B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan,...
Transcript of B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan,...
B
ISSN 1693-6388 Edisi V, Maret 2010
ergelayutan di pepohonan nan tinggi, owa jawa,
Hylobates moloch, menjadi penjelajah tajuk-tajuk
hutan yang tersisa di Pulau Jawa. Primata bertungkai
Jutaan manusia di Pulau Jawa telah mendesak owa jawa
ke kawasan hutan yang tersisa dan terpenggal-penggal.
Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan,
Vol IX, No.5 Maret 2010
lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan
beberapa keping belantara di Jawa sisi barat dan bagian
tengah Jawa. Owa jawa yang berdiam di Jawa Barat berwarna
lebih gelap dibandingkan kerabatnya yang berada di Jawa
bagian tengah.
Primata tak berekor ini berwatak arboreal: sebagian besar
hidup di atas pohon dan jarang turun ke tanah. Owa jawa
menyusuri hutan dengan bergerak dari satu pohon ke
pohon. Dengan demikian, kelangsungan hidup satwa ini
mensyaratkan hutan yang lebat dan rimbun.
P. Jawa
Sebaran owa jawa
Dihimpun dari segala sumber
pepohonan juga menyediakan sumber pakan owa
jawa. Andaikan pakan melimpah, namun tajuk pohon
terputus-putus, satwa ini hanya akan sekarat di lumbung
pakannya.
Masa depan yang suram tercermin dari masuknya owa
jawa dalam barisan satwa kritis (Critically endangered)
dalam Daftar Merah IUCN dan Apendiks I CITES:
dilarang untuk didagangkan. Meski jumlah populasi tak
pasti, diperkirakan jumlah owa jawa di alam tak lebih
dari kisaran 4.000 - 4500 ekor.
M
SUSUNAN REDAKSI PENANGGUNG JAWAB
Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA
PEMIMPIN REDAKSI Agus Haryanta
(Kepala Sub Direktorat Informasi Konservasi Alam)
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Pam E. Minnigh
(Direktur Eksekutif Pusat Informasi Lingkungan Indonesia - Green Network)
REDAKTUR PELAKSANA Kepala Seksi Analisis Data dan Publikasi
Putri Indonesia 2009 Qory Sandioriva (ketiga dari kiri) didampingi Zukhriatul Hafizah, Putri
Indonesia Lingkungan 2009 (terkiri) Isti Ayu Pratiwi, Putri Indonesia Pariwisata 2009 (kedua dari
kiri) mengunjungi Pusat Penyelamatan Satwa - Animal Sanctuary Trust Indonesia Gadog, Bogor.
Andhika Vega Praputra Kepala Seksi Pengembangan Sistem Informasi
EDITOR Kasubdit Ditjen PHKA
Agus Prijono (PILI-Green Network)
endung bulan Maret yang
menggelayut di langit
satwa belang berkumis itu. Qory
menambahkan, tak sedikit orang rela
Prancis di Universitas Indonesia.
Dengan begitu, mamalia pemakan
Bisro Sya’bani (Pusat Informasi Konservasi Alam)
KONTRIBUTOR Gadog, Bogor, seakan mengeluarkan uang banyak untuk daging itu akan menjalankan Seluruh staff lingkup Ditjen PHKA pusat dan daerah
ikut merasakan kegelisahan Puteri
Indonesia 2009 Qory Sandioriva.
Qory, sapaan akrabnya, resah
melihat kenyataan nasib harimau
sumatera, Panthera tigris sumatrae,
yang sedang di tubir kepunahan.
Sejak Departemen Kehutanan
menobatkannya sebagai Duta
Harimau pada Januari silam,
kesibukan Qory kini akrab dengan
pelestarian satwa pemangsa itu.
Dara asal Aceh ini berkesempatan
menyambangi empat ekor ha-
rimau sumatera yang sedang
menghuni kandang transit di Pusat
Penyelamatan Satwa - Animal
Sanctuary Trust Indonesia Gadog
(PPS - ASTI Gadog). “Kucing besar
ini terancam oleh banyak hal. Salah
satunya, makin menyempitnya
kawasan hutan yang menjadi tempat
hidupnya,” tutur Qory.
Demikian pula, maraknya per-
dagangan ilegal juga mengancam
memelihara harimau su-matera. “Tak
hanya dalam keadaan hidup, bahkan,
bagian tubuh ha-rimau hasil awetan
pun banyak diburu para kolektor.”
Peraturan pemerintah memang
melarang perburuan, perdagangan,
serta kepemilikan satwa ilegal
untuk menjaga keberadaan satwa
kharismatis ini. “Namun, hukum
masih perlu ditegakkan, agar
menimbulkan efek jera,” ujar gadis
belia 18 tahun ini.
Selain itu, sisi ekonomi dari
perdagangan ilegal satwa juga
perlu dipertimbangkan. Qory
menghimbau masyarakat untuk
menghindari perdagangan ilegal.
“Kalau tidak ikut membeli, khan,
pasti lama-lama tak ada yang
menjual,” tambahnya.
“Seharusnya harimau sumatera bisa
hidup tenang di alam,” ujar gadis
yang masih menempuh studi Sastra
perannya sebagai pemangsa pun-cak
pada rantai makanan untuk menjaga
keseimbangan ekosistem.
“Terkadang kita salah kaprah,
menyayangi dengan cara meme-
liharanya di kandang,” papar
Qory, “dan, memberi makanan
yang menurut kita baik.” Harimau
sumatera seharusnya hidup se-
suai dengan kebiasaannya di alam.
“Jika kita memeliharanya di rumah,
akan membuat harimau sumatera
menderita secara fisik dan psikologis,”
ujar Qory.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai
Duta Harimau, Qory lebih menyasar
kalangan muda. Dirinya akan
menggunakan pendekatan ajakan,
dan memberi teladan bagi generasi
penerus. Menurut Qory, pendekatan
itu lebih baik dibandingkan cara
penegakan hukum. “Pendidikan
konservasi berbasis character building
juga baik.” ***AVP
Mitra kerja Ditjen PHKA
PILI Green-Network
DESAIN Rifky (PILI-Green Network)
JURNALIS FOTO Pusat Informasi Konservasi Alam
Pusat Informasi lingkungan Indonesia
FOTO COVER DEPAN: Karya: Agus Sartono, Erwin Sugandhi, Bisro Sya’bani, Padmaseputra
Purba dan Rifky
Alamat Redaksi Gedung Pusat Informasi Konservasi Alam
Jl. Raya Pajajaran No. 79
Bogor
Tlp.: +62 251 8357959
Fax: +62 251 8357960
Email: [email protected]
Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan bekerja
sama dengan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI-Green Network)
dengan tujuan untuk media komunikasi dan penyebarluasan berbagai
informasi diantara para pengelola kawasan konservasi, praktisi, peneliti,
pemerhati dan berbagai pihak yang terkait dalam upaya konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya Agus Sartono
U
Bukan soal Album Lama
sia tigapuluh tahun memang belumlah terlalu
tua jika dibandingkan dengan kelahiran
pertama taman nasional di muka Bumi
dan pelestarian inilah yang melecut Indonesia
mengikuti angin global tiga dekade lalu.
pada 1887; dan baru pada dekade 1960-an demam
pembentukan taman nasional berhembus di
seluruh dunia.
Namun, jika dikaitkan dengan kemajuan
zaman yang terus bergeser, perjalanan tiga
dasawarsa telah cukup meninggalkan
banyak jejak untuk merefleksikan
kembali keberadaan taman nasional.
Bagi Indra Arinal, kepala Balai
Taman Nasional Baluran, gerak
lima taman nasional pertama
itu tak sebanding dengan
usianya. “Secara keseluruhan
perkembangan yang ada
tak semaju sesuai usianya,”
terang Indra.
Dari lima menjadi 50 taman
nasional selama tiga dekade
adalah kenaikan yang lumayan.
Itung-itungan kasarnya, setiap
setahun berdiri 3 taman nasional.
Di balik tirai statistik itu, terbeber
kisah pergulatan riuh di setiap
taman nasional.
Mengurai kembali jejak lima taman pertama bukanlah
seperti membuka album lama. Ini seperti mendedah
kembali niat bangsa ini dalam menyisihkan kekayaan
alamnya bagi generasi mendatang.
Nyaris semua taman nasional pertama di Indonesia
itu menampilkan gambaran besar tarik ulur antara
desakan kepentingan dari luar dengan niat luhur
pelestarian di jantung taman nasional.
Dikelola dengan pembagian mintakat, aspek
pemanfaatan di taman nasional bukanlah barang
haram. Hanya saja pemanfaatan sepenggal areal
taman nasional tak bisa sembarangan dan tetap harus
mengindahkan pelestarian. Perkawinan pemanfaatan
Prinsip yang telah terang benderang ini rupanya
tak sepenuhnya bisa dikuyah oleh beragam
kepentingan yang mengepung taman nasional.
Zaman terus beringsut dan prinsip itu memudar.
Sementara itu, dari dalam kawasan, yang
memangku beragam kekayaan hayati,
pengelolaan taman nasional pertama itu
juga tak setentram kedamaian alamnya.
Taman nasional selama ini ternyata
justru menampilkan penggalan-
penggalan ‘mazhab’ pengelolaan.
Dalam bahasa Indra,
pengelolaan taman nasional
lebih banyak pesanan
ketimbang dirancang sesuai
tujuan. Lantaran itu, arah
pengelolaan lebih banyak
dipengaruhi pengalaman
dan improvisasi kepala taman
nasional.
Tak mengherankan hampir
tidak ada pengelolaan yang
mencerminkan tujuan asli taman
nasional di Indonesia. Watak sosial,
budaya dan alam Indonesia yang berbeda dari
negeri taman nasional berasal, yakni Amerika Serikat,
belumlah mewarnai pengelolaan.
Benar kata Hariyanto C Putra dari Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor, yang menyatakan, ”Sekarang
ini baru tahap prakondisi.” Jika hal itu yang terjadi,
taman nasional tak bisa lagi menjadi ajang kontes
’mazhab’ tata kelolaan.
Sekedar mengingatkan, belum lama berlalu ada gagasan
bernas ihwal taman nasional model, yang kemudian
hendak meraih kemandirian taman. Sayangnya, ide itu
kini tak jelas capiannya. Taman nasional model, dan
kemandirian, hanya berkelebat sejenak, lantas, hilang
ditelan bumi. ***
1
M
Surat dari Redaksi
ajalah yang sekarang berada
di genggaman para pembaca
Suprayitno Sakera
adalah edisi pertama Maret 2010. Laporan Utama Momentum tiga dekade taman nasional
pertama, yang diresmikan pada 6 Maret
1980, mendorong kami untuk menyajikan
liputan lima taman pertama. Selama
peliputan, kami menjumpai banyak
narasumber di Leuser, Ujungkulon, Gede
Pangrango, Baluran dan Komodo. Di sela-
sela kunjungan itu, kami juga mencoba
‘berpromosi’ keberadaan Majalah
Konservasi Alam ini. Harapan terbesar
kami, tak lain dan tak bukan, adalah
partisipasi para staf taman nasional
manapun untuk memperkaya materi
yang kami kelola. Kami meyakini, mereka
yang berada di garis depan pelestarian
sebenarnya banyak memendam
kekayaan pengetahuan dan pelajaran.
Majalah ini bisa menjadi wahana untuk
mengalirkan arus pengetahuan ke
khalayak yang lebih luas.
Selamat membaca.
Sumbangan Artikel
Redaksi Konservasi Alam menerima
sumbangan artikel dari para pembaca, baik
akademisi, peneliti, praktisi, pegiat lembaga
swadaya masyarakat (LSM) maupun staf
Departemen Kehutanan, yang berkaitan
dengan perlindungan hutan dan konservasi
alam.
Artikel ditulis dengan aksara Times New Roman
berukuran 12 sepanjang 2000 sampai 3000
kata. Berikut ini tata laksana penulisan artikel:
- Artikel yang bersifat ilmiah ditulis maksimal
3000 kata, sudah termasuk daftar pustaka.
Dalam keadaan tertentu, terutama untuk
menghemat jumlah halaman, daftar
pustaka akan disimpan di meja redaksi,
- Artikel populer maksimal 1500 kata,
termasuk daftar pustaka,
- Setiap artikel dilengkapi nama dan
identitas, jika tak keberatan juga nomer
telepon. Artikel juga bisa dilampiri foto-
foto yang berhubungan dengan isi tulisan,
- Artikel digital bisa dikirim ke:
Redaksi berhak menyunting tulisan yang
akan dimuat tanpa merubah isi yang hendak
disampaikan.
Tiga Dekade Silam
Tigapuluh tahun yang lalu, bumi Nusantara menyaksikan lahirnya lima
taman nasional pertama di Indonesia.
Cerlang Redup Etalase Alam
Gerbang wisata bagi khalayak ramai terbuka di taman nasional. Menjejak usia
tiga dasawarsa, sebagian gerbang kokoh berdiri, yang lain rapuh.
Lima Kisah dalam Tiga Dekade
Tigapuluh tahun bisa jadi waktu yang tepat untuk mendedah ulang satu
perjalanan, satu riwayat, untuk menatap masa depan.
Satu Hati untuk Leuser
“Kerja di bidang konservasi adalah pengabdian, harus pakai hati.”
Pengelolaan Tanpa Langgam
“Takut salah, ini salah. Kadang malah tidak berbuat apa-apa, biar tidak
salah.”
Merah-Hitam Para Perintis
Lima bentang alam, Leuser, Ujung Kulon, Gede Pangrango, Baluran dan
Ujung Kulon, bisa dipandang sebagai perintis sebuah kawasan untuk
kebanggaan bangsa yang menghampar di Khatulistiwa.
Sudut Pandang
Penunjukan Kawasan Hutan, Implikasinya Bagi Hutan Konservasi
Silang pendapat dari penunjukan baru kawasan hutan memunculkan
antinomi hukum.
Flora dan Fauna
Pisang-Pisang Liar Gunung Salak
Kekayaan flora yang masih jarang dilirik. Gunung Salak rumah terakhir
pisang asli Indonesia, Musa salaccensis Zoll.
Riset
Pemulihan Banteng di Baluran
Populasi banteng terus menyusut. Ikhtiar pelestariannya diarahkan pada
pengelolaan habitat.
Resensi Buku
Menyatukan Dua Kebhinekaan
Khazanah budaya Nusantara belum menginspirasi konservasi alam
zaman modern.
T
igapuluh tahun yang lalu, bumi Nusantara
menyaksikan lahirnya lima taman nasional
pertama di Indonesia. Inilah lima taman yang
Berdirinya taman nasional menjadi tanda semakin
tebalnya tekad negeri ini untuk mengayomi lumbung
alam yang berisi jutaan taru dan tumbuhan unik. Dengan
dideklarasikan pada 6 Maret 1980: Leuser membentang
di belantara tropis Bukit Barisan Sumatera; Ujung
Kulon dan Baluran mengapit Pulau Jawa di sisi barat
dan timur, diselingi Gede Pangrango; dan, Komodo
berdiri tegak di ujung tertimur Tanah Air.
Lima taman sulung itu laksana mercusuar yang
menyinari tanah-tanah Nusantara yang lain untuk
mengikuti jejak rintisan itu; lantas, 11 taman nasional
baru menyusul lahir pada 1982. Dan, kini telah berbiak
menjadi 50 taman nasional.
demikian, keberadaan taman untuk kepentingan dan
kebanggaan nasional itu menuntut secuil ruang batin
bangsa ini untuk tetap menyimpan komitmennya bagi
pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan kawasan
konservasi.
Usai menjejaki bentang waktu 30 tahun, adakah
komitmen itu lapuk dan kian uzur seiring kelebat
zaman? Sebelum menengok satu per satu taman-taman
pertama di Indonesia, berikut ini disajikan sejarah yang
terentang sebelum lahirnya lima taman sulung itu.
Erwin Sugandhi
3
Agus Sartono
Alam yang teduh dan sejuk tersimpan di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, menyokong salah satu satwa paling kritis di dunia: badak jawa, Rhinoceros sondaicus.
MESKI TAMAN NASIONAL pertama di dunia telah berdiri
sejak 1887, perkembangan di tingkat global baru
dimulai pada 1962. Benih taman nasional tersemai
lewat Kongres Taman Nasional Sedunia Pertama 1962,
di San Diego, Amerika Serikat, yang lantas disusul
Kongres Kedua di Taman Nasional Yellowstone, juga di
Amerika Serikat, tahun 1972.
International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources atau IUCN membidani kedua
Kongres itu. Indonesia baru mengikuti Kongres yang
kedua, dengan mengirim Otto Soemarwoto, Walman
Sinaga dan Rudi Tarumingkeng.
Effendy A. Sumardja mengisahkan kembali sepenggal
cerita itu di Kantor Pusat Informasi Konservasi Alam
(PIKA), Bogor. Ditemani camilan kecil nan renyah
dan kopi hangat, Effendy menuturkan kembali proses
terbentuknya taman nasional di Indonesia. Merunut
kembali riwayat taman nasional, seperti memutar
ulang kehidupan Effendy.
SUATU WAKTU PADA 1976, Effendy yang sedang studi di
Universitas Michigan, AS, kedatangan tamu Herman
Haeruman yang melalang buana untuk menjajaki
terbentuknya kementerian negara lingkungan hidup di
Indonesia—Dua tahun berselang, Kementerian Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(MN-PPLH) didirikan, Emil Salim menjabat menteri
4
dan salah satu asisten menteri dipegang Herman
Haeruman.
“Pak Herman mencari pengalaman dari negara-negara
lain,” kenang Effendy.
“Pak Herman berpesan: ‘Effendy, kalau bisa kamu belajar
di sini untuk membuat taman nasional di Indonesia.
Nanti ketika you pulang, saya akan kasih dana untuk
perencanaan dan harus jadi,’” ujar Effendy menuturkan
kembali pesan Herman yang saat itu bekerja di Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Pesan itu melecutnya mendalami hal-ihwal
taman nasional. Effendy memaparkan, kebetulan
pembimbingnya waktu itu adalah Sekretaris Jenderal
IUCN, Doktor Kenton R. Miller. Ketika rampung kuliah
tahun 1977, Effendy pulang ke Tanah Air dan bekerja
di WWF. “Menariknya, ketika IUCN mengadakan
suatu pertemuan, saya pasti diundang.”
Salah satunya, pada 1979 Effendy diundang pada
pertemuan Commission on National Parks and
Protected Areas (CNPPA, komisi taman nasional
dan kawasan lindung IUCN) di Australia. “Dalam
pertemuan itu, Komisi ini bingung,” papar Effendy,
“karena tidak ada respon ketika ada tawaran untuk
menjadi penyelenggara Kongres Taman Nasional
Sedunia yang ketiga.”
Satu-satunya negara yang me-
nawarkan diri sebagai tuan rumah
adalah Filipina, yang pada saat
itu di bawah kepemimpinan
Ferdinand Marcos. Sayangnya,
”Filipina sedang gonjang-ganjing,”
ujar Effendy. “Akhirnya, Kenton R.
Miller menawari saya, ‘Bisa nggak
Indonesia jadi tuan rumah?’”
Effendy lantas menanyakan
kesediaan menjadi tuan rumah
kepada Direktur Perlindungan dan
Pengawetan Alam (PPA) Lukito
Daryadi, dan diteruskan kepada
Direktur Jenderal Kehutanan saat
itu, Soedjarwo.
“Pak Djarwo setuju, mengingat
peserta kongres direncanakan hanya
400-500 orang,” papar Effendy. Hal
ini mengingat Indonesia pernah
menggelar World Forestry Conggres
ke-8, yang pesertanya mencapai
2000-an orang pada 1978.
Singkat cerita, Indonesia mengada-
kan persiapan untuk Kongres
Taman Nasional ke-3 yang
diselenggarakan di Bali, 11 - 22
Oktober 1982. “Inilah Kongres
Taman Nasional Sedunia yang
pertama kali diselenggarakan di
negara sedang berkembang,” papar
Effendy. Dua kongres sebelumnya
diselenggarakan di Amerika, yang
konsepnya sama sekali berbeda
dengan keadaan di Indonesia.
“Dalam Kongres di Bali, pada
Effendy A. Sumardja
intinya lebih menekankan pada
masyarakat,” kata Effendy.
Wakil Presiden Adam Malik
waktu itu membuka Kongres
yang dihadiri oleh para pengelola,
perencana taman nasional,
serta para pakar dari 68 negara.
“Kesiapan Indonesia menjadi tuan
rumah Kongres ini, menunjukkan
komitmen pemerintah terhadap
lingkungan dan bisa dipandang
sebagai bentuk tanggung jawab
dalam melestarikan kekayaan alam
Indonesia,” ucap Adam Malik saat
acara pembukaan.
“Hampir di setiap sesi, selalu
dipadati peserta,” ujar Agus Sartono,
staf Pusat Informasi Konservasi
Alam (PIKA), salah satu saksi mata
Kongres di Bali itu. “Begitu juga,
antusiasme peserta cukup tinggi
untuk mengunjungi sejumlah
kawasan calon taman nasional.”
Di sela-sela Kongres, tanggal
14 Oktober, Menteri Pertanian
Republik Indonesia Soedarsono
Hadisapoetro memang memanfaat-
kan momentum internasional
itu untuk mendeklarasikan 11
kawasan suaka alam sebagai calon
taman nasional atau kawasan
pelestarian alam.
SEBELAS CALON taman nasional
tersebut menyusul lima kawasan
suaka alam yang terlahir lebih dulu
sebagai taman nasional pada tahun
1980. Pada tanggal 6 Maret 1980,
Menteri Soedarsono Hadisapoetro
menabalkan Gunung Leuser,
Ujung Kulon, Gede Pangrango,
Baluran dan Komodo menjadi
taman nasional. Pada masa awal
kelahirannya, lima taman nasional
sulung itu berada di bawah
pengelolaan Direktorat PPA,
Direktorat Jenderal Kehutanan,
Departemen Pertanian.
Peresmian lima taman nasional
pertama tiga puluh tahun yang
lalu, sekaligus untuk menyambut
peluncuran dokumen Strategi
Konservasi Dunia (World
Conservation Strategy). “Pada
1980 itu, ada inisiatif peluncuran
World Conservation Strategy
yang disusun oleh sekitar 700
pakar dunia,” kenang Effendy, “di
mana peluncuran buku tersebut
berlangsung di 30 negara, salah
satunya Indonesia.”
Tak main-main, peresmian lima
taman nasional itu didukung
empat menteri: Menteri Pertanian
Soedarsono Hadisapoetro; Menteri
Riset dan Teknologi B.J. Habibie;
Menteri Pengawasan Pembangunan
dan Lingkungan Hidup Emil
Salim; dan Menteri Penerangan Ali
Moertopo.
“Deklarasi berlangsung di Departe-
men Penerangan. Saat itu, siapa
Rifky
5
Agus Sartono
Selain badak jawa, Ujung Kulon juga menjadi rumah bagi kawanan banteng, Bos javanicus, di tepi barat Jawa.
yang tak kenal Ali Moertopo,”
imbuh Effendy.
Namun, sebelum peresmian
itu, jauh-jauh hari Departemen
Pertanian telah bekerja keras untuk
menyiapkan kawasan yang akan
menjadi taman nasional. Kurun
waktu antara 1974 - 1978, Food and
Agriculture Organization-United
Nations Development Programme
(FAO-UNDP) Nature Conservation
and Wildlife Management Project,
memberi bantuan untuk mencari
data ihwal konservasi alam dan
pengelolaan satwa liar.
“Antara 1979 - 1982, Indonesia
juga mendapat bantuan dari FAO-
UNDP,” jelas Effendy. Bantuan
terakhir ini masih menyangkut
proyek pengembangan taman
nasional. Selain mendapatkan
proyek dari FAO-UNDP,
pemerintah juga mendukung penuh
pembentukan taman nasional. “Jadi
mulai 1979, Direktorat PPA sibuk
sekali mempersiapkan pembentu-
kan taman nasional di Indonesia,”
tutur Effendy.
Nah, penunjukan lima taman
nasional pertama didasarkan pada
sistem skoring FAO-UNDP tahun
1974-1978. “Intinya, lima taman
nasional itu perwakilan tipe-tipe
6
ekosistem. Dan merupakan satu
wilayah yang memang sudah bagus
pengamanan, ekosistemnya dan
lain-lain,” terang Effendy.
Pada saat itu, Effendy memaparkan,
pemerintah mengeplot dulu kawas-
an taman nasional seluas mungkin,
yang masih bebas dari manusia.
“Setelah itu, baru dibentuk-bentuk
sesuai dengan daerah jelajah satwa
atau tipe ekosistemnya.”
Selanjutnya, dikeluarkan National
Conservation Plan pada 1982
sebanyak 8 volume, yang lengkap
dengan indikator-indikator pe-
nentuan taman nasional. Effendy
melanjutkan, penentuan lima taman
nasional tersebut berdasarkan pada
telaah ilmiah dan kemampuan
pengelolaan, yang pada saat itu,
memang masih lemah.
Sebagai sesuatu yang baru, publik
menyambut baik taman nasional
ini. “Pada umumnya happy.”
Effendy menambahkan, “Waktu itu,
saya mempromosikan bahwa dunia
internasional akan membantu,
kalau kita telah mempunyai taman
nasional….”
Meski di Indonesia telah bertebaran
cagar alam, suaka margasatwa dan
hutan lindung, gagasan mendirikan
taman nasional didorong keingin-
an untuk mengikuti standar in-
ternasional IUCN. “Saat Kongres
Kedua, IUCN telah menekankan
untuk mengikuti kategori in-
ternasional, dan pada saat itu
belum ada soal itu (taman nasional)
dalam undang-undang. Kita masih
berpegang pada Undang-Undang
No. 5/Tahun 1967,” jelas Effendy.
ADANYA TAMAN nasional juga
menyebabkan berkembangnya
direktorat PPA menjadi direktorat
jenderal PHPA, dalam naungan
Departemen Kehutanan. Effendy
juga mengembangkan Bina Cinta
Alam, yang dipandang sangat
penting dalam pengelolaan taman
nasional, terutama terkait dengan
program penyadaran masyarakat.
“Dalam Bina Cinta Alam, harus ada
kader konservasi,” papar Effendy
yang telah membuat konsep Bina
Cinta Alam tahun 1983.
Lepas dari beragam dinamika
taman nasional sepanjang tiga
dekade yang telah berlalu, Effendy
menuai hikmahnya. “Dalam kon-
servasi, apapun juga yang kita
kerjakan, asalkan tekun dan yakin,
pasti akan berhasil. Kita juga harus
bersabar, karena konservasi bersifat
longterm, tidak bisa dilakukan
sesaat.”***
S
ebelum lima taman nasional pertama mewujud di
bumi Nusantara, sejak tahun 1969 telah terentang
beragam langkah demi memuluskan kelahirannya.
Berikut ini, setapak demi setapak jejaknya hingga tahun
1982 saat Kongres Taman Nasional Sedunia Ketiga
berlangsung di Bali.
1969 Menghadiri Konferensi Umum IUCN
ke-10 di India yang membahas pengertian taman nasional.
1972 Menghadiri Kongres Taman Nasional Sedunia Kedua, di
Taman Nasional Yellowstone, AS. Kongres ini, salah satunya,
menyetujui definisi taman nasional.
1974 FAO-UNDP Nature Conservation
and Wildlife Management Project
sampai 1978.
1976 1975 Bappenas mulai merencanakan Mengirim delegasi ke Seminar “National
pendirian taman nasional. Park and Equivalent Reserve” ke-10.
1977 • Bappenas menyetujui pendanaan bagi persiapan 12 calon
taman nasional.
• Management Plan calon taman nasional sampai 1981
disiapkan dengan bantuan WWF.
1979 1980 1982 • Program FAO-UNDP National
Parks Development Project
hingga 1982.
• Menjadi anggota Commission
on National Parks and Protected
Areas (CNPPA-IUCN).
• Persetujuan menjadi tuan rumah Adam Malik membuka
Kongres Taman Nasional ketiga di Bali. Kongres Taman Nasional
• Peresmian lima taman nasional pertama Sedunia Ketiga di Bali dan
di Indonesia. peresmian 11 calon taman
• Penetapan Subdirektorat Taman nasional di Indonesia.
Nasional, Direktorat Perlindungan dan
Pengawetan Alam.
• Usulan Strategi dan Program Konservasi
Sumber Daya Alam.
7
Gerbang wisata bagi khalayak ramai terbuka di
taman nasional. Menjejak usia tiga dasawarsa,
sebagian gerbang kokoh berdiri, yang lain rapuh. Agus Sartono
“MENYUSURI CIGENTER dapat
memberi pertanda keberuntungan.
Ada pengunjung yang dapat
menjumpai berbagai satwa, tetapi
ada juga pengunjung yang sama
sekali tidak menemuinya,” tutur
Mamad salah seorang petugas
Ujung Kulon.
Cigenter, sebatang sungai di Ujung
Kulon, adalah salah satu tempat
yang menawarkan ketakjuban bagi
para pelancong yang berkunjung
ke Taman Nasional ini. Ini hanya-
lah secuil objek alam yang bisa
dinikmati di tanah tepi barat
Jawa itu.
Bisa dibayangkan betapa keindahan
Leuser, Ujung Kulon, Gede
Pangrango, Baluran dan Komodo,
yang berderet dari barat ke timur,
dengan aneka flora dan fauna
tropis. Lima taman nasional yang
terlahir bersama itu tak hanya
menjaga dan melindungi alam,
namun juga memanfaatkannya
untuk menyajikan keagungan alam
Nusantara.
8
Khalayak dunia juga telah
mengakui kekhasan pusaka alam
di taman nasional. Gelar Situs
Warisan Dunia dari UNESCO telah
tersemat di Leuser, Ujung Kulon
dan Komodo. Yang disebut terakhir
ini, bahkan kini sedang berjuang
dalam New 7 Wonders of Nature
(N7WN), kompetisi untuk tujuh
keajaiban dunia.
Taman nasional ibarat etalase
sejarah alam negeri ini. Meski tak
luas dan bebas, etalase itu hanya
mungkin digelar di taman nasional.
Dengan demikian, sejak tiga dekade
lalu dunia wisata Indonesia kian
semarak dengan lahirnya taman
nasional. Hanya saja, meski berbekal
flora, fauna, dan panorama bentang
alamnya, etalase lima taman
nasional pertama itu tak semuanya
terang benderang, sebagaian malah
redup.
MEMBENTENGI SALAH SATU ra-
ngkaian gunung berapi yang
menjalar dari Sumatera, Jawa
hingga Nusa Tenggara, Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango
menampilkan ‘museum alam’
geologi pegunungan.
Lantaran itu pula, sejak lama,
dan hingga kini, Gede Pangrango
dikenang sebagai salah satu
objek penelitian dan pendakian.
Bagi masyarakat seputarnya,
mendaki dan menjelajahi padang
Edelweis menjadi kekhasan Gede
Pangrango.
“Kegiatan pendakian ini sudah ada
sejak lama,” jelas Didin Syarifudin,
salah satu pengendali ekosistem
hutan (PEH) senior Gede
Pangrango.
“Kami biasanya dibantu para
voluntir, untuk menjaga keamanan
para pendaki,” tambah Sofyan,
seorang polisi hutan senior yang
piawai mengenali jenis tumbuhan
di Gede Pangrango.
Namun, aktivitas pendakian itu tak
selamanya membawa berkah bagi
Gede Pangrango. Para pendaki yang
lazim mengaku sebagai pecinta
alam, rupanya tak semuanya benar-
benar menghayati arti menjaga dan
mencintai alam.
Sampah yang tercecer di sepanjang
jalur pendakian, tersebar di puncak
Gede Pangrango dan corat-coret
tangan jahil adalah sejumlah bukti
aktivitas pendakian berdampak
yang tak kecil.
“Kami sering diminta bantuan
oleh Taman Nasional untuk mem-
bersihkan sampah-sampah yang
ditinggalkan para pendaki,“ terang Rifky
Instiana, mantan sukarelawan Gede Ribuan pasang kaki telah menjelajahi salah satu jalur pendakian, dari tiga setapak
Pangrango. yang ada, di kawasan Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat.
Situasi itu mendorong Taman
Nasional ini untuk tetap menjaga
keindahan dan kelestarian Gede
Pangrango melalui SKKB Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango
No. 93/11-tu/1/2009, 10 Agustus
2009.
Memang keadaan saat ini berbeda
dengan beberapa tahun silam.
“Tidak seperti dulu, para pendaki
adalah peneliti sehingga sangat
paham arti kelestarian. Saat ini, para
pendaki banyak yang tidak mampu
menjaga alam,” ujar Sumarto,
kepala Balai Taman Nasional Gede
Pangrango.
Kini, dengan adanya pemanduan
yang bersifat wajib, Sumarto
berharap, tidak hanya akan
semakin menjamin keselamatan
para pendaki, namun juga
mencegah pendaki bertindak tak
ramah terhadap ekosistem Gede
Pangrango.
Hanya saja, SKKB itu juga
membawa dampak. Suara-suara tak
setuju datang dari sejumlah pihak.
Para pedagang di sekitar kawasan
pun ikut merasakan menurunnya
jumlah pengunjung.
“Pendapatan pedagang di sekitar
sini menurun karena adanya SKKB
itu,” tutur Instiana. Itu dampak
negatif; di sisi lain, jumlah sampah
yang tercecer di areal pendakian
jauh menyusut. Hingga awal
2010, areal pendakian sudah bisa
dikatakan bersih dari sampah.
Toh, tak semua pihak menentang
SKKB itu. Sejumlah pihak malah
menganggap hal tersebut wajar,
mengingat nilai kekayaan alam Gede
Pangrango. “Wisatawan asing akan
dengan senang hati membayarnya,”
kata Tangguh Triprajawan, juga
seorang PEH Gede Pangrango.
Kondisi bak bara dalam sekam
itu melecut Taman Nasional,
sebagai pengelola Gede Pangrango,
berembuk dengan sejumlah
kelompok pecinta alam pada 1
April 2010 silam untuk mencari
jalan tengah bersama. Hasilnya,
revisi SKKB.
Selain revisi yang terkait soal wajib
pendampingan bagi pendakian
wisatawan mancanegara, bagi para
pendaki domestik juga dibedakan
antara yang wajib pendampingan
dan yang tidak.
Pendampingan tidak wajib dilakuk-
an, bila: pecinta alam dengan surat
organisasi; pelajar yang disertai
surat lembaga pendidikan; dan,
pecinta alam independen. Tentu
saja, para pendaki juga harus
memenuhi standar dan peraturan
pendakian di Gede Pangrango.
SELAIN KEINDAHAN ALAM,
taman nasional didirikan untuk
melestarikan satwaliar yang ter-
ancam punah. Satwa yang menjadi
spesies bendera (flagship spesies)
juga menjadi magnet untuk me-
narik wisatatan datang.
”Sebagian besar masyarakat di
sini sangat tergantung dengan
mawas (orangutan-red), meskipun
pada musim panen buah selalu
saja terjadi konflik antara pemilik
ladang dengan mawas,” tutur Daulat
Purba, tokoh masyarakat di Bukit
Lawang, Taman Nasional Gunung
Leuser.
Bukit Lawang adalah tempat Pusat
Pengamatan Orangutan Sumatra
(PPOS) yang keberadaannya tidak
bisa dipisahkan dengan masyarakat
sekitarnya. Masyarakat di sekitar
Bukit Lawang selama ini memang
mencoba menjaring rejeki di
kawasan ekowisata itu dengan
menjual jasa, pemandu, penjual
makanan, cinderamata, sampai
penginapan.
Daulat mengisahkan, konflik antara
pemilik lahan dengan orangutan
kala musim panen adalah lumrah.
Masyarakat peladang yang berlahan
9
di sekitar habitat primata besar
itu pun semakin dapat menerima
kenyataan pahit, bila durian yang
mereka gadang-gadang, ludes
dipanen mawas. Bahkan, sejumlah
warga rela menanami hutannya
dengan pohon buah-buahan,
khusus untuk orangutan.
Meski begitu, usai banjir bandang
yang meluluhantakan Bukit
Lawang pada 2003, akitivitas
pelesiran, beserta sendi-sendi yang
mengikatnya, sempat lumpuh.
Namun, saat ini Bukit Lawang
telah menggeliat kembali. Jumlah
pelancong manca negara, misalnya,
pelan-pelan mulai menanjak selepas
tahun 2004—dari 1.051 menjadi
8.544 orang pada 2009.
Seiring naiknya jumlah wisatawan,
mau tidak mau harus pula
diimbangi dengan peningkatan
kualitas pelayanan. Hal ini
membuat Seksi Pengelolaan Tam-
an Nasional (SPTN) Wilayah V
Bohorok merangkul para pihak
di Bukit Lawang melalui sebuah
forum untuk berkoordinasi secara
berkala.
Panorama Bukit Lawang menarik
UNESCO dan Pemerintah Spanyol
untuk turut serta membangun
kembali dunia pariwisata kawasan
ini. Salah satunya, renovasi besar-
besaran pusat informasi yang
ada di Bukit Lawang. Sayangnya,
pusat informasi itu belum
termanfaatkan secara maksimal.
Hanya segelintir wisatawan yang
tertarik memasukinya.
Menurut Kepala Sub-Bagian
Perencanaan dan Kerjasama, Rivan
Diwana, karya fenomenal yang
tercetak indah dalam sejarah Leuser
adalah Tangkahan, sebuah tempat
indah di Kabupaten Langkat yang
berkibar menjadi salah satu ikon
ekowisata di Leuser.
Istimewanya, ”The Hidden
Paradise” itu mewujud dari sebuah
kawasan yang beberapa tahun
silam sebagian besar penduduknya
menjadi penebang liar, yang kini
telah menjelma menjadi para
pekerja konservasi.
Pada perkembangannya, Lembaga
Pariwisata Tangkahan (LPT) sebagai
pelaksana kegiatan ekowisata Tang-
kahan telah memiliki kesepakatan
dengan Balai untuk mengelola
kawasan ekowisata itu.
Di Tangkahan pula, pada 2007
para tokoh dan masyarakat seputar
Leuser menggelar Konferensi
Rakyat Desa Leuser demi untuk
kebaikan Taman Nasional ini.
Pertemuan yang juga dihadiri
Menteri Kehutanan M.S. Kaban
itu, melahirkan rekomendasi
untuk mengurai permasalahan
kawasan Leuser, terutama yang
berada di Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara.
KADAL PURBA KOMODO Varanus
komodoensis, menjadi bukti
gamblang soal daya tarik satwa
liar yang dilindungi. Pada alam
nan kerontang di Taman Nasional
Komodo, ora, sebutan lokal untuk
Banjir yang melanda Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Nanggroe Aceh Darusalam, sempat
menurunkan jumlah pelancong yang berkunjung. Perlahan, dunia wisata kembali bergairah. Bisro Sya’bani
10
ketaknyamanan pejalan yang
berkunjung.
PELAJARAN BERHARGA terkait daya
dukung kawasan bisa dijumpai
di Taman Nasional Baluran, Jawa
Timur. Kini tak mudah untuk
menikmati kawanan banteng jawa,
Bos javanicus, lantaran savana Bekol
yang menjadi tempat berkumpul
satwa bendera Baluran itu tak lagi
memadai.
Sejak awal mula, Baluran dijuluki
Afrika dari Jawa, yang menampilkan
panorama padang rumput dengan
gerombolan banteng jawa, rusa
(Cervus timorensis), dan kerbau liar
(Bubalus bubalis).
“Saat itu, banteng, kerbau liar dan
rusa mudah dijumpai di Bekol,”
Suprayitno Sakera kenang Sukri yang menjadi pemandu
Keberadaa biawak komodo, Varanus komodoensis, melekatkan wisata Baluran pada 1983. Kawanan citra kepurbaan pada Taman Nasional Komodo. kerbau liar sering bergerombol
mengayomi anakan kerbau jika
biawak raksasa itu, bertahan hidup
melewati pergantian zaman.
Tidak mudah menjumpai ora di
alam. Naga komodo itu biasa aktif
terbatas pada jam-jam tertentu:
pagi, 08.00-09.00 dan tengah hari,
11.00-12.00. Ini berbeda di lokasi
pusat pengunjung dan atraksi,
komodo sudah terbiasa menyambut
tamu yang datang.
Selain panorama daratan, perairan
Komodo juga memiliki keindahan
bawah laut yang luar biasa. Tidak
kurang 385 spesies koral dan lebih
1000 spesies ikan mengisi relung-
relung laut yang jernih berbatas
hamparan pasir putih nan lembut.
Hanya saja, sejumlah hal agaknya
masih perlu dibenahi untuk makin
membuat bersinar Taman Nasional
Komodo. Dalam rentang 30 tahun,
dengan bekal alam liar yang tak ada
duanya, Komodo sudah sepatutnya
meraih citranya.
Selama itu pula, diam-diam
tersebar beragam kelemahan.
Mulai dari yang remeh-temeh,
seperti penampilan petugas yang
tak rapi hingga sarana pendukung
tanpa karakter lokal atau pun tidak
adanya perencanaan tapak (site
plan) yang jelas.
Pada awal pengembangannya,
rencana tapak Taman Nasional
ini dibangun secara terencana
mengacu Management Plan 1978-
1982. “Hasilnya, sebuah arsitektur
Komodo yang disusun dengan
adaptasi lingkungan yang tinggi,”
kenang Puji Sumarto Pratjihno,
yang pernah menjabat Kepala Sub-
Balai KPA merangkap pemimpin
Proyek Taman Nasional Komodo
(1981). Sayangnya, hal itu kini
tinggal kenangan.
Dengan kondisi seperti itu,
menelisik daya dukung kawasan
Taman Nasional ini diperlukan
untuk pengaturan pengunjung,
melindungi potensi alamnya dan
pelayanan yang prima. Pengunjung
yang berlebihan akan mengancam
kelestarian objek wisata itu sendiri,
yang akhirnya menimbulkan
wisatawan mendekat. Sebaliknya,
“Banteng jawa bergegas pergi,” papar
Sukri yang kini koordinator polisi
hutan, “satwa ini memang pemalu.”
Kini pamor itu memudar. Rumpun
rumput Bekol tergerus berpinaknya
akasia duri, Acacia nilotica, yang
sengaja ditanam untuk sekat
bakar. Sayangnya, watak penyerbu
tanaman eksotik ini tak dipahami
saat pertama kali ditanam pada
1969.
“Saat itu, pengetahuan tentang
akasia duri memang masih sedikit,”
jelas Mahrudin polisi hutan Baluran.
“Maksudnya memang baik untuk
sekat bakar,” lanjutnya, “tapi belum
tahu dampak invasif akasia.”
Perkara juga bertambah pelik.
Sejak 2002, gersang benar-benar
menghantam savana Bekol yang
melecut menyusutnya populasi
banteng jawa. Baluran dikenal
sebagai Taman Nasional yang kering
kerontang. Hujan hanya membasahi
Baluran selama tiga bulan dalam
setahun.
11
Saat Presiden Abdurrahman Wahid
(1999-2001), atau Gus Dur, hendak
dimakzulkan, akses menuju Balur-an,
dari Surabaya dipandang tak aman.
“Saat itu, banyak pendukung Gus
Dur yang protes dengan menebangi
pohon di tepi jalan,” terang Sukri,
“orang enggan ke Baluran.” Setelah
itu, peristiwa bom Bali juga
mempengaruhi aliran wisatawan dari
pulau dewata itu.
Keadaan ini tak menyurutkan
semangat Baluran untuk menarik
kembali para turis menyambangi
Taman Nasional ini. “Banteng jawa,
khan ikonnya Baluran. Masak, datang
ke Bekol tidak ketemu banteng,” jelas
Bambang.
MESKI PARIWISATA BARU satu aspek
Padang Bekol Taman Nasional Baluran, Jawa Timur, kini
lebih banyak dihuni kawanan rusa, Cervus timorensis,
semenjak populasi banteng terus menyusut.
Erwin Sugandhi dalam pengelolaan, namun hanya
di taman nasional kesempatan
untuk pamer warisan alam kepada
masyarakat bisa terbuka. Sebelum
dikenal taman nasional, bentuk Dan, pertaruhan hidup-mati
banteng jawa sesungguhnya
terentang kala tanah dan padang
rumput berwarna kuning keemas-
an; saat hutan musim sedang
menggugurkan dedaunan. Kala
kemarau menggarang Baluran pada
titik terpanas. “Persoalan utama
sebenarnya air,” terang Muhammad
Yusuf Sabarno, salah seorang
Pengendali Ekosistem Hutan
(PEH) Baluran.
Air yang mengalir melalui
rangkaian pipa dari Kacip, sebuah
mata air abadi di lereng Gunung
Baluran, dan Talpat mandek. Sejak
itulah, Bekol seperti neraka yang
mencekik banteng jawa—juga
satwa liar yang lain, yang berakibat
menyusutnya populasi banteng
jawa.
Untuk memasok air di savana
Bekol, sebenarnya juga ada
upaya untuk menyedot air tanah
dengan genset. Sayangnya, usaha
ini pun tak sepenuhnya lancar.
“Untuk menyedot air tanah Bekol
12
diperlukan biaya yang besar,” terang
Agus Bambang Haryono, kepala
Bagian Tata Usaha Taman Nasional
Baluran. Maklum, tenaga diesel
memerlukan bahan bakar solar.
Ikhtiar untuk menghadirkan
kembali air di sejumlah titik di
Bekol akan dilakukan pada 2010.
“Mulai 2010, akan dicoba dengan
tenaga sel surya untuk memompa
air tanah di Bekol,” jelas Bambang.
Keberadaan banteng jawa, dan
mamalia besar lainnya, di Baluran
diyakini menjadi salah satu penarik
wisatawan untuk datang. Namun
Sukri juga memiliki pandangan
lain, letak Baluran di Situbondo
punya pengaruh penting bagi
aliran wisatawan.
Taman Nasional ini terletak di
daerah tapal kuda (Pasuruan,
Probolinggo, Situbondo, Bondo-
woso, Lumajang, dan Jember),
sebutan dari antropolog Clifford
Geertz, yang banyak dipengaruhi
subkultur kehidupan santri.
kawasan konservasi yang lain—
cagar alam, suaka margasatwa—tak
memungkinkan menjadi jendela
untuk mengintip keagungan alam
Nusantara.
Tentu saja tak gampang untuk meraih
wisata alam yang ideal. Namun tekad
tiga dekade lalu masih hangat dalam
benak Indra Arinal, kepala Balai
Taman Nasional Baluran.
Baginya memberi kesempatan bagi
khalayak untuk menikmati alam
melatari niat awal Baluran dijadikan
taman nasional. Indra memang
bertekad untuk memulihkan populasi
banteng jawa, “Apapun akan kita
lakukan untuk banteng jawa.”
“Agar banyak orang bisa menikmati
rona bumi yang berupa savana,
beserta banteng jawa, kerbau liar
dan rusa,” jelas Indra. Kalau masih
berwujud suaka margasatwa, lanjut
Indra, savana di Baluran tidak bisa
dilihat orang, karena memang tak
mungkin dimanfaatkan untuk areal
wisata.***
T
Koen Meyer
igapuluh tahun bisa jadi waktu yang tepat untuk
mendedah ulang satu perjalanan, satu riwayat,
untuk menatap masa depan.
Hingga dekade pertama abad ini, telah tersebar 50
taman yang merengkuh puluhan saujana unik, ribuan
taru, berlaksa tumbuhan, dan jutaan jasad renik,
yang menghiasi seruas kawasan di pinggang Bumi.
Menjejak di lima taman nasional pertama seperti
menengok kembali niat awal yang terbentang tiga
dekade silam.
Satu di Sumatera, tiga di Jawa dan satu lagi mengapung di
Selat Sape, Nusa Tenggara, tertakdir menjadi lima yang
pertama dalam merintis taman nasional di Indonesia.
Wajar bila lima taman itu bisa melambangkan wajah
taman-taman yang kini tersebar di bumi Nusantara.
KONSERVASI ALAM memindai secara ringkas kisah lima
taman pertama pada titik 30 tahun.
Kesadaran perlunya pengendalian populasi manusia
telah terbit saat kali pertama taman nasional diciptakan.
Kesadaran itu ibarat nujum: kini taman nasional
benar-benar cermin yang mewakili gambaran
besar pergumulan antara pelestarian dengan
kebutuhan manusia.
13
H
ati sunarti sungguh
bungah. Sejak Maret 2010,
kebutuhan bahan bakar
“Agar kotorannya bisa dikumpulkan
untuk biogas,” jelas Bambang.
di BPTN III Langkat yang terlibat
penyelesaian masalah ini.
kompor gasnya cukup dipasok dari
halaman belakang. Mengalir setiap
saat, nyaris tanpa sendat. “Saya
tak lagi khawatir gas akan habis
sewaktu-waktu,” kata Sunarti.
Instalasi biogas seukuran enam
meter kali 1,2 meter, yang
berada di belakang rumah warga
Wonorejo, Banyuputih, Situbondo,
Jawa Timur, itu mengembuskan
gas yang ditampung dalam
tandon plastik atau digester. Dari
situ, gas menyembur ke kompor,
menyalakan api yang membiru.
Tak jauh dari instalasi biogas
terdapat kandang sapi.
Tumbuh berkembang di tapal
batas Baluran, Wonorejo berperan
sebagai salah satu desa penyangga
taman nasional seluas 25.000
hektar ini. Taman Nasional
menebar 10 unit instalasi biogas
kepada anggota Sentra Penyuluhan
Kehutanan Pedesaan (SPKP)
Desa Wonorejo. Satu di antaranya
diterima Sutrisno.
Warga Wonorejo lazim merencek
kayu ke hutan, biasa diangkut
dengan sepeda ditumpuk tinggi-
tinggi di jok belakang. “Kini lebih
parah lagi,” terang Agus Bambang
Haryono, kepala Bagian Tata
Usaha Taman Nasional Baluran,
“mengangkutnya dengan sepeda
motor.”
Dan merencek berarti menyisir dan
menjelajahi Taman Nasional untuk
memulung kayu bakar. Adanya
biogas diharapkan mengurangi
adat memulung kayu bakar di
Taman Nasional.
“Demikian juga kebiasaan
menggembala sapi di kawasan
Taman Nasional,” imbuh Siyanto,
seorang penyuluh kehutanan
Baluran. Keberadaan instalasi
biogas di rumah akan memaksa
warga memelihara sapi di kandang.
14
“Memang tidak seratus persen, tapi
setidaknya, sedikit demi sedikit
bisa dikurangi,” tutur ketua SPKP
ihwal upaya mengurangi kebiasaan
merencek kayu di Baluran.
MANGASA NABABAN menghela
nafas panjang. Dari wajah lelaki
yang biasa disapa Piyu itu terbayang
rasa getir. “Hatiku seperti teriris,
sakit hati ini melihat pohon yang
dulu aku ikut tanam, dibabat orang-
orang itu,” keluhnya.
Empat dasawarsa silam, Piyu
menabur harapannya saat dia
mulai menjejakkan kaki di
dunia konservasi. Cita-citanya
rontok ketika dirinya hanya
bisa memandangi hamparan
tanah kosong yang dihinggapi
rerumputan liar. Di hamparan
tanah itulah, Piyu, yang menjadi
pegawai honorer ’abadi’ Taman
Nasional, pernah menanam
berbatang-batang pohon untuk
menghijaukan Leuser.
Perseteruan antara masyarakat
di luar kawasan dengan Taman
Nasional Gunung Leuser yang
ditunjuk 30 tahun yang lalu itu
memang masih kerap meletup.
Salah satu perkara rumit yang
masih membekap Leuser adalah
keberadaan eks-pengungsi korban
konflik Aceh.
Meskipun telah dibentuk tim
koordinasi untuk menanganinya,
melalui surat keputusan Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat, hingga kini persoalannya
justru semakin sulit terurai.
”Keadaan di lapangan semakin
sulit. Soalnya, para perambah
juga masuk ke dalam komunitas
eks-pengungsi itu. Penanganan
masalah ini harus dibedakan
dengan jelas, antara pengungsi
asli dan perambah,” terang Ujang
Wisnu Barata, salah satu staf Leuser
DUA TAMAN NASIONAL dua kisah,
tapi satu pokok perkara. Baluran di
pojok timur laut Jawa dan Leuser
di belantara tropis Sumatera,
keduanya sama-sama menghadapi
riuhnya gempuran manusia di tapal
batas kawasan. Populasi manusia
juga menyusup ke dalam taman.
Dua tahun usai lima taman
nasional pertama lahir, pada 1982,
di Bali digelar Kongres Taman
Nasional Sedunia ke-3. Kongres
ini dipandang sebagai momentum
penting dalam perjalanan taman
nasional global.
Effendy A Sumardja menyatakan,
Kongres di Bali itu yang pertama
kali diselenggarakan di negara
sedang berkembang. “Dua kongres
sebelumnya di Amerika, yang
konsepnya sama sekali berbeda
dengan keadaan di Indonesia.
Dalam Kongres di Bali, pada
intinya lebih menekankan pada
masyarakat,” kata Effendy.
Sejak awal, ciri khas taman nasional
di Indonesia telah dipahami: tak
bisa dipisahkan dari gerak hidup
manusia.
Pergulatan antara kepentingan
manusia dengan upaya melindungi
alam sebenarnya setua dengan usia
taman nasional. Atau, malah jauh
lebih tua.
Contoh paling gamblang telah
melekatnya kepentingan manusia
pada taman nasional sejak awal mula
dapat dilihat di Taman Nasional
Komodo. Dengan kawasan yang
berbentuk kepulauan, dengan tiga
pulau utama: Komodo, Rinca, dan
Padar, Taman Nasional ini sejak
awal telah sadar pentingnya aspek
kependudukan.
Management Plan 1977-1982 FAO-
UNDP telah merancang jumlah
ideal penduduk di Desa Komodo,
Pada dekade 1975 - 1985, isu
berputar pada pemberian izin
HGU oleh menteri dalam negeri
pada wilayah yang telah ditetapkan
sebagai Suaka Margasatwa Baluran.
Kurun 1985 - 2000, perkara beralih
pada soal permintaan ganti rugi
atas investasi PT Gunung Gumitir
kepada Departemen Kehutanan.
Dan, semenjak tahun 2000, kasus
ini bersulih menjadi penguasaan
lahan bekas HGU di Labuhan
Merak dan Gunung Masigit.
Ikhitiar mengurai kekusutan
eks-HGU itu kini juga makin
sulit. “Sekarang dipolitisir,” ujar
Bambang, “apalagi di zaman
banyak partai.”
“Kita akan mendudukkan semua
pihak yang dulu berkepentingan
dengan eks-HGU ini,” ujar Indra
Arinal, kepala Balai Taman Nasional
TN Gede Pangrango
Selain adopsi pohon di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango, Jawa Barat, langit Sarongge juga tersiar radio
komunitas, yang berfungsi sebagai wahana penyuluhan.
Pulau Komodo dan Desa Pasir membedakan dengan kapal
Panjang, Pulau Rinca, masing- pendatang,” lanjut Puji.
masing 500 jiwa dengan jumlah
rumah 80 buah. Desa pertama saat Baluran juga memendam bara
Baluran. Baginya, berlarut-
larutnya kasus ini memberi
petunjuk, “Taman nasional tidak
mendapatkan dukungan dari
semua pihak secara nasional.”
Bahkan, sekali pun relatif baru,
benang kusut juga membebat
kasus eks-pengungsi di Leuser.
ini dihuni 1.474 jiwa, yang pada
1983 hanya 1.091 jiwa, sedangkan
Pasirpanjang, 1.245 jiwa, pada
1983: 963 jiwa.
Secara kependudukan, sejak
awal mula Taman ini telah
menginventarisasi penduduk:
identitas, anggota keluarga, dan
setiap rumah dilengkapi dengan
foto penghuninya. ”Saat itu telah
terbangun kesepakatan tidak ada
penambahan rumah dan lain-lain,”
kenang Puji Sumarto Pratjihno,
yang pernah menjabat Kepala
SubBalai KPA.
Waktu itu, kependudukan
telah menjadi perhatian dalam
pengelolaan Taman Nasional.
”Setiap kapal penduduk ditandai
dengan stiker dan bendera untuk
pemukiman sebelum menjadi
taman nasional. Meski merintis
mengurangi tekanan perencek
kayu di Wonorejo, di sisi utara
yang berbatasan dengan Laut Jawa,
ribuan sapi masih menggerayangi
padang Baluran.
Pemukim yang bercokol di Labuhan
Merak dan Gunung Masigit
memicu berkeliarannya sapi-sapi
ternak itu. Pemukiman ini mulai
berkembang sejak 1962, ketika PT
Gunung Gumitir mendapatkan
hak guna usaha (HGU) dari
Departemen Dalam Negeri. Saat
itu, Baluran masih berupa suaka
margasatwa.
Lebih dari tiga dekade, drama
pemukiman Labuhan Merak ini
telah berubah-ubah alur kisahnya.
”Eks-pengungsi berstatus ilegal.
Sebenarnya para eks-pengungsi
telah ketakutan. Mereka bahkan
telah menjual rumah dan ladangnya
ke orang lain,” terang Harijoko,
kepala Balai Besar Taman Nasional
Gunung Leuser.
”Hanya saja, eks-pengungsi telah
bercampur dengan perambah yang
memanfaatkan mereka. Beberapa
pengungsi bahkan dipaksa untuk
bekerja kepada perambah. Benar-
benar complicated,” tambahnya.
Sementara itu, di tingkat pusat
penyelesaian soal ini masih
terbentur soal calon lokasi relokasi
para eks-pengungsi yang masih
belum pasti. Padahal, Kemenko
Kesra telah siap menangangi eks-
pengungsi itu.
15
”Namun, Baplan (Badan Planologi
Kehutanan-red) yang masih belum
siap, karena menunggu hasil tim
terpadu yang mereka turunkan
ke lapangan dan menunggu
pengesahan rencana tata ruang
wilayah propinsi,” jelas Harijoko.
Menko Kesra, masih menurut
Harijoko, yang telah menyiapkan
dana tidak akan bisa membiayai
relokasi, bila belum ada hasil
rekomendasi dari Baplan.
DI TENGAH DERU dua arus
kepentingan antara desakan
manusia dan mengayomi alam
itu bukan berarti tak ada jalan
lengang. “Kepala taman nasional
bisa membuat sebuah kesepakatan
dengan masyarakat,” gagas Effendy,
“agreement itu, ditinjau dari waktu
ke waktu bersama-sama.”
Dan, Gunung Honje di Ujung
Kulon menyimpan teladan dalam
merenda kesepakatan bersama.
Sebelum menjadi kawasan Taman
Nasional Ujung Kulon, Perum
Perhutani mengelola Gunung
Honje. Melalui pengelolaan hutan
berbasis masyarakat (PHBM),
masyarakat dapat menanam padi
dan palawija secara tumpangsari.
Tak ayal lagi, setelah masuk dalam
Taman Nasional, lahan-lahan
sawah Gunung Honje juga ikut
masuk kawasan. Lantaran itu,
sejak 2008 Balai Taman Nasional
Ujung Kulon, bersama pemangku
kepentingan lokal dan lembaga
swadaya masyarakat LATIN
menggagas pengelolaan hutan
bersama masyarakat.
Salah satu upayanya, melakukan
studi banding ke lembaga lokal
Akarsari, Desa Saninten, Kaduhejo,
Pandeglang.
Saninten, desa binaan LATIN, telah
berhasil melakukan perencanaan
dan pengelolaan hutan bersama
masyarakat untuk fungsi konservasi
Gunung Aseupan, Gunung Karang
dan Gunung Pulosari.
16
Studi banding itu untuk berbagi
ilmu ihwal perencanaan pengelola-
an hutan dan lahirnya kesepakatan
antara masyarakat dengan Tam-an
Nasional. Dari sini juga mun-cul
gagasan intensifikasi lahan pertanian
di Gunung Honje untuk menekan
meluasnya lahan pertanian.
Artinya, masyarakat tetap dapat
menggarap lahan sawah di Gunung
Honje, namun tanpa memperluas
areal sawah. Jika ada pelanggaran,
pelaku akan mendapat sanksi.
Lantas, lahirlah Lembaga Konserva-
si Desa (LKD) di tiga desa yang
berbatasan langsung dengan Ta-
man Nasional dan memiliki konflik
yang tinggi: Rancapinang, Cibadak
dan Ujungjaya.
“Pernah ada kepala desa yang
merekayasa perluasan lahan,
tetapi tercium oleh anggota LKD
yang lain,” terang Mumu, seorang
staf Ujung Kulon yang menjadi
motivator LKD, “akhirnya, kepala
desa itu harus memilih, berhenti
jadi kepala desa atau mematuhi
ketentuan yang telah disepakati.”
Kepala desa itu, masih Mumu,
memilih tetap menjadi kepala desa;
dan malah menjadi panutan karena
langkah-langkah bijaknya semakin
terlihat setelah hampir dua tahun
berkecimpung dalam LKD.
LKD mengolah lahan sawah yang
berdekatan dengan jalan desa,
agar masyarakat dapat melihat
hasil nyata. “Kita sengaja pamer
kegiatan, agar masyarakat yang
belum menjadi anggota LKD dapat
melihat, dan lambat laun tertarik
menjadi anggota,” jelas Mumu.
“LEUWEUNG HEJO, masyarakat
bisa ngejo, ngeunah ditenjo,” papar
Zainudin dalam bahasa Sunda,
seorang ketua RT Kampung
Sarongge. Maksudnya, hutan
lestari, masyarakat bisa sejahtera
dan wisatawan yang datang bisa
menikmatinya.
Kampung Sarongge, Desa Ciputri,
Kecamatan Pacet, Cianjur, Jawa
Barat, salah satu desa penyangga
kawasan Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango. Sarongge, yang
berada tepat di lereng timur
Gunung Gede, juga menjadi
contoh upaya menyatunya taman
nasional dengan masyarakat.
Semenjak ada program adopsi
pohon, masyarakat Sarongge
merasakan banyak perubahan.
“Program adopsi pohon untuk
memperoleh pendapatan alternatif
masyarakat di daerah perluasan
Taman Nasional yang dulu
dikelola Perhutani,” terang Indra
Exploitasia, kepala bidang teknis
Taman Nasional.
Indra menambahkan, dari dana
adopsi pohon yang sebesar
Rp108.000 per pohon setiap 3
tahun, 50persen di antaranya
untuk pengembangan masyarakat
sekitar Gede Pangrango.
Adopsi pohon memang membuka
harapan bagi warga Sarongge.
Maklum, sebelum berkembang
program itu, sejumlah warga
sering memasuki kawasan Taman
Nasional untuk mengumpulkan
kayu bakar atau berladang.
Kini, aktivitas itu sudah mulai
berkurang.
“Harapannya, program adopsi
pohon ini dapat mengeluarkan
masyarakat dari kawasan secara
sukarela, sehingga Taman Nasional
tidak perlu mengambil tindakan
hukum,” harap Dadi.
“Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango berharap memiliki
konsep kemitraan permanen.
Konsep ini akan ditawarkan
kepada pengusaha untuk
membawa modal, teknologi,
managemen, dan pasar kepada
warga masyarakat setempat,”
papar Sumarto, kepala Balai Besar
Taman Nasional Gede Pangrango,
“sedangkan warga masyarakat akan
“Itu suatu upaya pengelolaan sesuai
dengan keperluan. Jadi zonasi itu,
bisa berubah-ubah,” papar Effendy.
Penetapan zona pemanfaatan
tradisional, misalnya, agar
masyarakat bisa mengakses untuk
memanen hasil hutan tertentu. “We
cannot really exclude them outside.
Zonasi itu berdasarkan kebutuhan
untuk pengelolaan,” lanjutnya.
“Maka, harus dibuat perencanaan
lima tahun sekali. Setiap lima
tahun, zonasi bisa dirubah. Nah,
bisa dievaluasi selama 5 tahun itu.
Zona inti, misalnya, tergantung
perkembangan lima tahunan
tersebut atau penelitian yang
dilakukan, apakah tetap atau
berubah.”
Penyelesaian eks-pengungsi Aceh di Taman Nasional Gunung Leuser
dibantu oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Bisro Sya’bani
Akibatnya, rasa memiliki atas taman nasional tak berkembang
pada masyarakat ataupun pejabat-
pejabat daerah. bekerja sama dengan pengusaha untuk menghasilkan produk yang
diinginkan.”
TIGA PULUH TAHUN setelah lahirnya
lima taman nasional di Indonesia,
kesadaran dan komitmen bagi
taman demi kepentingan nasional
itu seperti gelombang samudera
yang pasang dan surut. Meski
semakin tua, komitmen untuk
mengelola taman nasional secara
layak, rupanya tak boleh ikut renta.
Ide awalnya, pendirian taman
nasional harus memperhatikan
aspirasi masyarakat setempat,
sehingga tidak ada konflik.
“Namun, agaknya hal ini tidak bisa
jalan,” terang Effendy A. Sumardja.
Masyarakat harus dilibatkan dalam
perencanaan.
Tujuan penunjukan taman nasional
di daerah terpencil adalah untuk
merangsang sektor-sektor lain
agar membangun daerah itu secara
serentak. Hasilnya, agar masyarakat
setempat bisa sejahtera.
Tak mengherankan bila ber- kembang kecenderungan negatif.
“Tidak hanya taman nasional,
tetapi kehutanan secara umum,”
papar Hariyanto C. Putro, staf
pengajar Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Hariyanto menjelaskan, hutan
sekarang menjadi ajang konflik
bagi pengelolaan sumberdaya
alam. Yang muncul di permukaan
adalah konflik dan konflik.
Peran pemerintah belum jelas.
Tugas utama taman nasional
mengelola sumberdaya hayati dan
ekosistemnya belum dijalankan.
”Sekarang ini baru tahap
prakondisi,” sambung Hariyanto.
Setiap taman nasional harus punya
bussines plan, fungsi konservasi
dan ekonomi dijalankan sekaligus.
”Manajemen taman nasional
seharusnya mengadopsi sistem
laba-laba, bisa mendeteksi ’getaran’
atau konflik yang terjadi sekecil
apapun,” papar Hariyanto.
Taman nasional sebenarnya
dikelola berdasarkan mintakat.
Effendy memaparkan, banyak
pihak tak paham benar dengan
tujuan taman nasional. “Apa sih
taman nasional?” terang Effendy,
“nggak ngerti. Manfaatnya, nggak
ada tuh. Yang ada, larang sana...
larang sini... itu saja.”
Padahal, tidak begitu konsep taman
nasional. “Itu konsep cagar alam.”
Masih banyak yang berpikir seperti
itu, sehingga yang menonjol adalah
banyaknya pelarangan. “Mesti
dibedakan antara taman nasional
dan cagar alam,” terang Effendy.
Bagi Hariyanto, setelah 30 tahun
pengelolaan taman nasional,
diperlukan pencitraan ulang
taman nasional, agar konflik bisa
dibalik menjadi ajang pengelolaan
bersama. Masa depan yang
cerah harus diupayakan sejak
sekarang. Lantaran itu, masih
Hariyanto, perlu meningkatkan
peran generasi muda. ”Kita tidak
bisa berfikir bahwa kita yang
akan menyelesaikan masalah
sendirian.”***
17
N
“Kerja di bidang konservasi adalah
pengabdian, harus pakai hati.” Mangasa Nababan Bisro Sya’bani
ilai luhur itu terbit dari seorang Mangasa
Nababan. Pria asal Tapanuli Utara yang telah
mengabdikan diri di Taman Nasional Gunung
“Dulu kalau patroli cuma jalan kaki, mana ada fasilitas
kereta (sepede motor-red) seperti sekarang ini. Jadi,
kami harus punya rencana matang setiap mau masuk
Leuser itu, mengaku tak malu meski tak lulus sekolah
dasar. Piyu, begitu dia sering disapa, menuturkan, “Apa
gunanya pintar, jadi sarjana, kalau akhirnya bekerja
pun tanpa jiwa.”
Sebelum Piyu sampai pada nilai luhur itu, dirinya
telah mengecap manis dan getir kehidupan. Selama
33 tahun dalam babak hidupnya, Piyu melakoninya
bersama Leuser. Hingga akhir masa tugasnya, dia
tetap berstatus sebagai pegawai honorer. Kariernya tak
pernah menyentuh jenjang pegawai negeri sipil.
Tiga dekade lebih pula, Piyu telah menjejakkan
kakinya di semua tempat di Kabupaten Langkat.
Ketika Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam (PHKA) masih berwujud
Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA), Piyu
telah menjelajahi Sei Lepan, Batang Serangan, Cinta
Raja, Bukit Lawang, Pamas Semilir sampai Aras Napal
(kurun1972-1980). Pun, saat menjadi honorer di
Leuser, tahun 1980 sampai sekarang, Piyu berkelana di
Aras Napal, Sekoci, Sei Lepan dan Sai Betung.
18
hutan. Mau ke mana, berapa lama, berapa orang, semua
harus diperhitungkan supaya bekal beras, gula, ikan
asin, rokok, dan sebagainya, bisa cukup karena tidak
mungkin pulang sehari, harus menginap di hutan,”
kenangnya.
Jalan nasib yang membawa Piyu mengarungi dunia
konservasi sebenarnya tidaklah lempang dan datar.
Kehidupannya lebih laksana arus sungai yang banyak
membelah Leuser, penuh jeram dan deras. Sebelum
benar-benar menceburkan diri dalam konservasi, pria
yang lahir tahun 1935 itu menjalani hidup jauh dari
sentuhan pelestarian.
“Tahun 1959 aku pernah memiliki izin pemanfaatan
kayu sekitar 250 hektare. Waktu itu, pejabat dinas
di Medan yang memberi izin. Namun, pada 1972
pemerintah menetapkan sebagian wilayah hutan
Sekundur sebagai suaka margasatwa,” kenangnya.
“Arealku yang belum tuntas dikerjakan terpaksa
ditutup, karena masuk dalam kawasan Suaka
Margasatwa Sekundur,” kisahnya.
Waktu itu memang penebangan
memakai alat-alat manual, belum
ada gergaji mesin; sehingga, Piyu
belum sempat memanen semua
pohon. Toh, merasa sebagai warga
negara yang baik dan rakyat kecil,
dirinya menghentikan kegiatan
tebang-menebang di arealnya itu.
“Aku stop kegiatan menebang
dan keluarkan semua kayu yang
masih tertinggal. Ketika itu, aku
sempat tarik urat sama polisi. Aku
diperkarakan karena menebang dua
batang pohon.” Piyu mengenang,
pohon-pohon itu ditebangnya
untuk melapangkan jalan, agar
kayu-kayu yang masih tersisa bisa
dikeluarkan.
Sampai kemudian datang L.B.
Simanjuntak, kepala PPA Langkat
Deli dan Ringgit Mulia Bangun,
kepala Balai PPA Sumatera Utara.
“Mereka menawarkan damai. Aku
diminta bekerja di PPA dengan
status honorer. Sejak saat itulah,
mulai 1972, kemudian berubah
menjadi taman nasional tahun
1980, hingga sekarang, statusku
tetap honorer.”
Dua orang itulah yang membalik
seratus delapan puluh derajat garis
hidup Piyu. L.B. Simanjuntak dan
Ringgit Mulia Bangun adalah dua
nama yang membangkitkan gairah
konservasi pria yang telah dua kali
berumah tangga ini. Pencerahan
itu menerbitkan idealismenya:
manusia membutuhkan hutan,
sehingga hutan harus dijaga dan
dilestarikan.
Penganut Kristen yang taat ini
memendam banyak memori
tentang Leuser. Tanpa disadarinya,
ingatannya menjadi saksi bagi
perjalanan Leuser. Piyu adalah
salah satu saksi yang mengetahui
ihwal perambahan di Langkat,
karena cukup lama bertugas di
Resort Sekoci.
Menurutnya, para perambah atau
penggarap mulai merebak sekitar
tahun 1990. “Namun masih kecil-
kecilan dan bisa dikendalikan,”
paparnya.
Bahkan, pada 1995 telah dilakukan
pengusiran dan diikuti dengan
reboisasi. Hanya saja, cara
represif yang ditempuh waktu itu,
memunculkan rasa dendam para
perambah yang merasa sudah
mengeluarkan banyak biaya untuk
menggarap lahan bukaan.
Rasa kesumat ini masih tersimpan,
sampai akhirnya, pada 1999 -
2000 datanglah para pengungsi
dari Nangroe Aceh Darusalam
yang sedang mencari rasa aman.
Mereka memilih mengungsi ke
Sekoci karena provokasi dari
para perambah yang telah diusir
sebelumnya. Rupanya hal itu
memang telah direncanakan,
dengan niat melegalkan dan
meneruskan aktivitas merambah
dengan ‘meminjam badan’ para
pengungsi.
Pertaruhan jiwa konservasi yang
telah direngkuhnya, membawa
Piyu dalam batas hidup dan
mati. Ketika menjadi anggota tim
rekontruksi batas, maut pernah
sejarak sejengkal dari hidupnya.
Beberapa saat setelah perambah
berhasil diusir, Leuser menata
ulang tata batas. “Ketika kami
melakukan cek pal batas, tiba-tiba
datang massa yang sebagian besar
para perambah yang telah diusir,”
kenangnya. “Mereka membawa
parang dan pentungan.”
Piyu bersama sejumlah aparat
terkepung. “Kawan-kawan yang
lain, sebagian sudah lari me-
nyelamatkan diri. Massa yang
mengepung bahkan sampai meng-
ancam. Aku sudah pasrah dan
ngeri. Massa sudah gelap mata,”
kenang Piyu.
Beruntung, kesigapan dari personil
Korem mampu mengatasi keadaan
yang mencekam itu. “Setelah
peristiwa itu, aku merasa tidak
tenang,” lanjutnya. Berbagai ancam-
an sudah sering dialami Piyu
dalam bertugas melindungi dan
mengamankan kawasan Leuser.
“Itulah resiko pekerjaan,” ujarnya.
“Apalagi sewaktu aku mau
menjadi saksi persidangan kasus
perambahan, hampir 24 jam
rumahku tak henti digedor orang.
Dari yang mengancam hingga yang
mencoba menyogok. Aku terpaksa
sembunyi, kasihan orang rumah.”
Beragam pengalaman itu justru
memupuk wawasan Piyu tentang
konservasi tumbuh subur. “Aku
sangat tidak setuju dengan adanya
sawit di dalam kawasan, tanaman
ini menganggu tata air,” katanya.
Menurutnya, sawit yang jelas-jelas
berada di dalam kawasan harus
segera dimusnahkan. “Supaya
orang tidak main-main lagi dan
coba-coba menanam sawit di dalam
kawasan Leuser.”
“Dulu, tanaman sawit itu ditanam
pada saat belum ada pengukuhan.
Jadi belum ada dokumen tentang
batas Taman Nasional. Padahal,
batas patok di lapangan sudah
ada. Itulah pintarnya orang itu,”
lanjutnya.
“Konservasi itu sebenarnya adalah
memanfaatkan seperlunya. Jadi,
seandainya manusia tidak serakah
dan mengambil manfaat dari alam
secara tidak berlebihan, kita nggak
perlu pusing-pusing dengan ilmu
konservasi,” jelas Piyu. Apalagi saat
era otonomi ini, konservasi masih
dianggap sebagai penghambat laju
pembangunan daerah.
“Jadi biarkan saja, percayalah
pada hati, bekerjalah dengan hati,”
pungkas Piyu, sosok sederhana
dengan sebidang kebun sewaan.***
19
S
Indra Arinal
“Takut salah, ini salah. Kadang malah tidak
berbuat apa-apa, biar tidak salah.”
Erwin Sugandhi
elama 29 tahun bekerja di Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Indra
Arinal, kepala Balai Taman Nasional Baluran,
“Nah, selama ini, yang saya rasakan selama tiga dekade
ini, ya management by request….”
merasa seperti mereflesikan kembali karirnya, saat
ditanya pendapatnya tentang 30 tahun taman nasional
pertama.
“Artinya sama dengan refleksi 29 tahun di PHKA,”
tutur Indra, “Ndak pernah loncat ke mana-mana, terus di
konservasi.”
Sejak Januari 1981, Indra mulai menjejakkan kakinya di
PHKA, dan sejak itu pula dirinya mengikuti irama
kerja di bidang konservasi. Dengan pengalaman itu,
wajar bila Indra memahami pasang-surut perjalanan
taman nasional di Indonesia.
“Saya sering bingung sendiri dengan perkembangan
konservasi… apakah pengelolaan taman nasional itu
management by objective atau management by request,”
paparnya.
20
Tak mengherankan, perkembangan konservasi,
khususnya taman nasional, di Indonesia tak lancar-
lancar amat. “Kadang-kadang berjalan di tempat,
kadang-kadang maju. Sehingga, secara keseluruhan
perkembangan yang ada tak semaju sesuai usianya.”
Indra mengenang saat memulai bekerja di PHKA.
Dirinya pernah mengeyam pendidikan pengelolaan
taman nasional di Ciawi selama 11 bulan. Pada masa
ini, Indra diperkenalkan dengan prinsip-prinsip
dan kriteria konservasi IUCN yang digembleng oleh
pakar dari luar maupun dalam negeri. “Ini sebenarnya
request…,” paparnya.
Sepanjang sejarah taman nasional, beragam program
dibentangkan untuk kawasan konservasi. Pernah
pula, ada program ICDP (integrated conservation and
development project). “Semua orang bicara soal itu,”
“Sebenarnya, itu tidak salah,
karena negara pun sekarang
begitu juga, setiap presiden
punya rencana program.” kenang Indra, “tak hanya itu, semua
sumberdaya diarahkan ke sana.”
Begitu juga program-program lain.
“Saking banyaknya, saya lupa….”
Selama ini, berbagai istilah juga
bermunculan: 9 taman nasional
prioritas, disusul taman nasional
model, taman nasional mandiri,
dan kini, ada juga KPHK (Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi).
“Itu semua request, entah dari
Departemen Kehutanan maupun
dari luar, entah LSM atau dari luar
negeri….”
Jadi, Indra menuturkan, sementara
fondasi lima taman nasional
pertama belum mantap, disusul 11
taman yang baru. Bisa dibayangkan,
dalam tiga dekade dengan banyak
program pendek-pendek. “Setiap
judul (program-red) paling lama
tiga atau empat tahun.”
Pengelolaan taman nasional
memang didasarkan pada rencana
pengelolaan taman nasional atau
RPTN. Sayangnya, RPTN itu tak
mangkus. “Betul, ada peraturan
bahwa taman nasional dikelola
berdasarkan RPTN. Hanya saja,
semua rencana itu, disadari atau
tidak, tidak sekuat seperti halnya
GBHN dalam sebuah negara.”
Indra memaparkan, RPTN
tidak semantap GBHN untuk
menggiring taman nasional
mencapai tujuan pengelolaaan.
Akibatnya, setiap kepala taman
nasional menempuh jalan
sesuai pengalamannya. “Intinya,
pengaruh latar belakang dan
improvisasi kepala balai sangat
tinggi dalam pengelolaan taman
nasional. Pengaruhnya sangat
signifikan dibandingkan dengan
RPTN.”
Sejatinya, pengalaman setiap
kepala balai berpengaruh
terhadap arah pengelolaan taman
nasional tidak menjadi persoalan.
“Sebenarnya, itu tidak salah,
karena negara pun sekarang begitu
juga, “lanjut Indra, “setiap presiden
punya rencana program.”
Hanya saja, kepala balai tak
memiliki jangka waktu yang pasti.
“Kalau presiden ada masa periode,
sehingga bisa merencanakan, dan
pada akhir pemerintahannya bisa
dilihat capaiannya.”
Hal itu berbeda dengan kepala
taman nasional. Indra pernah
merasakan mengelola taman
nasional selama tujuh tahun.
Dirinya pernah di Baluran antara
tahun 1988 hingga 1995 sebagai
kepala sub-bagian tata usaha
(KSBTU). “Saat itu, saya punya
cita-cita, dan baru tahun ke-5 atau
ke-6 bisa terlaksana,” papar Indra,
“tapi, kalau hanya 6 bulan, satu
atau dua tahun?”
Banyak bekerja terkait sumber-
daya alam, flora-fauna, Indra
mengatakan, selama ini belum
terpikirkan secara matang ten-
tang pengelolaannya. Ihwal pe-
ngelolaan spesies, misalnya, belum
lama baru ada rencana strategis
badak, gajah, harimau dan
banteng. “Sebelumnya, tidak ada.
Bagaimana penerapannya,” tanya
Indra, “coba lihat anggaran untuk
pengelolaan spesies. Berapa persen
sih dananya?”
Berbekal pengalaman yang
hampir seusia taman nasional
pertaman itu, Indra mengajak
semua pihak berembuk untuk
mencari pengelolaan berlanggam
Indonesia, pengelolaan yang tidak
dilesakkan dari luar.
“Agar ada bentuk pengelolaan
yang gamblang,” tutur Indra, “oleh
karena itu, jangan diambangkan.
Kecenderungan di bawah jadi
ragu. Takut salah, ini salah. Kadang
malah tidak berbuat apa-apa, biar
tidak salah.”***
21
Lima bentang alam, Leuser, Ujung Kulon, Gede Pangrango, Baluran dan Ujung Kulon, bisa
dipandang sebagai perintis sebuah kawasan untuk kebanggaan bangsa yang menghampar di
Khatulistiwa: taman nasional.
Sebuah taman yang berada di garis depan bagi bangsa ini dalam menaungi sejarah alam
Nusantara. Di sinilah, tiga dekade silam negeri ini menambatkan sebuah tekad untuk
melestarikan, melindungi sekaligus memanfaatkan kekayaan titipan anak cucu. Menempuh
kurun tiga dekade bukan waktu yang pendek dalam derap zaman yang terus bergerak.
Taman Nasional Gunung Leuser Seluas sejuta hektar, Leuser hanya diurus oleh 198 personel.
Polisi hutan sebagai tenaga utama pengamanan kawasan
hanya berjumlah 69 orang.
Pengendali ekosistem hutan (PEH) dan penyuluh, yang
menjadi ujung tombak secara teknis, hanya berjumlah 16
orang. Dari jumlah itu, sebagian disibukkan perkara non-
teknis.
Hampir 70persen pegawai Leuser berumur lebih dari 40
Taman Nasional Ujung Kulon
Letusan Krakatau pada 1883 menimbulkan ombak tsunami
setinggi pohon kelapa menyapu bersih tepi barat Pulau Jawa.
Beberapa tahun kemudian, tangan alam memulihkan degup
kehidupan kawasan yang kini dikenal sebagai Taman Nasional
Ujung Kulon, Banten.
Taman Nasional Ged
Pamornya sebagai kawasan p
pendaki untuk menjelajahi pun
orang mengunjungi Taman Na
pendakian, pendidikan maupun
Banyaknya pengunjung mem
Dengan bantuan para sukarela
menyiangi reja-reja yang dibaw
83.3 tahun dan sedikitnya 35 orang memasuki masa pensiun pada
lima tahun ke depan. Selama 5 tahun terakhir, pegawai baru
hanya satu sampai empat orang per tahun.
”Ke depan PEH harus fokus, maksimal 4 tahun harus naik
pangkat. Saya kecewa ada tenaga fungsional yang sampai
belasan tahun tak naik pangkat. PEH harus laksana pawang
yang memberi kasih sayang pada spesies,” terang Harijoko,
kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser.
Pengunjung Bukit Lawang, Leuser,
seusai dilanda banjir bandang
(Pengunjung Nusantara maupun
Mancanegara)
3.593 5.446
Pegunjung Gede Pangrango Mengunjungi Taman ini perlu ongkos besar. Biaya dari simpang PLTU Labuan ke Kecamatan Sumur, Pandeglang, 77.883 Banten, sebesar Rp25.000. 73.212
Untuk memangkas ongkos carter kapal, mencapai Ujung
Kulon dari Sumur memang pilihan yang masuk akal. Dari
Labuan, carter kapal cepat berpenumpang 8 orang mencapai
Rp3.000.000 per hari, sementara carter kapal nelayan,
berkapasitas 25 orang, dari Sumur bertarif Rp1.700.000
per hari.
Pengunjung Ujung Kulon
3.635 3.197 1.051 2.087
2004 2005 2006
22
2.071
2007 2008 2004
2.368 2.285 2.511
2005 2006 2007 2008 2004 2005 200
Taman Nasional Komodo
e Pangrango pegunungan menarik ribuan
ncak Gede Pangrango. Ribuan
asional ini, baik untuk rekreasi,
n penelitian.
bawa dampak lain: sampah.
wan, Taman Nasional ini sibuk
wa para pengagumnya.
360
69.937
Taman Nasional Baluran
Saat zaman sedang digulung gelombang pemanasan global,
Baluran sebenarnya gudang informasi ihwal cara satwa liar
bertahan hidup di tanah kering. “Sayangnya, sampai kini
belum ada yang meneliti,” ujar Agus Bambang Haryono,
kepala Bagian Tata Usaha Taman Nasional Baluran.
“Banteng-banteng di Baluran juga lebih besar, gempal, dan
tangguh, dibandingkan dengan banteng di Taman Nasional
Alas Purwo,” terang Mahrudin, seorang polisi hutan Baluran.
Pohon-pohon yang bertajuk ringan memudahkan aktivitas
mengamati burung. Sementara di lain tempat seperti mengais
sepotong jarum dalam rimbunan jerami, menemukan merak
dan ayam hutan di Baluran segampang menjumpai ayam di
jalanan kampung.
Pengunjung Baluran
Menapaki waktu dua jam lebih awal ketimbang empat
saudara kembarnya yang lain, Taman Nasional Komodo
seperti menjemput masa silam. Di sini, biawak purba,
Varanus komodoensis, masih berkesempatan untuk tetap
menghiasi Bumi.
Dengan Labuan Bajo sebagai pintu gerbang Pulau Flores,
citra Komodo tergantung pada ibukota Manggarai Barat
itu. Namun kota itu tak mampu menampilkan keelokannya.
Pantai dan lautnya tidak menginspirasi kota itu dalam menata
kawasannya. Kesan kotor dan kumuh terlihat di sudut-
sudut jalan.
Tak hanya itu, ”Bisnis pariwisata pun telah banyak jatuh ke
tangan orang asing, seperti hotel, kapal pesiar dan guide
master,” tutur Condo Subagyo, pemilik CNDive yang telah
bermukim di kota ini sejak 1982.
Jika tidak ada perhatian dari pemerintah setempat, pemodal 67.980
asing akan menguasai gerak laju pariwisata Labuan Bajo dan Komodo.
Pengunjung Komodo
21.766
17.347
8.747
06 2007 2008 2004
11.281 9.899 10.192
2005 2006 2007
8.946
2008 2004 2005
6.773 8.035
2006 2007 2008
23
P
Penunjukan Kawasan Hutan Implikasinya bagi Hutan Konservasi
TN Gede Pangrango
Silang pendapat dari penunjukan
baru kawasan hutan memunculkan
antinomi hukum.
enunjukan kawasan hutan menjadi salah satu
bagian dari proses perubahan fungsi hutan.
I Gusti Nyoman Andila SH, MM
PP No. 68/Tahun 1998, tentang Kawasan Suaka Alam
(KSA) dan Kawasan Pelestarian alam (KPA).
Undang-Undang No. 41/Tahun 1999, tentang
Kehutanan, Pasal 6, menyebutkan kawasan hutan
mempunyai tiga fungsi pokok: konservasi, lindung dan
produksi
Perubahan didasarkan pada kriteria keadaan dan sifat
fisik wilayah, topografi, jenis tanah, iklim, pengaturan
tata air, serta pertimbangan lainnya. Penunjukan
kawasan hutan dapat juga disebabkan adanya revisi
dan/atau penyusunan tata ruang wilayah provinsi
ataupun kabupaten.
Selain itu, ada juga lahan non-kawasan hutan yang
kemudian menjadi kawasan hutan. Ini, misalnya, lahan
kompensasi dari pinjam-pakai kawasan hutan atau
areal pengganti dalam tukar-menukar kawasan hutan.
Secara operasional, penunjukan diatur dengan
Kepmenhut No. 32/Tahun 2001, tentang Kriteria dan
Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, dan PP No. 44/
Tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan, serta
24
Antinomi Hukum
Dinamika pengelolaan kawasan hutan berakibat
pada perubahan status dan fungsi kawasan hutan.
Hutan konservasi juga tidak luput dari perubahan
yang berdampak pada penambahan areal, atau juga
sebaliknya, pengurangan kawasan.
Perubahan status dan fungsi kawasan hutan diteruskan
dengan penunjukan dan penetapan kawasan dan
fungsi hutan secara parsial. Di samping itu, ada pula
penunjukan secara provinsial, baik akibat padu-
serasi TGHK dengan RTRWP ataupun karena review
RTRWP.
Tak jarang penunjukan terjadi pada kawasan hutan
yang telah ditunjuk; bahkan pada kawasan yang telah
ditetapkan secara parsial. Misalnya, penunjukan
semula sebagai fungsi hutan produksi, diganti dengan
penunjukan baru menjadi hutan konservasi, atau
sebaliknya.
Dampaknya, penunjukan justru
membawa kompleksitas dan
implikasi bagi kontrak atau
perjanjian dengan pihak ketiga.
Berbagai izin pemanfaatan kawasan
yang semula telah sah, dengan
adanya perubahan fungsi hutan,
menjadi tidak sah dan dipandang
melanggar hukum. Jika hal ini
yang terjadi, muncullah antinomi
hukum, yaitu satu keputusan
mengandung dua azas yang saling
bertentangan.
Azas pertama, Lex Posteriori
Derogat Legi Priori atau hukum
yang baru menyisihkan yang lama.
Artinya, yang berlaku adalah
penunjukan yang terbaru atau
terakhir. Sebaliknya, di sisi lain
terdapat azas Nullum Delictum,
Nulla Poena Sine Previae Lege
Poenali atau hukum tidak berlaku
surut. Ini berarti perubahan fungsi
tidak menghapus izin sah yang
telah ada sebelumnya.
Menanggapi dilema hukum itu,
dalam penyegaran Biro Hukum dan
Organisasai Sekretariat Jenderal
Departemen Kehutanan, Profesor
Maria Soemardjono menyatakan,
izin-izin pemanfaatan kawasan
hutan yang semula berdasarkan
fungsi hutan adalah sah. Jadi,
penunjukan fungsi hutan yang baru,
berubah menjadi hutan konservasi
misalnya, izin pertama masih tetap
sah sampai jangka waktunya.
Departemen Kehutanan lazim
mengambil langkah-langkah pe-
nyesuaian tanpa merugikan pihak
ketiga. Bila perizinan berada
dalam kawasan konservasi, bisa
dilakukan pendekatan kolaboratif
berdasarkan Peraturan Menteri
No. 19/Menhut-II/2004 tentang
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
Dalam peraturan itu dirumuskan,
untuk efektivitas pengelolaan
kawasan secara bersama dan
sinergis oleh para pihak atas dasar
kesepahaman dan kesepakatan
bersama sesuai peraturan yang
berlaku.
Sebenarnya, kedua azas di atas tidak
akan menimbulkan persoalan, bila
ditafsirkan dalam perspektif yang
benar. Membaca teks hukum hanya
secara tersurat merupakan langkah
keliru. Tafsiran hukum memang
dapat bersifat etimologi ataupun
historis. Artinya, pemahaman
tidak hanya terbatas secara tersurat,
melainkan juga secara tersirat,
sehingga dapat menciptakan dan
menjaga kepastian hukum.
Hutan Konservasi Dalam
Penunjukan
Sementara tata batas belum dapat
dilakukan, lalu muncul pertanyaan
bagaimana posisi kawasan hutan
yang baru pada tahap penunjukan,
khususnya hutan konservasi?
Menurut Pasal 1 butir 3, UU No.
41/Tahun 1999 bahwa kawasan
hutan adalah wilayah tertentu
yang ditunjuk dan/atau ditetapkan
pemerintah untuk dipertahankan
sebagai hutan tetap. Itu artinya,
kawasan hutan pada tahap
penunjukan adalah sah secara
hukum.
Atas persoalan ini, Menteri
Kehutanan melayangkan surat
kepada Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan
No. S. 426/Menhut-VII/2006
tanggal 12 Juli 2006. Surat itu
menekankan, kawasan hutan pada
tahap penunjukan telah sah dan
telah berlaku dengan sejumlah
pertimbangan.
Pertama, sesuai UU No. 41/Tahun
1999, menteri kehutanan telah
menunjuk kawasan hutan di seluruh
Negara Indonesia yang merupakan
tindak lanjut paduserasi antara
TGHK dengan RTRWP.
Kedua, meski telah dimulai sejak
1992, sampai saat ini hanya
Kalimantan Tengah dan Riau yang
belum merampungkan paduserasi,
sehingga di kedua provinsi itu
secara legal kawasan hutannya
masih mengacu pada ketentuan
Menteri Kehutanan tentang TGHK.
Ketiga, PP No. 44/Tahun 2004
tentang Perencanaan Kehutanan,
Pasal 18 Ayat 2 menjelaskan
penunjukan kawasan hutan wilayah
provinsi dilakukan oleh Menteri
Kehutanan dengan memperhatikan
RTRWP dan/atau padu-serasi.
Keempat, pada hakikatnya,
penunjukan adalah penetapan
awal fungsi suatu wilayah tertentu
sebagai kawasan hutan, yang secara
spasial dituangkan dalam peta
penunjukan dalam skala tertentu,
dilengkapi dengan informasi posisi
geografisnya.
Kelima, berdasarkan pengertian
Pasal 1 butir 3 UU No. 41/Tahun
1999 dapat disimpulkan, meski
belum ditata batas dan ditetapkan,
statusnya tetap sebagai kawasan
hutan. Soalnya, pemerintah akan
menerapkan berbagai kegiatan,
di antaranya penyusunan unit
kesatuan pengelolaan hutan,
pemberian izin pemanfaatan,
dan pengelolaan hutan yang
berkekuatan hukum tetap.
25
Terakhir, saat ini berkembang
pendapat di kalangan aparat
hukum bahwa kawasan hutan yang
belum ditata batas dan ditetapkan
tidak operasional dan tidak dapat
diterapkan di lapangan, sehingga
tidak bisa digunakan sebagai acuan
dalam upaya penegakan hukum.
Tak mengherankan banyak
dijumpai pelanggaran di bidang
kehutanan yang lolos dari
jeratan hukum. Bila pendapat itu
digunakan sebagai yurisprudensi
di bidang hukum, maka akan
terjadi pengurangan luas kawasan
hutan secara besar-besaran yang
berdampak pada terganggunya
fungsi lingkungan.
Dengan demikian, meski baru pada
tahap penunjukan, untuk kawasan
hutan konservasi misalnya, telah
berkekuatan hukum. Hal ini
dipertegas oleh Permenhut No. 50/
Tahun 2009, soal Penegasan Status
dan Fungsi Kawasan Hutan. Pasal
2 menjelaskan, kawasan hutan
telah berkekuatan hukum, bila: a.
telah ditunjuk dengan Keputusan
Menteri; b. telah ditata batas oleh
Panitia Tata Batas; atau, c. Berita
Acara Tata Batas (BATB) Kawasan
Hutan telah disahkan oleh Menteri;
atau, d. kawasan hutan telah
ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Sebagai ilustrasi, untuk mem-
buktikan kepemilikan sebidang
tanah tak harus dengan sertifikat,
melainkan dapat dengan beberapa
surat keterangan milik lainnya,
sebagaimana diatur Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 9/
Tahun 1999.
Dalam Pasal 9 Ayat (2) a disebutk-
an, dasar penguasaan atau alas
hak dapat berupa sertifikat, girik,
surat kapling, surat-surat bukti
pelepasan hak dan pelunasan
tanah dan rumah dan atau tanah
yang telah dibeli dari pemerintah,
putusan pengadilan, akta PPAT,
akta pelepasan hak, dan surat-surat
bukti perolehan tanah lainnya”.
Antara Penunjukan versus
Penetapan
Kompleksnya silang hukum kawas-
an hutan menerbitkan perbedaan
perspektif.
Kawasan hutan konservasi yang
telah ditetapkan, yang kemudian
dilakukan penunjukan kembali,
baik secara parsial maupun
makro, karena penyusunan atau
review RTRWP. Lantas, kawasan
yang mana yang akan diakui:
hutan konservasi yang baru pada
tahap penunjukan atau kawasan
sebelumnya yang sudah ditetapkan
oleh menteri kehutanan?
Menyangkut pertanyaan ini, di
kalangan birokrasi terdapat dua
pendapat.
Pendapat pertama mengacu pada
kawasan pada tahap penunjukan.
Pendapat kedua berpandangan:
penunjukan dapat dikesampingkan
oleh BATB, atau kawasan hutan
sebelumnya yang telah ditetapkan
menteri kehutanan masih tetap
berlaku. Penunjukan telah ber-
kekuatan hukum, terlebih lagi telah
ditata batas, atau telah ditetapkan.
Selain itu, yang menjadi persoal-
an adalah implikasi hukum
dari penunjukan makro yang
mengacak-acak kawasan kon-
servasi. Pertanyaan yang sama
juga muncul: apakah kawasan
konservasi yang ditunjuk secara
parsial ataukah secara makro
(provinsial) yang diacu?
Dilihat dari proses penyusunannya,
status parsial dilakukan lebih rinci
daripada secara makro, karena
pada penunjukan parsial terdapat
perlakuan tim terpadu yang lebih
intensif mengingat luasannya lebih
kecil. Lalu, apakah penunjukan
makro serta-merta menggugurkan
kawasan yang ditunjuk secara
parsial, apalagi telah ditata
batas temu gelang, terlebih lagi
sudah dikukuhkan oleh menteri
kehutanan.
Menurut hemat penulis, pemilihan
dari berbagai opsi: apakah
penunjukan yang lama, penunjukan
yang baru, kawasan yang baru tahap
tata batas (BATB), atau kawasan
yang telah ditetapkan, tergantung
pada beberapa pertimbangan.
Pertama, tetap menghormati
izin sah secara hukum yang telah
ada sebelum penunjukan yang
baru; kedua, menjaga azas-azas
pemerintahan yang baik; ketiga,
Penunjukan secara makro
Penunjukan kawasan hutan dan perairan untuk wilayah
provinsi, misalnya di Provinsi Jawa Barat atau Jawa
Tengah. Biasanya, dilakukan karena adanya review
tata ruang, paduserasi TGHK dengan RTRWP, dan juga
pembentukan wilayah provinsi baru. Penunjukan secara parsial
Misalnya penunjukan hutan lindung, hutan produksi
dan hutan konservasi. Bisa juga penunjukan subfungsi
seperti penunjukan untuk taman nasional, cagar alam,
hutan produksi terbatas, ataupun hutan produksi uang
dapat dikonversi.
26
menghindari kerugian negara; dan
keempat, terjaganya kelestarian dan
ekosistem konservasi itu sendiri.
Kawasan Konservasi dan
Tata Ruang Wilayah
Dengan berlakunya UU No. 24/
Tahun 1992, yang diganti dengan
UU No. 26/Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, pemerintah
daerah, baik provinsi dan
kabupaten/kota, diwajibkan
menyusun RTRWP/K yang
dipaduserasikan dengan pola
ruang kehutanan. Sehingga,
TGHK mengalami perubahan
yang kini dikenal sebagai kawasan
berdasarkan padu-serasi.
Dengan demikian, pengurusan dan
pengelolaan hutan bersifat lintas
sektoral. Salah satu di antaranya,
keterkaitan dengan rencana tata
ruang. Keterkaitan ini bersifat
normatif sebagaimana diatur
dalam UU No. 41/Tahun 1999,
Pasal 15 Ayat (2), yang berbunyi
Pengukuhan kawasan hutan di-
lakukan dengan memperhatikan
rencana tata ruang wilayah.
Ini berarti, setiap perubahan
tata ruang akan menimbulkan
usulan revisi penunjukan kawasan
hutan yang juga meliputi hutan
konservasi. Setelah selesai disusun
wilayah padu-serasi, akan tersusun
penataan ruang baru antara
kawasan kehutanan dan wilayah
yang berada di bawah wewenang
pemerintah daerah lewat Badan
Pertanahan Nasional (BPN).
Untuk itu, telah diterbitkan surat
keputusan bersama (SKB) antara
Departemen Kehutanan dan BPN
untuk memecahkan tata batas yang
jelas antara hutan dan non-hutan.
Dalam pelaksanaannya telah dibuat
peta padu-serasi TGHK dengan
RTRWP.
Penutup
Tahapan pengukuhan meliputi
penunjukan, penataan batas,
pemetaan, dan terakhir penetapan.
Namun, dari apa yang telah
diuraikan, terdapat beragam pe-
nafsiran terhadap posisi tahapan
proses pengukuhan itu sendiri.
Mana yang lebih kuat: penunjukan,
tata batas, pemetaan atau
penetapan.
Kondisi ini memerlukan sikap
persamaan persepsi, baik di
kalangan birokrasi dan praktisi
kehutanan. Selayaknya, sikap
dikotomis: penunjukan lama versus
penunjukan baru, penunjukan
versus tata batas, dan penunjukan
versus penetapan, tidak perlu
terjadi.
Terciptanya persamaan persepsi
dan penafsiran memerlukan
rumusan secara jelas dalam
penyempurnaan Kepmenhut No.
32/Tahun 2001, tentang Kriteria
dan Standar Pengukuhan Kawasan
Hutan. Posisi dan perlakuan setiap
tahapan dari proses pengukuhan
perlu dinarasikan secara gamblang.
Penulis adalah Perancang Undang-undang
Madya, Biro Hukum dan Organisasi Setjen
Kementerian Kehutanan.
27
K
Alessandro Paiva
Pisang-pisang Liar Gunung Salak Kekayaan flora yang masih jarang dilirik.
Gunung Salak rumah terakhir pisang asli
Indonesia, Musa salaccensis Zoll. awasan Indo-Malesia yang meliputi Indonesia,
Semenanjung Malaya, Filipina, dan New
Lulut D. Sulistyaningsih
(1997) adalah sejumlah peneliti yang pernah
menjelejahi kawasan ini.
Guinea merupakan pusat keanekaragaman
utama pisang-pisangan. Indonesia mempunyai pisang
liar dan pisang budidaya yang melimpah. Sebanyak
12 jenis pisang liar telah ditemukan di Indonesia yang
tersebar di Sumatera, Jawa, Kepulauan Sunda Kecil,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Untuk Pulau Jawa, pusat keanekaragaman pisang liar
terdapat di Jawa Barat. Salah satu kawasan yang diduga
memendam keanekaragaman pisang liar yang cukup
tinggi adalah Gunung Salak, Taman Nasional Gunung
Halimun - Salak (TNGHS).
Gunung Salak ibarat laboratorium alam bagi para
peneliti. Keanekaragaman flora dan faunanya telah
menarik minat para peneliti. Claes Frederic Hornstedt
(1758-1809), botanis Swedia yang merupakan murid
Thunberg, Reinwardt pada tahun 1817 (Steenis, 2006),
Kartawinata (1985), Mirmanto (1991), Wiriadinata
28
Hanya saja, telaah untuk mengkaji pisang-pisang liar di
Gunung Salak masih jarang dilakukan. Pada Juli 2008,
Juni 2009, dan Januari 2010 dilakukan eksplorasi di
kawasan Gunung Salak.
Koleksi tumbuhan lengkap, termasuk bunga dan
buah (fertile), diproses untuk dijadikan spesimen
herbarium, baik untuk koleksi kering, basah, maupun
karpologi. Data-data lapangan yang meliputi nama
daerah, habitat, ekologi, perawakan, warna-bau-rasa
dari bagian tumbuhan tertentu—daun, bunga, dan
buah—yang tak terawetkan telah dicatat.
Kelimpahan jenis pisang-pisang liar di kawasan
Gunung Salak relatif tinggi. Di kawasan ini ditemukan
pisang-pisang liar: Musa acuminata Colla var. cerifera,
M. acuminata Colla var. malaccensis (Ridl.) Nasution,
M. acuminata Colla var. nakaii, M. acuminata Colla
var. zebrina, dan M. salaccensis
Zoll. Pisang-pisang liar ini dapat
ditemukan pada ketinggian 200 -
1100 m dpl.
Karakter Morfologi
M. acuminata Colla var. cerifera
(Back.) Nasution.
Nasution (1991) mempertelakan
varietas ini dengan ciri-ciri batang
semu tinggi-besar, perbungaannya
mencapai 1,5 meter, pertama
kali tumbuh secara horisontal
kemudian menjuntai, berbulu
warna cokelat. Buah dan bunga
terdiri atas 2 baris.
Dalam satu tandan terdiri atas
7-8 sisir, satu sisir terdapat 8-16
buah. Buah berukuran sedang,
berdiameter 7-8 cm. Biji banyak,
90-100 biji per buah, bentuknya
tidak beraturan, diameter 4,7-5,2
cm, berwarna hitam ketika matang.
Jantung berbentuk bulat telur,
diameter 9-11 cm, ujung tumpul,
bagian luar berwana ungu, bagian
dalam berwarna ungu terang, tidak
terdapat lapisan lilin.
Masyarakat setempat menyebut
pisang ini dengan cau kole. Varietas
ini tumbuh pada tempat terbuka
pada ketinggian 200-500 m dpl.
M. acuminata Colla var.
malaccensis (Ridl.) Nasution
Varietas ini pertama kali
dipertelakan oleh Nasution (1991)
sebagai tanaman herba dengan
perawakan tinggi besar, serupa
dengan M. acuminata Colla var.
cerifera. Tinggi batang semu
mencapai 6 m, diameter 17-18 cm,
berbecak coklat.
Permukaan atas dan bawah daun
berwarna hijau, panjang daun 2,5-
3,5 cm, lebar 60-70 cm, bagian
dasar daun tidak simetri, lapisan
lilin sangat sedikit. Tangkai daun
berwarna hijau dengan bercak-
bercak cokelat pada bagian
dasarnya, panjang 45-55 cm.
Perbungaan horisontal kemudian
menjuntai, panjang mencapai 2,2
m, tangkainya berbulu cokelat.
Jantung bulat telur, permukaan luar
berwarna merah keunguan, bagian
dalam berwarna merah terang,
panjang 9-16 cm. Bunga dan buah
tersusun dalam 2 baris, terdapat
10-12 sisir, tiap sisir terdapat 16-18
buah.
Buah berukuran sedang, lokos,
panjang 8-9 cm, diameter 1.5-1.8
cm, kulit buah tipis, buah berwarna
kuning ketika matang. Biji 60-70
per buah, bentuk tidak beraturan,
pipih, berwarna hitam ketika
matang.
Masyarakat Sunda mengenal M.
acuminata Colla var. malaccensis
dengan sebutan cau kole atau
cau kees. Selain di Jawa Barat,
varietas ini juga dapat ditemukan
tumbuh liar di Sumatera Utara
dan Mentawai pada ketinggian
300-1750 m dari permukaan laut,
di tempat terbuka, di sepanjang
sungai, atau di lereng gunung.
Selain itu ditemukan juga di
Semenanjung Malaysia (Nasution,
1991).
Di kawasan Gunung Salak varietas
ini merupakan varietas pisang liar
yang cukup mendominasi. Dapat
ditemukan di tempat terbuka, di
lereng gunung, di tepi sungai, pada
ketinggian 550-1100 m dpl.
M. acuminata Colla var. nakaii
Nasution
Sama halnya dengan varietas
malaccensis, varietas ini dikenal
oleh masyarakat setempat dengan
sebutan cau kole atau pisang hutan.
Varietas ini ditemukan tumbuh
secara liar di tempat terbuka pada
ketinggian 400-500 m dpl.
Nasution (1991) mempertelakannya Salah satu jenis pisang liar yang hidup di Gunung Salak,
Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat, Musa
accuminata Colla var. malaccensis (Ridl) Nasution.
sebagai varietas dengan batang
semu yang langsing, tinggi
Lulut D. Sulistyaningsih mencapai 4,5 m, diameter 10-13 cm, berbecak cokelat tanpa lapisan
lilin. Helaian daun berbentuk
lanset, panjang 270-280 cm,
lebar 45-50 cm, permukaan daun
bagian atas berwarna hijau dengan
bercak-bercak berwarna cokelat,
bagian bawah berwarna merah
kecokelatan.
Perbungaan horisontal, lalu
menjuntai, panjang mencapai 1,5 m,
tangkai perbungaan berbulu halus
warna cokelat. Buah dan bunga
tersusun dalam 2 baris, terdapat
4-6 sisir, tiap sisir 16-18 buah. Buah
berukuran sedang, panjang 8-8,5
cm, diameter 1,5-2 cm, berbulu.
29
M. salaccensis yang diduga keberadaannya
telah punah di habitat asalnya,
masih dapat ditemukan di beberapa
kawasan Gunung Salak. Biji banyak, 60-80 biji per buah,
bentuknya tidak beraturan, pipih,
lebar 4,6-5 cm, berwarna hitam
ketika sudah matang.
M. acuminata Colla var. zebrina (v.
Houtte) Nasution
Secara sekilas, varietas ini mirip
dengan M. acuminata var. zebrina
karena memiliki bercak cokelat
tua di helaian daun bagian atas.
Seperti halnya varietas lain dari M.
acuminata, varietas ini dipertelakan
oleh Nasution (1991).
M. acuminata var. zebrina mem-
punyai batang semu yang langsing,
tinggi 2-2,7 m, diameter 6-9 cm,
bebercak cokelat tanpa lapisan lilin.
Panjang helaian daun 1,3-1,5 m,
lebar 26-34 cm, permukaan atas
berwarna hijau kadang-kadang
dihiasi dengan bercak-bercak
cokelat.
Panjang tangkai daun 35-
40 cm, sisi-sisi tangkai daun
tidak melengkung. Perbungaan
horisontal lalu menjuntai, panjang
mencapai 1.1 m. Jantung menyirap.
Bunga dan buah tersusun dalam 2
baris, terdapat 5-8 sisir, tiap sisir
14-16 buah. Buah kecil, panjang
5-6.6 cm.
Biji banyak, 60-80 biji per buah,
bentuk tidak beraturan, pipih,
berwarna hitam ketika matang.
Varietas ini banyak dijumpai
tumbuh liar di tempat-tempat
terbuka pada ketinggian 250-
900 m dpl. Masyarakat Sunda
mengenalnya dengan sebutan cau
kole atau cau kees.
30
M. salaccensis Zoll.
Jenis ini merupakan tanaman asli
Indonesia, pertama kali ditemukan
di Gunung Salak, Jawa Barat, dan
dideskripsikan pertama kali oleh
Zollinger pada 1854. Selain dapat
ditemukan di Jawa, M. salaccensis
Zoll. tumbuh liar di Sumatera,
seperti di Taman Nasional Gunung
Leuser, Tapanuli Selatan, Sumatera
Barat, dan Bengkulu (Nasution,
1994).
Häkkinen dan Väre (2009)
melaporkan, kemungkinan ke-
beradaan jenis ini di Pulau Jawa
telah punah. Dari hasil eksplorasi
di kawasan Gunung Salak, yang
merupakan habitat asalnya, jenis ini
masih dapat ditemukan di beberapa
kawasan di Gunung Salak, seperti
di jalur pendakian menuju Curug
Kabayan dan daerah Cimelati.
Secara morfologi jenis ini
berperawakan kecil setinggi
1-3 m. Daunnya kecil, pangkal
tidak seimbang, ujung tumpul.
Perbungaan tegak, berwarna ungu,
dihiasi dengan garis melintang
merah-jambu, hal inilah yang
menjadikan pisang ini tampak
menarik.
Jantung mekar berbentuk jorong,
sangat menyirap dengan ujung
tumpul. Braktea lanset, keunguan
dengan tepi hijau, berkilau, licin
dengan ujung tumpul. Bunga dan
buah tersusun dalam satu baris.
Setiap sisir terdapat 2-4 buah,
berbentuk silindris, agak bersegi
empat, agak melengkung, panjang 9
cm dengan tangkai pendek, panjang
0,2 cm. Biji banyak, berbentuk
sungsang dengan ornamen garis
cincin kecokelatan pada bagian
tengah, berwarna hitam ketika
sudah matang.
Kesimpulan
Gunung Salak merupakan habitat
yang luas untuk pisang-pisang
liar. Selama eksplorasi, ditemukan
dua jenis pisang liar, yaitu Musa
acuminata Colla dan M. salaccensis
Zoll.
Untuk M. acuminata Colla,
sebanyak 4 varietas telah ditemukan:
M. acuminata Colla var. cerifera
Nasution, M. acuminata Colla
var. malaccensis (Ridl.) Nasution,
M. acuminata Colla var. nakaii
Nasution, dan M. acuminata Colla
var. zebrina (v. Houtte) Nasution.
Pisang liar yang mendominasi
kawasan Gunung Salak adalah M.
acuminata Colla var. malaccensis
(Ridl.) Nasution.
Sedangkan M. salaccensis yang
diduga keberadaannya telah
punah di habitat asalnya, masih
dapat ditemukan di beberapa
kawasan Gunung Salak, seperti di
jalur menuju Curug Kabayan dan
Cimelati.***
Penulis bekerja di Herbarium Bogoriense,
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi
- LIPI, Jl. Raya Bogor - Jakarta Km. 46,
Cibinong Science Centre, Cibinong 16911.
B
Swiss Winasis
Populasi banteng terus menyusut.
Ikhtiar pelestariannya diarahkan pada
pengelolaan habitat.
anteng, Bos javanicus; kerbau liar, Bubalus
bubalis; dan rusa, Cervus timorensis merupakan
Muhammad Yusuf Sabarno
Banteng, dari waktu ke waktu
Salah satu petunjuk keberhasilan upaya pelestarian
bagian dari satwa liar yang berperan penting satwa liar secara in situ adalah semakin meningkatnya
bagi eksistensi Taman Nasional Baluran, Situbondo,
Jawa Timur.
Seiring waktu, terjadi perkembang-an kondisi
Baluran yang mem-pengaruhi kehidupan satwa liar.
Diantaranya, terbatasnya sumber air minum satwa saat
kemarau, perburuan liar dan aktivitas masyarakat di
dalam hutan.
Selain berakibat pada perubahan perilaku dan
pergerakan satwa, keadaan itu bisa menurunkan
populasi satwa. Di antara ketiga satwa tersebut, banteng
menjadi maskot Baluran yang memerlukan perhatian
khusus dalam pengelola-an populasinya.
Status satwa gelap berpantat putih itu, menurut Data
Merah (Red Data Book) - IUCN (1978) termasuk
rawan (vurnerable). Oleh karena itu, aspek populasi,
perilaku, penyebaran, dan habitat banteng perlu kajian
mendalam. Tulisan ini bermaksud menyampaikan
analisis sederhana atas kondisi yang terjadi dan
sekaligus berupaya mencari solusi.
populasi sesuai dengan kapaitas daya dukung kawasan.
Perkembangan populasi mamalia besar di Baluran
dapat diketahui, salah satunya, dengan memantau
melalui sensus (Lihat Infografis).
Dari sejumlah sensus mamalia, terutama banteng
dan kerbau liar, yang dilakukan, diharapkan nampak
representasi populasi satwa liar. Pemantauan populasi
mamalia besar telah dimulai sejak dahulu, bahkan
ketika Baluran masih berstatus suaka margasatwa.
Selain dari sensus, didukung pula hasil pemantauan
dari petugas di lapangan yang menyatakan terjadi
penurunan frekuensi perjumpaan banteng. Kian
menurunnya populasi banteng menerbitkan
keprihatinan sehingga diperlukan kajian menyeluruh.
Harapannya, diperoleh langkah-langkah dan alternatif
untuk meningkatkan jumlah banteng.
Pelecut Menurunnya Populasi Banteng
Sejumlah faktor yang saling terkait menyebabkan
menurunnya populasi banteng di Baluran.
31
Air
Baluran dikenal sebagai daerah
kering dengan curah hujan tahunan
yang rendah. Sebagai habitat satwa
liar, ketersediaan air di Baluran
sangat penting untuk menopang
kehidupan satwaliar. Sumber air di
Baluran sangat terbatas di sejumlah
titik, mulai Perengan hingga Bama-
Batu hitam, yang membentuk
kubangan-kubangan alami.
Alternatif yang lain, Sungai
Bajulmati dan Klokoran; hanya saja
dua sungai itu rawan karena berada
di batas kawasan bagian selatan.
Kurun 1980 - 1990-an pasokan air
cukup terbantu dengan aliran dari
Talpat dan Kacip ke Bekol. Hanya
saja, pada 2002-2003, aliran air ke
Bekol terhenti akibat pipa dan bak
penampungan air rusak. Hal ini
juga diperparah dengan hilangnya
mata air di Talpat.
Kualitas dan kuantitas kubangan
alami juga menurun lantaran
populasi kerbau liar semakin
berkurang. Pada Februari - Oktober
1985 ditangkap 162 ekor kerbau
liar dan Oktober - November 1989
ditangkap 205 ekor. Penjarangan
populasi kerbau liar itu untuk
bantuan presiden (banpres) bagi
petani unggulan di Jawa Timur.
Dampaknya telak. Populasi kerbau
liar sebelum dijarangi mencapai
1200 ekor lebih berkurang drastis
hingga sekarang. Dalih waktu itu,
populasi kerbau liar dipandang
menekan kehidupan banteng.
Padahal, saat populasinya masih
cukup banyak, kerbau liar yang
sering berkubang berdampak positif
bagi terpeliharanya kubangan
(sumber air): mengencerkan
sumber mata air, sehingga tak
tertutup endapan lumpur atau
lumpur yang menempel di tubuh
kerbau mengurangi volume
endapan.
Perubahan Habitat
Habitat yang berubah bisa
berdampak positif maupun negatif.
Sebagai kesatuan ekosistem,
perubahan kondisi kawasan akan
berpengaruh pada satwa liar. Saat
ini habitat banteng telah berubah
secara drastis.
Serbuan Akasia Duri
Savana sebagai salah satu habitat
utama banteng, kerbau liar dan
rusa Baluran, pada mulanya tidak
terlalu luas dan terpisah-pisah.
Kemudian, akibat kebakaran hutan,
areal savana bertambah luas.
Untuk mencegah penyebaran
kebakaran dari savana Bekol ke
hutan musim, pada 1969 (masih
suaka margasatwa) pihak pengelola
menanam akasia duri, Acacia
nilotica, sebagai sekat bakar.
Meski menurut Schuurmans
(1993) tidak diketahui sejak kapan
akasia duri mulai tersebar, diduga
tanaman ini telah diintroduksi
pada awal 1960-an, atau bahkan
sebelumnya. Dari foto yang
diambil pada 1980, belum nampak
gangguan yang berarti. Ekspansi
yang cepat diperkirakan mulai
1983 (Nazif via Schuurmans, 1993).
Hasil pengamatan pada 1981,
akasia duri di savana Bekol tumbuh
berkerapatan 75 batang per hektare
(Makmur via Ridwan, 1988). Pada
1986, kerapatan 3.337 batang per
hektare, sedangkan tahun 1987
kerapatan kumulatif dari berbagai
tingkat pertumbuhan sebesar 5.369
batang setiap hektare (Ridwan,
1988).
Sejumlah faktor melecut penyebar-
an tanaman ini: kondisi alam,
tanah, dan iklim, cocok untuk
pertumbuhan duri (Singh via
Schuurmans, 1993); padang rum-
put yang terbuka; produksi biji
yang sangat banyak; tahan api
dengan kemampuan beradaptasi di
daerah kering.
Selain itu, penyebaran biji juga
terbantu oleh satwa herbivora.
Polong akasia duri yang jatuh ke
lantai hutan dimakan banteng,
kerbau liar dan rusa dan bersama
kotoran satwa tersebut tersebar ke
lokasi lain.
Campur tangan manusia
Akasia duri yang menyebar luas di
Baluran juga mendorong kegiatan
pemberantasan tanaman ini. Ini
juga berarti mengundang campur
tangan manusia di dalam kawasan.
Di samping itu, aktivitas manusia
juga menyebabkan fragmentasi
habitat banteng yang berujung
Beberapa Bentuk Fragmentasi Habitat di Taman Nasional Baluran
No Bentuk Fragmentasi Habitat
Luas
(Hektar)
Lokasi
1 Pemukiman eks Hak Guna Usaha PT. Gunung Kumitir 360 Labuan Merak
2 Translok TNI - AD 57 Pandean.
3 Areal Penggembalaan Liar 3.450 wilayah Karangtekok
4 Pembangunan Waduk Bajulmati 28 Luasan TN Baluran terendam. Di Wonorejo, Batas
kawasan
5 Penggunaan lahan Tanah Gentong 22,33 Karangtekok
32
25
2006 100 - 150
81 - 115
Sebelum 1968 113
2002
Pasokan air dari
1980
312 - 338
1996
1983
Polong atau biji
akasia duri mulai
menjadi pakan
banteng dan
1969 mamalia herbivora
Akasia duri lainnya. Banteng
ditanam di Suaka mulai menjadi
Margasatwa ‘penyebar’ biji akasia
Baluran untuk duri di daerah
sekat bakar. jelajahnya.
1980
Baluran menjadi
Taman Nasional.
Tanaman dari
antah-berantah ini
mulai menunjukkan
tanda-tanda
serbuan.
219 - 267
282 2000
1997
1994 - 1999
Cara pemberantasan
berganti dengan alat
berat (secara mekanik)
dan dipandang cukup
berhasil. Namun cara
ini merombak struktur
dan tekstur tanah yang
berakibat tumbuhnya
rumput musiman,
menggusur rumput
klimaks padang Baluran.
1990 - 1993
Akasia duri
menyebar
dan melumat
padang rumput.
Pemberantasan
mulai dilakukan
dengan sistem
katrol.
33
Kacip dan Talpat
mulai berhenti
www.wikimedia.com
2000 - kini
Teknik pemberantasan
diganti dengan
tebang dan bakar
tonggak. Dianggap
lebih efektif,
dengan syarat ada
pemerliharaan lahan
usai pemberantasan.
pada penciutan dan penurunan
kualitas habitat.
Campur tangan manusia secara
gamblang juga terlihat dari
perburuan liar di Baluran yang
telah berlangsung sejak lama.
Sasaran utamanya banteng dan
satwa mamalia besar lainnya.
Perburuan liar dilakukan dengan
berbagai cara, di antaranya dengan
senjata api, jerat seling (kawat
besi) dan meracuni sumber air.
Para pemburu liar cukup lihai
menghindari petugas, sehingga
pelanggaran ini sering sulit
dipantau.
Pemangsaan
Ajak atau Cuon alpinus berperan
penting sebagai pemangsa
(predator) dalam rantai makanan
melalui hubungan mangsa-
pemangsa. Hanya saja, satwa
predator akan menjadi masalah
bila peningkatan populasinya tidak
seimbang dengan jumlah satwa
yang dimangsa.
Indikasi hal itu muncul di Baluran,
walaupun tanpa sensus khusus,
dengan adanya makin seringnya
perjumpaan langsung petugas
dengan ajak yang ditengarai sejak
2001. Dari hasil perjumpaan satwa
ini, pada periode 2004 -2005
dijumpai jumlah ajak antara 2 -
36 ekor. Begitu juga dari laporan
ditemukannya beberapa satwa
korban serangan ajak.
Ajak sering beraktivitas antara
pukul 05.00 - 10.00 dan pukul
15.00 - 18.00. Satwa ini lebih
terkonsentrasi di sisi timur dan
utara Baluran, karena di sini
dijumpai satwa herbivora sebagai
mangsanya, dan relatif lebih aman
dari berbagai gangguan.
Dari petunjuk awal itu, perlu
pengamatan dan pengendalian
untuk menjaga keseimbangan
antara satwa mangsa dan pemangsa
34
agar kelestarian satwa liar, terutama
banteng, dapat lebih terjamin.
Memulihkan Banteng
Untuk melestarikan dan melindungi
satwa liar yang terancam, diperlukan
pemahaman tentang hubungan
biologi antara satwa liar tersebut
dengan lingkungannya dan status
populasinya. Informasi itu dapat
berupa sejarah perkembangan
habitat dan populasinya.
Berbekal informasi sejarah tersebut,
diharapkan upaya pengelolaan
populasi satwa yang terancam
dapat lebih efektif, serta mengenali
faktor-faktor pembatas yang dapat
mendorong menuju kepunahan.
Selain itu, dengan melihat berbagai
uraian di muka, hal yang mendesak
adalah upaya perbaikan habitat
sebagai penunjang kehidupan
banteng. Air menjadi komponen
habitat yang sangat dibutuhkan
banteng—dan satwaliar lainnya.
Sumber air minum satwa harus
mendapat perhatian dan prioritas
pengelolaan.
Untuk itu, pemenuhan kebutuhan
air minum satwa saat musim
kemarau mutlak dilakukan. Dengan
demikian, perlu segera menelisik
secara menyeluruh potensi sumber
daya air yang bisa dipakai sebagai
penyedia utama maupun alternatif
di dalam Taman Nasional.
Kondisi kubangan-kubangan alami
juga perlu diperbaiki, dengan
mencari kembali titik-titik mata air
dan ”menggantikan peran” kerbau
liar dengan mengeruk endapan
lumpur yang menutupi sumber
mata air.
Selanjutnya, juga mencari sumber
air alternatif yang mampu
mendukung ketersediaan air
saat musim kemarau. Misalnya,
membuat sumur artesis maupun
sumur pompa khusus untuk
keperluan minum banteng.
Untuk menyediakan ruang yang
sesuai dengan banteng di Taman
Nasional, yaitu di savana Bekol dan
sekitarnya, diperlukan komponen
habitat yang sesuai dengan
perilaku dan kesukaan banteng.
Di antaranya, memulihkan
komponen-komponen habitat yang
diperlukan banteng: air, cover, dan
pakan.
Untuk mengurangi gangguan
manusia, perlu pengawasan dan
pemantauan terhadap suatu luasan
savana tertentu yang benar-benar
dijaga secara serius dari aktivitas
manusia. Pun, pengamanan dan
patroli di dalam kawasan.
Sementara itu, untuk
mengendalikan ajak perlu tindak
lanjut dari upaya sebelumnya
dengan menyisir lokasi-lokasi yang
ditengarai sebagai sarang hewan
pemangsa ini. Jika sarang-sarang
ajak ditemukan, salah satu langkah
yang bisa diambil adalah membuat
satwa ini tidak betah berdiam.
Penutup
Untuk mewujudkan pengelolaan
populasi satwaliar yang lestari
diperlukan berbagai upaya yang
maksimal. Faktor-faktor yang
berpengaruh pada menyusutnya
populasi banteng harus dikelola
dengan baik, agar niat pelestarian
maskot Baluran ini kembali
terwujud.
Dengan beragam penyebab yang
saling terkait, pemulihan banteng
memerlukan skala prioritas dalam
penanganan dan mengantisipasi
faktor-faktor pembatas yang ada.
Pemulihan populasi banteng, yang
berperan sebagai satwa bendera
(flagship species), juga berarti
melestarikan mamalia besar
lainnya.***
Penulis adalah staf pengendali ekosistem
hutan (PEH) Taman Nasional Baluran.
S
Judul : Situs Keramat Alami-Peran
Budaya dalam Konservasi
Keanekaragaman Hayati
Penyunting : Herwasono Soedjito, Y.
Purwanto dan Endang Sukara
Halaman : xix + 303
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Khazanah budaya Nusantara belum
menginspirasi konservasi alam zaman modern.
uku Na’vi berjuang menyelamatkan tanah Peran tanah keramat dalam berkontribusi terhadap
keramatnya dari perusahaan yang hendak pelestarian belum lama menjadi perhatian. UNESCO
menambang unobtanium, logam paling berharga mulai melirik situs keramat alami berperan penting
di planet Pandora. Demi unobtanium, perusahaan itu
bertaruh apapun, termasuk hendak meluluh-lantakkan
pohon raksasa tempat hidup kaum Na’vi.
Kisah itu berasal dari Avatar, film tersohor yang meraih
penghargaan film terbaik Golden Globe. Avatar bertutur
tentang kemajuan zaman yang menggilas kekeramatan.
Dalam kehidupan nyata, kisah Avatar nyaris
terjadi di banyak tempat. Seringkali pembangunan
mengorbankan tanah-tanah adat yang dikeramatkan.
Bagi masyarakat tradisional ruang memang tak
seragam; sebagian untuk kehidupan sehari-hari,
sebagian yang lain untuk sesuatu yang suci.
dalam melestarikan keanekaragaman hayati pada 1997.
Sejak itu pula, badan pendidikan, sains dan budaya
PBB itu membentuk bagian khusus di bawah program
MAB (Man and the Biosphere).
Ekspresi budaya dalam bentuk situs keramat hampir
tersebar di seluruh negeri ini. Jejak-jejaknya masih
bisa dijumpai: mulai dari hutan larangan di daerah
Pasundan, tanah ulen di Kalimantan hingga sasi
di Maluku.
Area sakral alami sejatinya ekspresi pengakuan
masyarakat Nusantara terhadap jagad raya. Alam
mempengaruhi detak kehidupan masyarakat, yang
35
kemudian menerbitkan nilai-nilai
magis yang dianut oleh sebuah
kelompok manusia.
Tempat-tempat keramat juga
lazim mewujudkan fungsi-
fungsi pelestarian. Selain untuk
menghormati sesuatu yang
dipandang transeden, kekeramatan
juga mencakup praktik, ruang,
waktu, dan penghormatan atas
segala wujud kehidupan di dalam
sebuah tempat yang bernilai suci.
Leuweung titipan di kawasan
Gunung Halimun, Jawa Barat,
adalah contoh aspek keruangan
situs keramat. Warga kasepuhan
di kawasan Halimun menciptakan
sepenggal hutan yang terlarang.
Dalam praktiknya, di hutan ini tak
diperkenankan adanya eksploitasi
tanpa seizin pemimpin adat.
Beragam larangan diterapkan
dan dipatuhi warga kasepuhan
agar tak sembrono menjamah
hutan titipan ini. Dengan
menyatunya kekeramatan dalam
kehidupan masyarakat, situs
keramat, seperti leuweung titipan
ini, bisa berkontribusi dalam
konservasi alam.
Begitu juga masyarakat Baduy,
Jawa Barat, mengenal dengan apa
yang dalam taman nasional disebut
sebagai zonasi. Salah satunya, yang
sejajar dengan zona inti di taman
nasional, Orang Baduy memiliki
hutan sakral pusaka buana. Selain
untuk kepentingan religi, pusaka
buana bernilai penting dalam
pelestarian keanekargaman hayati.
Di sisi lain, pengetahuan religi
setempat yang memudar juga
membawa dampak mengerikan
bagi alam. Para penganut Marapu,
36
agama mata air dan hutan di Sumba,
meyakini tempat keramat untuk
bersujud adalah hutan-hutan dan
mata air.
Seiring perkembangan, agama
itu tergerus langkah zaman.
Punahnya Marapu ternyata juga
diiringi dengan pembabatan hutan.
Akibatnya, adat rotu, yang berarti
melindungi dan menjaga alam,
mulai ditinggalkan.
Padahal adat inilah yang menata
relasi masyarakat dengan sumber
daya alamnya: mengatur pengelola-
an hasil hutan atau rotu omang;
tanaman perdagangan atau rotu
pingi ai; dan pengelolaan ternak dan
padang gembala atau rotu marada.
Meski relasi kekeramatan dan
konservasi begitu kasat mata,
namun ikhtiar pelestarian masih
berjarak dengan situs-situs suci.
Kekayaan artefak kekeramatan
yang menghiasi hampir di seluruh
Nusantara belum diikat-eratkan
pada upaya konservasi modern.
Konservasi modern yang berpijak
pada rasionalitas seharusnya
dipadukan dengan pemahaman
budaya manusia. Indonesia tidak
hanya memiliki keanekaragaman
hayati, namun juga berlimpah
kekayaan spiritualitas budaya.
Dua kutub kebhinekaan itu,
sejatinya, saling melengkapi dan
mempengaruhi.
Masih berpisahnya kedua keaneka-
ragaman itu terlihat dari belum
digunakannya pengetahuan lokal,
yang salah satunya berupa tempat
sakral, sebagai sumber inspirasi
kebijakan dan pengelolaan ka-
wasan konservasi. Padahal, te-
ladan-teladan pengetahuan lokal
Nusantara bisa menjadi gudang
gagasan pelestarian yang murah,
dekat dengan masyarakat, dan
efektif.
Pada tataran wacana memang telah
berkembang tentang pentingnya
pengetahuan lokal untuk di-
pertimbangkan dalam konservasi
alam. Namun, wacana itu juga
sering cepat memudar, secepat
munculnya wacana, dan nyaris tak
berjejak dalam upaya pelestarian.
Baru Langkah Awal
Pustaka ini merupakan buhul
berbagai khazanah tradisi tempat
keramat dari berbagai daerah di
Indonesia. Selain berisi berbagai
hasil penelitian ihwal situs keramat
alami, buku ini juga membentangkan
kembali ikatan erat antara budaya
dan keanekaragaman hayati.
Beragam riset yang telah dilakukan
sejumlah peneliti itu diharapkan
dapat memberikan sentuhan ilmiah
pada pengetahuan lokal yang
ada. Ini merevitalisasi nilai-nilai
budaya yang telah ribuan tahun
berkembang di Nusantara dalam
konteks kehidupan modern.
Dari sini, benturan yang sering
terjadi antara pandangan masyara-
kat lokal dengan wawasan modern
bisa dihindari. Yang hendak di-
raih, tentu saja, kekeramatan bisa
bergandengan tangan dengan kon-
sep modern konservasi kekayaan
hayati.
Mengingat situs keramat alami
telah berkembang selama berabad-
abad, berbagai telaah dalam
pustaka ini baru pijakan awal untuk
mendudukkan pengetahuan lokal
sebagai penyumbang gagasan dalam
konservasi. ***