BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id 1.pdf · Pada era globalisasi dan...
Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id 1.pdf · Pada era globalisasi dan...
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi dan modernisasi yang semakin berkembang seperti saat
ini, masyarakat seharusnya sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan di
bidang kesehatan. Kesehatan merupakan hal pokok dan hal dasar yang harus
terpenuhi untuk mencapai kesejahteraan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia
dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan oleh pemerintah yang
merupakan cita – cita pembangunan bangsa Indonesia. Dalam Undang - Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disingkat dengan
UUD NRI 1945), perlindungan terhadap kesehatan sangat jelas diamanatkan
dalam ketentuan Pasal 28H Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak
seseorang untuk mendapatkan kesehatan merupakan bagian dari Hak Asasi
Manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan memiliki kedudukan yang
setara bagi setiap orang.
Kesehatan merupakan hak yang wajib harus dipenuhi oleh pemerintah.
Salah satu wujud pemenuhan tersebut diantaranya dengan memberikan
perlindungan terhadap bahaya dari paparan asap rokok yang dimana tidak hanya
membahayakan perokok itu sendiri, tetapi juga orang lain disekitar perokok
tersebut atau dapat dikatakan perokok pasif. Asap rokok terdiri dari asap rokok
2
utama (main stream) yang mengandung 25% kadar bahan berbahaya dan asap
rokok sampingan (side stream) yang mengandung 75% kadar berbahaya. Dimana
Asap rokok mengandung lebih dari 4000 jenis senyawa kimia yang dimana sekitar
400 jenis diantaranya merupakan zat beracun (berbahaya) dan 69 jenis tergolong
zat penyebab kanker (karsinogenik). Menurut Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan bahwa sebanyak 25 % zat
berbahaya yang terkandung dalam rokok tersebut masuk ke tubuh perokok aktif,
sedangkan 75 % beredar di udara bebas yang berisiko masuk ke tubuh orang di
sekelilingnya1.
Selain itu, menghirup asap rokok bagi seseorang yang tidak merokok secara
langsung namun menghirup asap rokok dari orang sekitarnya atau sering disebut
dengan perokok pasif memiliki dampak maupun efek negatif baik dalam jangka
pendek maupun dalam jangka panjang. Efek dari terkena asap rokok langsung
dalam jangka pendek dapat menyebabkan berbagai keluhan seperti mata merah,
sakit kepala dan batuk-batuk. Sedangkan jangka panjang dari dampak merokok
bagi perokok pasif diantaranya adalah stroke dan serangan jantung. Sedangkan
pada wanita hamil merokok dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan
janin ataupun keguguran2. Maka perlindungan terhadap perokok pasif merupakan
wujud terhadap perlindungan terhadap hak asasi manusia di bidang kesehatan dan
sebagai upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum.
1 I Komang Wijana dan I Nyoman Mudana, 2013, Pelaksanaan Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kasawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka
Perlindungan Terhadap Perokok Pasif, E – Journal Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.2
2 Anonim, 2014, “Bahaya Menjadi Perokok Pasif”, Alodokter, URL :
http://www.alodokter.com/bahaya-menjadi-perokok-pasif , diakses tanggal 10 Oktober 2015
3
Negara hukum adalah, negara atau pemerintah yang berdasarkan hukum.
Negara menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan
penyelenggaraan kekuasaan dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Kekuasaan
tumbuh pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum3. Indonesia
merupakan negara hukum dimana negara hukum adalah negara atau pemerintahan
yang berdasarkan hukum. Sejalan dengan hal tersebut, dan upaya perlindungan
terhadap kesehatan masyarakat, secara yuridis diatur dalam Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (selanjutnya
disingkat UU Kesehatan). Salah satu bentuk perlindungan terhadap kesehatan
masyarakat terdapat pada Pasal 115 Ayat (1) UU Kesehatan yang mengatur
tentang Kawasan Tanpa Rokok. Kawasan Tanpa Rokok tersebut terdiri dari
fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak
bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum lainnya.
Negara Indonesia sebagai negara kesatuan menganut yang asas
desentralisasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada kepala daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan dengan melaksanaakan otonomi daerah4. Sebagai daerah otonom
yang melaksanakan otonomi daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung
berwenang untuk membuat Peraturan Daerah guna menyelenggarakan urusan
otonomi daerah dan tugas perbantuan. Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala
Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
3 Agus Salim Andi Gadjong, 2007, Pemerintah Daerah Kajian Politik Dan Hukum,
Ghalia Indonesia, Bogor, h.33
4 Deddy Supriady Bratakusuma dan Dadang Solihin, 2002, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah, PT. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, h.1
4
(Selanjutnya disebut dengan DPRD). Substansi atau muatan materi Peraturan
Daerah adalah penjabaran maupun pelaksanaan di daerah dari peraturan
perundang – undangan yang tingkatannya lebih tinggi5 . Dalam Undang - Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1
Ayat (2) (selanjutnya disebut dengan UU Pemerintahan Daerah) disebutkan bahwa
: “Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah
Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”6.
Daerah otonom mempunyai kewenangan mengatur (rules making =
regeling) dan mengurus (rules application=bestuur). Menurut Hanif Nurcholis
menyebutkan bahwa “dalam istilah administrasi publik masing-masing wewenang
tersebut lazim disebut wewenang membentuk kebijakan (policy making) dan
wewenang melaksanakan kebijakan (policy executing)”7. Mengatur dalam konteks
otonomi daerah merupakan perbuatan untuk menciptakan norma hukum yang
berlaku dapat umum. Norma hukum tertuang dalam Peraturan Daerah maupun
Keputusan Kepala Daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, sebagai negara kesatuan yang menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, salah satu bentuk
desentralisasi tersebut adalah melalui UU Kesehatan mengamanatkan Pemerintah
5 Siswanto Sunarno, 2005, Hukum Pemerintah Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, h.37
6 Agung Djojosoekarto, 2004, Dinamika Dan Kapasitas DPRD Dalam Tata
Pemerintahan Demokratis, Konrad Adeneur Stifrung, Jakarta, h. 235 7 Hanif Nurcholis, 2007, Teori dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah,
PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.25
5
Daerah untuk mengatur penetapan Kawasan Tanpa Rokok. Pengaturan ini
bertujuan untuk mencegah dan mengatasi dampak buruk dari asap rokok. Pasal
115 Ayat (2) UU Kesehatan menentukan bahwa pemerintah Daerah wajib
menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya. Dengan atas dasar hal tersebut
dan menurut ketentuan Pasal 115 Ayat (2) UU Kesehatan yang mewajibkankan
Pemerintah Daerah pada umumnya dan khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten
Badung untuk membuat sebuah peraturan perundang – undangan Daerah untuk
mengatur kawasan tanpa rokok. Peraturan Perundang – undangan Daerah di
Kabupaten Badung tentang Kawasan Tanpa Rokok terwujud dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa
Rokok.
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok ini dibentuk bertujuan untuk memberikan perlindungan
yang efektif dari bahaya asap rokok, memberikan ruang dan lingkungan yang
bersih dan sehat bagi masyarakat serta untuk melindungi kesehatan masyarakat
secara umum dari dampak buruk merokok baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam kenyataan dilapangan, pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten
Badung setelah terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun
2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok belum terlaksana secara optimal dilapangan
dikarenakan masih adanya masyarakat yang merokok di Kawasan Tanpa Rokok.
Hal tersebut dibuktikan pada saat dilakukan sidak perokok di Bandara
6
Internasional Ngurah Rai, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung yang dimana pada
terjaring 35 orang pada sidak pertama dan 64 orang pada sidak kedua8.
Kesenjangan yang terjadi antara Peraturan Daerah Kabupaten Badung
Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan kenyataan yang terjadi
dilapangan dengan ditemukan banyaknya pelanggaran terhadap Kawasan Tanpa
Rokok menjadi latar belakang penulis untuk mengkaji dan meneliti terdahap
Kawasan Tanpa Rokok. Berdasarkan atas dasar uraian latar belakang yang telah
dipaparkan, maka penulis mengangkat dan mengambil penelitian skripsi yang
berjudul tentang “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAWASAN TANPA
ROKOK DI KABUPATEN BADUNG”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan serta upaya dalam penegakan hukum
terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung?
2. Bagaimanakah hambatan pemerintah dalam penegakan hukum
terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung ?
8Anonim , 2015, “Langgar Perda Kawasan Tanpa Rokok” , Denpost, URL :
http://www.denpostnews.com/2015/07/04/langgar-perda-kawasan-tanpa-rokok/, diakses tanggal
13 Oktober 2015
7
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Agar suatu penelitian tetap terarah atau fokus pada tujuan maupun rumusan
masalah yang telah ditetapkan, maka diperlukan kerangka pemikiran yang
berfungsi sebagai pedoman atau arah pembahasan terhadap seluruh rangkaian
penelitian. Untuk dapat merekonstruksi kerangka pemikiran tersebut, maka
terlebih dahulu perlu ditentukan ruang lingkup kajian permasalahan terkait
Penegakan Hukum Terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung.
Berdasarkan atas lingkup kajian tersebut, maka selanjutnya akan dilakukan
pembatasan-pembatasan tertentu sehingga penelitian ini tidak terlalu luas dan
menyimpang dari pokok bahasan. Untuk itu dapat diketengahkan beberapa teori
yang berkaitan dengan kajian permasalahan dalam penelitian ini, sehingga dapat
dipakai sebagai analisis dalam menjelaskan dan menganalisis permasalahan
penulisan penelitian ini. Untuk memfokuskan penelitian maka penulis membatasi
ruang lingkup dari penelitian ini. Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam
penelitian ini adalah :
1. Pada permasalahan pertama akan dibatasi ruang lingkup penelitiannya
mengenai bagaimana pelaksanaan dan upaya dalam penegakan
hukum, maka penelitian ini akan meneliti dan membahas mengenai
bagaimana upaya dalam penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa
Rokok di Kabupaten Badung.
8
2. Pada permasalahan kedua akan dibatasi ruang lingkup penelitiannya
mengenai hambatan pemerintah dalam rangka penegakan hukumnya,
maka penelitian ini akan meneliti dan membahas mengenai bagaimana
kendala serta hambatan pemerintah dalam penegakan hukum terhadap
Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung.
1.4 Orisinalitas
Penelitian ini merupakan karya asli penulis sehingga dapat di
pertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Untuk memperlihatkan
orisinalitas dari skripsi ini maka dapat dibandingkan perbedaannya dengan
penelitian terdahulu. Dalam penelitian ini penulis menjabarkan tentang penegakan
hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung dengan obyek
penelitiannya adalah upaya penegakan hukum terhadap Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan
kendala maupun hambatan pemerintah dalam penegakan hukum terhadap
Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung. Adapun penelitian yang memiliki
kemiripan dengan penelitian ini adalah:
1. Ida Bagus Nyoman Sanjaya Diputra, Fakultas Hukum Universitas
Udayana, 2013. Mengangkat sebuah penelitian yang berjudul
“PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN
MINUMAN BERALKOHOL DI KOTA DENPASAR”. Dengan
rumusan masalah pertama yaitu bagaimana penegakan hukum
9
terhadap pelanggaran mengenai perdagangan minuman beralkohol di
Kota Denpasar?. Rumusan masalah yang kedua yaitu apakah kendala
dalam penegakan hukum dari peraturan mengenai perdagangan
minuman beralkohol di Kota Denpasar?. Perbedaan penelitian antara
penelitian yang ditulis oleh Ida Bagus Nyoman Sanjaya Diputra
dengan yang ditulis oleh I Gusti Ngurah Surya Adhi Kencana Putra
terletak pada obyek kajian penelitian dan lokasi penelitian. Obyek
kajian penelitian yang ditulis oleh Ida Bagus Nyoman Sanjaya Diputra
terletak pada perdagangan minuman beralkohol dan Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 43/M-DAG/PER/9/2009
Tentang Perdagangan, Penjualan, Pengawasan Dan Pengendalian
Minuman Beralkohol yang objek penelitiannya dilakukan di Kota
denpasar. Sedangkan obyek kajian yang ditulis oleh I Gusti Ngurah
Surya Adhi Kencana Putra terletak pada Kawasan Tanpa Rokok dan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang
Kawasan Tanpa Rokok yang objek penelitiannya dilakukan di
Kabupaten Badung.
2. Made Agus Ghana Kartika Murti, Fakultas Hukum Universitas
Udayana, 2010. Mengangkat sebuah penelitian yang berjudul
“PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR
NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 15 TAHUN
10
1993 TENTANG KEBERSIHAN DAN KETERTIBAN UMUM DI
KOTA DENPASAR”. Dengan rumusan masalah pertama yaitu
bagaimana pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3
Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Denpasar
Nomor 15 Tahun 1993 Tentang Kebersihan Dan Ketertiban Umum di
Kota Denpasar?. Rumusan masalah yang kedua faktor-faktor apakah
yang mempengaruhi pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Denpasar
Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota
Denpasar Nomor 15 Tahun 1993 Tentang Kebersihan Dan Ketertiban
Umum di Kota Denpasar?. Perbedaan penelitian antara penelitian
yang ditulis oleh Made Agus Ghana Kartika Murti dengan yang ditulis
oleh I Gusti Ngurah Surya Adhi Kencana Putra terletak pada obyek
kajian penelitian dan lokasi penelitian. Obyek kajian penelitian yang
ditulis oleh Made Agus Ghana Kartika Murti terletak pada Peraturan
Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 1993 Tentang
Kebersihan Dan Ketertiban Umum yang objek penelitiannya
dilakukan di Kota denpasar. Sedangkan obyek kajian yang ditulis oleh
I Gusti Ngurah Surya Adhi Kencana Putra terletak pada Kawasan
Tanpa Rokok dan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8
Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok yang objek penelitiannya
dilakukan di Kabupaten Badung
11
1.5 Tujuan Penulisan
1.5.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian dengan dua permasalahan diatas, adalah bertujuan
untuk mengembangkan ilmu hukum atau menambah khasanah pengetahuan
dibidang Hukum Administrasi Negara khususnya di bidang Hukum Pemerintahan
Daerah yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok
di Kabupaten Badung yang sesuai dengan kaidah atau norma-norma hukum yang
berlandaskan asas otonomi daerah serta standar menurut prinsip demokrasi.
1.5.2 Tujuan Khusus
Sehubungan dengan tujuan umum maka adapun tujuan khusus yang ingin
dicapai lebih lanjut dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pelaksanaan serta
upaya penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di
Kabupaten Badung.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai hambatan pemerintah
dalam penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa Rokok di
Kabupaten Badung.
1.6 Manfaat Penilisan
1.6.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan melalui penelitian ini terhadap kedua
permasalahan diatas yakni untuk dapat merumuskan pemikiran-pemikiran bersifat
teoritis dalam rangka menganalisis penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa
12
Rokok di Kabupaten Badung telah sesuai dengan kaidah atau norma-norma
hukum yang berlandasakan otonomi daerah dan standar menurut prinsip-prinsip
demokrasi serta dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka
pengembangan ilmu hukum umumnya maupun hukum pemerintahan daerah
khususnya.
1.6.2 Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi maupun
masukan pemikiran dan ilmu pengetahuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten
Badung selaku pemangku kepentingan, maupun masyarakat luas yang
berkepentingan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun
2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokokyang dapat penulis uraikan sebagi berikut :
1. Bagi penulis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman mengenai bagaimana penegakan hukum
terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung serta sebagai
syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
2. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih maupun masukan serta pengetahuan akan adanya
kesenjangan antara pelaksanaan dilapangan dengan hukum tertulis
pada Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013
Tentang Kawasan Tanpa Rokok didalam pelaksanaan dalam
mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung.
13
3. Bagi masyarakat dan praktisi hukum hasil penelitian ini akan
memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam
mengenai bagaimana penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa
Rokok di Kabupaten Badung dan bagaimana upaya maupun kendala
serta hambatan pemerintah dalam penegakan hukum terkait Kawasan
Tanpa Rokok.
1.7 Landasan Teoritis
1.7.1 Teori Negara Hukum
Negara hukum untuk pertama dikemukakan oleh Plato kemudian
selanjutnya dikembangkan kemudian dipertegas kembali oleh Aristoteles. Plato
dalam bukunya yang berjudul Politea, diuraikan betapa penguasa di masa Plato
hidup (429 SM - 346 SM) sangatlah tirani, haus dan gila akan kekuasaan serta
sewenang-wenang serta sama sekali tidak peduli terhadap kepentingan rakyatnya.
Secara embrio gagasan negara hukum telah dikemukaan oleh plato, ketika ia
mengintroduksi Nomoi, sementara dalam dua tulisan pertamanya, Politeia dan
Politikos belum muncul istilah dari negara hukum.9
Plato dengan gamblang menyampaikan pesan moral, agar penguasa dapat
berbuat adil, menjunjung tinggi nilai kesusilaan dan nilai kebijaksanaan serta
senantiasa memperhatikan kepentingan dan nasib rakyat yang dipimpinnya. Pada
buku kedua yang berjudul Politicos, Plato memaparkan suatu konsep agar suatu
negara dikelola dan dijalankan atas dasar hukum (rule of the game) demi warga
9 Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h.2
14
negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam buku ketiga dari Plato yang berjudul
Nomoi, Plato lebih menekankan konsepnya pada para penyelenggara negara serta
penguasa agar senantiasa diatur dan dibatasi kewenangannya dengan hukum agar
tidak bertindak sewenang-wenang serta sekehendak hatinya.10
Gagasan tentang
negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya Aristotels.11
Negara hukum adalah negara ataupun pemerintah yang didasarkan atas
hukum. Negara menempatkan hukum sebagai dasar dari sebuah kekuasaan negara
dan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan dilakukan di bawah kekuasaan
hukum. Kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang sama di hadapan
hukum12
. Aristoteles dengan karya bukunya Politica, mengemukakan gagasannya,
bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah/ dikelolah atas dasar
suatu konstitusi sehingga di dalam negara tersebut hukumlah yang berdaulat13
.
Perkembangannya kemudian mulai, abad ke-19, dikenal konsep negara hukum
yakni suatu konsep negara yang kemudian diidentifikasi sebagai konsep negara
hukum Eropa Kontinental (rechtsstaat) dan konsep negara hukum Anglo Saxon
(rule of law).
Konsep-konsep tersebut muncul tidak terlepas dari adanya beberapa bentuk
sistem hukum di dunia. Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa “di dunia ini tidak
dijumpai satu sistem hukum saja, akan tetapi terdapat lebih dari satu bentuk
sistem hukum”. Adapun yang dimaksud dengan sistem hukum adalah suatu sistem
10
Madjid H. Abdullah, 2007, Penataan Hukum Organisasi Perangkat Daerah Dalam
Konteks Otonomi Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik, Disertasi,
PPs Universitas Hasanuddin, Makassar, h. 29
11
Ridwan HR, Loc.Cit 12
Agus Salim Andi Gadjong, Loc.Cit 13
Ibid, h.30
15
hukum yang minimal memiliki substansi, struktur, dan kultur hukum didalam
sistemnya. Adanya perbedaan dalam unsur-unsur tersebut mengakibatkan pula
munculnya perbedaan dalam pemakaian sistem hukum yang dipakai setiap negara.
Berkaitan dengan hal tersebut kemudian dikenal sistem hukum Eropa Kontinental
yang merupakan sistem hukum Romawi-Jerman (civil law system) dan sistem
hukum Inggris (common law). Negara kita, Indonesia pernah menjadi koloni dan
negara bekas jajahan Belanda, maka dengan hal tersebut dengan serta merta pula
sistem hukum yang berlaku di Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum yang
berlaku di negara Belanda yang kebetulan berada di benua Eropa yang dikenal
dengan sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System). Negara hukum itu
sendiri menurut F.R. Bothingk adalah “De staat, waarin de wilsvrijheid van
gezagsdragers is beperkt door grenzen van recht” yang artinya adalah “Negara,
dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasan oleh ketentuan
hukum.14
Di Indonesia negara hukum diatar dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945
yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan
demikian menurut Ridwan HR menyebutkan “konsekuensi sebagai negara hukum,
Indoneia harus memenuhi dua persyaratan yaitu supremacy before the law yang
artinya adalah hukum diberikan kedudukan yang tinggi, berkuasa penuh dalam
suatu negara dan rakyat. Persyaratan kedua adalah equality before the law yang
artinya bahwa semua pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa adalah sama
14 Ridwan HR, Op.Cit, h.18
16
kedudukannya dimata hukum”15
. Konsep negara hukum Indonesia adalah
berlandaskan Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia sebagai landasan konstitusi Indonesia
Atas dasar tersebut bahwasannya teori negara hukum haruslah
menggambarkan bahwa suatu negara haruslah mematuhi aturan hukum maupun
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia baik itu dari aparat pemerintahan
maupun warga masyarakat biasa.sehingga adanya kepastian, keadilan dan
kemanfaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
mewujudkan suatu keadaan yang tertib hukum, aman dan harmonis. Menurut
Frans Magnis Susena mengemukakan bahwa ciri-ciri dari negara hukum tersebut
tersebut ialah sebagai berikut :
(1) Asas Legalitas
(2) Kebebasan / Kemandirian Kekuasaan Hakim
(3) Perlindungan Hak Asasi Manusia
(4) Sistem Konstitusi/Hak Dasar16
.
Berdasarkan ciri-ciri negara hukum yang dikemukakan oleh Frans Magnis
Susena, diharapkan negara harus mampu menjamin keadilan, kepastian dan
kemanfaatan hukum dengan menegakankan asas legalitas, menjamin kebebasan
ataupun kemandirian hakim, jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia
dan menegakkan konstitusi negara agar kedepannya pemerntah mampu
memberikan kesejahteraan bagi warganya.
15 C.S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
h.88
16
Frans Magnis Suseno, 1978, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT. Bumi Aksara, Jakarta,
h.43
17
1.7.2 Teori Kewenangan
Setiap penyelenggaraan kenegaraan maupun pemerintahan harus memiliki
legitimasi berupa kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dengan demikian maka penyelenggara negara memiliki
kemampuan untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kewenangan merupakan bagian penting dari Hukum
Pemerintahan dikarenakan pemerintah baru mampu menjalankan fungsinya
sebagai penyelenggara negara atas dasar wewenang yang diperolehnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata kewenangan memiliki dua arti yaitu hal
wewenang dan hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu. Kata
wewenang sendiri memiliki arti berupa hak dan kekuasaan untuk bertindak;
kewenangan serta arti selanjutnya berupa kekuasaan membuat keputusan,
memeritah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.17
Menurut S. Prajudi Atmosudirjo, wewenang adalah kekuasaan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik.18
Sedangkan menurut S.F. Marbun,
wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang
yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.19
Dari kedua
pendapat tersebut dapat disimpulkan secara sederhana bahwa wewenang
17 Balai Pustaka, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, h.1010
18
S. Prajudi Atmosudirjo, 1995, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
h. 78
19
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h.154
18
merupakan kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Meskipun dalam pengertian tersebut
dinyatakan bahwa wewenang berkaitan dengan kekuasaan akan tetapi didalam
bidang hukum publik kedua hal tersebut tidak dapat disama artikan kedua konsep
tersebut. Kekuasaan tersebut menggambarkan hak baik untuk berbuat melakukan
tindakan hukum maupun tidak berbuat sedangkan wewenang memiliki arti berupa
suatu hak dan juga kewajiban yang diamatkan oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hak dapat berisikan kebebasan untuk melakukan ataupun
tidak melakukan perbuatan hukum tertentu sedangkan kewajiban memuat suatu
keharusan untuk melakukan ataupun tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Dalam kajian hukum tata negara maupun dalam hukum administrasi,
kewenangan memiliki kedudukan yang penting. Tanpa adanya kewenangan yang
dimiliki oleh Badan ataupun Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melakukan
suatu perbuatan ataupun tindakan pemerintah. Menurut pendapat Donner, ada dua
fungsi yang berkaitan dengan kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan
(policy marking) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat
pemerintahan atau kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi
pelaksanaan kebijakan (policy exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk
merealisasikan politik negara yang telah ditentukan (verwezeblikking van de
taak).20
Secara teoritis, kewenangan bersumber dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi,
dan mandat.
20 Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima Aksara,
Jakarta, h.30
19
Menurut H.D Van Wijk dan Willem Konijnebelt, atribusi (atributie
bevoegdheid) pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang
kepada organ pemerintahan.21
Jadi wewenang atribusi juga dapat dikatakan sebagi
wewenang asli yaitu wewenang yang diperoleh oleh pemerintah secara langsung
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian
menurut H.D Van Wijk dan Willem Konijnebelt, Delegasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintah dari suatu organ pemerintah kepada organ pemerintah
lainnya. Karakteristik dari delegasi tersebut adalah pelimpahan kewenangan yang
berakar dari kewenangan atribusi. Selanjutnya, wewenang mandat (mandaat
bevoegdheid) adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam rutin
antara bawahan dengan atasan, kecuali secara tegas diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.22
Secara sederhana wewenang mandat dapat
diartikan sebagai pelimpahan kewenangan kepada bahawan yang bertujuan
memberikan wewenang kepada bawahannya untuk membuat keputusan ataupun
kewenangan lainnya atas nama Badan atapun Pejabat Tata Usaha Negara yang
memberikan pelimpahan wewenang tersebut.
1.7.3 Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam jurnal yang berjudul Penegakan
21 Sadjijno, 2008, Memahami Beberapa Pokok Hukum Administrasi, Laksbang Press
Indo, Yogyakarta, h.50
22
Ibid, h.60
20
Hukum “Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan
oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum
oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit”23
. Dalam arti luas proses
penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan
hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang
berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti
sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai
upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa”24
.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya,
yaitu dari segi hukumnya. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam jurnal yang berjudul
Penegakan Hukum “dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas
dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan
hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Karena itu, penerjemahan perkataan „law enforcement‟ ke dalam bahasa Indonesia
dalam menggunakan perkataan „penegakan hukum‟ dalam arti luas dan dapat pula
23 Jimly Asshiddiqie, 2006, “Penegakan Hukum”, Journal Hukum Konstitusi, Jakarta, h.1
24 Ibid
21
digunakan istilah „penegakan peraturan‟ dalam arti sempit”25
. Pembedaan antara
formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan
dikembangkannya istilah „the rule of law‟ versus „the rule of just law‟ atau dalam
istilah „the rule of law and not of man‟ versus istilah „the rule by law‟ yang berarti
„the rule of man by law‟. Dalam istilah „the rule of law‟ terkandung makna
pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan
mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu,
digunakan istilah „the rule of just law‟. Dalam istilah „the rule of law and not of
man‟ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu
negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah
sebaliknya adalah „the rule by law‟ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh
orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.26
Dalam penegakan hukum terdapat faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum. Menurut Lawrance Friedman keberhasilan dalam penegakan hukum
ditentukan oleh substansi hukum, struktur hukum, dan kultur maupun budaya
hukum27
. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto faktor–faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum diantaranya adalah :
(1) Faktor Hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undang saja.
(2) Faktor Penegak hukum, yakni pihak pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
(3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
25 Ibid, h.2
26
Ibid, h.3
27
Ridwan HR, Loc.Cit
22
(4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
ataupun ditetapkan.
(5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasar pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan erat, oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan
hukum.28
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, Metode adalah proses, prinsip – prinsip dan
tata cara memecahkan suatu permasalahan, sedangkan penelitian adalah
pemeriksaan secara hati – hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala ilmiah
untuk menambah pengetahuan manusia. Maka metode penelitian dapat diartikan
sebagai proses prinsip – prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam melakukan suatu penelitian29
.
Dengan menggunakan metode seseorang diharapkan mampu untuk
menemukan dan menganalisa masalah tertentu sehingga dapat mengungkapkan
suatu kebenaran ilmiah, karena metode memberikan pedoman tentang cara
bagaimana seseorang ilmuwan mempelajari, memahami dan menganalisa suatu
permasalahan yang sedang dihadapi. Metodologi Penelitian merupakan suatu
28 Soerjono Soekanto, 2011, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I) h.8 29
Soerjono Soekanto, 1994. Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II) h. 13
23
pengkajian dari peraturan – peraturan terhadap pelaksanaannya dilapangan yang
terdapat dalam metodologi penelitian. Dengan demikian penelitian akan berjalan
dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan, karena “suatu
metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk memahami obyek yang
menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang bersangkutan”.30
Inti Metodelogi dalam penelitian hukum adalah menguraikan tentang tata
cara bagaimana suatu penelitian hukum harus dilakukan. Dengan demikian
penelitian yang dilakukan adalah untuk memperoleh data yang teruji kebenaran
secara ilmiah. Jadi Jenis penelitian yang dipakai peneliti dalam penelitian ini
adalah penelitian hukum empiris, dimana pada awalnya yang akan diteliti yaitu
data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan bahan kepustakaan
kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau
masyarakat.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap Kawasan Tanpa
Rokok di Kabupaten Badung, dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan
perundang – undangan ( The Statute Approach) dan pendekatan fakta (The Fact
Approach). Pendekatan perundang – undangan disini adalah ingin menganalisis
norma – norma hukum yang didalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10
Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok, serta Peraturan Daerah Kabupaten
Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok sedangkan untuk
30
Ibid, h.14
24
pendekatan fakta, disini penulis ingin meneliti fakta – fakta hukum yang terjadi
dilapangan didalaman dalam Peraturan Daerah ini
1.8.3 Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian yang akan yang akan dilakukan adalah penelitian
deskriptif, yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan tentang
keadaan dan gejala-gejala lainnya dengan cara mengumpulkan data-data ilmiah,
menyususun, mengklasifikasi, menganalisa, dan menginterprestasikan masalah31
.
Penelitian Deskriptif pada penelitian ilmu hukum, bertujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat – sifat suatu individu, keadaan, gejala, ataupun
kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya.
Dalam penelitian ini penulis akan mencoba untuk mendeskripsikan atau
meggambarkan tentang pelaksanaan dan penegakan hukum dari Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok, serta
menggambarkan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan peraturan daerah
tersebut serta solusi atas permasalahan yang timbul.
1.8.4 Data dan Sumber
Secara umum jenis data yang diperlukan dalam suatu penelitian hukum
terarah pada penelitian data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah mengkaitkan kondisi sosial dengan masalah – masalah
31
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Diponogoro Press,
Semarang, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III) h.10
25
hukum yang terjadi di masyarakat. Sedangkan data sekunder berupa bahan hukum
dan dokumen – dokumen hukum termasuk kasus – kasus hukum yang menjadi
pijakan dasar peneliti dalam rangka menjawab permasalahan dan tujuan
penelitiannya. Jadi Dalam penelitian hukum empiris ini peneliti akan digunakan
dua data dan sumber dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
i. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber
utama dilapangan maupun narasumber yang berhubungan dengan obyek
penelitian. Data primer ini akan diperoleh dari observasi atau hasil
pengamatan langsung ke lapangan maupun melalui keterangan dan
penjelasan dari pihak yang berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan
sebagai sumber data primer dalam penelitian ini adalah semua pihak yang
dapat memberikan keterangan secara langsung mengenai segala hal yang
berkaitan dengan obyek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi
sumber data primer adalah observasi dan pengamatan langsung ke Kawasan
Tanpa Rokok di Kabupaten Badung serta wawancara dengan pihak-pihak
yang mengetahui dan terkait dengan penegakan hukum Kawasan Tanpa
Rokok di Kabupaten Badung yaitu Sekretaris Daerah Kabupaten Badung,
Dinas Kesehatan Kabupaten Badung dan Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Badung .
ii. Data Sekunder
26
Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung
dari narasumber yaitu bisa berasal dari dokumen, bahan pustaka, hasil-hasil
penelitan dan sebagainya terutama yang berkaitan dengan penelitian. Yang
akan menjadi sumber data dalam data sekunder adalah data-data yang
diperoleh melalui studi pustaka, baik berupa peraturan perundang-undangan,
buku-buku, hasil-hasil penelitian, dan lain-lain yang mendukung sumber
data primer dan berkaitan dengan obyek penelitian yaitu penegakan hukum
terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Badung. Data Sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini yang berasal dari bahan hukum primer
adalah: Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan; Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintah Daerah; Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8
Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok; Peraturan Bupati Nomor 71
Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok dan peraturan
perundangan-undangan yang berkaitan dengan Kawasan Tanpa Rokok.
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan teknik sebagai berikut:
a) Teknik Kepustakaan
Salah satu cara pengumpulan data dengan melakukan studi
dokumen, berupa mempelajari buku-buku literatur, peraturan
27
perundang-undangan, karya ilmiah serta dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti atau yang sesuai dengan objek
kajian. Studi literature atau dokumen akan bermanfaat membangun
kerangka berfikir dari pembahasan penelitian ini. Peneliti dalam
penelitian ini, merupakan instrument utama, artinya peneliti sendiri
yang terjun langsung ke tempat penelitian, selaku tangan pertama dan
tidak digunakan tenaga peneliti lainya. Selain hal tersebut, digunakan
pula instrument bantu lainya sesuai dengan teknik pengumpulan data
sebagaimana disebut di atas.
b) Teknik Wawancara (interview)
Wawancara (interview) adalah teknik percakapan dengan maksud
tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yakni pewawancara yang
mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban
atas pertanyaan tersebut.32
Teknik wawancara yang dipilih adalah dalam
bentuk wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur. Wawancara
terstruktur adalah wawancara dimana peneliti menetapkan sendiri masalah
dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan. Wawancara tak
terstruktur adalah wawancara dimana peneliti mengajukan pertanyaan
secara lebih bebas dan leluasa tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang
telah dipersiapkan sebelumnya guna mendukung data yang diperlukan.33
32
Lexy J. Moleong, 1991, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosada Karya,
Bandung. h. 135 33
S. Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Rekasarasin Press,
Yogyakarta, h. 72
28
Adapun instrumen bantu yang digunakan berupa pedoman wawancara, tipe
recorder atau alat perekam suara smartphone, blangko hasil wawancara, serta
blangko dokumentasi dan sebagainya. Dipilihnya berbagai Jenis instrumen
penelitian di atas didasarkan pada alasan bahwa bentuk data atau informasi yang
diteliti tidak dapat ditentukan lebih dahulu dan selalu berkembang sepanjang
penelitian dilangsungkan oelh peneliti.34
1.8.6 Teknik Penentuan Sample Penelitian
Teknik penentuan sample penelitian berkaitan dengan bagaimana memilih
informan atau situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang
terpercaya mengenai elemen-elemen yang ada ataupun karakteristik elemen-
elemen yang tercakup dalam fokus maupun topik permasalahan penelitian.35
Informan sasaran dalam penelitian ini dipilih dengan cara purpose sampling atau
criterian based selection.36
Pengertian metode purpose sampling itu sendiri adalah
pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang
mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang
sudah diketahui sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan purposive sampling
maka cenderung memilih narasumber yang dianggap tahu dan dapat dipercaya
untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui secara mendalam.37
34
Sanapiah Faesal, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasinya, Yayasan
Asih Asah Asuh, Malang, h.158 35
Ibid, h. 56 36
H.B Sutopo, 1988, Suatu Pengantar Kualitatif, DasarTeori dan Praktek, Pusat
Penelitian UNS, Surakarta, h. 22 37
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta h. 89
29
Berdasarkan kepada fokus kajian yang dilaksanakan dalam penelitian ini, maka
informan yang dikaji adalah:
(1) Biro Hukum dan HAM Sekretaris Daerah Kabupaten Badung
(2) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Badung
(3) Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Badung
Informan penelitian sebagaimana tersebut di atas bukan hal yang limitatif,
dalam hal ini berarti informasi yang akan diperoleh peneliti akan semakin luas,
penentuan informan sasaran dalam penelitian ini harus diperhatikan dan
dipertimbangkan dengan baik dan teliti. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat
mewakili seluruh informan dan dapat memberikan data yang relevan, yang
mempunyai hubungan atau korelasi dengan judul peneliti.
1.8.7 Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu menguraikan data
secara bermutu, dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang
tindih dan efektif, kemudian dilakukan pembahasan. Analisis kualitatif ditujukan
pada data yang bersifat kualitatif, dengan cara menjabarkan dan
menginterpretasikan data yang berdasarkan pada teori hukum, doktrin hukum dan
norma-norma hukum.