BAB 1 lengkap.docx
-
Upload
okpra-indra -
Category
Documents
-
view
14 -
download
1
Transcript of BAB 1 lengkap.docx
1
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Konsep Dasar
1.1.1 Definisi dari Fraktur Tibia
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang, retak pada tulang yang utuh
(Reeves,2001). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
ruda paksa. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Fraktur mengakibatkan jaringan
sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan
ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf, dan kerusakan
pembuluh darah (Brunner & Suddarth, 2001:Hal 2357).
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan,
baik yang besifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum fraktur adalah
patah tulang (Noor Helmi, Zairin, 24:2012).
Fraktur batang femur paling sering disebabkan oleh trauma langsung yang
mengakibatkan fraktur transversal, oblik atau kominutif. Gaya memutar tidak lansung
yang menghasilkan fraktur spiral. Saraf dan pembuluh darah femur dapat mengalami
cedera pada fraktur ini. Lumpuh pergelangan tangan merupakan petunjuk adanya
cedera saraf radialis. Berat lengan dapat membantu mengoreksi adanya pergeseran
sehingga tidak diperlukan pembedahan (Brunner & Suddarth, 2001:Hal 2369-2370).
Berdasarkan batasan diatas dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh biasanya
disebabkan oleh trauma atau rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan
luasnya trauma.
Klasifikasi fraktur terbagi menjadi dua yaitu:
1). Fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit atau kulit
tidak dirembus oleh fragmen tulang.
1
2
2). Fraktur terbuka merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa
sampai patahan tulang dan konsep yang harus diperhatikan pada fraktur terbuka
apakah terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada tempat terjadinya fraktur tersebut.
1.1.2 Etiologi
Fraktur dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu:
1) Trauma kecelakaan lalu lintas
2) Jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri atau duduk sehingga terjadi fraktur
tulang belakang.
3) Patologis dari metastase dari tumor.
4) Kontraksi otot ekstrem
5) Degenerasi karena proses kemunduran fisiologis dari jaringan tulang itu sendiri.
6) Spontan karena tarikan otot yang sangat kuat (Corwin, E.J, 2000: 298).
1.1.3 Patofisiologi
Fraktur cenderung terjadi pada umur dibawah 45 tahun dan sering
berhubungkan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor. Sedangkan fraktur pada orang tua, perempuan lebih sering
mengalami fraktur dari pada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya
insidens osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause
(Reeves, 2001).
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smelzer, 2002). Fraktur kominutif
adalah fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa bagian serpihan-serpihan
dimana terdapat lebih dari dua fragmen tulang. Fraktur segmental adalah dua fraktur
berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari
suplai darahnya. Untuk fraktur yang tidak sempurna, dimana salah satu sisi tulang
patah sedang sisi lainnya membengkok dan sering terjadi pada anak-anak (Lukman
dkk: Hal 30).
3
Kecelakaan lalu lintas, olah raga atau karena terjatuh
Sekunder dari penyakit
Fraktur
Fraktur terbuka Dislokasi Fraktur tertutup
Pembuluh darah robek kerusakan jaringan resiko infeksi, adanya
Neuromuskular emboli lemak
Perdarahan hematom Kerusakan
Neuromuskular
Post de entree Syok Hemorargi bengkak Terputusnya
Kontinuitas tulang Resti Infeksi Hipoksia Imobilisasi Nyeri
Penurunan kekuatan
Nekrosi Peristaltik Usus dan ketahanan
tidak seimbang
Kerusakan Integritas Resiko Konstipasi Gerakan terbatas
Kulit
Gangguan mobilitas Fisik
Gambar 2.2 Pathway Fraktur. (Muttaqin, Arif, 127:2008).
4
1.1.4 Manifestasi Klinis
Gambaran yang sering muncul pada pasien dengan fraktur adalah patah tulang
traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri, mungkin tampak jelas
posisi tulang atau ekstremitas yang dialami, pembengkakan disertai fraktur akan
menyertai proses peradangan, dapat terjadi gangguan sensasi atau rasa kesemutan,
yang mengisaratkan kerusakan syaraf, krepitus (suara gemertak), dapat terdengar
sewaktu tulang digerakan akibat pergeseran ujung-ujung patahan tulang satu sama
lain.
Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan
dan kelainan bentuk yaitu:
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antarfragmen.
2) Setelah terjadi fraktur bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan cederung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukan seperti normalnya.
3) Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa terjadi setelah jam atau hari
setelah cedera.
5) Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstremitas, kripitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna (Smeltzer, 2002:
Hal: 30).
1.1.5 Komplikasi
Komplikasi patah tulang batang humerus yang tersering adalah lesi pada saraf
radialis. Secara klinis didapati ketidakmampuan melakukan ekstensi pergelangan
tangan sehingga pasien tidak mampu melakukan fleksi jari secara aktif dan tidak
dapat menggenggam lagi. Adanya lesi saraf yang bukan neuropraksia merupakan
indikasi untuk melakukan eksplorasi sekaligus melakukan fiksasi intern pada fraktur
(Smeltzer, 2002).
5
1.1.5.1 Komplikasi Awal
1) Syok. Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
2) Kerusakan arteri adalah pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh:
tidak adanya nadi; CRT (Cappillry Refill Time) menurun; sianosis bagian
distal; hematoma yang lebar; serta dingin pada ekstremitas yang disebabkan
oleh tindakan emergensi pembidaian, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi dan pembedahan.
3) Sindrom kompartemen. Suatu kondisi dimana terjadi terjebaknya otot,
tulang, saraf dan pembuluh darah dalam jaringan parut akibat suatu
pembengkakan dari edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf dan
pembuluh darah.
4) Infeksi. Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk kedalam.
5) Avaskular nekrosis (EVN). Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang.
6) Sindrom emboli lemak adalah koplikasi serius yang sering terjadi pada kasus
fraktur tulang panjang karena sel-sel lemak yang dihasilkan sum-sum tulang
kuning masuk kealiran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah
rendah.
1.1.5.2 Komplikasi Lama
1) Delayed Union: Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk sembuh atau bersambung dengan baik.
2) Non-Union: fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-8 bulan dan tidak
terjadi konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi palsu).
3) Mal-Union: keadaan dimana fraktur sembuh pada saatnya, tetapi terdapat
deformitas (Noor Helmi, Zairin, 2012:30-32)
6
1.1.6 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksan penunjang dapat dilakukan dengan yaitu:
1. Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi luasnya fraktur/trauma, dan jenis
fraktur.
2. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI:memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur juga dapat mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vascular
4. Hitunglah darah lengkap: Ht mungkin meningkat (Hemokonsentrasi) atau
menurun (Perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multiple trauma).
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
multiple atau cederahati (Sjamsuhidayat 2005).
1.1.7 Penatalaksanaan Medis
1.1.5.3 Prinsip penatalaksanaan fraktur 4 (R).
1) Recognition: Diagnosis dan penilaian fraktur.
2) Reduction: Restorasi fragmen fraktur sehingga posisi yang paling optimal
didapatkan.
3) Retention: Imobilisasi fraktur
4) Rehabilitation: Mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin.
1.1.5.4 Penatalaksanaan Konservatif (penatalaksanaan nonpembedahan agar
imobilisasi pada patah tulang dapat terpenuhi).
1) Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi)
2) Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi)
3) Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang
menggunakan gips.
4) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi.
1.1.5.5 Penatalaksanaan pembedahan
1) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkuatan dengan K-
Wire.
7
2) Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi eksternal tulang yaitu :
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) atau reduksi terbuka dengan
fiksasi internal. ORIF mengibolisasi fraktur dengan melakukan pembedahan
untuk memasukan sekrup atau pen kedalam tempat fraktur dan pemasangan
mule dan screw untuk memfiksasi bagian-bagian tulang pada fraktur secara
bersamaan. OREF (Open Reduction external fixation) atau reduksi terbuka
dengan fiksasi eksternal dengan pemasangan implant. Tindakan ini
merupakan pilihan bagi sebagian fraktur.
3) Intervensi farmakologi: Anastesi lokal, analgetik narkotik, relaksasi otot atau
sedative diberikan untuk membantu klien selama prosedur reduksi tertutup.
Analgetik diberi sesuai petunjuk untuk mengontrol nyeri pada pasca operasi
(Muttaqin, Arif, 81-89:2008)..
1.2 Manajemen Keperawatan
1.2.1 Pengkajian Keperawatan
1.2.3.1 Identitas
Meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit (MRS) dan diagnosa medis.
1.2.3.1 Keluhan Utama
Biasanya yang menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah
nyeri pada daerah klavikula dan gangguan dalam mengangkat bahu keatas, keluar dan
kebelakang toraks. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri yang
dialami klien, perawat dapat menggunakan metode PQRST.
1.2.3.1 Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien datang dengan keluhan jatuh dari tempat tidur atau trauma
lain. Kadang kala klien datang dengan pembengkakan pada daerah klavikula yang
terjadi beberapa hari setelah trauma.
1.2.3.1 Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,
diabetes melitus dan penyakit jantung.
8
1.2.3.1 Keadaan umum
Umumnya klien yang mengalami fraktur klavikula tidak mengalami
penurunan kesadaran.
1.2.3.1 Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan
B6 (bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.
1) B1 (Breathing). Pada pemeriksaan system pernafasan didapatkan bahwa
klien fraktur klavikula tidak mengalami kelainan pernafasan. Pada palpasi
toraks, didapatkan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi,
tidak ditemukan suara nafas tambahan.
2) B2 (Blood) pada pemeriksaan system kardiovaskular, didapatkan bahwa
klien fraktur klavikula tidak mengalami kelainan.
3) B3 (Brain). tingkat kesadaran biasanya compos metis, status mental:
observasi penampilan dan tingkah laku klien biasanya status mental tidak
mengalami perubahan. Pemeriksaan saraf kranial: saraf I biasanya tidak ada
kelainan fungsi penciuman. Saraf II, setelah dilakukan tes, ketajaman
penglihatan dalam batas normal. Saraf III, IV dan VI, biasanya tidak ada
gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor. Saraf V, umumnya
klien dengan fraktur klavikula tidak mengalami paralisis pada otot wajah,
reflek kornea tidak ada kelainan. Saraf VII, persepsi pengecapan dalam batas
normal dan wajah simetris. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli
konduktif dan tuli persepsi. Saraf IX dan X, kemampuan menelan baik. Saraf
XI, tidak ada atropi otot trapezius. Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi
pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal.
Pemeriksaan refleks: biasanya tidak didapat refleks-refleks patologis.
Pemeriksaan sensorik: biasanya fungsi sensorik tidak ada kelainan.
9
4) B4 (bladder). Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah dan
karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Biasanya klien fraktur
klavikula tidak mengalami kelainan pada system ini.
5) B5 (bowel). Pemenuhan nutrisi dan bising usus normal bila tidak disertai
nyeri hebat, mual dan muntah. Pola defekasi tidak ada kelainan.
6) B6 (bone). Klavikula membantu mengangkat bahu ke atas, keluar dan
kebelakang toraks. Adanya fraktur klavikula akan mengganggu fungsi
pergerakan bahu. Klavikula merupakan salah satu tulang tubuh yang paling
sering mengalami fraktur. Tulang ini patah karena trauma langsung atau
tidak langsung, seperti jatuh dengan posisi tertumpu pada telapak tangan
atau bahu. Biasanya tulang ini patah ditengah-tengah atau sepertiga dari
tengah.
1.2.2 Diagnosa Keperawatan
1.2.2.1 Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan
refleks spasme otot sekunder.
1.2.2.2 Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular.
1.2.2.3 Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani
operasi, status ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
1.2.2.4 Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée luka
operasi (Muttaqin, Arif, 131:2008).
1.2.3 Intervensi Keperawatan
1.2.3.1 Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuscular, dan
refleks spasme otot sekunder.
Tujuan: Nyeri berkurang, hilang atau teratasi.
Kriteria Hasil:
1. Klien dapat beradaptasi dengan nyerinya.
2. Ekspresi wajah rileks
3. Klien Nampak tenang.
10
4. Skala nyeri 0-1/teratasi
Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan diagnosa 1
No Intevensi Rasional
1
2
3
4
5
6
7
8
Mengucapkan salam pada klien
Kaji nyeri dengan skala 0-10
Pertahankan imobilisasi bagian
yang sakit dengan tirah baring
atau pembatas, amsling.
Tinggikan dan dukung
ekstremitas yang terkena.
Berikan alternatif tindakan
kenyamanan, contoh pijat atau
perubahan posisi.
Identivikasi aktivitas terapeutik
yang tepat untuk usia pasien,
kemampuan fisik dan
penampilan pribadi.
Lakukan kompres dingin 24-48
jam pertama dan sesuai
kebutuhan
Berikan obat sesuai indikasi:
Analgesic nonnarkotik, injeksi
ketorolak
1. Membina hubungan saling percaya
2. Nyeri merupakan respons subjektif
yang dapat dikaji dengan
menggunakan skala nyeri.
3. Menghilangkan nyeri dan
mencegah kesalahan posisi
tulang/tegangan jaringan.
4. Meningkatkan aliran balik vena
dan menurunkan nyeri
5. Dorong dengan teknik manajemen
stress, cntoh latihan nafas dalam.
6. Mencegah kebosanan, menurun-
kan tegangan dan dapat
meningkatkan kekuatan diri.
7. Menurunkan edema/pembentu-kan
hematoma, menurunkan sensasi
nyeri.
8. Diberikan untuk menurunkan
nyeri/spasme otot.
11
1.2.3.1 Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular.
Tujuan: Klian mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
Kriteria hasil:
1) Klien dapat ikut serta dalam program latihan
2) Tidak mengalami kontraktur sendi
3) kekuatan otot bertambah dan klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan
mobilitas.
Tabel 2.2 Intervensi Keperawatan Diagnosa 2
No Intervensi Rasional
1
2
3
4
5
6
Kaji secara teratur fungsi
motorik
Kaji derajat imobilisasi yang
dihasilkan oleh cidera dan
perhatikan persepsi klien
terhadap imobilisasi.
Dorong partisipasi pada
aktivitas terapeutik/relaksasi
Dorong penggunaan latihan
isometrik mulai dengan
tungkai yang sakit.
Instruksikan dan bantu pasien
dalam rentang gerak pasien
Kolaborasi:
Konsultasi dengan ahli terapi
1. Untuk mengetahui keadaan klien
secara umum.
2. Klien dibatasi oleh padangan diri
tentang keterbatasan fisik,
memerlukan informasi.
3. Memberikan kesempatan untuk
mengeluarkan energi, memfokus-
kan kembali perhatian.
4. Kontraksi otot isometrik tanpa
menekuk sendi atau menggerakan
tungkai dan membantu
mempertahankan kekuatan dan
masa otot.
5. Meningkatkan aliran darah ke otot
dan tulang untuk meningkatkan
tonus otot, mempertahankan gerak.
6. Pasien dapat memerlukan bantuan
12
fisik/okupasi/spesialis
rehabilitasi
jangka panjang dengan gerakan,
kekuatan dan aktivitas.
1.2.3.1 Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi,
status ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
Tujuan: Ansietas yang dialami klien hilang atau berkurang.
Kriteria hasil:
1) Pasien mengenal perasaannya.
2) Dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya.
3) Pasien menyatakan ansietas berkurang/hilang.
Tabel 2.3 Intervensi Keperawatan Diagnosa 3
No Intervensi Rasional
1
2
3
4
Kaji tanda verbal dan nonverbal
ansietas. Dampingi klien.
Lakukan tindakan bila klien
menunjukan perilaku merusak.
Hindari konfrontasi.
Mulai lakukan tindakan untuk
mengurangi ansietas. Beri
lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat.
Tingkatkan kontrol sensasi klien.
1. Resiko verbal/nonverbal dapat
menunjukan rasa agitasi, marah
dan gelisah.
2. Konfrontasi dapat meningkatkan
rasa marah, menurunkan kerja
sama, dan mungkin memperlambat
penyem- buhan.
3. Mengurangi rangsangan eksternal
yang tidak perlu.
4. Kontrol sensasi klien (dalam
mengurangi ketakutan) dengan cara
memberikan informasi tentang
keadaan klien, menekankan
penghargaan terhadap sumber-
13
5
6
7
Orientasikan klien terhadap
tahap-tahap prosedur operasi dan
aktivitas yang diharapkan.
Beri kesempatan klien untuk
mengungkapkan ansietasnya.
Berikan privasi kepada klien dan
orang terdekat.
sumber koping (pertahanan diri)
yang positif, membantu latihan
relaksai dan teknik-teknik
pengalihan, serta memberikan
unpan balik yang positif.
5. Orientasi tahap-tahap prosedur
operasi dapat mengurangi ansietas.
6. Dapat menghilangkan ketegangan
terhadap kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.
7. Memberi waktu untuk meng-
ekspresikan perasaan,
menghilangkan ansietas dan
perilaku adaptasi. Adanya keluarga
dan teman-teman yang dipilih klien
untuk melakukan aktivitas dan
pengalihan perhatian (misalnya,
membaca) akan mengurangi
perasaan terisolasi.
1.2.3.1 Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée luka
operasi.
Tujuan: Infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria hasil:
1) Klien mengenal faktor-faktor resiko
2) Mengenal tindakan pencegahan/mengurangi faktor resiko infeksi
3) Menunjukan/mendemonstrasikan teknik-teknik untuk meningkatkan
lingkungan yang aman.
Tabel 2.4 Intervensi Keperawatan Diagnosa 4
14
No Intervensi Rasional
1
2
3
4
5
6
Kaji dan pantau luka operasi
setiap hari.
Lakukan perawatan luka secara
steril.
Pantau/batasi kunjungan.
Pertahankan hidrasi dan nutrisi
yang adekuat. Berikan cairan
2.500 cc sesuai toleransi jantung.
Bantu perawatan diri dan
keterbatasan aktivitas sesuai
toleransi. Bantu program latihan.
Berikan antibiotik sesuai
indikasi.
1. Mendeteksi secara dini gejala-
gejala inflamasi yang mungkin
timbul sebagai dampak adanya
luka pasca operasi.
2. Teknik perawatan luka secara steril
dapat mengurangi kontaminasi
kuman.
3. Mengurangi kontak infeksi dari
orang lain.
4. Membantu meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap penyakit dan
mengurangi resiko infeksi akibat
sekresi yang steril.
5. Menunjukan kemampuan secara
umum dan kekuatan otot serta
merangsang pengambilan sistem
imun.
6. Satu atau beberapa agens diberikan
yang bergantung pada sifat patogen
dan infeksi yang terjadi.
(Muttaqin, Arif, 132-135:2008).
1.2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, adalah kategori
dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang digunakan untuk mencapai tujuan
dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan.
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah dibuat
15
sebelumnya berdasarkan masalah keperawatan yang ditemukan dalam kasus, dengan
menuliskan waktu pelaksanaan dan respon klien (Patricia A. Potter, 2005:205).
1.2.5 Evaluasi Keperawatan
Merupakan langkah terakhir dari proses perawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam
melakukan evaluasi perawat seharusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan
dalam memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan
menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam
menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Evaluasi menentukan
respons klien terhadap tindakan keperawatan dan seberapa jauh tujuan perawatan
telah terpenuhi (Patricia A. Potter, 2005:216)