aupb

44
Melalui UU No. 14 Tahun 1970 tentang UU Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dirobah dan diperbaharui dengan UU No. 35 Tahun 1999, UU No. 4 Tahun 2004 dan terakhir diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ternyata Negara kita sudah cukup lama mempunyai niat untuk membentuk suatu badan peradilan khusus yang berdiri sendiri yaitu Peradilan Tata Usaha Negara selain dari tiga lingkungan peradilan yang lebih dulu ada. Pada kenyataannya pembentukan peraturan tentang Peradilan Tata Usaha Negara baru terealisir pada tanggal 24 Desember 1986 dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata UsahaNegara dan baru beroperasional untuk pertama kali pada Tanggal 14 Januari 1991 secara serentak di lima (5) pengadilan tingkat pertama melalui Keputusan Presiden RI No. 52 Tahun 1990 dan tiga (3) pengadilan tingkat banding melalui UU No. 10 Tahun 1990, dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991 tentang penerapan UU No. 5 Tahun 1986. Setelah beroperasi kurang lebih tiga belas (13) tahun, pada tahun 2004 dilakukan revisi terhadap UU No. 5 tahun 1986 dengan terbitnya UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan TUN yang diundangkan pada tanggal 29 Maret 2004 dengan maksud untuk memenuhi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945, di samping juga sebagai kontrol terhadap pemerintah dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat sebagai pengejewantahan konsep negara kesejahteraan yang dianut oleh Indonesia. Berdasarkan konsep negara hukum kesejahteraan, fungsi utama pemerintah atau eksekutif adalah untuk menjamin dan mewujudkan kesejahteraan bagi warga negara. Pemerintah mulai dari presiden, menteri, gubernur, camat sampai tingkat desa melakukan tugas negara untuk kesejahteraan. Namun seiring dengan pemberian tugas dan tanggung jawab yang besar itu kepada administrasi negara, kepadanya juga diberikan wewenang berupa freies ernessen atau discretionare, yaitu kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan persoalan-persoalan penting dan mendesak yang muncul secara tiba-tiba, di mana hukum tidak mengaturnya, 1 serta dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun secara moral.

description

asas

Transcript of aupb

Page 1: aupb

Melalui UU No. 14 Tahun 1970 tentang UU Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dirobah dan diperbaharui dengan UU No. 35 Tahun 1999, UU No. 4 Tahun 2004 dan terakhir diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ternyata Negara kita sudah cukup lama mempunyai niat untuk membentuk suatu badan peradilan khusus yang berdiri sendiri yaitu Peradilan Tata Usaha Negara selain dari tiga lingkungan peradilan yang lebih dulu ada.

Pada kenyataannya pembentukan peraturan tentang Peradilan Tata Usaha Negara baru terealisir pada tanggal 24 Desember 1986 dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata UsahaNegara dan baru beroperasional untuk pertama kali pada Tanggal 14 Januari 1991 secara serentak di lima (5) pengadilan tingkat pertama melalui Keputusan Presiden RI No. 52 Tahun 1990 dan tiga (3) pengadilan tingkat banding melalui UU No. 10 Tahun 1990, dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991 tentang penerapan UU No. 5 Tahun 1986.

Setelah beroperasi kurang lebih tiga belas (13) tahun, pada tahun 2004 dilakukan revisi terhadap UU No. 5 tahun 1986 dengan terbitnya UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan TUN yang diundangkan pada tanggal 29 Maret 2004 dengan maksud untuk memenuhi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945, di samping juga sebagai kontrol terhadap pemerintah dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat sebagai pengejewantahan konsep negara kesejahteraan yang dianut oleh Indonesia.

Berdasarkan konsep negara hukum kesejahteraan, fungsi utama pemerintah atau eksekutif adalah untuk menjamin dan mewujudkan kesejahteraan bagi warga negara. Pemerintah mulai dari presiden, menteri, gubernur, camat sampai tingkat desa melakukan tugas negara untuk kesejahteraan. Namun seiring dengan pemberian tugas dan tanggung jawab yang besar itu kepada administrasi negara, kepadanya juga diberikan wewenang berupa freies ernessen atau discretionare, yaitu kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan persoalan-persoalan penting dan mendesak yang muncul secara tiba-tiba, di mana hukum tidak mengaturnya,1 serta dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun secara moral.

Karena dengan freies ernessen memungkinkan munculnya peluang benturan kepentingan antara pemerintah dan rakyat, yang merupakan bentuk penyimpangan tindakan pemerintah yang bisa mengakibatkan terampasnya hak asasi warga negara, maka diperlukan suatu asas-asas sebagai tolak ukur kebenaran pemerintah dalam bertindak. Asas-asas tersebut biasa dinamakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, asas-asas ini dipertama kali diusulkan oleh Komisi De Monchy di Belanda pada tahun 1950.2

Arti penting dan fungsi asas-asas umum pemerintahan yang layak bagi administrasi negara adalah sebagai pedoman dalam penafsirkan dan penerapan terhadap ketentuan perundang-undangan yang sumir, samar atau tidak jelas, juga untuk membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies ermessen yang jauh menyimpang dari ketentuan Undang-Undang. Bagi masyarakat, sebagai pencari keadilan, asas-asas umum pemerintahan yang layak dapat digunakan sebagai dasar gugatan. Bagi hakim Tata Usaha Negara, dapat digunakan segabai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan

Page 2: aupb

pejabat Tata Usaha Negara dan asas-asas umum pemerintahan yang layak juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang Undang-Undang.

Pelaksanaan sistem pemerintahan di negara kita tentu didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang layak. Maka dari itu apabila terjadi akibat hukum yang merugikan dari adanya penetapan tertulis dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, lebih-lebih bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mendapat keputusan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi Permasalahan dalam tulisan ini akan adalah bagaimana arti penting Asas-asas Umum Pemeritahan yang Baik dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara?

B. LANDASAN TEORI

1. Asas-Umum Pemerintahan yang Baik

Kehadiran konsep negara kesejahteraan sebagai jawaban dan solusi atas ketimpangan yang disebabkan oleh negara penjaga malam, karena bersifat individualisme-kapitalis yang digunakannya menyebabkan terjadi ketidak adilan dalam masyarakat dan ketimpangan sosial terjadi dalam negara. Kemudian pada paroh kedua abad XIX hadir konsep yang baru, negara kesejahteraan, yang mengedepankan perlindungan bagi rakyatnya dan melindungi kepentingan umum, seperti memberikan pelayanan publik.3

Karena konsep negara kesejahteraan ini lebih memposisikan pemerintah, sebagai yang mendapat wewenang dari negara, untuk menciptkan kesejahteraan bagi rakyatnya, dan tidak semua hal-hal mengenai kesejahteraan rakyat ataupun hal lainnya diatur dalam UU. berdasarkan dua kondisi ini demi kesejahteraan rakyatnya maka pemerintah mempunyai hak mengeluarkan peraturan kebijakan (freies ernessen), hak ini sagat rentan dalam penggunaannya dan memungkinkan benturan kepentingan antara rakyat dan pemerintah, maka digunakanlah suatu asas umum yang menjadi tolak ukur tindakan pemerintah yang layak. Asas-asas ini biasa disebut dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) pertama kali dimunculkan oleh Komisi De Monchy pada tahun 1950 di Belanda, AAUPB termaktub dalam penelitian komisi ini yang berjudul algemene beginselen van behoorlijk bestuur yang diusulkan kepada Pemerintah Belanda untuk dijadikan sebagai patokan dalam menjalankan pemerintahan.4 Di Belanda sendiri AAUPB dicantumkan dalam UU Administarasi negara (Wet AROB) pada pasal 8, lebih khusus pada pasal 8 ayat (1) huruf d disebutkan AAUPB sebagai dasar banding atau pengujian.5

AAUPB dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. AAUPB berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya,

Page 3: aupb

merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara, dan dasar gugatan bagi masyarakat yang merasa dirugikan oleh pejabat atau badan tata usaha negara.6

AAUPB banyak ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, antaranya dalam UU No. 28 Tahun 1999, penjelasan pasal 53 ayat (2) UU. No. 9 Tahun 2004 dan bertebaran di beberapa peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Karena itu asas yang telah dijabarkan dalam beberapa UU dan yurispridensi tersebut tidak saja memiliki daya mengikat secara moral dan doktrinal, tapi juga mempunyai daya mengikat secara yuridis.7

Crince Le Roy mengemukakan sebelas (11) butir asas pemerintahan yang baik dan Kuntjoro Purbopranoto menambahkan dua (2) butir, jadi totalnya menjadi tiga belas (13),8 yaitu : asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas kesamaan dalam mengambil keputusan, asas bertindak cermat, asas motivasi dalam setiap keputusan, asas larangan mencampuradukkan kewenangan, asas permainan yang layak, asas keadilan atau kewajaran, asas menanggapi penghargaan yang wajar, asas meniadakan akibat keputusan yang batal, asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi, asas kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum.

Sedangkan S. F. Marbun mengemukakan rincian Asas-asas Umum Pemerintahan Indonesia yang Adil dan Patut ada tujuh belas (17),9 yaitu asas persamaan, asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, asas menghrmati dan memberikan haknya setiap orang, asas ganti rugi karena kesalahan, asas kecermatan, asas kepastian hukum, asas kejujuran dan keterbukaan, asas larangan penyalahgunaan wewenang, asas larangan sewenang-wenang, asas kepercayaan dan pengharapan, asas motivasi, asas kepantasan atau kewajaran, asas pertanggungjawaban, asas kepekaan, asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kebijaksanaan dan asas i’tikad baik.

Secara resmi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik di Indonesia menurut penjelasan Pasal 53 UU No. 9 Tahun 2004 mengacu pada UU No, 28 Tahun 1999, yaitu terdiri dari asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas tertib penyelenggaraan negara dan asas kepentingan umum.

2. Tindakan Pemerintah

Menurut van Vollenhoven, tindakan pemerintah adalah pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan.10 Sedangkan Lemaire menyebut tindakan pemerintah merupakan tindakan menyelenggarakan kesejahteraan umum oleh pemerintah.11 Tujuan dari tindakan pemerintah tersebut adalah untuk memperhatikan kepentingan seluruh rakyatnya. Pemerintah merupakan subjek hukum, sebagai subjek hukum pemerintah juga mempunyai tindakan, baik tindakan nyata maupun tindakan hukum, tindakan ini tidak terlepas dari tugasnya dalam rangka menyelenggarakan kepentingan umum.

Tindakan nyata adalah tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh sebab itu tidak menimbulkan akibat hukum, sedangkan tindakan hukum adalah tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum.12 Atau juga bisa dikatakan, bahwa tindakan hukum merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban. Dengan kata lain, akibat-akibat hukum itu dapat berupa hal-hal berikut, yaitu pertama, menimbulkan perubahan hak, kewajiban dan kewenangan yang ada; kedua, menimbulkan perubahan

Page 4: aupb

kedudukan hukum bagi seseorang atau objek hukum yang ada; dan ketiga, terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan ataupun status tertentu yang ditetapkan.13

Tindakan hukum pemerintah menurut sifatnya oleh A. D. Belinfante dan Borhanoeddin Soetan Batoeah terbagi menjadi dua, yaitu tindakan hukum administrasi yang teratur dan tindakan hukum administrasi yang tidak teratur. Tindakan hukum administrasi yang teratur adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan peraturan yang ada,14 sedangkan tindakan hukum administrasi yang tidak teratur adalah tindakan hukum administaratif yang bertentangan dengan peraturan-peraturan penerapan yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis.15

Pada intinya, tindakan pemerintah adalah perbuatan nyata pemerintah dalam melakukan tugasnya untuk melaksanakan kesejahteraan umum, dan dilakukan secara sepihak, baik berdasarkan peraturan yang ada maupun hanya peraturan kebijakan saja. Seharusnya tindakan pemerintah tersebut tidak boleh mengandung cacat seperti kekhilafan, penipuan, paksaan dan lain-lain yang menyebabkan akibat hukum yang tidak sah maupun merenggut hak-hak rakyatnya. Di samping itu, tindakan hukum tersebut tidak boleh juga bertentangan dengan hukum yang berlaku, agar tindakan hukum tersebut tidak batal atau dibatalkan.

3. Peradilan Tata Usaha Negara

Menurut P. Nicolai dan kawan-kawan, sarana penegakan hukum administrasi negara berisi pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan UU yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada individu, dan penerapan kewenagan sanksi pemerintahan.16 Menurut saya inilah tugas pokok bagi hakim tata usaha negara, sebab sasaran utama dari Pengadilan Tata Usaha Negara terletak pada fungsinya memutuskan sengketa atas tindakan hukum yang dilakukan oleh pejabat atau badan tata usaha negara.

Menurut Prajudi Atmosudirdjo,17 tujuan peradilan administrasi adalah menegmbangkan dan memeliharan administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau tepat menurut Undang-undang atau tepat secara fungsional dan atau berfungsi efisien. Pendapat yang lainnya mengatakan, tujuan peradilan administrasi untuk memberikan pengayoman dan kepastian hukum bagi rakyat dan administrasi negara, yaitu demi menjaga keseimbangan kepentingan rakyat dan negara.18 Kepentingan negara dalam menjalankan fungsinya untuk kesejahteraan rakyat dan kepentingan rakyat akan hak-haknya.

Sebagai bagian dari hukum publik, hakim pada peradilan administrasi bersifat aktif,19 yaitu hakim dalam pemeriksaan boleh melakukan sesuatu apa saja demi menemukan kebenaran hukum, karena hakim dalam peradilan ini mencari kebenaran materiil bukan kebenaran formil. Setidaknya ada dua alasan hakim peradilan administrasi bersifat aktif, yakni pertama, objek sengketa adalah bagian dari hukum positif, maka masuk pada lapangan hukum publik; dan kedua, untuk mengimbangi kedudukan yang tidak seimbang antara penggugat (rakyat) dan tergugat (pemerintah).20

Page 5: aupb

Gugatan yang dilakukan oleh warga negara dalam sengketa administrasi harus mempunyai alasan yang jelas, yaitu :

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Pengeluaran KTUN telah menyalahgunakan wewenang oleh pejabat atau badan tata usaha negara;

c. Dikeluarkan atas dasar kesewenang-wenangan.21

Setelah diterbitkannya UU No. 9 Tahun 2004, dasar gugatan PTUN hanya menjadi dua, yaitu : bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sedangkan Philipus M. Hadjon berpendapat, bahwa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berarti juga pengeluaran KTUN tidak dilakukan oleh badan yang berwenang.22 Berdasarkan atas dasar gugatan tersebutlah seharusnya hakim bertindak dalam penyelesaian sengketa di PTUN, juga menjadi tolak ukur bagi hakim dalam memutuskan sengketa, hal ini beralasan karena hakim tidak boleh memutus di luar dari isi gugatan.23

C. AAUPB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TUN

Perkembangan praktek peradilan mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagai objek gugatan di Pengadilan TUN yang dalam beberapa tahun terakhir ini marak digugat, yaitu berupa produk-produk hukum berupa Surat Keputusan, dimana Pejabat yang menerbitkannya secara formal berada di luar lingkup Tata Usaha Negara, tetapi substansinya merupakan urusan pemerintahan, misalnya : Surat-surat Keputusan Ketua DPRD mengenai penentuan bakal calon Bupati, Walikota, dan sebagainya, ataupun juga Surat-surat, Keputusan Ketua Partai Politik, dan sebagainya. Demikian juga, ada gugatan-gugatan yang objek gugatannya berupa surat-surat Keputusan TUN yang diterbitkan atas dasar kewenangannya yang berada di luar urusan pemerintahan (eksekutif), misalnya: dibidang ketatanegaraan, atau berkaitan dengan bidang politik. Selain itu ada keputusan-keputusan TUN yang menimbulkan titik singgung dengan aspek hukum perdata dalam tugas dan fungsi pemerintahan.

Kompetensi absolut Peradilan TUN diatur di dalam Pasal 1 Angka (3) UU No. 5 Tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi24 :

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat Konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Badan/Pejabat Tata Usaha Negara secara umum diberi wewenang untuk melakukan perbuatan Tata Usaha Negara yang dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) macam perbuatan,25 yaitu :

a) Mengeluarkan Keputusan (beschikking);

Page 6: aupb

b) Mengeluarkan Peraturan (regeling);

c) Melakukan perbuatan materiil (Materiele daad).

Karena perbuatan-perbuatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara tersebut lalu lahirlah hubungan hukum antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN yang bersangkutan dengan warga masyarakat atau badan hukum perdata yang terkena oleh suatu KTUN.

Dari ke-3 (tiga) macam perbuatan tersebut, yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah terbatas pada perbuatan mengeluarkan Keputusan tersebut dalam butir a, artinya keputusan yang dikeluarkan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dapat dinilai oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan mengenai perbuatan-perbuatan Administrasi Negara pada butir b dan c tidak termasuk kompetensi Peradilan TUN tetapi menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi maupun Peradilan Umum.

Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain: Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri. Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pada dasarnya wewenang hukum publik dikaitkan selalu pada jabatan publik yang merupakan organ pemerintahan (bestuurs orgaan) dan menjalankan wewenangnya dalam fungsi pemerintahan, yang dalam segala tindakannya selalu dilakukannya demi kepentingan umum atau pelayanan umum (public service). Pada organ pemerintahan yang demikian, melekat pula sifatnya sebagai pejabat umum (openbaar gezag). Pasal Angka (2) UU No. 5 Tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara merumuskan Badan atau Pejabat (jabatan) TUN secara sangat umum, yaitu bahwa: Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu fungsi pemerintahan.

Asas pemerintahan menurut hukum (rechtmatig bestuur), menurut Philipus M. Hadjon,26 merumuskan asas pemerintahan menurut hukum (rechtmatig bestuur), khususnya menyangkut penerbitan keputusan tata usaha negara, sebagai berikut:

1. Asas bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid). Kesesuaian tersebut menyangkut wewenang, prosedur, dan substansi keputusan;

2. Asas tidak menyalahgunakan wewenang untuk tujuan lain;

Page 7: aupb

3. Asas bertindak rasional;

Asas-asas tersebut dapat dirumuskan melalui pendekatan komparasi hukum dengan memperhatikan perundang-undangan, ide, kondisi-kondisi dalam sistem dan praktik pemerintahan di Indonesia. Dipandang dari segi pemerintah, rumusan tersebut merupakan asas umum dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam penerbitan KTUN. Bagi masyarakat, asas-asas tersebut berkaitan dengan alasan mengajukan gugatan (beroepsgronden), sedangkan bagi hakim, hal itu berkaitan dengan “dasar penilaian” (toetsingsgronden), khususnya “rechtmatigheidstoetsing”.

Untuk itulah dalam perkembangan selanjutnya, setiap gugatan yang dilakukan oleh warga negara harus mempunyai alasan yang kuat, kekuatan alasan ini juga berkaitan dengan asas yang dipakai dalam argumentasi gugatan. Ada beberapa asas yang dijadikan alasan gugatan, yaitu asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas tertib penyelenggaraan negara dan asas kepentingan umum.

Dalam konteks ini, hakim PTUN memeriksa dan menilai apakah Badan/Pejabat TUN telah memperhatikan semua kepentingan yang terkait untuk sampai pada pengambilan keputusan. Dengan demikian, kebijakan tersebut ditimbang, meski secara umum. Cara ini disebut marginale toetsing.

Selanjutnya, hakim PTUN perlu juga memperhatikan Asas-asas yang berkaitan dengan isi keputusan/penetapan dalam menilai sebuah KTUN, yaitu Asas kepastian hukum / asas kepercayaan, Asas kesamaan, ,asas Detournement de pouvoir, asas kecermatan materiil, Asas keseimbangan (evenredigheidsbeginsel), ssas kesewenang-wenangan.

Penggunaan asas-asas ini dalam pengujian KTUN disesuaikan dengan ketentuan pasal 53 UU PTUN, yaitu meliputi meliputi 3 (tiga) aspek yaitu :

1. Aspek kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan.

2. Aspek Substansi/Materi, yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak.

Berdasarka beberapa asas yang telah disebutkan sebagai dasar penetapan KTUN, baik dari mulai persiapan hingga keputusan tersebut ditetapkan, akan sangat berguna bagi hakim PTUN dalam menyelesaikan sengketa TUN di Inodnesia. Walaupun keberadaan AAUPB secara yuridis belum diakui semuanya dalam sistem hukum Indonesia, namun secara intelektual hakim bisa bertindak lebih rasional dalam memutuskan suatu perkara, hal ini akan sangat tepat sekali kalau sengketa TUN yang dihadapi belum diatur dalam UU atau masih multitafsir tentang dasar hukumnya.

Page 8: aupb

D. PENUTUP

Asas-Asas Umum Penyelenggaranaan Pemerintahan yang Baik (AAUPB), dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, baik, dan adil, dengan cara yang demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Paling utama adalah asas-asas ini akan lebih menjamin hak warga negara dan juga sebagai bentuk penjaminan dari pelaksanaan kesejahteraan bagi rakyat.

AAUPB setidaknya mempunya tiga manfaat, pertama, bagi administrasi negara bermanfaat sebagai pedoman di dalam melakukan penafsiran dan penetapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat sumir, samar atau tidak jelas. Selain itu, AAUPB sekaligus membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara yang mempergunakan freiss ermessen yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan, berarti menjauhkan pemerintah dari tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.

Kedua, Bagi masyarakat sebagai pencari keadilan, asas-asas umum pemerintahan yang layak data dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU Nomor 5 tahun 1986 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan manfaat yang ketiga, yaitu sebagai patokan bagi hakim administrasi dalam memutuskan sengketa Tata Usaha Negara.

Penggunaan AAUPB sebagai dasar bagi hakim dalam menyelesaikan sengketa TUN dimulai dari Belanda pada tahun 1950, yaitu berdasarkan hasil laporan dari komisi De Monchy. Namun pada perjalanannya tidak semua asas-asas tersebut dijadikan patokan secara yuridis, tapi hanya sebagai doktriner saja, termasuk di Indonesia yang hanya memakai tujuh (7) asas sebagai dasar hukum dalam penyelesaian sengketa TUN. Keadaan ini, khususnya di negeri Belanda pada waktu itu, tidak terlepas dari keberatan dari pihak eksekutif yang khawatir kewenangannya dipangkas oleh yudikatif dengan menggunakan asas-asas ini.

Penggunaan AAUPB sebagai dasar pengujian agak sedikit berat karena putusan hakim harus berdasarkan hukum, kecuali untuk beberapa asas yang telah disebutkan dalam UU No, 28 Tahun 1999. Terlepas dari itu semua, AAUPB tetaplah bagus sebagai tolak ukur bagi hakim TUN dalam menyelesaikan sengketa TUN karena merupakan doktrin ilmu hukum, dan doktrin merupakan dasar AUPB banyak dijadikan yurisprudensi dalam sistem hukum Indonesia.

E. DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007;

Aveldorn, L. L. J. van, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, cet. 29, Jakarta : Pradnya Paramitha, 2001;

Page 9: aupb

Azhary, Moch. Tahir, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-prinsip dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta : Bulan Bintang, 1992;

Basah, Sjachran, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung : Alumni, 1985;

Belinfante, A. D. dan Borhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta : Binacipta, 1983;

Hadjon, Philipus M. DKK., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. X, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2008;

Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, edisi revisi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007;

Hoadley, Mason C., Quo Vadis Hukum Administrasi Indonesia : Antara Kultur Lokal dan Struktur Barat, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006;

Kansil, C. S. T. dan Christine S. T. Kansil, Modul Hukum Administrasi Negara, cet. II, Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005;

Marbun, S. F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, cet. III, Yogyakarta : FH UII Press, 2011;

Marbun, S. F. dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cet. V, Yogyakarta : Liberty, 2009;

Musimin, Amran, Beberapa Asas-asas dan Pengertian-pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Bandung : Alumni, 1980;

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, edisi revisi cet. VI, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011;

Siahaan, Lintong O., Prospek PTUN Sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia ; Studi tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, Jakarta : Perum Percetakan Negara RI, 2005;

Sukarna, Capita Selecta Administrasi Negara, Bandung : Alumni, 1986;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

Page 10: aupb

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

 

1 S. F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, cet. III (Yogyakarta : FH UII Press, 2011), hlm. 368.

2 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, cet. VI (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 231.

3 Lhat : S. F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cet. V (Yogyakarta : Liberty, 2009), hlm. 45.

4 Ridwan HR, Hukum Administrasi.., hlm. 231.

5 Lihat : Philipus M. Hadjon DKK., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. X (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2008), hlm. 270.

6 Ridwan HR, Hukum Administrasi…, hlm. 235.

7 S. F. Marbun, Peradilan Administrasi.., hlm. 378-379.

8Ibid., hlm. 386-387.

9Ibid., hlm. 387.

10 S. F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok..,hlm. 70.

11 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Modul Hukum Administrasi Negara, cet. II (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005), hlm. 17.

12 Ridwan HR, Hukum Administrasi…, hlm. 109-110.

13Ibid., hlm. 111.

14 A. D. Belinfante dan Borhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara, (Jakarta : Binacipta, 1983), hlm. 33-35.

15Ibid., hlm. 88.

Page 11: aupb

16 Ridwan HR, Hukum Administrasi…, hlm. 296.

17 Lihat dalam : S. F. Marbun, Peradilan Administrasi.., hlm. 26.

18 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1985), hlm. 154.

19 Pasal 58, 62, 63, 80 dan 85 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.

20 S. F. Marbun, Peradilan Administrasi.., hlm. 333.

21 Lihat : Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986.

22 Philipus M. Hadjon DKK., Pengantar Hukum…., hlm. 326.

23 Lihat : Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, edisi revisi (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 145.

24 Lihat juga dalam : S. F. Marbun, Peradilan Administrasi.., hlm. 241-242.

25 Lihat : Ibid., hlm. 171-174.

26 Philipus M. Hadjon DKK., Pengantar Hukum…., hlm. 326-327.

http://salmantabir.wordpress.com/2011/11/26/penggunaan-asas-asas-pemerintahan-yang-baik-dalam-menyelesaikan-sengketa-administrasi/

Page 12: aupb

.Peranan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Hukum Tata pemerintahanAsas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan salah satu norma hukum tidak tertulis, yang merupakan norma hukum pemerintahan yang memiliki peranan besar hukum tata pemerintahan. Dalam perkembangannya peranan asas-asas hukum pemerintahan yang baik dalam kajian hukum tata pemerintahan Indonesia merupakan filosofi yang dapat digali dan ditemukan dalam alenia ke-empat Pembukaan UUD 1945. Secara filosofis dalam UUD 1945 ditemukan asas-asas pemerintahan yang baik, yaitu: asas persamaan; asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; asas menghormati dan memberikan haknya setiap orang; asas ganti rugi karena kesalahan; asas kecermatan; asas kepastian hukum; asas kejujuran dan keterbukaan; asas larangan menyalahgunakan wewenang; asas larangan sewenang-wenang; asas kepercayaan atau pengharapan; asas motivasi; asas kepantasan atau kewajaran; asas pertanggungjawaban; asas kepekaan; asas penyelenggaraan kepentingan umum; asas kebijaksanaan; asas ithikad baik.8Asas-asas ini mengalami perkembangan seiring kondisi politik hukum di Indonesia, Menurut SF. Marbun AAUPB memiliki arti penting dan fungsi berikut ini:9a.Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketantuan perundang-undangan yang bersifat sumir, samar, atau tidak jelas, selain itu sekaligus membatasi dan menghindari kemungkinan administrasi negara mempergunakan freies ermessen/ melakukan kebijakansanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian admnistrasi negara diharapkan terhindar dari perbuatan onrechtmatige daad, detournement de pouvoir, abus de droit, dan ultrasvires;b.Bagi warga masyarakat sebagai pencari keadilan AAUPB dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negarac.Bagi Hakim Tata Usaha Negara, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha negara;d.Selain itu, AAUPB tersebut juga berguna bagi badan legislasi dalam merancang suatu undang-undang.Untuk lebih detail, asas-asas umum pemerintahan yang baik dikemukakan dalam penjelasan dibawah ini: Asas kepastian hukum (principles of legal security atau rechtzekarheid beginsel), Asas keseimbangan (principle of proportionality atau evenregdigheid beginsel), Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principles of equality atau gelijheid beginsel), Asas bertindak cermat (principles of carefulness atau zorgvuldigheid beginsel), Asas motivasi untuk setiap keputusan (principles of motivation atau motivering beginsel), Asas jangan mencampur adukan kewenangan (principles of non misuse of competence), Asas permainan yang layak (principles of fair play), Asas keadilan dan kewajaran (principles of ressonableness or prohibition or arbitratiness), Asas kebijaksanaan (sapientia), Asas penyelengaraan kepentingan umum (principles of public service).10Dalam perkembangannya asas-asas umum pemerintahan yang baik secara ekplisit dapat ditelusuri dalam Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No.5 Tahun 1986. Yang kemudian mengalami perkembangan setelah adanya Undang-undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Terhadap Undang-undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.Dalam Undang-undang No.9 Tahun 2004 penerapan AAUPB tersebut merujuk pada Pasal 53 ayat (2) yang berbunyi “ alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah Keputusan

Page 13: aupb

Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik”. Dalam Penjelasan Undang-undang No.9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa AAUPB meliputi : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan Negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.Pada intinya peranan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai hukum tertulis adalah mewujudkan tujuan hukum tata pemerintahan dalam menciptakan suatu tatanan pemerintahan yang baik, suatu pemerintahan yang dijalankan berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 baik secara harfiah maupun menurut jiwanya, semangatnya atau yang dikenal dengan Geistlichen Hintergrund atau sesuai dengan suasana kebatinan yaitu pemerintahan yang mampu mewujudkan persamaan kedudukan antara sesama warganegara dihadapan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, pemerintahan demokratis yang mampu mewujudkan kehidupan demokratis dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama, mewujudkan keadilan dan prikemanusiaan serta mampu memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, jadi bukanlah suatu pemerintahan yang hanya mewujudkan kemakmuran ekonomi atau material saja atau bagi golongan tertentu saja.11

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)

A.   Sejarah Terbentuknya Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)

Sejak dianutnya konsepsi welfare staat dan menimbulkan adanya kekuasaan freies

Ermessen, timbulah suatu kekhawatiran dari warga Negara atas terjadinya kesewenang-

wenangan oleh pemerintah. Oleh karena itu pada tahun 1946 pemerintah Belanda membuat suatu

komisi yang diketuai oleh De Monchy, Komisi ini selanjutnya disebut dengan komisi de

Monchy.

Komisi ini bertujuan untuk memikirkan dan meneliti beberapa alternative untuk

meningkatkan perlindungan hukum dari tindakan pemerintah yang menyimpang. Pada tahun

1950 komisi De Monchy kemudian melaporkan hasil penelitiannya tentang ‘ verhoodgde

rechtsbescherming’ dalam bentuk Algemene Beginselen van Behorlijk Bestuur (ABBB) atau

dapat pula disebut AAUPB. Hasil penelitian komisi ini tidak seluruhnya disetujui pemerintah

oleh karena itu komisi ini pada akhirnya dibubarkan dan dibentuk komisi yang baru, komisi ini

bernama komisi van de Greenten dan komisi ini pun pada akhirnya dibubarkan juga.     

Dibubarkannya ke dua komisi diatas disebabkan karena pemerintah Belanda sendiri pada

waktu itu tidak sepenuh hati dalam upaya meningkatkan perlindungan hukum warga negaranya.

Meskipun demikian ternyata hasil penelitian De Monchy ini digunakan dalam pertimbangan

Page 14: aupb

putusan-putusan Raad van State dalam perkara administrasi. Dengan kata lain walaupun AAUPB

ini tidak mudah dalam memasuki wilayah birokrasi tetapi lain halnya dalam bidang peradilan.

Di Belanda, asas-asas umum pemerintahan dikenal dengan Algemene Beginselen van

Behoorllijke Bestuur (ABBB). Di Inggris dikenal dengan The Principal of Natural Justice. Di

Perancis disebut dengan Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique. Di Belgia

disebut dengan Aglemene Rechtsbeginselen. Di Jerman dikenal sebagai Verfassung Prinzipien.

Di Indonesia dikenal dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Di Belanda,

asas-asas umum pemerintahan yang baik (ABBB) dipandang sebagai norma hukum tidak tertulis,

namun tetap harus ditaati oleh pemerintah. Diatur dalam Wet AROB (Administrative

Rechtspraak Overheidsbeschikkingen) yakni Ketetapan-Ketetapan Pemerintah dalam Hukum

Administrasi oleh Kekuasaan Kehakiman tidak bertentangan dengan apa dalam kesadaran

hukum umum merupakan asas-asas yang berlaku (hidup) tentang pemerintahan yang baik. Hal

itu dimaksudkan bahwa asas-asas itu sabagai asas-asas yang hidup, digali dan dikembangkan

oleh hakim. Sebagai hukum tidak tertulis, arti yang tepat untuk ABBB bagi tiap keadaan

tersendiri, tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Paling sedikit ada 7 ABBB yang sudah

memiliki tempat yang jelas di Belanda, antara lain :

1.       Asas persamaan, yaitu hal-hal yang sama harus diperlakukan sama.

2.       Asas kepercayaan, yaitu legal expectation, harapan-harapan yang ditimbulkan (janji-

janji,keterangan-keterangan,aturan-aturan kebijaksanaan dan rencana-rencana) sebisa mungkin

harus dipenuhi.

3.       Asas kepastian hukum, artinya secara materiil menghalangi badan pemerintah untuk menarik

kembali suatu ketetapan dan mengubahnya yang menyebabkan kerugian yang berkepentingan,

kecuali karena 4 hal, yakni dipaksa oleh keadaan, ketetapan didasarkan atas kekeliruan,

ketetapan didasarkan atas keterangan yang tidak benar, dan syarat ketetapan tidak ditaati. Secara

Page 15: aupb

formil ketetapan yang memberatkan dan menguntungkan harus disusun dengan kata-kata yang

jelas.

4.       Asas kecermatan, bahwa suatu ketetapan harus diambil dan disusun dengan cermat.

5.       Asas pemberian alasan, yakni ketetapan harus memberikan alasan, harus ada dasar fakta yang

teguh dan alasannya harus mendukung.

6.       Larangan penyalahgunaan wewenang atau detournement depouvoir, maksudnya tidak

diperkenankan menggunakan wewenang untuk tujuan yang lain.

7.       Larangan bertindak sewenang-wenang atau larangan willekeur, yakni tindakan sewenang-

wenang, kurang memperhatikan kepentingan umum, dan secara kongkrit merugikan.

B.   Pengertian Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)

1.      Ridwan HR

Pemahaman mengenai AAUPB tidak hanya dapat dilihat dari segi kebahasaan saja namun juga

dari segi sejarahnya, karena asas ini timbul dari sejarah juga. Dengan bersandar pada kedua

konteks ini, AAUPB dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan dasar dan tatacara

dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan

pemerintahan menjadi baik, sopan, adil, terhormat, bebas dari kedzaliman, pelanggaran peraturan

tindakan penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.1[1]

2.      Jazim Hamidi

Definisi AAUPB menurut hasil penelitian Jazim Hamidi, antara lain :

a. AAUPL merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum

Administrasi Negara.

b. AAUPL berfungsi sebagai pegangan bagi para pejabat administrasi negara dalam

menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai

1[1] Ridwan HR, Hukum administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal 247

Page 16: aupb

tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan atau beschikking) dan sebagai

dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat.

c. Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih

abstrak, dan dapat digalidalam praktik kehidupan di masyarakat.

d. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam

berbagai peraturan hukum positif. 2[2]

3.      Crince le Roy

Konsepsi AAUPB menurut Crince le Roy yang meliputi: asas kepastian hukum, asas

keseimbangan, asas bertindak cermat, asas motivasi untuk setiap keputusan badan pemerintah,

asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan, asas kesamaan dalam pengambilan

keputusan, asas permainan yang layak, asas keadilan atau kewajaran, asas menanggapi

pengharapan yang wajar, asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal, dan asas

perlindungan atas pandangan hidup pribadi. Koentjoro menambahkan dua asas lagi, yakni: asas

kebijaksanaan dan asas penyelenggaraan kepentingan umum.

4.      Hadjon

AAUPB yang telah mendapat pengakuan dalam praktek hukum di Belanda, yaitu asas

persamaan, asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas kecermatan, asas pemberian alasan

(motivasi), larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang.3[3]

C.   Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) di Indonesia

Pada mulanya keberadaan AAUPB ini di Indonesia diakui secara yuridis formal sehingga

belum memiliki kekuatan hukum formal. Ketika pembahasan RUU No. 5 Tahun 1986 di DPR,

fraksi ABRI mengusulkan agar asas-asas itu dimasukan sebagai salah satu gugatan terhadap

2[2] Nomensen Sinamo S.H, M.H. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010). hal.

142

3[3] Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University

Press , 2008), hal. 270

Page 17: aupb

keputusan badan/pejabat tata usaha Negara. Akan tetapi putusan ini ditolak oleh pemerintah

dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail selaku selaku Menteri Kehakiman saat itu. Alasan

tersebut adalah sbb:

“Menurut hemat kami, dalam praktik ketatanegaraan kita maupun dalam Hukum Tata Usaha

Neagara yang berlaku di Indonesia, kita belum mempunyai criteria tentang algemene beginselen

van behoorlijk bestuur tersebut yang berasal dari negeri Belanda. Pada waktu ini kita belum

memiliki tradisi administrasi yang kuat mengakar seperti halnya di negara-negara kontinental

tersebut. Tradisi demikian bisa dikembangkan melalui yurisprudensi yang kemudian akan

menimbulkan norma-norma. Secara umum prinsip dari Hukum Tata Usaha Negara kita selalu

dikaitkan dengan aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang konkretisasi normanya

maupun pengertiannya masih sangat luas sekali dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang

konkret”.4[4]

Tidak dicantumkannya AAUPB dalam UU PTUN bukan berarti eksistensinya tidak diakui

sama sekali, karena ternyata seperti yang terjadi di Belanda AAUPB ini diterapkan dalam praktik

peradilan terutama pada PTUN, sebagaimana akan terlihat nanti pada sebagian contoh-contoh

putusan PTUN. Kalaupun AAUPB ini tidak terakomodasi dalam UU PTUN, tetapi sebenarnya

asas-asas ini dapat digunakan dalam praktik peradilan di Indonesia karena memiliki sandaran

dalam pasal 14 ayat (1) UU No. 14/1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman: “Pengadilan

tidak boleh menolak menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan

dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya.” Dalam pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 ditegaskan; “Hakim sebagai penegak

hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup

dalam masyarakat.” Dengan ketentuan pasal ini, asas-asas ini memiliki peluang untuk digunakan

dalam proses peradilan administrasi di Indonesia.

Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan politik Indonesia, asas-asas ini kemdian

muncul dan dimuat dalam suatu undang-undang, yaitu UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).5[5] Pasal 1 angka 6

menyebutkan bahwa asas umum pemerintahan negara yang baik adalah asas yang menjunjung

4[4]Ridwan HR, Op. Cit. hal. 253

5[5] Ibid. hal. 254

Page 18: aupb

tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum untuk mewujudkan penyelenggaraan

negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.6[6]

Dalam Bab III Pasal 3 UU No. 28/1999 menyebutkan asas-asas umum penelenggaraan

negara meliputi:

1.      Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.

2.      Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.

3.      Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

4.      Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

5.      Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.

6.      Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7.      Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.7[7]

Di Indonesia, pemikiran tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik secara populer

kali pertama disajikan dalam buku Prof. Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya yang berjudul

‘Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara’

mengetengahkan 13 asas yaitu:8[8]

1. Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum memiliki dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum material, yang lain

bersifat formal. Aspek hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan. Dalam banyak

keadaan asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali suatu

6[6] Lutfi Effendi, S.H., M.HUM, Pokok-Pokok Hukum Administrasi. (Malang: Bayumedia Publishing,

2004). hal. 85

7[7] Ibid. hal. 86

8[8] Ibid. hal. 84

Page 19: aupb

keputusan. Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh

seorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan

yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dubuktikan

sebaliknya dalam proses peradilan. Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian

hukum membawa serta bahwa ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada

ketetapan-ketetapan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas

kepastian hukum memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat

apa yang dikehendaki daripadanya.

2. Asas keseimbangan

Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau

kealpaan seorang pegawai. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-

jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan seorang sehingga memudahkan

penerapannya dalam setiap kasus yang ada dan seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan

dengan kepastian hukum. Artinya terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan

orang yang berbeda akan dekenakan sanksi yanga sama, sesuai dengan kriteria yang ada dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku.9[9]

3. Asas kesamaan

Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan pemerintahan

mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya

sama. Asas ini memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan. Aturan kebijaksanaan,

memberi arah pada pelaksanaan wewenang bebas.

4. Asas bertindak cermat

Asas Bertindak Cermat, asas ini menghendaki pemerintah bertindak cermat dalam melakukan

aktivitas penyelenggaraan tugas pemerintahan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga

negara. Dalam menerbitkan ketetapan, pemerintah harus mempertimbangkan secara cermat dan

teliti semua faktor yang terkait dengan materi ketetapan, mendengar dan mempertimbangkan

9[9] Ridwan HR. Op. Cit. hal. 259

Page 20: aupb

alasan-alasan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan, mempertimbangkan akibat hukum

yang timbul dari ketetapan.

5. Asas motivasi untuk setiap putusan

Asas Motiasi untuk Keputusan, asas ini menghendaki setiap ketetapan harus mempunyai

motivasi/alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan ketetapan. Alasan harus jelas,

terang, benar, obyektif, dan adil. Alasan sedapat mungkin tercantum dalam ketetapan sehingga

yang tidak puas dapat mengajukan banding dengan menggunakan alasan tersebut. Alasan

digunakan hakim administrasi untuk menilai ketetapan yang disengketakan.

6. Asas jangan mencampurkan adukan wewenang

Asas tidak Mencampuradukkan Kewenangan, di mana pejabat Tata Usaha Negara memiliki

wewenang yang sudah ditentukan dalam perat perundang-undangan (baik dari segi materi,

wilayah, waktu) untuk melakukan tindakan hukum dalam rangka melayani/mengatur warga

negara. Asas ini menghendaki agar pejabat Tata Usaha Negara tidak menggunakan

wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau

menggunakan wewenang yang melampaui batas.

7. Asas permainan yang layak

Asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari

kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan untuk membela diri dengan memberikan

argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini juga

menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata

usaha negara. Disamping itu, pejabat administrasi harus mematuhi aturan-aturan yang yang telah

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga dituntut bersikap jujur dan

terbuka terhadap segala aspek yang berkaitan dengan hak-hak warga negara.10[10]

8. Asas keadilan atau kewajaran

Asas Keadilan dan Kewajaran, asas keadilan menuntut tindakan secara proposional, sesuai,

seimbang, selaras dengan hak setiap orang. Asas kewajaran menekankan agar setiap aktivitas

10[10] Ibid. hal. 268

Page 21: aupb

pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan

dengan moral, adat istiadat.11[11]

9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar

Asas Kepercayaan dan Menanggapi Penghargaan yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap

tindakan yang dilakukan pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara.

Jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali

meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah.

10.  Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal

Asas ini menghendaki agar kedudukan seseorang dipulihkan kembali sebagai akibat dari

keputusan yang batal atau asas ini menghendaki jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan,

maka yang bersangkutan harus diberi ganti rugi atau rehabilitasi.

11.  Asas perlindungan atas pandangan hidup

Asas Perlindungan atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi, asas ini menghendaki pemerintah

melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai negeri dan warga negara. Penerapan asas

ini dikaitkan dengan sistem keyakinan, kesusilaan, dan norma-norma yang dijunjung tinggi

masyarakat. Pandangan hidup seseorang tidak dapat digunakan ketika bertentangan dengan

norma-norma suatu bangsa.

12.  Asas kebijaksanaan

Asas Kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan

pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus

terpaku pada perat perundang-undangan formal.

      13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum

Penyelenggaraan Kepentingan Umum, asas ini menghendaki agar pemerintah dalam

melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang

mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Mengingat kelemahan asas legalitas,

11[11] Ibid. hal.271

Page 22: aupb

pemerintah dapat bertindak atas dasar kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan

umum.12[12]

D. Fungsi dan Arti Penting AAUPB

Pada awalnya, AAUPB dimaksudkan sebagai sarana perlindungan hukum

(rechtsbescherming) dan bahkan dijadikan sebagai instrumen untuk peningkatan perlindungan

hukum (verhoodge rechtsbescherming) bagi warga negara dari tindakan pemerintah. AAUPB

selanjutnya dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, di

samping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan.13[13] Menurut SF.

Marbun, AAUPB memiliki arti penting dan fungsi berikut:

1.    Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan

penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat samar atau tidak

jelas.

2.    Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPB dapat dipergunakan sebagai dasar

gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU No. 5/1986.

3.    Bagi hakim TUN, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang

dikeluarkan badan atau pejabat TUN.

4.    Selain itu, AAUPB tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu undang-

undang.14[14]

DAFTAR PUSTAKA

12[12] Ibid. hal. 277

13[13] Ibid. hal. 251

14[14] Nomensen Sinamo. Op.cit. hal. 142-143

Page 23: aupb

Lutfi Effendi, S.H., M.HUM. 2004. Pokok-Pokok Hukum Administrasi. Malang: Bayumedia

Publishing.

Nomensen Sinamo S.H, M.H. 2010. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Jala Permata Aksara.

Philipus M. Hadjon. 2008. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press

Ridwan HR. 2008. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers

ujuan negara Indonesia jelas tertuang di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI) alinea ke IV (empat) . Dalam alinea ke IV (empat) itu disebutkan bahwa pemerintah Indonesia wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mensejaterakan rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Dengan tujuan negara yang sangat mulia itu pemerintah Indonesia tentunya memerlukan produk hukum yang baik untuk mewujudkan  tujuan negara Indonesia.

Di dalam hukum tata pemerintahan yang menjadi objek kajian hukum tata pemerintahan yakni pemerintah, aspek untuk membahas pemerintah ada 5 (lima) aspek yakni aspek struktur organisasi, kewenangan aparat pemerintah, fungsi/kefungsian aparat pemerintah, produk hukum yang dihasilkan, sarana yang diperlukan dan pengawasan (sistem pengawasan). Yang menarik

Page 24: aupb

dalam beberapa aspek tersebut ialah mengenai produk hukum yang dihasilkan aparat pemerintah dalam menyelenggarakan negara utamanya fungsi pemerintah yang pokok dan fungsi pelayanan.

Akhir-akhir ini banyak sekali perorangan ataupun kelompok yang mengajukan permohonan uji materiil (yudicial review) suatu produk hukum undang-undang (UU) yang bertentangan dengan UUDNRI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian juga tidak sedikit orang atau kelompok yang mengajukan permohonan uji materiil (yudicial review) suatu produk hukum di bawah UU seperti peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres) dan peraturan daerah (perda) ke Mahkamah Agung (MA). Banyak alasan dari para pemohon itu yang menyatakan bahwa produk hukum tersebut bertentangan dengan ideologi bangsa kita yakni Pancasila dan UUDNRI serta menandakan bahwa suatu produk hukum itu hasilnya kurang baik di masyarakat sehingga masyarakat merasa produk hukum tersebut tidak dapat diterima ditengah-tengah masyarakat atau tidak dipatuhi dikarenakan para pembuat produk hukum itu tidak berlandaskan pada syarat berlakunya suatu produk hukum yang baik.

Utamanya di dalam hukum tata pemerintahan banyak sekali produk hukum yang dihasilkan oleh aparat pemerintah. Namun baik produk hukum yang berupa peraturan (regeling) maupun keputusan (beschikking) tidak bersandarkan pada syarat-syarat pembentukan produk hukum yang baik. Sehingga sering kali banyak kita jumpai di daerah-daeah suatu produk hukum yang berupa perda tidak berjalan dengan sebagai mana mestinya. Atau bisa dikatan dalam bahasa lain para pembuat prduk hukum tersebut asal-asalan atau abal-abal. Akibatnya banyak masyarakat yang tidak mematuhi produk hukum tersebut karena tidak memenuhi rasa keadilan serat kesadaran yang ada di masyarakat.

Menurut Prof Muchsan, negara hukum kita bergerak dinamis, peranan produk-produk hukum pemerintah sangat dominan karena hukum berperan sebagai panglima. Cara membuat produk hukum yang baik ialah yang bersifat populis artinya berpihak kepada kepentingan rakyat.

Kemudian suatu produk hukum yang baik tentunya akan berlaku dengan baik artinya daya ikta dan kepatuhan masyarakat terhadap produk hukum itu sangat tinggi dan tahan lama.  Menurut Jeremy Bentham dalam bukunya yang berjudul “Legal Theory” dikatakan bahwa produk hukum yang baik itu mempunyai sifat berlaku secara filosofis, sosiologis dan yuridis.

Bersifat filosofis artinya produk hukum itu mencerminkan filosofis suatu bangsa atau negara tersebut. Bersifat sosiologis ialah produk hukum itu harus menyesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana hukum itu berlaku. Bersifat yuridis ialah produk hukum itu tidak bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi.

Dalam hal ini, penulis tertarik mengkaji mengenai tinjauan yuridis serta  konsekuensi berlakunya suatu produk hukum yang tidak memiliki sifat sosiologis. Berdasarkan latar belakang yang di kemukakan di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut :

B.     Rumusan Masalah

1. Bagaimana tunjauan yuridis serta konsekuensi berlakunya suatu produk hukum yang tidak memiliki sifat sosiologis ?

Page 25: aupb

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

1.      Produk Hukum yang dihasilkan oleh Aparat Pemerintah

Menurut teoritis produk hukum yang dapat dihasilkan ialah :

1)      Regeling (peraturan) adalah produk hukum tertulis dibawah undang-undang yang diproduksi atau dibuat dari pejabat tata usaha negarayang fungsinya mempunyai daya ikat atau materinya sebagaian atau seluruh wilayah teritorial tersebut.

2)      Beschikking (keputusan) adalah penetapan tertulis yang diproduksi oleh pejabat tata usaha negara dan mendasarkan diri terhadap peraturan perundang-undangan tertentu, bersifat konkrit, individual dan final.

Di Indonesia dalam membuat suatu produk hukum para pejabat tata usaha negara juga harus berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Menurut Prof Muchsan asas-asas tersebut yang wajib hanya 5 (lima) yakni :

1. Asas kepastian hukum2. Asas permainan yang layak/patut3. Asas kecermatan4. Asas keseimbangan5. Asas ketetapan dalam mengambil sasaran

Di dalam pemerintahan yang paling berperan dalam memutar atau menjalankan roda pemerintahan yang paling dominan berbentuk keputusan. Yang berbentuk keputusan lebih banyak menajalankan fungsi pemerintahan. Keputusan syarat pertama harus sah, untuk sahnya suatu keputusan harus terpenuhi 2 kelompok persyaratan yaitu :

1)      Persyaratan yang bersifat material, yakni persyaratan yang berkaitan dengan isi atau substansi materi yang terdiri dari :

1. Keputusan dibuat oleh pejabat yang berwenang.2. Di dalam pembuatannya tidak mengalami kekurangan yuridis.

Page 26: aupb

3. Tujuan dari keputusan harus sama dengan tujuan yang dikehendaki dari peraturan yang mendasari.

2)      Persyaratan yang bersifat formil, yakni persyaratan yang berkaitan dengan instansi dan bentuk yang terdiri dari :

1. Keputusan bentuknya harus sama.2. Proses pembuatannya harus sama dengan proses yang dikehendaki aturan dasarnya.3. Semua persyaratan yang khusus yang dikehendaki oleh aturan dasarnya.

1. 2.      Pembuatan Produk Hukum Yang Berkualitas

Cara membuat produk hukum yang baik/metode yang baik itu harus bersifat populis artinya berpihak pada kepentingan rakyat. Dalam membuat suatu produk hukum atau Keputusan Tata Usaha Negara, ada beberapa metode yang perlu diperhatikan oleh pembuat keputusan, yaitu:

1. Materiele theorie oleh Leopold Pospisil dalam bukunya yang berjudul Anthropological of law. Teori ini memiliki 3 (tiga) kerangka berfikir, yaitu:

2. a. Produk hukum dalam suatu negara dapat dikembangkan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu:

1)      Hukum yang dibuat oleh penguasa (made in authority) atau hukum tertulis (authoritarian law).

2)      Hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat atau hukum yang tidak tertulis, adat dan konvensi (common law).

1. b. Dua kelompok hukum diatas memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi kelebihan dan kekurangan itu berbanding terbalik, seperti yang dibandingkan dibawah ini:

1)      Kelebihan dari hukum yang dibuat oleh penguasa atau hukum tertulis (authoritarian law) adalah memiliki kepastian hukum (legal security high) dan daya paksa yang tinggi artinya setiap lahir peraturan pasti mengikat. Sedangkan kekurangannya adalah bersifat statis dan obyektifitas keadilannya sulit terwujud padahal salah satu tujuan hukum ialah keadilan sebab hukum yang digunakan melalui kaca mata penguasa.

2)      Kelebihan dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum yang tidak tertulis (common law) adalah bersifat dinamis dan obyektifitas keadilannya mudah terwujud karen hukum berasala dari masyarakat dan melalui kaca mata masyarakat. Sedangkan kekurangannya adalah memiliki kepastian hukum serta daya paksa yang rendah, sewaktu-waktu masyarakat bosan maka akan ditinggalkan peraturan tersebut.

1. c. Dari teori ini dapat disimpulkan bahwa produk hukum yang baik adalah produk hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari common law (masyarakat) tetapi wadahnya di beri bentuk authoritarian law.

Page 27: aupb

1. Formelle theorie oleh Rick Dikerson dalam bukunya Legal drafting theory. Teori ini menjelaskan bahwa suatu produk hukum yang baik harus memenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu:

1. a. Tuntas mengatur permasalahannya. Artinya di dalam membuat suau produk hukum tersebut harus tuntas permasalahannya dan menyeluruh sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama seperti KUHP, KUHPerdata.

2. b. Sedikit mungkin memuat ketentuan delegasi undang-undang (delegatie van wetgeving). Makksudnya diusahakan sedikit mungkin jangan memberikan delegasi wewenangnya sendiri seperti pajak kendaraan bermotor diatur di dalam perda tarif pajak kendaraan bermotor akan diatur lebih lanjut dalam aturan Bupati.

3. c. Jangan sampai memuat ketentuan yang bersifat elastis. Maksudnya dalam membuat produk hukum hindari pasal karet, pasal yang tidak jelas pengaturannya.

2. Filosofische thoerie oleh Jeremy Bentham dalam bukunya Legal theory. Teori ini menjelaskan bahwa suatu produk hukum yang baik harus memiliki 3 (tiga) sifat berlaku secara komulatif, yaitu:

1. a. Berlaku secara filosofis :

Produk hukum harus mencerminkan falsafah hidup suatu bangsa misal bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

1. b. Berlaku secara sosiologis

Mencerminkan kesadaran hukum masyarakat serta menyesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana ukum itu berlaku.

1. c. Berlaku secara yuridis.

Hukum diibaratkan sebagai tombak yang memiliki dua ujung runcing, yaitu adil dan benar. Adil adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Benar adalah kecocokan antara peraturan dan perbuatan. Adil belum tentu benar, benar belum tentu adil, apabila adil dan benar bertemu, maka disebut dengan damai. Sehingga benar dan adil harus dikombinasikan agar cocok.

Jika suatu keputusan atau produk hukum dibuat dengan mengacu pada salah 3 (tiga) metode pembuatan produk hukum diatas, maka pastilah keputusan atau produk hukum yang diciptakan dapat memenuhi seegala kebutuhan masyarakat, sehingga tujuan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur dapat terwujud karena produk hukum berjalan baik dan lancar.

1. 3.      Konsekuensi yuridis berlakunya suatu produk hukum yang tidak memiliki sifat sosiologis.

 

Seperti kita ketahui di atas bahwa di dalam teori terdapat cara atau metode untuk membuat produk hukum yang baik menurut Leopold Pospisil produk hukum yang baik adalah produk hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari common law (masyarakat) tetapi

Page 28: aupb

wadahnya di beri bentuk authoritarian law. Kemudian menurut Formelle theorie oleh Rick Dikersoern dan terakhir ialah Filosofische thoerie oleh Jeremy Bentham yang berpendapat bahwa suatu hukum dapat berlaku lama dan di patuhi oleh masyarakat jika memiliki sifat filosofis, sosiologis dan yuridis.

Jika suatu produk hukum ada yang tidak memiliki salah satu dari sifat berlakunya produk hukum makan dapat dikatakan produk hukum itu produk hukum yang kurang baik. Karena jika tidak mengandung sifat sosiologis  produk hukum itu dibuat tanpa melihat keadaan yang ada di masyarakat sehingga dalam pembuatannya hanya asal-asalan, abal-abal dan rekayasa. Akibtanya suatu produk hukum tersebut tidak efektif berlakunya di masyarakat serta daya ikat masyarakat sangatlah rendah.

Menurut Prof Muchsan di dalam pembuatan suatu perda yang dilakukan terlebih daulu ialah mensurvei lokasi atau lapangan mengenai masyarkat tersebut sehingga dapat menyerap aspirasi dari masyarakat dan yang diinginkan masyarakat itu bagaimana. Jika produk hukum itu berasal dari masyarakat maka dengan sendirinya masyarakat akan mematuhinya.

Kebanyakan produk hukum yang ada saat ini hanyalah berlaku secara yuridis tetapi tidak berlaku secara filosofis dan sosiologis. Ketidaktaatan asas dan keterbatasan kapasitas daerah dalam penyusunan produk hukum yang demikian ini yang dalam banyak hal menghambat pencapaian tujuan otonomi daerah. Dalam hal ini, keterlibatan masyarakat akan sangat menentukan aspek keberlakuan hukum secara efektif. Dan tujuan pemerintah akan sulit terwujud jika masyarakat tidak berpartisipasi.

Roscoe Pound (1954) menyatakan bahwa hukum sebagai suatu unsur yang hidup dalam masyarakat harus senantiasa memajukan kepentingan umum. Kalimat “hukum sebagai suatu unsur yang hidup dalam masyarakat” menandakan konsistensi Pound dengan pandangan ahli-ahli sebelumnya seperti Erlich maupun Duguit. Artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi hukum masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa. Ia harus berasal dari konkretisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kemajuan pandangan Pound adalah pada penekanan arti dan fungsi pembentukan hukum. Disinilah awal mula dari fungsi hukum sebagai alat perubahan sosial yang terkenal itu.

Dari pandangan Pound ini dapat disimpulkan bahwa unsur normatif dan empirik dalam suatu peraturan hukum harus ada; keduanya adalah sama-sama perlunya. Artinya, hukum yang pada dasarnya adalah gejala-gejala dan nilai-nilai yang dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman dikonkretisasi dalam suatu norma-norma hukum melalui tangan para ahli-ahli hukum sebagai hasil rasio yang kemudian dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh negara. Yang utama adalah nilai-nilai keadilan masyarakat harus senantiasa selaras dengan cita-cita keadilan negara yang dimanifestasikan dalam suatu produk hukum.

Pandang Pound merupakan bagaimana suatu produk hukum tersebut harus memiliki sifat sosiologis, kemudian dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai sarana social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai sarana social engineering yang

Page 29: aupb

maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern.

Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :

1. Hukumnya sendiri.

2. Penegak hukum.

3. Sarana dan fasilitas.

4. Masyarakat.

5. Kebudayaan.

Konsekuensi yuridis berlakunya suatu produk hukum yang tidak memiliki sifat sosiologisialah produk hukum itu tidakdapat bertahan lama dan daya ikat kepada masyarakat sangat lemah kemudian efektivitas hukum tidak efektif sehingga suatu produk hukum tersebut berlakunya di masyarakat rendah, kenudian produk hukum tersebut dapat dipermasalahkan atau di mohonkan untuk di uji materii ke pengadilan tata usaha negara atau Mahkamah Agung untuk tidak berlaku lagi/produk hukum tersebut dibatalkan dan produk hukum tersebut di review.

Jadi suatu produk hukum harus memenuhi teori dalam pembuatan produk hukum yang baik supaya produk hukum tersebut baik dan lancar dan efektifitas hukumnya berlaku efektif. Produk hukum yang bersifat filosofis, sosiologis dan yuridis contohnya ialah Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 yang berlaku higga saat ini. sehingga suatu produk hukum sangat penting untutk memiliki sifat sosiologis.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah yang diuraikan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

cara atau metode untuk membuat produk hukum yang baik menurut Leopold Pospisil produk hukum yang baik adalah produk hukum yang materinya sebanyak mungkin diambil dari common law (masyarakat) tetapi wadahnya di beri bentuk authoritarian law. Kemudian menurut Formelle theorie oleh Rick Dikersoern yang berpendapat dalam membuat produk hukum haruslah Tuntas mengatur permasalahannya, sedikit mungkin memuat ketentuan delegasi perundang-undangan, jangan sampai memuat ketentuan yang bersifat elastis  dan terakhir ialah Filosofische

Page 30: aupb

thoerie oleh Jeremy Bentham yang berpendapat bahwa suatu hukum dapat berlaku lama dan di patuhi oleh masyarakat jika memiliki sifat filosofis, sosiologis dan yuridis.

Konsekuensi yuridis berlakunya suatu produk hukum yang tidak memiliki sifat sosiologisialah produk hukum itu tidakdapat bertahan lama dan daya ikat kepada masyarakat sangat lemah kemudian efektivitas hukum tidak efektif sehingga suatu produk hukum tersebut berlakunya di masyarakat rendah, kenudian produk hukum tersebut dapat dipermasalahkan atau di mohonkan untuk di uji materii ke pengadilan tata usaha negara atau Mahkamah Agung untuk tidak berlaku lagi/produk hukum tersebut dibatalkan dan produk hukum tersebut di review.

DAFTAR PUSTAKA

Eny Kusdarini. 2011. Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Uny Press. Yogyakarta.

E Utrecht, 1986. Pengantar Hukum Adminitrasi Negara Indonesia. Pustaka Tinta Mas. Surabaya

Irfan Fachruddin. 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah. Alumni. Bandung.

Muchsan, 1981. Beberapa catatan penting hukum administrasi negara dan peradilan administrasi negara di Indonesia. Liberty. Yogyakarta.

Philipus M.Hadjon, 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ridwan HR, 2006. Hukum Adminitrasi Negara. UII Press. Yogyakarta

Satjipto Rahardjo, 1986. Ilmu Hukum, Alumni. Bandung.

SF. Marbun, Moh Mahfud MD, 2006. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Liberty. Yogyakarta.

SF. Marbun, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty. Yogyakarta

Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara.

Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara.

Page 31: aupb

http://studihukum.blogspot.com/2011/01/urgensi-partisipasi-publik-dalam.html (diakses tanggal 25 November 2012)

http://taheggaalfath.blogspot.com/2011/09/efektivitas-hukum-dalam-masyarakat.html (diakses tanggal 25 November 2012)

http://rudy.fhunila.ac.id/?m=200803/pembentukan-peraturan-desa(diakses tanggal 25 November 2012)

http://studihukum.blogspot.com/2011/01/keputusan-tata-usaha-negara-2-syarat_20.html (diakses tanggal 25 November 2012)

http://alisafaat.wordpress.com/2008/04/16/tolok-ukur-indikator-dan-parameter-kesalahan-perda/ (diakses tanggal 25 November 2012)