BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filepenegak hukum dalam menempatkan ... pembangunan di...
Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filepenegak hukum dalam menempatkan ... pembangunan di...
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan
negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa Indonesia menjunjung tinggihukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hak–
hak asasi manusia, misalnya hak asasi manusia dibidang hukum yaitu segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk menciptakan suasana yang tentram dan
tertib dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara maka diperlukan aturan hukum atau
norma/kaidah untuk menjamin hak–hak dan kewajiban masyarakat itu sendiri. Tujuan dari
negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil
dan makmur bagi warganya, yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu
usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah menempatkan masalah hukum pada kedudukan
yang sesungguhnya, sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negara. Dalam hal ini hukum di
negara Indonesia dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah disepakati bersama dan
karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik oleh pemerintah maupun
masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing Hukum tidak terlepas dari
nilai-nilai dalam masyarakat, dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan
pencerminan dan konkretisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam
masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Kepekaan para
penegak hukum dalam menempatkan hukum sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat
adalah kebutuhan pokok. Begitu pula Penuntut umum dalam melakukan penuntutan. Harus
menghubungkan antara kepentingan hukum dan kepentingan umum karena kedua soal ini saling
mempengaruhi satu sama lain. Penuntut umum tidak hanya melihat kejahatan dan mencocokanya
dengan suatu peraturan hukum pidana,akan tetapi menciba menempatkan kejadian itu dengan
menghubungkan pada proporsi yang sebenarnya Pembangunan di bidang hukum sendiri tak
dapat dipisahkan sebagai bagian dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan
upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan
nasional sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Suatu negara hukum menurut Sri Soemantri, harus memenuhi beberapa unsur yaitu :
1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau
perundang-undangan;
2. Ada jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara ;
4. Ada pengawasan dari badan-badan peradilan.1
Hak Asasi Manusia di Indonesia merupakan masalah yang sangat erat kaitanya dengan
sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil
dan benar sesuai dengan tujuan dan harapan masyarakat, sangat relevan apabila dilakukan kajian
mengenai proses peradilan pidana, baik tentang pengertiannya secara umum maupun tentang
perkembangan proses peradilan pidana itu sendiri dalam menjamin dan melindungi hak-hak asasi
Sri Soemantri 1996,. Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasiona Tentang
Hukum Acara Pidana. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, hal.
tersangka dan terdakwa. Berkaitan dengan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM),
dapat diartikan bahwa dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap Hak
Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 melalui beberapa Pasal yang mengatur
tentang HAM, salah satunya adalah Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam pasal ini terkandung Azas Persamaan
Kedudukan di Dalam Hukum. Pasal 27 ayat (1) ini diimplementasikan dalam proses peradilan
pidana sebagai Asas Praduga Tidak Bersalah yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Setelah bangsa Indonesia merdeka, terbukalah
kesempatan yang luas untuk membangun di segala segi kehidupan. Tidak ketinggalan pula
pembangunan di bidang hukum yang antara lain telah dibuat beberapa undang-undang, terutama
yang merupakan pengganti peraturan warisan kolonial, seperti hukum acara pidana nasional yang
dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dewasa ini yang sesuai dan selaras dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Negara
Indonesia salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ruang
lingkup berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang Undang Nomor 8
Tahun 1981), terdapat dalam Pasal 2 KUHAP, yang berbunyi : “Undang-undang ini berlaku
untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat
peradilan”. Semenjak lahirnya Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209. Terdapat beberapa hal yang baru yang bersifat fundamental
apabila dibandingkan dengan Herziene xvi Indiesche Reglement HIR) yang juga dikenal dengan
Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIB).
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran yang materiil, ialah kebenaran yangselengkap-lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuanketentuan hukum acara pidana secara jujur
dan tepat. Untuk mencari pelaku dari suatu tindak pidana serta menjatuhkan pidana, menjaga
agar mereka yang tidak bersalah tidak dijatuhi pidana, meskipun orang tersebut telah dituduh
melakukan suatu tindak pidana. Syarat pertama untuk menindak suatu perbuatan pidana yaitu
adanya suatu ketentuan dalam UU pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan
memberikan sanksi terhadapnya.
Sehingga dengan demikian hal tersebut diatas merupakan hal yang penting sebagaimana
dapat dilihat juga di dalam setiap tahapan pembangunan ditentukan adanya asas pembangunan
nasional. Demikian juga di dalam Hukum Acara Pidana juga ditentukan asas-asas yang menjadi
prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam melaksanakan/menyelesaikan
suatu perkara di Badan peradilan.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Pokok Kejaksaan Tahun 2004 dirumuskan
bahwa: “Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut kejaksaan, ialah alat Negara Penegak
Hukum yang bertugas sebagai Penuntut Umum”. Dengan demikian jaksa adalah sebagai
penuntut umum yang berwenang melakukan penuntutan. Dalam Bab I Pasal I butir 7 diatur
tentang pengertian penuntutan, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Penuntutan adalah
tindakan penuntut umum melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang
dalam hal dan menurur cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan.2
Dalam melakukan penuntutan dikenal ada dua asas yaitu yang disebut asas legalitas dan
asas oportunitas.
Mengenai asas legalitas dalam hukum acara pidana jangan dicampur adukkan dengan
asas legalitas dalam hukum pidana (materiil) yang biasa disebut asas Nullum Crimen Sine Lege”
yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat KUHP3
Adapun asas legaliatas menurut Hukum Acara Pidana adalah suatu asas yang
mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap suatu delik.
Sedangkan asas oportunitas adalah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang
melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum.
Sesuai makna yang terkandung dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP, disebutkan
bahwa Kejaksaan berwenang menghentikan perkara dalam tahap penuntutan. Dari makna
tersebut, haruslah ditafsirkan secara alternatif, bukan kumulatif. Dalam Pasal tersebut disebutkan
ada pun hal-hal yang dapat menghentikan perkara adalah tidak adanya cukup bukti, bukan
merupakan tindak pidana dan perkara tersebut batal demi hukum. Disamping itu terhadap
perkara yang memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan, Penuntut Umum tidak hanya
berwenang melakukan penuntutan, tetapi juga berwenang menyampingkannya. Penyampingan
perkara yang menjadi wewenang Jaksa Agung yang dilakukan berdasarkan kepentingan umum.4
Jaksa Agung memang diberi kewenangan untuk mengesampingkan perkara demi
kepentingan umum. Paling tidak tercermin dalam Pasal 35 C Undang-Undang Nomor 16 Tahun
Martiman Prodjohamidjojo 1989, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalm Teori dan Praktek, PT Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 62. Andi Hamzah 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta , , hal. 5. Sudirjo 1985, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Akademika Presindo, Jakarta Pidana, , hal. 6
2004 tentang Kejaksaan Agung. Pasal itu berbunyi : Jaksa Agung mempunyai tugas dan
wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Dalam bagian penjelasan
disebutkan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan
masyarakat luas. Mengesampingkan perkara, demikian penjelasan UU No.16 tahun 2004,
merupakan pelaksanaan asas opportunitas yang hanya dapat dilakukan Jaksa Agung setelah
memerhatikan saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan
dengan masalah itu. Reformasi hukum di Indonesia dirasakan belum dapat mengimbangi
perkembangan yang terjadi di masyarakat selain itu reformasi hukum dinilai belum sepenuhnya
mampu menangani permasalahan penegakan hukum yang masih carut marut. Pemahaman akan
konsep equality before the law masih belum sepenuhnya diterapkan ataupun dipahami secara
benar. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu
Dalam pelaksanaan proses penuntutan suatu perkara tindak pidana, tentu saja tidak
terlepas dari asas-asas yang terdapat dalam KUHAP, karena merupakan unsur yang sangat
penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas-asas tersebut mempunyai relevansi antara satu
dengan yang lain yang sangat menarik untuk dikaji. Sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku hanya Jaksa Agung yang mempunyai wewenang menyampingkan
perkara, tidak seperti melakukan penghentian penuntutan yang bisa dilakukan oleh penuntut
umum. Hanya saja yang menjadi masalah adalah apakah setelah penuntut umum melakukan
penghentian penuntutan dan dinyatakan tidak sah, Berdasarkan hal tersebut, maka penulis
tertarik untuk mengambil judul penelitian : PENYAMPINGAN PERKARA DALAM PROSES
PERADILAN PIDANA.
BAB II
PERUMUSAN MASALAH.
Dari uraian pedahuluan diatas, penelitian ini memfokuskan pada 2 (dua) permasalahan
yang dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan asas penyampingan perkara demi kepentingan umum (asas
opportunitas) dalam KUHAP ?
2. Apakah asas opportunitas bisa dilakukan setelah penghentian penuntutan dinyatakan
tidak sah?
BAB III
STUDI PUSTAKA
Di Indonesia penuntut umum disebut juga Jaksa (Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137 dan
seterusnya KUHAP). Wewenang penuntutan dipegang penuntut umum sebagai monopoli,
artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis ditangan penuntut
umum atau jaksa. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi hakim
hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.5
Menurut ketentuan Pasal 7 Undang Undang No. 16 Tahun 2004 bahwa Jaksa Agung
adalah penuntut umum tertinggi serta meminpin dan mengawasi para Jaksa dalamdalam
melaksanakan tugas untuk kepentingan perkara Jaksa Agung dan jaksa lainnya dalam lingkungan
daerah hukumnya member petunjuk-petunjuk, mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat
penyidik dengan mengindahkan hierachi.6
Mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Butir 7 Kitab
Undang Undang Hukum Acara KUHAP) Pidana, disebutkan tindakan penuntutgan adalah:
“Melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus hakim disidang
Pengadilan”7
Dalam hubungannya dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu yang disebut asas
legalitas dan opportunitas (het legaliteits en het opportuniteits beginsel) menurut asas yang
tersebut pertama penuntut umum wajib menuntut suatu delik. Menurut asas yang kedua, penuntut
umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya
Andi Hamzah,1996, Op. Cit, hal.14Ansori Sabuan 1983, Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Bale Bandung. Hal. 91Djoko Prakoso 1983, Tugas dan Peranan Jaksa dalam Hal Pembangunan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.40.
akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan
delik tidak dituntut.8
Pada dasarnya Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menganut asas
legalitas dalam penuntutan, akan tetapi dalam kenyataannya Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) masih diberi kemungkinan diberlakukannya asas opportunitas
sebagaimana diakui dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c serta penjelasan dari Pasal 77 KUHAP dan
lebih dipertegas lagi dengan Undang Undang Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 Pasal 32 huruf c.
Menurut Franken wewenang untuk mengesampinkan perkara berdasarkan azas
opportunitas itu meliputi wewenang untuk:
a. Untuk menutut atau tidak melanjutkan penuntutan.
b. Membatasi penuntutan atau penuntutan lebih lanjut mtersebut yakni trbatas untuk
memberlakukan ketentuan pidana yang mempunyai ancaman pidana pokok yang
lebih ringan dalam suatu prilaku itu termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana.
c. Tidak menuntut atau tidak melanjutkan penuntutan secara bersyarat.9
Sehubungan dengan asas opportunitas ada juga mengatakan, bahwa asas opportunitas
adalah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika
menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum asas opportunitas diakui dalam
Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia “
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan
umum”10
.
Andi Hamzah,1996, Ansori Sabuan 1983, Op..Cit, . hal. 141. Ramelan, 2006,. Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi. Jakarta: Sumber Ilmu
Jaya:hal. 10
Jadi esuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku hanya Jaksa Agung
yang mempunyai wewenang menyampingkan perkara asas (opportunitas), tidak seperti
melakukan penghentian penuntutan yang bisa dilakukan oleh penuntut umum.
BAB IV
TUJUAN PENELITIAN .
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis (Soerjono Soekanto, 1986 : 42).
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengaturan asas penyampingan perkara demi kepentingan umum
(asas opportunitas) dalam KUHAP.
b. Untuk mengetahui apakah asas opportunitas bisa dilakukan setelah penghentian
penuntutan dinyatakan tidak sah.
BAB V
METODE PENELITIAN.
1. Pendekatan.
Konsentrasi penelitian ini adalah dalam konteks penyampingan perkara (asas oportunitas)
dalam proses peradilan pidana Karena itu penelitian ini disamping menitik beratkan pada
penelitian normative juga sosiologi.
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normative dan
sosiologis. Dengan penelitian normative,11
obyek kajiannya adalah untuk meneliti ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah penyampingan perkara (asas
oportunitas). Sedangkan penelitian sosiologis,12
dipergunakan untuk mengidentifikasi tentang
penyampingan perkara (asas oportunitas) dalam proses peradilan pidana
Agar dapat mengerti, memahami, mengengiterpretasikan dan menjelaskan kegiatan
pembangunan dengan pembangunan bidang hukum secara lebih baik, maka paradigma yang
digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Paradigma ini memandang
bahwa manusia pada dasarnya aktif mengkonstruksi dan memodifikasi konsep, model, realitas,
termasuk kebenaran dari hukum. Hukum dipandang sebagai realitas dari konstruksi individu dan
social yang bersifat relative, konsessus, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh
para pelakunya. Realitas itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi mental, berdasarkan
pengalaman social, bersifaf local dan spesifik dan tergantung orang yang melakukannya. Oleh
11 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian hukum normative Suatu tinjauan Singkat, CV.Rajawali, Jakarta,12 Sudjono Dirdjosisworo, 1983, Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. IX.
karenanya suatu realitas tidak dapat digeralisasi kepada semua orang, seperti yang biasa
dilakukan dikalangan positivis atau positivism.13
3. Sumber Bahan Hukum.
3.1. Bahan Hukum Primer,
Adapun bahan hukum primer yang diperoleh dari studi kepustakaan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang
Undang No.9 Tahun 1990 jo Undang Undang No.10 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah No.67
Tahun 1996, Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 dan peraturan perundang-undangan lain
serta peraturan daerah atau hukum local yang terkait dengan pembangunan pariwisata.
3.2. Bahan Hukum Sekunder.
Bahan hukum Sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan untuk memberi pejelasan
terhadap bahan hukum primer, seperti: penjelasan peraturan perundang-undangan dan karya
ilmiah lainnya.
4. Pengumpulan Bahan Hukum.
Bahan hukum primer dan sekunder dikumpulkan melalui studi dokumentasi dicatat dan
disusun secara sistimatis. Bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut, ada beberapa yang
perlu diklarifikasi kesahihan dan kemutahirannya, agar benar-benar dapat mendukung analisis
Wignjosoebroto Soetandyo 2002 Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Huma, Jakarta, hal. 308.
semua permaslahan dalam membahas penyampingan perkara dalam proses pidana . Sehingga
untuk hal itu dibutuhkan beberapa sumber yang ada hubungannya dengan penelitian ini..
5. Tehnik Analisis Bahan Hukum.
Bahan-bahan hukum yang telah di kumpulkan, dianalisis dengan tekhnik analisis, yakni:
deskriptif, sistimatis, interpretative, evaluative, komparatif dan ekplanasi sebagai aspek
epistemology dalam penelitian ini.
Bahan-bahan hukum yang telah disesuaikan dengan asas-asas hukum, kaedah/norma
hukum tersebut diatas, akan disusun dan dilakukan sistimatisasi data sesuai dengan variable dan
indikatornya. Kemudian bila diperlukan dilakukan interpretasi data dengan menggunakan
argumentasi dan penalaran hukum sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan demikian hasil
analisis bahan-bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini, benar-benar merupakan suatu
proses penguraian secara sistimatis dan konsisten terhadap semua bahan hukum yang diperoleh,
untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dapat
dipecahkan secara baik dan benar.
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Hasil
6.1.1 Pengaturan/Dasar Hukum Opportunitas
Dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus yang diberi wewenang
untuk melakukan penuntutan ke pengadilan yang disebut penuntut umum hal tersebut terlihat
dalam Pasal 1 butir 6 No.a dan b dan Pasal 137 KUHAP yang ditentukan sebagai berikut :
a. Pasal 1 butir a : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap butir b :Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
c. Pasal 137 Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili.
Sedangkan mengenai asas opportunitas diatur dalam Pasal 35c Undang-Undang No.16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas opportunitas
itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi sebagai berikut : “Jaksa Agung dapat menyampingkan
perkara berdasarkan kepentingan umum”.
Keberadaan asas opportunitas dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP yang
berbunyi :” yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk
kepentingan umum yang menjadi wewenang jaksa agung.
Pada mulanya azas oportunitas itu timbul dalam praktek yang berlakunya didasarkan
pada hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), yang kemudian dimasukkan ke dalam pasal 8
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 (Lembaran Negara RI Tahun 1961 No 254) tertanggal 30
Juni 1961. Namun undang-undang ini tidak berlaku lagi setelah keluarnya Undang-undang No 5
Tahun 1991 (Lembaran Negara RI Tahun 1991 No 59) tertanggal 22 Juli 1991, dimana hal
tersebut diatur dalam pasal 32 sub c. Beberapa tahun kemudian, undang-undang ini diganti dan
dinyatakan tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-undangNomor 16 Tahun 2004
(Lembaran Negara RI Tahun 2004 No 67) tertanggal 26 Juli 2004, yang mana mengenai hal
tersebut diatur dalam pasal 35 sub c.
Asas opportunitas dan asas equality before the law mempunyai relevansi yang tidak dapat
dipisahkan hal itu dikarenakan karena adanya pertentangan antara kedua asas tersebut. Asas
equality before the law menegaskan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di
muka hukum sedangkan asas opportunitas malah menyatakan sebaliknya, yaitu penuntut umum
tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbanganya akan
merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik
tidak dituntut.
6.1.2 Pengertian Opportunitas
Perkataan opportunitas berasal dari kata-kata latin ini sangat luas artinya. Menurut kamus
bahasa indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminto berarti ketika atau kesempatan yang baik.
Sedangkan H.Kotslesen mengartikan sebagai “Geschte Gelegheid”.
Menurut A.Z. Abidin Farid memberikan perumusan asas opportunitas sebagai berikut. “
Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak
menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi
kepentingan umum.
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada
badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau
jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta
supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut
umum.
6.1.3 Kasus Bibit dan Chandra
Kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah (Bibit-Chandra) bermula dari
testimoni mantan Ketua KPK, Antasari Azhar yang memperoleh informasi bahwa terdapat
pemberian uang dari Anggoro Widjojo dan adiknya Anggodo Widjojo kepada para pejabat KPK
dalam rangka penyelesaian kasus PT. Masaro. Antasari Azhar pergi ke Singapura menemui
Anggoro untuk mengecek kebenaran pemberian uang tersebut dan pembicaraan dengan Anggoro
direkam oleh Antasari Azhar. Antasari Azhar lalu membuat testimoni tentang penerimaan uang
sebesar Rp. 6,7 miliar oleh sejumlah pimpinan KPK pada Mei 2009. Saat itu Antasari sedang
ditahan atas kasus dugaan pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran Nasrudin
Zulkarnaen. Antasari lalu membuat laporan resmi pada 6 JUli 2009 mengenai dugaan suap itu di
Polda Metro Jaya. Laporan itu kemudaian dilimpahkan ke Mabes Polri, lalu dilanjutkan ke upaya
penyelidikan dan penyidik.
Dalam proses penyidikan pada 7 Agustus 2009, menurut Kapolri, diperoleh fakta adanya
tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh dua tersangka yang melanggar Pasal 21 Ayat 5
UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK14
. Saat penyidikan ditemukan keputusan pencekalan dan
pencabutan pencekalan yang dilakukan oleh kedua tersangka tidak secara kolektif. Pencekalan
terhadap Anggoro Widjojo dilakukan oleh Chandra Hamzah, pencekalan terhadap Joko Tjandra
oleh Bibit S. Riyanto, serta pencabutan pencekalan terhadap Joko Tjandra oleh Chandra
Hamzah. Kemudian, dari hasil penyidikan kasus pencekalan terhadap Anggoro ditemukan
adanya aliran dana dari Anggodo melalui Ari Muladi. Temuan itu kemudian dituangkan dalam
laporan polisi (BAP) pada 25 Agustus 2009. Namun kemudian Ari Muladi menarik kembali
BAP dan menyatakan uang dari Anggodo untuk menyuap pejabat KPK diserahkan kepada
Yulianto. Dalam kasus dugaan pemerasan, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap
saksi-saksi dan alat bukti lain. Sedangkan sangkaan penyalahgunaan wewenang, penyidik telah
memeriksa saksi-saksi serta saksi ahli dan ditemukan beberapa dokumen. Pasal yang
disangkakan adalah Pasal 23 UU No 31 Tahun 1999 Jo Pasal 421 KUHP15
. Kedua pimpinan
KPK ini ditetapkan oleh Mabes Polri sebagai tersangka dugaan kasus penyalahgunaan
wewenang terkait penerbitan surat pengajuan pencabitan pencekalan terhadap pengusaha
Anggoro Widjojo dan Joko Soegiarto dan juga dugaan penyuapan.
Dengan ditahannya kedua pimpinan KPK, muncul gerakan public mendesak pembebasan
Bibit dan Chandra. Publik banyak yang menilai telah terjadi upaya kriminalisi terhadap
keduanya. Akhirnya Presiden memutuskan membentuk Tim Delapan yang diketuai oleh Prof.
Adnan Buyung Nasution untuk meverifikasi fakta dan data proses hukum kasus ini. Tim Delapan
menemukan kejanggalan terhadap kasus Bibit-Chandra ini dan menganggap telah ada upaya
kriminalisasi terhadap mereka dan merekomendasikan beberapa hasil rekomendasi kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu hasil rekomendasi tersebut berisikan antara
lain16
Isi rekomendasi tim 8 (lengkap) http://berandakawasan.worpress.com/2010/10/02, 30 Desember 2011
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, Tim 8 merekomendasikan kepada Presiden untuk:
1. Setelah mempelajari fakta-fakta, lemahnya bukti-bukti materil maupun formil dari
penyidik, dan demi kredibilitas system hukum, dan tegaknya penegakan hukum yang
jujur dan obyektif, serta memenuhi rsa keadilan yang berkembang di masyarakat, maka
proses hukum terhadap Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto sebaiknya dihentikan.
Dalam hal ini Tim 8 merekomendasikan agar:
a. Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam hal
perkara ini masih di tangan kepolisian;
b. Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) dalam hal
perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan; atau
c. Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum, perkara perlu
dihentikan, maka berdasarkan azas opprtunitas, Jaksa Agung dapat mendeponir
perkara ini.
2. Setelah menelaah problematika institusional dan personel lembaga-lembaga penegak
hukum di mana ditemukan berbagai kelemahan mendasar maka Tim 8
merekomendasikan agar Presiden melakukan:
a. Untuk memenuhi rasa keadilan, menjatuhkan sanksi kepada pejabat-pejabat yang
bertanggungjawab dalam proses hukum yang dipaksakan dan sekaligus
melakukan reformasi institusional pada tubuh lembaga kepolisian dan kejaksaan;
b. Melanjutkan reformasi institusional dan reposisi personel pada tubuh Kepolisisan,
Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Kornban (LPSK) – tentu dengan tetap menghormati independensi
lembaga-lembaga tersebut, utamanya KPK.
Untuk mereformasi lembaga-lembaga penegak hukum tersebut diatas maka
Presiden dapat menginstruksikan dilakukannya ‘governance audit’ oleh suatu
lembaga independen, yang bersifat diagnostic untuk mengidentifikasikan
persoalan dan kelemahan mendasr di tubuh lembaga-lembaga penegak hukum
tersebut.
3. Setelah mendalami betapa penegakan hukum telah dirusak oleh merajalelanya makelar
kasus (markus) yang beroperasi di semua lembaga penegak hukum maka sebagai ‘shock
therapy’ Presiden perlu memprioritaskan operaso pemberantasan makelar kasus (markus)
di dalam semua lembaga penegak hukum termasuk di lembaga peradilan dan profesi
advokat; dimulai dengan pemeriksaan secara tuntas dugaan praktik mafia hukum yang
melibatkan Anggodo Widjojo dan Ari Muladi oleh aparat terkait.
4. Kasus-kasus lainnya yang terkait seperti kasus korupsi Masaro; proses hukum terhadap
Susno Duadji dan Lucas terkait dana Budi Sampoerna di Bank Century; serta kasus
pengadaan SKRT Departemen Kehutanan; hendaknya dituntaskan.
5. Setelah mempelajari semua kritik dan input yang diberikan tentang lemahnya strategi dan
implementasi penegakan hukum serta lemahnya koordinasi di antara lembaga-lembaga
penegak hukum maka Presiden disarankan membentuk Komisi Negara yang akan
membuat program menyeluruh dengan arah dan tahapan-tahapan yang jelas untuk
pembenahan lembaga-lembaga hukum, termasuk organisasi profesi Advokat, serta
sekaligus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga hukum lainnya untuk menegakkan
prinsip-prinsip Negara hukum, due process of law, hak asasi manusia dan keadilan.
Menindaklanjuti hasil rekomendasi dari Tim 8, Presiden SBY berpidato pada tanggal 23
November 2009, Presiden memberikan penjelasan kepada wartawan di Istana Negara, yang
meminta Polri dan Kejaksaan Agung untuk tidak melanjuti kasus hukum pimpinan non aktif
Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit dan Chandra kepengadilan. SBY menganjurkan agar
perkara Bibit dan Chandra diselesaikan diluar pengadilan (out of court settlement).
Kasus pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan
Chandra M. Hmazah akhirnya diberhentikan. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan
menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) pada hari selasa tanggal 1
Desember 2009, untuk menghentikan penuntutan perkara tersebut. SKPP No: TAP-
01/0.1.14/Ft.1/12/2009 tertanggal 1 Desember 2009 untuk tersangka Chandra M. Hamzah dan
SKPP No: TAP-02/0.1.14/Ft.1/12/2009 tertanggal 1 Desember 2009 untuk Bibit Samad Rianto,
diserahkan secara langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Setia Untung
Arimuladi. Perkara ini dihentikan demi hukum karena dinilai tidak layak dilimpahkan
kepengadilan17
, adapun alasan-alasan untuk menghentikan penuntutan terdiri dari alasan Yuridis
dan Sosiologis.
1. Alasan Yuridis
Bahwa perbuatan tersangka tersebut meski telah memenuhi rumusan delik yang disangkakan,
baik pasal 12 huruf e UU No 31 Tahun 1999jo. UU No 20 Tahun 2001 maupun Pasal 23 UU No
31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 jo. Pasal 421 KUHP, namun karena dipandang
tersangka tidak menyadari dampak yang akan timbul dari perbuatannya, maka perbuatan tersebut
dianggap hal yang wajar dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya, mengingat hal
tersebut sebelumnya sudah dilakukan oleh para pendahulunya, oleh karena itu baginya dapat
diterapkan pasal 50 KUHP.
2. Alasan Sosiologis
a. Adanya suasana kebathinan yang berkembang saat ini, membuat perkara tersebut
tidak layak diajukan kepengadilan, karena lebih banyak mudharat dari manfaatnya
b. Untuk menjaga keterpaduan atau harmonisasi lembaga penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya untuk pemberantasan korupsi, sebagaimana alasan doctrinal
yang dinamis dalam hukum pidana.
c. Masyarakat memandang perbuatan yang dilakukan tersangka tidak layak untuk
dipertanggungjawabkan kepada tersangka karena perbuatan tersebut adalah dalam
rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya didalam pemberantasan korupsi yang
memerlukan terobosan-terobosan hukum18
.
Kejaksaan yang pada akhirnya memilih menerbitkan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan) menimbulkan polemic di masyarakat. Banyak para ahli hukum berpendapat alasan
penggunaan SKPP ini kurang tepat19
. Para ahli tersebut banyak yang menilai sebaiknya Jaksa
Agung menggunakan hak oportunitasnya untuk menutup perkara ini. Pada perkembangannya
SKPP ini divcabut oleh hakim dipengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan SKPP perkara Bibit dan Chandra http://kejari jaksel.go.id/berita.php/news46, 17 Oktober 2010 18 http;//www.detiknews.com/read/2010/04/20/105349/1341689/10/selain-sosiologis-skpp-bibit-chandra-memuat-
alasan-yuridis, Jumat 08 Oktober 2010
Praperadilan Anggodo dan kuasa hukumnya. Selanjutnya Kejaksaan melakukan upaya hukum
banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
namun ternyata dalam amar putusannya 3 Juni 2010, Pengadilan DKI Jakarta menlak gugatan
Kejaksaan dan mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut Pasal 83 ayat
2 KUHAP putusan terakhir mengenai praperadilan ada di Pengadilan Tinggi. Dalam kasus ini
berarti putusan yang membatalkan SKPP Bibit dan Chandra membawa konsekuensi bahwa
keduanya kembali berstatus tersangka dan putusan tersebut sudah inkrah karena tidak ada lagi
upaya hukum yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keabasahan SKPP tersebut.
Pada prosesnya, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali kepada MA terhadap
putusan praperadilan Pengadilan Tinggi DKI. Mahkamah Agung pada tanggal 8 Oktober 2010
menolak PK dalam amar putusannya NO (Niet Ontvankeljik Verklaard) artinya tidak dapat
menerima permohonan pemohon menyangkut syarat formil, dengan alasan karena Mahkamah
Agung tidak memiliki wewenang melakukan Peninjauan Kembali terhadap putusan praperadilan.
Putusan praperadilan bersifat final dan terakhir di Pengadilan Tinggi. Mahkamah agung merujuk
pada Pasal 45 huruf a ayat 1 dan ayat 2 UU Mahkamah Agung jo pasal 83 ayat 2 KUHAP,
bahwa tidak ada upaya hukum lanjutan mengenai praperadilan setelah diputus oleh pengadilan
Tinggi. Penulis berpendapat Kejaksaan Agung salah menafsirkan pasal 263 ayat 1 tentang
Peninjauan Kemabli Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mungkin dari pasal inilah Kejaksaan berharap bahwa putusan Penngadilan Tinggi DKI Jakarta
dapat dibatalkan melalui peninjauan kembali. Banding di pengadilan Tinggi ditolak dan
peninjauan Kembalinya pun tidak dapat diterima oleh MA.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4caf124762588/ma-kandaskan-pk-praperadilan-atas-skpp bibitchandra, Jumat 08 Oktober 2010
Setelah Peninjauan Kembalinya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung akhirnya
Kejaksaan Agung melalui Pelaksana Tugas (plt) Jaksa Agung Dharmono S.H memutuskan untuk
menggunakan hak oportunitas dalam kasus ini. Atas dasar kepentingan pemberantasan korupsi di
negeri ini, setelah melalui proses yang panjang dan berliku, akhirnya Pelaksana Tugas Jaksa
Agung Dharmono, mengeluarkan Deponering atas kasus Bibit dan Chandra. Keputusan ini
dikeluarkan oleh Plt Jaksa Agung pada 29 Oktober 2010, tapat satu tahun saat Bibit dan Chandra
ditahan oleh Mabes Polri ketika itu. Dasar hukum deponring atau pengesampingan perkara oleh
Jaksa Agung adalah pasal 35 c Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang
berbunyi: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang , diantaranya adalah
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.” Dalam penjelasan pasal ini, yang
dimaksud kepentingan masyarakat luas. Alasan yang dikemukakan oleh Plt Jaksa Agung
Dharmono adalah demi kepentingan yang lebih luas, yaitu menyelamatkan pemberantasan
korupsi. 24 januari 20111, jaksa Agung Basrief Arief akhirnya resmi menandatangani dua surat
Ketetapan Pengenyampingan perkara Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Dua
surat ketetapan itu masing-masing bernomor TAP 001/A/JA/01/2011 atas nama Chandra M.
Hamzah dan TAP 002/A/JA/01/2011 atas nama Bibit Samad Riyanto resmi diterbitkan Basrief,
surat itu menyatakan meski perkara Bibit-Chandra tetap dianggap ada, namun dikesampingkan
demi kepentingan umum
6.2. Pembahasan.
Dalam sejarah Hukum Acara Pidana Indonesia penyampingan perkara demi kepentingan
umum sangat jarang dilakukan. Pada masa Orde Baru pengenyampingan perkara demi
kepentingan umum pernah diterapkan pada kasus M. Yasin (tokoh petisi 50). Ketika berkas
perkara dilimpahkan ke penuntut umum dalam tahap prapenuntutan, Jaksa Agung menggunakan
hak opportunitasnya sesuai dengan KUHP yaitu dengan mengenyampingkan perkara demi
kepentingan umum. Kepentingan umum dalam hal ini adalah kepentingan politik.
Mengapa kepentingan politik yang menjadi pertimbangan dalam mengenyampingkan
perkara ini, pertimbangannya karena apabila perkara M. Yasin dituntut dan diadili di
persidangan, akan menimbulkan gejolak politik yang luas di kalangan masyarakat termasuk di
kalangan ABRI dan purnawirawan ABRI yang berdampak kepada stabilitas ekonomi, sosial
budaya, pertahanan keamanan, dan lain-lain, jadi pertimbangann dalam perkara Jenderal M.
Yasin ini adalah pertimbagan kepentingan umum dalam aspek politik negara.
Pada masa reformasi, problem deponering ini kembali mencuat dalam kasus yang dialami
oleh Bibit-Chandra. Kasus petinggi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Bibit S. Rianto dan
Chandra M Hamzah menyedop banyak perhatian masyarakat. hal tersebut terlihat jelas hingga
adanya akun pada salah satu situs jejaring social yang mendukung kedua petinggi KPK tersebut.
Kasus tersebut selanjutnya ditangani oleh tim 8 yang diketuai Adnan Buyung Nasution, dalam
situs resmi liputan6.com Tim 8 menyimpulkan beberapa hal diantaranya:
1. Pada awalnya, proses pemeriksaan terhadap dugaan adanya penyuapan dan/atau
pemerasan pemerasan dalam kasus Chandra dan Bibit adalah wajar (tidak ada rekayasa)
berdasarkan alasan-alasan:
2.. Dalam perkembangannya Polisi tidak menemukan adanya bukti penyuapan dan/atau
pemerasan, namun demikian Polisi terlihat memaksakan dugaan penyalahgunaan
wewenang oleh Chandra dan Bibit dengan menggunakan:
3. Polri tidak memiliki bukti yang cukup untuk mendakwa Chandra dan Bibit atas dasar
penyalahgunaan wewenang berdasarkan Pasal 23 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal
421 KUHP dan pemerasan berdasarkan Pasal 12 (e) Undang-undang Tindak Pidana
Korupsi serta percobaannya berdasarkan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan kesimpulan yang dituangkan dalam situs tersebut, Tim 8 juga mengusulkan
beberapa usulan terkait penyelesaian kasus tersebut:
1. Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam hal perkara
ini masih di tangan kepolisian;
2. Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) dalam hal
perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan; atau
3. Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum, perkara perlu dihentikan,
maka berdasarkan asas opportunitas, Jaksa Agung dapat mendeponirkan perkara ini.
Permasalahan kasus Bibit-Chandra mulai timbul lebih runcing setelah Kejaksaan
memutusan untuk menghentikan kasus tersebut dengan menerbitkan SKPP. Sayangnya SKPP
tersebut dianggap terlalu lemah karena alasan-alasan yang seharusnya diajukan oleh Kejaksaan
tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP dan dianggap terlalu lemah. Hal tersebut
berbuntut pada praperadilan yang diajukan oleh Anggodo. Dikarenakan alasan penerbitan SKPP
lemah, maka SKPP itu dibatalkan oleh hakim Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Ketika Kejaksaan banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Selatan
atau memenagkan tuntutan Anggodo. Menurut KUHAP, sampai disini perkara selesai, artinya,
kejaksaan wajib meneruskan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan. Namun kejaksaan Agung
masih coba-coba mengajukan PK ke Mahkama Agung yang akhrinya Mahkama Agung
memutuskan tidak berwenang mengadili permohon PK tersebut.
Dari uraian di atas, timbul beberapa kemungkinan yang dapat di tempuh oleh kejaksaan.
tinggal dua alternatif: deponering atau meneruskan kasus ke pengadilan. Pendapat lain yang
mengemuka adalah penerbitan SKPP baru atau SKPP jilid dua.Akhir Oktober 2010, keputusan
Kejaksaan Agung (Kejakgung) secara resmi melakukan deponering atas kasus dugaan
penyalahgunaan wewenang Bibit-Chandra. Keputusan melakukan deponering disampaikan
Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung, Darmono, saat jumpa pers di Gedung Jaksa Agung, Jakarta,
Jumat (29/10). Sikap tersebut, menurutnya, diambil setelah pimpinan Kejaksaan Agung, yakni
Jaksa Agung Muda (JAM), Staf Ahli, dan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum)
berembuk untuk menentukan langkah hukum sesuai undang-undang, terhadap kasus yang
menuai perhatian publik itu. Sekarang yang menjadi perdebatan banyak kalangan adalah apakah
sudah tepat deponering yang diambil oleh Jaksa Agung? dan bagaimana dengan opini
masyarakat terhadap para pihak yang memperoleh deponering dalam hal ini Bibit dan Chandra?.
Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 35 huruf c, Jaksa Agung
mempunyai “tugas dan wewenang” untuk “mengesampingkan perkara demi kepenitangan
umum”. Banyak argument akan muncul, alasan pendeponeringan perkara Bibit-Chandra karena
keduanya adalah Pimpinan KPK yang bertugas memberantas Korupsi (dianggap sebagai extra
ordinary crime), KPK harus berjalan normal tanpa terganggu dengan kekosongan pimpinannya.
Andai Bibit-Chandra diadili, maka Presiden wajib memberhentikan sementara dari jabatannya.
Hanya saja apakah dengan pemberhentian sementara oleh presiden ini dapat menyebabkan KPK
tidak dapat menjalankan tugasnya?, Ini yang masih menjadi pertanyaan banyak pihak terkait UU
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Problematika yang muncul setelah putusan penerbitan deponering oleh Jaksa Agung
ialah, secara tidak langsung hal itu mengandung pengakuan bahwa Bibit-Chandra adalah orang
yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan bukti-bukti untuk itu telah lengkap
sebagaimana yang ditegaskan oleh jaksa dalam surat dakwaan. Ini yang membedakan dengan
SKPP yang dianggap tidak cukup bukti atau landasan hukum yang digunakan ternyata tidak kuat.
Artinya, tidak ada kejahatan yang dilakukan. Sedangkan kasus Bibit-Chandra, oleh kejaksaan
Agng diduga dan diakui ada serta cukup bukti, hanya saja perkaranya “dikesampingkan” demi
“kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”.
Jika kita merujuk pada asas presumption of innocent, seharusnya ini menjadi patokkan
bahwa sebelum adanya putusan pengadilan setiap terdakwa dianggap tidak bersalah, Tentu saja
kalau asas praduga tidak bersalah diterapkan, selamanya Bibit-Chandra harus dianggap tidak
bersalah, dengan belum atau tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang
memutuskan mereka bersalah. Bagaimana akan ada, kalau perkaranya memang
“dikesampingkan” alias tak jadi dituntut ke pengadilan. Status mereka menjadi menggantung tak
jelas ujung pangkalnya. Yang menarik dari deponering kasus ini, jelas membuat kondisi KPK
dapat berjalan normal. Hanya saja yang perlu diingat terkait bagaimana opini publik yang timbul
dikalangan masyarakat atas keduanya. Bagaimana mungkin orang yang diberi amanah
memberantas korupsi sebagai Pimpinan KPK, sementara mereka diduga dan diakui sebagai
pelaku kejahatan yang perkaranya dideponering oleh Jaksa Agung. Pertanyaan ini tidak
membawa konsekuensi hukum apa-apa. Konsekuensinya hanya di bidang etis karena belum
dapat diyakinkan secara hukum yang berlaku terkait ketidakbersalahan keduanya dimata
masyarakat luas.
Permasalahan lain yang mencuat terkait wewenang dan tugas deponering ini apakah
dapat dilakukan oleh Plt Jaksa Agung?. Kita ingat beberapa waktu lalu judicial review pada
Mahkama Konstitusi (MK) terkait Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan terhadap ketentuan
Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 oleh Yusril Izha Mahendra, yang kemudian
berakhir pada pemberhnetian Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung dan digantikan oleh
wakilnya sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono. Sebagaian praktisi hukum Indonesia
beranggapan Plt Jaksa Agung tidak dapat mengambil keputusan yang strategis termasuk
deponering. Hal ini ditakutkan akan menimbulkan resiko politik yang tinggi, dan politik balas
budi antara KPK dengan Kejaksaan. Yang artinya, mengharuskan deponering hanya dapat
dilakukan oleh Jaksa Agung definitive yang dianggkat oleh Presiden. Harus diakui keputusan
kejaksaan mendeponir kasus tersebut secara tidak langsung menampakkan ketidakpatuhan
kejaksaan atas putusan praperadilan agar perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan. Memang
kejaksaan yang memiliki hak penuntutan ‘dominus litis’, hanya saja, dalam kasus Bibit-Chandra
ini kejaksaan diangap lalai dalam mengelurkan SKPP dan berbuntut pada deponering.
Dari uraian di atas, mengenai deponering yang dikeluarkan oleh Kejaksaan dianggap
kurang tepat. Disamping sebelumnya sudah melakukan penghentian penuntutan yang menurut
putusan praperadilan dianggap tidak syah serta juga mencederai kejaksaan di mata masyarakat.
Seharusnya Kejaksaan tidak terburu-buru mengambil deponering sampai presiden menunjuk
Jaksa Agung definitif. Adabaiknya Kejaksaan memilih mematuhi putusan PN Jakarta Selatan
dan PT Jakarta untuk meneruskan ke tahap pengadilan.
Jika alasannya dapat mengakibatkan KPK tidak dapat menjalankan tugas dengan maksimal, saya
rasa KPK masih tetap dapat menjalankan tugas dengan dua petinggi KPK yang lain. Tinggal
bagaimana kredibilitas kejaksaan dan pengadilan dalam mengadakan pemeriksaan di pengadilan.
Dalam artian, jika keduanya terbuki tidak bersalah maka putusan final adalah dinyatakan bebas,
namun jika bersalah nyatakan bersalah tidak lantas dijadikan seperti tanpa status pasti. Kepastian
ini lebih baik ditempuh agar martabat para petinggi KPK lebih bersih dimata semua pihak, dan
terwujudnya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under
the law di Indonesia.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Dari uraian pendahuluan dan hasil penelitian di atas, maka dapatlah disimpulkan sebagai
berikut :
1. Pengaturan asas penyampingan perkara demi kepentingan umum (asas opportunitas)
tidak diatur secara jelas dalam KUHAP maupun undang-undang, hanya diatur dalam
beberapa: Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004, KUHAP Pasal 46 ayat
(1) huruf c, Penjelasan Pasal 77 KUHAP. Deponering ini terjadi atas dasar asas
Opportunitas yang masih dianut di Indonesia dan merupakan hak Jaksa Agung
2. Asas opportunitas bisa dilakukan setelah penghentian penuntutan dinyatakan sah,
karena peraturan perundang-undangan tidak ada yang melarangnya.
6.2 Saran
Dari uraian hasil penelitian dan simpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut :
1. Agar pengaturan asas penyampingan perkara demi kepentingan umum (asas
opportunitas) diatur secara jelas dalam KUHAP yang akan dating, tidak seperti
sekarang hanya diatur dalam satu pasal dan dalam penjelasan saja.
2. Walaupuna asas opportunitas bisa dilakukan setelah penghentian penuntutan
dinyatakan tidak sah, karena peraturan perundang-undangan tidak ada yang
melarangnya, tetapi alangkah baiknya agar jangan dilakukan setelah surst
penghentian penuntutan, supaya kejaksaan jangan dianggap ragu-ragu dalam
membuat keputusan, dan pendeponiran tidak dilakukan oleh Plt Jaksa Agung.