ASURANSI KESEHATAN SANDI LIMBONG, P1802210511

download ASURANSI KESEHATAN  SANDI LIMBONG, P1802210511

of 22

Transcript of ASURANSI KESEHATAN SANDI LIMBONG, P1802210511

POLA PEMBIAYAAN KESEHATAN DI INDONESIA :KAJIAN SECARA GLOBAL, NASIONAL, LOKAL, DAN KASUSSandi Limbong Jurusan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar

PENGANTAR Untuk mengelola pelayanan kesehatan (health services) salah satu faktor yang perlu diperhatikan ialah soal dana. Oleh 'The Commission on Education for Health Administration' di Amerika Serikat disebutkan bahwa sempurna atau tidaknya suatu sistem pelayanan kesehatan ditentukan antara lain oleh baik atau tidaknya pengorganisasian pembiayaan (organization of finance) yang diterapkan. Yang dimaksud dengan pengorganisasian pembiayaan di sini ialah mengatur pelbagai hal yang ada hubungannya dengan soal biaya dan atau keuangan dalam suatu bentuk pengorganisasian yang utuh dan terpadu, sehingga tujuan suatu usaha yang akan dilaksanakan dan dibiayai dapat tercapai dengan memuaskan. Dalam pengertian tersebut termasuk masalah sumber dana, organisasi pengelola dan pengorganisasiannya serta mekanisme pembiayaan yang diperkenakan. Pada pelayanan kesehatan, pengorganisasian pembiayaan yang lazim berlaku, secara umum dapat dibedakan atas dua macam yakni : (1) sepenuhnya diselenggarakan oleh Pemerintah dan karena itu pelayanan kesehatan seolah-olah diberikan secara cuma-cuma. Bentuk ini sekarang diselenggarakan pada negara-negara yang menganut paham sosialis karena semua orang bekerja menjadi pegawai negeri, sehingga biaya untuk pelayanan kesehatan langsung dipotong dari gaji. (2) masyarakat diminta untuk turut memikul beban biaya, untuk hal ini ada dua bentuk pengorganisasian yakni : (a)pengorganisasian mengikuti mekanisme "pasar" , dalam arti ada uang ada barang atau ada pelayanan; bentuk ini dalam pelayanan kesehatan dikenal dengan nama 'fee for service system'. (b) pengorganisasian melalui pihak ketiga (third party) yang merupakan badan pengelola dana antara penyedia pelayanan (health provider) dan pemakai pelayanan (health consumer), bentuk ini dikenal dengan nama 'pre-payment system' atau terkenal pula sebagai 'health insurance system'.

1

Bagi negara yang tidak menganut paham sosialis, mudah dipahami bahwa bentuk pengorganisasian yang paling diidam-idamkan ialah sistem asuransi dan bahkan juga mungkin dapat diselenggarakan secara nasional, dalam arti setiap warga negara telah tertanggung biaya kesehatan. KONSEP DAN JENIS ASURANSI KESEHATAN Pemahaman tentang asuransi kesehatan di Indonesia masih sangat beragam. Dahulu banyak yang menganggap bahwa JPKM bukan asuransi kesehatan, apalagi asuransi kesehatan komersial; perkembangan selanjutnya menyebutkan JPKM sebagai asuransi sosial karena dijual umumnya kepada masyarakat miskin di daerah-daerah. Padahal dilihat dari definisi dan jenis programnya, JPKM jelas bukan asuransi kesehatan social. Asuransi kesehatan sosial (social health insurance) adalah suatu mekanisme pendanaan pelayanan kesehatan yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia karena kehandalan sistem ini menjamin kebutuhan kesehatan rakyat suatu negara. Namun di Indonesia pemahaman tentang asuransi kesehatan sosial masih sangat rendah karena sejak lama kita hanya mendapatkan informasi yang bias tentang asuransi kesehatan yang didominasi dari Amerika yang didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Litetarur yang mengupas asuransi kesehatan sosial juga sangat terbatas. Sesungguhnya asuransi sosial bukanlah asuransi untuk orang miskin. Fungsi sosial bukanlah fungsi untuk orang miskin. Pendapat tersebut merupakan kekeliruan besar yang sudah mendarah daging di Indonesia yang menghambat pembangunan kesehatan yang berkeadilan sesuai amanat UUD45. Bahkan konsep Undang-undang Kesehatan yang dikeluarkan tahun 1992 (UU nomor 23/1992) jelas memerintahkan Pemerintah untuk mendorong pengembangan JaminanPemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang diambil dari konsep HMO (Health Maintenance Organization) yang merupakan salah satu bentuk asuransi kesehatan komersial. Para pengembang JPKM di Depkes-pun, tidak banyak yang memahami bahwa HMO dan JPKM sesungguhnya asuransi komersial yang tidak sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa mewujudkan sistem kesehatan yang berkeadilan (egaliter). Akibatnya, asuransi kesehatan sosial di Indonesia tidak berkembang dengan baik sampai tahun 2005. Kondisi tersebut sejalan pula dengan situasi negara-negara di Asia yang umumnya memang tertinggal dalam pengembangan asuransi kesehatan sosial.

2

Pada tanggal 7-9 Maret 2005, WHO kantor regional Asia Pasifik, Asia Tenggara, dan Timur Tengah berkumpul di Manila untuk menggariskan kebijakan dan pedoman pengembangan asuransi kesehatan sosial di wilayah Asia-Pasifik dan Timur Tengah. Berbagai ahli dalam bidang asuransi kesehatan atau pendanaan kesehatan diundang untuk perumusan tersebut. Karena sistem pendanaan di Asia yang ada sekarang ini sangat bervariasi, maka disepakati tujuan pengembangan asuransi kesehatan sosial yaitu mewujudkan akses universal kepada pelayanan kesehatan. Selain asuransi kesehatan sosial, sistem pendanaan melalui pajak (National Health Service) dengan menyediakan pelayanan kesehatan secara gratis atau hampir gratis kepada seluruh penduduk, seperti yang dilakukan Malaysia, Sri Lanka, dan Thailand juga mampu menyediakan akses universal tersebut. Asuransi Sosial vs Asuransi Komersial Asuransi Sosial/Jamkesda : 1. 2. 3. 4. Kepesertaan Wajib (ditentukan oleh penyelenggara/pemerintah) Premi biasanya rendah, oleh karena tidak bersifat mencari keuntungan (nirlaba) untuk Jamkesda Rp.7500/jiwa /tahun atau Rp.90.000/jiwa/tahun Paket pelayanan dibatasi, biasanya hanya untuk pelayanan kesehatan yang bersifat live saving (yang mengancam jiwa peserta) Pengendalian ketat terhadap biaya (cost containment) oleh karena dana yang disiapkan oleh penyelenggara biasanya terbatas. Pengendalian biasanya dalam bentuk mekanisme rujukan berjenjang, ada gate keeper yaitu : pasien tidak bisa langsung ke rumah sakit tetapi melalui puskesmas dan berdasarkan indikasi medis, pelayanan di RS dibatasi di kelas III ada iur biaya : jika pasien memilih kelas yang lebih tinggi maka selisih antara kelas yanng dipilih dengan kelas yang ditanggung dibayar sendiri oleh peserta ( untuk Jamkesda hal ini diberlakukan oleh karena peserta Jamkesda bukan orang miskin sebagaimana Jamkesmas, sehingga iur biaya mutlak agar dana yang disiapkan oleh pemerintah daerah bisa mencukupi). Jika peserta tidak melalui prosedur tersebut, maka penyelenggara tidak menanggung biaya pelayanan klaim pelayanan diajukan oleh pemberi pelayanan berdasarkan bukti-bukti pelayanan yang telah diberikan kepada peserta melalui verifikasi oleh tim pengendali yang ditunjuk oleh penyelenggara (PT. ASKES) Asuransi komersial : 1. Kepesertaan sukarela, biasanya hanya orang-orang yang mampu membayar premi3

2. Premi besar oleh karena diperhitungkan dengan keuntungan perusahaan 3. Paket pelayanan biasanya tidak dibatasi untuk menarik minat peserta untuk masuk 4. Pengendalian biaya kurang ketat, oleh karena segala kemungkinan tentang pembiayaan telah diperhitungkan dengan premi yang dibayar oleh peserta tidak ada gate keeper, peserta bebas memilih tempat pelayanan yang dikehendakinya, kelas perawatan biasanya di kelas yang lebih tinggi tidak ada iur biaya oleh karena tidak ada pembatasan kelas pelayanan klaim biasanya diajukan oleh peserta dengan menunjukkan bukti/kuitansi pembayaran (peserta membayar dulu biaya pelayanan kemudian dilakukan penggantian oleh penyelenggara sesuai biaya yang tertera dalam kuitansi) Telah dibahas sebelumnya bahwa asuransi adalah manajemen risiko, dimana seseorang atau sekelompok kecil orang (yang disebut pemegang polis/policy holder atau peserta/participant) melakukan transfer risiko yang dihadapinya kepada pihak asuransi (yang disebut asuradur/insurer atau badan penyelenggara asuransi)dengan membayar sejumlah premi (iuran atau kontribusi). Bila pemegang polis atau peserta adalah perseorangan, maka ia akan menjamin dirinya sendiri dan atau termasuk anggotakeluarganya. Dalam hal pemegang polis atau peserta bersifat kelompok kecil (misalnya suatu perusahaan atau instansi), maka yang dijamin biasanya anggota kelompok tersebut (karyawan dan anggota keluarganya). Dengan pembayaran premi/iuran tersebut, maka segala risiko biaya yang terjadi akibat kejadian yang terjadi pada pemegang polis atau peserta sesuai kesepakatan yang tercantum dalam perjanjian/ kontrak akan menjadi kewajiban asuradur. Peserta yang termasuk dalam daftar yang dijamin sesuai ketentuan dalam kontrak atau peraturan disebut tertanggung atau insured. Risiko yang harus ditanggung asuradur disebut benefit atau manfaat asuransi, yang cakupan (scope) dan besarnya telah ditetapkan dimuka dalam kontrak atau peraturan. Dalam asuransi kesehatan, manfaat ini sering disebut paket jaminan (benefit package) karena manfaat asuransi kesehatan pada umumnya berbentuk pelayanan kesehatan yang dijamin oleh asuradur, sedangkan manfaat asuransi jiwa atau kerugian umumnya dalam bentuk nilai nominal uang, Pembayaran Premi Menurut sifat kepesertaannya, asuransi dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu kepesertaan yang bersifat wajib dan sukarela. Sifat kepesertaan itu terkait dengan kewajiban membayar premi yang juga bersifat wajib dan sukarela (lihat ilustrasi). Asuransi dengan kepesertaan wajib disebut asuransi social, sedangkan asuransi yang kepesertaannya4

sukarela, digolongkan sebagai asuransi komersial karena tidak ada kewajiban seseorang untuk ikut atau membeli asuransi. Sifat membeli merupakan suatu transaksi sukarela dalam perdagangan (commerce). Banyak pihak di Indonesia yang mengasosiasikan asuransi sosial sebagai asuransi bagi kelompok masyarakat ekonomi lemah (miskin), sehingga pada awalnya JPKM dinyatakan bukan sebagai asuransi komersial. Padahal dengan sifat kepesertaan yang sukarela, asuransi itu sudah dapat dikelompokkan menajdi asuransi komersial Banyak pihak di Indonesia yang mempunyai pengertian keliru tentang asuransi sosial. Kebanyakan orang beranggapan bahwa asuransi sosial adalah suatu program asuransi untuk masyarakat miskin atau kurang mampu. Pada berbagai kesempatan interaksi dengan masyarakat di kalangan sektor kesehatan, banyak yang beranggapan bahwa Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang diperkenalkan Departemen Kesehatan (Depkes) juga merupakan program jaminan untuk masyarakat miskin. Hal ini barangkali terkait dengan program JPKM dalam rangka Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dimana Depkes memberikan insentif kepada organisasi di kabupaten yang disebut pra bapel (badan penyelenggara) untuk mengembangkan JPKM. Program JPSBK ini memberikan dana Rp 10.000 per tahun untuk tiap keluarga miskin (gakin) kepada pra bapel yang berjumlah 354 di seluruh Indonesia. Dana tersebut digunakan untuk membiayai administrasi pra bapel sebesar Rp.800, dan sisanya untuk membiayai pelayanan kesehatan peserta yang dikelolanya. Diharapkan setelah dua tahun program berjalan, pra bapel dapat membuat produk JPKM dan menjualnya kepada masyarakat selain gakin. Mungkin dengan program inilah maka terbentuk pemahaman bahwa program JPKM adalah program asuransi sosial. Sebenarnya, konsep JPKM adalah konsep asuransi komersial yang dilandasi oleh kepesertaan sukarela. Dalam Undang-Undang No 2/92 tentang asuransi disebutkan bahwa program asuransi sosial adalah program asuransi yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu undang-undang, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa program asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (pasal 14). Mengapa harus diwajibkan? Apakah pada era globalisasi ini masih perlu mewajibkan setiap tenaga kerja atau setiap penduduk untuk menjadi peserta asuransikesehatan seperti halnya asuransi kesehatan pegawai negeri? Mengapa harus dikelola secara terpusat oleh5

satu badan penyelenggara pemerintah? Monopolikah itu namanya? Bukankah kini jamannya privatisasi? Mengapa tidak dilepaskan kepada mekanisme pasar karena pasar begitu kuat dan mampu mengatasi berbagai masalah? Bukankah kini jamannya otomomi daerah sehingga seharusnya daerah diberi kewenangan mengurus daerahnya masing-masing?. Pertanyaan seperti itu kerap muncul diberbagai kesempatan di daerah ketika penulis mempresentasikan konsep asuransi sosial Pada prinsipnya premi asuransi sosial mirip pajak, bedanya pajak umumnya progresif, sedangkan premi asuransi tidak, bahkan cenderung regresif. Dalam peraturan pajak, mereka yang berpenghasilan tinggi dikenakan pajak dengan prosentase yang tinggi pula. Ini berlaku di seluruh dunia. Di Indonesia kalau kita berpenghasilan Rp 1 juta sebulan, maka pajak penghasilan yang harus dibayar adalah 5% dari penghasilan kena pajak. Tetapi jika penghasilan kita mencapai Rp 100 juta sebulan, maka pajak penghasilan yang harus kita bayar mencapai 35% dari penghasilan diatas Rp 200 juta setahun. Dalam asuransi sosial, justeru seringkali diberlakukan batas maksimum. Misalnya premi asuransi sosial adalah 5% dari penghasilan sampai batas Rp 5 juta. Artinya, jika penghasilan kita Rp 1 juta sebulan, maka kita membayar premi sebesar Rp 50.000 sebulan untuk sekeluarga. Sedangkan jika penghasilan kita sebesar Rp 10 juta sebulan, premi yang harus kita bayar adalah 5%x Rp 5 juta (batas maksimal) atau hanya sebesar Rp 250.000. Jika penghasilan kita Rp 100 juta sebulan, maka premi yang kita bayar juga hanya Rp 250.000. Perbedaan lain dengan pajak adalah penggunaannya. Pada asuransi sosial, penggunaan dana hanya terbatas untuk kegiatan atau benefit yang telah ditetapkan. Tidak bisa lain. Sementara penerimaan pajak dapat digunakan untuk berbagai program yang tidak ditentukan dimuka. Itulah sebabnya, premi asuransi sosial atau jaminan sosial sering disebut sebagai social security tax, jadi sangat mirip dengan earmarked tax. Karena sifatnya yang wajib dan mirip dengan pengenaan pajak, maka pengelolaan asuransi sosial haruslah secara not for profit (nirlaba). Jadi tidak tepat kalau Jamsostek dan Askes pegawai negeri dikelola oleh PT Persero yang berorientasi laba (for profit). Kondisi tersebut merupakan keunikan yang patut dicemati. Pengertian nirlaba harus dipahami yang tidak mencari laba adalah badan atau lembaganya pengelolanya. Hal itu tidak juga mengharamkan lembaga mempunyai sisa dana. Dulu istilah nirlaba dalam bahasa Inggris disebut non profit (tidak ada laba atau sisa hasil usaha). Belakangan istilah itu telah diluruskan menjadi not for profit artinya usaha yang dilakukan sama sekali bukan untuk mencari untung seperti layaknya perusahaan. Tetapi usaha atau upaya yang dilakukan6

bertujuan memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi anggota. Jadi mirip dengan pengelolaan negara yang tidak menari laba, akan tetapi jika ada kelebihan anggaran, maka anggaran itu dapat digunakan untuk tahun fiskal berikutnya atau untuk cadangan, maka jika lembaga pengelola asuransi sosial memiliki Sisa Hasil Usaha (SHU), pemerintah tidak menarik PPh (pajak penghasilan) badan. Sisa hasil usaha tersebut harus digunakan untuk kepentingan peserta, seperti halnya negara yang menggunakan kelebihan untuk kepentingan rakyat. Penggunaan SHU jika ada, dapat digunakan untuk perbaikan pelayanan, perluasan paket jaminan, atau dikembalikan dalam bentuk potongan iuran pada periode berikutnya. Harus diingat bahwa meskipun lembaga atau oraganisasi penyelenggara jaminan atau asuransi sosial bersifat nirlaba, pegawai badan tersebut bersifat for profit. Setiap pegawai tetap wajib membayar PPh 21, karena pegawai bersifat for profit. Jadi tidak ada alasan pegawai penyelenggara asuransi sosial digaji rendah. Atas dasar peran dan sifat pengelolaan itu, maka di banyak negara penyelenggara asuransi sosial adalah badan pemerintah atau quasi pemerintah yang disebut Trust Fund atau dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai Dana Amanat. Dana Amanat ini dimiliki oleh seluruh peserta, mirip dengan model Usaha Bersama (mutual) pada Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera yang pemegang sahamnya adalah seluruh peserta/pemegang polis. Tetapi produk asuransi yang dijual Bumiputera bersifat komersial, bukan asuransi sosial. Asuransi sosial sering disebut sebagai asuransi publik JAMINAN KESEHATAN DI BERBAGAI NEGARA Jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk yang tertua di Asia adalah di Sri Lanka yang dimulai tahun 1948. Sumber dana berasal dari APBN (pajak). Semua penduduk berhak mendapat layanan di puskesmas dan rumah sakit publik tanpa bayar. Rumah sakitnya sederhana, tidak ber-AC, dan tidak berlantai marmer. Memang antrean cukup panjang. Penduduk yang tidak mau antre dan cukup mampu membeli layanan kesehatan dari rumah sakit swasta. Di Amerika Serikat, Presiden Obama yakin bahwa Kongres Amerika akan segera meloloskan rancangan undang-undang layanan kesehatan, walaupun langkah tersebut akan sulit dicapai. Presiden Barack Obama telah menjadikan pembaharuan layanan kesehatan sebagai agenda utamanya. Pada hari Jumat, Gedung Putih mengumumkan penundaan keberangkatan presiden Obama ke Indonesia dan Australia selama tiga hari untuk memusatkan usaha mendorong rancangan UU jaminan kesehatan itu.7

Menurut Presiden Obama, RUU tersebut akan memberikan jaminan kesehatan kepada 31 juta warga Amerika yang tidak punya asuransi kesehatan. Australia mewajibkan seluruh penduduknya memilik asuransi kesehatan resmi milik pemerintah (Medicare) sehingga menjamin bahwa setiap orang mendapat akses layanan dokter umum, rumah sakit umum, serta perawatan kesehatan lainnya. Umumnya lembagalembaga pendidikan di Australia juga menyediakan layanan perawatan kesehatan khusus dan penyuluhan bagi para siswa. Para siswa internasional yang belajar di Australia diharuskan memiliki salah satu asuransi kesehatan selama Visa pelajar berlaku. Dalam sebuah survei yang dilaksanakan oleh Institut Kesejahteraan dan Kesehatan Australian disebutkan bahwa pada tahun 2003, biaya untuk belanja kesehatan di Australia mencapai 9,5 persen dari total PDB (bandingkan dengan Indonesia yang hanya 2% dari PDB). Apalagi kecenderungan untuk belanja di bidang kesehatan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Masyarakat Australia sangat peduli terhadap kondisi kesehatan mereka. Industri kesehatan pun kian menjanjikan dan diperebutkan oleh banyak investor. Disini juga terjadi pertentangan antara Partai Liberal dan Partai Buruh. Menurut Partai Liberal, industri kesehatan harus dilepas agar dapat berkembang dan menghasilkan banyak devisa untuk negara. Akan tetapi menurut Partai Buruh, industri kesehatan yang sedemikian menggiurkan ini harus dikontrol agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh pihak swasta. Pemerintah harus berperan agar tidak terjadi penyelewengan fungsi kesehatan yang sebenarnya. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pemerintah memutuskan untuk mengajak semua pihak baik dari pemerintah federal maupun dari negara bagian untuk saling berunding memutuskan permasalahan Medicare tersebut. Melalui Perjanjian Layanan Kesehatan Australia (Australian Health Care Treaty), akhirnya diputuskan bahwa program tersebut tetap dilaksanakan tetapi dengan catatan diadakannya evaluasi setiap lima tahun sekali. Perseteruan antar dua kubu tersebut terus berlangsung dan berdampak hingga pada tataran negara bagian. Setiap kali ada program dan kebijakan kesehatan yang diluncurkan oleh pemerintah federal selalu ada negara bagian yang menolak program tersebut,baik karena alasan politis maupun ekonomis. Demikian pula saat pemerintah federal meluncurkan sebuah aturan baru terkait masalah kesehatan di bidang alkohol. Isi kebijakan tersebut diantaranya adalah perubahan

8

batas minimum usia penggunaan alkohol dari 21 menjadi 18 tahun, serta berbagai aturan terkait pajak alkohol dan batasan penggunaannya. Kebijakan ini ternyata tidak dapat lepas dari pro dan kontra dari negara bagian. Saat kebijakan tersebut diluncurkan, ada negara bagian yang masih kurang setuju dan memutuskan untuk mempertimbangkan penerapannya. Tidak semua negara bagian langsung sepakat terhadap kebijakan pemerintah federal. Sebagian beranggapan bahwa alkohol sudah menjadi budaya hidup masyarakat australia sehingga penerapannya dapat mengganggu perekonomian rakyat yang sudah lama bergantung pada produksi minuman keras. Sedangkan sebagian lain memiliki pertimbangan politis seperti perbedaan pandangan dan partai politik. Australia Barat pertama kali menyetujui dengan membuat peraturan Liquor Control Act 1988 dan Liquor Control Regulations 1989. Australia Selatan baru menerima peraturan tersebut pada tahun 1997 melalui Liquor Licensing Act 1997. Victoria menerima pada tahun 1998 melalui Liquor Licensing Reform Act 1998. Sedangkan New South Wales baru menerima peraturan tersebut pada tahun 2007 melalui Liquor Act 2007. Berdasarkan paparan tersebut diatas, kita dapat melihat bagaimana masalah kesehatan menjadi masalah yang sangat pelik di mata masyarakat Australia. Sedemikian pentingnya masalah kesehatan Australia hingga negara bagian tidak segan untuk saling berselisih pendapat dengan negara bagian lain, bahkan menentang peraturan dari pemerintah federal. Taiwan memperkenalkan JKN tahun 1995. Sumber dana berasal dari iuran wajib pekerja dan pemberi kerja. Sektor informal mendapat subsidi iuran dari pemerintah. Pengelolanya biro khusus di kementerian kesehatan. Biaya operasional tidak diambil dari iuran, tetapi didanai APBN. Korea Selatan juga menggunakan sistem JKN berbasis iuran jaminan sosial, ditambah subsidi iuran bagi penduduk kurang mampu. Semula badan penyelenggaranya banyak dan ada di tiap kota/kabupaten. Karena mobilitas penduduk dan tidak efisien, tahun 2000 semua badan penyelenggara yang kecil disatukan ke dalam satu badan penyelenggara yang dibentuk dengan undang-undang (NHIC), yang juga bukan BUMN mencakup rawat jalan dan rawat inap, tetapi peserta harus membayar sebagian (20-30 persen) biaya berobat. Bayaran sebagian ini bertujuan sebagai pengendalian moral hazard. Thailand sesungguhnya juga menginginkan model yang sama dengan yang ada di tiga negara itu. Sistem pembayar tunggal itu sudah ada undang-undangnya. Hanya saja, sekarang sistem JKN di Thailand masih terpecah tiga bagian. Pegawai negeri punya sistem sendiri9

yang sepenuhnya didanai APBN. Pegawai swasta wajib beriuran 4,5 persen dari upahnya untuk jaminan kesehatan. Uniknya, iuran itu ditanggung bersama pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah, masing-masing 1,5 persen. Jaminannya komprehensif, penyakit apa pun dijamin. Biaya manajemen iuran juga ditanggung dari APBN. Hanya saja, anggota keluarga pegawai swasta tidak dijamin. Penduduk di sektor informal dan anggota keluarga pegawai swasta dijamin pemerintah dengan besaran iuran 2.546 baht (sekitar Rp 700.000) pada 2010 per orang per bulan. Bandingkan dengan Jamkesmas yang hanya Rp 6.000 per orang per bulan. Layanan dikontrakkan ke klinik swasta, rumah sakit publik, dan rumah sakit swasta serta berlaku nasional. Jangan heran, karena bagusnya komitmen Pemerintah Thailand membangun sumber daya manusia Thailand yang sehat, pemerintah siap merogoh 13,1 persen APBN untuk kesehatan. Setelah ada JKN, angka kemiskinan di seluruh Thailand menurun drastis. Filipina memperkenalkan asuransi wajib ini tahun 1995 dan mulai menerapkannya tahun 1997. Badan penyelenggara dibentuk dengan undang-undang dan tunggal (Philhealth), yang bukan BUMN. Semua pekerja formal wajib membayar iuran 2,5 persen dari upah sebulan yang ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja. Penduduk di sektor informal yang mampu membayar 120 peso per bulan dan pemerintah, termasuk pemerintah daerah, membayar iuran bagi penduduk kurang mampu 120 peso juga (sekitar Rp 20.000). Jaminannya adalah rawat inap dengan tarif sama di seluruh Filipina. Tarif rumah sakit tersebut tercantum dalam undang-undang yang diamendemen berkala, Malaysia juga mengandalkan sumber dana pajak. Hanya saja, untuk rawat inap penduduk Malaysia harus bayar 3 ringgit per hari, all in. Tidak ada lagi biaya obat, laboratorium, atau jasa dokter. Penduduk yang mampu dan tidak mau antre membeli layanan di rumah sakit swasta. Toh, hanya 19,6 persen yang melakukan perawatan di rumah sakit swasta karena layanan rumah sakit publik cukup baik. Asuransi Sosial Kesehatan di Berbagai Negara Seperti telah disampaikan diatas, negara-negara yang lebih konsisten mengupayakan cakupan universal dan efisiensi makro (biaya kesehatan nasional yang rendah) tidak menggantungkan sistemnya pada asuransi kesehatan swasta, baik dalam bentuk tradisionalindemnitas maupun dalam bentuk managed care (HMO, PPO, maupun POS). Untuk menentukan pelayanan yang berkualitas, antara lain, kita bisa melihatnya dari keluaran yaitu status kesehatan. Pengukuran status kesehatan yang lazim digunakan adalah10

angka kematian bayi (AKB) dan umur harapan hidup. Memang kedua indikator tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh sistem kesehatan, akan tetapi berbagai analisis menunjukkan bahwa sistem tersebut mempunyai korelasi yang kuat terhadap keluaran status kesehatan. Amerika yang merupakan satu-satunya negara maju yang menggantungkan sistem asuransinya pada asuransi komersial menunjukkan biaya kesehatan yang harus ditanggung asuransi, hampir dua kali biaya termahal di negara lain, dan lebih dari dua kali dari biaya kesehatan di Jepang dan Jerman yang sama-sama memiliki banyak badan penyelenggara asuransi kesehatan. Bahkan biaya rawat inap perhari di Amerika mencapai 5-10 kali lebih mahal dibandingkan negara maju lain yang memiliki pendapatan per kapita tidak jauh berbeda. Jika dilihat cakupan asuransinya, Amerika masih memiliki 17% penduduk (43 juta jiwa) yang tidak mempunyai jaminan (uninsured). Sementara indikator makro kesehatan, IMR dan LE, tidak menunjukkan status yang lebih baik dari banyak negara atau dari tetangganya Kanada. Data diatas menunjukkan angka cross sectional yang dapat menunjukkan bias waktu. Apakah tingginya biaya kesehatan di Amerika konsisten dari waktu ke waktu? Berbagai literatur ekonomi kesehatan menunjukkan konsistensi tersebut. Tentu saja, kita tidak bisa membandingkan nilai nominal dolar tersebut dengan keadaan di Indonesia. Negara yang kaya memang akan mengeluarkan biaya besar karena biaya hidupnya tinggi. Suatu ukuran yang dapat memantau beban finansial adalah besarnya biaya kesehatan dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB). Sebuah penelitian menunjukkan mendapatkan data bahwa prosentasi biaya kesehatan terhadap PDB Amerika secara konsisten terus meningkat tak terkendali. Dibandingkan dengan Jepang dan Inggris yang memiliki sistem pembiyaan dan penyediaan kesehatan yang terkendali (bukan managed care), Amerika menghabiskan biaya jauh lebih besar, baik dalam nilai nominal dolar maupun dalam prosentase terhadap PDB. Dari enam negara yang dibandingkan, hanya Amerikalah yang menggantungkan pembiayaan kesehatan dominan kepada mekanisme pasar asuransi kesehatan komersial/swasta, termasuk berbagai bentuk managed care seperti HMO, PPO, dan POS. Suatu mekanisme pasar dapat dikatakan alamiah bila pelaku ekonomi, pembeli dan penjual, dapat bebas bergerak sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Peningkatan kapasitas pembeli (demand) tanpa adanya peningkatan kapasitas penjual (supply) menyebabkan harga naik. Sebaliknya peningkatan suplai barang/jasa tanpa adanya peningkatan demand akan menyebabkan harga barang turun. Mekanisme tersebut adalah11

mekanisme yang sangat lazim terjadi pada pasar. Hasil (outcome) dari mekanisme ini adalah tercapainya efisiensi. Semakin tinggi tingkat persaingan, peningkatan suplai, semakin rendah harga suatu barang/jasa, dan sebaliknya. Jadi konsumen akan diuntungkan. Akan tetapi di dalam asuransi kesehatan dan pelayanan kesehatan, dampak persaingan yang menghasilkan efisiensi tinggi ini selalu dipertanyakan. Apakah benar dengan mekanisme pasar, pelayanan kesehatan akan lebih murah dan lebih berkualitas? Suatu barang atau jasa pelayanan kesehatan dapat saja tidak lebih murah akan tetapi kualitasnya lebih baik. Jadi terjadi efisiensi juga. Selain efisiensi yang merupakan keluaran umum yang diharapkan dari suatu mekanisme pasar, di dalam pelayanan kesehatan seringkali dipertanyakan aspek equity (pemerataan). Dengan terbatasnya pasar dan persaingan yang tinggi, volume penjualan suatu produk atau suatu perusahaan asuransi tidak bisa mencapai jumlah yang besar. Persaingan antara asuradur akan memaksa asuradur membuat produk spesifik yang juga menyebabkan pool tidak optimal untuk mencakup berbagai pelayanan. Persaingan menjual produk spesifik dan volume penjualan untuk masing-masing produk yang relatif kecil menyebabkan contigency dan profit margin harus ditargetkan relatif besar terhadap premi jual. Perusahaan asuransi Amerika menghabiskan rata-rata 12% faktor loading (biaya operasional, laba, dan berbagai biaya non medis lainnya). Di Indonesia Departemen Kesehatan membolehkan bapel menarik biaya loading sampai 30%. Asuradur swasta di Indonesia memiliki rasio klaim yang bervariasi antara 4070%, tergantung jenis produknya, sehingga menyebabkan biaya tambahan bagi konsumen sebesar 30-60% jika mereka harus membayar langsung kepada provider/fasilitas kesehatan. Dari berbagai skenario dan fakta yang dikemukakan diatas, sudah dapat dipastikan bahwa asuransi kesehatan komersial tidak bisa menurunkan biaya pelayanan kesehatan dan tidak mampu mencakup seluruh penduduk. Jelaslah ketergantungan pada sistem asuransi kesehatan swasta/komersial (termasuk disini sistem JPKM yang sekarang berlaku) akan gagal menciptakan cakupan universal, mengendalikan biaya kesehatan, dan mencapai efisiensi makro. Trade off antara risk pooling dan harga premi yang ditanggung konsumen semakin tidak seimbang karena peraturan polis/kontrak asuransi kesehatan boleh dikatakan belum ada. Oleh karenanya, jika kita memiliki tujuan cakupan universal dan efisensi makro (biaya kesehatan per kapita yang

12

lebih efisien), ingin dicapai; maka membuat asuransi kesehatan swasta/komersial akan gagal mencapai tujuan tersebut. Padahal saat ini semua negara menginginkan cakupan universal. Apalagi setelah WHO tahun lalu memasukkan komponen fairness in health care financing sebagai salah satu indikator dalam mengukur kinerja sistem kesehatan negara-negara anggotanya di seluruh dunia. Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi PBB tentang hak asasi manusia dan menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak dasar penduduk (fundamental human rights). Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar ini pemerintah negara-negara maju mengusahakan suatu sistem kesehatan yang mampu mencakup seluruh penduduk (universal) secara adil dan merata (equity egaliter). Negara-negara maju pada umumnya mewujudkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan dan penyediaan kesehatan publik yang diatur oleh suatu undang-undang. Pembiayaan publik dimaksudkan adalah pembiayaan oleh negara atau oleh sistem asuransi kesehatan sosial atau jaminan sosial (social security) yang didasarkan oleh seuatu undang-undang. Tidak ada satu negarapun yang menggantungkan pada sistem asuransi kesehatan komersial dalam rangka pemenuhan hak asasi tersebut. Hal ini disebabkan karena kegagalan pasar asuransi kesehatan komersial dalam mencapai tujuan tersebut. JAMINAN SOSIAL NASIONAL INDONESIA Jaminan Sosial Nasional adalah program Pemerintah dan Masyarakat yang bertujuan memberi kepastian jumlah perlindungan kesejahteraan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Perlindungan ini diperlukan utamanya bila terjadi hilangnya atau berkurangnya pendapatan. Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat.. Perlindungan jaminan sosial mengenal beberapa pendekatan yang saling melengkapi yang direncanakan dalam jangka panjang dapat mencakup seluruh rakyat secara bertahap sesuai dengan perkembangan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendekatan pertama adalah13

pendekatan asuransi sosial atau compulsory social insurance, yang dibiayai dari kontribusi/ premi yang dibayarkan oleh setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja. Kontribusi/ premi dimaksud selalu harus dikaitkan dengan tingkat pendapatan/ upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Pendekatan kedua berupa bantuan sosial (social assistance) baik dalam bentuk pemberian bantuan uang tunai maupun pelayanan dengan sumber pembiayan dari negara danbantuan sosial dan masyarakat lainnya. Beberapa negara yang menganut welfare state yang selama ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan sosial mulai menerapkan asuransi sosial. Utamanya karena jaminan melalui bantuan sosial membutuhkan dana yang besar dan tidak mendorong masyarakat merencanakan kesejahteraan bagi dirinya. Disamping itu, dana yang terhimpun dalam asuransi sosial dapat merupakan tabungan nasional. Secara keseluruhan adanya jaminan sosial nasional dapat menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pengaturan dalam jaminan sosial ditinjau dari jenisnya terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan santunan kematian. Sebenarnya, selama dekade terakhir di Indonesia telah ada beberapa program jaminan sosial dalam bentuk asuransi sosial, namun baru mencakup sebagian kecil pekerja di sektor formal. Dari 95 juta angkatan kerja, baru 24,6 juta jiwa memperoleh jaminan sosial, atau baru 12% dari jumlah penduduk. Sementara di Thailand dan Malaysia masing-masing mencapai 50% dan 40% dari total penduduk. Krisis ekonomi yang menyebabkan angka pengangguran melonjak dengan tajam telah menimbulkan berbagai masalah sosial ekonomi. Dalam kondisi seperti ini jaminan sosial dapat membantu menanggulangi gejolak sosial. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan disusun adalah suatu sistem yang berdasarkan pada asas gotong royong melalui pengumpulan iuran dan dikelola melalui mekanisme asuransi sosial. Pelaksanaannya diatur oleh suatu Undang-Undang dan diterapkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan dan kemampuan ekonomi Nasional serta kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran secara rutin. Besarnya iuran ditetapkan berdasarkan prosentase tertentu dari pendapatan. Cakupan kepesertaan dilakukan secara bertahap dimulai dari kelompok masyarakat yang mampu mengiur dan secara bertahap diupayakan menjangkau sampai pada kelompok masyarakat yang rentan dan tidak mampu, dimama iuran sebagian atau sepenuhnya dibayarkan oleh pemerintah.

14

Karena Jaminan Sosial Nasional tersebut diwujudkan melalui mekanisme asuransi sosial maka manfaat yang akan diperoleh peserta tergantung pada besarnya iuran. Manfaat yang diberikan harus cukup berarti sehingga mendorong kepesertaan yang kebih besar dari waktu ke waktu. Jaminan Sosial Nasional tersebut perlu diatur agar bersifat wajib untuk seluruh tenaga kerja, baik di sektor formal maupun informal, baik yang berpendapatan besar maupun kecil sehinggan dapat terwujud asas kegotong-royongan dan redistribusi pendapatan dari yang kaya ke yang miskin. Cakupan kepesertaan dilakukan secara bertahap dimulai dari kelompok masyarakat yang mampu mengiur dan secara bertahap diupayakan menjangkau sampai pada kelompok masyarakat yang rentan dan tidak mampu, dimana iuran sebagian atau sepenuhnya dibayarkan oleh pemerintah. Karena ada unsur wajib bagi semua pekerja tersebut maka diperlukan adanya Undang-Undang untuk mengaturnya. Namun, secara sukarela pekerja dapat mengikuti program lain dengan kontribusi yang lebih besar dan memperoleh manfaat yang lebih banyak pula (asuransi komersil). Pengelolaan Jaminan Sosial Nasional menganut prinsip Wali Amanah, yang mewakili stakeholder dalam hal ini peserta/ pekerja, pembekerja, dan pemerintah pengumpulan dan pengelola iuran perlu ditunjang oleh keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas dan efisiensi. Penyelenggaraan dilakukan non-for-profit. Pengertian non-for-profit bukanlah berarti tidak perlu mengembangkan atau menginvestasikan dalam rangka meningkatkan akumulasi dana yang ada, tetapi hasil yang diperoleh nantinya akan dikembalikan atau dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan peserta (merupakan going concern asuransi sosial).

Program-Program SJSN Program-program pokok SJSN yang akan dikembangkan disesuaikan dengan konvensi ILO No. 102 tahun 1952 yang juga diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK), Program Jaminan Hari Tua (JHT), Program Pensiun, dan Program Santunan Kematian. Mekanisme penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional meliputi pengaturan kepesertaan, iura, santunan/ manfaat, dan investasi. Perluasan cakupan kepesertaan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi ekonomi negara dan masyarakat, serta kemudahan dalam rekruitmen dan pengumpulannya secara rutin.15

Besarnya iuran/ premi dihitung berdasarkan analisis aktuaria yang disesuaikan dengan programmanfaat yang akan diberikan, struktur dan trend demografi serta resiko yang dihadapi, ditetapkan dalam prosentase tertentu terhadap upah dengan mempertimbangkan kemampuan/ pendapatan penduduk. Iuran/ premi ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerjanya. Pelayanan santunan dan klaim disesuaikan dengan besarnya iuran dan jenis program yang diikuti. Manfaat yang diberikan harus cukup berarti sehingga mendorong kepesertaan yang lebih besar dari waktu ke waktu. Dana iuran/ premi/ kontribusi peserta yang terkumpul perlu dikelola dan diawasi oleh suatu Dewan Wali Amanah (Board of Trustee) dan hanya digunakan untuk kepentingan pesertanya sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Sebagian dana yang terkumpul perlu diinvestasikan dan dikembangkan seaman mungkin. Karena prinsip nonfor-profit, maka hasil investasi tersebut akan dikembalikan dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Untuk dapat menjamin efektifitas dan efisiensi penyelenggaraannya, diperlukan adanya dukungan Sistem Informasi Manajemen serta kemampuan Sumber Daya Manusia yang handal. Dalam pengelolaannya, perlu menerapkan good corporate governance (transparency, objectivity, accountibility, dan responsibility). SISTEM JAMINAN SOSIAL DI SULAWESI SELATAN Sistem jaminan sosial nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 sampai sekarang ternyata belum memasyarakat. Bahkan, pejabat Pemprov Sulsel dan beberapa pejabat dari kabupaten/kota se-Sulsel pun mengaku masih bingung. Salah satu program pelayanan publik yang menjadi andalah pemerintah provinsi Sulawesi selatan adalah program pelayanan kesehatan gratis. Sedemikian antusiasnya pemerintah provinsi Sulawesi selatan untuk mengembangkan program layanan kesehatan masyarakat ini, maka pada tahun anggaran 2011 ini pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp. 284,9 milliyar dari APBD untuk mengcover kurang lebih 4,7 juta penduduk sulsel yang belum memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan sama sekali. Dalam usianya yang ketiga, program kesehatan gratis pemerintah provinsi Sulawesi selatan telah menunjukkan angka yang signifikan bagi perbaikan derajat kesehatan masyarakat yang di ukur dari indikator menurunnya angka kematian ibu dan anak akibat persalinan, meningkatnya status gizi masyarakat dan tingginya tingkat kepuasan pasien atas16

pelayanan kesehatan gratis sebagaimana penelitian yang dilansir oleh Balitbangda pemprov sulsel di hotel singgasana Makassar beberapa waktu lalu. Meskipun demikian, pelayanan kesehatan gratis ini tidak sedikit menuai kritikan pedas dan bahkan keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh pasien dan keluarganya akibat pelayanan kesehatan yang diterimanya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan olehnya ketika mereka datang berkunjung ke pusat-pusat pelayanan kesehatan Masyarakat (Puskesmas) ataupun pada pelayanan kesehatan tingkat lanjutan pada rumah sakit-rumah sakit. Dalam hal ini, kritikan dan keluhan Pasien dan keluarganya bukan pada program pelayanan kesehatan Gratisnya yang diluncurkan oleh pemerintah propinsi tetapi lebih pada pemberi pelayanan kesehatan gratis tersebut ( health provider ) yaitu tenaga kesehatan baik dokter, bidan ataupun perawat yang bertugas di unit-unit layanan kesehatan tersebut. Pemerintah propinsi Sulawesi selatan telah memberikan yang terbaik yang belum pernah ada sebelumnya dalam hal upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat khususnya bagi masyarakat miskin dan kurang mampu. Agar pelayanan kesehatan gratis memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat Sulawesi selatan, maka beberapa hal urgen yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut : 1. Data Pengguna layanan Kesehatan Gratis. Permasalahan utama dalam pengembangan pelayanan kesehatan gratis adalah tidak adanya suatu sistem data yang akurat disetiap kabupaten /kota tentang berapa jumlah penduduk yang dilayani oleh jaminan kesehatan gratis oleh pemerintah propinsi baik di tingkat pelayanan kesehatan dasar (puskesmas) maupun pada tingkat pelayanan kesehatan lanjutan ( Rumah Sakit ). Padahal jika dinas kesehatan kabupaten kota mempunyai data yang valid maka dapat dijamin pelayanan kesehatan akan menjadi lebih efisien dan efektif, karena tidak aka nada lagi tumpang tindih dalam pemanfaatan dana operasional kesehatan gratis. Basis utama pendataan ini adalah pada tingkat puskesmas. Puskesmas harus mempunyai data riel masyarakat pengguna layanan kesehatan gratis, yang tentunya dapat diketahui dari hasil pengurangan masyarakat pengguna Askes sosial bagi PNS, Jamsostek, Jamkesmas ataupun jaminan kesehatan lainnya. Data masyarakat pengguna jaminan kesehatan gratis tersebut kemudian dibuat dalam suatu data based dalam suatu program komputerisasi sehingga memudahkan untuk mengecek kebenaran dari pengguna jaminan kesehatan gratis tersebut. Demikian pula sangat memudahkan untuk17

pemutakhiran data jika ada yang bertambah karena kelahiran atau perpindahan atau berkurang karena kematian atau perpindahan penduduk Data based pengguna jaminan kesehatan gratis ini kemudian diserahkan ke sarana pelayanan kesehatan lanjutan ( rumah sakit) yang kemudian juga diolah dalam sebuah jaringan data dengan sistem komputerisasi. Maka setiap pasien yang datang ke rumah sakit baik karena rujukan penderita maupun karena pelayanan gawat darurat sangat mudah untuk dipantau validitasnya. Cukup menyebutkan nama dan memperlihatkan identitas kartu penduduk ataupun kartu keluarga dan asal puskesmasnya, maka dengan mudah dan cepat untuk ditelusuri. Pelayanan dengan sistem data based ini penting untuk menghindari perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh petugas puskesmas, kelurahan ataupun kecamatan , sering mengeluarkan surat keterangan palsu tentang data pasien atau masyarakat yang ingin berobat baik pada puskesmas ataupun pada rumah sakit. Dengan sistem pendataan yang akurat, maka akan memberikan efisiensi biaya yang cukup besar pada masyarakat dan juga akan memberikan kepastian pada siapa yang berhak menggunakan jaminan kesehatan gratis pemerintah provinsi Sulawesi selatan 2. Sikap dan Perilaku tenaga kesehatan. Hal berikut yang harus menjadi perhatian dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan gratis bagi masyarakat adalah sikap dan perilaku tenaga kesehatan sebagai pemberi layanan kesehatan. Perlu ditegaskan bahwa pelayanan kesehatan gratis tidak berarti bahwa tenaga kesehatan tanpa imbal jasa dalam memberikan pelayanan kesehatan gratis pada pasien. Pasienlah yang mendapat gratis karena tidak mengeluarkan sepeserpun untuk pelayanan kesehatan yang diterimanya, karena biaya tersebut ditanggung oleh pemerintah Sulawesi selatan, yang membayarkannya melalui pagu dana yang telah disiapkan baik pada tingkat puskesmas maupun pada tingkat rumah sakit. Tidak ada alasan untuk tidak memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat pengguna jaminan kesehatan gratis, karena selain tenaga kesehatan tetap mendapatkan imbal jasa, juga terkait dengan etika profesi dan hukum yang mengatur tentang penatalaksanaan pelayanan kesehatan oleh pemberi pelayanan kesehatan (health provider) dan penerima pelayanan kesehatan ( health receiver ). Dalam hal tersebut, di tegaskan bahwa dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan pada pasien seorang tenaga kesehatan harus bertindak sesuai dengan standar profesi,18

standar pelayanan dan standar operasinal prosedur dan menghargai hak-hak pasien. Adalah menjadi hak asasi pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu ( the right to health care). Seorang pasien pengguna jaminan kesehatan gratis dapat menuntut dokter atau rumah sakit jika merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak-haknya dalam pelayanan kesehatan. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka diharapkan agar kedepan tidak ada lagi tenaga kesehatan yang sengaja tidak memperhatikan pasien pengguna jaminan kesehatan miskin karena dirinya dapat digugat atau dituntut oleh pasien atau keluarganya dengan alasan melakukan penelantaran pasien ( omission) ataupun berbuat sesuatu kesalahan ataupun kelalaian yang merugikan pasien pengguna jaminan kesehatan miskin, baik pada induk organisasi profesi dokter, bidan ataupun perawat, juga dapat melalui penyidik kepolisian. 3. Perbaikan Perda tarif Pelayanan Kesehatan Faktor yang tidak kalah pentingnya sebagai pemicu kritikan dan keluhan atas rendahnya mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan adalah perda tarif pelayanan kesehatan di setiap kabupaten/ kota di propinsi Sulawesi selatan. Hal tersebut bersentuhan langsung dengan imbal jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh seorang tenaga kesehatan kepada pasien dan masyarakat pengguna jaminan kesehatan miskin. Sebagaimana pengalaman penulis sebagi dokter dan kepala puskesmas di kecamatan Sadan kabupaten Toraja utara beberapa waktu lalu sungguh sangat menyedihkan. Sebagai contoh, untuk suatu kasus persalinan normal yang harus di tolong oleh bidan desa ataupun bidan puskesmas hanya di bayarkan Rp. 75.000 ( tujuh puluh lima ribu rupiah),itupun harus dikembalikan sebagian ke kabupaten sebagai PAD untuk jasa sarana pelayanan kesehatan, padahal dengan kasus yang sama bidan rumah sakit mendapatkan biaya persalinan Rp. 350.000 ( tiga ratus lima puluh ribu rupiah). Hal yang patut di bayangkan bahwa seorang bidan desa yang harus berjalan kaki dan menunggu berjam-jam dan bahkan bermalam di rumah penduduk hanya mendapat Rp.50.000 ( lima puluh ribu rupiah ) yang resikonya jauh lebih berat ketimbang bidan rumah sakit, karena hanya bermodalkan bidan kit semata. Faktor pembiayaan kesehatan yang tidak manusiawi inilah yang biasa memicu tenaga kesehatan bertindak apatis untuk melayani pasien dan cenderung bersifat segera merujuk pasien ke rumah sakit karena aman dan bebas tanggung jawab, tetapi disisi lain19

akan berdampat pada tingginya tingkat utilisasi biaya jaminan kesehatan gratis karena selain biaya di rumah sakit yang relative tinggi, juga berkaitan dengan biaya rujukan penderita dari puskesmas ke rumah sakit. Untuk itu pemerintah kabupaten /kota harus proaktif untuk menyesuaikan perda tarif pelayanan kesehatan yang lebih manusiawi sehingga tenaga kesehatan dapat lebih bergairah dalam memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi pengguna jaminan kesehatan gratis. Jangan sampai juga terjadi dengan perda tarif pelayanan kesehatan yang tidak manusiawi disusul lagi dengan kesengajaan untuk menahan atau tidak membayarkan jasa tenaga kesehatan sehingga semakin membuat runyam pelayanan kesehatan. 4. Peruntukan dana operasinal Perlu diatur dengan baik dan jelas tentang peruntukan dana opersional jamiman kesehatan gratis. Bahwa pelayanan kesehatan tidak hanya terfokus pada pelayanan medis yang bersifat kuratif dan rehabilitatif tetapi juga menyangkut upaya pelayanan kesehatan lainnya yaitu promotif dan preventif. Peruntukan dana ini harus diatur secara proporsional agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Untuk dana operasinal jaminan kesehatan gratis di rumah sakit tentunya cenderung bersifat kuratif dan rehabilitatif karena memang menjadi karakteristik dari pelayanan kesehatan rumah sakit adalah upaya kuratif dan rehabilaitatif, namun dana opersional jaminan kesehatan gratis pada tingkat puskesmas selain kuratif juga harus menyediakan dana untuk kegiatan promotif dan preventif sesuai dengan karakteristk pelayanan kesehatan dasar di puskesmas. Sangat ironis jika pada tingkat pelayanan puskesmas dana operasional hanya mengcover pelayanan kuratif, sedangkan tugas utama puskesmas adalah promotif dan preventif dengan tidak menyingkirkan upaya pelayanan kuratif dan rehabilitatif. Karena faktor penentu utama keberhasilan pelayanan kesehatan gratis itu adalah di tingkat pelayanan kesehatan dasar yaitu puskesmas dengan orientasi masyarakat yang lebih luas. Dengan memperhatikan ke empat hal tersebut diatas dan mengadakan berbagai perubahan untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka insya allah pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat sulsel menjadi semakin bermutu dan berhasil guna.

20

EVIDENCE BASED POLICY MAKING Evidence Based Policy Making, suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada paradigma baru untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada langkah-langkah berikut (sackett, 1985): 1. 2. 3. 4. 5. Memformulasikan pertanyaan tentang masalah yang dihadapi Menelusuri bukti-bukti terbaik yang tersedia untuk mengatasi masalah tersebut Mengkaji bukti, validitas dan keseuaiannya dengan kondisi praktek Menerapkan hasil kajian Mengevaluasi penerapannya (kinerjanya) Langkah-langkah tersebut sepertinya mudah tetapi di Indonesia langkah 2 dan 3 adalah sesuatu yang tidak lazim dikerjakan (Mukti AG, 2002). Agar dapat melaksanakan langkah 2 dan 3 seorang dokter harus memiliki keluasan cakupan bukti yang baik yang berarti adanya akses yang adekuat ke sumber bukti (jurnal ilmiah, dll), kemudian mampu menganalisa kesesuain bukti dengan situasi lokal, mengetahui dengan baik tingkat kualitas dan kekuatan bukti yang artinya lagi ia harus memiliki kemampuan metodologi ilmiah dan statistik yang mumpuni. Lalu apa hubungannya dengan kebijakan kesehatan? Cukup, cukup berhubungan karena kemudian demam berpikir berbasis bukti ini menular juga ke konteks Public Health, yang kemudian dikenal sebagai Evidence Based Public Health (EBPH). EBPH adalah suatu metoda untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijakan dan program kesehatan masyarakat (dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat) yang memiliki (1) data untuk diuji efektivitasnya, dan (2) didasarkan pada behavior theory dan ecological model of health . Sayangnya lagi, bukan hanya EBM yang kurang berkembang di Indonesia, paradigma pengembangan program kesehatan masyarakat berbasis bukti (EBPH) juga berjalan stagnan, yang tentunya berujung pada kurangnya kebijakan nasional atau daerah yang didasarkan pada bukti ilimiah yang kuat. Contohnya saya pikir bejibun, dimulai dari askeskin (mengapa memilih pembayaran fee for service), penanganan flu burung (apakah memang cost efective jika biaya diprioritaskan ke pendirian RS Rujukan), penempatan bidan desa (apakah memang tingkinya AKI diakibatkan akses ke bidan yang kurang, ataukah sesungguhnya akses ke RS yang buruk?), semuanya itu memerlukan kajian ilmiah yang mendasar dan tentunya bukti yang kuat, mengapa? Karena pembiayaan program kesmas tersebut membutuhkan dana21

besar dan menyangkut kepentingan orang banyak (efek eksternalitas). Sekali lagi kita harus mulai memikirkan secara serius apa yang kini disebut Evidence Based Health Policy (EBHP).

PENUTUP Jadi katakan iya pada EBM, EBPH, dan kemudian EBHP, dimulai dari perguruan tinggi. Sosialisasi dan advokasi paradigma ini mesti dilakukan terhadap pengambil kebijakan di tingkat nasional dan daerah. Kerjasama yang baik antara perguruan tinggi, pemerintah, wakil rakyat, dan komponen masyarakat lainnya perlu dilakukan untuk sebuah pengambilan kebijakan kesehatan yang berbasis bukti. REFERENSI : Antara . Rabu, 14 Oktober 2009 .Kesehatan Gratis Sulsel Belum Tepat Sasaran http://drampera.blogspot.com/2011/04/menuju-pelayanan-kesehatan-gratis-yang.html diakses tanggal 25 Juni 2011 http://health.kompas.com/read/2011/04/29/06312335/Jaminan.Kesehatan.di.Beberapa.Negara. Tetangga diakses tanggal 25 Juni 2011 http://kesehatan.myhendra.web.id/2011/04/masalah-kebijakan-kesehatan-australia.html diakses tanggal 24 Juni 2011 http://usph.wordpress.com/2007/08/26/evidence-based-medicine-evidence-based-publichealth-evidence-based-health http://www.beritakotamakassar.com/index.php?option=read&newsid=46660 http://www.voanews.com/indonesian/news/Obama-Kongres-AS-akan-Loloskan-RUUJaminan-Kesehatan-dalam-Waktu-Dekat-87623732.html diakses tanggal 24 Juni 2011 Razak, Amran.2010. Politik Kesehatan Gratis : Antara Janji dan Kenyataan. Adil Media. Jokjakarta Thabrany, Hasbullah.2008. Modul Jaminan Kesehatan : Teori UU SJSN (Pedoman Untuk Pelatih). Radja Grapindo. Jakarta Tribun Timur.Rabu, 16-04-2008 Syahrul: 15 Item Kesehatan GratisGubernur Sulawesi Selatan (Sulsel)

22