aspek_taswil

10
GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001 1 Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Sebuah Tinjauan Komprehensif Oleh : Fahmi Amhar 1 , Tri Patmasari 2 , Anas Kencana 3 Abstrak Pemetaan batas wilayah memiliki beberapa aspek yang harus dimengerti baik oleh para pengambil keputusan di daerah, maupun oleh para pelaku pemetaan itu sendiri. Aspek-aspek ini adalah aspek penetapan, aspek pengukuran dan asepk pemetaan. Dalam sebuah tinjauan yang komprehensif, aspek penetapan ternyata memiliki beberapa cara (alami, perjanjian, hierarkis), sebagaimana aspek pengukuran (kartometris, fotogrametris, inderaja, terrestris). Dan dalam masalah pemetaan, batas wilayah memiliki hal-hal yang semestinya penting untuk ditampilkan, seperti misalnya soal akurasi dan sumber penetapannya. Dengan demikian persoalan pemetaan batas wilayah tidaklah sekedar masalah pengukuran GPS (terestris) dan pemasangan patok/pilar semata-mata. Dan para pengguna peta harus lebih kritis ketika akan menggunakan data batas wilayah, apalagi bila itu menyangkut kewenangan penggunaan sumber daya alam, seperti pada era otonomi sekarang ini. Pendahuluan Dalam menghadapi otonomi daerah dan globalisasi, penegasan batas wilayah (batas administrasi), baik antar tinggi. persil tanah, batas konsesi HPH atau Hak Pertam- bangan, batas antar kabupaten / kota, batas kewenangan di laut maupun batas negara menjadi strategis, dan harus dikerjakan dengan mutu. Tujuan penegasan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana batas spasial suatu status hukum, mulai dari kepemilikan, hak guna, batas peruntukan dalam tata ruang, tanggung jawab pemerintahan, perpajakan, hingga untuk menentukan luas area guna menghitung potensi sumber daya, kepadatan penduduk hingga dana perimbangan daerah. Pekerjaan ini mencakup: 1. penetapan batas dari aspek yuridis; 2. pengukuran koordinat batas di lapangan; 3. pemetaan kawasan perbatasan di atas peta ataupun di atas basis data digital. Fakta saat ini, penegasan batas wilayah masih jauh dari memadai. Salah satu kendala yang dihadapi adalah teknologi. Pada tulisan ini akan dikupas berbagai jenis teknologi dalam penegasan batas wilayah, baik dari segi penetapan, pengukuran maupun pemetaan. Aspek-aspek Penetapan Batas 1. Batas ditetapkan secara alami Batas wilayah (darat) yang dianggap paling mudah ditentukan secara alami adalah adanya air (garis tengah sungai atau Thalweg; 1 Peneliti Muda Bidang Teknologi Pemetaan Digital, Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang - Bakosurtanal 2 Kabid Batas Wilayah, Pusat Pemetaan Batas Wilayah - Bakosurtanal 3 Staf Bidang Pemetaan Batas Wilayah - Bakosurtanal

Transcript of aspek_taswil

Page 1: aspek_taswil

GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001

1

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Sebuah Tinjauan Komprehensif

Oleh : Fahmi Amhar1, Tri Patmasari2, Anas Kencana3

Abstrak

Pemetaan batas wilayah memiliki beberapa aspek yang harus dimengerti baik oleh para pengambil keputusan di daerah, maupun oleh para pelaku pemetaan itu sendiri. Aspek-aspek ini adalah aspek penetapan, aspek pengukuran dan asepk pemetaan. Dalam sebuah tinjauan yang komprehensif, aspek penetapan ternyata memiliki beberapa cara (alami, perjanjian, hierarkis), sebagaimana aspek pengukuran (kartometris, fotogrametris, inderaja, terrestris). Dan dalam masalah pemetaan, batas wilayah memiliki hal-hal yang semestinya penting untuk ditampilkan, seperti misalnya soal akurasi dan sumber penetapannya. Dengan demikian persoalan pemetaan batas wilayah tidaklah sekedar masalah pengukuran GPS (terestris) dan pemasangan patok/pilar semata-mata. Dan para pengguna peta harus lebih kritis ketika akan menggunakan data batas wilayah, apalagi bila itu menyangkut kewenangan penggunaan sumber daya alam, seperti pada era otonomi sekarang ini.

Pendahuluan

Dalam menghadapi otonomi daerah dan globalisasi, penegasan batas wilayah (batas administrasi), baik antar tinggi. persil tanah, batas konsesi HPH atau Hak Pertam-bangan, batas antar kabupaten / kota, batas kewenangan di laut maupun batas negara menjadi strategis, dan harus dikerjakan dengan mutu.

Tujuan penegasan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana batas spasial suatu status hukum, mulai dari kepemilikan, hak guna, batas peruntukan dalam tata ruang, tanggung jawab pemerintahan, perpajakan, hingga untuk menentukan luas area guna menghitung potensi sumber daya, kepadatan penduduk hingga dana perimbangan daerah. Pekerjaan ini mencakup:

1. penetapan batas dari aspek yuridis; 2. pengukuran koordinat batas di lapangan; 3. pemetaan kawasan perbatasan di atas peta

ataupun di atas basis data digital. Fakta saat ini, penegasan batas wilayah

masih jauh dari memadai. Salah satu kendala yang dihadapi adalah teknologi. Pada tulisan ini akan dikupas berbagai jenis teknologi dalam penegasan batas wilayah, baik dari segi penetapan, pengukuran maupun pemetaan.

Aspek-aspek Penetapan Batas

1. Batas ditetapkan secara alami

Batas wilayah (darat) yang dianggap paling mudah ditentukan secara alami adalah adanya air (garis tengah sungai atau Thalweg;

1 Peneliti Muda Bidang Teknologi Pemetaan Digital, Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang - Bakosurtanal 2 Kabid Batas Wilayah, Pusat Pemetaan Batas Wilayah - Bakosurtanal 3 Staf Bidang Pemetaan Batas Wilayah - Bakosurtanal

Page 2: aspek_taswil

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah � Fahmi Amhar, Tri Patmasari, Anas Kencana

2

dan batas teritorial 12 mil laut dari pantai). Namun bila diteliti lebih dekat, sungai atau pantai ini ternyata mengalami dinamika. Pantai atau tepi sungai bisa �bergeser� karena pasang surut, sedimentasi atau erosi. Pada peta rupabumi (darat), pantai laut biasa didefinisikan dengan garis pantai (tinggi nol) rata-rata. Sementara untuk peta perencanaan permukiman, lebih menguntungkan meng-gunakan garis pantai dengan pasang tertinggi, agar pasti daerah permukiman itu tidak kebanjiran saat air pasang. Sebaliknya untuk peta navigasi (laut) garis pantai yang lebih penting adalah garis muka laut terendah, karena ini berkait dengan apakah sebuah kapal pasti bisa sandar atau tidak.

Andaikata garis batas wilayah meng-ikuti pergeseran pantai, maka hal itu menjadi tidak pasti dan bisa merugikan wilayah tetangga. Oleh karena itu seharusnya yang dipegang adalah sebuah garis yang didefinisi-kan dari koordinat-koordinat titik-titik tetap (misalnya pilar) di pantai yang disebut juga �garis pangkal� atau koordinat batas laut terluar yang direkonstruksi dari titik referensi di pantai. Andaikata kelak pantai ini mengalami dinamika, maka tetap saja yang

dijadikan pegangan adalah koordinat aslinya. Jadi bukan satu wilayah yang bertambah luas dan lainnya bertambah sempit, namun obyek (sungai / pantai) pada wilayah itu yang bergeser.

Selain air, yang juga sering dijadikan batas alam adalah patahan bukit, di mana air hujan akan mengalir ke dua arah yang berbeda. Definisi ini menguntungkan karena dengan demikian air tidak harus mengalir dari satu wilayah ke wilayah lain � selain pada sungai. Dengan teknologi Model Elevasi Digital (DEM), patahan bukit ini bisa ditentukan secara semi otomatis yaitu dengan memperhatikan arah lereng (slope) yang berarti juga arah air akan mengalir.

2. Batas ditetapkan dengan perjanjian

Selain batas alam, batas buatan dibuat dengan suatu perjanjian. Batas ini bisa berupa jalan raya yang secara fisis kelihatan, atau bisa pula batas maya yang hanya didefinisikan secara verbal, misalnya dalam bentuk Undang-undang, Perda, perjanjian historis atau juga sertifikat tanah.

Baik batas fisik maupun maya ternyata memiliki dinamika. Jalan bisa mengalami

Gambar 1. Peta slope untuk mencari punggung bukit

Page 3: aspek_taswil

GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001

3

pelebaran sehingga akan mengalami masalah yang sama seperti batas alam (pantai).

Sedang batas maya selama tidak mencantumkan koordinat, masih akan memiliki potensi sengketa, terutama bila apa yang dideskripsikan secara verbal sudah sulit dijumpai di lapangan. Bila pohon atau patok yang hilang tidak berkoordinat, maka sangat sulit untuk direkonstruksi.

Satu-satunya bentuk batas dengan perjanjian yang mudah direkonstruksi adalah batas dengan angka-angka lintang/bujur atau elevasi tertentu, misalnya seperti sebagian batas Irian Jaya � PNG adalah 141° BT, atau sebagian batas Kabupaten dan Kota Bandung adalah sepanjang ketinggian beberapa ratus meter dari permukaan laut.

3. Batas ditetapkan secara hierarkis

Batas-batas wilayah dan batas pemi-likan tanah seharusnya memiliki hubungan hierarkis, baik ke atas maupun ke bawah.

Hubungan hierarkis ke atas artinya, batas wilayah harus memperhatikan batas-batas kepemilikan sehingga sebuah tanah milik perorangan tidak perlu terbagi dua di daerah administrasi atau bahkan daerah hukum yang berbeda. Maka dalam penentuan batas wilayah, panitia penetapan batas perlu mempelajari status kepemilikan tanah pada route yang kemungkinan dilewati batas tersebut. Di sinilah diperlukan koordinasi antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan Depdagri.

Sedang hubungan hierarkis ke bawah artinya, batas wilayah yang lebih tinggi otomatis menjadi batas wilayah di bawahnya. Maka semestinya, batas negara adalah selalu bagian dari batas suatu propinsi, dan batas propinsi selalu bagian dari batas kabupaten/ kota, dan seterusnya menurun ke kecamatan/

desa sampai akhirnya ke batas kepemilikan. Dengan demikian, di dalam basis data, atribut dari polygon yang membentuk garis batas tersebut harus memiliki semua informasi dalam hierarki. Dalam software GIS seperti Arc/Info hal ini bisa dilakukan secara otomatis dimulai dari batas wilayah yang tertinggi.

Aspek-aspek Pengukuran Batas

Bila penetapan batas harus dilakukan melalui kesepakatan antar pihak yang akan berbatasan, maka pengukuran batas adalah upaya untuk mendapatkan koordinat dari titik-titik batas.

Di masa lalu, batas sering hanya didokumentasikan secara grafis, baik berupa peta atau sketsa. Akibatnya ketelitiannya sangat tergantung dari skala, bidang proyeksi, sistem referensi geografis, serta pengaruh perubahan akibat usia pada kertas grafis yang dipakai. Baru sejak sekitar dua dekade terakhir ini barangkali penggambaran batas dipisahkan dari pengukuran batas, atau dengan kata lain, pengukuran batas menjadi salah satu syarat pemetaan batas.

Berbeda dengan obyek alam yang memiliki ukuran panjang dan lebar (2D), atau mungkin juga tinggi atau ketebalan (3D), batas bersifat abstrak, yaitu hanya memiliki satu dimensi (panjang). Oleh karena itu pengukuran batas akan memerlukan akurasi yang jauh lebih tinggi - dari misalnya peng-ukuran jalan � ini karena jalan memiliki lebar beberapa meter, sehingga bila jalan digam-barkan dalam sebuah garis, maka posisi garis itu memiliki toleransi sebesar lebar jalan.

Maka dalam peta skala berapapun, garis batas mestinya tidak mengalami perubahan apapun, baik karena generalisasi maupun simbolisasi. Hanya saja secara

Page 4: aspek_taswil

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah � Fahmi Amhar, Tri Patmasari, Anas Kencana

4

kartografis hal ini sangat sulit. Pada umumnya, pada unsur di mana batas bertumpang tindih dengan jalan, maka batas digambar secara offset di salah satu tepi, dengan maksud agar jalan tetap kelihatan. Namun dalam basis data di komputer, posisi garis batas yang sesungguhnya (disebut juga posisi geografis) tetap bisa terus di simpan, misalnya dalam kolom atau layer terpisah. Bila dilakukan analisis spasial, maka posisi yang sesungguhnya itulah yang dipakai, bukan posisi kartografisnya.

Masalahnya kini bagaimana mendapat-kan angka-angka koordinat posisi geografis untuk yang pertama kalinya. Ada beberapa teknik untuk mengatasi permasalahan ter-sebut, yaitu :

1. Batas diambil dari peta yang sudah ada (kartometris)

Teknik ini dipakai secara massif sejak hadirnya komputerisasi pemetaan. Maka semua peta grafis batas, mulai dari batas persil hingga batas negara dicoba didigitasi untuk dijadikan data dasar utama analisis spasial, baik untuk menghitung pajak maupun untuk menghitung potensi wilayah.

Teknik digitasi ini, biarpun dengan equipment yang an sich berakurasi sangat tinggi, tetap saja dia subyek yang dipengaruhi oleh kualitas sumber data dan efek kartometri itu sendiri.

Harus diakui bahwa hampir semua sumber data peta-peta batas yang ada adalah sedikit banyak hanya merupakan dugaan dari pemerintah daerah yang dibuat di atas peta rupabumi. Meski dugaan ini disahkan oleh pemerintah setempat, namun ketiadaan dokumen formal dan pilar-pilar batas di lapangan mengharuskan Bakosurtanal, sebagai pembuat peta rupabumi itu, selalu menambahkan disklaimer bahwa �peta ini

bukan referensi resmi mengenai batas administrasi�. Namun ini sudah merupakan best available source dibanding misalnya peta-peta batas Badan Pusat Statistik (BPS) yanga pada saat itu dibuat dengan sketsa, sekedar untuk membantu pekerjaan pencacahan dalam sensus penduduk. Karena semua data batas baik dari Bakosurtanal maupun BPS ini ada dalam bentuk digital, pemakai mestinya berhati-hati dalam meng-gunakannya.

Kesulitan lain adalah efek kartometri yang mau tak mau terjadi tatkala orang mendigitasi peta. Efek ini terjadi karena garis batas dalam peta sedikit banyak telah digambar dengan generalisasi dan simbolisasi yang sesuai skala peta. Bahkan pada kasus-kasus tertentu dia digambar secara offset agar tidak menutupi obyek yang dianggap lebih penting bagi peta tersebut � misalnya jalan. Menurut riset (Amhar, 2000), akurasi maksi-mal yang dicapai seorang operator berpe-ngalaman dalam mendigitasi adalah 0.2 mm pada peta. Sebagai contoh, peta berkala 1:500.000, akan mempunyai akurasi mak-simum 1 mm di lapangan. Bila peta itu ber-skala 1:500.000, maka ini berarti 100 m di lapangan. Bila hal ini digabungkan dengan simbol garis batas itu sendiri yang setebal 1nmm (= 500 m di lapangan), offset yang juga 1 mm, dan generalisasi yang membuat satu lekukan kecil di peta dihilangkan, maka ketidakpastian itu menurut hukum propagasi akan menjadi setidaknya sekitar 714 m di lapangan!

2. Batas diukur di atas foto udara (fotogrametris)

Teknik ini mirip kartometri namun menggunakan foto udara yang memiliki keuntungan belum tergeneralisasi maupun

Page 5: aspek_taswil

GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001

5

simbolisasi. Teknik ini efektif untuk program ajudikasi tanah, yang berarti penegasan batas kepemilikan lahan, yang volumenya besar (mencakup areal yang luas). Pengalaman menarik diberitakan dari Neumaier (VGI 4/97), seorang professor dari Austria yang berjasa membangun kadastral di Cina tahun 1930-an. Metodenya adalah sebagai berikut :

• Membuat pemotretan udara skala besar (mungkin skala 1:5000) dari seluruh areal yang akan ditegaskan batasnya.

• Menyebar foto-foto itu ke desa-desa melalui petugas desa yang sudah dilatih membaca foto udara. Penduduk supaya memberi tanda batas areal tanah miliknya di atas foto.

• Foto-foto yang telah diberi klaim batas kemudian diumumkan selama tiga bulan.

• Bila dalam tiga bulan itu tidak ada bantahan, maka batas itupun menjadi batas resmi. Bantahan yang ada harus diselesaikan (negosiasi, kompromi, penyelesaian hukum).

• Setelah semua batas tegas, barulah foto itu diukur secara metris. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara: (1) diukur koordinatnya di atas foto, baru kemudian dilakukan transformasi ke georeferensi. (2) dibuat ortofoto dulu, lalu diukur di ortofoto, sehingga langsung didapat koordinat georeferensi.

Kesulitan utama dalam penentuan batas pada foto maupun ortofoto adalah adanya bayangan, baik dari gedung atau vegetasi yang cukup tinggi, maupun dari awan yang membuat gambar menjadi gelap. Yang dimaksud di sini adalah �bayangan awan�, bukan �tutupan awan�.

Sedang untuk tutupan awan mau tidak mau harus diatasi dengan menggunakan sensor tembus awan (misalnya radar) atau

pemotretan di bawah awan. Namun inipun bukannya tanpa masalah. Pengalaman di Irian Jaya, untuk mengatasi tutupan awan, dicoba dipotret di bawah awan, namun yang didapatkan menjadi 1600 lembar foto, padahal yang ingin dihasilkan adalah peta skala 1:50.000 pada areal yang hampir seluruhnya hutan belantara dengan elevasi bergelombang. Sasaran utama yang diingin-kan dari metode ini adalah DEM untuk menghasilkan garis kontur. Jadi yang terutama dibutuhkan adalah DEM untuk menghasilkan garis kontur. Selanjutnya posisi sungai bisa didekati lebih dahulu dengan melihat garis konturnya. Masalahnya untuk membuat titik-titik input DEM yang rapat pada volume foto yang sangat besar, pekerjaan ini tidak ekonomis. Sebagai alternatif jalan keluar, DEM didekati dulu dengan titik-titik Triangulasi Udara (AT) yang mau tidak mau memang harus diukur dan dihitung untuk bisa mengerjakan keseluruhan proyek. Yang penting di sini, harus ada uji coba secara sampling sejauh mana diferensi antara DEM dari titik-titik AT dan DEM dari pengukuran stereo pada daerah yang terbatas. Bila toleransi ini masih dibolehkan pada skala 1:50.000 maka berarti DEM dari AT ini sudah mencukupi dan pekerjaan ini akan jauh lebih efisien.

3. Batas diukur dari citra inderaja

Batas juga bisa didekati dengan citra inderaja (remote sensing). Hal ini umumnya dilakukan untuk mengukur baik batas alam (misalnya pantai) maupun batas obyek yang tampak di alam (misal hutan / kebun). Perbedaan dengan foto udara adalah pada resolusi citra inderaja yang relatif lebih kasar - walaupun bisa dibuat halus � dengan harga lebih mahal - misalnya dengan sensor inderaja pada wahana pesawat terbang

Page 6: aspek_taswil

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah � Fahmi Amhar, Tri Patmasari, Anas Kencana

6

(airborne). Keuntungan inderaja adalah pengolahan data relatif lebih terotomatisasi, sehingga misalnya garis pantai bisa dikenali otomatis sebagai perbedaan darat dan laut, demikian juga batas hutan/kebun atau lintasan sungai/jalan bisa dikenali dari spektral pixelnya.

Meski demikian, hasil kerja otoma-tisasi ini tetap harus dinikmati dengan hati-hati, karena yang tampak di citra tidak selalu yang diinginkan untuk diukur. Sebagai misal mahkota sebuah pohon sering jauh melam-paui batas hutan di mana pohon itu berada. Sedang tepi sungai atau pantai bisa mengalami perubahan temporal yang cukup cepat, misalnya karena pasang surut atau banjir. Ini semua akan berpengaruh langsung pada citra inderaja yang direkam pada saat itu.

4. Batas diukur secara terrestris

Pengukuran darat (terrestris) baik dengan pita meteran, total station maupun GPS dipandang tetap lebih akurat dibanding pengkuran kartometris ataupun foto udara dan inderaja. Yang menjadi masalah pada pengukuran terestris adalah pengukuran yang tidak sekaligus sistematis pada areal yang luas, sehingga ketaktelitian pada suatu lahan berakibat langsung ketaktelitian pada areal sekelilingnya. Hal ini bisa disebabkan oleh akurasi pengukuran itu sendiri, atau oleh proses perhitungan sesudahnya yang men-cakup reduksi dan transformasi ke sistem koordinat referensi atau proyeksi yang di-gunakan.

Permasalahannya adalah, dalam serti-fikat tanah, angka-angka ketaktelitian ini tidak pernah (atau bahkan mungkin secara hukum tidak boleh) disebutkan. Angka luas tanah yang mestinya mengandung plus minus

sekian meter persegi (atau hektar) seakan sebuah angka mati yang sudah benar. Hal ini akan menyulitkan ketika areal di seke-lilingnya juga mulai diukur. Jumlah luas persil-persil bisa-bisa cukup jauh dari luas keseluruhan areal.

Pemetaan & Basis Data Perbatasan

1. Isian Basis Data Batas Wilayah

Konsekuensi masalah-masalah peng-ukuran batas di atas mengharuskan basis data batas wilayah memiliki isian informasi sebagai berikut : • posisi kartografis (yang memungkinkan

offset) dan tergantung tingkat skala. • posisi geografis yang sesungguhnya (yang

akan digunakan dalam analisis spasial). • akurasi sumber data (diperkirakan secara

rinci sesuai metode data akuisisi: kartometris, fotogrametris, inderaja atau terrestris).

• waktu data diambil dari lapangan (guna antisipasi aspek temporal pada akuisisi data) dan waktu berlakunya data tersebut (guna keperluan update / revisi peta), sehingga sejarah batas sebuah wilayah bisa dilacak. Masalah waktu berlakunya data ini, terutama penting untuk batas-batas non administratif, misalnya batas konsesi hutan, kebun atau tambang.

• jenis batas (administratif, non adminis-tratif)

• toponimi (tiap wilayah administrasi harus memiliki identifikasi unik, baik melalui suatu toponimi, suatu ID wilayah seperti yang ada di Depdagri (Zip-code), kodepos (post-code), kode area telepon, kode nomor polisi untuk kendaraan ataupun kode cacah (BPS).

Page 7: aspek_taswil

GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001

7

• dokumen terkait sebagai file hyperlink yang bisa dipanggil kapan saja. Dokumen tertulis yang sudah ada bisa discan dan disimpan sebagai file gambar dalam format JPEG atau dikonversi ke teks dengan OCR-software.

• Informasi lain-lain seperti person yang mengerjakan, proyek yang mendanai, besar dana dan sebagainya.

2. Penurunan peta batas secara otomatis

Bila basis data rupabumi dibuat dengan benar dan true database oriented, maka pembuatan peta-peta batas wilayah yang biasanya hanya menggambarkan kawasan sepanjang route perbatasan bisa diturunkan secara otomatis cukup dengan definisi route. Softwarelah yang akan menyelesaikan tahapan-tahapan seperti seleksi area (band-buffer) � termasuk penggabungan berbagai nomor peta - dan konversi termasuk peru-bahan skala dan transformasi zone proyeksi.

Masalah skala memang sering menjadi salah satu persoalan dalam peta batas. Skala baku dalam peta rupabumi sistematis (misal

1:50.000) sering di satu sisi terlalu kecil untuk menggambarkan detil sepanjang per-batasan, namun di sisi lain terlalu besar untuk meletakkan seluas mungkin wilayah dalam sedikit mungkin lembar peta.

Mungkin di sini memang diperlukan dua jenis peta, yaitu satu overview untuk keseluruhan area, dan satu peta detil sepan-jang perbatasan. Karena garis batas dari titik-titik koordinat itu bersifat 1-dimensi maka sebenarnya tidak begitu tergantung skala dan dapat di-overlay ke skala berapapun.

3. Simbol yang menunjukkan otoritas

Dalam peta rupabumi seharusnya dibedakan antara simbol batas administrasi yang sifatnya masih sementara dan belum bisa dijadikan referensi dan batas adminis-trasi yang sudah ditegaskan serta diukur di lapangan. Simbol juga sebaiknya menunjuk-kan tingkat akurasi yang dimiliki sesuai sumber data (dari kartometri, fotogrametri, inderaja atau terrestris/GPS).

Gambar 2. Contoh peta lokasi 30 pilar batas antara Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung

Page 8: aspek_taswil

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah � Fahmi Amhar, Tri Patmasari, Anas Kencana

8

Gambar 3. Contoh peta lokasi 33 pilar referensi penentuan batas perairan Perkembangan Masa Depan

1. Persil / Wilayah harus tanpa sisa

Pada kasus di mana hasil pengukuran sebuah persil tidak cocok dari angka luas dalam sertifikat tanah (umumnya kurang), maka yang sering dipraktekkan saat ini adalah �mengambil defisit� atau �membuat surplus� ke lahan milik umum seperti jalan atau sungai. Pemindahan ini tentu saja hanya abstrak dalam angka-angka koordinat. Akibatnya, jalan atau sungai yang dianggap �daerah tak bertuan� menjadi lebih lebar atau lebih sempit dari yang sesungguhnya.

Pertanyaannya, apakah tanah-tanah �milik umum� seperti jalan, sungai, pantai atau bahkan laut teritorial memang tidak perlu disertifikatkan atau setidaknya koor-

dinat batasnya ditetapkan? Pada negara-negara maju, luas wilayah negara adalah jumlah luas seluruh tanah yang disertifikat-kan, karena praktis tidak ada sejengkalpun tanah di negara itu yang tidak ada angka koordinat batasnya.

2. Re-Adjustment Batas

Bila ada perubahan tata ruang, misalnya ada pembangunan jalan, sehingga tanah seseorang atau suatu kampung terpotong, maka mestinya ada �re-adjustment batas�, misalnya dengan cara �tukar guling� sehingga kesatuan administratif tidak ter-ganggu (tak perlu ada enklave). Pengalaman menunjukkan, keberadaan enklave ini sering menyulitkan masyarakat baik secara adminis-trasi maupun secara sosial budaya.

Page 9: aspek_taswil

GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 1, Agustus 2001

9

3. Penyesuaian Batas dengan Kebutuhan Tata Lingkungan

Pada era otonomi daerah ini, egoisme kedaerahan bisa berbenturan dengan asas-asas lingkungan dalam pemanfaatan ruang. Sebagai contoh, bila dua daerah berbatasan pada sebuah sungai, maka sungai itu menjadi milik bersama. Komplikasinya adalah bila salah satu daerah tidak begitu peduli terhadap pencemaran sungai, daerah sebelahnya mau tak mau ikut menanggung akibatnya. Hal yang sama juga terjadi bila sungai itu panjang dan melewati berbagai daerah. Daerah hulu dipaksa melestarikan hutan lindungnya, dan karena itu relatif tidak memanfaatkan sumber daya alamnya. Bila daerah hilir keberatan ikut menanggung biaya pelestarian ling-kungan itu, maka bisa saja daerah hulu menebang hutan atau membangun industri dan daerah hilir yang menanggung pencemar-an atau banjir.

Solusi yang sering ditawarkan untuk mengatasi hal ini adalah koordinasi baik secara bilateral antar daerah maupun dikoor-dinasikan oleh pemerintah propinsi atau pemerintah pusat. Namun ada ide lain yang cemerlang meskipun mungkin perlu waktu untuk realisasinya, yaitu untuk menggabung-kan daerah-daerah yang ada dalam satu daerah aliran sungai (watershed). Karena batas watershed bisa ditentukan secara otomatis dengan DEM, maka batas admi-nistrasi �daerah baru� inipun bisa ditentukan otomatis.

Dengan batas ini maka dapat dihindari kasus-kasus sengketa daerah hulu dengan hilir atau daerah yang berbatasan dengan sebuah sungai.

Solusi untuk Indonesia

Wilayah Indonesia terdiri atas ± 17000 pulau, dengan panjang garis pantai ± 81.000 km. Saat ini secara administratif Indonesia terdiri dari 32 propinsi, 268 kabupaten, 69 kota dan 21 kota administratip. Lebih kurang sekitar 63 % kabupaten/kota memiliki pantai.

Mungkin yang kini menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kini Indonesia harus menyediakan peta-peta batas wilayah secara cepat, hemat dan akurat untuk seluruh wilayahnya?

Pembangunan kadastral nasional yang sistematis, dengan mendata seluruh persil di seluruh wilayah Indonesia � termasuk lahan-lahan umum seperti jalan, sungai, danau dan laut - harus menjadi rencana utama (grand-plan). Dalam hal ini, sebagai pendekatan pertama bisa digunakan metode pengukuran kartometris dengan memakai peta-peta yang ada. Kemudian baru pada areal yang bernilai komersil tinggi ditingkatkan lagi dengan metode fotogrametris, inderaja atau terrestris/ GPS. Yang penting database batas persil maupun batas wilayah harus mencantumkan isian akurasi, waktu dan sebagainya seperti diuraikan di muka.

Hal ini tidak bisa dihindari, mengingat bila seluruh wilayah Indonesia harus dipetakan dengan akurat, misalnya lekukan pantai dengan foto udara atau citra satelit, air surut terendah dengan data pasut dan batimetri, maka semua akan memakan waktu yang sangat lama dan biaya yang sangat besar. Jadi langkah awal adalah pengukuran kartometris menggunakan peta-peta yang sudah ada. Untuk peta batas di wilayah laut tersedia misalnya Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) 1:500.000 yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, peta Lingkungan mmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm

Page 10: aspek_taswil

Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah � Fahmi Amhar, Tri Patmasari, Anas Kencana

10

Pantai Indonesia (LPI) 1:50.000 yang baru sebagian kecil wilayah pesisir, dan peta navigasi 1:200.000.

Penetapan yuridis dilakukan secara paralel dengan metode pengukuran, umum-kan batas sementara (terutama untuk batas alam atau buatan yang bisa direkonstruksi), beri waktu untuk dikomentari pihak yang terkait, bila belum disetujui maka lakukan negosiasi dan kompromi di lapangan untuk mencari kesepakatan.

Selebihnya batas wilayah dengan hierarki yang lebih tinggi ditetapkan secara hierarkis ke atas.

Batas ini setelah divalidasi kemudian ditetapkan dalam basis data, kemudian dari situ baru diturunkan peta-peta batas secara otomatis disertai simbol yang memadai.

Pekerjaan ini semua harus didukung perundangan yang mengharuskan mencan-tumkan tingkat akurasi dalam data spasial seperti luas tanah dalam sertifikat tanah ataupun luas wilayah pada monografi wilayah, serta memungkinkan revisi dengan data yang lebih akurat lagi.

References

Amhar, F. (2000): Kualitas Data, Akurasi dan Skala Peta. FIT ISI 2000: 92-100.

Djunarsjah, E. (2000): Aspek-aspek Geodetik dalam Penetapan Batas Wilayah Laut Propinsi di Indonesia. FIT ISI 2000: 4-8.

Kresnawati, D., H. Warsito, S. Sutisna (2000): Suatu Pemikiran: Pemanfaatan Foto Udara Sebagai Pendekatan Secara Visual Penegasan Batas Wilayah. FIT ISI 2000: 4-8.

Patmasari, T., A. Kencana, E. Artanto (2000): Tantangan Pemetaan Batas Wilayah dalam Rangka Otonomi Daerah. FIT ISI 2000: 42-45.