BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filepenegak hukum dalam menempatkan ... pembangunan di...

31
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa Indonesia menjunjung tinggihukum yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hakhak asasi manusia, misalnya hak asasi manusia dibidang hukum yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk menciptakan suasana yang tentram dan tertib dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara maka diperlukan aturan hukum atau norma/kaidah untuk menjamin hakhak dan kewajiban masyarakat itu sendiri. Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah menempatkan masalah hukum pada kedudukan yang sesungguhnya, sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negara. Dalam hal ini hukum di negara Indonesia dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah disepakati bersama dan karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing Hukum tidak terlepas dari nilai-nilai dalam masyarakat, dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkretisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Kepekaan para penegak hukum dalam menempatkan hukum sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat adalah kebutuhan pokok. Begitu pula Penuntut umum dalam melakukan penuntutan. Harus

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah filepenegak hukum dalam menempatkan ... pembangunan di...

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan

negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa Indonesia menjunjung tinggihukum yang

berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar 1945. Negara melindungi dan menjamin hak–

hak asasi manusia, misalnya hak asasi manusia dibidang hukum yaitu segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk menciptakan suasana yang tentram dan

tertib dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara maka diperlukan aturan hukum atau

norma/kaidah untuk menjamin hak–hak dan kewajiban masyarakat itu sendiri. Tujuan dari

negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil

dan makmur bagi warganya, yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu

usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah menempatkan masalah hukum pada kedudukan

yang sesungguhnya, sesuai dengan aturan yang berlaku dalam negara. Dalam hal ini hukum di

negara Indonesia dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah disepakati bersama dan

karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik oleh pemerintah maupun

masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing Hukum tidak terlepas dari

nilai-nilai dalam masyarakat, dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan

pencerminan dan konkretisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam

masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Kepekaan para

penegak hukum dalam menempatkan hukum sebagai kebutuhan yang terjadi dalam masyarakat

adalah kebutuhan pokok. Begitu pula Penuntut umum dalam melakukan penuntutan. Harus

menghubungkan antara kepentingan hukum dan kepentingan umum karena kedua soal ini saling

mempengaruhi satu sama lain. Penuntut umum tidak hanya melihat kejahatan dan mencocokanya

dengan suatu peraturan hukum pidana,akan tetapi menciba menempatkan kejadian itu dengan

menghubungkan pada proporsi yang sebenarnya Pembangunan di bidang hukum sendiri tak

dapat dipisahkan sebagai bagian dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan

upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat,

bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan

nasional sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu

melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan

perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Suatu negara hukum menurut Sri Soemantri, harus memenuhi beberapa unsur yaitu :

1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau

perundang-undangan;

2. Ada jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara ;

4. Ada pengawasan dari badan-badan peradilan.1

Hak Asasi Manusia di Indonesia merupakan masalah yang sangat erat kaitanya dengan

sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang adil

dan benar sesuai dengan tujuan dan harapan masyarakat, sangat relevan apabila dilakukan kajian

mengenai proses peradilan pidana, baik tentang pengertiannya secara umum maupun tentang

perkembangan proses peradilan pidana itu sendiri dalam menjamin dan melindungi hak-hak asasi

Sri Soemantri 1996,. Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasiona Tentang

Hukum Acara Pidana. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, hal.

tersangka dan terdakwa. Berkaitan dengan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM),

dapat diartikan bahwa dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap Hak

Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 melalui beberapa Pasal yang mengatur

tentang HAM, salah satunya adalah Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam pasal ini terkandung Azas Persamaan

Kedudukan di Dalam Hukum. Pasal 27 ayat (1) ini diimplementasikan dalam proses peradilan

pidana sebagai Asas Praduga Tidak Bersalah yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1970 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Setelah bangsa Indonesia merdeka, terbukalah

kesempatan yang luas untuk membangun di segala segi kehidupan. Tidak ketinggalan pula

pembangunan di bidang hukum yang antara lain telah dibuat beberapa undang-undang, terutama

yang merupakan pengganti peraturan warisan kolonial, seperti hukum acara pidana nasional yang

dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dewasa ini yang sesuai dan selaras dengan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Negara

Indonesia salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ruang

lingkup berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang Undang Nomor 8

Tahun 1981), terdapat dalam Pasal 2 KUHAP, yang berbunyi : “Undang-undang ini berlaku

untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat

peradilan”. Semenjak lahirnya Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3209. Terdapat beberapa hal yang baru yang bersifat fundamental

apabila dibandingkan dengan Herziene xvi Indiesche Reglement HIR) yang juga dikenal dengan

Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIB).

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-

tidaknya mendekati kebenaran yang materiil, ialah kebenaran yangselengkap-lengkapnya dari

suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuanketentuan hukum acara pidana secara jujur

dan tepat. Untuk mencari pelaku dari suatu tindak pidana serta menjatuhkan pidana, menjaga

agar mereka yang tidak bersalah tidak dijatuhi pidana, meskipun orang tersebut telah dituduh

melakukan suatu tindak pidana. Syarat pertama untuk menindak suatu perbuatan pidana yaitu

adanya suatu ketentuan dalam UU pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan

memberikan sanksi terhadapnya.

Sehingga dengan demikian hal tersebut diatas merupakan hal yang penting sebagaimana

dapat dilihat juga di dalam setiap tahapan pembangunan ditentukan adanya asas pembangunan

nasional. Demikian juga di dalam Hukum Acara Pidana juga ditentukan asas-asas yang menjadi

prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam melaksanakan/menyelesaikan

suatu perkara di Badan peradilan.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Pokok Kejaksaan Tahun 2004 dirumuskan

bahwa: “Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut kejaksaan, ialah alat Negara Penegak

Hukum yang bertugas sebagai Penuntut Umum”. Dengan demikian jaksa adalah sebagai

penuntut umum yang berwenang melakukan penuntutan. Dalam Bab I Pasal I butir 7 diatur

tentang pengertian penuntutan, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Penuntutan adalah

tindakan penuntut umum melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang

dalam hal dan menurur cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya

diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan.2

Dalam melakukan penuntutan dikenal ada dua asas yaitu yang disebut asas legalitas dan

asas oportunitas.

Mengenai asas legalitas dalam hukum acara pidana jangan dicampur adukkan dengan

asas legalitas dalam hukum pidana (materiil) yang biasa disebut asas Nullum Crimen Sine Lege”

yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat KUHP3

Adapun asas legaliatas menurut Hukum Acara Pidana adalah suatu asas yang

mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap suatu delik.

Sedangkan asas oportunitas adalah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang

melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum.

Sesuai makna yang terkandung dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP, disebutkan

bahwa Kejaksaan berwenang menghentikan perkara dalam tahap penuntutan. Dari makna

tersebut, haruslah ditafsirkan secara alternatif, bukan kumulatif. Dalam Pasal tersebut disebutkan

ada pun hal-hal yang dapat menghentikan perkara adalah tidak adanya cukup bukti, bukan

merupakan tindak pidana dan perkara tersebut batal demi hukum. Disamping itu terhadap

perkara yang memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan, Penuntut Umum tidak hanya

berwenang melakukan penuntutan, tetapi juga berwenang menyampingkannya. Penyampingan

perkara yang menjadi wewenang Jaksa Agung yang dilakukan berdasarkan kepentingan umum.4

Jaksa Agung memang diberi kewenangan untuk mengesampingkan perkara demi

kepentingan umum. Paling tidak tercermin dalam Pasal 35 C Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Martiman Prodjohamidjojo 1989, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalm Teori dan Praktek, PT Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 62. Andi Hamzah 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta , , hal. 5. Sudirjo 1985, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Akademika Presindo, Jakarta Pidana, , hal. 6

2004 tentang Kejaksaan Agung. Pasal itu berbunyi : Jaksa Agung mempunyai tugas dan

wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Dalam bagian penjelasan

disebutkan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan

masyarakat luas. Mengesampingkan perkara, demikian penjelasan UU No.16 tahun 2004,

merupakan pelaksanaan asas opportunitas yang hanya dapat dilakukan Jaksa Agung setelah

memerhatikan saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan

dengan masalah itu. Reformasi hukum di Indonesia dirasakan belum dapat mengimbangi

perkembangan yang terjadi di masyarakat selain itu reformasi hukum dinilai belum sepenuhnya

mampu menangani permasalahan penegakan hukum yang masih carut marut. Pemahaman akan

konsep equality before the law masih belum sepenuhnya diterapkan ataupun dipahami secara

benar. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu

Dalam pelaksanaan proses penuntutan suatu perkara tindak pidana, tentu saja tidak

terlepas dari asas-asas yang terdapat dalam KUHAP, karena merupakan unsur yang sangat

penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas-asas tersebut mempunyai relevansi antara satu

dengan yang lain yang sangat menarik untuk dikaji. Sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku hanya Jaksa Agung yang mempunyai wewenang menyampingkan

perkara, tidak seperti melakukan penghentian penuntutan yang bisa dilakukan oleh penuntut

umum. Hanya saja yang menjadi masalah adalah apakah setelah penuntut umum melakukan

penghentian penuntutan dan dinyatakan tidak sah, Berdasarkan hal tersebut, maka penulis

tertarik untuk mengambil judul penelitian : PENYAMPINGAN PERKARA DALAM PROSES

PERADILAN PIDANA.

BAB II

PERUMUSAN MASALAH.

Dari uraian pedahuluan diatas, penelitian ini memfokuskan pada 2 (dua) permasalahan

yang dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan asas penyampingan perkara demi kepentingan umum (asas

opportunitas) dalam KUHAP ?

2. Apakah asas opportunitas bisa dilakukan setelah penghentian penuntutan dinyatakan

tidak sah?

BAB III

STUDI PUSTAKA

Di Indonesia penuntut umum disebut juga Jaksa (Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137 dan

seterusnya KUHAP). Wewenang penuntutan dipegang penuntut umum sebagai monopoli,

artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis ditangan penuntut

umum atau jaksa. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi hakim

hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.5

Menurut ketentuan Pasal 7 Undang Undang No. 16 Tahun 2004 bahwa Jaksa Agung

adalah penuntut umum tertinggi serta meminpin dan mengawasi para Jaksa dalamdalam

melaksanakan tugas untuk kepentingan perkara Jaksa Agung dan jaksa lainnya dalam lingkungan

daerah hukumnya member petunjuk-petunjuk, mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat

penyidik dengan mengindahkan hierachi.6

Mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Butir 7 Kitab

Undang Undang Hukum Acara KUHAP) Pidana, disebutkan tindakan penuntutgan adalah:

“Melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus hakim disidang

Pengadilan”7

Dalam hubungannya dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu yang disebut asas

legalitas dan opportunitas (het legaliteits en het opportuniteits beginsel) menurut asas yang

tersebut pertama penuntut umum wajib menuntut suatu delik. Menurut asas yang kedua, penuntut

umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya

Andi Hamzah,1996, Op. Cit, hal.14Ansori Sabuan 1983, Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Bale Bandung. Hal. 91Djoko Prakoso 1983, Tugas dan Peranan Jaksa dalam Hal Pembangunan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.40.

akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan

delik tidak dituntut.8

Pada dasarnya Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menganut asas

legalitas dalam penuntutan, akan tetapi dalam kenyataannya Kitab Undang Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) masih diberi kemungkinan diberlakukannya asas opportunitas

sebagaimana diakui dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c serta penjelasan dari Pasal 77 KUHAP dan

lebih dipertegas lagi dengan Undang Undang Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 Pasal 32 huruf c.

Menurut Franken wewenang untuk mengesampinkan perkara berdasarkan azas

opportunitas itu meliputi wewenang untuk:

a. Untuk menutut atau tidak melanjutkan penuntutan.

b. Membatasi penuntutan atau penuntutan lebih lanjut mtersebut yakni trbatas untuk

memberlakukan ketentuan pidana yang mempunyai ancaman pidana pokok yang

lebih ringan dalam suatu prilaku itu termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana.

c. Tidak menuntut atau tidak melanjutkan penuntutan secara bersyarat.9

Sehubungan dengan asas opportunitas ada juga mengatakan, bahwa asas opportunitas

adalah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika

menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum asas opportunitas diakui dalam

Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia “

Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan

umum”10

.

Andi Hamzah,1996, Ansori Sabuan 1983, Op..Cit, . hal. 141. Ramelan, 2006,. Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi. Jakarta: Sumber Ilmu

Jaya:hal. 10

Jadi esuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku hanya Jaksa Agung

yang mempunyai wewenang menyampingkan perkara asas (opportunitas), tidak seperti

melakukan penghentian penuntutan yang bisa dilakukan oleh penuntut umum.

BAB IV

TUJUAN PENELITIAN .

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan

konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis (Soerjono Soekanto, 1986 : 42).

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pengaturan asas penyampingan perkara demi kepentingan umum

(asas opportunitas) dalam KUHAP.

b. Untuk mengetahui apakah asas opportunitas bisa dilakukan setelah penghentian

penuntutan dinyatakan tidak sah.

BAB V

METODE PENELITIAN.

1. Pendekatan.

Konsentrasi penelitian ini adalah dalam konteks penyampingan perkara (asas oportunitas)

dalam proses peradilan pidana Karena itu penelitian ini disamping menitik beratkan pada

penelitian normative juga sosiologi.

Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normative dan

sosiologis. Dengan penelitian normative,11

obyek kajiannya adalah untuk meneliti ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah penyampingan perkara (asas

oportunitas). Sedangkan penelitian sosiologis,12

dipergunakan untuk mengidentifikasi tentang

penyampingan perkara (asas oportunitas) dalam proses peradilan pidana

Agar dapat mengerti, memahami, mengengiterpretasikan dan menjelaskan kegiatan

pembangunan dengan pembangunan bidang hukum secara lebih baik, maka paradigma yang

digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Paradigma ini memandang

bahwa manusia pada dasarnya aktif mengkonstruksi dan memodifikasi konsep, model, realitas,

termasuk kebenaran dari hukum. Hukum dipandang sebagai realitas dari konstruksi individu dan

social yang bersifat relative, konsessus, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh

para pelakunya. Realitas itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksi mental, berdasarkan

pengalaman social, bersifaf local dan spesifik dan tergantung orang yang melakukannya. Oleh

11 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian hukum normative Suatu tinjauan Singkat, CV.Rajawali, Jakarta,12 Sudjono Dirdjosisworo, 1983, Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. IX.

karenanya suatu realitas tidak dapat digeralisasi kepada semua orang, seperti yang biasa

dilakukan dikalangan positivis atau positivism.13

3. Sumber Bahan Hukum.

3.1. Bahan Hukum Primer,

Adapun bahan hukum primer yang diperoleh dari studi kepustakaan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang

Undang No.9 Tahun 1990 jo Undang Undang No.10 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah No.67

Tahun 1996, Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 dan peraturan perundang-undangan lain

serta peraturan daerah atau hukum local yang terkait dengan pembangunan pariwisata.

3.2. Bahan Hukum Sekunder.

Bahan hukum Sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan untuk memberi pejelasan

terhadap bahan hukum primer, seperti: penjelasan peraturan perundang-undangan dan karya

ilmiah lainnya.

4. Pengumpulan Bahan Hukum.

Bahan hukum primer dan sekunder dikumpulkan melalui studi dokumentasi dicatat dan

disusun secara sistimatis. Bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut, ada beberapa yang

perlu diklarifikasi kesahihan dan kemutahirannya, agar benar-benar dapat mendukung analisis

Wignjosoebroto Soetandyo 2002 Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Huma, Jakarta, hal. 308.

semua permaslahan dalam membahas penyampingan perkara dalam proses pidana . Sehingga

untuk hal itu dibutuhkan beberapa sumber yang ada hubungannya dengan penelitian ini..

5. Tehnik Analisis Bahan Hukum.

Bahan-bahan hukum yang telah di kumpulkan, dianalisis dengan tekhnik analisis, yakni:

deskriptif, sistimatis, interpretative, evaluative, komparatif dan ekplanasi sebagai aspek

epistemology dalam penelitian ini.

Bahan-bahan hukum yang telah disesuaikan dengan asas-asas hukum, kaedah/norma

hukum tersebut diatas, akan disusun dan dilakukan sistimatisasi data sesuai dengan variable dan

indikatornya. Kemudian bila diperlukan dilakukan interpretasi data dengan menggunakan

argumentasi dan penalaran hukum sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan demikian hasil

analisis bahan-bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini, benar-benar merupakan suatu

proses penguraian secara sistimatis dan konsisten terhadap semua bahan hukum yang diperoleh,

untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dapat

dipecahkan secara baik dan benar.

BAB VI

HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Hasil

6.1.1 Pengaturan/Dasar Hukum Opportunitas

Dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus yang diberi wewenang

untuk melakukan penuntutan ke pengadilan yang disebut penuntut umum hal tersebut terlihat

dalam Pasal 1 butir 6 No.a dan b dan Pasal 137 KUHAP yang ditentukan sebagai berikut :

a. Pasal 1 butir a : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk

bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap butir b :Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi

wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan hakim.

c. Pasal 137 Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa

melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke

pengadilan yang berwenang mengadili.

Sedangkan mengenai asas opportunitas diatur dalam Pasal 35c Undang-Undang No.16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas opportunitas

itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi sebagai berikut : “Jaksa Agung dapat menyampingkan

perkara berdasarkan kepentingan umum”.

Keberadaan asas opportunitas dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP yang

berbunyi :” yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk

kepentingan umum yang menjadi wewenang jaksa agung.

Pada mulanya azas oportunitas itu timbul dalam praktek yang berlakunya didasarkan

pada hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), yang kemudian dimasukkan ke dalam pasal 8

Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 (Lembaran Negara RI Tahun 1961 No 254) tertanggal 30

Juni 1961. Namun undang-undang ini tidak berlaku lagi setelah keluarnya Undang-undang No 5

Tahun 1991 (Lembaran Negara RI Tahun 1991 No 59) tertanggal 22 Juli 1991, dimana hal

tersebut diatur dalam pasal 32 sub c. Beberapa tahun kemudian, undang-undang ini diganti dan

dinyatakan tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-undangNomor 16 Tahun 2004

(Lembaran Negara RI Tahun 2004 No 67) tertanggal 26 Juli 2004, yang mana mengenai hal

tersebut diatur dalam pasal 35 sub c.

Asas opportunitas dan asas equality before the law mempunyai relevansi yang tidak dapat

dipisahkan hal itu dikarenakan karena adanya pertentangan antara kedua asas tersebut. Asas

equality before the law menegaskan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di

muka hukum sedangkan asas opportunitas malah menyatakan sebaliknya, yaitu penuntut umum

tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbanganya akan

merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik

tidak dituntut.

6.1.2 Pengertian Opportunitas

Perkataan opportunitas berasal dari kata-kata latin ini sangat luas artinya. Menurut kamus

bahasa indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminto berarti ketika atau kesempatan yang baik.

Sedangkan H.Kotslesen mengartikan sebagai “Geschte Gelegheid”.

Menurut A.Z. Abidin Farid memberikan perumusan asas opportunitas sebagai berikut. “

Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak

menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi

kepentingan umum.

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada

badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau

jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta

supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut

umum.

6.1.3 Kasus Bibit dan Chandra

Kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah (Bibit-Chandra) bermula dari

testimoni mantan Ketua KPK, Antasari Azhar yang memperoleh informasi bahwa terdapat

pemberian uang dari Anggoro Widjojo dan adiknya Anggodo Widjojo kepada para pejabat KPK

dalam rangka penyelesaian kasus PT. Masaro. Antasari Azhar pergi ke Singapura menemui

Anggoro untuk mengecek kebenaran pemberian uang tersebut dan pembicaraan dengan Anggoro

direkam oleh Antasari Azhar. Antasari Azhar lalu membuat testimoni tentang penerimaan uang

sebesar Rp. 6,7 miliar oleh sejumlah pimpinan KPK pada Mei 2009. Saat itu Antasari sedang

ditahan atas kasus dugaan pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran Nasrudin

Zulkarnaen. Antasari lalu membuat laporan resmi pada 6 JUli 2009 mengenai dugaan suap itu di

Polda Metro Jaya. Laporan itu kemudaian dilimpahkan ke Mabes Polri, lalu dilanjutkan ke upaya

penyelidikan dan penyidik.

Dalam proses penyidikan pada 7 Agustus 2009, menurut Kapolri, diperoleh fakta adanya

tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh dua tersangka yang melanggar Pasal 21 Ayat 5

UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK14

. Saat penyidikan ditemukan keputusan pencekalan dan

pencabutan pencekalan yang dilakukan oleh kedua tersangka tidak secara kolektif. Pencekalan

terhadap Anggoro Widjojo dilakukan oleh Chandra Hamzah, pencekalan terhadap Joko Tjandra

oleh Bibit S. Riyanto, serta pencabutan pencekalan terhadap Joko Tjandra oleh Chandra

Hamzah. Kemudian, dari hasil penyidikan kasus pencekalan terhadap Anggoro ditemukan

adanya aliran dana dari Anggodo melalui Ari Muladi. Temuan itu kemudian dituangkan dalam

laporan polisi (BAP) pada 25 Agustus 2009. Namun kemudian Ari Muladi menarik kembali

BAP dan menyatakan uang dari Anggodo untuk menyuap pejabat KPK diserahkan kepada

Yulianto. Dalam kasus dugaan pemerasan, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap

saksi-saksi dan alat bukti lain. Sedangkan sangkaan penyalahgunaan wewenang, penyidik telah

memeriksa saksi-saksi serta saksi ahli dan ditemukan beberapa dokumen. Pasal yang

disangkakan adalah Pasal 23 UU No 31 Tahun 1999 Jo Pasal 421 KUHP15

. Kedua pimpinan

KPK ini ditetapkan oleh Mabes Polri sebagai tersangka dugaan kasus penyalahgunaan

wewenang terkait penerbitan surat pengajuan pencabitan pencekalan terhadap pengusaha

Anggoro Widjojo dan Joko Soegiarto dan juga dugaan penyuapan.

Dengan ditahannya kedua pimpinan KPK, muncul gerakan public mendesak pembebasan

Bibit dan Chandra. Publik banyak yang menilai telah terjadi upaya kriminalisi terhadap

keduanya. Akhirnya Presiden memutuskan membentuk Tim Delapan yang diketuai oleh Prof.

Adnan Buyung Nasution untuk meverifikasi fakta dan data proses hukum kasus ini. Tim Delapan

menemukan kejanggalan terhadap kasus Bibit-Chandra ini dan menganggap telah ada upaya

kriminalisasi terhadap mereka dan merekomendasikan beberapa hasil rekomendasi kepada

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu hasil rekomendasi tersebut berisikan antara

lain16

Isi rekomendasi tim 8 (lengkap) http://berandakawasan.worpress.com/2010/10/02, 30 Desember 2011

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, Tim 8 merekomendasikan kepada Presiden untuk:

1. Setelah mempelajari fakta-fakta, lemahnya bukti-bukti materil maupun formil dari

penyidik, dan demi kredibilitas system hukum, dan tegaknya penegakan hukum yang

jujur dan obyektif, serta memenuhi rsa keadilan yang berkembang di masyarakat, maka

proses hukum terhadap Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto sebaiknya dihentikan.

Dalam hal ini Tim 8 merekomendasikan agar:

a. Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam hal

perkara ini masih di tangan kepolisian;

b. Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) dalam hal

perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan; atau

c. Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum, perkara perlu

dihentikan, maka berdasarkan azas opprtunitas, Jaksa Agung dapat mendeponir

perkara ini.

2. Setelah menelaah problematika institusional dan personel lembaga-lembaga penegak

hukum di mana ditemukan berbagai kelemahan mendasar maka Tim 8

merekomendasikan agar Presiden melakukan:

a. Untuk memenuhi rasa keadilan, menjatuhkan sanksi kepada pejabat-pejabat yang

bertanggungjawab dalam proses hukum yang dipaksakan dan sekaligus

melakukan reformasi institusional pada tubuh lembaga kepolisian dan kejaksaan;

b. Melanjutkan reformasi institusional dan reposisi personel pada tubuh Kepolisisan,

Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan

Saksi dan Kornban (LPSK) – tentu dengan tetap menghormati independensi

lembaga-lembaga tersebut, utamanya KPK.

Untuk mereformasi lembaga-lembaga penegak hukum tersebut diatas maka

Presiden dapat menginstruksikan dilakukannya ‘governance audit’ oleh suatu

lembaga independen, yang bersifat diagnostic untuk mengidentifikasikan

persoalan dan kelemahan mendasr di tubuh lembaga-lembaga penegak hukum

tersebut.

3. Setelah mendalami betapa penegakan hukum telah dirusak oleh merajalelanya makelar

kasus (markus) yang beroperasi di semua lembaga penegak hukum maka sebagai ‘shock

therapy’ Presiden perlu memprioritaskan operaso pemberantasan makelar kasus (markus)

di dalam semua lembaga penegak hukum termasuk di lembaga peradilan dan profesi

advokat; dimulai dengan pemeriksaan secara tuntas dugaan praktik mafia hukum yang

melibatkan Anggodo Widjojo dan Ari Muladi oleh aparat terkait.

4. Kasus-kasus lainnya yang terkait seperti kasus korupsi Masaro; proses hukum terhadap

Susno Duadji dan Lucas terkait dana Budi Sampoerna di Bank Century; serta kasus

pengadaan SKRT Departemen Kehutanan; hendaknya dituntaskan.

5. Setelah mempelajari semua kritik dan input yang diberikan tentang lemahnya strategi dan

implementasi penegakan hukum serta lemahnya koordinasi di antara lembaga-lembaga

penegak hukum maka Presiden disarankan membentuk Komisi Negara yang akan

membuat program menyeluruh dengan arah dan tahapan-tahapan yang jelas untuk

pembenahan lembaga-lembaga hukum, termasuk organisasi profesi Advokat, serta

sekaligus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga hukum lainnya untuk menegakkan

prinsip-prinsip Negara hukum, due process of law, hak asasi manusia dan keadilan.

Menindaklanjuti hasil rekomendasi dari Tim 8, Presiden SBY berpidato pada tanggal 23

November 2009, Presiden memberikan penjelasan kepada wartawan di Istana Negara, yang

meminta Polri dan Kejaksaan Agung untuk tidak melanjuti kasus hukum pimpinan non aktif

Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit dan Chandra kepengadilan. SBY menganjurkan agar

perkara Bibit dan Chandra diselesaikan diluar pengadilan (out of court settlement).

Kasus pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan

Chandra M. Hmazah akhirnya diberhentikan. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan

menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) pada hari selasa tanggal 1

Desember 2009, untuk menghentikan penuntutan perkara tersebut. SKPP No: TAP-

01/0.1.14/Ft.1/12/2009 tertanggal 1 Desember 2009 untuk tersangka Chandra M. Hamzah dan

SKPP No: TAP-02/0.1.14/Ft.1/12/2009 tertanggal 1 Desember 2009 untuk Bibit Samad Rianto,

diserahkan secara langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Setia Untung

Arimuladi. Perkara ini dihentikan demi hukum karena dinilai tidak layak dilimpahkan

kepengadilan17

, adapun alasan-alasan untuk menghentikan penuntutan terdiri dari alasan Yuridis

dan Sosiologis.

1. Alasan Yuridis

Bahwa perbuatan tersangka tersebut meski telah memenuhi rumusan delik yang disangkakan,

baik pasal 12 huruf e UU No 31 Tahun 1999jo. UU No 20 Tahun 2001 maupun Pasal 23 UU No

31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 jo. Pasal 421 KUHP, namun karena dipandang

tersangka tidak menyadari dampak yang akan timbul dari perbuatannya, maka perbuatan tersebut

dianggap hal yang wajar dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya, mengingat hal

tersebut sebelumnya sudah dilakukan oleh para pendahulunya, oleh karena itu baginya dapat

diterapkan pasal 50 KUHP.

2. Alasan Sosiologis

a. Adanya suasana kebathinan yang berkembang saat ini, membuat perkara tersebut

tidak layak diajukan kepengadilan, karena lebih banyak mudharat dari manfaatnya

b. Untuk menjaga keterpaduan atau harmonisasi lembaga penegak hukum dalam

menjalankan tugasnya untuk pemberantasan korupsi, sebagaimana alasan doctrinal

yang dinamis dalam hukum pidana.

c. Masyarakat memandang perbuatan yang dilakukan tersangka tidak layak untuk

dipertanggungjawabkan kepada tersangka karena perbuatan tersebut adalah dalam

rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya didalam pemberantasan korupsi yang

memerlukan terobosan-terobosan hukum18

.

Kejaksaan yang pada akhirnya memilih menerbitkan SKPP (Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan) menimbulkan polemic di masyarakat. Banyak para ahli hukum berpendapat alasan

penggunaan SKPP ini kurang tepat19

. Para ahli tersebut banyak yang menilai sebaiknya Jaksa

Agung menggunakan hak oportunitasnya untuk menutup perkara ini. Pada perkembangannya

SKPP ini divcabut oleh hakim dipengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan

Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan SKPP perkara Bibit dan Chandra http://kejari jaksel.go.id/berita.php/news46, 17 Oktober 2010 18 http;//www.detiknews.com/read/2010/04/20/105349/1341689/10/selain-sosiologis-skpp-bibit-chandra-memuat-

alasan-yuridis, Jumat 08 Oktober 2010

Praperadilan Anggodo dan kuasa hukumnya. Selanjutnya Kejaksaan melakukan upaya hukum

banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

namun ternyata dalam amar putusannya 3 Juni 2010, Pengadilan DKI Jakarta menlak gugatan

Kejaksaan dan mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut Pasal 83 ayat

2 KUHAP putusan terakhir mengenai praperadilan ada di Pengadilan Tinggi. Dalam kasus ini

berarti putusan yang membatalkan SKPP Bibit dan Chandra membawa konsekuensi bahwa

keduanya kembali berstatus tersangka dan putusan tersebut sudah inkrah karena tidak ada lagi

upaya hukum yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keabasahan SKPP tersebut.

Pada prosesnya, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali kepada MA terhadap

putusan praperadilan Pengadilan Tinggi DKI. Mahkamah Agung pada tanggal 8 Oktober 2010

menolak PK dalam amar putusannya NO (Niet Ontvankeljik Verklaard) artinya tidak dapat

menerima permohonan pemohon menyangkut syarat formil, dengan alasan karena Mahkamah

Agung tidak memiliki wewenang melakukan Peninjauan Kembali terhadap putusan praperadilan.

Putusan praperadilan bersifat final dan terakhir di Pengadilan Tinggi. Mahkamah agung merujuk

pada Pasal 45 huruf a ayat 1 dan ayat 2 UU Mahkamah Agung jo pasal 83 ayat 2 KUHAP,

bahwa tidak ada upaya hukum lanjutan mengenai praperadilan setelah diputus oleh pengadilan

Tinggi. Penulis berpendapat Kejaksaan Agung salah menafsirkan pasal 263 ayat 1 tentang

Peninjauan Kemabli Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Mungkin dari pasal inilah Kejaksaan berharap bahwa putusan Penngadilan Tinggi DKI Jakarta

dapat dibatalkan melalui peninjauan kembali. Banding di pengadilan Tinggi ditolak dan

peninjauan Kembalinya pun tidak dapat diterima oleh MA.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4caf124762588/ma-kandaskan-pk-praperadilan-atas-skpp bibitchandra, Jumat 08 Oktober 2010

Setelah Peninjauan Kembalinya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung akhirnya

Kejaksaan Agung melalui Pelaksana Tugas (plt) Jaksa Agung Dharmono S.H memutuskan untuk

menggunakan hak oportunitas dalam kasus ini. Atas dasar kepentingan pemberantasan korupsi di

negeri ini, setelah melalui proses yang panjang dan berliku, akhirnya Pelaksana Tugas Jaksa

Agung Dharmono, mengeluarkan Deponering atas kasus Bibit dan Chandra. Keputusan ini

dikeluarkan oleh Plt Jaksa Agung pada 29 Oktober 2010, tapat satu tahun saat Bibit dan Chandra

ditahan oleh Mabes Polri ketika itu. Dasar hukum deponring atau pengesampingan perkara oleh

Jaksa Agung adalah pasal 35 c Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang

berbunyi: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang , diantaranya adalah

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.” Dalam penjelasan pasal ini, yang

dimaksud kepentingan masyarakat luas. Alasan yang dikemukakan oleh Plt Jaksa Agung

Dharmono adalah demi kepentingan yang lebih luas, yaitu menyelamatkan pemberantasan

korupsi. 24 januari 20111, jaksa Agung Basrief Arief akhirnya resmi menandatangani dua surat

Ketetapan Pengenyampingan perkara Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Dua

surat ketetapan itu masing-masing bernomor TAP 001/A/JA/01/2011 atas nama Chandra M.

Hamzah dan TAP 002/A/JA/01/2011 atas nama Bibit Samad Riyanto resmi diterbitkan Basrief,

surat itu menyatakan meski perkara Bibit-Chandra tetap dianggap ada, namun dikesampingkan

demi kepentingan umum

6.2. Pembahasan.

Dalam sejarah Hukum Acara Pidana Indonesia penyampingan perkara demi kepentingan

umum sangat jarang dilakukan. Pada masa Orde Baru pengenyampingan perkara demi

kepentingan umum pernah diterapkan pada kasus M. Yasin (tokoh petisi 50). Ketika berkas

perkara dilimpahkan ke penuntut umum dalam tahap prapenuntutan, Jaksa Agung menggunakan

hak opportunitasnya sesuai dengan KUHP yaitu dengan mengenyampingkan perkara demi

kepentingan umum. Kepentingan umum dalam hal ini adalah kepentingan politik.

Mengapa kepentingan politik yang menjadi pertimbangan dalam mengenyampingkan

perkara ini, pertimbangannya karena apabila perkara M. Yasin dituntut dan diadili di

persidangan, akan menimbulkan gejolak politik yang luas di kalangan masyarakat termasuk di

kalangan ABRI dan purnawirawan ABRI yang berdampak kepada stabilitas ekonomi, sosial

budaya, pertahanan keamanan, dan lain-lain, jadi pertimbangann dalam perkara Jenderal M.

Yasin ini adalah pertimbagan kepentingan umum dalam aspek politik negara.

Pada masa reformasi, problem deponering ini kembali mencuat dalam kasus yang dialami

oleh Bibit-Chandra. Kasus petinggi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Bibit S. Rianto dan

Chandra M Hamzah menyedop banyak perhatian masyarakat. hal tersebut terlihat jelas hingga

adanya akun pada salah satu situs jejaring social yang mendukung kedua petinggi KPK tersebut.

Kasus tersebut selanjutnya ditangani oleh tim 8 yang diketuai Adnan Buyung Nasution, dalam

situs resmi liputan6.com Tim 8 menyimpulkan beberapa hal diantaranya:

1. Pada awalnya, proses pemeriksaan terhadap dugaan adanya penyuapan dan/atau

pemerasan pemerasan dalam kasus Chandra dan Bibit adalah wajar (tidak ada rekayasa)

berdasarkan alasan-alasan:

2.. Dalam perkembangannya Polisi tidak menemukan adanya bukti penyuapan dan/atau

pemerasan, namun demikian Polisi terlihat memaksakan dugaan penyalahgunaan

wewenang oleh Chandra dan Bibit dengan menggunakan:

3. Polri tidak memiliki bukti yang cukup untuk mendakwa Chandra dan Bibit atas dasar

penyalahgunaan wewenang berdasarkan Pasal 23 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal

421 KUHP dan pemerasan berdasarkan Pasal 12 (e) Undang-undang Tindak Pidana

Korupsi serta percobaannya berdasarkan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan kesimpulan yang dituangkan dalam situs tersebut, Tim 8 juga mengusulkan

beberapa usulan terkait penyelesaian kasus tersebut:

1. Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam hal perkara

ini masih di tangan kepolisian;

2. Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) dalam hal

perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan; atau

3. Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum, perkara perlu dihentikan,

maka berdasarkan asas opportunitas, Jaksa Agung dapat mendeponirkan perkara ini.

Permasalahan kasus Bibit-Chandra mulai timbul lebih runcing setelah Kejaksaan

memutusan untuk menghentikan kasus tersebut dengan menerbitkan SKPP. Sayangnya SKPP

tersebut dianggap terlalu lemah karena alasan-alasan yang seharusnya diajukan oleh Kejaksaan

tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP dan dianggap terlalu lemah. Hal tersebut

berbuntut pada praperadilan yang diajukan oleh Anggodo. Dikarenakan alasan penerbitan SKPP

lemah, maka SKPP itu dibatalkan oleh hakim Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Ketika Kejaksaan banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Selatan

atau memenagkan tuntutan Anggodo. Menurut KUHAP, sampai disini perkara selesai, artinya,

kejaksaan wajib meneruskan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan. Namun kejaksaan Agung

masih coba-coba mengajukan PK ke Mahkama Agung yang akhrinya Mahkama Agung

memutuskan tidak berwenang mengadili permohon PK tersebut.

Dari uraian di atas, timbul beberapa kemungkinan yang dapat di tempuh oleh kejaksaan.

tinggal dua alternatif: deponering atau meneruskan kasus ke pengadilan. Pendapat lain yang

mengemuka adalah penerbitan SKPP baru atau SKPP jilid dua.Akhir Oktober 2010, keputusan

Kejaksaan Agung (Kejakgung) secara resmi melakukan deponering atas kasus dugaan

penyalahgunaan wewenang Bibit-Chandra. Keputusan melakukan deponering disampaikan

Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung, Darmono, saat jumpa pers di Gedung Jaksa Agung, Jakarta,

Jumat (29/10). Sikap tersebut, menurutnya, diambil setelah pimpinan Kejaksaan Agung, yakni

Jaksa Agung Muda (JAM), Staf Ahli, dan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum)

berembuk untuk menentukan langkah hukum sesuai undang-undang, terhadap kasus yang

menuai perhatian publik itu. Sekarang yang menjadi perdebatan banyak kalangan adalah apakah

sudah tepat deponering yang diambil oleh Jaksa Agung? dan bagaimana dengan opini

masyarakat terhadap para pihak yang memperoleh deponering dalam hal ini Bibit dan Chandra?.

Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 35 huruf c, Jaksa Agung

mempunyai “tugas dan wewenang” untuk “mengesampingkan perkara demi kepenitangan

umum”. Banyak argument akan muncul, alasan pendeponeringan perkara Bibit-Chandra karena

keduanya adalah Pimpinan KPK yang bertugas memberantas Korupsi (dianggap sebagai extra

ordinary crime), KPK harus berjalan normal tanpa terganggu dengan kekosongan pimpinannya.

Andai Bibit-Chandra diadili, maka Presiden wajib memberhentikan sementara dari jabatannya.

Hanya saja apakah dengan pemberhentian sementara oleh presiden ini dapat menyebabkan KPK

tidak dapat menjalankan tugasnya?, Ini yang masih menjadi pertanyaan banyak pihak terkait UU

Komisi Pemberantasan Korupsi.

Problematika yang muncul setelah putusan penerbitan deponering oleh Jaksa Agung

ialah, secara tidak langsung hal itu mengandung pengakuan bahwa Bibit-Chandra adalah orang

yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan bukti-bukti untuk itu telah lengkap

sebagaimana yang ditegaskan oleh jaksa dalam surat dakwaan. Ini yang membedakan dengan

SKPP yang dianggap tidak cukup bukti atau landasan hukum yang digunakan ternyata tidak kuat.

Artinya, tidak ada kejahatan yang dilakukan. Sedangkan kasus Bibit-Chandra, oleh kejaksaan

Agng diduga dan diakui ada serta cukup bukti, hanya saja perkaranya “dikesampingkan” demi

“kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”.

Jika kita merujuk pada asas presumption of innocent, seharusnya ini menjadi patokkan

bahwa sebelum adanya putusan pengadilan setiap terdakwa dianggap tidak bersalah, Tentu saja

kalau asas praduga tidak bersalah diterapkan, selamanya Bibit-Chandra harus dianggap tidak

bersalah, dengan belum atau tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang

memutuskan mereka bersalah. Bagaimana akan ada, kalau perkaranya memang

“dikesampingkan” alias tak jadi dituntut ke pengadilan. Status mereka menjadi menggantung tak

jelas ujung pangkalnya. Yang menarik dari deponering kasus ini, jelas membuat kondisi KPK

dapat berjalan normal. Hanya saja yang perlu diingat terkait bagaimana opini publik yang timbul

dikalangan masyarakat atas keduanya. Bagaimana mungkin orang yang diberi amanah

memberantas korupsi sebagai Pimpinan KPK, sementara mereka diduga dan diakui sebagai

pelaku kejahatan yang perkaranya dideponering oleh Jaksa Agung. Pertanyaan ini tidak

membawa konsekuensi hukum apa-apa. Konsekuensinya hanya di bidang etis karena belum

dapat diyakinkan secara hukum yang berlaku terkait ketidakbersalahan keduanya dimata

masyarakat luas.

Permasalahan lain yang mencuat terkait wewenang dan tugas deponering ini apakah

dapat dilakukan oleh Plt Jaksa Agung?. Kita ingat beberapa waktu lalu judicial review pada

Mahkama Konstitusi (MK) terkait Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan terhadap ketentuan

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 oleh Yusril Izha Mahendra, yang kemudian

berakhir pada pemberhnetian Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung dan digantikan oleh

wakilnya sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono. Sebagaian praktisi hukum Indonesia

beranggapan Plt Jaksa Agung tidak dapat mengambil keputusan yang strategis termasuk

deponering. Hal ini ditakutkan akan menimbulkan resiko politik yang tinggi, dan politik balas

budi antara KPK dengan Kejaksaan. Yang artinya, mengharuskan deponering hanya dapat

dilakukan oleh Jaksa Agung definitive yang dianggkat oleh Presiden. Harus diakui keputusan

kejaksaan mendeponir kasus tersebut secara tidak langsung menampakkan ketidakpatuhan

kejaksaan atas putusan praperadilan agar perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan. Memang

kejaksaan yang memiliki hak penuntutan ‘dominus litis’, hanya saja, dalam kasus Bibit-Chandra

ini kejaksaan diangap lalai dalam mengelurkan SKPP dan berbuntut pada deponering.

Dari uraian di atas, mengenai deponering yang dikeluarkan oleh Kejaksaan dianggap

kurang tepat. Disamping sebelumnya sudah melakukan penghentian penuntutan yang menurut

putusan praperadilan dianggap tidak syah serta juga mencederai kejaksaan di mata masyarakat.

Seharusnya Kejaksaan tidak terburu-buru mengambil deponering sampai presiden menunjuk

Jaksa Agung definitif. Adabaiknya Kejaksaan memilih mematuhi putusan PN Jakarta Selatan

dan PT Jakarta untuk meneruskan ke tahap pengadilan.

Jika alasannya dapat mengakibatkan KPK tidak dapat menjalankan tugas dengan maksimal, saya

rasa KPK masih tetap dapat menjalankan tugas dengan dua petinggi KPK yang lain. Tinggal

bagaimana kredibilitas kejaksaan dan pengadilan dalam mengadakan pemeriksaan di pengadilan.

Dalam artian, jika keduanya terbuki tidak bersalah maka putusan final adalah dinyatakan bebas,

namun jika bersalah nyatakan bersalah tidak lantas dijadikan seperti tanpa status pasti. Kepastian

ini lebih baik ditempuh agar martabat para petinggi KPK lebih bersih dimata semua pihak, dan

terwujudnya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under

the law di Indonesia.

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Dari uraian pendahuluan dan hasil penelitian di atas, maka dapatlah disimpulkan sebagai

berikut :

1. Pengaturan asas penyampingan perkara demi kepentingan umum (asas opportunitas)

tidak diatur secara jelas dalam KUHAP maupun undang-undang, hanya diatur dalam

beberapa: Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004, KUHAP Pasal 46 ayat

(1) huruf c, Penjelasan Pasal 77 KUHAP. Deponering ini terjadi atas dasar asas

Opportunitas yang masih dianut di Indonesia dan merupakan hak Jaksa Agung

2. Asas opportunitas bisa dilakukan setelah penghentian penuntutan dinyatakan sah,

karena peraturan perundang-undangan tidak ada yang melarangnya.

6.2 Saran

Dari uraian hasil penelitian dan simpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut :

1. Agar pengaturan asas penyampingan perkara demi kepentingan umum (asas

opportunitas) diatur secara jelas dalam KUHAP yang akan dating, tidak seperti

sekarang hanya diatur dalam satu pasal dan dalam penjelasan saja.

2. Walaupuna asas opportunitas bisa dilakukan setelah penghentian penuntutan

dinyatakan tidak sah, karena peraturan perundang-undangan tidak ada yang

melarangnya, tetapi alangkah baiknya agar jangan dilakukan setelah surst

penghentian penuntutan, supaya kejaksaan jangan dianggap ragu-ragu dalam

membuat keputusan, dan pendeponiran tidak dilakukan oleh Plt Jaksa Agung.