B.6 Prosiding Seminar Nasional 1.a.3).a) 3. Optimasi Media Dan Isolat Bakteri Lokal Dalam Produksi...

30

description

fitohormon

Transcript of B.6 Prosiding Seminar Nasional 1.a.3).a) 3. Optimasi Media Dan Isolat Bakteri Lokal Dalam Produksi...

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    RINGKASAN ....................................................................................... iv

    I.PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

    II.METODOLOLOGI PENELITIAN ............................................................... 7

    III.HASIL DAN ANALISIS HASIL ............................................................... 11

    IV.PEMBAHASAN DAN PENDAPAT ............................................................... 15

    V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 25

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 26

  • I.PENDAHULUAN

    Hasil penelitian tahun pertama, dilaporkan bahwa isolat bakteri rizosfer tanaman

    kangkung dengan kode KNG.RT1 dapat menghasilkan IAA dengan konsentrasi 10.998 ppm,

    dan isolat bakteri endofit akar mangga dengan kode MEIA3 dapat menghasilkan auksin

    dengan konsentrasi 7.638 ppm dengan waktu inkubasi 5 hari. Sedangkan isolat bakteri

    endofit akar jagung dengan kode JGEA7 merupakan bakteri penghasil sitokinin dengan

    konsentrasi 3.894 ppm dan diduga ada potensi untuk menghasilkan fitohormon auksin.

    Berdasarkan hasil penelitian tahun pertama maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

    mengenai produksi fitohormon IAA dari isolat bakteri dengan kode KNG.RT1, MEIA3 dan

    JGEA7 untuk mengetahui aktivitasnya dalam menghasilkan fitohormon IAA dengan

    komposisi medium produksi fitohormon yang berbeda. Diharapkan akan diperoleh komposisi

    medium yang optimal untuk proses produksi fitohormon IAA yang paling optimal dari

    isolat bakteri tersebut.

    IAA termasuk fitohormon golongan auksin alami dan berperan sebagai zat pemacu

    karena dapat meningkatkan sintesis DNA dan RNA, serta pemanjangan sel dengan

    meningkatnya pertukaran proton (Aslamsyah, 2002). Biosintesis IAA oleh mikroba dapat

    ditingkatkan dengan penambahan triptofan sebagai prekursor (Arshad et al., 2000 ; dalam

    Arkhipchenko, 2004).

    Keunggulan penggunaan bakteri penghasil auksin adalah secara alamiah bakteri

    tersebut tidak hanya menghasilkan auksin semata tapi juga dapat menghasilkan fitohormon

    yang lain. Auksin alami lebih efektif dalam merangsang pertumbuhan akar dibanding dengan

    auksin sintetik. Bahkan beberapa isolat bakteri dapat bersifat multiguna, artinya selain

    sebagai penghasil fitohormon juga sebagai pelarut fosfat, penambat nitrogen dan pelarut

    kalium.

    Penelitian lain menyebutkan bahwa bakteri epifitik (hidup pada permukaan tanamaN

    tertentu) dapat memproduksi fitohormon IAA dalam jumlah besar. Beberapa strain bakteri

    dari genus Azospirillum memiliki kemampuan phytostimulatory. Hal ini disebabkan bakteri

    tersebut mampu memproduksi fitohormon, yaitu IAA. Strain bakteri Pseudomonas

    fluorescens mampu merangsang pertumbuhan akar jagung pada kondisi hidroponik dengan

    menghasilkan IAA. Spesies dari genus Pseudomonas lainnya yaitu Pseudomonas putida juga

    dilaporkan mampu mempercepat pertumbuhan tanaman (Nyoman et al., 2004).

  • Di masa mendatang, industri-industri pertanian semakin dituntut untuk menggunakan

    sistem organik (hayati) dalam setiap aktivitasnya, sehingga produk mikroba penghasil

    hormon pertumbuhan tanaman yang ramah lingkungan memiliki peluang pasar yang

    menjanjikan.

    Identifikasi Masalah: Fitohormon auksin sangat dibutuhkan oleh petani untuk

    pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas tanaman; Saat ini banyak digunakan

    fitohormon sintetik; Terdapat spesies bakteri rizosfer, bakteri endofit yang dapat

    menghasilkan fitohormon auksin (IAA); Perlu teknologi untuk memproduksi fitohormon

    IAA dari sel bakteri; Jenis isolat bakteri dan komposisi medium kultur produksi diduga

    berpengaruh terhadap konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan.

    Kerangka Pemikiran: Indole-3-Acetic Acid (IAA) merupakan auksin alami yang

    sangat dibutuhkan petani untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Penggunaan auksin

    alami diharapkan akan semakin meningkat untuk menggantikan penggunaan fitohormon

    auksin sintetik yang kurang efisien karena tidak akan menyatu dengan tanaman dan akan

    hanyut terbawa arus air jika musim hujan tiba. Auksin sintetik juga kurang efektif dalam

    merangsang akar dibandingkan dengan auksin alami. Padahal, di alam banyak strain

    penghasil fitohormon auksin yang dapat bersimbiosis dengan jaringan tanaman. Beberapa

    isolat bakteri dapat menghasilkan auksin selama tanaman itu hidup sehingga tidak perlu

    pemberian auksin secara berkala.

    Bakteri penghasil fitohormon IAA dapat berasal dari isolat-isolat bakteri rizosfer dan

    endofit. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan kajian produksi fitohormon IAA

    dengan menggunakan beberapa isolat bakteri dan komposisi medium yang berbeda-beda

    serta melakukan uji aktivitas terhadap fitohormon IAA yang dihasilkan.

    Medium yang digunakan untuk produksi fitohormon IAA adalah Minimal Medium,

    Luria Bertani Glukosa triptofan dan Minimal Salt. Minimal Medium mengandung sumber

    karbon yang rendah, triptofan dan sumber mineral yang berperan dalam produksi fitohormon

    IAA (Ahmad et al, 2004). Luria Bertani Glukosa Triptofan mengandung sumber karbon

    yang rendah, tetapi mengandung sumber nitrogen, triptofan dan sumber mineral yang

    berfungsi menjaga kekuatan ion (Jinichiro et al, 1990). Minimal Salt mengandung sumber

    karbon dan nitrogen yang rendah, triptofan dan mengandung sumber mineral yang berfungsi

    sebagai larutan penyangga, pengatur pH dan sebagai koenzim (Husen, 2003).

    Tahapan produksi fitohormon IAA dimulai dengan menginokulasikan bakteri ke

    dalam Minimal Medium, Luria Bertani Glukosa Triptofan dan Minimal Salt yang

    mengandung triptofan. Selanjutnya diinkubasi pada incubator shaker selama 48 jam pada

  • suhu 28 0C dalam kondisi gelap. Supernatan dipisahkan dari sel-sel bakteri dengan cara

    sentrifugasi, kemudian diekstrak dengan etil asetat. Fraksi etil asetat dievaporasi hingga

    kering dengan rotavapor dan ekstrak yang diperoleh dilarutkan dengan metanol. Ekstrak yang

    sudah dilarutkan dengan metanol kemudian diuji aktivitasnya secara kualitatif dengan TLC

    (Thin Layer Chromatography) dan secara kuantitatif dengan HPLC (High Performance

    Liquid Chromatography) untuk mengetahui perlakuan jenis bakteri dan komposisi medium

    yang paling baik dalam menghasilkan fitohormon IAA.

    Maksud dan Tujuan Penelitia: Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengkaji

    teknologi produksi fitohormon IAA dengan menggunakan beberapa jenis isolat bakteri lokal

    dan komposisi medium kultur yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

    mengetahui pengaruh jenis isolat bakteri dan komposisi medium kultur terhadap konsentrasi

    fitohormon IAA yang dihasilkan, guna mendapatkan komposisi medium yang paling tepat

    untuk produksi fitohormon IAA dari isolat bakteri lokal.

    Hipotesis Penelitian: Hipotesis yang dapat dikemukakan adalah bahwa jenis isolat

    bakteri dan komposisi medium kultur yang dicoba berpengaruh terhadap konsentrasi

    fitohormon IAA yang dihasilkan.

    II. METODOLOGI PENELITIAN.

    Bahan dan Peralatan

    Bahan-bahan Penelitian Isolat murni bakteri penghasil fitohormon IAA sebanyak tiga

    isolat dengan kode KNG.RT1, MEIA3 dan JGEA7. Isolat bakteri tersebut diperoleh dari hasil

    penelitian tahun pertama. Medium kultur produksi fitohormon IAA terdiri dari (a). Minimal

    Medium dengan triptofan 1 g/liter, (b). Minimal Medium dengan triptofan 2 g/liter, (c) Luria

    Bertani Glukosa Triptofan (LBGT) dan (d) Minimal Salt (MS) yang diperkaya dengan

    triptofan 2 g/liter. Solvent untuk ekstraksi menggunakan etil asetat teknis. Sebelum di

    ekstraksi pH supernatan diatur menggunakan NaOH dan HCl 1 N. Bahan-bahan untuk uji

    TLC dan HPLC. Metanol glacial / metanol HPLC grade. Reagent Ehrlich yang terdiri dari

    larutan 1 g -dimetil-amino-benzaldehid dan 20 ml HCl pekat dalam 95 ml etanol 96 %.

    Auksin standar yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu Indole-3-Acetik-Acid (IAA) dan

    indole -3-Butryic Acid (IBA). Eluent yang digunakan untuk TLC adalah kloroform : etil

    asetat :asam format (50 : 40 : 10, v/v). Eluent yang digunakan untuk HPLC adalah metanol :

    waters (60 : 40, v/v).

  • Peralatan untuk pembuatan starter dan kultur produksi fitohormon IAA: Labu

    Erlenmeyer, corong pisah dan gelas ukur.Autoclave. Hot plate dan magnetic

    stirrer.Timbangan, spatula, dan piring kecil.incubator shaker.Centrifuge dan tabung

    centrifuge.pH meter dan Rotavapor. Tabung reaksi. Laminar air flow. Jarum ose. Peralatan

    untuk analisis kualitatif dengan menggunakan metode Thin Layer Chromatography (TLC):

    Plat silica gel GF254. Pipa kapiler.Sprayer TLC. Sinar UV.Peralatan untuk analisis kuantitatif

    dengan menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC):

    Sonikator.Vacuum filter dan membrane filter dengan ukuran pori 0,22 m. Seperangkat alat

    HPLC seperti injektor, kromatogram, kolom shimpak CLC-ODS C-18 dengan diameter 0,6

    mm, pompa, dan reservoir.

    Pembuatan Medium: Pembuatan Medium Nutrient Agar. Komposisi medium Nutrien

    Agar dalam 1 liter akuades terdiri dari 3 g beef extract, 5 g peptone, dan 15 g agar yang

    dilarutkan dalam 1 liter aquades, pH diatur 6,8-7. Kemudian disterilkan dalam autoklaf pada

    suhu 121 0C dengan tekanan 1 Atm selama 15 menit. Medium Nutrient Agar digunakan

    untuk peremajaan isolat bakteri dan perhitungan sel bakteri.

    Pembuatan Minimal Medium. Komposisi Minimal Medium dalam 1 liter akuades

    terdiri dari 10 g glukosa, 3 g K2HPO4, 0,3 g MgSO4.7H2O, 0,5 g sodium sitrat dengan

    penambahan 1 g triptofan, yang dilarutkan dalam 1 liter aquades, pH diatur 6,8 - 7. Kemudian

    dimasukkan yang masing-masing diisi 20 ml ke dalam 3 labu Erlenmeyer ukuran 100 ml dan

    masing-masing diisi 50 ml sebagian larutan medium dimasukkan ke dalam 9 labu Erlenmeyer

    ukuran 250 ml. Larutan medium selanjutnya disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C

    dengan tekanan 1 Atm selama 15 menit (Ahmad et al, 2004). Dibuat juga Minimal medium

    dengan komposisi yang sama, namun berbeda pada penambahan triptofan yaitu 2 g/1 liter

    akuades.

    Pembuatan Medium Luria Bertani Glukosa Triptofan (MLBGT).

    Komposisi medium Luria Bertani Glukosa Triptofan dalam 1 liter akuades terdiri dari 10 g

    glukosa, 10 g bacto tryptone, 5 g bacto yeast ekstrak, 5 g NaCl dan 2 g triptofan yang

    dilarutkan dalam 1 liter aquades, pH diatur 6,8-7. Kemudian dimasukkan yang masing-

    masing diisi 20 ml ke dalam 3 labu Erlenmeyer ukuran 100 ml dan masing-masing 50 ml

    sebagian larutan ke dalam 9 labu Erlenmeyer ukuran 250 ml. Larutan medium selanjutnya

    disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 Atm selama 15 menit

    (Jinichiro et al, 1990).

    Pembuatan Medium Minimal Salt (MMS). Komposisi medium Minimal Salt dalam

    900 ml akuades terdiri dari 1.36 g KH2PO4, 0,2 g MgSO4.7H2O, 2,13 g Na2HPO4, dan 0,5 g

  • sodium sitrat, yang dilarutkan dalam 1 liter aquades, pH diatur 6,8-7. Kemudian dimasukkan

    yang masing-masing diisi 18 ml ke dalam 3 labu Erlenmeyer ukuran 100 ml dan yang

    masing-masing 45 ml sebagian larutan medium ke dalam 9 labu Erlenmeyer ukuran 250 ml.

    Larutan medium selanjutnya disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C dengan tekanan 1

    Atm selama 15 menit. Setelah itu ditambah 10 g glukosa, 0.1 g yeast ekstrak dan 2 g triptofan

    dalam 100 ml aquades yang telah disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C dengan

    tekanan 1 Atm selama 15 menit pada tempat yang berbeda.Cara penambahannya diambil 2

    ml ke dalam Erlenmeyer ukuran 100 ml yang telah berisi larutan 18 ml dan dan diambil 5 ml

    ke dalam beberapa Erlenmeyer ukuran 250 ml yang telah berisi larutan 45 ml ( Husen, 2003).

    Pembuatan Kultur Starter: Sebanyak 1 ose isolat murni masing-masing bakteri dari

    media agar miring NA diinokulasikan ke dalam 20 ml masing-masing medium dalam

    Erlenmeyer 100 ml, kemudian diinkubasi dalam incubator shaker dengan kecepatan 150 rpm

    pada suhu kamar selama 24 jam.

    Perhitungan Sel Bakteri dalam Larutan Kultur Starter: Perhitungan sel bakteri

    bertujuan untuk mengetahui jumlah bakteri yang ada dalam kultur starter. Perhitungan sel

    bakteri dilakukan dengan metode Total Plate Count (TPC) dengan cara sebagai berikut:

    diambil larutan starter sebanyak 1 ml, kemudian dilarutkan dalam 9 ml aquades steril maka

    diperoleh larutan dengan pengenceran 10- 1

    kemudian dilakukan pengenceran sampai 10-5

    .

    Dari pengenceran 10-3

    , 10-4

    dan 10-5

    diambil 100 l kemudian diinokulasikan secara pour

    plate pada medium NA. Setelah diinkubasi pada suhu 28 0C selama 48 jam jumlah koloni

    yang tumbuh dihitung dengan syarat jumlah koloni yang tumbuh antara 30-300. Jumlah sel

    bakteri dihitung dengan cara mengalikan jumlah koloni yang terhitung dengan faktor

    pengencaran.

    Inokulasi dan Inkubasi Kultur Produksi Fitohormon IAA: Sebanyak 3 ml kultur

    starter dengan kepadatan sel 106 masing-masing diinokulasikan ke dalam 50 ml medium

    produksi dalam Erlenmeyer 250 ml dan diinkubasi dalam incubator shaker dengan kecepatan

    150 rpm pada suhu kamar selama 48 jam.

    Recovery Produk Fitohormon IAA: Kultur bakteri yang telah diinkubasi selama 48

    jam disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 25 menit.

    Fitohormon IAA dari supernatan bakteri diekstrak dengan etil asetat yang dilakukan

    sebanyak 4 kali dengan volume etil asetat sama dengan volume supernatan bakteri. Fraksi etil

    asetat dievaporasi hingga kering dengan rotavapor.

    Ekstrak yang diperoleh dilarutkan dalam 300 l metanol glacial.

    Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA. Secara Kualitatif Menggunakan TLC.:

  • Prosedur pengujian aktivitas fitohormon IAA dengan metode TLC dilakukan dengan cara

    sebagai berikut : Plat silica gel GF254 dipotong dengan panjang 6 cm dan lebarnya sama

    dengan jumlah senyawa yang akan ditotol dikalikan 0,5 cm. Kedua ujung plat diberi garis

    dengan pensil dengan jarak 0,5 cm untuk menentukan batas atas dan batas bawah. Plat TLC

    diberi tanda sesuai dengan senyawa auksin standar dan kode sampel pada batas bawah

    dengan jarak 0,5 cm. Sampel, auksin standar IAA dan kontrol ditotolkan pada titik sesuai

    dengan nama pada batas bawah plat silica gel GF254.Plat silica gel kemudian di elusidasi dari

    batas bawah dengan eluen kloroform : etil asetat : asam format (50 : 40 : 10, v/v). Setelah

    dielusidasi, plat silica gel kemudian di angin-anginkan hingga kering. Plat silica gel disinari

    dengan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm. Spot-spot auksin dilingkari dengan

    pensil. Setelah kering, plat silica gel di semprot dengan reagent Ehrlich. Reagent Ehrlich

    dibuat dengan melarutkan 1 g -dimetil-amino-benzaldehid dan 20 ml HCl pekat dalam 95

    ml etanol 96 %. Plat silica gel di panaskan di atas penangas air hingga spot-spot auksin

    terlihat jelas.

    Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA Secara Kuantitatif Menggunakan HPLC.:

    Prosedur pengujian aktivitas fitohormon IAA dengan metode HPLC dilakukan dengan cara

    sebagai berikut : Eluen dibuat dari metanol : waters dengan perbandingan 60: 40 v/v

    kemudian disaring dengan membran selulosa asetat dengan porositas 0,2 m. Sebanyak

    0,0025 g IAA standar dilarutkan dalam 20 ml metanol glacial dan diencerkan secara bertahap

    dengan metanol glacial dengan perbandingan 1 : 1. Sampel, eluen, dan IAA standar

    disonikasi selama 15 menit. Kemudian eluen di running dalam kolom HPLC shimpak CLC-

    ODS C-18 dengan diameter 0,6 mm dan tunggu 10 menit. Sebanyak 10 l IAA standar

    dengan berbagai konsentrasi disuntikan kedalam kolom HPLC. Sampel dengan berbagai

    pengenceran mulai dari 3,5,10,20 kali pengenceran disuntikan sebanyak 10 l ke dalam

    kolom HPLC. Hasil yang positif ditunjukkan dengan waktu retensi kromatogram sampel

    relatif sama dengan waktu retensi kromatogram auksin standar. Konsentrasi fitohormon IAA

    yang dihasilkan dapat dihitung dengan menggunakan variabel area IAA standar dan area

    sampel serta faktor pengenceran.

    Rancangan Percobaan: Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap

    dengan pola Faktorial (Torrie et al., 1991). Terdapat perlakuan yang merupakan kombinasi

    dua faktor, masing-masing faktor tersebut adalah : Jenis isolat bakteri terdiri atas tiga taraf :

    B1 = isolat bakteri rizosfer dari tanaman kangkung (KNG.RT1), B2 = isolat bakteri endofit

    dari tanaman mangga (ME1A3) , B3 = isolat bakteri endofit dari tanaman jagung (JGEA7).

  • Komposisi medium kultur produksi fitohormon IAA terdiri atas empat taraf: M1 = Minimal

    Medium dengan penambahan triptofan 1 g/liter, M2 = Minimal Medium dengan penambahan

    triptofan 2 g/liter, M3= Luria Bertani Glukosa Triptofan dengan penambahan triptofan 2

    g/liter, M4 = Minimal Salt dengan penambahan triptofan 2 g/liter

    Analisa Data: Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis Sidik Ragam

    berdasarkan uji F menggunakan program SPSS 17 (Uyanto, 2009). Apabila hasilnya

    menunjukkan perbedaan yang nyata, analisis dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range

    Test (DMRT).

    III.HASIL DAN ANALISIS HASIL

    Pembuatan Starter

    Pembuatan starter berfungsi untuk memperbanyak jumlah sel bakteri, mengaktifkan

    sel bakteri dan untuk mengadaptasikan sel bakteri. Waktu inkubasi starter selama 24 jam.

    Hasil perhitungan jumlah sel bakteri yang terkandung dalam larutan starter setelah

    diinkubasi 24 jam dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Jumlah Sel Bakteri dalam Starter

    Perlakuan Jumlah sel

    bakteri/ml

    Kombinasi

    Perlakuan

    Hasil

    Pengamatan Isolat

    Bakteri

    Medium

    B1 M1 1,3 x 106 B1M1 merah keruh

    M2 B1M2 merah keruh

    M3 B1M3 kuning keruh

    M4 B1M4 merah keruh

    B2 M1 1,5 x 106 B2M1 merah keruh

    M2 B2M2 merah keruh

    M3 B2M3 kuning keruh

    M4 B2M4 merah keruh

    B3 M1 2, 7 x 106 B3M1 merah keruh

    M2 B3M2 merah keruh

    M3 B3M3 kuning keruh

    M4 B3M4 kuning keruh

  • Hasil Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA secara Kualitatif Menggunakan TLC

    Hasil pengujian aktivitas fitohormon IAA secara kualitatif dengan TLC menunjukkan

    bahwa kombinasi dari tiga isolat bakteri dan empat komposisi medium produksi yang

    dicoba semuanya positif menghasilkan IAA.

    Hasil Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA secara Kuantitatif Menggunakan HPLC

    Hasil pengujian aktivitas fitohormon IAA secara kuantitatif dengan metode HPLC

    terhadap larutan ekstrak kultur bakteri pada perlakuan yang dicoba dapat dilihat pada Tabel 4

    sebagai berikut:

    Tabel 4. Hasil Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA Menggunakan HPLC

    Perlakuan Pengulangan Konsentrasi

    IAA (ppm)

    Rata-rata

    (ppm) Isolat Bakteri Komposisi Medium

    B1 M1 1 3,680 3,680

    2 -

    3 -

    M2 1 8,795 7,694

    2 8,250

    3 6,038

    M3 1 9,329 9,019

    2 9,271

    3 8,459

    M4 1 12,333 9,789

    2 4,480

    3 12,554

    B2 M1 1 5,192 4,875

    2 3,427

    3 6,006

    M2 1 5,626 5,616

    2 5,466

    3 5,757

  • M3 1 3,435 3,484

    2 3,559

    3 3,457

    M4 1 0,810 0,737

    2 0,674

    3 0,728

    B3 M1 1 1,216

    1,766

    2 1,899

    3 2,182

    M2 1 1,737 2,287

    2 3,292

    3 1,833

    M3 1 2,527 2,527

    2 -

    3 -

    M4 1 1,118 1,179

    2 1,027

    3 1,393

  • Hasil Uji Duncan Multipe Range Test (DMRT)

    Tabel 5. Nilai Rata-rata Konsentrasi Fitohormon IAA oleh Perlakuan Isolat Bakteri

    Berdasarkan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)

    Duncana,,b

    Isolat Bakteri N

    Rata-rata

    1 2 3

    B3 12 1,939

    B2 12 3,678

    B1 12 7,546

    P>F. 1 1 1

    Error = 27,48

    a. N= 12.

    b. Alpha = 0,05.

    Hasil uji DMRT menunjukkan bahwa nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA yang

    paling tinggi dihasilkan oleh perlakuan komposisi medium kultur M2 yaitu 5,199 ppm,

    seperti dapat dilihat pada Tabel 6.

    abe

    Duncana,,b

    Komposisi Medium N

    Rata-rata

    1 2

    M1 9 3,440

    M4 9 3,902 3,902

    M3 9 4,449

    M2 9 5.199

    P>F 0,115 0,129

    Error = 27,48

    a. N= 9

    b. Alpha = 0,05.

  • IV.PEMBAHASAN DAN PENDAPAT

    A. Pembuatan Kultur Starter dan Inokulasi ke Medium Produksi Fitohormon IAA

    Pembuatan kultur starter bertujuan untuk memperbanyak jumlah sel bakteri,

    mengaktifkan sel bakteri dan untuk mengadaptasikan sel bakteri dengan medium yang akan

    digunakan untuk produksi fitohormon IAA. Hasil perhitungan metode Total Plate Count

    (TPC) jumlah sel bakteri dalam larutan starter masing-masing adalah 1,3 x 106 sel bakteri /

    ml, 1,5 x 106 bakteri / ml dan 2,7 x 10

    6 sel bakteri / ml. Hasil tersebut menunjukkan

    kandungan jumlah sel bakteri yang hampir sama pada masing-masing isolat bakteri dan

    medium yang digunakan. Proses pembuatan starter inkubasi dilakukan pada rotary shaker

    dalam kondisi gelap. Hal ini bertujuan untuk menghindari degradasi IAA yang dihasilkan

    bakteri akibat intensitas cahaya yang tinggi. Seperti pada peristiwa fototropisme dimana IAA

    selalu terkonsentrasi pada jaringan tanaman yang tidak terkena cahaya matahari secara

    langsung. Selain itu juga bukti yang dijumpai pada petunjuk penggunaan hormon IAA

    komersial yang menyatakan produknya harus di simpan pada suhu 2-6 0C dalam kondisi

    gelap.

    B. Inokulasi Starter dan Inkubasi Kultur Produksi Fitohormon IAA

    Isolat bekteri diinokulasikan pada medium M1, M2, M3 dan M4. Medium kultur

    produksi dapat dilihat pada Gambar 6. Berbagai komposisi medium kultur yang dicoba

    diharapkan dapat mengetahui komposisi medium kultur yang paling tepat untuk produksi

    fitohormon IAA dari isolat bakteri tesebut.

    Gambar 6. Medium Kultur Produksi IAA

  • Kandungan glukosa pada ke empat medium yang digunakan hanya di buat 10 g/liter.

    Hal ini bertujuan untuk membatasi pertumbuhan populasi bakteri, memperpendek fase

    logaritmik dan memperpanjang fase stasioner. Apabila kadar glukosa lebih banyak dari 10 g,

    maka sel-sel bakteri akan terus berkembang biak, sehingga kerapatan sel bakteri dalam

    kultur cair pada medium M1, M2, M3 dan M4 akan sangat tinggi. Kadar glukosa 10 g

    diharapkan populasi bakteri tidak terlalu tinggi, sehingga jika glukosa habis, maka bakteri

    akan menggunakan triptofan sebagai sumber energi dan bakteri tersebut akan mengkonversi

    triptofan menjadi IAA.

    Komponen K2HPO4, dan MgSO.7H2O pada medium M1 dan M2 dan komponen

    KH2PO4 dan MgSO.7H2O pada medium M4 berfungsi sebagai sumber fosfor dan

    magnesium, selain itu juga berperan sebagai buffer fosfat yang berfungsi untuk menjaga agar

    ion H+ pada kultur cair tidak berubah. Komponen Na2HPO4 pada medium M4 berfungsi

    sebagai pengatur pH dan medium M4 juga mengandung yeast ekstrak sebagai sumber protein

    dengan konsentreasi yang rendah. Medium M3 yang mengandung bacto trypyone, yeast

    ekstrak berfungsi sebagai sumber protein dan juga vitamin untuk bakteri, sedangkan NaCl

    pada medium M3 berfungsi dalam menjaga kekuatan ion. Komponen sodium sitrat pada

    medium M1, M2 dan M4 berperan sebagai koenzim Tryptophan-mono-oxygenase dan

    Indole-3-asetalamid hydrolase yang di hasilkan bakteri penghasil auksin.

    Fitohormon IAA merupakan produk transformasi dihasilkan setelah fase stasioner.

    Produk transformasi terjadi melalui modifikasi suatu senyawa yang ditambahkan kedalam

    medium kultur produksi untuk menghasilkan senyawa lain, yaitu triptofan yang dikonversi

    menjadi fitohormon IAA. Medium kultur produksi fitohormon IAA di perkaya dengan

    triptofan yang berperan sebagai prekursor (bahan baku) auksin. Bakteri penghasil auksin

    mempunyai gen Tms 1 dan Tms 2 yang mengkodekan enzim-enzim untuk mengkonversi

    triptofan menjadi IAA. Gen Tms 1 mensisntesis enzim Trypthophan-mono-oxygenase yang

    mengkorvesi triptofan menjadi Indole-3-acetamid, sedangkan gen Tms 2 mensintesis enzim

    Indole-3-acetamid hydrolase yang mengkonversi Indole-3-acetamid menjadi indole-3-Acetic

    Acid (IAA). Menurut Jinichiro et al. (1990) secara keseluruhan metabolisme triptofan dapat

    dilihat pada Gambar 7.

  • Tryptophan (Trp)

    Tryptamine

    Indole-3-acetamide (IAAm) Indole-3-pyruvic acid (IPyA) Indole-3-lactic acid

    (ILA)

    Indole-3-acetaldehyde (IAAld) Trytophol (tol)

    Indole-3-acetic acid (IAA)

    Gambar 7. Biosintesis Triptofan oleh Bakteri (Jinichiro et al., 1990)

    Agitasi pada kecepatan 150 rpm bertujuan untuk meratakan dispersi larutan sel-sel

    mikroba dan nutrisi-nutrisi yang terkandung dalam medium kultur, agar ketersediaan nutrisi

    untuk sel bakteri tetap terjaga. Agitasi membantu bekteri untuk menbuang gas-gas dan

    produk samping hasil proses katabolisme. Agitasi juga membantu penyediaan O2 untuk sel

    bakteri, apalagi pada kultur bakteri yang kepadatan populasi yang tinggi. Asimilasi glukosa

    biasanya meningkat seiring dengan meningkatnya kecepatan agitasi.

    C. Recovery Produksi Fitohormon IAA

    Supernatan dipisahkan dari sel-sel bakteri dengan cara sentrifugasi pada suhu 4 0C,

    kecepatan 7000 rpm selama 25 menit setelah diinkubasi 48 jam. Suhu harus tetap dijaga

    dingin agar auksin tidak rusak. Sebelum diekstraksi supernatan diasamkan sampai pH 2,5-3,

    kemudian diekstrak dengan etil asetat sebanyak empat kali volume supernatan. Senyawa

    indole yang bersifat asam seperti IAA dapat terekstraksi dengan supernatant pada pH 2,5-3

    menggunakan etil asetat (Ahmad et al. 2004). Menggunakan pelarut etil asetat karena etil

    asetat mempunyai kepolaran yang relatif sama dengan auksin, mudah di evaporasi yaitu cepat

    menguap pada suhu 400 C dalam evaporator, tidak bercampur dan mempunyai massa jenis

    yang berbeda dengan supernatan mikroba sehingga mudah untuk dipisahkan dari supernatan

    mikroba pada waktu ekstraksi. IAA yang terkandung dalam supernatan akan diikat oleh etil

    asetat pada saat ekstraksi. Proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 9. Pada Gambar 8

    terlihat 2 lapisan yaitu lapisan atas dan bawah. Lapisan atas merupakan etil asetat karena

    massa jenis etil asetat lebih kecil dibanding massa jenis air, sehingga etil asetat berada di atas

    dan etil asetat akan manarik fitohormon IAA yang terkandung pada lapisan bawah.

  • Gambar 8. Proses Ekstraksi

    Ekstrak yang dihasilkan berupa etil asetat yang berisi IAA dan senyawa-senyawa lain.

    Sebelum diuji TLC dan HPLC, etil asetat harus diuapkan hingga kering pada suhu 40 0C dan

    segera dilarutkan dengan 300 l methanol. Makin pekat konsentrasi ekstraknya akan semakin

    baik juga hasil pengujian TLC dan HPLC. Ekstrak supernatant isolat-isolat bakteri yang telah

    dipekatkan dapat dilihat pada Gambar 9.

    Gambar 9. Ekstrak Sampel yang telah Dipekatkan

    C. Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA Menggunakan TLC

    Sampel yang menghasilkan IAA dapat diketahui dengan membandingkan warna dan

    jarak spot sampel dari batas bawah plat silika gel dengan warna dan jarak dari spot IAA

    standar. Jika warna dan jarak spotnya sama, maka di pastikan sampel tersebut menghasilkan

    IAA secara kualitatif. Gambar 10 tampak spot dan jarak yang sejajar dan warnanya mirip

    dengan IAA standar. Oleh karena itu, semua sampel dipastikan positif mengandung IAA.

  • Hasil uji kualitatif dengan menggunakan metode TLC menunjukkan semua isolat bakteri

    dengan medium M1, M2, M3 dan M4 positif mengandung IAA, sedangkan kontrol (hanya

    medium saja tanpa diinokulasi dengan bakteri) tidak ada jarak dan warna spot-spot isolat

    yang sejajar, hal ini menunjukan bahwa tidak adanya aktivitas bakteri dan tidak mengandung

    fitohormon IAA.

    Gambar 10. Plat TLC yang telah Disemprot dangan Reagent Ehrlich dan

    setelah Dipanaskan.

    D. Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA Menggunakan HPLC

    Semua sampel yang telah diuji aktivitas fitohormonnya dengan TLC dan

    menunjukkan hasil yang positif mengandung fitohormon IAA secara kualitatif, selanjutnya

    dilakukan pengujian dengan HPLC untuk mengetahui berapa konsentrasi fitohormon IAA

    yang dihasilkan.

    Kromatrogam auksin standar dengan wakru retensi 1.777 ppm dapat dilihat pada

    Gambar 11. Waktu retensi ini menjadi patokan untuk menentukan kandungan IAA pada

    sampel.

  • AU

    -1.00

    0.00

    1.00

    2.00

    3.00

    4.00

    5.00

    Minutes

    0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00

    1.

    60

    7

    1.

    78

    6

    2.

    04

    1

    2.

    53

    4

    3.

    04

    8

    3.

    44

    2

    4.

    76

    2

    5.

    14

    1

    AU

    -1.00

    -0.50

    0.00

    0.50

    1.00

    1.50

    2.00

    2.50

    Minutes

    0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00

    1.

    77

    7

    Gambar 11. Kromatrogam Fitohormon IAA Standar

    Kromatrogam HPLC berupa peak-peak dari IAA sampel yaitu bakteri yang berasal

    rizosfer kangkung pada perlakuan B1M4 ulangan ke 3 dapat dilihat pada Gambar 12. Bakteri

    rizosfer kangkung tersebut ternyata mengandung IAA dengan konsenterasi 12,554 ppm,

    dapat diketahui menghasilkan IAA yaitu dengan cara membandingkan waktu retensi yang

    terdapat di ujung peak-peak kromatogram sampel dengan kromatrogram IAA standar. Waktu

    retensi IAA standar 1,777 dan waktu retensi IAA sampel 1,786, karena waktu retensi IAA

    standar dengan waktu retensi IAA sampel relatif sama maka dapat dinyatakan IAA sampel

    tersebut mengandung auksin.

    Name Retention

    Time Area

    Heig

    ht

    1 IAA 200

    ppm 1.777

    35545

    69

    3206

    83

    Retention

    Time

    Area Height

    1 1.607 2518198

    0

    1515738

    2 1.786 1213287

    0

    1296742

    3 2.041 7591714

    7

    3680191

    4 2.534 1992241

    6

    1103139

  • Gambar 12. Kromatrogam Fitohormon IAA Sampel pada Perlakuan

    B1M4 Ulangan 3

    Hasil analisis HPLC dari bakteri rizosfer tanaman kangkung dalam menghasilkan

    fitohormon IAA yaitu pada perlakuan B1M1 dengan konsentrasi rata-rata 3,680 ppm,

    perlakuan B1M2 dengan konsentrasi rata-rata 7,694 ppm, perlakuan B1M3 dengan

    konsentrasi rata-rata 9,019 ppm dan pada perlakuan B1M4 dengan konsentrasi rata-rata

    9,789 ppm. Dari hasil perhitungan HPLC bakteri rizosfer tanaman kangkung konsentrasi rata-

    rata tertinggi yaitu pada perlakuan B1M4 yaitu sebesar 9,879 ppm. Konsentrasi fitohormon

    IAA yang dihasilkan oleh bakteri B1 sangat di pengaruhi oleh triptofan dan medium M4 yang

    dapat menghasilkan konsentrasi rata-rata tertinggi

    Hasil analisa HPLC dari bakteri endofit akar mangga dalam menghasilkan

    fitohormon IAA yaitu pada perlakuan B2M1 dengan konsentrasi rata-rata 4,875 ppm,

    perlakuan B2M2 dengan konsentrasi rata-rata 5,616 ppm, perlakuan B2M3 dengan

    konsentrasi rata-rata 3,484 ppm dan pada perlakuan B2M4 dengan konsentrasi rata-rata

    0,737 ppm. Dari hasil perhitungan HPLC bakteri endofit tanaman mangga konsentrasi rata-

    rata tertinggi yaitu pada perlakuan B2M2 adalah sebesar 5,616 ppm. Isolat bakteri dengan

    kode B2 dengan komposisi medium kultur yang berbeda-beda sangat mempengaruhi

    konsentrasi fitohormon IAA walaupun dengan konsentrasi triptofan 2 g/liter. Interaksi antara

    B2 dan M2 dapat menghasilkan fitohormon IAA yang tinggi dibandingkan dengan M1, M3

    dan M4

    Hasil analisa HPLC dari bakteri endofit tanaman jagung dalam menghasilkan

    fitohormon IAA yaitu pada perlakuan B3M1 dengan konsentrasi rata-rata 1,766 ppm,

    perlakuan B3M2 dengan konsentrasi rata-rata 2,287 ppm, perlakuan B3M3 dengan

    konsentrasi rata-rata 2,527 ppm dan pada perlakuan B3M4 dengan konsentrasi rata-rata

    5 3.048 1068716

    3

    575854

    6 3.442 1966227

    1

    438047

    7 4.762 1881176 115656

    8 5.141 4613205 140261

  • 1,179 ppm. Dari hasil perhitungan HPLC bakteri endofit tanaman jagung konsentrasi rata-

    rata tertinggi yaitu pada perlakuan B3M2 yaitu sebesar 2,287 ppm. Isolat bakteri dengan kode

    B3 dengan komposisi medium kultur yang berbeda-beda sangat mempengaruhi fitohormon

    IAA walaupun dengan konsentrasi trriptofan 2 g/liter. Interaksi anatara B2 dan M3 dapat

    menghasilkan konsentrasi fitohormon IAA yang tinggi di bandingkan dengan dengan M1,

    M2 dan M4. Hal ini menunjukkan isolat bakteri dengan kode B3 dalam menghasilkan

    fitohormon IAA sangat di pengaruhi oleh sumber nitrogen dan NaCl yang berfungsi menjaga

    kekuatan ion yang terkandung dalam medium M3, medium M4 juga mengandumng sumber

    nitrogen tetapi lebih rendah dibanding dengan medium M3

    Penelitian tahun pertama, isolat bakteri dengan kode KNGRT1 dapat menghasilkan

    fitohormon IAA dengan konsentrasi 10,998 ppm, sedangkan pada penelitian ini isolat bakteri

    dengan kode KNGRT1 (B1) dapat menghasilkan fitohormon IAA dengan konsentrasi 12,333

    ppm, 4,480 ppm (konsentrasi kecil karena pada uji HPLC kurang sempurna) dan 12,554 ppm.

    Konsentrasi fitohormon IAA pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan pada penelitian

    sebelumya, karena penelitaian ini menggunakan medium Minimal Salt (M4) yang ada

    kandungan sumber nitrogen sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan medium

    Minimal Medium yang tidak mengandung sumber nitrogen.

    Isolat bakteri dengan kode ME1A3 (B2) dengan M2 dapat menghasilkan fitohormon

    IAA dengan konsentrasi tetinggi 5,616 ppm. Konsentrasi tersebut lebih kecil dibandingkan

    dengan penelitian yang dilakukan di tahun pertama, isolat bakteri dengan kode ME1A3

    dengan Minimal Medium (M1) dapat menghasilkan fitohormon IAA dengan konsentrasi

    7,638 ppm. Penelitian ini dengan isolat bakteri dan medium kultur yang sama juga

    menghasilkan konsentrasi fitohormon IAA lebih kecil di bandingkan dengan penelitian yang

    dilakukan di tahun pertama, karena penelitian ini menggunakan waktu inkubasi 48 jam

    sedangkan penelitian sebelumnya dengan waktu 120 jam

    Isolat bakteri dengan kode JGEA7 (B3) dengan medium kultur M3 dapat

    menghasilkan fitohormon IAA tertinggi dengan konsentrasi rata-rata 2,527 ppm. Konsentrasi

    tersebut lebih kecil di banding isolat bakteti B1 dan B2, karena isolat bakteri B3 selain dapat

    menghasilkan fitohormon IAA dapat juga menghasilkan fitohormon sitokinin.

    Penelitian yang dilakukan oleh Wirastuti (2004), yang memproduksi fitohormon IAA

    dengan konsentrasi 2,79 g/ml (ppm) yang lebih kecil dibandingkan dengan hasil

    konsentrasi fitohormon IAA dengan isolat bakteri B1 dan B2, tetapi lebih tinggi jika dan

    dibandingkan dengan isolat bakteri B3. Hal ini terjadi karena peneltian yang dilakukan oleh

  • Wirastuti (2004) menggunakan medium Nutrient Broth yang banyak mengandung sumber

    nitrogen tanpa adanya sumber karbon dan sumber mineral.

    Komposisi triptofan yang digunakan sebanyak 2 g/liter berdasarkan hasil penelitian

    yang dilakukan oleh Ahmad et al (2004) yang memproduksi fitohormon IAA yang terbaik

    dilakukan dengan triptofan 2 g/liter dengan konsentrasi 24,80 g/ml. Komposisi M2 dengan

    penambahan triptofan 2 g /liter lebih baik dalam menghasilkan fitohormon IAA di

    bandingkan dengan komposisi M1 dengan penambahan triptofan 1 g/liter. Interaksi antara

    bakteri B1 dan medium M2 dalam menghasilkan fitohormon IAA yaitu 7,694 ppm lebih

    tinggi dari interaksi antara bakteri B1 dan medium M1 yaitu 3,680 ppm. Interaksi antara

    bakteri B2 dan medium M2 dalam menghasilkan fitohormon IAA yaitu 5,616 ppm lebih

    tinggi dari interaksi antara bakteri B2 dan medium M1 yaitu 4,875 ppm. Interaksi antara

    bakteri B3 dan medium M2 dalam menghasilkan fitohormon IAA yaitu 2,287 ppm lebih

    tinggi dari interaksi antara bakteri B3 dan medium M1 yaitu 1,766 ppm.

    Hasil analisis ragam pengaruh isolat bakteri dan komposisi medium serta interaksi

    terhadap konsentrasi fitohormon IAA dapat dilihat pada Lampiran 45. Perlakuan isolat

    bakteri berpengaruh sangat nyata terhadap konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan

    (P

  • Perlakuan komposisi medium kultur yang dicoba memberikan pengaruh sangat nyata

    terhadap nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA. Hal ini menunjukkan bahwa ke empat

    medium kultur yang dicoba mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam

    memproduksi fitohormon IAA. Menggunakan Duncans multiple range test dapat dilihat

    bahwa komposisi medium menghasilkan nilai rata-rata tertinggi pada komposisi medium M2

    yaitu 5,199 ppm (Tabel 6). Hasil tersebut berbeda sangat nyata dengan nilai rata-rata

    konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan oleh komposisi medium M1 (3,440 ppm), M3

    (4,449 ppm) dan M4 (3,902 ppm). Komposisi medium M2 mengandung K2HPO4 dan

    MgSO4.7H2O yang berfungsi sumber fosfor dan magnesium, selain itu juga berfungsi sebagai

    buffer fosfat untuk menjaga ion H+ pada kultur cair tidak berubah yang tidak dimiliki oleh

    medium M3, dengan sumber karbon yang rendah dan tidak mengandung sumber nitrogen

    seperti pada medium M3 dan M4. Medium M2 mengandung triptofan sebagai prekursor dan

    juga mengandung sodium sitrat yang berfungsi sebagai koenzim Triptophan-mono-oxygenase

    dan Indole-3-asetalamid hydrolase.

    Perlakuan isolat bakteri dengan komposisi medium kultur yang dicoba memberikan

    pengaruh sangat nyata terhadap nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA Konsentrasi

    fitohormon IAA. Hal ini menunjukkan bahwa antara isolat bakteri dan komposisi medium

    kultur terjadi interaksi dalam menghasilkan dan memproduksi fitohormon IAA. Interaksi

    perlakuan antara isolat bakteri dan komposisi medium kultur menghasilkan nilai rata-rata

    tertinggi pada B1M4 yaitu 9,789 ppm. Hal tersebut berbeda nyata dengan nilai rata-rata

    konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan oleh interaksi perlakuan antara isolat bakteri dan

    komposisi medium B1M3 (9,019 ppm), B1M2 ( 7,694 ppm), B2M4 (5,616 ppm), B2M1

    (4,875 ppm), B1M1 (3,680 ppm), B2M3 (3,484 ppm), B3M3 (2,527 ppm), B3M2 (2,287

    ppm), B3M1 (1,767 ppm), B3M4 (1,179 ppm), dan B2M4 (0,737 ppm).

    Interaksi perlakuan antara isolat bakteri B1 dan medium M4 dapat menghasilkan nilai

    rata-rata konsentrasi fitohormon IAA tertinggi, karena medium M4 mengandung KH2PO4 dan

    MgSO.7H2O berfungsi sebagai sumber fosfor dan magnesium selain itu juga berperan

    sebagai buffer fosfat yang berfungsi untuk menjaga agar ion H+ pada kultur cair tidak

    berubah. Yeast ekstrak yang berfungsi sebagai protein, triptofan sebagai prekursor dan juga

    komponen sodium sitrat yang berfungsi sebagai koenzim Tryptophan-mono-oxygenase dan

    Indole-3-asetalamid hydrolase yang di hasilkan bakteri penghasil auksin. Selain itu pada

    medium M4 juga terdapat Na2HPO4 yang berbeda dengan medium lain yaitu berfungsi

    sebagai pengatur pH.

  • V. KESIMPULAN DAN SARAN

    A.Kesimpulan

    1. Jenis isolat bakteri (B1, B2, B3) dan komposisi medium kultur (M1, M2, M3, M4)

    berpengaruh sangat nyata terhadap konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan.

    2. Isolat bakteri B1 dan komposisi medium kultur M2 menghasilkan nilai rata-rata

    konsentrasi fitohormon IAA yang paling tinggi. Kombinasi antara jenis isolat bakteri

    dan komposisi medium kultur yang baik untuk produksi fitohormon IAA adalah B1

    dengan M4 yang menghasilkan konsentrasi sebesar 9,789 ppm.

    3. Beberapa komposisi medium dapat digunakan sebagai medium kultur produksi

    fitohormon IAA. Penambahan triptofan sebanyak 2 g/liter dapat menghasilkan

    fitohormon IAA yang lebih tinggi dibanding dengan penambahan triptofan 1 g/liter.

    B.Saran

    Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk

    penelitian selanjutnya, yaitu dilakukan produksi fitohormon IAA dalam skala besar

    menggunakan isolat bakteri B1 dan menggunakan medium M4.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Abidin, Z. 1982. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Penerbit Angkasa.

    Bandung.

    Ahmad F, I. Ahmad and M. S. Khan. 2004. Indole Ecetic Acid Produktion by the

    Indigenous Isolates of Azotobacter and Pseudomonas in the Presence and Absence of

    triptofan. Departement of Agricultural Microbiology, Faculty of Agricultural

    Sciences, Aligarh Muslim University, Aligarh.

    Arkhipchenko, I. A., A. I Shaposhnikou, L. V and Kravchen,. 2006. Triptophan Concertation

    of Animal Waste and Organic Fertilizer. Http://www.science.direct.com (2 Agustus

    2009)

    Aslamsyah, S. 2002. Peranan Hormon Tumbuh dalam Memacu Pertumbuhan Alga.

    Http://tumoutou.net/702_05123/Siti Aslamsyah.htm (15 Juli 2009).

    Barbieri, P. and E. Galli. 1993. Effect on Wheat Root Development of Inoculation with an

    Azospirillum brasilense Mutant with Altered Indole-3-Acetic Acid Production. Res.

    Microbiol. 144:69-75.

    Barbieri, P., T. Zanelli, E. Galli, and G. Zanetti. 1986. Inoculation with Azospirillum

    brasilense Sp6 and some Mutants Altered in Nitrogen Fixation and indole-3-acetic

    acid Production. FEMS Microbiol. Lett. 36:87-90.

    Cappuyuns A., I. Smets, K Bernaerts, O. Ona, J Somers, E. Prinsen and J. Van Impe. 2004.

    Forward a Model for Indole-3-Acetic Acid (IAA) Production by Azospirilium

    brasilense Sp245. Croylaan 46, B-3001 Leuven.

    Clark Jim. 2007. Thin Layer Chromatografi, Whasington D.C

    Connor, P.R. 1982. Chemistry, Experiment and Principle, 4th

    .ed. Healt and Company,

    London

    Cook T. J., D. B. Poli, A.E. Sztein and Jerry D. Cohen. 2002. Evolutionary Patterns in Auxin

    Action. Department of Cell Biology and Molecular Genetics, University of Maryland,

    College Park

    .

    Dascaliuc. 2002. Hormones and Synthetic Plant Growth Regulators in Agriculture. Institute

    of Genetic and Plant Psysiology, Academy of Sciences of Maldova, 20 Padurri str.,

    Chisinau, Maldova.

    Day R.A dan A.L Underwood. 1986. Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi VII. Erlangga, Jakarta.

    Dobbelaere, S., A. Croonenborghs, A. Thys, A.Vande Broek, and J. Vanderleyden. 1999.

    Phytostimulatory effect of Azospirillum brasilense wild type and Mutant Strains

    Altered in IAA Production on Wheat. Plant Soil 212:155-164.

  • Gardner dan Franklin, P. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia Press,

    Jakarta.

    Hallmann, J. 2001. Plant Interaction With Endophytic Bacteria. Biotic Interactions in Plant-

    Phatogen Association., 87-119.

    Harjadi S. S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh. Penebar Swadaya, Jakarta.

    Hartman, H.T and D.E. Ketser. 1975. Plan Propagation. Prentince Hall International, London.

    Hindersah, R, M. R. Setiawati dan B.N. Fitriatin, 2003. Inokulasi Azotobacter sp Melalui

    Filosofir dan Rizosfer pada Pembibitan Selada (Laciuca sativa L). Loporan

    Penelitian. Lrembaga Penelitian Universilas Padjadjaran, Bandung.

    Husen Edi. 2003. Screening of Soil Bacteria for Plant Growth Promotion Activities Invitro.

    Indonesian Soil Research Institute, Bogor.

    Jinichiro K, T. Adachi and H. Hidaka. 1990 IAA Biosynthetic Pathway from Tryptophan via

    Indole-3-pyruvic Acid in Enterobacter cloacae. Bio Science Laboratories, Meiji Seika

    Kaisha, Ltd., Chiyoda.

    Nyoman I. P., A.D.P. Lestari dan Dwi P. 2004. Mikroba Penghasil Fitohormon. Departemen

    Biologi. ITB, Bandung.

    Razie, F dan I. Anas. 2005. Potensi Azotobacter spp. (dari Lahan Pasang Surut Kalimantan

    Selatan) dalam Menghasilkan Indole Acetic Acid (IAA). Jurnal Tanah dan

    Lingkungan. 7:35-39.

    Sridevi M. and K. V. Mallaiah. 2007. Production of Indole-3-Acetic Acid by Rhizobium

    isolates from Sesbania species. Department of Microbiology, Acharya Nagarjuna

    University, Nagarjuna Nagar-522 510, Andhra Pradesh.

    Somers, E. D. Ptacek, P. Gysegom, M. Srinivasan, and J. Vanderleyden. 2004. Azospirillum

    brasilense Produces the Auxin-Like Phenylacetic Acid by Using the Key Enzyme for

    Indole-3-Acetic Acid BiosynthesCentre of Microbial and Plant Genetics, Katholieke

    Universiteit Leuven, B-3001 Heverlee.

    Teale W. D., A. P. Ivan and P. Klaus. 2006. Auxin in Action : Signaling, Transport and the

    Control of Plan Growth and Development. Institut fur Biologie II/ Botanik,

    Schanzlestrase, 79104 Freiburg.

    Tien T. M., M. H. Gaskin and D. H. Hubbel. 1979. Plant Growth Substances Produced by

    Azospirillum brasilense and Their Effect on the Growth of Pearl Millet (Pennisetum

    americanum L.). U.S. Department of Agriculture Institute of Food and Agricultural

    Sciences, Gainesville.

    Tjitrosomo, S.S. 1985. Botani Umum 2. Angkasa, Bandung.

    Torrie James H. Steel dan G.D. Roberth. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia

    Pustaka Utama, Jakarta.

  • Uyanto, S. S. 2009. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Graha Ilmu, Yogyakarta

    Waluyo Lud. 2008. Teknik Metode Dasar Mikrobiologi. UMM Press, Malang.

    Wedhastri, S. 2002. Isolasi dan seleksi Azotobacter spp. Penghasil Faktor Tumbuh dan

    Penambat Nitrogen dari Tanah Masam. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 3:45-51.

    Wilson, D. 1995. Endophyte the Evolution of a Term, and Clarification of its use and Definition. Oikos 73, 274-276.

    Wirastuti, B. E. 2004. Produksi Hormon Tumbuh IAA oleh Isolat Bakteri Rizosfer pada

    Beberapa Variasi Waktu Inkubasi. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, ITB,

    Bandung.