebutuhan-

kebutuhan manusia akan media secara mendetail, tetapi juga

mengelompokkannya ke dalam aspek-aspek khusus. Penelitian ini tidak

akan mengulik secara lebih jauh dari perspektif khalayak Majalah Diffa,

tetapi bagaimana Majalah Diffa menganalisis kebutuhan khalayaknya.

Meski demikian, sebab-sebab yang dipaparkan Katz, Gurevitch, dan Haas

dipilih sebagai indikator pembantu proses pencocokan pola studi kasus.

Membahas mengenai khalayak, dalam kajian media, kumpulan

manusia yang mengonsumsi produk media disebut khalayak, sedangkan

ilmu pemasaran melihatnya sebagai konsumen sekaligus target iklan, atau

sebagai konsumen potensial bagi produk dan jasa lainnya (Puustinen,

32

2006: 1). Pasar bagi industri media terdiri dari khalayak yang memiliki

berbagai jenis kebutuhan, keinginan, dan selera. Segmentasi diperlukan

sebagai pengetahuan dasar dalam memetakan kebutuhan dan keinginan

khalayak, lantas merumuskan produk yang akan dikeluarkan, bagaimana

kualitas produk tersebut, serta jenis khalayak yang hendak dituju.

Penggunaan dasar segmentasi yang tepat dapat menjamin keberhasilan

produk media itu sendiri. Kotler (2009: 253) mengklasifikasikan jenis-

jenis segmentasi sebagai berikut:

a. Segmentasi geografis

Segmentasi geografis membagi pasar menjadi unit-unit geografi

yang berbeda, seperti negara, propinsi, kabupaten, kota, wilayah,

daerah atau kawasan. Perusahaan dapat memasarkan produknya dalam

suatu, beberapa area, atau semua area sekaligus dengan

mempertimbangkan lokalitas.

b. Segmentasi demografis

Segmentasi demografis membagi pasar menjadi unit-unit yang

berbasis pada status khalayak seperti umur, jenis kelamin, status

pernikahan, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, maupun kelas sosial.

Segmentasi jenis ini merupakan inti dari hampir keseluruhan jenis-

jenis segmentasi yang ada dikarenakan, (1) penentuan secara

demografis merupakan cara termudah dan relatif terlogis untuk

mengklasifikasikan khalayak dengan lebih presisif; (2) demografis

menawarkan cara pembiayaan paling efektif untuk menemukan dan

meraih segmen yang spesifik karena hampir keseluruhan data sekunder

mengenai populasi berdasarkan demografis, seperti sensus penduduk

atau profil khalayak dari media lainnya; (3) demografis

memungkinkan pemasar untuk mengidentifikasikan peluang-peluang

bisnis berdasarkan angka populasi, pendapatan, atau lokasi geografis;

dan (4) banyak perilaku konsumsi, tingkah laku, serta pola

pengeksposan media terkorelasi dengan demografis secara langsung

(Schiffman dan Kanuk, 2010: 76).

33

c. Segmentasi psikografis

Segmentasi psikografis membagi pasar menjadi unit-unit yang

mencakupi ciri-ciri kepribadian, antara lain gaya hidup, nilai-nilai

sosiokultural, dan keyakinan.

Dewasa ini, khalayak tidak lagi dipandang sebagai objek pasif yang

mendapat gempuran informasi satu arah dari media. Sebaliknya, khalayak

justru semakin aktif menentukan informasi apa yang dibutuhkan dan

melalui jenis media apa informasi tersebut didapat. Maka dari itu, tidak

mengherankan jika organisasi-organisasi media berlomba untuk

memuaskan khalayak. Bahkan menurut Straubhaar dan LaRose (2006: 72),

sebagian besar pemasukan yang didapat oleh majalah komersial berasal

dari khalayak yang membeli eksemplarnya. Pada 2003, pelanggan

menyumbang hampir delapan puluh enam persen dari total pendapatan

majalah.

Teori Uses and Gratifications dapat dipakai untuk melihat keaktifan

khalayak dalam bermedia. Menurut Littlejohn dan Foss (2008: 426), teori

ini khalayak dianggap sebagai khalayak yang aktif dan diarahkan oleh

tujuan. Khalayak sangat bertanggung jawab dalam memilih media untuk

memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Khalayak mampu bersikap kritis

dan apatis terhadap pesan yang disampaikan media, sehingga tidak mudah

terpengaruh olehnya. Menurut Papacharissi dan Rubin dalam Straubhaar

dan LaRose (2006: 401), untuk memenuhi kebutuhan khalayak yang

bermacam-macam, jenis-jenis media memuaskan kebutuha khalayak yang

beraneka pula. Misalnya, komunikasi interpersonal adalah hal yang

diharapkan khalayak ketika menggunakan internet.

Sebagai upaya pemenuhan kebutuhannya akan informasi yang

beragam, khalayak mempunyai keleluasaan untuk mengakses media.

Pertama, khalayak mampu memilih jenis media yang berbeda untuk

kebutuhan yang berbeda, seperti menggunakan radio ketika ingin

mendengarkan lagu-lagu terbaru lantas berganti jadi menonton televisi saat

ingin melihat tayangan langsung pertandingan sepakbola. Kedua, khalayak

34

dapat memilih jenis media yang sama dari organisasi media yang berbeda

berdasarkan pemilihan konten yang dinilai terbaik menurut preferensi.

Dengan pengadopsian produksi konten untuk multi-platform oleh

organisasi media pada masa kini, khalayak dapat lebih leluasa menikmati

informasi melalui platform yang dirasa paling nyaman untuk diakses.

Penggambaran ini diperkuat oleh pernyataan Rahayu dalam Rahmitasari

(2010: 46), yakni:

“Karakteristik yang paling menonjol dari perilaku audiens

(konsumen media) dalam mengakses media adalag

kecenderungannya untuk mengintegrasikan beragam jenis

produk media, baik secara horizontal maupun vertikal. Mereka

berlangganan suratkabar, membeli majalah, tabloid, menonton

televisi, menonton film di bioskop, membeli CD/ VC/ DVD,

mengakses internet, dan seterusnya. Walaupun tidak pada

seluruh media, namun penggunaan beragam media, secara umum

dilakukan oleh konsumen.”

Memasuki bahasan yang lebih khusus dalam penelitian ini, yakni

tema disabilitas, penyandang disabilitas merupakan salah satu diantara

khalayak yang turut membutuhkan informasi secara berimbang dan non-

diskriminatif. Penyandang disabilitas atau sering disebut penyandang cacat

dalam istilah negatifnya, adalah golongan yang memiliki kemampuan

berbeda meski bukan berarti „tidak normal‟. Disabel berasal dari kata

disabilitas, yang kerap diartikan secara terminologi medis sebagai suatu

kecacatan yang membuat penyandangnya tidak aktif dan lemah, karena

artian tersebut, terbentuklah persepsi bahwa penyandang disabilitas sama

dengan korban yang membutuhkan bantuan, perlakuan khusus, dan

rehabilitasi. Perspektif seperti ini tidak merekognisi sisi individualitas,

agensi, serta kemampuan dari penyandang disabilitas (Stadler, 2006: 374).

The UK Disability Discrimination Act dalam Sourbati (2012: 576)

mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai orang dengan gangguan

fisik atau mental yang berpengaruh signifikan pada kemampuannya untuk

melaksanakan kegiatan sehari-hari secara jangka panjang. Sementara

Higgins, Scheer, dan Groce dalam Jaeger (2012: 17) memandang

35

disabilitas sebagai bagian dari spektrum masyarakat yang bervariasi, ada

dalam tiap kultur maupun wilayah geografis dalam kehidupan manusia.

Di tengah kalangan internal disabilitas, penggunaan istilah

„disabilitas‟ kerap diganti dengan „difabilitas‟. Difabilitas berasal dari kata

‗different ability‘ yang bermakna kekhususan kondisi fisik penyandang

disabilitas hanyalah perbedaan diantara keragaman identitas manusia, di

mana mereka tetap memiliki kemampuan yang dapat diunggulkan di

tengah masyarakat inklusif. Kata „difabel‘ dipakai oleh beberapa pihak

sebagai kata ganti subjek untuk membuang kata „penyandang‟. Meski

demikian, dalam Convention on the Rights of People with Disability

(CRPD) yang dikeluarkan PBB, „disabilitas‟ dan „penyandang disabilitas‟

masih merupakan istilah resmi yang dipakai untuk penulisan literasi ilmiah

(Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga, 2014).

Berdasarkan observasi peneliti, sebagian besar organisasi yang

bergerak di dunia disabilitas masih menggunakan istilah „disabilitas‟,

diantaranya Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dan

Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI). Penelitian ini

konsisten untuk memakai terminologi „disabilitas‟ dan „penyandang

disabilitas‟ sesuai konsensus CRPD, dengan definisi Higgins dkk. (2012)

sebagai perspektif dasar dalam memaknai disabilitas. Dikuatkan oleh cara

pandang Civil Rights Model dalam Kajian Disabilitas, yang mana

dijabarkan oleh Masduqi (2010: 24-28):

“Civil Rights Model (Model Hak Asasi Manusia) meyakini bahwa

penyandang disabilitas sebagai individu yang memiliki hak asasi setara

dengan warga lainnya. Model ini berorientasi untuk memperjuangkan hak

disabilitas agar mampu hidup mandiri dan bebas untuk memilih cara

hidupnya tanpa terbatasi kemampuan fisiknya.”

Disabilitas dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian,

sebagaimana Jaeger (2012: 22) membaginya menjadi disabilitas secara

sensorik dan kognitif. Disabilitas sensorik terkait dengan kemauan

melihat, kemampuan berbicara, kemampuan mendengar, maupun

36

kemampuan memobilisasi anggota tubuhnya. Disabilitas kognitif

merupakan gangguan pada pengolahan informasi otak manusia.

Idealnya, penyandang disabilitas membutuhkan konten media yang

mampu membuat mereka menjalani hidupnya dengan bermanfaat dan

menganggap kecacatan sebagai suatu identitas positif (Swain dan French,

2000: 578). Morlandsto juga Brune dalam von Krogh (2010: 81)

menyatakan, media perlu mengganti nilai-nilai yang selama ini dianutnya

dengan nilai-nilai yang ada di luar sistem media. Menggambarkan

disabilitas pada tiap pemberitaan bukan dari perspektif yang sama dengan

pandangan mayoritas. Di sisi lain, merekrut penyandang disabilitas

sebagai awak media juga dianggap salah satu upaya yang dapat dilakukan

untuk mewakili keberadaan penyandang disabilitas secara positif dalam

media.

Penelitian Ofcom tentang tingkat pengaksesan media oleh

penyandang disabilitas di Inggris menunjukkan bawa lima puluh persen

penyandang disabilitas berusia enam puluh lima tahun memiliki akses

internet di rumah. Prosentase ini lebih kecil dibanding dengan jumlah

masyarakat Inggris di bawah enam puluh lima tahun yang memiliki akses

internet di rumah, yakni enam puluh dua persen. Adapun Consumer Expert

Group ( CEG ) melaporkan pada 2008, baru empat puluh dua persen dari

total tuna netra, tiga puluh dua persen dari keseluruhan tuna rungu, serta

tiga puluh enam persen dari jumlah penyandang gangguan mobilitas, yang

memiliki akses internet di rumah (CEG, 2009: 14).

Menurut data ONS untuk kuartal pertama tahun 2011 , terdapat empat

koma dua juta jiwa penyandang disabilitas dewasa yang belum pernah

menggunakan internet. Jumlah ini mewakili hampir setengah dari seluruh

non-pengguna internet. Secara keseluruhan, penyandang disabilitas

mengalami ketidaksetaraan dalam mengakses media baru, jika

dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya (Sourbati, 2012: 577).

Di Indonesia sendiri, data mengenai jumlah penyandang disabilitas dapat

dilihat melalui hasil sensus pada 2010 silam yang dihimpun oleh Badan

37

Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI). Berikut tabel yang

memaparkan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia berdasarkan usia

dan jenis serta tingkat kesulitan:

Tabel 1. 2 Jumlah Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis

dan Tingkat Kesulitan (dalam Ribuan)

Sumber: Hasil sensus penduduk oleh BPS RI

(http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=277&wid=0)

Idiom „media disabilitas‟ berasal dari „disability media‘, merupakan

istilah khusus bagi media, sebagian besar berupa majalah, yang

menjadikan disabilitas sebagai tema besar(Shakespeare, 1998: 152).

Berdasarkan penelusuran penulis pada dua majalah disabilitas asal Inggris,

yakni Able Magazine Edisi Mei/ Juni 2013 dan Pos‘ability Magazine Edisi

Juni/ Juli 2013, informasi-informasi tetap yang diangkat dalam konten

majalah merupakan informasi-informasi tentang teknologi pendukung

kehidupan penyandang disabilitas, olahraga bagi penyandang disabilitas,

maupun wawancara dengan seorang disabel yang dianggap sebagai tokoh

sukses sehingga dapat memberikan motivasi serta menjadi panutan bagi

khalayak sesama penyandang disabilitas. Kehadiran kedua majalah yang

mengusung genre disabilitas tersebut, sebagaimana Majalah Diffa di

38

Indonesia, merupakan suatu kebaruan dalam industri media khususnya

majalah. Dalam industri majalah, sebuah majalah yang muncul dengan

menarget segmentasi yang belum dilayani oleh majalah-majalah lain,

memiliki peluang untuk menjadi unggul. Seperti pernyataan Straubhaar

dan LaRose (2006: 73), ―...the magazine industry also one of the media

areas where a new entrant or competitor can best break in by appealing to

a new segment of the market that is not yet served by other magazines.‖

Menurut Andriani (2013), hal utama yang dibutuhkan penyandang

disabilitas dalam bermedia adalah kemudahan pengaksesannya, dan untuk

itu, diperlukan adanya modifikasi-modifikasi tertentu dalam pengemasan

konten oleh organisasi media. Bagi tuna netra ataupun penyandang

disleksia4 misalnya, pengubahan format konten cetak menjadi audio

menjadi sesuatu yang penting dan dibutuhkan. Keterjangkauan penyebaran

konten secara multi-platform oleh organisasi media, khususnya media

bertema disabilitas, dinilai cukup mampu mencakup beragam jenis

disabilitas. Pada awalnya, konten dalam platform CD audio diperuntukkan

bagi penyandang disleksia, namun kini dapat digunakan pula oleh tuna

netra. Meski demikian, konten dalam platform CD audio hanya dapat

diakses melalui komputer ataupun CD player, sehingga untuk

mengaksesnya kapan dan di mana saja, konten tersebut harus disalin

dalam format .mp3 sehingga dapat dimasukkan dalam telepon seluler

khalayak.

Pernyataan Andriani tentang perlunya platform yang menjawab

kebutuhan khusus penyandang disabilitas memiliki kausalitas dengan

realitas, masih terbatasnya akses bagi penyandang disabilitas dalam

bermedia selama ini. Tuna netra menghadapi kendala ketika membaca teks

berita online pada layar komputer atau tuna rungu yang merasa bahwa

konten audio dalam suatu situs internet masih sedikit sehingga asupan

4 Disleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh

kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis.

39

informasi mereka terbatas. Sebagaimana diteguhkan oleh pernyataan

Jaeger (2012: 2):

―Persons with visual impairments can face challenges in the lack

of compatibility of content with screen readers, the failure to put

text tags on graphics, the use of color schemes that negatively

impact users with color blindness, and numerous other

programming decisions that can shut out users with limited

vision and no vision. For persons with mobility impairments, the

barriers are created by incompatibility with alternate input

devices, cluttered layout, buttons and links that are too small,

and other important navigability considerations that can render

entire sites and functions unusable. For persons with hearing

impairments, the lack of textual equivalents of audio content can

cut off large portions of the content of a site, and interactive

webchats and other conferencing features may be impossible.‖

Lebih lanjut, Ellis dan Kent (2011: 2) mengungkapkan bahwa

pengembangan teknologi yang dilakukan oleh organisasi media dapat

membantu penyandang disabilitas untuk mengakses informasi berbasis

teks secara leluasa. Sebagai contoh, penggunaan tablet Braille dan audio

book yang memungkinkan tuna rungu dapat mendapatkan asupan

informasi sejajar dengan khalayak secara general. Berikut kutipannya:

“Technology has the potential to assist this group to access text-

based information — and indeed has in many instances. For

example, social networking and online blogs have allowed this

group to become more connected in public debate and interact

socially with others in the community. Braille tablets and audio

books likewise allow people with print impairments the

possibility of participating in the workforce. New technology is a

prominent component of social, cultural, and political change

with the potential to allow a fuller inclusion for people with

disability.‖

F. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini, terdapat batasan-batasan konsep permasalahan agar

tidak terjadi penyimpangan dalam mencari jawaban permasalahan sekaligus

mencegah terjadinya salah pengertian. Adapun batasan-batasan konsep

tersebut digambarkan melalui bagan sebagai berikut:

40

a. 4 kategori mengonsumsi media oleh

Kartz, Guurevitch, dan Haas (1973):

kebutuhan kognitif, kebutuhan afektif,

kebutuhan integratif personal, dan

kebutuhan integratif sosial.

b. Jenis segmentasi menurut Kotler (2009-

253): geografis, demografis, dan

psikografis.

c. Teori Uses and Gratifications

Analisis

Kebutuhan

Khalayak

Produksi multi-platform Quand dan Singer

Kualitas

Konten

Fitur kualitas sosial – fungsi normatif – 4 fungsi dasar media (Effendy, 2005: 149) sebagai indikator: fungsi menyiarkan informasi, fungsi mendidik, fungsi menghibur, dan fungsi mempengaruhi.

MANAJEMEN PRODUKSI KONTEN MULTI-PLATFORM

OLEH MAJALAH DIFFA

41

G. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan desain

penelitian studi kasus. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang

lebih cocok bila pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why,

bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-

peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada

fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata (Yin,

2008: 1). Objek dari studi kasus merupakan keadaan kelompok-kelompok

dalam masyarakat, lembaga-lembaga masyarakat, maupun individu dalam

masyarakat (Wiyarti & Mulya, 2007: 43).Pemilihan studi kasus sebagai desain

penelitian didasarkan pada penggunaan „bagaimana‟ dalam mempertanyakan

proses produksi konten untuk multi-platform dengan objek Majalah Diffa

sebagai sebuah institusi media. Adapun tipe studi kasus yang digunakan

adalah studi kasus deskriptif dengan kasus tunggal.

Tipe deskriptif digunakan karena peneliti tidak bertujuan menguji kasus

yang diteliti, melainkan memberikan gambaran kasus tersebut secara

mendetail sehingga dapat diketahui kelebihan serta kekurangan di dalamnya.

Keunikan dalam produksi konten Majalah Diffa berupa pembuatan produk

multi-platform berupa majalah cetak, versi online, maupun CD audio untuk

memudahkan penyandang disabilitas yang tidak mampu mengakses informasi

dalam bentuk visual, memenuhi syarat pengadaan studi kasus tunggal. Hal ini

tersebut dalam buku Studi Kasus: Desain dan Metode (Yin, 2008: 48), bahwa

rasional untuk kasus tunggal ialah kasus yang menyajikan suatu kasus ekstrem

dan unik. Kedua, studi kasus tunggal dapat dipilih untuk penyingkapan

kasus.Situasi ini muncul manakala peneliti mempunyai kesempatan untuk

mengamati dan menganalisis suatu fenomena yang tak mengizinkan penelitian

ilmiah (Yin, 2008: 49).Dalam hal ini, penelitian mengenai manajemen

produksi konten multi-platform oleh Majalah Diffa sebagai majalah disabilitas

belum pernah dilakukan sebelumnya. Lebih lanjut, berdasarkan wawancara

tertulis terhadap Jonna Damanik, Dewan Komisaris Majalah Diffa, pihak

42

Majalah Diffa memberikan respon positif serta kesempatan bagi peneliti untuk

melakukan penelitian terhadap Majalah Diffa.

1. Objek Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang terpapar, maka penelitian ini akan

mengamati suatu objek, yakni keseluruhan internal Majalah Diffa.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Peneliti akan melakukan observasi langsung terhadap proses

produksi konten yang dilakukan Majalah Diffa yang beralamat di

Maison Avenue MA.93, Cibubur. Observasi langsung dipilih karena

peneliti sebagai pengamat dari eksternal Majalah Diffa tidak akan

campur tangan ke dalam kasus yang akan diteliti. Observasi dilakukan

dengan mendokumentasikan hasil observasi, dalam bentuk tulisan

maupun foto, secara terstruktur sesuai dengan rentang waktu

pengamatan yang telah ditetapkan.

b. Wawancara

Salah satu sumber informasi studi kasus yang sangat penting ialah

wawancara (Yin, 2008: 108).Wawancara dilakukan pada multi-

responden, antara lain Jonna Damanik selaku general manager,

FX.Rudy Gunawan selaku pemimpin redaksi, Nestor Rico Tambunan

selaku kepala editor, Luthfi Anandika selaku reporter dan admin Web,

Sigid selaku fotografer, serta Mila Kamil selaku editor audio.

Wawancara dilakukan menggunakan wawancara terfokus, di mana

responden diwawancarai dalam waktu yang pendek (Yin, 2008: 109).

c. Dokumentasi

Dokumentasi yang dimaksud berupa dokumen administratif

(proposal, laporan kegiatan, laporan tahunan,serta laporan lain yang

dimiliki divisi redaksional Majalah Diffa); berbagai buku dan laporan

penelitian yang berhubungan dengan tema penelitian ini sehingga

dapat digunakan sebagai data pendukung; artikel di media serta artikel

43

di internet; dan bahan-bahan lain yang dapat dipertanggungjawabkan

dari segi sumber maupun validitasnya.

3. Analisis Data

Adapun keseluruhan prosedur pengumpulan hingga penganalisisan

data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah:

a. Menggunakan multisumber bukti

Menggunakan multisumber bukti yang didapat melalui teknik

pengumpulan data, yakni observasi, wawancara, maupun

dokumentasi.Bukti-bukti tersebut kemudian diidentifikasi guna

menyesuaikan tipe bukti yang relevan dengan aspek dari kasus yang

diteliti.

b. Melakukan pengembangan data dasar

i. Mencatat data-data dasar yang didapat dari wawancara, observasi,

maupun analisis dokumen. Catatan-catatan tersebut dibagi ke

dalam judul-judul pokok untuk mempermudahkan

pengidentifikasian catatan.

ii. Mengumpulkan dokumen-dokumen sebagai bukti sekunder.

iii. Mengumpulkan maupun mengorganisasikan bahan-bahan tabulasi,

baik yang terkumpul dari situasi yang akan diteliti ataupun yang

diciptakan oleh peneliti sendiri.

iv. Membuat narasi unruk mengintegrasikan bukti-bukti yang telah

didapat dengan fakta-fakta masalah serta interpretasi sementara

peneliti.

c. Memelihara dan menetapkan rangkaian bukti

d. Mengikuti asal-muasal bukti sejak dari pertanyaan awal penelitian

hingga konklusi akhir studi kasus.

e. Melacak ulang proses penelitian. Melihat apakah laporan penelitian

sudah memuat sifat yang efisien tentang porsi-porsi yang relevan dari

data dasar studi kasus. Kedua, data dasar tersebut hendaknya

menyatakan bukti aktual dan menunjukkan keadaan di mana bukti itu

dikumpulkan. Ketiga, keadaan ini hendaknya konsisten dengan

44

prosedur yang spesifik dan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam

protokol studi kasus.

f. Menganalisis data

Menurut Yin (2006: 133), analisis bukti (data) terdiri atas

pengujian, pengkategorian, pentabulasian, ataupun pengombinasian

kembali bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal suatu penelitian.

Dalam penelitian ini, strategi analisis yang digunakan adalah

penjodohan pola, yakni teknik membandingkan pola yang didasarkan

atas empiri dengan pola yang diprediksikan.