B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan,...

38
B ISSN 1693-6388 Edisi V, Maret 2010 ergelayutan di pepohonan nan tinggi, owa jawa, Hylobates moloch, menjadi penjelajah tajuk-tajuk hutan yang tersisa di Pulau Jawa. Primata bertungkai Jutaan manusia di Pulau Jawa telah mendesak owa jawa ke kawasan hutan yang tersisa dan terpenggal-penggal. Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, Vol IX, No.5 Maret 2010 lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di Jawa sisi barat dan bagian tengah Jawa. Owa jawa yang berdiam di Jawa Barat berwarna lebih gelap dibandingkan kerabatnya yang berada di Jawa bagian tengah. Primata tak berekor ini berwatak arboreal: sebagian besar hidup di atas pohon dan jarang turun ke tanah. Owa jawa menyusuri hutan dengan bergerak dari satu pohon ke pohon. Dengan demikian, kelangsungan hidup satwa ini mensyaratkan hutan yang lebat dan rimbun. P. Jawa Sebaran owa jawa Dihimpun dari segala sumber pepohonan juga menyediakan sumber pakan owa jawa. Andaikan pakan melimpah, namun tajuk pohon terputus-putus, satwa ini hanya akan sekarat di lumbung pakannya. Masa depan yang suram tercermin dari masuknya owa jawa dalam barisan satwa kritis (Critically endangered) dalam Daftar Merah IUCN dan Apendiks I CITES: dilarang untuk didagangkan. Meski jumlah populasi tak pasti, diperkirakan jumlah owa jawa di alam tak lebih dari kisaran 4.000 - 4500 ekor.

Transcript of B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan,...

Page 1: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

B

ISSN 1693-6388 Edisi V, Maret 2010

ergelayutan di pepohonan nan tinggi, owa jawa,

Hylobates moloch, menjadi penjelajah tajuk-tajuk

hutan yang tersisa di Pulau Jawa. Primata bertungkai

Jutaan manusia di Pulau Jawa telah mendesak owa jawa

ke kawasan hutan yang tersisa dan terpenggal-penggal.

Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan,

Vol IX, No.5 Maret 2010

lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan

beberapa keping belantara di Jawa sisi barat dan bagian

tengah Jawa. Owa jawa yang berdiam di Jawa Barat berwarna

lebih gelap dibandingkan kerabatnya yang berada di Jawa

bagian tengah.

Primata tak berekor ini berwatak arboreal: sebagian besar

hidup di atas pohon dan jarang turun ke tanah. Owa jawa

menyusuri hutan dengan bergerak dari satu pohon ke

pohon. Dengan demikian, kelangsungan hidup satwa ini

mensyaratkan hutan yang lebat dan rimbun.

P. Jawa

Sebaran owa jawa

Dihimpun dari segala sumber

pepohonan juga menyediakan sumber pakan owa

jawa. Andaikan pakan melimpah, namun tajuk pohon

terputus-putus, satwa ini hanya akan sekarat di lumbung

pakannya.

Masa depan yang suram tercermin dari masuknya owa

jawa dalam barisan satwa kritis (Critically endangered)

dalam Daftar Merah IUCN dan Apendiks I CITES:

dilarang untuk didagangkan. Meski jumlah populasi tak

pasti, diperkirakan jumlah owa jawa di alam tak lebih

dari kisaran 4.000 - 4500 ekor.

Page 2: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

M

SUSUNAN REDAKSI PENANGGUNG JAWAB

Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA

PEMIMPIN REDAKSI Agus Haryanta

(Kepala Sub Direktorat Informasi Konservasi Alam)

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI

Pam E. Minnigh

(Direktur Eksekutif Pusat Informasi Lingkungan Indonesia - Green Network)

REDAKTUR PELAKSANA Kepala Seksi Analisis Data dan Publikasi

Putri Indonesia 2009 Qory Sandioriva (ketiga dari kiri) didampingi Zukhriatul Hafizah, Putri

Indonesia Lingkungan 2009 (terkiri) Isti Ayu Pratiwi, Putri Indonesia Pariwisata 2009 (kedua dari

kiri) mengunjungi Pusat Penyelamatan Satwa - Animal Sanctuary Trust Indonesia Gadog, Bogor.

Andhika Vega Praputra Kepala Seksi Pengembangan Sistem Informasi

EDITOR Kasubdit Ditjen PHKA

Agus Prijono (PILI-Green Network)

endung bulan Maret yang

menggelayut di langit

satwa belang berkumis itu. Qory

menambahkan, tak sedikit orang rela

Prancis di Universitas Indonesia.

Dengan begitu, mamalia pemakan

Bisro Sya’bani (Pusat Informasi Konservasi Alam)

KONTRIBUTOR Gadog, Bogor, seakan mengeluarkan uang banyak untuk daging itu akan menjalankan Seluruh staff lingkup Ditjen PHKA pusat dan daerah

ikut merasakan kegelisahan Puteri

Indonesia 2009 Qory Sandioriva.

Qory, sapaan akrabnya, resah

melihat kenyataan nasib harimau

sumatera, Panthera tigris sumatrae,

yang sedang di tubir kepunahan.

Sejak Departemen Kehutanan

menobatkannya sebagai Duta

Harimau pada Januari silam,

kesibukan Qory kini akrab dengan

pelestarian satwa pemangsa itu.

Dara asal Aceh ini berkesempatan

menyambangi empat ekor ha-

rimau sumatera yang sedang

menghuni kandang transit di Pusat

Penyelamatan Satwa - Animal

Sanctuary Trust Indonesia Gadog

(PPS - ASTI Gadog). “Kucing besar

ini terancam oleh banyak hal. Salah

satunya, makin menyempitnya

kawasan hutan yang menjadi tempat

hidupnya,” tutur Qory.

Demikian pula, maraknya per-

dagangan ilegal juga mengancam

memelihara harimau su-matera. “Tak

hanya dalam keadaan hidup, bahkan,

bagian tubuh ha-rimau hasil awetan

pun banyak diburu para kolektor.”

Peraturan pemerintah memang

melarang perburuan, perdagangan,

serta kepemilikan satwa ilegal

untuk menjaga keberadaan satwa

kharismatis ini. “Namun, hukum

masih perlu ditegakkan, agar

menimbulkan efek jera,” ujar gadis

belia 18 tahun ini.

Selain itu, sisi ekonomi dari

perdagangan ilegal satwa juga

perlu dipertimbangkan. Qory

menghimbau masyarakat untuk

menghindari perdagangan ilegal.

“Kalau tidak ikut membeli, khan,

pasti lama-lama tak ada yang

menjual,” tambahnya.

“Seharusnya harimau sumatera bisa

hidup tenang di alam,” ujar gadis

yang masih menempuh studi Sastra

perannya sebagai pemangsa pun-cak

pada rantai makanan untuk menjaga

keseimbangan ekosistem.

“Terkadang kita salah kaprah,

menyayangi dengan cara meme-

liharanya di kandang,” papar

Qory, “dan, memberi makanan

yang menurut kita baik.” Harimau

sumatera seharusnya hidup se-

suai dengan kebiasaannya di alam.

“Jika kita memeliharanya di rumah,

akan membuat harimau sumatera

menderita secara fisik dan psikologis,”

ujar Qory.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai

Duta Harimau, Qory lebih menyasar

kalangan muda. Dirinya akan

menggunakan pendekatan ajakan,

dan memberi teladan bagi generasi

penerus. Menurut Qory, pendekatan

itu lebih baik dibandingkan cara

penegakan hukum. “Pendidikan

konservasi berbasis character building

juga baik.” ***AVP

Mitra kerja Ditjen PHKA

PILI Green-Network

DESAIN Rifky (PILI-Green Network)

JURNALIS FOTO Pusat Informasi Konservasi Alam

Pusat Informasi lingkungan Indonesia

FOTO COVER DEPAN: Karya: Agus Sartono, Erwin Sugandhi, Bisro Sya’bani, Padmaseputra

Purba dan Rifky

Alamat Redaksi Gedung Pusat Informasi Konservasi Alam

Jl. Raya Pajajaran No. 79

Bogor

Tlp.: +62 251 8357959

Fax: +62 251 8357960

Email: [email protected]

Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan bekerja

sama dengan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI-Green Network)

dengan tujuan untuk media komunikasi dan penyebarluasan berbagai

informasi diantara para pengelola kawasan konservasi, praktisi, peneliti,

pemerhati dan berbagai pihak yang terkait dalam upaya konservasi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya Agus Sartono

Page 3: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

U

Bukan soal Album Lama

sia tigapuluh tahun memang belumlah terlalu

tua jika dibandingkan dengan kelahiran

pertama taman nasional di muka Bumi

dan pelestarian inilah yang melecut Indonesia

mengikuti angin global tiga dekade lalu.

pada 1887; dan baru pada dekade 1960-an demam

pembentukan taman nasional berhembus di

seluruh dunia.

Namun, jika dikaitkan dengan kemajuan

zaman yang terus bergeser, perjalanan tiga

dasawarsa telah cukup meninggalkan

banyak jejak untuk merefleksikan

kembali keberadaan taman nasional.

Bagi Indra Arinal, kepala Balai

Taman Nasional Baluran, gerak

lima taman nasional pertama

itu tak sebanding dengan

usianya. “Secara keseluruhan

perkembangan yang ada

tak semaju sesuai usianya,”

terang Indra.

Dari lima menjadi 50 taman

nasional selama tiga dekade

adalah kenaikan yang lumayan.

Itung-itungan kasarnya, setiap

setahun berdiri 3 taman nasional.

Di balik tirai statistik itu, terbeber

kisah pergulatan riuh di setiap

taman nasional.

Mengurai kembali jejak lima taman pertama bukanlah

seperti membuka album lama. Ini seperti mendedah

kembali niat bangsa ini dalam menyisihkan kekayaan

alamnya bagi generasi mendatang.

Nyaris semua taman nasional pertama di Indonesia

itu menampilkan gambaran besar tarik ulur antara

desakan kepentingan dari luar dengan niat luhur

pelestarian di jantung taman nasional.

Dikelola dengan pembagian mintakat, aspek

pemanfaatan di taman nasional bukanlah barang

haram. Hanya saja pemanfaatan sepenggal areal

taman nasional tak bisa sembarangan dan tetap harus

mengindahkan pelestarian. Perkawinan pemanfaatan

Prinsip yang telah terang benderang ini rupanya

tak sepenuhnya bisa dikuyah oleh beragam

kepentingan yang mengepung taman nasional.

Zaman terus beringsut dan prinsip itu memudar.

Sementara itu, dari dalam kawasan, yang

memangku beragam kekayaan hayati,

pengelolaan taman nasional pertama itu

juga tak setentram kedamaian alamnya.

Taman nasional selama ini ternyata

justru menampilkan penggalan-

penggalan ‘mazhab’ pengelolaan.

Dalam bahasa Indra,

pengelolaan taman nasional

lebih banyak pesanan

ketimbang dirancang sesuai

tujuan. Lantaran itu, arah

pengelolaan lebih banyak

dipengaruhi pengalaman

dan improvisasi kepala taman

nasional.

Tak mengherankan hampir

tidak ada pengelolaan yang

mencerminkan tujuan asli taman

nasional di Indonesia. Watak sosial,

budaya dan alam Indonesia yang berbeda dari

negeri taman nasional berasal, yakni Amerika Serikat,

belumlah mewarnai pengelolaan.

Benar kata Hariyanto C Putra dari Fakultas Kehutanan,

Institut Pertanian Bogor, yang menyatakan, ”Sekarang

ini baru tahap prakondisi.” Jika hal itu yang terjadi,

taman nasional tak bisa lagi menjadi ajang kontes

’mazhab’ tata kelolaan.

Sekedar mengingatkan, belum lama berlalu ada gagasan

bernas ihwal taman nasional model, yang kemudian

hendak meraih kemandirian taman. Sayangnya, ide itu

kini tak jelas capiannya. Taman nasional model, dan

kemandirian, hanya berkelebat sejenak, lantas, hilang

ditelan bumi. ***

1

Page 4: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

M

Surat dari Redaksi

ajalah yang sekarang berada

di genggaman para pembaca

Suprayitno Sakera

adalah edisi pertama Maret 2010. Laporan Utama Momentum tiga dekade taman nasional

pertama, yang diresmikan pada 6 Maret

1980, mendorong kami untuk menyajikan

liputan lima taman pertama. Selama

peliputan, kami menjumpai banyak

narasumber di Leuser, Ujungkulon, Gede

Pangrango, Baluran dan Komodo. Di sela-

sela kunjungan itu, kami juga mencoba

‘berpromosi’ keberadaan Majalah

Konservasi Alam ini. Harapan terbesar

kami, tak lain dan tak bukan, adalah

partisipasi para staf taman nasional

manapun untuk memperkaya materi

yang kami kelola. Kami meyakini, mereka

yang berada di garis depan pelestarian

sebenarnya banyak memendam

kekayaan pengetahuan dan pelajaran.

Majalah ini bisa menjadi wahana untuk

mengalirkan arus pengetahuan ke

khalayak yang lebih luas.

Selamat membaca.

Sumbangan Artikel

Redaksi Konservasi Alam menerima

sumbangan artikel dari para pembaca, baik

akademisi, peneliti, praktisi, pegiat lembaga

swadaya masyarakat (LSM) maupun staf

Departemen Kehutanan, yang berkaitan

dengan perlindungan hutan dan konservasi

alam.

Artikel ditulis dengan aksara Times New Roman

berukuran 12 sepanjang 2000 sampai 3000

kata. Berikut ini tata laksana penulisan artikel:

- Artikel yang bersifat ilmiah ditulis maksimal

3000 kata, sudah termasuk daftar pustaka.

Dalam keadaan tertentu, terutama untuk

menghemat jumlah halaman, daftar

pustaka akan disimpan di meja redaksi,

- Artikel populer maksimal 1500 kata,

termasuk daftar pustaka,

- Setiap artikel dilengkapi nama dan

identitas, jika tak keberatan juga nomer

telepon. Artikel juga bisa dilampiri foto-

foto yang berhubungan dengan isi tulisan,

- Artikel digital bisa dikirim ke:

[email protected]

Redaksi berhak menyunting tulisan yang

akan dimuat tanpa merubah isi yang hendak

disampaikan.

Tiga Dekade Silam

Tigapuluh tahun yang lalu, bumi Nusantara menyaksikan lahirnya lima

taman nasional pertama di Indonesia.

Cerlang Redup Etalase Alam

Gerbang wisata bagi khalayak ramai terbuka di taman nasional. Menjejak usia

tiga dasawarsa, sebagian gerbang kokoh berdiri, yang lain rapuh.

Lima Kisah dalam Tiga Dekade

Tigapuluh tahun bisa jadi waktu yang tepat untuk mendedah ulang satu

perjalanan, satu riwayat, untuk menatap masa depan.

Satu Hati untuk Leuser

“Kerja di bidang konservasi adalah pengabdian, harus pakai hati.”

Pengelolaan Tanpa Langgam

“Takut salah, ini salah. Kadang malah tidak berbuat apa-apa, biar tidak

salah.”

Merah-Hitam Para Perintis

Lima bentang alam, Leuser, Ujung Kulon, Gede Pangrango, Baluran dan

Ujung Kulon, bisa dipandang sebagai perintis sebuah kawasan untuk

kebanggaan bangsa yang menghampar di Khatulistiwa.

Sudut Pandang

Penunjukan Kawasan Hutan, Implikasinya Bagi Hutan Konservasi

Silang pendapat dari penunjukan baru kawasan hutan memunculkan

antinomi hukum.

Flora dan Fauna

Pisang-Pisang Liar Gunung Salak

Kekayaan flora yang masih jarang dilirik. Gunung Salak rumah terakhir

pisang asli Indonesia, Musa salaccensis Zoll.

Riset

Pemulihan Banteng di Baluran

Populasi banteng terus menyusut. Ikhtiar pelestariannya diarahkan pada

pengelolaan habitat.

Resensi Buku

Menyatukan Dua Kebhinekaan

Khazanah budaya Nusantara belum menginspirasi konservasi alam

zaman modern.

Page 5: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

T

igapuluh tahun yang lalu, bumi Nusantara

menyaksikan lahirnya lima taman nasional

pertama di Indonesia. Inilah lima taman yang

Berdirinya taman nasional menjadi tanda semakin

tebalnya tekad negeri ini untuk mengayomi lumbung

alam yang berisi jutaan taru dan tumbuhan unik. Dengan

dideklarasikan pada 6 Maret 1980: Leuser membentang

di belantara tropis Bukit Barisan Sumatera; Ujung

Kulon dan Baluran mengapit Pulau Jawa di sisi barat

dan timur, diselingi Gede Pangrango; dan, Komodo

berdiri tegak di ujung tertimur Tanah Air.

Lima taman sulung itu laksana mercusuar yang

menyinari tanah-tanah Nusantara yang lain untuk

mengikuti jejak rintisan itu; lantas, 11 taman nasional

baru menyusul lahir pada 1982. Dan, kini telah berbiak

menjadi 50 taman nasional.

demikian, keberadaan taman untuk kepentingan dan

kebanggaan nasional itu menuntut secuil ruang batin

bangsa ini untuk tetap menyimpan komitmennya bagi

pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan kawasan

konservasi.

Usai menjejaki bentang waktu 30 tahun, adakah

komitmen itu lapuk dan kian uzur seiring kelebat

zaman? Sebelum menengok satu per satu taman-taman

pertama di Indonesia, berikut ini disajikan sejarah yang

terentang sebelum lahirnya lima taman sulung itu.

Erwin Sugandhi

3

Page 6: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Agus Sartono

Alam yang teduh dan sejuk tersimpan di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, menyokong salah satu satwa paling kritis di dunia: badak jawa, Rhinoceros sondaicus.

MESKI TAMAN NASIONAL pertama di dunia telah berdiri

sejak 1887, perkembangan di tingkat global baru

dimulai pada 1962. Benih taman nasional tersemai

lewat Kongres Taman Nasional Sedunia Pertama 1962,

di San Diego, Amerika Serikat, yang lantas disusul

Kongres Kedua di Taman Nasional Yellowstone, juga di

Amerika Serikat, tahun 1972.

International Union for Conservation of Nature and

Natural Resources atau IUCN membidani kedua

Kongres itu. Indonesia baru mengikuti Kongres yang

kedua, dengan mengirim Otto Soemarwoto, Walman

Sinaga dan Rudi Tarumingkeng.

Effendy A. Sumardja mengisahkan kembali sepenggal

cerita itu di Kantor Pusat Informasi Konservasi Alam

(PIKA), Bogor. Ditemani camilan kecil nan renyah

dan kopi hangat, Effendy menuturkan kembali proses

terbentuknya taman nasional di Indonesia. Merunut

kembali riwayat taman nasional, seperti memutar

ulang kehidupan Effendy.

SUATU WAKTU PADA 1976, Effendy yang sedang studi di

Universitas Michigan, AS, kedatangan tamu Herman

Haeruman yang melalang buana untuk menjajaki

terbentuknya kementerian negara lingkungan hidup di

Indonesia—Dua tahun berselang, Kementerian Negara

Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup

(MN-PPLH) didirikan, Emil Salim menjabat menteri

4

dan salah satu asisten menteri dipegang Herman

Haeruman.

“Pak Herman mencari pengalaman dari negara-negara

lain,” kenang Effendy.

“Pak Herman berpesan: ‘Effendy, kalau bisa kamu belajar

di sini untuk membuat taman nasional di Indonesia.

Nanti ketika you pulang, saya akan kasih dana untuk

perencanaan dan harus jadi,’” ujar Effendy menuturkan

kembali pesan Herman yang saat itu bekerja di Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Pesan itu melecutnya mendalami hal-ihwal

taman nasional. Effendy memaparkan, kebetulan

pembimbingnya waktu itu adalah Sekretaris Jenderal

IUCN, Doktor Kenton R. Miller. Ketika rampung kuliah

tahun 1977, Effendy pulang ke Tanah Air dan bekerja

di WWF. “Menariknya, ketika IUCN mengadakan

suatu pertemuan, saya pasti diundang.”

Salah satunya, pada 1979 Effendy diundang pada

pertemuan Commission on National Parks and

Protected Areas (CNPPA, komisi taman nasional

dan kawasan lindung IUCN) di Australia. “Dalam

pertemuan itu, Komisi ini bingung,” papar Effendy,

“karena tidak ada respon ketika ada tawaran untuk

menjadi penyelenggara Kongres Taman Nasional

Sedunia yang ketiga.”

Page 7: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Satu-satunya negara yang me-

nawarkan diri sebagai tuan rumah

adalah Filipina, yang pada saat

itu di bawah kepemimpinan

Ferdinand Marcos. Sayangnya,

”Filipina sedang gonjang-ganjing,”

ujar Effendy. “Akhirnya, Kenton R.

Miller menawari saya, ‘Bisa nggak

Indonesia jadi tuan rumah?’”

Effendy lantas menanyakan

kesediaan menjadi tuan rumah

kepada Direktur Perlindungan dan

Pengawetan Alam (PPA) Lukito

Daryadi, dan diteruskan kepada

Direktur Jenderal Kehutanan saat

itu, Soedjarwo.

“Pak Djarwo setuju, mengingat

peserta kongres direncanakan hanya

400-500 orang,” papar Effendy. Hal

ini mengingat Indonesia pernah

menggelar World Forestry Conggres

ke-8, yang pesertanya mencapai

2000-an orang pada 1978.

Singkat cerita, Indonesia mengada-

kan persiapan untuk Kongres

Taman Nasional ke-3 yang

diselenggarakan di Bali, 11 - 22

Oktober 1982. “Inilah Kongres

Taman Nasional Sedunia yang

pertama kali diselenggarakan di

negara sedang berkembang,” papar

Effendy. Dua kongres sebelumnya

diselenggarakan di Amerika, yang

konsepnya sama sekali berbeda

dengan keadaan di Indonesia.

“Dalam Kongres di Bali, pada

Effendy A. Sumardja

intinya lebih menekankan pada

masyarakat,” kata Effendy.

Wakil Presiden Adam Malik

waktu itu membuka Kongres

yang dihadiri oleh para pengelola,

perencana taman nasional,

serta para pakar dari 68 negara.

“Kesiapan Indonesia menjadi tuan

rumah Kongres ini, menunjukkan

komitmen pemerintah terhadap

lingkungan dan bisa dipandang

sebagai bentuk tanggung jawab

dalam melestarikan kekayaan alam

Indonesia,” ucap Adam Malik saat

acara pembukaan.

“Hampir di setiap sesi, selalu

dipadati peserta,” ujar Agus Sartono,

staf Pusat Informasi Konservasi

Alam (PIKA), salah satu saksi mata

Kongres di Bali itu. “Begitu juga,

antusiasme peserta cukup tinggi

untuk mengunjungi sejumlah

kawasan calon taman nasional.”

Di sela-sela Kongres, tanggal

14 Oktober, Menteri Pertanian

Republik Indonesia Soedarsono

Hadisapoetro memang memanfaat-

kan momentum internasional

itu untuk mendeklarasikan 11

kawasan suaka alam sebagai calon

taman nasional atau kawasan

pelestarian alam.

SEBELAS CALON taman nasional

tersebut menyusul lima kawasan

suaka alam yang terlahir lebih dulu

sebagai taman nasional pada tahun

1980. Pada tanggal 6 Maret 1980,

Menteri Soedarsono Hadisapoetro

menabalkan Gunung Leuser,

Ujung Kulon, Gede Pangrango,

Baluran dan Komodo menjadi

taman nasional. Pada masa awal

kelahirannya, lima taman nasional

sulung itu berada di bawah

pengelolaan Direktorat PPA,

Direktorat Jenderal Kehutanan,

Departemen Pertanian.

Peresmian lima taman nasional

pertama tiga puluh tahun yang

lalu, sekaligus untuk menyambut

peluncuran dokumen Strategi

Konservasi Dunia (World

Conservation Strategy). “Pada

1980 itu, ada inisiatif peluncuran

World Conservation Strategy

yang disusun oleh sekitar 700

pakar dunia,” kenang Effendy, “di

mana peluncuran buku tersebut

berlangsung di 30 negara, salah

satunya Indonesia.”

Tak main-main, peresmian lima

taman nasional itu didukung

empat menteri: Menteri Pertanian

Soedarsono Hadisapoetro; Menteri

Riset dan Teknologi B.J. Habibie;

Menteri Pengawasan Pembangunan

dan Lingkungan Hidup Emil

Salim; dan Menteri Penerangan Ali

Moertopo.

“Deklarasi berlangsung di Departe-

men Penerangan. Saat itu, siapa

Rifky

5

Page 8: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Agus Sartono

Selain badak jawa, Ujung Kulon juga menjadi rumah bagi kawanan banteng, Bos javanicus, di tepi barat Jawa.

yang tak kenal Ali Moertopo,”

imbuh Effendy.

Namun, sebelum peresmian

itu, jauh-jauh hari Departemen

Pertanian telah bekerja keras untuk

menyiapkan kawasan yang akan

menjadi taman nasional. Kurun

waktu antara 1974 - 1978, Food and

Agriculture Organization-United

Nations Development Programme

(FAO-UNDP) Nature Conservation

and Wildlife Management Project,

memberi bantuan untuk mencari

data ihwal konservasi alam dan

pengelolaan satwa liar.

“Antara 1979 - 1982, Indonesia

juga mendapat bantuan dari FAO-

UNDP,” jelas Effendy. Bantuan

terakhir ini masih menyangkut

proyek pengembangan taman

nasional. Selain mendapatkan

proyek dari FAO-UNDP,

pemerintah juga mendukung penuh

pembentukan taman nasional. “Jadi

mulai 1979, Direktorat PPA sibuk

sekali mempersiapkan pembentu-

kan taman nasional di Indonesia,”

tutur Effendy.

Nah, penunjukan lima taman

nasional pertama didasarkan pada

sistem skoring FAO-UNDP tahun

1974-1978. “Intinya, lima taman

nasional itu perwakilan tipe-tipe

6

ekosistem. Dan merupakan satu

wilayah yang memang sudah bagus

pengamanan, ekosistemnya dan

lain-lain,” terang Effendy.

Pada saat itu, Effendy memaparkan,

pemerintah mengeplot dulu kawas-

an taman nasional seluas mungkin,

yang masih bebas dari manusia.

“Setelah itu, baru dibentuk-bentuk

sesuai dengan daerah jelajah satwa

atau tipe ekosistemnya.”

Selanjutnya, dikeluarkan National

Conservation Plan pada 1982

sebanyak 8 volume, yang lengkap

dengan indikator-indikator pe-

nentuan taman nasional. Effendy

melanjutkan, penentuan lima taman

nasional tersebut berdasarkan pada

telaah ilmiah dan kemampuan

pengelolaan, yang pada saat itu,

memang masih lemah.

Sebagai sesuatu yang baru, publik

menyambut baik taman nasional

ini. “Pada umumnya happy.”

Effendy menambahkan, “Waktu itu,

saya mempromosikan bahwa dunia

internasional akan membantu,

kalau kita telah mempunyai taman

nasional….”

Meski di Indonesia telah bertebaran

cagar alam, suaka margasatwa dan

hutan lindung, gagasan mendirikan

taman nasional didorong keingin-

an untuk mengikuti standar in-

ternasional IUCN. “Saat Kongres

Kedua, IUCN telah menekankan

untuk mengikuti kategori in-

ternasional, dan pada saat itu

belum ada soal itu (taman nasional)

dalam undang-undang. Kita masih

berpegang pada Undang-Undang

No. 5/Tahun 1967,” jelas Effendy.

ADANYA TAMAN nasional juga

menyebabkan berkembangnya

direktorat PPA menjadi direktorat

jenderal PHPA, dalam naungan

Departemen Kehutanan. Effendy

juga mengembangkan Bina Cinta

Alam, yang dipandang sangat

penting dalam pengelolaan taman

nasional, terutama terkait dengan

program penyadaran masyarakat.

“Dalam Bina Cinta Alam, harus ada

kader konservasi,” papar Effendy

yang telah membuat konsep Bina

Cinta Alam tahun 1983.

Lepas dari beragam dinamika

taman nasional sepanjang tiga

dekade yang telah berlalu, Effendy

menuai hikmahnya. “Dalam kon-

servasi, apapun juga yang kita

kerjakan, asalkan tekun dan yakin,

pasti akan berhasil. Kita juga harus

bersabar, karena konservasi bersifat

longterm, tidak bisa dilakukan

sesaat.”***

Page 9: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

S

ebelum lima taman nasional pertama mewujud di

bumi Nusantara, sejak tahun 1969 telah terentang

beragam langkah demi memuluskan kelahirannya.

Berikut ini, setapak demi setapak jejaknya hingga tahun

1982 saat Kongres Taman Nasional Sedunia Ketiga

berlangsung di Bali.

1969 Menghadiri Konferensi Umum IUCN

ke-10 di India yang membahas pengertian taman nasional.

1972 Menghadiri Kongres Taman Nasional Sedunia Kedua, di

Taman Nasional Yellowstone, AS. Kongres ini, salah satunya,

menyetujui definisi taman nasional.

1974 FAO-UNDP Nature Conservation

and Wildlife Management Project

sampai 1978.

1976 1975 Bappenas mulai merencanakan Mengirim delegasi ke Seminar “National

pendirian taman nasional. Park and Equivalent Reserve” ke-10.

1977 • Bappenas menyetujui pendanaan bagi persiapan 12 calon

taman nasional.

• Management Plan calon taman nasional sampai 1981

disiapkan dengan bantuan WWF.

1979 1980 1982 • Program FAO-UNDP National

Parks Development Project

hingga 1982.

• Menjadi anggota Commission

on National Parks and Protected

Areas (CNPPA-IUCN).

• Persetujuan menjadi tuan rumah Adam Malik membuka

Kongres Taman Nasional ketiga di Bali. Kongres Taman Nasional

• Peresmian lima taman nasional pertama Sedunia Ketiga di Bali dan

di Indonesia. peresmian 11 calon taman

• Penetapan Subdirektorat Taman nasional di Indonesia.

Nasional, Direktorat Perlindungan dan

Pengawetan Alam.

• Usulan Strategi dan Program Konservasi

Sumber Daya Alam.

7

Page 10: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Gerbang wisata bagi khalayak ramai terbuka di

taman nasional. Menjejak usia tiga dasawarsa,

sebagian gerbang kokoh berdiri, yang lain rapuh. Agus Sartono

“MENYUSURI CIGENTER dapat

memberi pertanda keberuntungan.

Ada pengunjung yang dapat

menjumpai berbagai satwa, tetapi

ada juga pengunjung yang sama

sekali tidak menemuinya,” tutur

Mamad salah seorang petugas

Ujung Kulon.

Cigenter, sebatang sungai di Ujung

Kulon, adalah salah satu tempat

yang menawarkan ketakjuban bagi

para pelancong yang berkunjung

ke Taman Nasional ini. Ini hanya-

lah secuil objek alam yang bisa

dinikmati di tanah tepi barat

Jawa itu.

Bisa dibayangkan betapa keindahan

Leuser, Ujung Kulon, Gede

Pangrango, Baluran dan Komodo,

yang berderet dari barat ke timur,

dengan aneka flora dan fauna

tropis. Lima taman nasional yang

terlahir bersama itu tak hanya

menjaga dan melindungi alam,

namun juga memanfaatkannya

untuk menyajikan keagungan alam

Nusantara.

8

Khalayak dunia juga telah

mengakui kekhasan pusaka alam

di taman nasional. Gelar Situs

Warisan Dunia dari UNESCO telah

tersemat di Leuser, Ujung Kulon

dan Komodo. Yang disebut terakhir

ini, bahkan kini sedang berjuang

dalam New 7 Wonders of Nature

(N7WN), kompetisi untuk tujuh

keajaiban dunia.

Taman nasional ibarat etalase

sejarah alam negeri ini. Meski tak

luas dan bebas, etalase itu hanya

mungkin digelar di taman nasional.

Dengan demikian, sejak tiga dekade

lalu dunia wisata Indonesia kian

semarak dengan lahirnya taman

nasional. Hanya saja, meski berbekal

flora, fauna, dan panorama bentang

alamnya, etalase lima taman

nasional pertama itu tak semuanya

terang benderang, sebagaian malah

redup.

MEMBENTENGI SALAH SATU ra-

ngkaian gunung berapi yang

menjalar dari Sumatera, Jawa

hingga Nusa Tenggara, Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango

menampilkan ‘museum alam’

geologi pegunungan.

Lantaran itu pula, sejak lama,

dan hingga kini, Gede Pangrango

dikenang sebagai salah satu

objek penelitian dan pendakian.

Bagi masyarakat seputarnya,

mendaki dan menjelajahi padang

Edelweis menjadi kekhasan Gede

Pangrango.

“Kegiatan pendakian ini sudah ada

sejak lama,” jelas Didin Syarifudin,

salah satu pengendali ekosistem

hutan (PEH) senior Gede

Pangrango.

“Kami biasanya dibantu para

voluntir, untuk menjaga keamanan

para pendaki,” tambah Sofyan,

seorang polisi hutan senior yang

piawai mengenali jenis tumbuhan

di Gede Pangrango.

Namun, aktivitas pendakian itu tak

selamanya membawa berkah bagi

Gede Pangrango. Para pendaki yang

Page 11: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

lazim mengaku sebagai pecinta

alam, rupanya tak semuanya benar-

benar menghayati arti menjaga dan

mencintai alam.

Sampah yang tercecer di sepanjang

jalur pendakian, tersebar di puncak

Gede Pangrango dan corat-coret

tangan jahil adalah sejumlah bukti

aktivitas pendakian berdampak

yang tak kecil.

“Kami sering diminta bantuan

oleh Taman Nasional untuk mem-

bersihkan sampah-sampah yang

ditinggalkan para pendaki,“ terang Rifky

Instiana, mantan sukarelawan Gede Ribuan pasang kaki telah menjelajahi salah satu jalur pendakian, dari tiga setapak

Pangrango. yang ada, di kawasan Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat.

Situasi itu mendorong Taman

Nasional ini untuk tetap menjaga

keindahan dan kelestarian Gede

Pangrango melalui SKKB Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango

No. 93/11-tu/1/2009, 10 Agustus

2009.

Memang keadaan saat ini berbeda

dengan beberapa tahun silam.

“Tidak seperti dulu, para pendaki

adalah peneliti sehingga sangat

paham arti kelestarian. Saat ini, para

pendaki banyak yang tidak mampu

menjaga alam,” ujar Sumarto,

kepala Balai Taman Nasional Gede

Pangrango.

Kini, dengan adanya pemanduan

yang bersifat wajib, Sumarto

berharap, tidak hanya akan

semakin menjamin keselamatan

para pendaki, namun juga

mencegah pendaki bertindak tak

ramah terhadap ekosistem Gede

Pangrango.

Hanya saja, SKKB itu juga

membawa dampak. Suara-suara tak

setuju datang dari sejumlah pihak.

Para pedagang di sekitar kawasan

pun ikut merasakan menurunnya

jumlah pengunjung.

“Pendapatan pedagang di sekitar

sini menurun karena adanya SKKB

itu,” tutur Instiana. Itu dampak

negatif; di sisi lain, jumlah sampah

yang tercecer di areal pendakian

jauh menyusut. Hingga awal

2010, areal pendakian sudah bisa

dikatakan bersih dari sampah.

Toh, tak semua pihak menentang

SKKB itu. Sejumlah pihak malah

menganggap hal tersebut wajar,

mengingat nilai kekayaan alam Gede

Pangrango. “Wisatawan asing akan

dengan senang hati membayarnya,”

kata Tangguh Triprajawan, juga

seorang PEH Gede Pangrango.

Kondisi bak bara dalam sekam

itu melecut Taman Nasional,

sebagai pengelola Gede Pangrango,

berembuk dengan sejumlah

kelompok pecinta alam pada 1

April 2010 silam untuk mencari

jalan tengah bersama. Hasilnya,

revisi SKKB.

Selain revisi yang terkait soal wajib

pendampingan bagi pendakian

wisatawan mancanegara, bagi para

pendaki domestik juga dibedakan

antara yang wajib pendampingan

dan yang tidak.

Pendampingan tidak wajib dilakuk-

an, bila: pecinta alam dengan surat

organisasi; pelajar yang disertai

surat lembaga pendidikan; dan,

pecinta alam independen. Tentu

saja, para pendaki juga harus

memenuhi standar dan peraturan

pendakian di Gede Pangrango.

SELAIN KEINDAHAN ALAM,

taman nasional didirikan untuk

melestarikan satwaliar yang ter-

ancam punah. Satwa yang menjadi

spesies bendera (flagship spesies)

juga menjadi magnet untuk me-

narik wisatatan datang.

”Sebagian besar masyarakat di

sini sangat tergantung dengan

mawas (orangutan-red), meskipun

pada musim panen buah selalu

saja terjadi konflik antara pemilik

ladang dengan mawas,” tutur Daulat

Purba, tokoh masyarakat di Bukit

Lawang, Taman Nasional Gunung

Leuser.

Bukit Lawang adalah tempat Pusat

Pengamatan Orangutan Sumatra

(PPOS) yang keberadaannya tidak

bisa dipisahkan dengan masyarakat

sekitarnya. Masyarakat di sekitar

Bukit Lawang selama ini memang

mencoba menjaring rejeki di

kawasan ekowisata itu dengan

menjual jasa, pemandu, penjual

makanan, cinderamata, sampai

penginapan.

Daulat mengisahkan, konflik antara

pemilik lahan dengan orangutan

kala musim panen adalah lumrah.

Masyarakat peladang yang berlahan

9

Page 12: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

di sekitar habitat primata besar

itu pun semakin dapat menerima

kenyataan pahit, bila durian yang

mereka gadang-gadang, ludes

dipanen mawas. Bahkan, sejumlah

warga rela menanami hutannya

dengan pohon buah-buahan,

khusus untuk orangutan.

Meski begitu, usai banjir bandang

yang meluluhantakan Bukit

Lawang pada 2003, akitivitas

pelesiran, beserta sendi-sendi yang

mengikatnya, sempat lumpuh.

Namun, saat ini Bukit Lawang

telah menggeliat kembali. Jumlah

pelancong manca negara, misalnya,

pelan-pelan mulai menanjak selepas

tahun 2004—dari 1.051 menjadi

8.544 orang pada 2009.

Seiring naiknya jumlah wisatawan,

mau tidak mau harus pula

diimbangi dengan peningkatan

kualitas pelayanan. Hal ini

membuat Seksi Pengelolaan Tam-

an Nasional (SPTN) Wilayah V

Bohorok merangkul para pihak

di Bukit Lawang melalui sebuah

forum untuk berkoordinasi secara

berkala.

Panorama Bukit Lawang menarik

UNESCO dan Pemerintah Spanyol

untuk turut serta membangun

kembali dunia pariwisata kawasan

ini. Salah satunya, renovasi besar-

besaran pusat informasi yang

ada di Bukit Lawang. Sayangnya,

pusat informasi itu belum

termanfaatkan secara maksimal.

Hanya segelintir wisatawan yang

tertarik memasukinya.

Menurut Kepala Sub-Bagian

Perencanaan dan Kerjasama, Rivan

Diwana, karya fenomenal yang

tercetak indah dalam sejarah Leuser

adalah Tangkahan, sebuah tempat

indah di Kabupaten Langkat yang

berkibar menjadi salah satu ikon

ekowisata di Leuser.

Istimewanya, ”The Hidden

Paradise” itu mewujud dari sebuah

kawasan yang beberapa tahun

silam sebagian besar penduduknya

menjadi penebang liar, yang kini

telah menjelma menjadi para

pekerja konservasi.

Pada perkembangannya, Lembaga

Pariwisata Tangkahan (LPT) sebagai

pelaksana kegiatan ekowisata Tang-

kahan telah memiliki kesepakatan

dengan Balai untuk mengelola

kawasan ekowisata itu.

Di Tangkahan pula, pada 2007

para tokoh dan masyarakat seputar

Leuser menggelar Konferensi

Rakyat Desa Leuser demi untuk

kebaikan Taman Nasional ini.

Pertemuan yang juga dihadiri

Menteri Kehutanan M.S. Kaban

itu, melahirkan rekomendasi

untuk mengurai permasalahan

kawasan Leuser, terutama yang

berada di Kabupaten Langkat,

Sumatera Utara.

KADAL PURBA KOMODO Varanus

komodoensis, menjadi bukti

gamblang soal daya tarik satwa

liar yang dilindungi. Pada alam

nan kerontang di Taman Nasional

Komodo, ora, sebutan lokal untuk

Banjir yang melanda Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Nanggroe Aceh Darusalam, sempat

menurunkan jumlah pelancong yang berkunjung. Perlahan, dunia wisata kembali bergairah. Bisro Sya’bani

10

Page 13: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

ketaknyamanan pejalan yang

berkunjung.

PELAJARAN BERHARGA terkait daya

dukung kawasan bisa dijumpai

di Taman Nasional Baluran, Jawa

Timur. Kini tak mudah untuk

menikmati kawanan banteng jawa,

Bos javanicus, lantaran savana Bekol

yang menjadi tempat berkumpul

satwa bendera Baluran itu tak lagi

memadai.

Sejak awal mula, Baluran dijuluki

Afrika dari Jawa, yang menampilkan

panorama padang rumput dengan

gerombolan banteng jawa, rusa

(Cervus timorensis), dan kerbau liar

(Bubalus bubalis).

“Saat itu, banteng, kerbau liar dan

rusa mudah dijumpai di Bekol,”

Suprayitno Sakera kenang Sukri yang menjadi pemandu

Keberadaa biawak komodo, Varanus komodoensis, melekatkan wisata Baluran pada 1983. Kawanan citra kepurbaan pada Taman Nasional Komodo. kerbau liar sering bergerombol

mengayomi anakan kerbau jika

biawak raksasa itu, bertahan hidup

melewati pergantian zaman.

Tidak mudah menjumpai ora di

alam. Naga komodo itu biasa aktif

terbatas pada jam-jam tertentu:

pagi, 08.00-09.00 dan tengah hari,

11.00-12.00. Ini berbeda di lokasi

pusat pengunjung dan atraksi,

komodo sudah terbiasa menyambut

tamu yang datang.

Selain panorama daratan, perairan

Komodo juga memiliki keindahan

bawah laut yang luar biasa. Tidak

kurang 385 spesies koral dan lebih

1000 spesies ikan mengisi relung-

relung laut yang jernih berbatas

hamparan pasir putih nan lembut.

Hanya saja, sejumlah hal agaknya

masih perlu dibenahi untuk makin

membuat bersinar Taman Nasional

Komodo. Dalam rentang 30 tahun,

dengan bekal alam liar yang tak ada

duanya, Komodo sudah sepatutnya

meraih citranya.

Selama itu pula, diam-diam

tersebar beragam kelemahan.

Mulai dari yang remeh-temeh,

seperti penampilan petugas yang

tak rapi hingga sarana pendukung

tanpa karakter lokal atau pun tidak

adanya perencanaan tapak (site

plan) yang jelas.

Pada awal pengembangannya,

rencana tapak Taman Nasional

ini dibangun secara terencana

mengacu Management Plan 1978-

1982. “Hasilnya, sebuah arsitektur

Komodo yang disusun dengan

adaptasi lingkungan yang tinggi,”

kenang Puji Sumarto Pratjihno,

yang pernah menjabat Kepala Sub-

Balai KPA merangkap pemimpin

Proyek Taman Nasional Komodo

(1981). Sayangnya, hal itu kini

tinggal kenangan.

Dengan kondisi seperti itu,

menelisik daya dukung kawasan

Taman Nasional ini diperlukan

untuk pengaturan pengunjung,

melindungi potensi alamnya dan

pelayanan yang prima. Pengunjung

yang berlebihan akan mengancam

kelestarian objek wisata itu sendiri,

yang akhirnya menimbulkan

wisatawan mendekat. Sebaliknya,

“Banteng jawa bergegas pergi,” papar

Sukri yang kini koordinator polisi

hutan, “satwa ini memang pemalu.”

Kini pamor itu memudar. Rumpun

rumput Bekol tergerus berpinaknya

akasia duri, Acacia nilotica, yang

sengaja ditanam untuk sekat

bakar. Sayangnya, watak penyerbu

tanaman eksotik ini tak dipahami

saat pertama kali ditanam pada

1969.

“Saat itu, pengetahuan tentang

akasia duri memang masih sedikit,”

jelas Mahrudin polisi hutan Baluran.

“Maksudnya memang baik untuk

sekat bakar,” lanjutnya, “tapi belum

tahu dampak invasif akasia.”

Perkara juga bertambah pelik.

Sejak 2002, gersang benar-benar

menghantam savana Bekol yang

melecut menyusutnya populasi

banteng jawa. Baluran dikenal

sebagai Taman Nasional yang kering

kerontang. Hujan hanya membasahi

Baluran selama tiga bulan dalam

setahun.

11

Page 14: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Saat Presiden Abdurrahman Wahid

(1999-2001), atau Gus Dur, hendak

dimakzulkan, akses menuju Balur-an,

dari Surabaya dipandang tak aman.

“Saat itu, banyak pendukung Gus

Dur yang protes dengan menebangi

pohon di tepi jalan,” terang Sukri,

“orang enggan ke Baluran.” Setelah

itu, peristiwa bom Bali juga

mempengaruhi aliran wisatawan dari

pulau dewata itu.

Keadaan ini tak menyurutkan

semangat Baluran untuk menarik

kembali para turis menyambangi

Taman Nasional ini. “Banteng jawa,

khan ikonnya Baluran. Masak, datang

ke Bekol tidak ketemu banteng,” jelas

Bambang.

MESKI PARIWISATA BARU satu aspek

Padang Bekol Taman Nasional Baluran, Jawa Timur, kini

lebih banyak dihuni kawanan rusa, Cervus timorensis,

semenjak populasi banteng terus menyusut.

Erwin Sugandhi dalam pengelolaan, namun hanya

di taman nasional kesempatan

untuk pamer warisan alam kepada

masyarakat bisa terbuka. Sebelum

dikenal taman nasional, bentuk Dan, pertaruhan hidup-mati

banteng jawa sesungguhnya

terentang kala tanah dan padang

rumput berwarna kuning keemas-

an; saat hutan musim sedang

menggugurkan dedaunan. Kala

kemarau menggarang Baluran pada

titik terpanas. “Persoalan utama

sebenarnya air,” terang Muhammad

Yusuf Sabarno, salah seorang

Pengendali Ekosistem Hutan

(PEH) Baluran.

Air yang mengalir melalui

rangkaian pipa dari Kacip, sebuah

mata air abadi di lereng Gunung

Baluran, dan Talpat mandek. Sejak

itulah, Bekol seperti neraka yang

mencekik banteng jawa—juga

satwa liar yang lain, yang berakibat

menyusutnya populasi banteng

jawa.

Untuk memasok air di savana

Bekol, sebenarnya juga ada

upaya untuk menyedot air tanah

dengan genset. Sayangnya, usaha

ini pun tak sepenuhnya lancar.

“Untuk menyedot air tanah Bekol

12

diperlukan biaya yang besar,” terang

Agus Bambang Haryono, kepala

Bagian Tata Usaha Taman Nasional

Baluran. Maklum, tenaga diesel

memerlukan bahan bakar solar.

Ikhtiar untuk menghadirkan

kembali air di sejumlah titik di

Bekol akan dilakukan pada 2010.

“Mulai 2010, akan dicoba dengan

tenaga sel surya untuk memompa

air tanah di Bekol,” jelas Bambang.

Keberadaan banteng jawa, dan

mamalia besar lainnya, di Baluran

diyakini menjadi salah satu penarik

wisatawan untuk datang. Namun

Sukri juga memiliki pandangan

lain, letak Baluran di Situbondo

punya pengaruh penting bagi

aliran wisatawan.

Taman Nasional ini terletak di

daerah tapal kuda (Pasuruan,

Probolinggo, Situbondo, Bondo-

woso, Lumajang, dan Jember),

sebutan dari antropolog Clifford

Geertz, yang banyak dipengaruhi

subkultur kehidupan santri.

kawasan konservasi yang lain—

cagar alam, suaka margasatwa—tak

memungkinkan menjadi jendela

untuk mengintip keagungan alam

Nusantara.

Tentu saja tak gampang untuk meraih

wisata alam yang ideal. Namun tekad

tiga dekade lalu masih hangat dalam

benak Indra Arinal, kepala Balai

Taman Nasional Baluran.

Baginya memberi kesempatan bagi

khalayak untuk menikmati alam

melatari niat awal Baluran dijadikan

taman nasional. Indra memang

bertekad untuk memulihkan populasi

banteng jawa, “Apapun akan kita

lakukan untuk banteng jawa.”

“Agar banyak orang bisa menikmati

rona bumi yang berupa savana,

beserta banteng jawa, kerbau liar

dan rusa,” jelas Indra. Kalau masih

berwujud suaka margasatwa, lanjut

Indra, savana di Baluran tidak bisa

dilihat orang, karena memang tak

mungkin dimanfaatkan untuk areal

wisata.***

Page 15: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

T

Koen Meyer

igapuluh tahun bisa jadi waktu yang tepat untuk

mendedah ulang satu perjalanan, satu riwayat,

untuk menatap masa depan.

Hingga dekade pertama abad ini, telah tersebar 50

taman yang merengkuh puluhan saujana unik, ribuan

taru, berlaksa tumbuhan, dan jutaan jasad renik,

yang menghiasi seruas kawasan di pinggang Bumi.

Menjejak di lima taman nasional pertama seperti

menengok kembali niat awal yang terbentang tiga

dekade silam.

Satu di Sumatera, tiga di Jawa dan satu lagi mengapung di

Selat Sape, Nusa Tenggara, tertakdir menjadi lima yang

pertama dalam merintis taman nasional di Indonesia.

Wajar bila lima taman itu bisa melambangkan wajah

taman-taman yang kini tersebar di bumi Nusantara.

KONSERVASI ALAM memindai secara ringkas kisah lima

taman pertama pada titik 30 tahun.

Kesadaran perlunya pengendalian populasi manusia

telah terbit saat kali pertama taman nasional diciptakan.

Kesadaran itu ibarat nujum: kini taman nasional

benar-benar cermin yang mewakili gambaran

besar pergumulan antara pelestarian dengan

kebutuhan manusia.

13

Page 16: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

H

ati sunarti sungguh

bungah. Sejak Maret 2010,

kebutuhan bahan bakar

“Agar kotorannya bisa dikumpulkan

untuk biogas,” jelas Bambang.

di BPTN III Langkat yang terlibat

penyelesaian masalah ini.

kompor gasnya cukup dipasok dari

halaman belakang. Mengalir setiap

saat, nyaris tanpa sendat. “Saya

tak lagi khawatir gas akan habis

sewaktu-waktu,” kata Sunarti.

Instalasi biogas seukuran enam

meter kali 1,2 meter, yang

berada di belakang rumah warga

Wonorejo, Banyuputih, Situbondo,

Jawa Timur, itu mengembuskan

gas yang ditampung dalam

tandon plastik atau digester. Dari

situ, gas menyembur ke kompor,

menyalakan api yang membiru.

Tak jauh dari instalasi biogas

terdapat kandang sapi.

Tumbuh berkembang di tapal

batas Baluran, Wonorejo berperan

sebagai salah satu desa penyangga

taman nasional seluas 25.000

hektar ini. Taman Nasional

menebar 10 unit instalasi biogas

kepada anggota Sentra Penyuluhan

Kehutanan Pedesaan (SPKP)

Desa Wonorejo. Satu di antaranya

diterima Sutrisno.

Warga Wonorejo lazim merencek

kayu ke hutan, biasa diangkut

dengan sepeda ditumpuk tinggi-

tinggi di jok belakang. “Kini lebih

parah lagi,” terang Agus Bambang

Haryono, kepala Bagian Tata

Usaha Taman Nasional Baluran,

“mengangkutnya dengan sepeda

motor.”

Dan merencek berarti menyisir dan

menjelajahi Taman Nasional untuk

memulung kayu bakar. Adanya

biogas diharapkan mengurangi

adat memulung kayu bakar di

Taman Nasional.

“Demikian juga kebiasaan

menggembala sapi di kawasan

Taman Nasional,” imbuh Siyanto,

seorang penyuluh kehutanan

Baluran. Keberadaan instalasi

biogas di rumah akan memaksa

warga memelihara sapi di kandang.

14

“Memang tidak seratus persen, tapi

setidaknya, sedikit demi sedikit

bisa dikurangi,” tutur ketua SPKP

ihwal upaya mengurangi kebiasaan

merencek kayu di Baluran.

MANGASA NABABAN menghela

nafas panjang. Dari wajah lelaki

yang biasa disapa Piyu itu terbayang

rasa getir. “Hatiku seperti teriris,

sakit hati ini melihat pohon yang

dulu aku ikut tanam, dibabat orang-

orang itu,” keluhnya.

Empat dasawarsa silam, Piyu

menabur harapannya saat dia

mulai menjejakkan kaki di

dunia konservasi. Cita-citanya

rontok ketika dirinya hanya

bisa memandangi hamparan

tanah kosong yang dihinggapi

rerumputan liar. Di hamparan

tanah itulah, Piyu, yang menjadi

pegawai honorer ’abadi’ Taman

Nasional, pernah menanam

berbatang-batang pohon untuk

menghijaukan Leuser.

Perseteruan antara masyarakat

di luar kawasan dengan Taman

Nasional Gunung Leuser yang

ditunjuk 30 tahun yang lalu itu

memang masih kerap meletup.

Salah satu perkara rumit yang

masih membekap Leuser adalah

keberadaan eks-pengungsi korban

konflik Aceh.

Meskipun telah dibentuk tim

koordinasi untuk menanganinya,

melalui surat keputusan Menteri

Koordinator Bidang Kesejahteraan

Rakyat, hingga kini persoalannya

justru semakin sulit terurai.

”Keadaan di lapangan semakin

sulit. Soalnya, para perambah

juga masuk ke dalam komunitas

eks-pengungsi itu. Penanganan

masalah ini harus dibedakan

dengan jelas, antara pengungsi

asli dan perambah,” terang Ujang

Wisnu Barata, salah satu staf Leuser

DUA TAMAN NASIONAL dua kisah,

tapi satu pokok perkara. Baluran di

pojok timur laut Jawa dan Leuser

di belantara tropis Sumatera,

keduanya sama-sama menghadapi

riuhnya gempuran manusia di tapal

batas kawasan. Populasi manusia

juga menyusup ke dalam taman.

Dua tahun usai lima taman

nasional pertama lahir, pada 1982,

di Bali digelar Kongres Taman

Nasional Sedunia ke-3. Kongres

ini dipandang sebagai momentum

penting dalam perjalanan taman

nasional global.

Effendy A Sumardja menyatakan,

Kongres di Bali itu yang pertama

kali diselenggarakan di negara

sedang berkembang. “Dua kongres

sebelumnya di Amerika, yang

konsepnya sama sekali berbeda

dengan keadaan di Indonesia.

Dalam Kongres di Bali, pada

intinya lebih menekankan pada

masyarakat,” kata Effendy.

Sejak awal, ciri khas taman nasional

di Indonesia telah dipahami: tak

bisa dipisahkan dari gerak hidup

manusia.

Pergulatan antara kepentingan

manusia dengan upaya melindungi

alam sebenarnya setua dengan usia

taman nasional. Atau, malah jauh

lebih tua.

Contoh paling gamblang telah

melekatnya kepentingan manusia

pada taman nasional sejak awal mula

dapat dilihat di Taman Nasional

Komodo. Dengan kawasan yang

berbentuk kepulauan, dengan tiga

pulau utama: Komodo, Rinca, dan

Padar, Taman Nasional ini sejak

awal telah sadar pentingnya aspek

kependudukan.

Management Plan 1977-1982 FAO-

UNDP telah merancang jumlah

ideal penduduk di Desa Komodo,

Page 17: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Pada dekade 1975 - 1985, isu

berputar pada pemberian izin

HGU oleh menteri dalam negeri

pada wilayah yang telah ditetapkan

sebagai Suaka Margasatwa Baluran.

Kurun 1985 - 2000, perkara beralih

pada soal permintaan ganti rugi

atas investasi PT Gunung Gumitir

kepada Departemen Kehutanan.

Dan, semenjak tahun 2000, kasus

ini bersulih menjadi penguasaan

lahan bekas HGU di Labuhan

Merak dan Gunung Masigit.

Ikhitiar mengurai kekusutan

eks-HGU itu kini juga makin

sulit. “Sekarang dipolitisir,” ujar

Bambang, “apalagi di zaman

banyak partai.”

“Kita akan mendudukkan semua

pihak yang dulu berkepentingan

dengan eks-HGU ini,” ujar Indra

Arinal, kepala Balai Taman Nasional

TN Gede Pangrango

Selain adopsi pohon di Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango, Jawa Barat, langit Sarongge juga tersiar radio

komunitas, yang berfungsi sebagai wahana penyuluhan.

Pulau Komodo dan Desa Pasir membedakan dengan kapal

Panjang, Pulau Rinca, masing- pendatang,” lanjut Puji.

masing 500 jiwa dengan jumlah

rumah 80 buah. Desa pertama saat Baluran juga memendam bara

Baluran. Baginya, berlarut-

larutnya kasus ini memberi

petunjuk, “Taman nasional tidak

mendapatkan dukungan dari

semua pihak secara nasional.”

Bahkan, sekali pun relatif baru,

benang kusut juga membebat

kasus eks-pengungsi di Leuser.

ini dihuni 1.474 jiwa, yang pada

1983 hanya 1.091 jiwa, sedangkan

Pasirpanjang, 1.245 jiwa, pada

1983: 963 jiwa.

Secara kependudukan, sejak

awal mula Taman ini telah

menginventarisasi penduduk:

identitas, anggota keluarga, dan

setiap rumah dilengkapi dengan

foto penghuninya. ”Saat itu telah

terbangun kesepakatan tidak ada

penambahan rumah dan lain-lain,”

kenang Puji Sumarto Pratjihno,

yang pernah menjabat Kepala

SubBalai KPA.

Waktu itu, kependudukan

telah menjadi perhatian dalam

pengelolaan Taman Nasional.

”Setiap kapal penduduk ditandai

dengan stiker dan bendera untuk

pemukiman sebelum menjadi

taman nasional. Meski merintis

mengurangi tekanan perencek

kayu di Wonorejo, di sisi utara

yang berbatasan dengan Laut Jawa,

ribuan sapi masih menggerayangi

padang Baluran.

Pemukim yang bercokol di Labuhan

Merak dan Gunung Masigit

memicu berkeliarannya sapi-sapi

ternak itu. Pemukiman ini mulai

berkembang sejak 1962, ketika PT

Gunung Gumitir mendapatkan

hak guna usaha (HGU) dari

Departemen Dalam Negeri. Saat

itu, Baluran masih berupa suaka

margasatwa.

Lebih dari tiga dekade, drama

pemukiman Labuhan Merak ini

telah berubah-ubah alur kisahnya.

”Eks-pengungsi berstatus ilegal.

Sebenarnya para eks-pengungsi

telah ketakutan. Mereka bahkan

telah menjual rumah dan ladangnya

ke orang lain,” terang Harijoko,

kepala Balai Besar Taman Nasional

Gunung Leuser.

”Hanya saja, eks-pengungsi telah

bercampur dengan perambah yang

memanfaatkan mereka. Beberapa

pengungsi bahkan dipaksa untuk

bekerja kepada perambah. Benar-

benar complicated,” tambahnya.

Sementara itu, di tingkat pusat

penyelesaian soal ini masih

terbentur soal calon lokasi relokasi

para eks-pengungsi yang masih

belum pasti. Padahal, Kemenko

Kesra telah siap menangangi eks-

pengungsi itu.

15

Page 18: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

”Namun, Baplan (Badan Planologi

Kehutanan-red) yang masih belum

siap, karena menunggu hasil tim

terpadu yang mereka turunkan

ke lapangan dan menunggu

pengesahan rencana tata ruang

wilayah propinsi,” jelas Harijoko.

Menko Kesra, masih menurut

Harijoko, yang telah menyiapkan

dana tidak akan bisa membiayai

relokasi, bila belum ada hasil

rekomendasi dari Baplan.

DI TENGAH DERU dua arus

kepentingan antara desakan

manusia dan mengayomi alam

itu bukan berarti tak ada jalan

lengang. “Kepala taman nasional

bisa membuat sebuah kesepakatan

dengan masyarakat,” gagas Effendy,

“agreement itu, ditinjau dari waktu

ke waktu bersama-sama.”

Dan, Gunung Honje di Ujung

Kulon menyimpan teladan dalam

merenda kesepakatan bersama.

Sebelum menjadi kawasan Taman

Nasional Ujung Kulon, Perum

Perhutani mengelola Gunung

Honje. Melalui pengelolaan hutan

berbasis masyarakat (PHBM),

masyarakat dapat menanam padi

dan palawija secara tumpangsari.

Tak ayal lagi, setelah masuk dalam

Taman Nasional, lahan-lahan

sawah Gunung Honje juga ikut

masuk kawasan. Lantaran itu,

sejak 2008 Balai Taman Nasional

Ujung Kulon, bersama pemangku

kepentingan lokal dan lembaga

swadaya masyarakat LATIN

menggagas pengelolaan hutan

bersama masyarakat.

Salah satu upayanya, melakukan

studi banding ke lembaga lokal

Akarsari, Desa Saninten, Kaduhejo,

Pandeglang.

Saninten, desa binaan LATIN, telah

berhasil melakukan perencanaan

dan pengelolaan hutan bersama

masyarakat untuk fungsi konservasi

Gunung Aseupan, Gunung Karang

dan Gunung Pulosari.

16

Studi banding itu untuk berbagi

ilmu ihwal perencanaan pengelola-

an hutan dan lahirnya kesepakatan

antara masyarakat dengan Tam-an

Nasional. Dari sini juga mun-cul

gagasan intensifikasi lahan pertanian

di Gunung Honje untuk menekan

meluasnya lahan pertanian.

Artinya, masyarakat tetap dapat

menggarap lahan sawah di Gunung

Honje, namun tanpa memperluas

areal sawah. Jika ada pelanggaran,

pelaku akan mendapat sanksi.

Lantas, lahirlah Lembaga Konserva-

si Desa (LKD) di tiga desa yang

berbatasan langsung dengan Ta-

man Nasional dan memiliki konflik

yang tinggi: Rancapinang, Cibadak

dan Ujungjaya.

“Pernah ada kepala desa yang

merekayasa perluasan lahan,

tetapi tercium oleh anggota LKD

yang lain,” terang Mumu, seorang

staf Ujung Kulon yang menjadi

motivator LKD, “akhirnya, kepala

desa itu harus memilih, berhenti

jadi kepala desa atau mematuhi

ketentuan yang telah disepakati.”

Kepala desa itu, masih Mumu,

memilih tetap menjadi kepala desa;

dan malah menjadi panutan karena

langkah-langkah bijaknya semakin

terlihat setelah hampir dua tahun

berkecimpung dalam LKD.

LKD mengolah lahan sawah yang

berdekatan dengan jalan desa,

agar masyarakat dapat melihat

hasil nyata. “Kita sengaja pamer

kegiatan, agar masyarakat yang

belum menjadi anggota LKD dapat

melihat, dan lambat laun tertarik

menjadi anggota,” jelas Mumu.

“LEUWEUNG HEJO, masyarakat

bisa ngejo, ngeunah ditenjo,” papar

Zainudin dalam bahasa Sunda,

seorang ketua RT Kampung

Sarongge. Maksudnya, hutan

lestari, masyarakat bisa sejahtera

dan wisatawan yang datang bisa

menikmatinya.

Kampung Sarongge, Desa Ciputri,

Kecamatan Pacet, Cianjur, Jawa

Barat, salah satu desa penyangga

kawasan Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango. Sarongge, yang

berada tepat di lereng timur

Gunung Gede, juga menjadi

contoh upaya menyatunya taman

nasional dengan masyarakat.

Semenjak ada program adopsi

pohon, masyarakat Sarongge

merasakan banyak perubahan.

“Program adopsi pohon untuk

memperoleh pendapatan alternatif

masyarakat di daerah perluasan

Taman Nasional yang dulu

dikelola Perhutani,” terang Indra

Exploitasia, kepala bidang teknis

Taman Nasional.

Indra menambahkan, dari dana

adopsi pohon yang sebesar

Rp108.000 per pohon setiap 3

tahun, 50persen di antaranya

untuk pengembangan masyarakat

sekitar Gede Pangrango.

Adopsi pohon memang membuka

harapan bagi warga Sarongge.

Maklum, sebelum berkembang

program itu, sejumlah warga

sering memasuki kawasan Taman

Nasional untuk mengumpulkan

kayu bakar atau berladang.

Kini, aktivitas itu sudah mulai

berkurang.

“Harapannya, program adopsi

pohon ini dapat mengeluarkan

masyarakat dari kawasan secara

sukarela, sehingga Taman Nasional

tidak perlu mengambil tindakan

hukum,” harap Dadi.

“Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango berharap memiliki

konsep kemitraan permanen.

Konsep ini akan ditawarkan

kepada pengusaha untuk

membawa modal, teknologi,

managemen, dan pasar kepada

warga masyarakat setempat,”

papar Sumarto, kepala Balai Besar

Taman Nasional Gede Pangrango,

“sedangkan warga masyarakat akan

Page 19: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

“Itu suatu upaya pengelolaan sesuai

dengan keperluan. Jadi zonasi itu,

bisa berubah-ubah,” papar Effendy.

Penetapan zona pemanfaatan

tradisional, misalnya, agar

masyarakat bisa mengakses untuk

memanen hasil hutan tertentu. “We

cannot really exclude them outside.

Zonasi itu berdasarkan kebutuhan

untuk pengelolaan,” lanjutnya.

“Maka, harus dibuat perencanaan

lima tahun sekali. Setiap lima

tahun, zonasi bisa dirubah. Nah,

bisa dievaluasi selama 5 tahun itu.

Zona inti, misalnya, tergantung

perkembangan lima tahunan

tersebut atau penelitian yang

dilakukan, apakah tetap atau

berubah.”

Penyelesaian eks-pengungsi Aceh di Taman Nasional Gunung Leuser

dibantu oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

Bisro Sya’bani

Akibatnya, rasa memiliki atas taman nasional tak berkembang

pada masyarakat ataupun pejabat-

pejabat daerah. bekerja sama dengan pengusaha untuk menghasilkan produk yang

diinginkan.”

TIGA PULUH TAHUN setelah lahirnya

lima taman nasional di Indonesia,

kesadaran dan komitmen bagi

taman demi kepentingan nasional

itu seperti gelombang samudera

yang pasang dan surut. Meski

semakin tua, komitmen untuk

mengelola taman nasional secara

layak, rupanya tak boleh ikut renta.

Ide awalnya, pendirian taman

nasional harus memperhatikan

aspirasi masyarakat setempat,

sehingga tidak ada konflik.

“Namun, agaknya hal ini tidak bisa

jalan,” terang Effendy A. Sumardja.

Masyarakat harus dilibatkan dalam

perencanaan.

Tujuan penunjukan taman nasional

di daerah terpencil adalah untuk

merangsang sektor-sektor lain

agar membangun daerah itu secara

serentak. Hasilnya, agar masyarakat

setempat bisa sejahtera.

Tak mengherankan bila ber- kembang kecenderungan negatif.

“Tidak hanya taman nasional,

tetapi kehutanan secara umum,”

papar Hariyanto C. Putro, staf

pengajar Fakultas Kehutanan,

Institut Pertanian Bogor.

Hariyanto menjelaskan, hutan

sekarang menjadi ajang konflik

bagi pengelolaan sumberdaya

alam. Yang muncul di permukaan

adalah konflik dan konflik.

Peran pemerintah belum jelas.

Tugas utama taman nasional

mengelola sumberdaya hayati dan

ekosistemnya belum dijalankan.

”Sekarang ini baru tahap

prakondisi,” sambung Hariyanto.

Setiap taman nasional harus punya

bussines plan, fungsi konservasi

dan ekonomi dijalankan sekaligus.

”Manajemen taman nasional

seharusnya mengadopsi sistem

laba-laba, bisa mendeteksi ’getaran’

atau konflik yang terjadi sekecil

apapun,” papar Hariyanto.

Taman nasional sebenarnya

dikelola berdasarkan mintakat.

Effendy memaparkan, banyak

pihak tak paham benar dengan

tujuan taman nasional. “Apa sih

taman nasional?” terang Effendy,

“nggak ngerti. Manfaatnya, nggak

ada tuh. Yang ada, larang sana...

larang sini... itu saja.”

Padahal, tidak begitu konsep taman

nasional. “Itu konsep cagar alam.”

Masih banyak yang berpikir seperti

itu, sehingga yang menonjol adalah

banyaknya pelarangan. “Mesti

dibedakan antara taman nasional

dan cagar alam,” terang Effendy.

Bagi Hariyanto, setelah 30 tahun

pengelolaan taman nasional,

diperlukan pencitraan ulang

taman nasional, agar konflik bisa

dibalik menjadi ajang pengelolaan

bersama. Masa depan yang

cerah harus diupayakan sejak

sekarang. Lantaran itu, masih

Hariyanto, perlu meningkatkan

peran generasi muda. ”Kita tidak

bisa berfikir bahwa kita yang

akan menyelesaikan masalah

sendirian.”***

17

Page 20: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

N

“Kerja di bidang konservasi adalah

pengabdian, harus pakai hati.” Mangasa Nababan Bisro Sya’bani

ilai luhur itu terbit dari seorang Mangasa

Nababan. Pria asal Tapanuli Utara yang telah

mengabdikan diri di Taman Nasional Gunung

“Dulu kalau patroli cuma jalan kaki, mana ada fasilitas

kereta (sepede motor-red) seperti sekarang ini. Jadi,

kami harus punya rencana matang setiap mau masuk

Leuser itu, mengaku tak malu meski tak lulus sekolah

dasar. Piyu, begitu dia sering disapa, menuturkan, “Apa

gunanya pintar, jadi sarjana, kalau akhirnya bekerja

pun tanpa jiwa.”

Sebelum Piyu sampai pada nilai luhur itu, dirinya

telah mengecap manis dan getir kehidupan. Selama

33 tahun dalam babak hidupnya, Piyu melakoninya

bersama Leuser. Hingga akhir masa tugasnya, dia

tetap berstatus sebagai pegawai honorer. Kariernya tak

pernah menyentuh jenjang pegawai negeri sipil.

Tiga dekade lebih pula, Piyu telah menjejakkan

kakinya di semua tempat di Kabupaten Langkat.

Ketika Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan

dan Konservasi Alam (PHKA) masih berwujud

Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA), Piyu

telah menjelajahi Sei Lepan, Batang Serangan, Cinta

Raja, Bukit Lawang, Pamas Semilir sampai Aras Napal

(kurun1972-1980). Pun, saat menjadi honorer di

Leuser, tahun 1980 sampai sekarang, Piyu berkelana di

Aras Napal, Sekoci, Sei Lepan dan Sai Betung.

18

hutan. Mau ke mana, berapa lama, berapa orang, semua

harus diperhitungkan supaya bekal beras, gula, ikan

asin, rokok, dan sebagainya, bisa cukup karena tidak

mungkin pulang sehari, harus menginap di hutan,”

kenangnya.

Jalan nasib yang membawa Piyu mengarungi dunia

konservasi sebenarnya tidaklah lempang dan datar.

Kehidupannya lebih laksana arus sungai yang banyak

membelah Leuser, penuh jeram dan deras. Sebelum

benar-benar menceburkan diri dalam konservasi, pria

yang lahir tahun 1935 itu menjalani hidup jauh dari

sentuhan pelestarian.

“Tahun 1959 aku pernah memiliki izin pemanfaatan

kayu sekitar 250 hektare. Waktu itu, pejabat dinas

di Medan yang memberi izin. Namun, pada 1972

pemerintah menetapkan sebagian wilayah hutan

Sekundur sebagai suaka margasatwa,” kenangnya.

“Arealku yang belum tuntas dikerjakan terpaksa

ditutup, karena masuk dalam kawasan Suaka

Margasatwa Sekundur,” kisahnya.

Page 21: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Waktu itu memang penebangan

memakai alat-alat manual, belum

ada gergaji mesin; sehingga, Piyu

belum sempat memanen semua

pohon. Toh, merasa sebagai warga

negara yang baik dan rakyat kecil,

dirinya menghentikan kegiatan

tebang-menebang di arealnya itu.

“Aku stop kegiatan menebang

dan keluarkan semua kayu yang

masih tertinggal. Ketika itu, aku

sempat tarik urat sama polisi. Aku

diperkarakan karena menebang dua

batang pohon.” Piyu mengenang,

pohon-pohon itu ditebangnya

untuk melapangkan jalan, agar

kayu-kayu yang masih tersisa bisa

dikeluarkan.

Sampai kemudian datang L.B.

Simanjuntak, kepala PPA Langkat

Deli dan Ringgit Mulia Bangun,

kepala Balai PPA Sumatera Utara.

“Mereka menawarkan damai. Aku

diminta bekerja di PPA dengan

status honorer. Sejak saat itulah,

mulai 1972, kemudian berubah

menjadi taman nasional tahun

1980, hingga sekarang, statusku

tetap honorer.”

Dua orang itulah yang membalik

seratus delapan puluh derajat garis

hidup Piyu. L.B. Simanjuntak dan

Ringgit Mulia Bangun adalah dua

nama yang membangkitkan gairah

konservasi pria yang telah dua kali

berumah tangga ini. Pencerahan

itu menerbitkan idealismenya:

manusia membutuhkan hutan,

sehingga hutan harus dijaga dan

dilestarikan.

Penganut Kristen yang taat ini

memendam banyak memori

tentang Leuser. Tanpa disadarinya,

ingatannya menjadi saksi bagi

perjalanan Leuser. Piyu adalah

salah satu saksi yang mengetahui

ihwal perambahan di Langkat,

karena cukup lama bertugas di

Resort Sekoci.

Menurutnya, para perambah atau

penggarap mulai merebak sekitar

tahun 1990. “Namun masih kecil-

kecilan dan bisa dikendalikan,”

paparnya.

Bahkan, pada 1995 telah dilakukan

pengusiran dan diikuti dengan

reboisasi. Hanya saja, cara

represif yang ditempuh waktu itu,

memunculkan rasa dendam para

perambah yang merasa sudah

mengeluarkan banyak biaya untuk

menggarap lahan bukaan.

Rasa kesumat ini masih tersimpan,

sampai akhirnya, pada 1999 -

2000 datanglah para pengungsi

dari Nangroe Aceh Darusalam

yang sedang mencari rasa aman.

Mereka memilih mengungsi ke

Sekoci karena provokasi dari

para perambah yang telah diusir

sebelumnya. Rupanya hal itu

memang telah direncanakan,

dengan niat melegalkan dan

meneruskan aktivitas merambah

dengan ‘meminjam badan’ para

pengungsi.

Pertaruhan jiwa konservasi yang

telah direngkuhnya, membawa

Piyu dalam batas hidup dan

mati. Ketika menjadi anggota tim

rekontruksi batas, maut pernah

sejarak sejengkal dari hidupnya.

Beberapa saat setelah perambah

berhasil diusir, Leuser menata

ulang tata batas. “Ketika kami

melakukan cek pal batas, tiba-tiba

datang massa yang sebagian besar

para perambah yang telah diusir,”

kenangnya. “Mereka membawa

parang dan pentungan.”

Piyu bersama sejumlah aparat

terkepung. “Kawan-kawan yang

lain, sebagian sudah lari me-

nyelamatkan diri. Massa yang

mengepung bahkan sampai meng-

ancam. Aku sudah pasrah dan

ngeri. Massa sudah gelap mata,”

kenang Piyu.

Beruntung, kesigapan dari personil

Korem mampu mengatasi keadaan

yang mencekam itu. “Setelah

peristiwa itu, aku merasa tidak

tenang,” lanjutnya. Berbagai ancam-

an sudah sering dialami Piyu

dalam bertugas melindungi dan

mengamankan kawasan Leuser.

“Itulah resiko pekerjaan,” ujarnya.

“Apalagi sewaktu aku mau

menjadi saksi persidangan kasus

perambahan, hampir 24 jam

rumahku tak henti digedor orang.

Dari yang mengancam hingga yang

mencoba menyogok. Aku terpaksa

sembunyi, kasihan orang rumah.”

Beragam pengalaman itu justru

memupuk wawasan Piyu tentang

konservasi tumbuh subur. “Aku

sangat tidak setuju dengan adanya

sawit di dalam kawasan, tanaman

ini menganggu tata air,” katanya.

Menurutnya, sawit yang jelas-jelas

berada di dalam kawasan harus

segera dimusnahkan. “Supaya

orang tidak main-main lagi dan

coba-coba menanam sawit di dalam

kawasan Leuser.”

“Dulu, tanaman sawit itu ditanam

pada saat belum ada pengukuhan.

Jadi belum ada dokumen tentang

batas Taman Nasional. Padahal,

batas patok di lapangan sudah

ada. Itulah pintarnya orang itu,”

lanjutnya.

“Konservasi itu sebenarnya adalah

memanfaatkan seperlunya. Jadi,

seandainya manusia tidak serakah

dan mengambil manfaat dari alam

secara tidak berlebihan, kita nggak

perlu pusing-pusing dengan ilmu

konservasi,” jelas Piyu. Apalagi saat

era otonomi ini, konservasi masih

dianggap sebagai penghambat laju

pembangunan daerah.

“Jadi biarkan saja, percayalah

pada hati, bekerjalah dengan hati,”

pungkas Piyu, sosok sederhana

dengan sebidang kebun sewaan.***

19

Page 22: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

S

Indra Arinal

“Takut salah, ini salah. Kadang malah tidak

berbuat apa-apa, biar tidak salah.”

Erwin Sugandhi

elama 29 tahun bekerja di Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Indra

Arinal, kepala Balai Taman Nasional Baluran,

“Nah, selama ini, yang saya rasakan selama tiga dekade

ini, ya management by request….”

merasa seperti mereflesikan kembali karirnya, saat

ditanya pendapatnya tentang 30 tahun taman nasional

pertama.

“Artinya sama dengan refleksi 29 tahun di PHKA,”

tutur Indra, “Ndak pernah loncat ke mana-mana, terus di

konservasi.”

Sejak Januari 1981, Indra mulai menjejakkan kakinya di

PHKA, dan sejak itu pula dirinya mengikuti irama

kerja di bidang konservasi. Dengan pengalaman itu,

wajar bila Indra memahami pasang-surut perjalanan

taman nasional di Indonesia.

“Saya sering bingung sendiri dengan perkembangan

konservasi… apakah pengelolaan taman nasional itu

management by objective atau management by request,”

paparnya.

20

Tak mengherankan, perkembangan konservasi,

khususnya taman nasional, di Indonesia tak lancar-

lancar amat. “Kadang-kadang berjalan di tempat,

kadang-kadang maju. Sehingga, secara keseluruhan

perkembangan yang ada tak semaju sesuai usianya.”

Indra mengenang saat memulai bekerja di PHKA.

Dirinya pernah mengeyam pendidikan pengelolaan

taman nasional di Ciawi selama 11 bulan. Pada masa

ini, Indra diperkenalkan dengan prinsip-prinsip

dan kriteria konservasi IUCN yang digembleng oleh

pakar dari luar maupun dalam negeri. “Ini sebenarnya

request…,” paparnya.

Sepanjang sejarah taman nasional, beragam program

dibentangkan untuk kawasan konservasi. Pernah

pula, ada program ICDP (integrated conservation and

development project). “Semua orang bicara soal itu,”

Page 23: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

“Sebenarnya, itu tidak salah,

karena negara pun sekarang

begitu juga, setiap presiden

punya rencana program.” kenang Indra, “tak hanya itu, semua

sumberdaya diarahkan ke sana.”

Begitu juga program-program lain.

“Saking banyaknya, saya lupa….”

Selama ini, berbagai istilah juga

bermunculan: 9 taman nasional

prioritas, disusul taman nasional

model, taman nasional mandiri,

dan kini, ada juga KPHK (Kesatuan

Pengelolaan Hutan Konservasi).

“Itu semua request, entah dari

Departemen Kehutanan maupun

dari luar, entah LSM atau dari luar

negeri….”

Jadi, Indra menuturkan, sementara

fondasi lima taman nasional

pertama belum mantap, disusul 11

taman yang baru. Bisa dibayangkan,

dalam tiga dekade dengan banyak

program pendek-pendek. “Setiap

judul (program-red) paling lama

tiga atau empat tahun.”

Pengelolaan taman nasional

memang didasarkan pada rencana

pengelolaan taman nasional atau

RPTN. Sayangnya, RPTN itu tak

mangkus. “Betul, ada peraturan

bahwa taman nasional dikelola

berdasarkan RPTN. Hanya saja,

semua rencana itu, disadari atau

tidak, tidak sekuat seperti halnya

GBHN dalam sebuah negara.”

Indra memaparkan, RPTN

tidak semantap GBHN untuk

menggiring taman nasional

mencapai tujuan pengelolaaan.

Akibatnya, setiap kepala taman

nasional menempuh jalan

sesuai pengalamannya. “Intinya,

pengaruh latar belakang dan

improvisasi kepala balai sangat

tinggi dalam pengelolaan taman

nasional. Pengaruhnya sangat

signifikan dibandingkan dengan

RPTN.”

Sejatinya, pengalaman setiap

kepala balai berpengaruh

terhadap arah pengelolaan taman

nasional tidak menjadi persoalan.

“Sebenarnya, itu tidak salah,

karena negara pun sekarang begitu

juga, “lanjut Indra, “setiap presiden

punya rencana program.”

Hanya saja, kepala balai tak

memiliki jangka waktu yang pasti.

“Kalau presiden ada masa periode,

sehingga bisa merencanakan, dan

pada akhir pemerintahannya bisa

dilihat capaiannya.”

Hal itu berbeda dengan kepala

taman nasional. Indra pernah

merasakan mengelola taman

nasional selama tujuh tahun.

Dirinya pernah di Baluran antara

tahun 1988 hingga 1995 sebagai

kepala sub-bagian tata usaha

(KSBTU). “Saat itu, saya punya

cita-cita, dan baru tahun ke-5 atau

ke-6 bisa terlaksana,” papar Indra,

“tapi, kalau hanya 6 bulan, satu

atau dua tahun?”

Banyak bekerja terkait sumber-

daya alam, flora-fauna, Indra

mengatakan, selama ini belum

terpikirkan secara matang ten-

tang pengelolaannya. Ihwal pe-

ngelolaan spesies, misalnya, belum

lama baru ada rencana strategis

badak, gajah, harimau dan

banteng. “Sebelumnya, tidak ada.

Bagaimana penerapannya,” tanya

Indra, “coba lihat anggaran untuk

pengelolaan spesies. Berapa persen

sih dananya?”

Berbekal pengalaman yang

hampir seusia taman nasional

pertaman itu, Indra mengajak

semua pihak berembuk untuk

mencari pengelolaan berlanggam

Indonesia, pengelolaan yang tidak

dilesakkan dari luar.

“Agar ada bentuk pengelolaan

yang gamblang,” tutur Indra, “oleh

karena itu, jangan diambangkan.

Kecenderungan di bawah jadi

ragu. Takut salah, ini salah. Kadang

malah tidak berbuat apa-apa, biar

tidak salah.”***

21

Page 24: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Lima bentang alam, Leuser, Ujung Kulon, Gede Pangrango, Baluran dan Ujung Kulon, bisa

dipandang sebagai perintis sebuah kawasan untuk kebanggaan bangsa yang menghampar di

Khatulistiwa: taman nasional.

Sebuah taman yang berada di garis depan bagi bangsa ini dalam menaungi sejarah alam

Nusantara. Di sinilah, tiga dekade silam negeri ini menambatkan sebuah tekad untuk

melestarikan, melindungi sekaligus memanfaatkan kekayaan titipan anak cucu. Menempuh

kurun tiga dekade bukan waktu yang pendek dalam derap zaman yang terus bergerak.

Taman Nasional Gunung Leuser Seluas sejuta hektar, Leuser hanya diurus oleh 198 personel.

Polisi hutan sebagai tenaga utama pengamanan kawasan

hanya berjumlah 69 orang.

Pengendali ekosistem hutan (PEH) dan penyuluh, yang

menjadi ujung tombak secara teknis, hanya berjumlah 16

orang. Dari jumlah itu, sebagian disibukkan perkara non-

teknis.

Hampir 70persen pegawai Leuser berumur lebih dari 40

Taman Nasional Ujung Kulon

Letusan Krakatau pada 1883 menimbulkan ombak tsunami

setinggi pohon kelapa menyapu bersih tepi barat Pulau Jawa.

Beberapa tahun kemudian, tangan alam memulihkan degup

kehidupan kawasan yang kini dikenal sebagai Taman Nasional

Ujung Kulon, Banten.

Taman Nasional Ged

Pamornya sebagai kawasan p

pendaki untuk menjelajahi pun

orang mengunjungi Taman Na

pendakian, pendidikan maupun

Banyaknya pengunjung mem

Dengan bantuan para sukarela

menyiangi reja-reja yang dibaw

83.3 tahun dan sedikitnya 35 orang memasuki masa pensiun pada

lima tahun ke depan. Selama 5 tahun terakhir, pegawai baru

hanya satu sampai empat orang per tahun.

”Ke depan PEH harus fokus, maksimal 4 tahun harus naik

pangkat. Saya kecewa ada tenaga fungsional yang sampai

belasan tahun tak naik pangkat. PEH harus laksana pawang

yang memberi kasih sayang pada spesies,” terang Harijoko,

kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser.

Pengunjung Bukit Lawang, Leuser,

seusai dilanda banjir bandang

(Pengunjung Nusantara maupun

Mancanegara)

3.593 5.446

Pegunjung Gede Pangrango Mengunjungi Taman ini perlu ongkos besar. Biaya dari simpang PLTU Labuan ke Kecamatan Sumur, Pandeglang, 77.883 Banten, sebesar Rp25.000. 73.212

Untuk memangkas ongkos carter kapal, mencapai Ujung

Kulon dari Sumur memang pilihan yang masuk akal. Dari

Labuan, carter kapal cepat berpenumpang 8 orang mencapai

Rp3.000.000 per hari, sementara carter kapal nelayan,

berkapasitas 25 orang, dari Sumur bertarif Rp1.700.000

per hari.

Pengunjung Ujung Kulon

3.635 3.197 1.051 2.087

2004 2005 2006

22

2.071

2007 2008 2004

2.368 2.285 2.511

2005 2006 2007 2008 2004 2005 200

Page 25: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Taman Nasional Komodo

e Pangrango pegunungan menarik ribuan

ncak Gede Pangrango. Ribuan

asional ini, baik untuk rekreasi,

n penelitian.

bawa dampak lain: sampah.

wan, Taman Nasional ini sibuk

wa para pengagumnya.

360

69.937

Taman Nasional Baluran

Saat zaman sedang digulung gelombang pemanasan global,

Baluran sebenarnya gudang informasi ihwal cara satwa liar

bertahan hidup di tanah kering. “Sayangnya, sampai kini

belum ada yang meneliti,” ujar Agus Bambang Haryono,

kepala Bagian Tata Usaha Taman Nasional Baluran.

“Banteng-banteng di Baluran juga lebih besar, gempal, dan

tangguh, dibandingkan dengan banteng di Taman Nasional

Alas Purwo,” terang Mahrudin, seorang polisi hutan Baluran.

Pohon-pohon yang bertajuk ringan memudahkan aktivitas

mengamati burung. Sementara di lain tempat seperti mengais

sepotong jarum dalam rimbunan jerami, menemukan merak

dan ayam hutan di Baluran segampang menjumpai ayam di

jalanan kampung.

Pengunjung Baluran

Menapaki waktu dua jam lebih awal ketimbang empat

saudara kembarnya yang lain, Taman Nasional Komodo

seperti menjemput masa silam. Di sini, biawak purba,

Varanus komodoensis, masih berkesempatan untuk tetap

menghiasi Bumi.

Dengan Labuan Bajo sebagai pintu gerbang Pulau Flores,

citra Komodo tergantung pada ibukota Manggarai Barat

itu. Namun kota itu tak mampu menampilkan keelokannya.

Pantai dan lautnya tidak menginspirasi kota itu dalam menata

kawasannya. Kesan kotor dan kumuh terlihat di sudut-

sudut jalan.

Tak hanya itu, ”Bisnis pariwisata pun telah banyak jatuh ke

tangan orang asing, seperti hotel, kapal pesiar dan guide

master,” tutur Condo Subagyo, pemilik CNDive yang telah

bermukim di kota ini sejak 1982.

Jika tidak ada perhatian dari pemerintah setempat, pemodal 67.980

asing akan menguasai gerak laju pariwisata Labuan Bajo dan Komodo.

Pengunjung Komodo

21.766

17.347

8.747

06 2007 2008 2004

11.281 9.899 10.192

2005 2006 2007

8.946

2008 2004 2005

6.773 8.035

2006 2007 2008

23

Page 26: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

P

Penunjukan Kawasan Hutan Implikasinya bagi Hutan Konservasi

TN Gede Pangrango

Silang pendapat dari penunjukan

baru kawasan hutan memunculkan

antinomi hukum.

enunjukan kawasan hutan menjadi salah satu

bagian dari proses perubahan fungsi hutan.

I Gusti Nyoman Andila SH, MM

PP No. 68/Tahun 1998, tentang Kawasan Suaka Alam

(KSA) dan Kawasan Pelestarian alam (KPA).

Undang-Undang No. 41/Tahun 1999, tentang

Kehutanan, Pasal 6, menyebutkan kawasan hutan

mempunyai tiga fungsi pokok: konservasi, lindung dan

produksi

Perubahan didasarkan pada kriteria keadaan dan sifat

fisik wilayah, topografi, jenis tanah, iklim, pengaturan

tata air, serta pertimbangan lainnya. Penunjukan

kawasan hutan dapat juga disebabkan adanya revisi

dan/atau penyusunan tata ruang wilayah provinsi

ataupun kabupaten.

Selain itu, ada juga lahan non-kawasan hutan yang

kemudian menjadi kawasan hutan. Ini, misalnya, lahan

kompensasi dari pinjam-pakai kawasan hutan atau

areal pengganti dalam tukar-menukar kawasan hutan.

Secara operasional, penunjukan diatur dengan

Kepmenhut No. 32/Tahun 2001, tentang Kriteria dan

Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, dan PP No. 44/

Tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan, serta

24

Antinomi Hukum

Dinamika pengelolaan kawasan hutan berakibat

pada perubahan status dan fungsi kawasan hutan.

Hutan konservasi juga tidak luput dari perubahan

yang berdampak pada penambahan areal, atau juga

sebaliknya, pengurangan kawasan.

Perubahan status dan fungsi kawasan hutan diteruskan

dengan penunjukan dan penetapan kawasan dan

fungsi hutan secara parsial. Di samping itu, ada pula

penunjukan secara provinsial, baik akibat padu-

serasi TGHK dengan RTRWP ataupun karena review

RTRWP.

Tak jarang penunjukan terjadi pada kawasan hutan

yang telah ditunjuk; bahkan pada kawasan yang telah

ditetapkan secara parsial. Misalnya, penunjukan

semula sebagai fungsi hutan produksi, diganti dengan

penunjukan baru menjadi hutan konservasi, atau

sebaliknya.

Page 27: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Dampaknya, penunjukan justru

membawa kompleksitas dan

implikasi bagi kontrak atau

perjanjian dengan pihak ketiga.

Berbagai izin pemanfaatan kawasan

yang semula telah sah, dengan

adanya perubahan fungsi hutan,

menjadi tidak sah dan dipandang

melanggar hukum. Jika hal ini

yang terjadi, muncullah antinomi

hukum, yaitu satu keputusan

mengandung dua azas yang saling

bertentangan.

Azas pertama, Lex Posteriori

Derogat Legi Priori atau hukum

yang baru menyisihkan yang lama.

Artinya, yang berlaku adalah

penunjukan yang terbaru atau

terakhir. Sebaliknya, di sisi lain

terdapat azas Nullum Delictum,

Nulla Poena Sine Previae Lege

Poenali atau hukum tidak berlaku

surut. Ini berarti perubahan fungsi

tidak menghapus izin sah yang

telah ada sebelumnya.

Menanggapi dilema hukum itu,

dalam penyegaran Biro Hukum dan

Organisasai Sekretariat Jenderal

Departemen Kehutanan, Profesor

Maria Soemardjono menyatakan,

izin-izin pemanfaatan kawasan

hutan yang semula berdasarkan

fungsi hutan adalah sah. Jadi,

penunjukan fungsi hutan yang baru,

berubah menjadi hutan konservasi

misalnya, izin pertama masih tetap

sah sampai jangka waktunya.

Departemen Kehutanan lazim

mengambil langkah-langkah pe-

nyesuaian tanpa merugikan pihak

ketiga. Bila perizinan berada

dalam kawasan konservasi, bisa

dilakukan pendekatan kolaboratif

berdasarkan Peraturan Menteri

No. 19/Menhut-II/2004 tentang

Kolaborasi Pengelolaan Kawasan

Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian Alam.

Dalam peraturan itu dirumuskan,

untuk efektivitas pengelolaan

kawasan secara bersama dan

sinergis oleh para pihak atas dasar

kesepahaman dan kesepakatan

bersama sesuai peraturan yang

berlaku.

Sebenarnya, kedua azas di atas tidak

akan menimbulkan persoalan, bila

ditafsirkan dalam perspektif yang

benar. Membaca teks hukum hanya

secara tersurat merupakan langkah

keliru. Tafsiran hukum memang

dapat bersifat etimologi ataupun

historis. Artinya, pemahaman

tidak hanya terbatas secara tersurat,

melainkan juga secara tersirat,

sehingga dapat menciptakan dan

menjaga kepastian hukum.

Hutan Konservasi Dalam

Penunjukan

Sementara tata batas belum dapat

dilakukan, lalu muncul pertanyaan

bagaimana posisi kawasan hutan

yang baru pada tahap penunjukan,

khususnya hutan konservasi?

Menurut Pasal 1 butir 3, UU No.

41/Tahun 1999 bahwa kawasan

hutan adalah wilayah tertentu

yang ditunjuk dan/atau ditetapkan

pemerintah untuk dipertahankan

sebagai hutan tetap. Itu artinya,

kawasan hutan pada tahap

penunjukan adalah sah secara

hukum.

Atas persoalan ini, Menteri

Kehutanan melayangkan surat

kepada Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia dengan

No. S. 426/Menhut-VII/2006

tanggal 12 Juli 2006. Surat itu

menekankan, kawasan hutan pada

tahap penunjukan telah sah dan

telah berlaku dengan sejumlah

pertimbangan.

Pertama, sesuai UU No. 41/Tahun

1999, menteri kehutanan telah

menunjuk kawasan hutan di seluruh

Negara Indonesia yang merupakan

tindak lanjut paduserasi antara

TGHK dengan RTRWP.

Kedua, meski telah dimulai sejak

1992, sampai saat ini hanya

Kalimantan Tengah dan Riau yang

belum merampungkan paduserasi,

sehingga di kedua provinsi itu

secara legal kawasan hutannya

masih mengacu pada ketentuan

Menteri Kehutanan tentang TGHK.

Ketiga, PP No. 44/Tahun 2004

tentang Perencanaan Kehutanan,

Pasal 18 Ayat 2 menjelaskan

penunjukan kawasan hutan wilayah

provinsi dilakukan oleh Menteri

Kehutanan dengan memperhatikan

RTRWP dan/atau padu-serasi.

Keempat, pada hakikatnya,

penunjukan adalah penetapan

awal fungsi suatu wilayah tertentu

sebagai kawasan hutan, yang secara

spasial dituangkan dalam peta

penunjukan dalam skala tertentu,

dilengkapi dengan informasi posisi

geografisnya.

Kelima, berdasarkan pengertian

Pasal 1 butir 3 UU No. 41/Tahun

1999 dapat disimpulkan, meski

belum ditata batas dan ditetapkan,

statusnya tetap sebagai kawasan

hutan. Soalnya, pemerintah akan

menerapkan berbagai kegiatan,

di antaranya penyusunan unit

kesatuan pengelolaan hutan,

pemberian izin pemanfaatan,

dan pengelolaan hutan yang

berkekuatan hukum tetap.

25

Page 28: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Terakhir, saat ini berkembang

pendapat di kalangan aparat

hukum bahwa kawasan hutan yang

belum ditata batas dan ditetapkan

tidak operasional dan tidak dapat

diterapkan di lapangan, sehingga

tidak bisa digunakan sebagai acuan

dalam upaya penegakan hukum.

Tak mengherankan banyak

dijumpai pelanggaran di bidang

kehutanan yang lolos dari

jeratan hukum. Bila pendapat itu

digunakan sebagai yurisprudensi

di bidang hukum, maka akan

terjadi pengurangan luas kawasan

hutan secara besar-besaran yang

berdampak pada terganggunya

fungsi lingkungan.

Dengan demikian, meski baru pada

tahap penunjukan, untuk kawasan

hutan konservasi misalnya, telah

berkekuatan hukum. Hal ini

dipertegas oleh Permenhut No. 50/

Tahun 2009, soal Penegasan Status

dan Fungsi Kawasan Hutan. Pasal

2 menjelaskan, kawasan hutan

telah berkekuatan hukum, bila: a.

telah ditunjuk dengan Keputusan

Menteri; b. telah ditata batas oleh

Panitia Tata Batas; atau, c. Berita

Acara Tata Batas (BATB) Kawasan

Hutan telah disahkan oleh Menteri;

atau, d. kawasan hutan telah

ditetapkan dengan Keputusan

Menteri.

Sebagai ilustrasi, untuk mem-

buktikan kepemilikan sebidang

tanah tak harus dengan sertifikat,

melainkan dapat dengan beberapa

surat keterangan milik lainnya,

sebagaimana diatur Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional No. 9/

Tahun 1999.

Dalam Pasal 9 Ayat (2) a disebutk-

an, dasar penguasaan atau alas

hak dapat berupa sertifikat, girik,

surat kapling, surat-surat bukti

pelepasan hak dan pelunasan

tanah dan rumah dan atau tanah

yang telah dibeli dari pemerintah,

putusan pengadilan, akta PPAT,

akta pelepasan hak, dan surat-surat

bukti perolehan tanah lainnya”.

Antara Penunjukan versus

Penetapan

Kompleksnya silang hukum kawas-

an hutan menerbitkan perbedaan

perspektif.

Kawasan hutan konservasi yang

telah ditetapkan, yang kemudian

dilakukan penunjukan kembali,

baik secara parsial maupun

makro, karena penyusunan atau

review RTRWP. Lantas, kawasan

yang mana yang akan diakui:

hutan konservasi yang baru pada

tahap penunjukan atau kawasan

sebelumnya yang sudah ditetapkan

oleh menteri kehutanan?

Menyangkut pertanyaan ini, di

kalangan birokrasi terdapat dua

pendapat.

Pendapat pertama mengacu pada

kawasan pada tahap penunjukan.

Pendapat kedua berpandangan:

penunjukan dapat dikesampingkan

oleh BATB, atau kawasan hutan

sebelumnya yang telah ditetapkan

menteri kehutanan masih tetap

berlaku. Penunjukan telah ber-

kekuatan hukum, terlebih lagi telah

ditata batas, atau telah ditetapkan.

Selain itu, yang menjadi persoal-

an adalah implikasi hukum

dari penunjukan makro yang

mengacak-acak kawasan kon-

servasi. Pertanyaan yang sama

juga muncul: apakah kawasan

konservasi yang ditunjuk secara

parsial ataukah secara makro

(provinsial) yang diacu?

Dilihat dari proses penyusunannya,

status parsial dilakukan lebih rinci

daripada secara makro, karena

pada penunjukan parsial terdapat

perlakuan tim terpadu yang lebih

intensif mengingat luasannya lebih

kecil. Lalu, apakah penunjukan

makro serta-merta menggugurkan

kawasan yang ditunjuk secara

parsial, apalagi telah ditata

batas temu gelang, terlebih lagi

sudah dikukuhkan oleh menteri

kehutanan.

Menurut hemat penulis, pemilihan

dari berbagai opsi: apakah

penunjukan yang lama, penunjukan

yang baru, kawasan yang baru tahap

tata batas (BATB), atau kawasan

yang telah ditetapkan, tergantung

pada beberapa pertimbangan.

Pertama, tetap menghormati

izin sah secara hukum yang telah

ada sebelum penunjukan yang

baru; kedua, menjaga azas-azas

pemerintahan yang baik; ketiga,

Penunjukan secara makro

Penunjukan kawasan hutan dan perairan untuk wilayah

provinsi, misalnya di Provinsi Jawa Barat atau Jawa

Tengah. Biasanya, dilakukan karena adanya review

tata ruang, paduserasi TGHK dengan RTRWP, dan juga

pembentukan wilayah provinsi baru. Penunjukan secara parsial

Misalnya penunjukan hutan lindung, hutan produksi

dan hutan konservasi. Bisa juga penunjukan subfungsi

seperti penunjukan untuk taman nasional, cagar alam,

hutan produksi terbatas, ataupun hutan produksi uang

dapat dikonversi.

26

Page 29: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

menghindari kerugian negara; dan

keempat, terjaganya kelestarian dan

ekosistem konservasi itu sendiri.

Kawasan Konservasi dan

Tata Ruang Wilayah

Dengan berlakunya UU No. 24/

Tahun 1992, yang diganti dengan

UU No. 26/Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang, pemerintah

daerah, baik provinsi dan

kabupaten/kota, diwajibkan

menyusun RTRWP/K yang

dipaduserasikan dengan pola

ruang kehutanan. Sehingga,

TGHK mengalami perubahan

yang kini dikenal sebagai kawasan

berdasarkan padu-serasi.

Dengan demikian, pengurusan dan

pengelolaan hutan bersifat lintas

sektoral. Salah satu di antaranya,

keterkaitan dengan rencana tata

ruang. Keterkaitan ini bersifat

normatif sebagaimana diatur

dalam UU No. 41/Tahun 1999,

Pasal 15 Ayat (2), yang berbunyi

Pengukuhan kawasan hutan di-

lakukan dengan memperhatikan

rencana tata ruang wilayah.

Ini berarti, setiap perubahan

tata ruang akan menimbulkan

usulan revisi penunjukan kawasan

hutan yang juga meliputi hutan

konservasi. Setelah selesai disusun

wilayah padu-serasi, akan tersusun

penataan ruang baru antara

kawasan kehutanan dan wilayah

yang berada di bawah wewenang

pemerintah daerah lewat Badan

Pertanahan Nasional (BPN).

Untuk itu, telah diterbitkan surat

keputusan bersama (SKB) antara

Departemen Kehutanan dan BPN

untuk memecahkan tata batas yang

jelas antara hutan dan non-hutan.

Dalam pelaksanaannya telah dibuat

peta padu-serasi TGHK dengan

RTRWP.

Penutup

Tahapan pengukuhan meliputi

penunjukan, penataan batas,

pemetaan, dan terakhir penetapan.

Namun, dari apa yang telah

diuraikan, terdapat beragam pe-

nafsiran terhadap posisi tahapan

proses pengukuhan itu sendiri.

Mana yang lebih kuat: penunjukan,

tata batas, pemetaan atau

penetapan.

Kondisi ini memerlukan sikap

persamaan persepsi, baik di

kalangan birokrasi dan praktisi

kehutanan. Selayaknya, sikap

dikotomis: penunjukan lama versus

penunjukan baru, penunjukan

versus tata batas, dan penunjukan

versus penetapan, tidak perlu

terjadi.

Terciptanya persamaan persepsi

dan penafsiran memerlukan

rumusan secara jelas dalam

penyempurnaan Kepmenhut No.

32/Tahun 2001, tentang Kriteria

dan Standar Pengukuhan Kawasan

Hutan. Posisi dan perlakuan setiap

tahapan dari proses pengukuhan

perlu dinarasikan secara gamblang.

Penulis adalah Perancang Undang-undang

Madya, Biro Hukum dan Organisasi Setjen

Kementerian Kehutanan.

27

Page 30: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

K

Alessandro Paiva

Pisang-pisang Liar Gunung Salak Kekayaan flora yang masih jarang dilirik.

Gunung Salak rumah terakhir pisang asli

Indonesia, Musa salaccensis Zoll. awasan Indo-Malesia yang meliputi Indonesia,

Semenanjung Malaya, Filipina, dan New

Lulut D. Sulistyaningsih

(1997) adalah sejumlah peneliti yang pernah

menjelejahi kawasan ini.

Guinea merupakan pusat keanekaragaman

utama pisang-pisangan. Indonesia mempunyai pisang

liar dan pisang budidaya yang melimpah. Sebanyak

12 jenis pisang liar telah ditemukan di Indonesia yang

tersebar di Sumatera, Jawa, Kepulauan Sunda Kecil,

Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Untuk Pulau Jawa, pusat keanekaragaman pisang liar

terdapat di Jawa Barat. Salah satu kawasan yang diduga

memendam keanekaragaman pisang liar yang cukup

tinggi adalah Gunung Salak, Taman Nasional Gunung

Halimun - Salak (TNGHS).

Gunung Salak ibarat laboratorium alam bagi para

peneliti. Keanekaragaman flora dan faunanya telah

menarik minat para peneliti. Claes Frederic Hornstedt

(1758-1809), botanis Swedia yang merupakan murid

Thunberg, Reinwardt pada tahun 1817 (Steenis, 2006),

Kartawinata (1985), Mirmanto (1991), Wiriadinata

28

Hanya saja, telaah untuk mengkaji pisang-pisang liar di

Gunung Salak masih jarang dilakukan. Pada Juli 2008,

Juni 2009, dan Januari 2010 dilakukan eksplorasi di

kawasan Gunung Salak.

Koleksi tumbuhan lengkap, termasuk bunga dan

buah (fertile), diproses untuk dijadikan spesimen

herbarium, baik untuk koleksi kering, basah, maupun

karpologi. Data-data lapangan yang meliputi nama

daerah, habitat, ekologi, perawakan, warna-bau-rasa

dari bagian tumbuhan tertentu—daun, bunga, dan

buah—yang tak terawetkan telah dicatat.

Kelimpahan jenis pisang-pisang liar di kawasan

Gunung Salak relatif tinggi. Di kawasan ini ditemukan

pisang-pisang liar: Musa acuminata Colla var. cerifera,

M. acuminata Colla var. malaccensis (Ridl.) Nasution,

M. acuminata Colla var. nakaii, M. acuminata Colla

Page 31: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

var. zebrina, dan M. salaccensis

Zoll. Pisang-pisang liar ini dapat

ditemukan pada ketinggian 200 -

1100 m dpl.

Karakter Morfologi

M. acuminata Colla var. cerifera

(Back.) Nasution.

Nasution (1991) mempertelakan

varietas ini dengan ciri-ciri batang

semu tinggi-besar, perbungaannya

mencapai 1,5 meter, pertama

kali tumbuh secara horisontal

kemudian menjuntai, berbulu

warna cokelat. Buah dan bunga

terdiri atas 2 baris.

Dalam satu tandan terdiri atas

7-8 sisir, satu sisir terdapat 8-16

buah. Buah berukuran sedang,

berdiameter 7-8 cm. Biji banyak,

90-100 biji per buah, bentuknya

tidak beraturan, diameter 4,7-5,2

cm, berwarna hitam ketika matang.

Jantung berbentuk bulat telur,

diameter 9-11 cm, ujung tumpul,

bagian luar berwana ungu, bagian

dalam berwarna ungu terang, tidak

terdapat lapisan lilin.

Masyarakat setempat menyebut

pisang ini dengan cau kole. Varietas

ini tumbuh pada tempat terbuka

pada ketinggian 200-500 m dpl.

M. acuminata Colla var.

malaccensis (Ridl.) Nasution

Varietas ini pertama kali

dipertelakan oleh Nasution (1991)

sebagai tanaman herba dengan

perawakan tinggi besar, serupa

dengan M. acuminata Colla var.

cerifera. Tinggi batang semu

mencapai 6 m, diameter 17-18 cm,

berbecak coklat.

Permukaan atas dan bawah daun

berwarna hijau, panjang daun 2,5-

3,5 cm, lebar 60-70 cm, bagian

dasar daun tidak simetri, lapisan

lilin sangat sedikit. Tangkai daun

berwarna hijau dengan bercak-

bercak cokelat pada bagian

dasarnya, panjang 45-55 cm.

Perbungaan horisontal kemudian

menjuntai, panjang mencapai 2,2

m, tangkainya berbulu cokelat.

Jantung bulat telur, permukaan luar

berwarna merah keunguan, bagian

dalam berwarna merah terang,

panjang 9-16 cm. Bunga dan buah

tersusun dalam 2 baris, terdapat

10-12 sisir, tiap sisir terdapat 16-18

buah.

Buah berukuran sedang, lokos,

panjang 8-9 cm, diameter 1.5-1.8

cm, kulit buah tipis, buah berwarna

kuning ketika matang. Biji 60-70

per buah, bentuk tidak beraturan,

pipih, berwarna hitam ketika

matang.

Masyarakat Sunda mengenal M.

acuminata Colla var. malaccensis

dengan sebutan cau kole atau

cau kees. Selain di Jawa Barat,

varietas ini juga dapat ditemukan

tumbuh liar di Sumatera Utara

dan Mentawai pada ketinggian

300-1750 m dari permukaan laut,

di tempat terbuka, di sepanjang

sungai, atau di lereng gunung.

Selain itu ditemukan juga di

Semenanjung Malaysia (Nasution,

1991).

Di kawasan Gunung Salak varietas

ini merupakan varietas pisang liar

yang cukup mendominasi. Dapat

ditemukan di tempat terbuka, di

lereng gunung, di tepi sungai, pada

ketinggian 550-1100 m dpl.

M. acuminata Colla var. nakaii

Nasution

Sama halnya dengan varietas

malaccensis, varietas ini dikenal

oleh masyarakat setempat dengan

sebutan cau kole atau pisang hutan.

Varietas ini ditemukan tumbuh

secara liar di tempat terbuka pada

ketinggian 400-500 m dpl.

Nasution (1991) mempertelakannya Salah satu jenis pisang liar yang hidup di Gunung Salak,

Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat, Musa

accuminata Colla var. malaccensis (Ridl) Nasution.

sebagai varietas dengan batang

semu yang langsing, tinggi

Lulut D. Sulistyaningsih mencapai 4,5 m, diameter 10-13 cm, berbecak cokelat tanpa lapisan

lilin. Helaian daun berbentuk

lanset, panjang 270-280 cm,

lebar 45-50 cm, permukaan daun

bagian atas berwarna hijau dengan

bercak-bercak berwarna cokelat,

bagian bawah berwarna merah

kecokelatan.

Perbungaan horisontal, lalu

menjuntai, panjang mencapai 1,5 m,

tangkai perbungaan berbulu halus

warna cokelat. Buah dan bunga

tersusun dalam 2 baris, terdapat

4-6 sisir, tiap sisir 16-18 buah. Buah

berukuran sedang, panjang 8-8,5

cm, diameter 1,5-2 cm, berbulu.

29

Page 32: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

M. salaccensis yang diduga keberadaannya

telah punah di habitat asalnya,

masih dapat ditemukan di beberapa

kawasan Gunung Salak. Biji banyak, 60-80 biji per buah,

bentuknya tidak beraturan, pipih,

lebar 4,6-5 cm, berwarna hitam

ketika sudah matang.

M. acuminata Colla var. zebrina (v.

Houtte) Nasution

Secara sekilas, varietas ini mirip

dengan M. acuminata var. zebrina

karena memiliki bercak cokelat

tua di helaian daun bagian atas.

Seperti halnya varietas lain dari M.

acuminata, varietas ini dipertelakan

oleh Nasution (1991).

M. acuminata var. zebrina mem-

punyai batang semu yang langsing,

tinggi 2-2,7 m, diameter 6-9 cm,

bebercak cokelat tanpa lapisan lilin.

Panjang helaian daun 1,3-1,5 m,

lebar 26-34 cm, permukaan atas

berwarna hijau kadang-kadang

dihiasi dengan bercak-bercak

cokelat.

Panjang tangkai daun 35-

40 cm, sisi-sisi tangkai daun

tidak melengkung. Perbungaan

horisontal lalu menjuntai, panjang

mencapai 1.1 m. Jantung menyirap.

Bunga dan buah tersusun dalam 2

baris, terdapat 5-8 sisir, tiap sisir

14-16 buah. Buah kecil, panjang

5-6.6 cm.

Biji banyak, 60-80 biji per buah,

bentuk tidak beraturan, pipih,

berwarna hitam ketika matang.

Varietas ini banyak dijumpai

tumbuh liar di tempat-tempat

terbuka pada ketinggian 250-

900 m dpl. Masyarakat Sunda

mengenalnya dengan sebutan cau

kole atau cau kees.

30

M. salaccensis Zoll.

Jenis ini merupakan tanaman asli

Indonesia, pertama kali ditemukan

di Gunung Salak, Jawa Barat, dan

dideskripsikan pertama kali oleh

Zollinger pada 1854. Selain dapat

ditemukan di Jawa, M. salaccensis

Zoll. tumbuh liar di Sumatera,

seperti di Taman Nasional Gunung

Leuser, Tapanuli Selatan, Sumatera

Barat, dan Bengkulu (Nasution,

1994).

Häkkinen dan Väre (2009)

melaporkan, kemungkinan ke-

beradaan jenis ini di Pulau Jawa

telah punah. Dari hasil eksplorasi

di kawasan Gunung Salak, yang

merupakan habitat asalnya, jenis ini

masih dapat ditemukan di beberapa

kawasan di Gunung Salak, seperti

di jalur pendakian menuju Curug

Kabayan dan daerah Cimelati.

Secara morfologi jenis ini

berperawakan kecil setinggi

1-3 m. Daunnya kecil, pangkal

tidak seimbang, ujung tumpul.

Perbungaan tegak, berwarna ungu,

dihiasi dengan garis melintang

merah-jambu, hal inilah yang

menjadikan pisang ini tampak

menarik.

Jantung mekar berbentuk jorong,

sangat menyirap dengan ujung

tumpul. Braktea lanset, keunguan

dengan tepi hijau, berkilau, licin

dengan ujung tumpul. Bunga dan

buah tersusun dalam satu baris.

Setiap sisir terdapat 2-4 buah,

berbentuk silindris, agak bersegi

empat, agak melengkung, panjang 9

cm dengan tangkai pendek, panjang

0,2 cm. Biji banyak, berbentuk

sungsang dengan ornamen garis

cincin kecokelatan pada bagian

tengah, berwarna hitam ketika

sudah matang.

Kesimpulan

Gunung Salak merupakan habitat

yang luas untuk pisang-pisang

liar. Selama eksplorasi, ditemukan

dua jenis pisang liar, yaitu Musa

acuminata Colla dan M. salaccensis

Zoll.

Untuk M. acuminata Colla,

sebanyak 4 varietas telah ditemukan:

M. acuminata Colla var. cerifera

Nasution, M. acuminata Colla

var. malaccensis (Ridl.) Nasution,

M. acuminata Colla var. nakaii

Nasution, dan M. acuminata Colla

var. zebrina (v. Houtte) Nasution.

Pisang liar yang mendominasi

kawasan Gunung Salak adalah M.

acuminata Colla var. malaccensis

(Ridl.) Nasution.

Sedangkan M. salaccensis yang

diduga keberadaannya telah

punah di habitat asalnya, masih

dapat ditemukan di beberapa

kawasan Gunung Salak, seperti di

jalur menuju Curug Kabayan dan

Cimelati.***

Penulis bekerja di Herbarium Bogoriense,

Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi

- LIPI, Jl. Raya Bogor - Jakarta Km. 46,

Cibinong Science Centre, Cibinong 16911.

Page 33: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

B

Swiss Winasis

Populasi banteng terus menyusut.

Ikhtiar pelestariannya diarahkan pada

pengelolaan habitat.

anteng, Bos javanicus; kerbau liar, Bubalus

bubalis; dan rusa, Cervus timorensis merupakan

Muhammad Yusuf Sabarno

Banteng, dari waktu ke waktu

Salah satu petunjuk keberhasilan upaya pelestarian

bagian dari satwa liar yang berperan penting satwa liar secara in situ adalah semakin meningkatnya

bagi eksistensi Taman Nasional Baluran, Situbondo,

Jawa Timur.

Seiring waktu, terjadi perkembang-an kondisi

Baluran yang mem-pengaruhi kehidupan satwa liar.

Diantaranya, terbatasnya sumber air minum satwa saat

kemarau, perburuan liar dan aktivitas masyarakat di

dalam hutan.

Selain berakibat pada perubahan perilaku dan

pergerakan satwa, keadaan itu bisa menurunkan

populasi satwa. Di antara ketiga satwa tersebut, banteng

menjadi maskot Baluran yang memerlukan perhatian

khusus dalam pengelola-an populasinya.

Status satwa gelap berpantat putih itu, menurut Data

Merah (Red Data Book) - IUCN (1978) termasuk

rawan (vurnerable). Oleh karena itu, aspek populasi,

perilaku, penyebaran, dan habitat banteng perlu kajian

mendalam. Tulisan ini bermaksud menyampaikan

analisis sederhana atas kondisi yang terjadi dan

sekaligus berupaya mencari solusi.

populasi sesuai dengan kapaitas daya dukung kawasan.

Perkembangan populasi mamalia besar di Baluran

dapat diketahui, salah satunya, dengan memantau

melalui sensus (Lihat Infografis).

Dari sejumlah sensus mamalia, terutama banteng

dan kerbau liar, yang dilakukan, diharapkan nampak

representasi populasi satwa liar. Pemantauan populasi

mamalia besar telah dimulai sejak dahulu, bahkan

ketika Baluran masih berstatus suaka margasatwa.

Selain dari sensus, didukung pula hasil pemantauan

dari petugas di lapangan yang menyatakan terjadi

penurunan frekuensi perjumpaan banteng. Kian

menurunnya populasi banteng menerbitkan

keprihatinan sehingga diperlukan kajian menyeluruh.

Harapannya, diperoleh langkah-langkah dan alternatif

untuk meningkatkan jumlah banteng.

Pelecut Menurunnya Populasi Banteng

Sejumlah faktor yang saling terkait menyebabkan

menurunnya populasi banteng di Baluran.

31

Page 34: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

Air

Baluran dikenal sebagai daerah

kering dengan curah hujan tahunan

yang rendah. Sebagai habitat satwa

liar, ketersediaan air di Baluran

sangat penting untuk menopang

kehidupan satwaliar. Sumber air di

Baluran sangat terbatas di sejumlah

titik, mulai Perengan hingga Bama-

Batu hitam, yang membentuk

kubangan-kubangan alami.

Alternatif yang lain, Sungai

Bajulmati dan Klokoran; hanya saja

dua sungai itu rawan karena berada

di batas kawasan bagian selatan.

Kurun 1980 - 1990-an pasokan air

cukup terbantu dengan aliran dari

Talpat dan Kacip ke Bekol. Hanya

saja, pada 2002-2003, aliran air ke

Bekol terhenti akibat pipa dan bak

penampungan air rusak. Hal ini

juga diperparah dengan hilangnya

mata air di Talpat.

Kualitas dan kuantitas kubangan

alami juga menurun lantaran

populasi kerbau liar semakin

berkurang. Pada Februari - Oktober

1985 ditangkap 162 ekor kerbau

liar dan Oktober - November 1989

ditangkap 205 ekor. Penjarangan

populasi kerbau liar itu untuk

bantuan presiden (banpres) bagi

petani unggulan di Jawa Timur.

Dampaknya telak. Populasi kerbau

liar sebelum dijarangi mencapai

1200 ekor lebih berkurang drastis

hingga sekarang. Dalih waktu itu,

populasi kerbau liar dipandang

menekan kehidupan banteng.

Padahal, saat populasinya masih

cukup banyak, kerbau liar yang

sering berkubang berdampak positif

bagi terpeliharanya kubangan

(sumber air): mengencerkan

sumber mata air, sehingga tak

tertutup endapan lumpur atau

lumpur yang menempel di tubuh

kerbau mengurangi volume

endapan.

Perubahan Habitat

Habitat yang berubah bisa

berdampak positif maupun negatif.

Sebagai kesatuan ekosistem,

perubahan kondisi kawasan akan

berpengaruh pada satwa liar. Saat

ini habitat banteng telah berubah

secara drastis.

Serbuan Akasia Duri

Savana sebagai salah satu habitat

utama banteng, kerbau liar dan

rusa Baluran, pada mulanya tidak

terlalu luas dan terpisah-pisah.

Kemudian, akibat kebakaran hutan,

areal savana bertambah luas.

Untuk mencegah penyebaran

kebakaran dari savana Bekol ke

hutan musim, pada 1969 (masih

suaka margasatwa) pihak pengelola

menanam akasia duri, Acacia

nilotica, sebagai sekat bakar.

Meski menurut Schuurmans

(1993) tidak diketahui sejak kapan

akasia duri mulai tersebar, diduga

tanaman ini telah diintroduksi

pada awal 1960-an, atau bahkan

sebelumnya. Dari foto yang

diambil pada 1980, belum nampak

gangguan yang berarti. Ekspansi

yang cepat diperkirakan mulai

1983 (Nazif via Schuurmans, 1993).

Hasil pengamatan pada 1981,

akasia duri di savana Bekol tumbuh

berkerapatan 75 batang per hektare

(Makmur via Ridwan, 1988). Pada

1986, kerapatan 3.337 batang per

hektare, sedangkan tahun 1987

kerapatan kumulatif dari berbagai

tingkat pertumbuhan sebesar 5.369

batang setiap hektare (Ridwan,

1988).

Sejumlah faktor melecut penyebar-

an tanaman ini: kondisi alam,

tanah, dan iklim, cocok untuk

pertumbuhan duri (Singh via

Schuurmans, 1993); padang rum-

put yang terbuka; produksi biji

yang sangat banyak; tahan api

dengan kemampuan beradaptasi di

daerah kering.

Selain itu, penyebaran biji juga

terbantu oleh satwa herbivora.

Polong akasia duri yang jatuh ke

lantai hutan dimakan banteng,

kerbau liar dan rusa dan bersama

kotoran satwa tersebut tersebar ke

lokasi lain.

Campur tangan manusia

Akasia duri yang menyebar luas di

Baluran juga mendorong kegiatan

pemberantasan tanaman ini. Ini

juga berarti mengundang campur

tangan manusia di dalam kawasan.

Di samping itu, aktivitas manusia

juga menyebabkan fragmentasi

habitat banteng yang berujung

Beberapa Bentuk Fragmentasi Habitat di Taman Nasional Baluran

No Bentuk Fragmentasi Habitat

Luas

(Hektar)

Lokasi

1 Pemukiman eks Hak Guna Usaha PT. Gunung Kumitir 360 Labuan Merak

2 Translok TNI - AD 57 Pandean.

3 Areal Penggembalaan Liar 3.450 wilayah Karangtekok

4 Pembangunan Waduk Bajulmati 28 Luasan TN Baluran terendam. Di Wonorejo, Batas

kawasan

5 Penggunaan lahan Tanah Gentong 22,33 Karangtekok

32

Page 35: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

25

2006 100 - 150

81 - 115

Sebelum 1968 113

2002

Pasokan air dari

1980

312 - 338

1996

1983

Polong atau biji

akasia duri mulai

menjadi pakan

banteng dan

1969 mamalia herbivora

Akasia duri lainnya. Banteng

ditanam di Suaka mulai menjadi

Margasatwa ‘penyebar’ biji akasia

Baluran untuk duri di daerah

sekat bakar. jelajahnya.

1980

Baluran menjadi

Taman Nasional.

Tanaman dari

antah-berantah ini

mulai menunjukkan

tanda-tanda

serbuan.

219 - 267

282 2000

1997

1994 - 1999

Cara pemberantasan

berganti dengan alat

berat (secara mekanik)

dan dipandang cukup

berhasil. Namun cara

ini merombak struktur

dan tekstur tanah yang

berakibat tumbuhnya

rumput musiman,

menggusur rumput

klimaks padang Baluran.

1990 - 1993

Akasia duri

menyebar

dan melumat

padang rumput.

Pemberantasan

mulai dilakukan

dengan sistem

katrol.

33

Kacip dan Talpat

mulai berhenti

www.wikimedia.com

2000 - kini

Teknik pemberantasan

diganti dengan

tebang dan bakar

tonggak. Dianggap

lebih efektif,

dengan syarat ada

pemerliharaan lahan

usai pemberantasan.

Page 36: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

pada penciutan dan penurunan

kualitas habitat.

Campur tangan manusia secara

gamblang juga terlihat dari

perburuan liar di Baluran yang

telah berlangsung sejak lama.

Sasaran utamanya banteng dan

satwa mamalia besar lainnya.

Perburuan liar dilakukan dengan

berbagai cara, di antaranya dengan

senjata api, jerat seling (kawat

besi) dan meracuni sumber air.

Para pemburu liar cukup lihai

menghindari petugas, sehingga

pelanggaran ini sering sulit

dipantau.

Pemangsaan

Ajak atau Cuon alpinus berperan

penting sebagai pemangsa

(predator) dalam rantai makanan

melalui hubungan mangsa-

pemangsa. Hanya saja, satwa

predator akan menjadi masalah

bila peningkatan populasinya tidak

seimbang dengan jumlah satwa

yang dimangsa.

Indikasi hal itu muncul di Baluran,

walaupun tanpa sensus khusus,

dengan adanya makin seringnya

perjumpaan langsung petugas

dengan ajak yang ditengarai sejak

2001. Dari hasil perjumpaan satwa

ini, pada periode 2004 -2005

dijumpai jumlah ajak antara 2 -

36 ekor. Begitu juga dari laporan

ditemukannya beberapa satwa

korban serangan ajak.

Ajak sering beraktivitas antara

pukul 05.00 - 10.00 dan pukul

15.00 - 18.00. Satwa ini lebih

terkonsentrasi di sisi timur dan

utara Baluran, karena di sini

dijumpai satwa herbivora sebagai

mangsanya, dan relatif lebih aman

dari berbagai gangguan.

Dari petunjuk awal itu, perlu

pengamatan dan pengendalian

untuk menjaga keseimbangan

antara satwa mangsa dan pemangsa

34

agar kelestarian satwa liar, terutama

banteng, dapat lebih terjamin.

Memulihkan Banteng

Untuk melestarikan dan melindungi

satwa liar yang terancam, diperlukan

pemahaman tentang hubungan

biologi antara satwa liar tersebut

dengan lingkungannya dan status

populasinya. Informasi itu dapat

berupa sejarah perkembangan

habitat dan populasinya.

Berbekal informasi sejarah tersebut,

diharapkan upaya pengelolaan

populasi satwa yang terancam

dapat lebih efektif, serta mengenali

faktor-faktor pembatas yang dapat

mendorong menuju kepunahan.

Selain itu, dengan melihat berbagai

uraian di muka, hal yang mendesak

adalah upaya perbaikan habitat

sebagai penunjang kehidupan

banteng. Air menjadi komponen

habitat yang sangat dibutuhkan

banteng—dan satwaliar lainnya.

Sumber air minum satwa harus

mendapat perhatian dan prioritas

pengelolaan.

Untuk itu, pemenuhan kebutuhan

air minum satwa saat musim

kemarau mutlak dilakukan. Dengan

demikian, perlu segera menelisik

secara menyeluruh potensi sumber

daya air yang bisa dipakai sebagai

penyedia utama maupun alternatif

di dalam Taman Nasional.

Kondisi kubangan-kubangan alami

juga perlu diperbaiki, dengan

mencari kembali titik-titik mata air

dan ”menggantikan peran” kerbau

liar dengan mengeruk endapan

lumpur yang menutupi sumber

mata air.

Selanjutnya, juga mencari sumber

air alternatif yang mampu

mendukung ketersediaan air

saat musim kemarau. Misalnya,

membuat sumur artesis maupun

sumur pompa khusus untuk

keperluan minum banteng.

Untuk menyediakan ruang yang

sesuai dengan banteng di Taman

Nasional, yaitu di savana Bekol dan

sekitarnya, diperlukan komponen

habitat yang sesuai dengan

perilaku dan kesukaan banteng.

Di antaranya, memulihkan

komponen-komponen habitat yang

diperlukan banteng: air, cover, dan

pakan.

Untuk mengurangi gangguan

manusia, perlu pengawasan dan

pemantauan terhadap suatu luasan

savana tertentu yang benar-benar

dijaga secara serius dari aktivitas

manusia. Pun, pengamanan dan

patroli di dalam kawasan.

Sementara itu, untuk

mengendalikan ajak perlu tindak

lanjut dari upaya sebelumnya

dengan menyisir lokasi-lokasi yang

ditengarai sebagai sarang hewan

pemangsa ini. Jika sarang-sarang

ajak ditemukan, salah satu langkah

yang bisa diambil adalah membuat

satwa ini tidak betah berdiam.

Penutup

Untuk mewujudkan pengelolaan

populasi satwaliar yang lestari

diperlukan berbagai upaya yang

maksimal. Faktor-faktor yang

berpengaruh pada menyusutnya

populasi banteng harus dikelola

dengan baik, agar niat pelestarian

maskot Baluran ini kembali

terwujud.

Dengan beragam penyebab yang

saling terkait, pemulihan banteng

memerlukan skala prioritas dalam

penanganan dan mengantisipasi

faktor-faktor pembatas yang ada.

Pemulihan populasi banteng, yang

berperan sebagai satwa bendera

(flagship species), juga berarti

melestarikan mamalia besar

lainnya.***

Penulis adalah staf pengendali ekosistem

hutan (PEH) Taman Nasional Baluran.

Page 37: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

S

Judul : Situs Keramat Alami-Peran

Budaya dalam Konservasi

Keanekaragaman Hayati

Penyunting : Herwasono Soedjito, Y.

Purwanto dan Endang Sukara

Halaman : xix + 303

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia

Khazanah budaya Nusantara belum

menginspirasi konservasi alam zaman modern.

uku Na’vi berjuang menyelamatkan tanah Peran tanah keramat dalam berkontribusi terhadap

keramatnya dari perusahaan yang hendak pelestarian belum lama menjadi perhatian. UNESCO

menambang unobtanium, logam paling berharga mulai melirik situs keramat alami berperan penting

di planet Pandora. Demi unobtanium, perusahaan itu

bertaruh apapun, termasuk hendak meluluh-lantakkan

pohon raksasa tempat hidup kaum Na’vi.

Kisah itu berasal dari Avatar, film tersohor yang meraih

penghargaan film terbaik Golden Globe. Avatar bertutur

tentang kemajuan zaman yang menggilas kekeramatan.

Dalam kehidupan nyata, kisah Avatar nyaris

terjadi di banyak tempat. Seringkali pembangunan

mengorbankan tanah-tanah adat yang dikeramatkan.

Bagi masyarakat tradisional ruang memang tak

seragam; sebagian untuk kehidupan sehari-hari,

sebagian yang lain untuk sesuatu yang suci.

dalam melestarikan keanekaragaman hayati pada 1997.

Sejak itu pula, badan pendidikan, sains dan budaya

PBB itu membentuk bagian khusus di bawah program

MAB (Man and the Biosphere).

Ekspresi budaya dalam bentuk situs keramat hampir

tersebar di seluruh negeri ini. Jejak-jejaknya masih

bisa dijumpai: mulai dari hutan larangan di daerah

Pasundan, tanah ulen di Kalimantan hingga sasi

di Maluku.

Area sakral alami sejatinya ekspresi pengakuan

masyarakat Nusantara terhadap jagad raya. Alam

mempengaruhi detak kehidupan masyarakat, yang

35

Page 38: B Vol IX, No.5 Maret 2010 - ekowisata.org · Selain penting untuk berjalan-jalan di atap hutan, lengan panjang ini, masa depannya ditentukan keutuhan beberapa keping belantara di

kemudian menerbitkan nilai-nilai

magis yang dianut oleh sebuah

kelompok manusia.

Tempat-tempat keramat juga

lazim mewujudkan fungsi-

fungsi pelestarian. Selain untuk

menghormati sesuatu yang

dipandang transeden, kekeramatan

juga mencakup praktik, ruang,

waktu, dan penghormatan atas

segala wujud kehidupan di dalam

sebuah tempat yang bernilai suci.

Leuweung titipan di kawasan

Gunung Halimun, Jawa Barat,

adalah contoh aspek keruangan

situs keramat. Warga kasepuhan

di kawasan Halimun menciptakan

sepenggal hutan yang terlarang.

Dalam praktiknya, di hutan ini tak

diperkenankan adanya eksploitasi

tanpa seizin pemimpin adat.

Beragam larangan diterapkan

dan dipatuhi warga kasepuhan

agar tak sembrono menjamah

hutan titipan ini. Dengan

menyatunya kekeramatan dalam

kehidupan masyarakat, situs

keramat, seperti leuweung titipan

ini, bisa berkontribusi dalam

konservasi alam.

Begitu juga masyarakat Baduy,

Jawa Barat, mengenal dengan apa

yang dalam taman nasional disebut

sebagai zonasi. Salah satunya, yang

sejajar dengan zona inti di taman

nasional, Orang Baduy memiliki

hutan sakral pusaka buana. Selain

untuk kepentingan religi, pusaka

buana bernilai penting dalam

pelestarian keanekargaman hayati.

Di sisi lain, pengetahuan religi

setempat yang memudar juga

membawa dampak mengerikan

bagi alam. Para penganut Marapu,

36

agama mata air dan hutan di Sumba,

meyakini tempat keramat untuk

bersujud adalah hutan-hutan dan

mata air.

Seiring perkembangan, agama

itu tergerus langkah zaman.

Punahnya Marapu ternyata juga

diiringi dengan pembabatan hutan.

Akibatnya, adat rotu, yang berarti

melindungi dan menjaga alam,

mulai ditinggalkan.

Padahal adat inilah yang menata

relasi masyarakat dengan sumber

daya alamnya: mengatur pengelola-

an hasil hutan atau rotu omang;

tanaman perdagangan atau rotu

pingi ai; dan pengelolaan ternak dan

padang gembala atau rotu marada.

Meski relasi kekeramatan dan

konservasi begitu kasat mata,

namun ikhtiar pelestarian masih

berjarak dengan situs-situs suci.

Kekayaan artefak kekeramatan

yang menghiasi hampir di seluruh

Nusantara belum diikat-eratkan

pada upaya konservasi modern.

Konservasi modern yang berpijak

pada rasionalitas seharusnya

dipadukan dengan pemahaman

budaya manusia. Indonesia tidak

hanya memiliki keanekaragaman

hayati, namun juga berlimpah

kekayaan spiritualitas budaya.

Dua kutub kebhinekaan itu,

sejatinya, saling melengkapi dan

mempengaruhi.

Masih berpisahnya kedua keaneka-

ragaman itu terlihat dari belum

digunakannya pengetahuan lokal,

yang salah satunya berupa tempat

sakral, sebagai sumber inspirasi

kebijakan dan pengelolaan ka-

wasan konservasi. Padahal, te-

ladan-teladan pengetahuan lokal

Nusantara bisa menjadi gudang

gagasan pelestarian yang murah,

dekat dengan masyarakat, dan

efektif.

Pada tataran wacana memang telah

berkembang tentang pentingnya

pengetahuan lokal untuk di-

pertimbangkan dalam konservasi

alam. Namun, wacana itu juga

sering cepat memudar, secepat

munculnya wacana, dan nyaris tak

berjejak dalam upaya pelestarian.

Baru Langkah Awal

Pustaka ini merupakan buhul

berbagai khazanah tradisi tempat

keramat dari berbagai daerah di

Indonesia. Selain berisi berbagai

hasil penelitian ihwal situs keramat

alami, buku ini juga membentangkan

kembali ikatan erat antara budaya

dan keanekaragaman hayati.

Beragam riset yang telah dilakukan

sejumlah peneliti itu diharapkan

dapat memberikan sentuhan ilmiah

pada pengetahuan lokal yang

ada. Ini merevitalisasi nilai-nilai

budaya yang telah ribuan tahun

berkembang di Nusantara dalam

konteks kehidupan modern.

Dari sini, benturan yang sering

terjadi antara pandangan masyara-

kat lokal dengan wawasan modern

bisa dihindari. Yang hendak di-

raih, tentu saja, kekeramatan bisa

bergandengan tangan dengan kon-

sep modern konservasi kekayaan

hayati.

Mengingat situs keramat alami

telah berkembang selama berabad-

abad, berbagai telaah dalam

pustaka ini baru pijakan awal untuk

mendudukkan pengetahuan lokal

sebagai penyumbang gagasan dalam

konservasi. ***