Assessmen dan Analisis Potensi Konflik Tenure Terkait...

download Assessmen dan Analisis Potensi Konflik Tenure Terkait ...wg-tenure.org/.../2013/04/...Konflik-Tenure-Terkait-dengan-DA-REDD.pdf · Pada umumnya konflik tenure menyangkut kawasan hutan

If you can't read please download the document

Transcript of Assessmen dan Analisis Potensi Konflik Tenure Terkait...

  • Laporan Assessment dan Analisis Potensi Konflik Tenure

    Terkait DA REDD+ di KPHL Kapuas

    Ditulis Oleh

    WIDIYANTO

    Maret 2013

  • Laporan Assessment dan Analisis Potensi Konflik Tenure

    Terkait DA REDD+ di KPHL Kapuas

    A. PENDAHULUAN

    Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Kapuas menjadi salah satu lokasi

    yang penting untuk di-assessment potensi konfliknya oleh WGT setidaknya berdasar

    tiga alasan. Pertama, KPH Kapuas merupakan salah satu KPH Model yang pendiriannya

    paling awal, saat kebijakan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan oleh Kementerian

    Kehutanan sebagaimana tertuang dalam Permenhut No. 6 tahun 2009 tentang

    Pembentukan Wilayah KPH, dicanangkan.

    Kedua, sebagai KPH Model, assessment terhadap KPH Kapuas merupakan cermin

    sekaligus bahan evaluasi terbaik bagi Kementerian Kehutanan dalam mencapai target

    pembentukan 120 KPH hingga tahun 2014. Ketiga, yang lebih spesifik, hampir seluruh

    wilayah KPHL Kapuas tumpang-tindih dengan wilayah Demostration Activities REDD+

    yang diprakarsai oleh Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP), sehingga

    dibutuhkan assessment yang mendalam mengenai persinggungan dan implikasinya.

    Assessment kali ini dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari assessment yang dilakukan

    oleh WGT sebelumnya, yakni pada tahun 2011. Konteks assessment saat itu KPHL

    Kapuas belum terbentuk. Oleh sebab itu, WGT melakukan assessment dan analisa tenure

    guna mendukung pembentukan KPH Model di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

    Seperti assessment sebelumnya, penelitian ini diawali dengan pelatihan tiga perangkat

    analisa land tenure yang dilaksanakan oleh WGT dengan mengundang KPH-KPH yang

    sudah terbentuk. Pelatihan dilaksanakan pada 6-8 Juni 2012 bertempat di Bogor. Kepala

    KPHL Model Kapuas menjadi salah satu peserta yang diundang dalam pelatihan

    tersebut yang kemudian ditindaklanjuti dengan menetapkannya sebagai lokasi

    assessment dengan sejumlah pertimbangan di atas.

    Tiga perangkat analisa tenure WGT yang diajarkan dalam pelatihan adalah Perangkat

    Analisis Land Tenure atau Rapid Land Tenure Assessment (RATA), sistem database

    pendokumentasian konflik HuMaWin, dan perangkat Analisa dan Gaya Pihak

    Bersengketa (AGATA).

    KPHL Kapuas sendiri sudah terbentuk sejak tahun 2011 melalui Peraturan Bupati

    Kapuas No.197 tahun 2011. Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari SK Menhut

    No.247/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Wilayah KPHL Model Kapuas, Kabupaten

    Kapuas, Kalimantan Tengah. Meski sudah memiliki dasar hukum pembentukan sejak

    tahun 2011, akan tetapi bangunan kelembagaan KPHL Model Kapuas baru berdiri sejak

  • pertengahan 2012 dengan kantor yang masih menumpang di salah satu ruangan di

    Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kapuas.

    Peta Wilayah KPHL Model Kapuas (Unit XXXIII) berdasar SK 247/Menhut-II/2011

    Pembentukan KPH merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Ditjen Planologi

    Kementerian Kehutanan dalam mendorong percepatan kebijakan prioritas

    Kementerian untuk Pemantapan Kawasan Hutan. KPH akan dibentuk di seluruh

    kawasan hutan di Indonesia. Dengan pembentukan KPH yang menekankan pada

    kepastian penguasaan kawasan hutan, dapat memberikan kesempatan kepada pihak-

    pihak lain untuk turut mengelola dan memanfaatkan hutan dan hasilnya serta

    sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya.

    Yang tergambar kuat dalam konsep pembentukan KPH adalah desentralisasi yang nyata

    di sektor kehutanan. KPH bertanggung jawab secara langsung atas wilayahnya dengan

    mendorong peningkatan peran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan

    demi kepentingan kelestarian ekosistem serta peningkatan taraf ekonomi masyarakat

    yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan.

    Pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada akumulasi keuntungan mendorong

    maraknya eksploitasi terhadap hutan yang berujung pada kerusakan ekosistem dan

    lingkungan. Degradasi dan deforestasi menjadi ancaman nyata di masa depan yang

    dampaknya dapat dirasakan dengan meningkatnya suhu bumi akibat perubahan iklim.

    Dengan kata lain saat ini kita mendapati bahwa banyak hutan yang mengalami

    penurunan secara kualitas.

    Di sisi lain, tak sedikit hutan yang terlantar tak terkelola dengan baik akibat

    pengusahaan hutan yang tak bertanggung jawab, yang apabila ditangani dengan baik

  • dapat menghasilkan manfaat bagi pihak lain serta meningkatkan kesejahteraan

    masyarakat. Penelantaran hutan ini terjadi ketika perencanaan pengusahaan hutan

    tidak dirancang dengan baik. Pengusahaan hutan pada masa lalu dianggap lebih

    menekankan aspek eksploitasi dengan meminggirkan aspek sosial, ekologi, dan

    keberlanjutan hutan di masa depan.

    Ketiga aspek penting tersebut belum menjadi instrumen utama untuk dipertimbangkan

    secara inheren dalam perencanaan pengusahaan hutan. Setelah dieksploitasi, hutan

    menjadi areal lahan terbuka dan rentan mengalami konversi status yang pada akhirnya

    akan mengurangi luasan maupun kualitas lahan.

    Sementara itu peran organisasi kehutanan yang berada di tingkat lokal yang ada tidak

    dimaksudkan untuk mengelola kawasan hutan di tingkat tapak. Keberadaan instansi-

    instansi tersebut lebih pada kontrol perijinan dalam alur pengusahaan hutan dan

    kepanjangan tangan dari Kementerian Kehutanan di tingkat pusat. Organisasi

    kehutanan di tingkat daerah menekankan tugas pokok dan fungsinya secara

    administratif atas kawasan hutan sementara pengelolaannya diserahkan kepada pihak

    lain.

    Dasar yang digunakan Kementerian Kehutanan melalui instansi-instansi kehutanan di

    bawahnya merujuk UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. UU tersebut menekankan

    bahwa penguasaan seluruh hutan di Indonesia diserahkan kepada Pemerintah untuk

    mengatur dan mengurus segala urusan terkait hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,

    menetapkan status kawasan, serta mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang

    dengan hutan dan perbuatan hukum mengenai kehutanan.

    Dengan berpedoman pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, maka

    penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk peningkatan sebesar-besarnya

    kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan

    hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; mengoptimalkan

    fungsi hutan secara seimbang; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;

    meningkatkan kapasitas serta keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan,

    dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan

    ekonomi serta ketahanan masyarakat; dan menjamin distribusi manfaat yang

    berkeadilan dan berkelanjutan.

    Di sinilah letak strategis pendirian KPH yang salah satu poin pendiriannya guna

    meningkatkan aksesibilitas masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Karena

    KPH didorong untuk lebih mengetahui kondisi kawasan secara langsung sehingga

    diharapkan mampu memberikan solusi dan manfaat yang kongkret bagi kelangsungan

    kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan, yang secara langsung akan

    berkontribusi secara signifikan pada proses penyelesaian konflik kehutanan yang

    marak belakangan.

  • KPHL Model Kapuas tampaknya didirikan berdasar sejumlah kegelisahan di atas.

    Assessment WGT kali ini lebih pada proses mengidentifikasi potensi konflik tenure yang

    dialami KPH dengan pihak lain yang bertindak selaku pengelola di dalam kawasan KPH.

    Pihak lain tersebut tak lain adalah KFCP. WGT tidak melakukan assessment dari sudut

    pandang kehutanan, biofisik, tutupan, maupun wilayah kelola, akan tetapi lebih pada

    potensi persoalan land tenure di wilayah KPHL Kapuas yang bersinggungan dengan

    wilayah kerja KFCP. Data-data mengenai assessment tersebut diperoleh dari berbagai

    sumber laporan sebagai pengaya laporan ini.

    Tata Kuasa Wilayah KPHL Model Kapuas

    KPHL Model Kapuas dengan keterbatasan kelembagaan dan sarana pendukung lainnya,

    berupaya melakukan identifikasi awal mengenai kondisi tata kelola dan tata kuasa di

    wilayahnya. Dari sini, KPH Kapuas harus menerima kenyataan bahwa telah berlangsung

    sebuah proyek demonstration activities REDD+ di wilayahnya yang dilakukan oleh

    KFCP. Artinya, KFCP telah beraktivitas beberapa tahun sebelum KPHL Model Kapuas

    didirikan.

    Berdasar pengamatan sepintas,

    adanya kelembagaan KPHL Model

    dengan KFCP sebagai pelaksana

    proyek demonstrasi aktivitas

    REDD+ di lapang yang hampir

    secara keseluruhan tumpang-tindih,

    memunculkan tanggapan beragam

    yang sangat potensial dapat

    menimbulkan konflik atas tata

    kuasa kawasan hutan di Kapuas.

    Potensi konflik ini tentu saja perlu

    diuraikan guna dicari jalan

    keluarnya demi pengelolaan kehutanan ke depan yang lebih baik.

    Pada umumnya konflik tenure menyangkut kawasan hutan terjadi jika terdapat

    perbedaan klaim penguasaan atas kawasan atau satu lahan yang sama, di mana masing-

    masing pihak merasa paling berkuasa atas lahan yang menjadi obyek sengketa dan

    berupaya mengecualikan atau menghilangkan klaim pihak lainnya. Pengecualian atau

    penghilangan klaim pihak lawan sengketa dapat dilakukan dengan beragam metode

    yang pada intinya hendak mengurangi legitimasi keberadaan pihak lain tersebut.

    Dalam kasus ini, potensi konflik tata kuasa teridentifikasi bermula dari adanya

    persinggungan wilayah KPHL Model Kapuas dengan wilayah kerja demonstration

  • activities KFCP. KPHL Model Kapuas dan KFCP adalah dua pihak yang terlibat dalam

    konflik tata kuasa tersebut.

    KPHL Model melandaskan legitimasi keberadaannya pada aturan formal mulai dari

    Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 247/Menhut-II/2011 tentang Pembentukan

    KPHL Model Kapuas hingga ke Peraturan Bupati No. 197 tahun 2011. Di lain pihak,

    KFCP, dengan dukungan dana berlimpah untuk menyelenggarakan proyek DA REDD+

    berupaya membangun legitimasinya melalui beragam kegiatan yang bersentuhan

    langsung dengan masyarakat.

    Beragam kegiatan yang dilakukan KFCP di wilayah kerjanya antara lain melakukan

    pemetaan wilayah kerja, wilayah desa, pembibitan, demonstrasi penanaman beragam

    jenis tanaman di lahan-lahan kritis, pemantauan terhadap kebakaran lahan, dan lain

    sebagainya.

    Kegiatan KFCP di luar aktivitas kehutanan tampak juga dilakukan oleh proyek

    kemiteraan bilateral Indonesia-Australia ini, seperti turut membantu sejumlah

    pemerintah desa, terutama di daerah yang menjadi wilayah kerjanya, menyusun

    rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes).

    Di tingkat pemerintahan, KFCP juga

    terlibat mendanai pengembangan

    kapasitas birokrasi dalam

    pemerintahan lokal setempat

    sebagai komitmen dukungan

    pembangunan Kerangka Kerja

    Nasional REDD termasuk dukungan

    terhadap Pokja REDD antar instansi

    pemerintah.

    Beragam aktivitas dan dukungan

    KFCP di luar kehutanan tersebut di

    atas secara tak langsung

    memperkuat legitimasi

    keberadaannya dalam tata kuasa kehutanan di wilayah KPHL Model Kapuas. Terdapat

    persepsi kuat dalam pandangan masyarakat bahwa KFCP merupakan pengelola

    kawasan tersebut yang menjurus pada pemegang kuasa tunggal atas kawasan.

    Kesan ini sulit untuk ditampik mengingat KFCP melakukan kegiatan dengan mobilisasi

    dana dan sumberdaya yang tak sedikit. Sehingga persepsi yang terbangun di

    masyarakat, sesungguhnya KFCP-lah yang berperan besar dalam membangun dan

    memberi penghidupan masyarakat desa.1

    1 Persepsi ini muncul dari kalangan kepala desa dan sejumlah warga yang terlibat dalam kegiatan yang didanai

    oleh KFCP, seperti pembibitan, penanaman, penabatan blok-blok bergambut di desa seperti di Desa Katimpun.

  • Faktor lain yang memperkuat legitimasi KFCP dari perspektif global. KFCP merupakan

    proyek percontohan pertama dari kesepakatan Indonesia-Australia Forest Carbon

    Partnership (IAFCP). Misi utama project IAFCP ini menyusun model pendanaan yang

    menggunakan pendekatan berbasis inisiatif pasar dan merumuskan langkah-langkah

    pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.2 Skema pendanaan perubahan

    iklim model REDD ini yang sekarang menjadi perdebatan hangat di tingkat

    internasional.

    KFCP merupakan realisasi dari kemitraan yang melibatkan dua negara, Indonesia-

    Australia, untuk karbon hutan. Kesepakatan ini ditandatangani langsung oleh Presiden

    SBY dan Perdana Menteri Australia, untuk jangka waktu 2008-2012 dengan komitmen

    pendanaan dari Australia sebesar 40 juta AUD. Rinciannya 10 juta AUD untuk persiapan

    REDD dan 30 juta AUD untuk pengembangan pilot project Kalimantan Tengah ini.

    Kementerian Kehutanan melalui Sekretaris Jenderal Hadi Daryanto lalu mengeluarkan

    Surat Keterangan No. KT. 12/II-KUM/2010 tertanggal 20 Desember 2010 tentang

    Penunjukan Wilayah Kerja KFCP, yang berada pada kawasan lahan gambut seluas

    120.000 hektar yang terletak di bagian utara bekas kawasan Proyek Pembangunan

    Lahan Gambut (eks PLG) sejuta hektar yang dibatasi oleh Sungai Kapuas di sebelah

    barat dan Sungai Mantangai di bagian barat daya dengan wilayah administrasi terbagi

    di Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas, Provinsi

    Kalimantan Tengah dengan batas geografis kurang lebih 11402321-1140402321

    bujur timur dan 10561-203010 lintang selatan.

    Surat yang dikeluarkan Sekjend Kemenhut tersebut menjadi dasar peta wilayah kerja

    KFCP, meski dalam poin-poin kesepakatan telah secara eksplisit menyebut lokasi

    proyek demonstration activities KFCP di Kabupaten Kapuas.

    B. Sekilas tentang Wilayah KPHL Model Kapuas dan KFCP

    Sejarah Kawasan

    Dasar penetapan wilayah KPHL Model Kapuas adalah Surat Keputusan Menteri

    Kehutanan No. 247/Menhut-II/2011 tentang Pembentukan KPHL Model Kapuas. Dalam

    Surat tersebut dinyatakan bahwa letak geografis KPHL Model Kapuas berada pada 114

    23' 31,4" - 114 42'44,5" Bujur Timur dan 151'47,4" - 2 25' 45,8" Lintang Utara.

    Luas area wilayahnya mencapai 105.372 hektar berada di dua kecamatan, yaitu

    Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Timpah. Wilayah KPH berada secara

    administratif di sepuluh desa di dua kecamatan tersebut. Desa-desa tersebut adalah

    Petak Puti di Kecamatan Timpah, Desa Tumbang Muroi, Lapetan, Tumbang Mangkutup,

    2 Bernadinus Steni dan Sentot Setyasiswanto, Tak ada Alasan Ditunda; Potret FPIC dalam Proyek

    Demonstration Activities REDD+ di Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah, HuMa, 2011, hal. 15-16.

  • Katunjung, Sei Ahas, Katimpun, Kalumpang, Mantangai Hulu dan Mantangai Tengah

    berada di Kecamatan Mantangai.

    Wilayah KPHL Model Kapuas berada di eks proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta

    Hektar (Eks-PLG) Provinsi Kalimantan Tengah. Sebelah timur berbatasan dengan Hutan

    Konservasi di Kabupaten Barito Selatan, sebelah barat berbatasan dengan APL

    Kabupaten Kapuas di mana dapat dijumpai desa-desa yang berada di tepi Sungai

    Kapuas. Demikian sebelah selatan, wilayah KPHL Kapuas berbatasan dengan APL, dan

    utara dengan HPK Kabupaten Kapuas.

    Mulanya proyek PLG Sejuta Hektar diprakarsai oleh Pemerintahan Presiden Soeharto

    pada masa lalu untuk mengkonversi secara besar-besaran kawasan gambut menjadi

    areal pertanian pangan. Melalui

    Keppres No. 82 tahun 1995 tentang

    Pengembangan Lahan Gambut untuk

    Pertanian Tanaman Pangan di

    Kalimantan Tengah, Pemerintah

    melakukan konversi tersebut guna

    mengantisipasi krisis pangan nasional

    saat itu.

    Berdasar peta lampiran Tata Guna

    Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun

    1982, kawasan Eks-PLG berada di

    kawasan hutan produksi (HP) dan sebagian hutan produksi yang dapat dikonversi

    (HPK) yang secara hukum status kawasan hutan tersebut dapat dilepaskan sebagai

    kawasan hutan. Lalu Menteri Kehutanan mengeluarkan SK No. 166/Menhut/VII/1996

    mengenai Pencadangan Areal Hutan untuk Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah.

    Keluarnya SK Menhut ini kuat dugaan demi memuluskan rencana Pemerintah untuk

    mengkonversi kawasan sebagaimana dikehendaki Presiden dalam Keppres tahun 1995

    itu.

    Berbagai kebijakan lainnya pun ditelurkan guna menyukseskan program PLG Sejuta

    Hektar yang terbilang prestisius tersebut, seperti misal program transmigrasi para

    penduduk dari Jawa yang ditempatkan di sebelah selatan lokasi PLG itu. Hingga

    sekarang masih banyak transmigran yang tinggal di dekat Mantangai di sekitar

    perkebunan kelapa sawit. Guna menjalankan konversi kawasan, pelbagai Ijin

    Penebangan Kayu (IPK) pun dikeluarkan. Aktivitas penebangan kayu membabati hutan

    meninggalkan potongan-potongan kayu dan semak belukar.

    Di kawasan tersebut kemudian dibuat drainase-drainase dan kanal dengan membuat

    tabat yang fungsinya menahan air masuk ke gambut. Proses pengeringan lahan gambut

    ini membuat lahan kering-kerontang, ekosistem hutan rawa gambut menjadi rusak, dan

    sebagai dampak terburuknya: lahan menjadi mudah sekali terbakar. Ini kerap terjadi di

  • Blok A sebelah utara. Sementara Blok E yang terletak di ujung utara wilayah KPHL

    Model Kapuas kondisi hutannya dapat dikatakan masih bagus.

    Menurut penuturan warga Katunjung, periode akhir tahun 1997an merupakan puncak

    terjadinya kebakaran hebat di kawasan gambut ini. Berhektar-hektar lahan gambut

    terbakar yang mengakibatkan bencana asap akibat kebakaran yang hebat. Asap

    kebakaran gambut membubung tinggi hingga ke daerah-daerah lain dan menimbulkan

    bencana asap tingkat nasional. Ekosistem dan ekologi di kawasan tersebut menjadi

    rusak akibat kebakaran tersebut. Hutan pun mengalami degradasi fungsi dan kebakaran

    gambut menjadi pemicu utama pelepasan emisi gas rumah kaca.

    Dokumen Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan rencana kegiatan KFCP

    menyebutkan beberapa lokasi di Blok A bahkan mengalami lebih dari satu kali

    kebakaran terhitung sejak tahun 1990, 2001, 2002, 2004, 2005, hingga 2006 dan 2009.

    Bahkan di lokasi tersebut terdapat rawa gambut yang mengalami tujuh kali kebakaran

    pada durasi tersebut. Letak lokasi yang paling sering mengalami kebakaran, menurut

    dokumen UKL-UPL KFCP, berada di dekat kanal primer. Bisa jadi lokasi rawa tersebut

    yang mengalami pengeringan parah sehingga gambut mudah terbakar.

    Dengan kondisi ekosistem dan ekologi yang rusak akibat kebakaran, ditambah

    massifnya penebangan kayu yang dilegalkan berdasar Ijin Pemanfaatan Kayu pada

    masa 1990an akhir, kawasan Eks-PLG berubah seolah menjadi lahan terbuka. Sisa-sisa

    tebangan pohon berserak, gambut mengering, dan tutupan lahan makin berkurang.

    Areal tersebut lebih mirip lahan terlantar ketimbang kawasan hutan.

    Kerusakan rawa gambut yang merupakan ekosistem terbesar di wilayah KPHL Model

    Kapuas tentu saja membahayakan tak hanya dapat memicu pelepasan emisi yang dapat

    mendorong terjadinya perubahan iklim, namun juga membahayakan kelangsungan

    ekosistem di sana.

  • Hutan rawa gambut memiliki fungsi ekologis yang sangat besar dalam menjaga dan

    mengontrol fungsi hidrologi dan ketersediaan air serta sebagai habitat yang spesifik

    bagi keanekaragaman jenis flora dan fauna, seperti ramin, jelutung, ketiau, dan nyatoh.

    Hutan rawa gambut yang rusak dan terganggu akan sangat sulit untuk direklamasi.

    Meski kondisi lahan terlantarterutama di Blok A sebelah utara, akan tetapi secara

    hukum, status kawasan tersebut masih kawasan hutan dengan kategori hutan produksi

    sebagaimana ditunjuk dalam Peta TGHK tahun 1982. Upaya pelepasan kawasan yang

    pernah dilakukan melalui SK Menhut tahun 1996 tidak berjalan mulus, sehingga

    statusnya masih tetap Kawasan Hutan.3

    Dalam dokumen Perencanaan KFCP tahun 2009 pun menyebut bahwa lokasi Eks-PLG

    masih berstatus sebagai Kawasan Hutan Negara dengan kategori hutan produksi, yang

    dalam waktu beberapa tahun mendatang akan berubah menjadi hutan lindung atau

    suaka alam.4

    Status kawasan hutan tersebut dapat ditemukan dalam Perda No. 3 tahun 2002 tentang

    Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Kabupaten Kapuas dan Perda No. 8 tahun

    2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (Perda RTRWP) Kalimantan

    Tengah yang menyatakan bahwa Eks-PLG merupakan Kawasan Hutan dengan fungsi

    Konservasi, yang terdiri dari Konservasi Flora dan Fauna, Kawasan Konservasi

    Hidrologi, Kawasan Konservasi Gambut Tebal, dan Kawasan Konservasi Ekosistem Air

    Hitam.

    Keppres No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian

    Tanaman Pangan secara resmi dicabut melalui Keppres No. 80 tahun 1999 tentang

    3 Yayasan BOS, Proposal Pengusulan Areal Mawan menjadi Hutan Konservasi [Suaka Alam], tahun tidak

    diketahui, hal 16. 4 Lihat dokumen Perencanaan KFCP tahun 2009 halaman 4.

  • Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut

    di Kalimantan Tengah.

    Dalam Pasal 1 ayat (4) Keppres No. 80 disebutkan bahwa kawasan yang memiliki lahan

    basah yang bergambut dengan ketebalan gambut lebih dari 3 meter dan kawasan yang

    berfungsi lindung pada daerah kerja pengembangan lahan gambut dimanfaatkan untuk

    konservasi dan pengelolaannya di lakukan oleh Departemen Kehutanan dan

    Perkebunan.

    Perda dan Keppres ini kemudian menjadi sarana justifikasi bagi Yayasan Penyelamatan

    Orangutan Borneo (BOSF) mengajukan konsesi konservasi orangutan seluas 300.000an

    hektar di kawasan hutan Eks-PLG menyeberang ke Hutan Konservasi di Kabupaten

    Barito Selatan, di sebelah timur wilayah KPHL Model Kapuas sekarang. Status ijin BOS

    di daerah Mawas sendiri tak dapat dilacak, meski lembaga ini telah beroperasi di

    lapangan. Di wilayah Kabupaten Kapuas, BOSMAWAS beroperasi di sebelah timur

    dusun Tuanan, Desa Katunjung, Kecamatan Mantangai, hingga ke utara termasuk Blok

    E, dalam wilayah KPHL Model Kapuas.

    Kejelasan status kawasan hutan Eks-PLG sebagai kawasan hutan lindung muncul

    melalui Instruksi Presiden No. 2 tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan

    Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Dinyatakan

    dalam Inpres tersebut bahwa keseluruhan wilayah Blok E masuk dalam kawasan

    Lindung. Demikian halnya di Blok A bagian utara.

    Keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan kelestarian ekosistem dan

    keanekaragaman hayati yang hidup di hutan rawa gambut. Dalam Permenhut No.

    55/Menhut-II/2008 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Konservasi Kawasan

    Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, wilayah Eks-PLG masuk sebagai

    wilayah arahan fungsi hutan lindung.

    Ditinjau dari segi hukum, kejelasan status kawasan tersebut menjadi dasar yang kuat

    untuk tetap memasukkan lahan Eks-PLG sebagai hutan yang dikuasai negara, meski

    pada kenyataannya kondisinya telah mengalami degradasi dan deforestasi yang parah.

    Paling tidak lahan yang dimaksud tidak dikeluarkan sebagai areal penggunaan lain yang

    akan dengan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan nonkehutanan, seperti ekspansi

    kelapa sawit yang ekspansinya kian meluas di Kalimantan ini.

    Perubahan fungsi kawasan dari status hutan produksi menjadi hutan lindung kemudian

    ditetapkan melalui SK. Menhut No. 292/Menhut-II/2011 tentang Perubahan

    Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi

    Kawasan Hutan dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di

    Kalimantan Tengah.

    Dalam lampiran peta SK Menhut No. 292, wilayah Blok E dan A sebelah utara ditunjuk

    menjadi hutan lindung dengan mengeluarkan beberapa bagian di sebelah kanan-kiri

  • Sungai Kapuas menjadi APL mengingat adanya keberadaan desa-desa dan permukiman

    warga yang umumnya di tepian sungai tersebut. Kepastian status hukum lahan Eks-PLG

    terakhir berdasarkan SK Menhut No. 529/Menhut-II/2012 tentang Penunjukan Areal

    Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah Seluas 15.300.000 Hektar Sebagai Kawasan

    Hutan.

    Sementara itu dalam peta pencadangan yang dikeluarkan oleh Ditjen Planologi

    Kementerian Kehutanan bernomor S.207/VII-WP3H/2011 memasukkan lokasi Eks-PLG

    untuk wilayah KPHL Model Kapuas. Wilayah KPHL Model Kapuas yang 105 ribu hektar

    berada di dua blok A dan E itu. Dan dikukuhkan dalam SK Pembentukan KPHL Model

    Kapuas.

    KPHL Model Kapuas sendiri sedang menyusun blok-blok pengelolaan dengan melihat

    kesatuan hidrologis, biofisik, tutupan lahan, kedalaman gambut serta pertimbangan

    sosial-ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar wilayah KPH.

    Tentang DA REDD+ KFCP

    Keluarnya SK Sekjen Kementerian

    Kehutanan No. KT.12/II-KUM/2010

    tentang Penunjukan Lokasi Wilayah

    Kerja KFCP, makin menguatkan bahwa

    pengelolaan eks lahan PLG berada di

    tangan Kementerian Kehutanan. Pada

    periode paska pemberhentian Mega

    PLG sejuta hektar, sempat terjadi tarik-

    ulur kewenangan pengelolaan

    kawasan antara Pemerintah dengan

    pemerintah daerah. Pemerintah pusat

    berargumen mengenai status kawasan

    hutan, sementara pemerintah daerah mendasarkan klaim pengelolaannya menurut UU

    No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Ijin-ijin perkebunan sawit sempat

    dikeluarkan oleh Pemda Kabupaten Kapuas dengan dasar kewenangannya tadi (Gamma

    Galudra, dkk; 2010).

    Bila menilik penanggalannya, SK Sekjend Kemenhut yang menunjuk lokasi KFCP terbit

    tiga hari sebelum Rapat Kabinet yang menunjuk Kalimantan Tengah sebagai provinsi

    pilot implementasi REDD+ di Indonesia. Artinya, penunjukan Kabupaten Kapuas

    sebagai wilayah DA REDD+ KFCP memiliki legitimasi sangat besar dengan berbagai

    dukungan secara politik dari Pemerintah Pusat. Barangkali pula rapat kabinet tersebut

    merupakan arena justifikasi lokasi KFCP di Kabupaten Kapuas.

  • KFCP kemudian melakukan pendekatan-pendekatan kepada pemerintahan desa di

    wilayah kerja mereka, yang terdiri dari tujuh desa itu. KFCP membuat kesepakatan

    dengan para kepala-kepala desa yang kemudian dikukuhkan dalam bentuk Perjanjian

    Desa. KFCP juga membantu melakukan pendampingan perangkat desa-desa dalam

    membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa).

    Tak banyak penduduk desa yang

    mengetahui isi dari Perjanjian Desa.

    Sebagian penduduk Katunjung misalnya

    mengatakan hanya sekitar 10 persen warga

    desa tersebut yang mengetahui ada

    perjanjian. Dan pemberitahuan mengenai

    DA REDD+ KFCP dianggap mereka hanya

    sosialisasi. Tidak dalam kerangka free, prior

    and informed consent (FPIC) sebagai

    prasyarat persetujuan atau penolakan

    proyek oleh komunitas adat yang

    terdampak (Bernadinus Steni, dkk; 2012).

    Mantir-mantir adat dimasukkan sebagai

    salah satu penandatangan Perjanjian dalam

    kapasitasnya sebagai saksi.

    Dengan demikian tergambar kuat bahwa

    melalui Perjanjian Desa, KFCP seolah-oleh

    memperoleh dukungan formal dari

    komunitas adat yang mendiami wilayah proyek.

    Di Katunjung, ada salah seorang mantir yang tidak menyetujui proyek percontohan

    KFCP dengan menolak menandatangani Perjanjian Desa. Bagi masyarakat lokal,

    kehadiran KFCP justru menciptakan polarisasi di tingkat akar rumput (Widiyanto;

    2012). Ada yang pro terhadap kehadiran proyek, yakni mereka yang memperoleh

    keuntungan secara ekonomi, namun tak sedikit pula yang menolaknya dengan sejumlah

    alasan.

    Dalam Perjanjian Desa pihak KFCP diwakili oleh sebuah badan hukum bernama PT

    Aurecon Indonesia, yang berdomisili di Jakarta. Masyarakat dan beberapa pihak banyak

    yang kemudian menanyakan legalitas, baik KFCP maupun perusahaan tersebut,

    mengingat struktur KFCP tidak pernah menyebut nama perusahaan tersebut ketika

    berada di lapangan.

    Akan tetapi, ada pokok persoalan lainnya yang bersumber pada Perjanjian tersebut. Ada

    tujuh prinsip yang akan diterapkan oleh KFCP dalam Perjanjian Desa, yakni:

  • 1) KFCP tidak akan pernah mencoba mengklaim lahan atau status hukum dan hak adat

    atas tanah dan wilayah di desa tanpa persetujuan dari seluruh penduduk desa.

    Setelah perjanjian berakhir lahan dan hasil-hasil sepenuhnya dikelola masyarakat.

    2) KFCP akan menghargai dan mengakui hukum-hukum adat termasuk yang mengatur

    sumberdaya alam.

    3) Keuntungan-keuntungan dari kegiatan KFCP harus dibagi secara adil di antara

    semua pemangku kepentingan hak, termasuk perempuan dan kelompok-kelompok

    terpinggirkan.

    4) Kegiatan-kegiatan KFCP harus mendukung mata pencaharian yang berkelanjutan

    sesuai dengan pembangunan desa.

    5) Semua anggota masyarakat di desa mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam

    program secara penuh dan efektif.

    6) Anggota masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang akurat

    tentang kegiatan KFCP untuk memastikan tata kelola program yang baik.

    7) Pelaksanaan program harus sejalan dengan hukum dan peraturan lokal dan

    nasional (termasuk hukum adat), dan konvensi-konvensi internasional.

    Dalam prinsip poin 1 KFCP menyatakan tidak akan mengubah atau mengklaim status

    lahan. Prinsip tersebut benar adanya akan tetapi praktik di lapangan dengan adanya

    peta wilayah kerja, pola-pola pembagian kerja, serta belum adanya mekanisme hukum

    yang kuat mengenai proyek percontohan REDD+, membuat apa yang telah dilakukan

    oleh KFCP di lokasi seperti penguasa atas lahan.

    Sejak berhentinya mega PLG sejuta hektar tahun 1998an, mulai muncul klaim-klaim

    kepemilikan atas kanal-kanal atau tabat oleh masyarakat lokal, mengingat tabat

    tersebut merupakan sumber kehidupan mereka (Gamma Galudra; 2010). Sehingga saat

    salah satu kegiatan KFCP adalah melakukan pembukaan blocking kanal, protes

    masyarakat pun muncul.

    Dalam focused group discussion yang diselenggarakan WGT dalam rangkaian assessment

    ini di Desa Katimpun, pada akhir November 2012, dapat dikatakan secara keseluruhan

    peserta mengenal dan mengetahui proyek KFCP, dan sebaliknya hampir semua yang

    hadir tidak mengetahui apa dan siapa KPHL Kapuas itu. Di beberapa lokasi proyek KFCP

    tampak pula ditemui poster-poster berisi informasi kegiatan dan alokasi dananya.

    Kegiatan-kegiatannya meliputi pembibitan dan penanaman yang lebih banyak

    dikonsentrasikan di Katunjung ke selatan, termasuk Katimpun.

    C. Hutan Desa sebagai Solusi Mengatasi Potensi Konflik?

    KFCP tampak memang mendemonstrasikan bagaimana upaya mengurangi pelepasan

    emisi di lahan gambut dilakukan lewat DA REDD+, meski pada dasarnya masyarakat

    lokal memiliki cara sendiri dalam mengelola kawasan. Proyek percontohan yang

    dilakukan KFCP dapat dianggap termasuk tipe DA REDD+ tingkat lokal dimana lokasi

  • proyek memiliki perencanaan tata ruang yang terbatas pada satu jenis area hutan yakni

    hutan lindung.

    Pokok persoalannya adalah DA REDD+ yang dilakukan KFCP tidak memiliki konsesi

    legal yang kuat atas lahan sehingga masalah tenure yang seharusnya menjadi konsern

    utama para proponent proyek seperti KFCP, memiliki kepastian di masa depan.

    Kepastian tenurial jangka panjang merupakan hal yang sangat penting untuk validasi

    dan pengembalian biaya. Kepastian tentang kelangsungan hidup sebuah kegiatan

    percontohan juga merupakan faktor penting yang menjadi penentu dalam model

    konsesi. Para pemrakarsa (proponent) proyek berkepentingan untuk memastikan

    bahwa kegiatan percontohan yang mereka lakukan akan berlangsung cukup lama untuk

    mengembalikan biaya awal yang besar (Erin Myers, dkk: 2011). Barangkali juga

    imajinasi keuntungan atas klaim karbon setelah DA REDD+ dianggap berjalan lancar.

    Tampaknya hal ini sangat disadari oleh KFCP. Dengan dukungan saling menguntungkan

    dengan Pemerintah dan instansi pemerintahan terkait, KFCP kemudian mendorong

    pengajuan skema Hutan Desa. Menurut catatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan

    Kabupaten Kapuas, ada tujuh desa yang mengajukan skema Hutan Desa kepada Menteri

    Kehutanan, yakni Desa Katunjung, Katimpun, Sei Ahas, Mantangai Hulu, Kalumpang,

    Tumbang Muroi, dan Petak Puti.

    Pada pertengahan November 2012, datang tim verifikasi hutan desa dari Kementerian

    Kehutanan. Kali ini baru empat desa yang dikunjungi dalam waktu yang relatif singkat.

    Tim datang ke Desa Katunjung, Katimpun, Petak Puti, dan satu desa di luar kawasan

    adalah Tambak Bajaj.

    Semua desa tersebut berada di wilayah area kerja KFCP, kecuali Tambak Bajaj.

    Ditengarai KFCP-lah yang melakukan pendekatan supaya desa-desa mengajukan skema

    hutan desa. Di tengah ketidakpastian yuridis mengenai status aktivitasnya di masa yang

    akan datang, skema hutan desa tampak merupakan pilihan yang realistis guna

    mewadahi aktivitas DA REDD+ KFCP apabila secara resmi berakhir.

    Pasal 6 ayat (4) butir f Permenhut No. 20 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan karbon

    Hutan, dinyatakan salah satu penyelenggara karbon hutan adalah pemegang izin hutan

    desa. KPHL Kapuas sendiri mengatakan setuju dengan hutan desa mengingat skema

    tersebut diharapkan mampu memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan.

    Dengan pengelolaan hutan yang dikoordinasikan oleh pemerintahan desa, hutan desa

    dianggap mampu memberikan nilai tambah bagi kemajuan masyarakat lokal.

    Masyarakat desa bisa mengembangkan potensi sumberdaya hutan yang ada dengan

    membudidayakan lebah hutan atau hasil alam nonkayu lainnya.

    Catatan KPHL Kapuas terhadap pengajuan hutan desa adalah luasan kawasan yang

    diajukan harus realistis dengan melihat tingkat kemampuan warga dalam mengelola.

    Misalnya saja, apakah realistis 231 kepala keluarga Desa Katimpun mengajukan luas

  • hutan desa mencapai 3.270 hektar? Demikian pula apakah sanggup 277 kepala keluarga

    warga Desa Katunjung mengelola 6.938 hektar hutan desa nantinya? Yang artinya 25

    hektar tiap kepala keluarga? Belum lagi jarak antara lokasi hutan desa yang diajukan

    dengan permukiman yang rata-rata agak jauh.

    Pengajuan hutan desa ini pada dasarnya menjadi titik kompromi antara KFCP sebagai

    salah satu pihak yang secara ekonomi dan legitimasi kuat, dengan KPHL Kapuas yang

    secara yuridis kuat meski serba terbatas dalam infrastruktur dan pendanaan. Namun

    poin-poin kritisasi yang dilontarkan oleh KPHL Kapuas menjadi penanda adanya

    persetujuan dengan catatan.

    D. Land Tenure Analysis Tools

    Pengerjaan laporan assessment ini menggunakan dengan RaTA dan sistem HuMaWin

    sebagai tools dalam menganalisis dan mendokumentasikan perjalanan kasus yang

    menjadi obyek assessment.

    E. Rekomendasi

    Hasil assessment mendorong sejumlah rekomendasi, yakni:

    Perlu melakukan pertemuan multipihak yang menjadi stakeholder KPH,

    termasuk KFCP, untuk menjelaskan secara komprehensif mengenai penguasaan

    lahan oleh KPHL Model Kapuas;

    Perlu memperkuat sarana dan prasarana penunjang, terutama bagi kegiatan

    operasional KPHL Model Kapuas di lapangan di wilayah KPH;

  • Daftar Pustaka

    Gamma Galudra, et al, Hot Spot of Emmission and Confusion; Land Tenure Insecurity,

    Contested Policies and Competing Claims, in Central Kalimantan Ex-Mega Rice

    Project, Working Paper No.100, WAC-Icraf, 2010.

    Soraya Afif, dkk, Kajian Para Pihak Terkait Upaya Pengurangan Emisi dari Deforestasi

    dan Degradasi Hutan di Kalimantan Tengah, Kemitraan, 2011.

    Erin Myers, et al, Apakah yang Dimaksud dengan Proyek Percontohan REDD+?, Info Brief,

    Cifor, 2011.

    Bernadinus Steni dan Sentot Setyosiswanto, Tak Ada Alasan Ditunda; Potret FPIC dalam

    Proyek DA REDD+ di Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah, HuMa, 2011.

    Widiyanto, Legal Actors Assessment in KFCP Project, tidak diterbitkan, 2012.

    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Katimpun, Kecamatan

    Mantangai, Kabupaten Kapuas, 2011.

    WGT, Laporan Assessment dan Analisa Tenure untuk Mendukung Pembentukan KPH

    Model di Kabupaten Kapuas, Prov Kalimantan Tengah, WGT, 2011.

    Peraturan Bupati Kabupaten Kapuas No.197 tahun 2011 tentang Pembentukan Susunan

    Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesatuan

    Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Kapuas Dinas Perkebunan dan

    Kehutanan.

    Instruksi Presiden No. 2 tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi

    Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.

    Keputusan Menteri Kehutanan No. 247/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Wilayah

    KPHL Model Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.

    Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 529 tahun 2012.

    Peraturan Menteri Kehutanan No. 20 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon

    Hutan.

    Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

    Kapuas.

    Perjanjian Desa Katunjung dengan KFCP, 2011.

  • Foto-foto Kegiatan FGD di Desa Katimpun, 22 November 2012