Bab 1 Budaya

15

Click here to load reader

description

kesehatan

Transcript of Bab 1 Budaya

1. Hubungan Antara Kebudayaan Dan Kesehatan Sebelum Ibu Melahirkan ( Masa Kehamilan)Di dalam masyarakat sederhana kebiasaan hidup dan adat istiadat dibentuk untuk mempertahankan hidup diri sendiri dan kelangsungan hidup suku mereka. Berbagai kebiasaan dikaitkan dengan kehamilan, kelahiran, pemberian makanan bayi yang bertujuan supaya reproduksi berhasil ibu dan bayi selamat. Dari sudut pandang modern tidak semua kebiasaan itu baik. Ada beberapa yang kenyataannya malah merugikan. Contoh pada kebiasaan menyusukan bayi yang lama pada beberapa masyarakat merupakan contoh yang baik kebiasaan yang bertujuan melindungi bayi. Tetapi bila air susu ibu sedikit atau pada ibu-ibu lanjut usia, tradisi budaya ini dapat menimbulkan masalah tersendiri. Dia berusaha menyusukan bayinya dan gagal. Bila mereka tidak mengetahui nutrisi mana yang dibutuhkan bayi (biasanya demikian) bayi dapat mengalami malnutrisi dan mudah terserang infeksiPermasalahan yang sebenarnya cukup besar pengaruhnya yaitu pada kehamilan tepatnya pada masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Dikatakan pula bahwa penyebab utama dari tingginya angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk pembentukan darah.Beberapa kepercayaan yang ada misalnya di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang makan dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar sehingga akan mempersulit persalinan. Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi. Selain itu, larangan untuk memakan buah-buahan seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama masyarakat di daerah pedesaan. Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992 rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun y bvvvn ang dapat membahayakan si ibu. Penelitian Iskandar dkk (1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti ngolesi (membasahi vagina dengan rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan), kodok (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau nyanda (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu rnasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup.Secara medis penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga. Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi. Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil.Keadaan ini seringkali pula diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan2. Hubungan Antara Kebudayaan Dan Kesehatan Ketika Ibu Persalinan (Melahirkan)a. Tradisi Masyarakat Jawa Ibu melahirkan Babaran, mbabar dapat diartikan: sudah selesai, sudah menghasilkan dalam wujud yang sempurna. Babaran juga menggambarkan selesaianya proses karya batik tradisional. Istilah babaran juga dipakai untuk seorang ibu yang melahirkan anaknya. Ubarampe yang dibutuhkan untuk selamatan kelahiran adalah Brokohan. Ada macam macam ubarampe Brokohan. Pada jaman ini Brokohan basanya terdiri dari :beras, telur, mie instan kering, gula, teh dan sebagainya. Namun jika dikembalikan kepada makna yang terkandung dalam selamatan bayi lahir, brokohan cukup dengan empat macam ubarampe saja yaitu:

1) kelapa, dapat utuh atau cuwilan2) gula merah atau gula Jawa3) dawet4) telor bebekMelalui keempat macam ubarampe untuk selamatan bayi lahir tersebut, para leluhur dahulu ingin menyatakan perasaannya yang dipenuhi rasa sukur karena telah mbabar seorang bayi dalam proses babaran. Keempat ubarampe yang dikemas dalam selamatan Brokohan tersebut mampu menjelaskan bahwa Tuhan telah berkenan mengajak kerjasama kepada Bapak dan Ibu untuk melahirkan ciptaan baru, mbabar putra. Melalui proses bersatunya benih bapak (kelapa) dan benihnya Ibu (gula Jawa) yang kemudian membentuk jentik-jentik kehidupan, (dawet) Tuhan telah meniupkan roh kehidupan (telor bebek) dan terjadilah kelahiran ciptaan baru (brokohan)

Jika pun dalam perkembangannya selamatan Brokohan untuk mengiring kelahiran bayi menjadi banyak macam, terutama bahan-bahan mentah, hal tersebut dapat dipahami sebagai ungkapan rasa syukur yang ingin dibagikan dari keluarga kepada para kerabat dan tetangga.. Namun keempat ubarampe yang terdiri dari kelapa, gula Jawa, dawet dan telor bebek, masih perlu untuk disertakan dan direnungkan, agar kelahiran manjadi lebih bermakna.empat.

Dalam budaya Jawa, kelahiran seorang anak manusia ke dunia, selain merupakan anugerah yang sangat besar, juga mempunyai makna tertentu. Oleh karena itu, pada masa mengandung bayi hingga bayi lahir, masyarakat Jawa mempunyai beberapa uapacara adat untuk menyambut kelahiran bayi tersebut. Upacara-upacara tersebut antara lain adalah mitoni, upacara mendhem ari-ari, brokohan, upacara puputan, sepasaran dan selapanan.

Selapanan dilakukan 35 hari setelah kelahiran bayi. Pada hari ke 35 ini, hari lahir si bayi akan terulang lagi. Misalnya bayi yang lahir hari Rabu Pon (hari weton-nya), maka selapanannya akan jatuh di Hari Rabu Pon lagi. Pada penanggalan Jawa, yang berjumlah 5 (Wage, Pahing, Pon, Kliwon, Legi) akan bertemu pada hari 35 dengan hari di penanggalan masehi yang berjumlah 7 hari. Logikanya, hari ke 35, maka akan bertemu angka dari kelipatan 5 dan 7. Di luar logika itu, selapanan mempunyai makna yang sangat kuat bagi kehidupan si bayi. Berulangnya hari weton bayi, pantas untuk dirayakan seperti ulang tahun. Namun selapanan utamanya dilakukan sebagai wujud syukur atas kelahiran dan kesehatan bayi.

Yang pertama dilakukan dalam rangkaian selapanan, adalah potong rambut atau parasan. Pemotongan rambut pertama-tama dilakukan oleh ayah dan ibu bayi, kemudian dilanjutkan oleh sesepuh bayi. Di bagian ini aturannya, rambut bayi dipotong habis. Potong rambut ini dilakukan untuk mendapatkan rambut bayi yang benar-benar bersih, diyakini rambut bayi asli adalah bawaan dari lahir, yang masih terkena air ketuban. Alasan lainnya adalah supaya rambut bayi bisa tumbuh bagus, oleh karena itu rambut bayi paling tidak digunduli sebanyak 3 kali. Namun pada tradisi potong rambut ini, beberapa orang ada yang takut untuk menggunduli bayinya, maka pemotongan rambut hanya dilakukan seperlunya, tidak digundul, hanya untuk simbolisasi.

Setelah potong rambut, dilakukan pemotongan kuku bayi. Dalam rangkaian ini, dilakukan pembacaan doa-doa untuk keselamatan dan kebaikan bayi dan keluarganya. Upacara pemotongan rambut bayi ini dilakukan setelah waktu salat Maghrib, dan dihadiri oleh keluarga, kerabat, dan tetangga terdekat, serta pemimpin doa.Acara selapanan dilakukan dalam suasana yang sesederhana mungkin. Sore harinya, sebelum pemotongan rambut, masyarakat merayakan selapanan biasanya membuat bancaan yang dibagikan ke kerabat dan anak-anak kecil di seputaran tempat tinggalnya. Bancaan mengandung makna agar si bayi bisa membagi kebahagiaan bagi orang di sekitarnya.

Adapun makanan wajib yang ada dalam paket bancaan, yaitu nasi putih dan gudangan, yang dibagikan di pincuk dari daun pisang. Menurut Mardzuki, seorang ustadz yang kerap mendoakan acara selapanan, sayuran yang digunakan untuk membuat gudangan, sebaiknya jumlahnya ganjil, karena dalam menurut keyakinan, angka ganjil merupakan angka keberuntungan. Gudangan juga dilengkapi dengan potongan telur rebus atau telur pindang, telur ini melambangkan asal mulanya kehidupan. Selain itu juga beberapa sayuran dianggap mengandung suatu makna tertentu, seperti kacang panjang, agar bayi panjang umur, serta bayem, supaya bayi hidupanya bisa tentram.b. Tradisi Masyarakat Kalimantan Ibu melahirkanMenjelang persalinan membutuhkan beberapa perlengkapan khusus, demikian pula bagi Suku Dayak ada beberapa perlengkapan suku dayak menjelang persalinan atau proses melahirkan yang harus dipersiapkan sedemikian rupa untuk menggelar beberapa ritual atau upacara adat suku Dayak dalam menjelang dan menyambut kelahiran seorang bayi.Kultur budaya suku Dayak Kalimantan Tengah menempatkan kaum wanita pada derajat yang tinggi. Tak heran, kedudukan wanita dalam masyarakat dayak memang spesial, kaum perempuan selalu mendapatkan perhatian penuh, terlebih saat proses menjelang persalinan.

Fase Melahirkan dalam budaya Suku Dayak mengisyaratkan perlunya sejumlah persiapan termasuk persiapan perlengkapan suku dayak menjelang persalinan. Pada proses jelang melahirkan bayi atau Awau, sang calon ibu dibaringkan pada sebuah dipan kecil dengan posisi miring terbuat dari kayu yang disebut Sangguhan dengan motif ukiran Dayak di masing-masing sisi. Kemudian saat melahirkan, disiapkan pula Botol Mau sebagai tempat untuk menungku perut ibu agar darah kotor cepat keluar. Selain sebagai perlengkapan suku dayak menjelang persalinan Botol Mau ini juga digunakan untuk menyiman air panas.Selanjutnya, keluarga yang melahirkan juga perlu menyiapkan Kain Bahalai (Jarik dalam bahasa Jawa) dengan lapisan yang berbeda. Tujuh lapis kain bahalai saat menyambut bayi laki-laki dan lima lapis kain bahalai untuk bayi dengan jenis kelamin perempuan.

Walaupun sebagai peralatan penunjang, keberadaannya dalam persiapan prosesi persalinan menurut budaya Suku Dayak mutlak diperlukan. Pada fase ketika bayi telah lahir, maka tali pusar atau ari-ari bayi dipotong menggunakan sebuah sembilu. Untuk tahap pertama dan pemotongan terakhir ari-ari dengan uang ringgit. Kedua perlengkapan suku dayak menjelang persalinan tersebut disiapkan sejak awal dalam sebuah piring atau Paraten. Sedangkan ari-ari yang terpotong tadi disimpan di dalam Kusak Tabuni.

Bayi (awau) yang baru lahir dimandikan dalam Kandarah, dan popok bayi yang digunakan disimpan dalam Saok. Bagi sang ibu setelah melahirkan biasa menggunakan Stagen (Babat Kuningan) untuk mengikat perut agar mengembalikan perut ibu ke kondisi semula dengan cepat. Tentunya untuk menjaga tubuh ibu setelah melahirkan dan juga berfungsi untuk berjaga-jaga dalam kondisi yang tidak terduga seperti sulitnya bayi keluar, masyarakat Dayak memiliki cara yang khas dan bernuansa magis, yakni menggunakan buah kelapa yang bertunas untuk kemudian disentuhkan ke arah selaput bayi. Tujuan perlengkapan suku dayak menjelang persalinan tersebut adalah agar dapat membuka ruang sehingga bayi dapat keluar dengan mudah.c. Tradisi Masyarakat NTT Ibu melahirkan

Proses melahirkandengan di urut oleh seseorang yang diangap ahli,Setelah ada kelahiran bayi diadakan upacara atau ritual selamatan. Perlakuan masyarakat Nusa Tenggara Timur terhadap ari-ari

1) Tali pusar dipotong menggunakan kulit babmbu

2) Ditaruh sekitar 3 bulan di atas perapian sampai kering.

3) Selanjutnya di tanam di sertai doa dan alat-tulis.3. Hubungan Antara Kebudayaan Dan Kesehatan Ketika Ibu Mulai Pasca PersalinanSelain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula; memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).

BAB 3 PENUTUP

3.1 KesimpulanDari pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut:

1. Masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi.

2. Kelancaran persalinan sangat tergantung faktor mental dan fisik si ibu. Faktor fisik berkaitan dengan bentuk panggul yang normal dan seimbang dengan besar bayi. Sedangkan faktor mental berhubungan dengan psikologis ibu, terutama kesiapannya dalam melahirkan. Bila ia takut dan cemas, bisa saja persalinannya jadi tidak lancar hingga harus dioperasi. Ibu dengan mental yang siap bisa mengurangi rasa sakit yang terjadi selama persalinan.

3. SaranSaran yang kami berikan untuk para pembaca makalah ini, yaitu: setiap aspek sosial budaya yang melintas atau menjadi dasar bagi pola kehidupan manusia sehari-hari hendaknya dapat disaring, karena tidak setiap aspek sosial budaya yang masuk adalah postif.