Atas Nama Rakyat

5
Atas Nama Rakyat; Politik Pencitraan Dalam setiap moment pesta demokrasi, ruang politik selalu dipenuhi warna-warni lipstik, bedak dan parfum untuk membangkitkan gairah dan selera politik (meminjam istilah Yasraf Amir Piliang). Tim sukses mulai mengatur strategi, ahli komunikasi mulai merancang slogan-slogan partai dan kandidatnya, elit politk mulai sibuk menata penampilan, memoles wajah, menyegarkan tubuh, mendesain pakaian, mengatur cara berbicara dan mengasah retorika didepan cermin. Penampilan kini menjadi jantung kehidupan politik dan kosmetika adalah instrument utama untuk memanipulasi penampilan agar sang politisi tampak menarik. Kini politik menjelma menjadi politik kosmetika, ketika ia bekerja melalui cara kerja penampakan luar dalam menata, memoles, meningkatkan dan memanipulasi penampilan untuk menghasilkan citra diri yang lengkap, ideal atau sempurna sebagai cara untuk menarik perhatian pemilih. Ketika politik ideologi yaitu politik ide, gagasan, keyakinan dan makna politik diambil alih oleh politik penampakan, gesture, penampilan, bahasa tubuh, cara berbicara, dan permainan tanda dijadikan sebagai bagian kekuatan politik (political power), untuk menutupi minimalitas kekuatan substansial (kapabilitas, intelektualitas, kepemimpinan, dan kharisma) yang tidak dimiliki oleh politik kosmetika (the politics of cosmetic). Seduksi Politik Strategi manipulasi penampakan luar, penataan pakaian, seting ruang dan lingkungan (sawah, pasar, kampung kumuh), penguasaan intonasi, pelatihan artikulasi, pemantapan efek retorika, penajaman efek teatrikal, penyelarasan gesture dan bahasa tubuh, pemilihan figur dan subyek-subyek pemberi testimoni (petani, pedagang, nelayan, tukang becak dan lain-lain) adalah

Transcript of Atas Nama Rakyat

Page 1: Atas Nama Rakyat

Atas Nama Rakyat; Politik Pencitraan

Dalam setiap moment pesta demokrasi, ruang politik selalu dipenuhi warna-warni lipstik, bedak dan parfum untuk membangkitkan gairah dan selera politik (meminjam istilah Yasraf Amir Piliang). Tim sukses mulai mengatur strategi, ahli komunikasi mulai merancang slogan-slogan partai dan kandidatnya, elit politk mulai sibuk menata penampilan, memoles wajah, menyegarkan tubuh, mendesain pakaian, mengatur cara berbicara dan mengasah retorika didepan cermin. Penampilan kini menjadi jantung kehidupan politik dan kosmetika adalah instrument utama untuk memanipulasi penampilan agar sang politisi tampak menarik. Kini politik menjelma menjadi politik kosmetika, ketika ia bekerja melalui cara kerja penampakan luar dalam menata, memoles, meningkatkan dan memanipulasi penampilan untuk menghasilkan citra diri yang lengkap, ideal atau sempurna sebagai cara untuk menarik perhatian pemilih.

Ketika politik ideologi yaitu politik ide, gagasan, keyakinan dan makna politik diambil alih oleh politik penampakan, gesture, penampilan, bahasa tubuh, cara berbicara, dan permainan tanda dijadikan sebagai bagian kekuatan politik (political power), untuk menutupi minimalitas kekuatan substansial (kapabilitas, intelektualitas, kepemimpinan, dan kharisma) yang tidak dimiliki oleh politik kosmetika (the politics of cosmetic).

Seduksi Politik

Strategi manipulasi penampakan luar, penataan pakaian, seting ruang dan lingkungan (sawah, pasar, kampung kumuh), penguasaan intonasi, pelatihan artikulasi, pemantapan efek retorika, penajaman efek teatrikal, penyelarasan gesture dan bahasa tubuh, pemilihan figur dan subyek-subyek pemberi testimoni (petani, pedagang, nelayan, tukang becak dan lain-lain) adalah bagian dari kosmetika politik masa kini. Kosmetika adalah logika politik masa kini dalam mencapai tujuan. Kosmetika politik adalah kondisi ketika paradigma politik mengikuti esensi kosmetika yaitu politik yang direduksi menjadi politik penampilan luar.

Seduksi adalah strategi dalam meyakinkan kita melalui penampakan artifisial bukan alamiah. Ia adalah strategi penampakan luar yang bertumpu pada kekuatan make up dan artifisialitas: permainan tanda, penampilan, eksplorasi bentuk, manipulasi tema dan rekayasa citra. Ia adalah tanda tanmpa rujukan, tanda yang terjabut dari realitas, sebuah penanda kosong yang tujuannya adalah mengelabui (Baudrillard, 1990).

Politik seduksi adalah cara kerja politik kombinasi dengan psikologi politik, komunikasi politik, dan semiotika politik yang mengerahkan permainan tanda-tanda permukaan dan artifisial, untuk meyakinkan, membangun persepsi, mengubah sikap dan mengarahkan preferensi politik. Namun disebapkan ia dibangun oleh sifat artifisialitas, kebenaran yang disampaikannya tidak lain adalah kebenaran semu, kebenaran yang seakan-akan tampak benar. Dalam politik seduksi berbagai ingatan kolektif, mitos, legenda, simbol nasional, kearifan lokal, tempat bersejarah,

Page 2: Atas Nama Rakyat

situs, pepatah atau pantun-pantun dikerahkan membentuk paket-paket tanda, untuk membangun citra diri. Melalui seduksi, elit politik melukiskan dirinya sebagai titisan sebagai pendiri bangsa, pemurni pancasila, ataupun dewa penyelamat kearifan lokal.

Politik seduksi antithesis politik ideologi. Politik ideologi adalah politik pemanggilan individu menjadi subyek yaitu yang merasa dirinya bagian dari gagasan, konsep, slogan, atau ideologi politik (Althuser, 1976). Politik seduksi sebaliknya memanggil individu atau publik menjadi bagian dari gagasan palsu yang menggiring mereka kedalam kesadaran palsu, yang menerima gagasan seakan-akan benar padahal palsu. Ruang politik yang didominasi cara kerja seduksi didukung kekuatan para taipan media elektronik yang menggiring publik pada pengaburan realitas politik yaitu antara realitas dan simulasi, kebenaran dan kepalsuan.

Politik Nama

Dimanakah rakyat (demos)? Kata rakyat sering disebut oleh semua elit politik diberbagai pidato, talkshow dan iklan politik. Akan tetapi apakah sebutan dan nama merupakan jaminan terhadap eksistensi mereka? Bukankah kini rakyat adalah sebuah nama tanmpa eksistensi, yang hanya disebut tapi tidak eksis? Politik adalah pertarungan menciptakan konsep, ide, gagasan, nama atau label untuk subyek-subyek dan bagaimana merealisasikannya dalam realitas. Politik adalah perkara subyek dan pembingkaian subyek-subyek melalui pernyataan, ekspresi dan citra dan bagaimana merealisasikannya dalam realitas kehidupan. Ketika politik menjelma menjadi politik seduksi, maka rakyat justru dijadikan alat legitimasi, dan media testimoni bagi citra kekuasaan, prestasi, kapasitas, dan kepemimpinan para elit politik. Logika demokrasi sebagai segala bentuk tindakan demi rakyat kini dibalik menjadi segala bentuk penyebutan, penamaan, dan pengerahan rakyat demi elit politik. Rakyat kini direduksi sebagai bahan baku kosmetika politik .

Politik seduksi adalah pembingkaian rakyat sebagai subyek-subyek, dengan memberi mereka nama, tempat, posisi, dan kedudukan dalam wacana (spanduk, poster, talk show, iklan) tanmpa ada realisasinya dalam dunia nyata. Singkatnya bahwa dalam politik seduksi rakyat disebut tapi tidak ada eksistensinya, diberi nama tapi tidak punya ruang sosial, ditempatkan tapi tidak punya bagian, disuarakan tapi tidak punya suara, dihitung tapi tidak ada harganya (Ranciere, 1995). Demokrasi yang dibangun diatas cara kerja politik seduksi menempatkan rakyat pada posisi terbalik. Demokrasi sebagai kekuasaan ditangan rakyat kini bekerja sebaliknya kekuasaan memanfatkan rakyat. Konsep demos menjelma menjadi mythos karena eksistensi rakyat hanya dalam cerita, narasi, nama atau karakter tapi kekuasaannya sungguh telah direduksi bahkan dilucuti, jadi sekedar alat mendpatkan kekuasaan bukan pemegang kekuasaan.

Menjelang Pemilu 2014 (Legislatif dan Presiden), ada dua paradigma politik yang akan bertarung dalam relasinya dengan eksistensi rakyat. Pertama, politik seduksi yang menjadikan rakyat sebagai bahan baku kosmetika politik. Kedua, politik partisipasi/politik kerja yaitu politik yang mau mendatangi warga ditempat-tempat kumuh, dan bau untuk mendengarkan aspirasi

Page 3: Atas Nama Rakyat

mereka. Pertarungan politik kedepan akan membuktikan apakah politik seduksi/pencitraan berupa eksploitasi dan manipulasi penampakan luar, tanda dan citra masih efektif untuk menarik pemilih dan partisan, khsusnya kaum muda atau jangan-jangan gairah politik rakyat hanya dapat dibangkitkan melalui politik realitas yaitu cara kerja politik yang menyertakan rakyat sebaagi bagian realitas harian, melalui berbagai tindakan nyata untuk memanifestasikan konsep kekuasaan rakyat secara konkrit.

Akhirnya semua pihak haruslah menyadari bahwa demokrasi adalah sesuatu yang in making atau in crafting. Ia bukanlah sesuatu yang dengan begitu saja datang dalam kehidupan kita-sekalipun rezim otoriter itu sudah tumbang. Ia memerlukan partisipasi seluruh komponen masyarakat-bangsa, Karena itulah bila prosesnya terasa berjalan lambat dan sepertinya juga tak membawa perubahan yang baik dan positif didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bukan berarti kita lebih baik memilih untuk kembali kemasa silam yang kelam. Sebab, ia hanya memerlukan lebih banyak kesabaran dan ketahanan kita untuk senantiasa berjuang. Demokrasi memang tak mungkin dibangun hanya dalam waktu semalam, untuk itu kita harus menciptakan arena-arena demokrasi bagi masyarakat, alias sekolah-sekolah demokrasi dengan cara-cara pembelajaran yang dialogis-inklusif didalam dan melalui pengalaman hidup sehari-hari.

Penulis: Muhammad Irvan Mahmud Asia. Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi Universitas Hasanuddin, Makassar 2012/2013. Saat ini aktif sebagai Anggota Pelopor Perdamaian Kementrian Sosial Republik Indonesia. Domisili saat ini Kota Makassar/orang Muna Red. No HP: 082 345 971 051. Email: [email protected]. Fb: Muh Irvan Mahmud Asia. Twitter: Muhammad Irvan M.A. Blog: Damai Itu Indah