Aspek Sosial Di Balik Zakat
-
Upload
ameersabry -
Category
Documents
-
view
155 -
download
17
Transcript of Aspek Sosial Di Balik Zakat
ASPEK SOSIAL DI BALIK ZAKAT
Sebuah Kritik Atas Penyaluran Zakat
Masjid Jogokaryan
Muhamad Ali Sahbana
Alumni Program Studi Sosiologi Agama
Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstrak
Dengan adanya kejadian-kejadian yang tidak pernah di inginkan manusia khususnya umat Islam
mengenai pembagian zakat yang terjadi di Pasuruan. Tragedi pembagian zakat di Pasuruan yang
menewaskan 21 orang merupakan sebuah potret kemiskinan. Ini adalah gambaran memilukan
bagi bangsa yang besar dengan potensi kekayaan alam melimpah. Kaum miskin rela menderita
dan mati hanya mendapat zakat. Inilah wujud kemiskinan paling nyata dalam hidup manusia.
Zakat adalah sebuah amal soleh yang diwajibkan bagi orang yang mempunyai harta yang
melimpah atau lebih untuk dikasihkan kepada orang-orang yang membutuhkan.. Tapi sebaliknya
zakat yang selalu diidam-idamkan kaum muslim untuk mengentaskan kemiskinan masih belum
berjalan dikalangan orang-orang yang mempunyai harta yang melimpah. Zakat adalah sebuah
ajaran agama yang diagung-agungkan oleh umat Islam untuk mensejahterahkan umat dan
mengurangi angka kemiskinan yang ada di lingkungan sekitar.
Jika dikaji lebih lanjut mengenai harta kekayaan itu sendiri ada harta orang fakir, miskin, duafa’,
amil, muallaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah, ibnu sabil. Zakat adalah sebuah aturan Islam
yang saling berhubungan dengan ibadah. Ibadah sendiri tidak hanya dengan berurusan dengan
tuhan saja melainkan banyak bentuk ibadah yang berhubungan dengan masyarakat yaitu salah
satunya adalah mengeluarkan zakat.
Pendahuluan
Tragedi pembagian zakat di Pasuruan yang menewaskan 21 orang merupakan sebuah potret
kemiskinan. Ini adalah gambaran memilukan bagi bangsa yang besar dengan potensi kekayaan
alam melimpah. Kaum miskin rela menderita dan mati hanya mendapat zakat. Inilah wujud
kemiskinan paling nyata dalam hidup manusia. Zakat adalah sebuah amal soleh yang di wajibkan
bagi orang yang mempunyai harta yang melimpah atau lebih untuk di kasihkan kepada orang-
orang yang membutuhkan. Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu
al-barakatu ‘keberkahan’, al-namaa ’pertumbuhan dan perkembangan’, at-thaharatu ‘kesucian’,
dan ash-shalahu ‘keberesan’. Majma Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasith,(Mesir: Daar
el-Ma’arif, 1972): Juz I.
Tapi sebaliknya zakat yang selalu di idam-idamkan kaum muslim untuk mengentaskan
kemiskinan masih belum berjalan dikalangan orang-orang yang mempunyai harta yang
melimpah. Sebagaimana yang di firmankan oleh Allah swt yang artinya : “pungutlah zakat dari
harta benda mereka, yang akan membersihkan dan mensucikan mereka!”. Sangat menarik jika
melihat kritik Ibn Khaldun mengenai kejadian atau fenomena sosial. Keberadaan masyarakat
merupakan fakta. Menurut Ibn Khaldun, sosiologi membahas asal-usul masyarakat, mengamati
hal-hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan perbedaan diantara berbagai kelompok sosial
dan pola kehidupan mereka.
Tulisan ini membahas pengaruh lingkungan terhadap lingkungan sosial, mengkaji asal-usul
fenomenafenomena ekonomi sekaligus mencoba untuk menjelaskan sebagian dari fenomena-
fenomena ini beserta hukum-hukum yang mengantarnya. Dalam hal ini, refleksi bersama yang
harus di tuntaskan adalah bagaimana mengelola zakat sebagai bagian upaya pengentasan
masyarakat dari kemiskinan. Zakat tidak boleh lagi menjadi petaka, tetapi menjadi anugerah bagi
orang miskin atau orang yang membutuhkan. Zakat merupakan potensi besar yang dimiliki Islam
untuk menciptakan keadilan sosial, terutama untuk membantu fakir miskin.
Islam sebagai agama universal memiliki mekanisme yang jelas tentang distribusi kekayaan untuk
keadilan sosial. Karena dengan membayar zakat, terjadi sirkulasi kekayaan dalam masyarakat,
yang tidak saja di nikmati orang kaya tapi juga di nikmati orang miskin. Islam memiliki bentuk
hubungan antara Khalik dengan makhluk-Nya; hubungan antara sesama mahluk, dengan semesta
alam dan kehidupan; hubungan antara individu dan masyarakat, antara individu dan negara, antar
seluruh umat manusia, dan antar generasi satu dengan generasi yang lain. Semuanya itu
dikembalikan kepada konsep menyeluruh terpadu itu, terpadu dalam seluruh garis-garis dalam
cabang-cabang dan perinciannya. Dan itulah yang disebut sebagai filsafat Islam, atau lebih sering
disebut “Konsep Islam”. Keadilan Sosial Dalam Islam,Sayyid Quthb.
Dalam hal ini, refleksi bersama yang harus di tuntaskan adalah bagaimana mengelola zakat
sebagai bagian upaya pengentasan masyrakat dari kemiskinan. Zakat tidak boleh lagi menjadi
petaka, tetapi menjadi anugerah bagi orang miskin. Meskipun demikian, fakta menunjukkan
kondisi amat ironis. Hingga sampai kini belum ada satu negara Islam pun yang mampu
mengumpulkan zakat sampai 2,5 persen dari total penduduk domestik bruto (PDB)-nya. atau
yang tidak saja di nikmati orang kaya, tetapi juga dinikmati orang miskin. Padahal, jika dikelola
dengan baik, zakat dapat diarahkan pada usaha pemerataan ekonomi masyarakat. Jika zakat
dapat dikelola efektif dan efisien,
Terjadi keseimbangan sirkulasi ekonomi masyarakat. Masyarakat miskin akan mendapatkan
haknya secara lebih baik guna memenuhi kebutuhan dasar. Dengan demikian, zakat akan
berfungsi sebagai salah satu instrumen mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, pemerataan
pendapatan, dan mempersempit kesenjangan sosial antara kelompok kaya dan miskin. Zakat
dapat membentuk integrasi sosial serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Untuk
mencapai cita-cita keadilan sosial, zakat harus dikelola dengan baik dan menggunakan sistem
yang akuntabel. Sayang, pengelolaan zakat masih berkutat dalam bentuk-bentuk konsumtif-
karikatif yang tidak menimbulkan dampak sosial berarti. Zakat hanya diberikan langsung oleh
tiap pembayar kepada penerima sehingga zakat tidak menjadi sistem sosial yang mampu
melakukan transformasi sosial. Bahkan, pembagian zakat justru menimbulkan malapetaka
kemanusiaan.
Pokok Masalah
a) Bagaimana konstruksi filsafat sosial zakat dalam teks suci konteks umat Islam modern?
b) Bagaimana transformasi distribusi zakat di masjid Jogokaryan Yogyakarta?
Kerangka Teoritik
Prinsip dasar Islam dalam pengaturan kehidupan publik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
(syiasah) adalah mewujudkan kemaslahatan umat atau kesejahteraan rakyat secara umum (al-
maslahal ‘ammah). Tujuan subtantif universal di syari’atkan hukum-hukum negara (syari’at)
adalah mewujudkan kemaslahatan manusia. Baik kemaslahatan di dunia maupun akhirat.
Kemaslahatan itu utamanya di tujukan untuk menjamin hak-hak dasar yang meliputi : a)
keselamatan agama (hifzu ad-din), b) kamaslahatan fisik atau jiwa (hifzu an-nas), c) keselamatan
keluarga dan keturunan (hifzu an-nasl), d) keselamatan harta benda (hifdzu al-mal), e)
keselamatan akal atau fikiran (hifzu al-‘aql). Pengelolaan zakat secara maksimal dan profesional
merupakan salah satu wujud dari upaya malaksanakan kemaslahatan ummah. Melalui
penghimpunan dan distribusi zakat secara tepat maka dengan sendirinya menjaga keselamatan
fisik atau jiwa (hifzu an-nas) dari umat muslim yang berada dalam ekonomi yang tidak mampu
dapat di bantu.
Zakat juga merupakan ibadah mu’amalah ijtima’iyyah yang kewajiban di laksanakan sepanjang
masa, maka hukumnya harus selalu dinamis, universal, dan kondisional sesuai dengan kebutuhan
manusia. Untuk itu dalam penghimpunan dan distribusi dana zakat perlu dilakukan
rekonseptualisasi, redefinisasi dan reinterpretasi terutama pada aspek-aspek subtansi yang akan
mengandung muatan dilalah zanniyah dan umum. (Abdurrachman Qadir, 2001: 182‐183). Zakat
adalah sebuah aturan Islam yang saling berhubungan dengan ibadah. Ibadah sendiri tidak hanya
dengan berurusan dengan tuhan saja melainkan banyak bentuk ibadah yang berhubungan dengan
masyarakat yaitu salah satunya adalah mengeluarkan zakat. Zakat tidak hanya untuk
memebersihkan diri dari dosa, melainkan ada keadilan sosial didalamnya.
Titik pijak teori Ibn Khaldun adalah bahwa masyarakat merupakan fenomena alamiah. Ia bahkan
menunjukkan faktor-faktor utama yang menyebabkan manusia bersatu untuk hidup dalam
masyarakat. Pertama adalah alasan untuk saling menolong secara ekonomis dimana hasil-hasil
dibentengi oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh pembagian kerja. Di puncak
wacana persiapan utamanya, yang dilukiskan di awal Muqaddimah, Ibn Khaldun mengatakan :
“Kekuatan individu yang terisolir tidak akan cukup untuk mencapai kuantitas bahan makanan
yang ia butuhkan untuk mempertahankan hidupnya”. Kondisi saling menolong ini menjamin
kebutuhan hidup individu yang begitu banyak jumlahnya. Alasan-alasan ekonomi ini dapat
ditambah dengan alasan-alasan keamanan yang menyebabkan-menyebabkan individu berkumpul
dalam suku-suku atau bersatu di kota-kota untuk mempertahankan diri dari serangan. Fenomena
diatas tidak jauh dari kondisi yang terjadi realitas sekarang yang notabene negeri yang kaya raya
dengan sumber daya alam , gemah ripah loh jinawi.
Filsafat sosial Locke didasarkan pada prinsip-prinsip liberal untuk mendukung pemerintahan
yang konstitusional dan demokratis. Locke merasa bahwa hak alami adalah serangkaian hak-hak
spesifik yang terkait dengan kewajiban terhadap orang lain. Demokrasi macam apa yang
dibayangkan Locke? Menurut prinsip-prinsip dasar filsafatnya yang cenderung luwes, setiap
orang memiliki hak alami untuk hidup dan hak atas tubuhnya sendiri yang tidak bisa dipisahkan
dari dirinya. Sekali lagi, Locke berpendapat bahwa dalam lingkungan alami, tak seorang pun
punya hak untuk menguasai lahan lebih dari yang bisa dimanfaatkan oleh dirinya sendiri dan
keluarganya: lahan yang berlebihan itu akan sia-sia. Locke juga berpendapat bahwa dalam
lingkungan alami tidak seorang pun yang punya hak untuk mengambil apapun sampai
sedemikian banyak sehingga tidak ada yang tersisa bagi orang-orang lain.
Dari kesatuan besar ini muncullah ketentuan dan ketetapannya, arah dan batas-batasnya,
pandangan-pandangannya dalam politik dan pengaturan harta kekayaan, pembagian harta
rampasan dan utang-piutang, dan dalam hak dan kewajiban. Dalam prinsip raksasa inilah
terkandung seluruh bagian-bagian dan rincian-rinciannya. Disaat kita telah dapat memahami
teori integral yang ada dalam pandangan Islam tentang alam, kehidupan dan manuasia, maka di
saat yang sama kita bisa pula menghayati garis-garis dasar bagi keadilan sosial dalam Islam.
Sepanjang belum tercipta keadialan kemanusiaan yang menyeluruh, maka tidak mungkin
terwujud keadilan dalam bidang ekonomi yang terbatas itu. Sehingga dengan demikian, Islam
mencakup semua fenomena kehidupan dan segala sesuatu yang ada disekitarnya, sebagaimana
halnya ia mencakup masalah ibadah dan amaliyah, jiwa dan hati nurani.
Nilai-nilai yang mengandung keadilan ini bukanlah semata-mata nilai ekonomi belaka, dan juga
bukan sekedar nilai-nilai material pada umumnya. Tetapi keadilan ini mencakup seluruh nilai-
nilai maknawiyah dan ruhaniyah. Secara fitrah, cita dan sabda keadilan itu tersirat melalui ilham
ketuhanan pada nurani setiap manusia. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa keislaman manusia
pada dimensi ini, tidak lain adalah keislaman (ketundukan)-nya pada “suara nuraninya” sendiri
untuk menegakkan keadilan pada satu pihak, dan menghindarkan kezaliman pada pihak lain.
Seperti halnya ”suara nurani” untuk mengenal dan luluh dalam Tuhan itu bersifat universal,maka
suara nurani untuk cinta keadilan pun demikian. Sementara itu, perintah zakat dimaksudkan
untuk mengaktualisasikan keislaman jati diri manusia pada dimensi kesadaran etis dan
moralitasnya yang berdimensi sosial. Yang pertama, merupakan sisi keislaman yang terkait
dengan tuhan sebagai objek pencarian personal yang subjektif dan transenden, sedangkan yang
kedua, merupakan sisi keislaman yang terkait dengan Tuhan sebagai cita pencarian sosial yang
objektif dan immanent (keadilan).
Kebijaksanaan Islam dalam Pendistribusian Dana Zakat
Al-Qur’an dan Sunnah selalu menggandengkan shalat dengan zakat. Ini menunjukkan betapa
eratnya hubungan antara keduanya. Keislaman seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan
kedua hal tersebut. Shalat merupakan tiang agama; siapa yang menegakkannya berarti
menegakkan agama dan siapa yang meruntuhkannya berarti meruntuhkan agama. Sementara itu,
zakat merupakan jembatan menuju Islam. Siapa yang melewatinya akan selamat sampai tujuan
dan siapa yang memilih jalan lain akan tersesat. “Abdullah bin Mas’ud mengungkapkan, “Anda
sekalian diperintahkan menegakkan shalat dan membayarkan zakat. Siapa yang tidak
mengeluarkan zakat maka shalatnya tidakakan diterima.”41 Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orangorang yang kusyu’ dalam
shalat dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (al-Mukminun: 1-4). “untuk menjadji petunjuk dan
berita gembira untuk orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang mendirikan
sembahyang dan menunaikan zakat...” (an-Naml: 2-3).
Semua teks diatas menegaskan tingkat kepastian wajibnya zakat. Zakat bukan hanya kewajiban
biasa melainkan salah satu dari lima pilar banguna Islam. Keabsahannya sebagai salah satu tiang
Islam tidak diragukan lagi. Ia tidak perlu ditopang oleh berbagai dalil karena hak itu telah
ditegaskan oleh berbagai ayat Al-Qur’an secara gamblang. Di samping itu, ia di dukung
beberapa Sunnah Nabawiyah yang mutawatir serta konsensus umat sejak zaman Salaf sampai
kini. Dalam hal pembagian zakat, Islam memiliki kebijaksanaan arif yang sejalan dengan sistem
politik dan sistem keuangan modern. Sementara itu, kebanyakan orang mengira bahwa segala
sesuatu yang dilahirkan oleh berbagai sistem dan legislasi modern ciptaan baru.
Pada zaman jahiliyah dan zaman kegelapan di Eropa, manusia telah memungut pajak dan bea
dari petani, pengusaha, pengrajin, pedagang, dan kalangan profesional lainnya. Namun, pada
akhirnya, uang hasil usaha siang dan malam itu mengalir ke kantong para penguasa dan raja.
Mereka menggunakannya untuk pesta pora, menyenangkan para pendukungnya, dan
memperindah istana. Jika uang pajak atau bea itu berlebih, mereka menggunakannya untuk
memperluas dan memperindah kota demi menarik simpati rakyat banyak. Kalau masih berlebih
juga, uang itu digunakan untuk membangun kota baru. Mereka sama sekali lupa akan desa-desa
tertinggal, tempat pajak dan bea ditarik. Ketika Islam datang, ia memerintahkan kaum muslimin
untuk mengeluarkan zakat dan menyuruh penguasa untuk memungutnya. Ia merupakan
pembersih harta kaum berpunya dan penyelamat kaum melarat yang membutuhkannya. Dengan
demikian, keadilan dan saling membantu menyebar di kalangan masyarakat Islam.
Di samping itu, Rasulullah saw mengirim utusannya ke berbagai daerah untuk memungut zakat.
Beliau memerintahkan mereka agar memungut zakat dari kaum berada di daerah tersebut dan
membagikannya kepada kaum fakir yang ada disana. Hal ini dapat kita lihat dalam hadits
Mu’adz bin Jabal ketika di utus Rasulullah saw ke Yaman untuk memungut zakat dari orang-
orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Sesuai
dengan perintah Nabi saw, Mua`dz bin Jabal memungut zakat dari kaum kaya di Yaman dan
membagikannya kepada kaum fakir di negeri itu pula. Diriwayatkan dari Abu Jahifah bahwa ia
berkata, “Pernah datang kepada
kami utusan Rasulullah saw, lalu ia memungut zakat dari orang-orang kaya dari kalangan kami
pula. Ketika itu, saya seorang anak yatim yang masih kecil. Untuk memberi saya sebagian dari
zakat berupa seekor unta betina”.
Dan dalam hadits sahih disebutkan bahwa seorang Badui bertanya kepada Rasulullah SAW,
“Demi Allah yang telah mengutusmu, apakah Allah menyuruhmu memungut zakat dari orang-
orang kaya dari kalangan kami lalu membagikannya kepada orang-orang miskin di kalangan
kami pula?”Beliau menjawab,”Ya”. Dirawikan dari Amran bin Hasrin r.a. bahwa beliau pernah
diutus Ziyad bin Abih atau oleh salah seorang penguasa Bani Umayyah untuk memungut zakat.
Ketika kembali, ia ditanya, “Mana harta yang kamu kumpulkan?” Ia menjawab “Apakah anda
mengutus saya mengumpulkan harta? Saya telah memungut dan membagikannya zakat seperti
yang dilakukan Rasulullah saw.” (Dirawikan oleh Abu Daud dan Ibn Majjah, lihat Nailur-
Authar, Jilid IV,). Disepakati bahwa zakat di distribusikan di daerah zakat itu di pungut. Namun,
disepakati pula bahwa bila penduduk suatu daerah—atau sebagian dari mereka—tidak lagi
membutuhkannya karena berkecukupan, atau karena yang berhak hanya sedikit sedangkan zakat
terkumpul dalam jumlah banyak, maka boleh membagikannya di kampung lain. Jika tidak
demikian, pendistribusian zakat diserahkan kepada imam yang berwenang sesuai dengan tingkat
kebutuhan atau jarak wilayah.
Zakat Merupakan Jaminan Sosial
Dapat dikatakan, zakat merupakan undang-undang jaminan sosial pertama yang tidak
mengandalkan sedekah atau sumbangan suka rela masyarakat. Undang-undang ini ditegakkan
atas bantuan pemerintah untuk untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, baik sandang, pangan,
papan, dan kebutuhan primer lainnya. Ini berlaku bagi seseorang secara pribadi berikut semua
tanggungannya tanpa adanya pemborosan dan penghematan. Hal ini berlaku bukan hanya bagi
kaum muslimin, namun mereka yang hidup di bawah naungan negara Islam, baik Yahudi
maupun Nasrani. Inilah jaminan sosial dalam Islam yang belum terpikir oleh negara-negara
Barat hingga saat belakangan ini. Kalaupun kalangan Barat mulai memperhatikannya, ia belum
sampai kepada tingkat yang di ajarkan Islam, yaitu jaminan terhadap semua kebutuhan seseorang
beserta keluarganya. Di samping itu, bangsa Barat menempatkan jaminan sosial bukan karena
rasa sayang kepada kalangan lemah semata. Ia didorong oleh berbagai revolusi dan gelombang
paham komunisme-sosialisme. Perang dunia II juga mendorong mereka untuk mengulurkan
tangan kepada masyarakat untuk membujuk mereka agar bersedia zakat jiwa atau fithrah dan
zakat harta benda atau mal. Zakat yang pertama merupakan perintah yang terbanyak ditunaikan
orang (kemungkinan besar karena ringan dan sangat sederhana).
Zakat fithrah harus dibayar oleh setiap Muslim, baik kecil maupun dewasa, secara periodik pada
setiap bulan Ramadhan, tepatnya di malam Lebaran hingga imam Shalat Idul Fitri naik ke atas
mimbar. Berbeda dengan zakat jiwa, pada zakat mal agaknya tidak semua orang memiliki
kesadaran penuh untuk membayarkannya (kemungkinan karena berat dan perhitungannya
memang tidak gampang). Zakat mal hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah dewasa, tentunya
berkemampuan. Menyangkut waktu pembayaran zakat mal, Rasulullah mengategorisasikannya
pada dua bagian.
Pertama, zakat yang harus dibayar secara berkala, biasanya mengena kepada zakat niaga
(termasuk jasa atau profesi), mata uang, dan ternak. Kedua, zakat yang harus dibayar pada saat
harta yang terkena zakat itu tiba di tangan, bersifat insidental, lazimnyamengena pada hasil
pertanian, hasil perkebunan, hasil tambang, dan harta temuan. Karena dari sudut filosofisnya, di
samping berfungsi sebagai penyucian jiwa dan harta benda, zakat juga berfungsi, terutama zakat
mal, sebagai sarana pemberdayaan ekonomi rakyat dan pencapaian keadilan sosial. Di samping
sebagai pilar ekonomi Islam dipandang berpotensi untuk menunjang bagi tercapainya
kesejahteraan.
a. Visi Sosial Zakat
Di dalam Alquran ada dua perintah yang disebutkan secara bersamaan dalam 82 ayat, yaitu
shalat dan zakat. Dua perintah ini dalam banyak ayat Alquran telah menunjukkan diri sebagai
sentra dari seluruh jalan keislaman itu sendiri. Dalam hadis kedua perintah diletakkan sebagai
rukun Islam segera setelah pengakuan terhadap eksistensi keesaan Tuhan (syahadat) dan dalam
urutan yang mendahului puasa dan haji. Dalam analisis Mas'udi (1991:29), perintah shalat
dimaksudkan untuk meneguhkan keislaman (kepasrahan) pada Tuhan yang bersifat personal.
Sementara itu, perintah zakat dimaksudkan untuk mengaktualisasikan keislaman yang bersifat
sosial. Dari paradigma ini, kita dapat mengembangkannya secara lebih jauh bahwa Islam benar-
benar ingin memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan sosial yang di dalamnya zakat
merupakan salah satu sarananya. Abd Karim al-Tawati dalam Mafhum al-Zakat (1986: 27)
mengatakan bahwa zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk menegakkan keadilan dan
kesejahteraan sosial. Dalam konsep zakat tampak sekali pemihakan kelas sosial kepada golongan
yang lemah dan terpinggirkan.
Secara vokal Alquran menyerukan agar kekayaan tidak boleh
hanya berputar terbatas di kalangan kelas kaya (QS: 59 :7). Islam melarang orang-orang yang
menumpuk-numpuk harta (QS: 104: 1-4). Tegasnya, Islam mengecam monopoli dan oligopoli
dalam sistem ekonomi. Islam menghendaki adanya distribusi yang adil menyangkut kekayaan.
Dengan visi sosial seperti inilah kehadiran zakat dapat dipahami.
Zakat datang bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, baik sedikitnya maupun
banyaknya, melainkan untuk mencegah terjadinya ketimpangan, di mana sebagian membubung
dengan kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru tersungkur ke bawah
dengan kemelaratan yang dideritanya. Bermula dari ketimpangan dalam hal ekonomi inilah,
ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) kemudian mengikuti. Pada waktu
kekayaan menembus batas teratas sehingga menyebabkan kesenjangan kelas, saat itulah
golongan yang memonopoli dan mengonsentrasikan kekayaan itu menjadi musuh-musuh Islam
(Kuntowijoyo, 1996:300).
Alquran menyerukan agar kita menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah.
(QS: 4: 75).
b. Strategi pengelolaan zakat
Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda (materi). Seseorang yang telah
memenuhi syarat-syaratnya dituntut menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan
hatinya, tetapi kalau perlu harus dengan tekanan. Zakat dapat dituntut oleh kaum miskin, bahkan
dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh negara. Dalam tataran ini, Nabi Muhammad SAW
mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban yang tak dapat ditawar atas orang yang telah
memiliki kemampuan tertentu. Garaudy (1981: 32) mengatakan zakat bukan suatu karitas, tetapi
suatu bentuk keadilan internal yang terlembaga, sesuatu yang diwajibkan sehingga dengan rasa
solidaritas yang bersumber dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme dan kerakusan
dirinya yang pada gilirannya dapat terbentuk formasi sosial yang berkeadilan.
Dengan argumen di atas, dalam pengelolaan zakat kita tidak bisa hanya mengandalkan analisis
normatif, melainkan juga harus berpijak pada landasan realitas empiris. Dengan demikian, ada
beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama, sudah saatnya kita melakukan sensus zakat
yang dapat mendeteksi para pembayar zakat (muzaki) hingga ke pelosok pedesaan. Lewat sensus
ini pula kita dapat mengetahui mereka yang berhak menerima zakat. Kedua, wilayah zakat perlu
dibagi-bagi atas dasar perbedaan tingkat kemakmuran, untuk distandarkan berapa margin
kewajiban zakat pada masing-masing daerah. Masing-masing umumnya sudah memiliki data
dasarnya, berupa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), data mengenai penghasilan
rata-rata daerah, tingkat ketimpangan pendapatan daerah, dan sebagainya.
Untuk ini harus dilakukan perhitungan, kemudian hasil perhitungan itu dijadikan acuan oleh
panitia zakat sehingga distribusi zakat menjadi tepat sasaran, tidak sekadar membagi-bagi tanpa
memerhatikan fungsional dan tidaknya zakat buat pemberdayaan ekonomi rakyat pada level
bawah. (Effendi, 1999). Ketiga, perlu untuk membentuk lembaga zakat lintas SARA yang
keberadaannya dikukuhkan oleh UU Zakat. Lembaga zakat yang memiliki kewenangan formal
ini, bukan saja dapat menekan pihak yang enggan membayar zakat, melainkan juga dalam hal
pentasarufan (pendayagunaan)
pun dapat difungsikan secara nyata sebagai upaya membangun tata kehidupan sosial yang lebih
adil buat semuanya. Keempat, perlunya merelatifkan besaran tarif atau kadar zakat yang harus
dikeluarkan. Apabila ada variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat
pada masyarakat tertentu, tidak ada halangan menaikkan dan begitu juga sebaliknya untuk
menurunkan tarif yang telah ditentukan Nabi Muhammad, yakni 2,5-10 persen.
Dalam konteks ini, Madar F. Mas'udi, Emha Ainun Nadjib, dan Jalaluddin Rakhmat pernah
mengusulkan menaikkan tarif zakat menjadi 20 persen atas berbagai jenis pendapatan yang
diterima oleh kalangan profesional, seperti dokter dan konsultan.Kita perlu meningkatkan fungsi
zakat yang selama ini lebih sebagai aktivitas personal menjadi sebuah gerakan sosial yang
menyentuh realitas sosio-struktural demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Pada
ujungnya, bagaimana agar hasil pungutan zakat itu dapat berdampak langsung terhadap
masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. (Mashudi Umar, 2008). Di Barat, jaminan
sosial pertama muncul secara resmi pada tahun 1941 dengan dicapainya kesepakatan antara
Amerika dan Inggris. Kedua negara sepakat untuk menciptakan jaminan sosial bagi
masyarakat,yang di kenal dengan nama Piagam Atlantik.
Jadi, Islam jauh mendahului bangsa Barat. Dalam Islam, jaminan sosial diundangkan oleh agama
dan diatur oleh negara. Memungut zakat dan membagikannya kepada mereka yang
membutuhkan berarti membebaskan kaum miskin dari cengkeraman kaum kaya. Namun
demikian, masih ada sementara penulis—yang tidak mengacuhkan sejarah dan warisan Islam—
menganggap bahwa Eropalah yanng telah berjasa merintis pemberian jaminan sosial. Pada tahun
1952, Liga Arab mengadakan seminar di Damaskus tentang berbagai permasalahan sosial. Fokus
pembahasannya adalah masalah jaminan sosial. Dalam seminar ini, Mr. Daniel S. Girand
memberikan ceramah tentang perkembangan jaminan sosial. Ia mengatakan, pada abad-abad
yang lalu orang-orang miskin atau mereka bantuan dan mengharapkan sedekah untuk mengatasi
rasa laparnya.
Kebijakan pemerintah untuk ikut memberikan pertolongan kepada kaum miskin baru dimulai
pada abad ke-17, yang langkah-langkah rintisannya dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial
lokal. (Serial Kajian Sosial, 217). Inilah contoh ketidaktahuan tentang sejarah Islam dan sistem
zakat. Dari segi kepastian dan ketetapannya, zakat berbeda dengan pajak. Bila petugas
pemerintah lalai dalam memungut dan membagikan zakat, tidak sah keislamannya dan tidak
sempurna keimanannya. Ia harus menunaikan zakat untuk menyucikan diri, membersihkan harta,
dan mencari retu Rabbnya. Seseorang diharuskan mengeluarkan zakat dengan senang hati tanpa
mengharapkan pujian. Sementara itu, mereka yang membutuhkan dapat mengambil haknya
dengan wajar karena zakat tersebut adalah hak mereka sebagaimana ketetapan Allah SWT. Umat
Islam pun dituntut berjuang membela kelestarian zakat tersebut.
Mengenai karakter khusus jaminan sosial modern, Mr. Daniel S. Girand menjelaskan, jaminan
sosial ini -- berbeda dengan berbagai sistem manajemen bantuan untuk kaum miskin dari masa
sebelumnya—tidak hanya diberikan kepada kaum miskin. Mereka yang berpenghasilan cukup,
misalnya, boleh juga menikmatinya jika memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Jaminan
ini mempunyai sumber dan tempat penyaluran tertentu yang bersifat tetap. Dengan demikian,
tidak akan muncul perasaan malu atau terhina di kalangan mereka sebagai penerima bantua --
juga terpelihara. Menurut Daniel S. Girand, ciri-ciri khusus jaminan sosial modern tersebut
belum dikenal oleh masyarakat pada masa lalu. Pendapatnya bisa diterima jika dibatasi pada
kalangan bangsa Eropa.
Namun, kalau masyarakat itu mencakup umat Islam, pendapatnya tidak benar. Semua ciri
tersebut, bahkan yang lebih baik dari pada itu, tertera jelas dalam sistem zakat yang di
syari`atkan oleh Islam 14 abad yang lalu. Dalam Islam, zakat merupakan hak tertentu yang sudah
pasti. Negara diminta memungut dan membagikannya kepada mereka yang tidak berpenghasilan,
atau yang memiliki penghasilan tetapi tidak mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya.
Lebih dari itu, zakat bertujuan mengangkat kehidupan kaum papa kepada kehidupan yang layak
dan menjadikan mereka orang yang berpunya. Zakat bertujuan mempersempit jarak antara kaum
kaya dan kaum miskin. Para pelopor dan pendukung jaminan sosial modern tidak akan pernah
sampai kepada tingkat ini. Didalam struktur keagamaan Islam, tidak dikenal dikotomi antara
domain duniawi dan domain agama.
Konsep tentang agama di dalam Islam bukan semata-mata teologi. Nilainilai Islam pada
dasarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan
budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi
sosial dan budaya dengan nilai-nilai itu. Ada beberapa tahapan dalam melakukan transformasi
nilai-nilai Islam kedalam masyarakat Islam sehingga tidak terjadi hilangnya/terkikisnya nilai-
nilai Islam pada masyarakat Islam. Pertama-tama kita harus memperhatikan apa yang paling
mendasar dari nilai-nilai Islam? Di dalam Al-Qur’an, kita seringkali membaca seruan agar
manusia itu beriman, dan kemudian beramal. Dalam surat Al-Baqarah ayat kedua misalnya,
disebutkan bahwa manusia itu menjadi muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman,
“percaya kepada yang gaib”, kemudian mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Didalam ayat
tersebut kita bisa melihat formulasi trilogi iman-shalatzakat; sementara dalam formulasi lain, kita
juga mengenal trilogi imanilmu- amal.
Kita menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal, keyakinan berujung pada aksi. Artinya
tauhid harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari: pusat keimanan Islam memang Tuhan
tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian Islam menjadikan tauhid sebagai
pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan
dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut sebagai rahmatan lil alamin, termasuk
untuk kemanusiaan. Islam adalah sebuah humanisme teosentrik, yaitu agama yang memusatkan
dirinya pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi yang mengarahkan perjuangannya untuk
kemuliaan peradaban manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang kemudian akan
ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat
dan budaya. Islam misalnya tidak mengenal sistem pemikiran panteologisme atau pemikiran
serba teologis yang cenderung meremehkan pemikiran rasio. Memang wahyu bertindak sebagai
furqan (sebagai pembeda kebenaran dari kepalsuan) dan sebagai huda (petunjuk). Namun
demikian, Al-Qur’an jelas sekali senantiasa menekankan digunakannya akal, observasi empiris
atau pengalaman dan bahkan intuisi, untuk memperoleh kebenaran atas dasar petunjuk wahyu
itu. Itulah sebabnya Islam sejalan dengan peradaban manusia. (lihat
http://Ihsansetiadilatief.blogdetik.com/2009/04/15).
Produk Baitul Maal Takmir Masjid Jogokaryan
1. Dana Bantuan
a. Bantuan Amanah ZIS (zakat, infaq, sodaqoh) adalah dana yang diperoleh dari para jamaah
masjid Jogokaryan. Dan artinya dana ini akan di tampung di yayasan baitul maal masjid
Jogokaryan yang mana dana dari jamaah masjid dan jamaah sekitarnya.
b. Bantuan dan Sumbangan. Bantuan dan sumbangan ini diperoleh dari jamaah yang sukses
didalam mengembangkan usahanya, dan dana sumbangan ini waktu dan jangkanya tidak tentu.
Bantuan ini apabila sewaktu-waktu saja oleh jamaah untuk menginginkannya.
c. Bantuan Modal Usaha Bantuan modal usaha ini adalah bantuan yang dilakukan pihak yayasan
baitul maal apabila dari jamaah yang ingin mengembangkan usahanya.
d. Bantuan Qurban adalah bantuan yang telah diberikan oleh baitul maal apabila ada yang
mengajukannya untuk dana berqurban maupun dari para jamaah yang mempunyai desa
binaannya.
e. Bantuan kepada para korban bencana alam adalah dana yang telah dikumpulkan dari pihak
yayasan ini apabila dari desa maupun wilayah yang ada yang terkena bencana alam.
2. Jenis Santunan
a. Santunan fakir miskin adalah; santunan ini diberikan kepada fakir miskin yang dilakukan oleh
pengelola baitul maal.
b. Santunan Fisabilillah santunan ini di peruntukkan orang yang memakmurkan masjid dalam
rangka mensiarkan agama Islam.
c. Santunan Mualaf dan Ibn sabil Santunan diberikan oleh orang yang dalam kesusahan ekonomi
dan kehabisan dana dalam perjalanan.
Bantuan ini di motori oleh takmir masjid, dan masyarakat sekitar Jogokaryan, guna mengadakan
penggalian dana untuk Aceh. Uang ini dikumpulkan oleh baitul maal dan kemudian dibelikan
sapi, dan di gantikan atau di wujudkan dengan makanan siap saji yaitu abon dan makanan
lainnya. Jenis-jenis bantuan yang di sediakan oleh pihak baitul maal yang diperoleh dari jamaah,
kemudian di wujudkan usaha dalam penghimpunan dana masyarakat khususnya umat Islam. Dan
kemudian dana-dana tersebut untuk dapat di salurkan kembali kepada saudara kita yang
membutuhkannya, serta dapat diperoleh kemanfaatannya bagi umat Islam nantinya, di pegang
oleh bagian kemasyarakatan.
3. Jenis Pembiayaan
a. Pembiayaan inventaris masjid Pembinaan yang diberikan kepada anggota atau pengurus
masjid yang digunakan untuk membeli segala keperluan yang rusak dalam memenuhi
kebutuhan-kebutu han masjid.
b. Pembiayaan Poliklinik.Pembiayaan ini diberikan pada pengelola klinik yang digunakan utuk
pembelian obat-obatan di UKM masjid.
c. Pembiayaan Penjaga Masjid.Pembiayan ini diberikan kepada orang yang diberi amanah dalam
menjaga masjid.
Menurut data yang diperoleh, pembiayaan ini cukup banyak dalam pengeluaran operasionalnya,
karena pada waktu itu sedang di adakan pembelian alat-alat rumah tangga, di pegang bagian
rumah tangga masjid. Dalam pembiayaan ini pihak baitul maal maupun takmir melakukan
pengecekan dan pendataaan tentang bantuan pembiayaan, santunan, beasiswa, dan bantuan
modal. Sehingga bagaimana proses penyaluran dan pelayanannya. Pengertian zakat secara
produktif artinya harta zakat yang dikumpulkan dari muzakki tidak habis di bagikan sesaat untuk
memenuhi kebutuhan yang sifatnya konsumtif sebagaimana tersebut di atas. Akan tetapi harta
zakat itu sebagian ada yang di arahkan pendayagunaannya kepada yang bersifat produktif.
Dalam arti harta zakat itu di dayagunakan (dikelola), di kembangkan sedemikian rupa sehingga
bisa mendatangkan manfaat (hasil) yang akan di gunakan dalam memenuhi kebutuhan orang
yang tidak mampu (fakir miskin) tersebut dalam jangka panjang. Dengan harapan secara
bertahap, pada suatu saat tidak lagi masuk kepada kelompok mustahiq zakat. (Muhyidin Ibn
Syaraf an: 1994).
Dari paparan tersebut tersebut di atas dapat di kelompokkan menjadi dua golongan kategori fakir
miskin, kategori pertama yaitu mereka di beri harta zakat yang cukup untuk biaya selama
hidupnya menurut ukuran umum atau wajar atau dengan harta zakat itu fakir miskin dapat
membeli tanah atau lahan untuk untuk kemudian di garapnya. Adapun kategori yang kedua fakir
miskin yang mempunyai keterampilan dan kemampuan berusaha, maka mereka diberi harta
zakat yang dapat di pergunakan untuk membeli alat-alatnya. Dalam arti apabila mereka
mempunyai keterampilan untuk berdagang, maka mereka diberi zakat yang dapat di pergunakan
untuk modal dagang, sehingga keuntungannya dapat mereka gunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang wajar.
Seirama dengan pendapat tersebut diatas, M. A. Mannan mengatakan, dana zakat dapat di
dayagunakan untuk investasi produktif, membiayai bermacam-macam proyek pembangunan
dalam bidang pendidikan, pemeliharaan kesehatan, air bersih dan aktifitas-aktifitas kesejahteraan
sosial karena zakat bukanlah pemberian berupa belas kasihan, akan tetapi merupakan hak dari
pihak-pihak tertentu yang bersangkutan langsung dengan harta tersebut. (Ali Yafie, 1994: 236).
Tujuan dari tiu semua adalah agar tidak terjadi perbedaan ekonomi di antara masyarakat secara
adil dan seksama, sehingga yang kaya tidak tumbuh menjadi semakin kaya (dengan
mengeksploitasi anggota masyrakat yang miskin) dan yang miskin semakin miskin.
(Afzalurrahman, 1996: 245-250).
4. Pendayagunaan Zakat dalam Islam
Pendayagunaan harta zakat secara umum dapat di bedakan menjadi dua macam, yaitu
pendayagunaan harta zakat kedalam bentuk konsumtif dan produktif. Maksud konsumtif di sini
adalah harata zakat yang di arahkan terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya,
seperti kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal secara wajar. Kebutuhan pokok yang
bersifat primer ini terutama di rasakan oleh kelompok fakir, miskin, garim, para anak yatim
piatu, orang jompo atau orang cacat fisik yang tidak bisa berbuat apapun untuk mencari nafkah
demi kelangsungan hidupnya, serta bantuanbantuan yang lain yang bersifat temporal (temporary
relief) atau insidental seperti; zakat fitrah, bingkisan lebaran, dan distribusi daging hewan qurban
khusus pada hari raya Idul Adha.
Secara nyata kebutuhan mereka memang nampak hanya bisa di atasi dengan menggunakan harta
zakat tersebut secara konsumtif, umpama untuk makan dan minum pada jangka waktu tertentu,
pemenuhan pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan hidup lainnya yang bersifat mendesak yang
lain, yang di pergunakan semata-mata untuk kepentingan fakir miskin. Pendapatan fakir miskin
di harapkan meningkat sebagai hasil dari produktifitas mereka yang lebih tinggi. (M. A. Mannan,
1985).
5. Islam dan Masyarakat
Didalam struktur keagamaan Islam, tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain
agama. Konsep tentang agama di dalam Islam bukan semata-mata teologi. Nilai-nilai Islam pada
dasarnya bersifat allembracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan
budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi
sosial dan budaya dengan nilai-nilai itu. Ada beberapa tahapan dalam melakukan transformasi
nilai-nilai Islam kedalam masyarakat Islam sehingga tidak terjadi hilangnya/terkikisnya nilai-
nilai Islam pada masyarakat Islam.
Pertama-tama kita harus memperhatikan apa yang paling mendasar dari nilai-nilai Islam? Di
dalam Al-Qur’an, kita seringkali membaca seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian
beramal. Dalam surat Al-Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa manusia itu menjadi
muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman, “percaya kepada yang gaib”,
kemudian mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Didalam ayat tersebut kita bisa melihat
formulasi trilogi iman-shalat-zakat; sementara dalam formulasi lain, kita juga mengenal trilogi
iman-ilmu-amal. Kita menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal, keyakinan berujung pada
aksi. Artinya tauhid harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari: pusat keimanan Islam
memang Tuhan tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia.
Dengan demikian Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara
pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks
inilah Islam disebut sebagai rahmatan lil alamin, termasuk untuk kemanusiaan. Islam adalah
sebuah humanisme teosentrik, yaitu agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap
Tuhan, tetapi yang mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia. Prinsip
humanisme teosentrik inilah yang kemudian akan ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati
dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya.Islam misalnya tidak mengenal
sistem pemikiran panteologisme atau pemikiran serba teologis yang cenderung meremehkan
pemikiran rasio. Memang wahyu bertindak sebagai furqan (sebagai pembeda kebenaran dari
kepalsuan) dan sebagai huda (petunjuk). Namun demikian, Al-Qur’an jelas sekali senantiasa
menekankan digunakannya akal, observasi empiris atau pengalaman dan bahkan intuisi, untuk
memperoleh kebenaran atas dasar petunjuk wahyu itu. Itulah sebabnya Islam sejalan dengan
peradaban manusia.
6. Solusi-Problematika
Sesungguhnya kita tak punya alasan untuk khawatir atas munculnya sekularisme jika kita yakin
bahwa Islam dapat mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai agama.
Sekularisme hanya akan muncul jika agama gagal melakukan tugas ini. Kita telah melihat dalam
sejarah Islam bahwa ilmu pengetahuan justru sangat berkembang karena dimotivasi oleh
semangat religius untuk mencapai kebenaran. Inilah bukti terbesar bahwa Islam mampu
mengadopsi ilmu pengetahuan tanpa harus mengalami kontradiksi, suatu prestasi yang gagal
dilakukan oleh agama-agama lain. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita dapat
melakukan transformasi nilai-nilai Islam pada zaman sekarang? Masyarakatnya sering disebut
masyarakat industrial atau masyarakat informasi. Strategi apakah yang harus kita lakukan untuk
melakukan transformasi dalam masyarakat seperti itu. Untuk menjawab hal itu, perlu
dipertimbangkan beberapa hal berikut. Pada dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat
normatif. Ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif itu menjadi operasional dalam kehidupan
sehari-hari.
Pertama-tama nilai-nilai normatif itu diaktualkan langsung menjadi perilaku. Untuk jenis
aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan moral praktis Al-Qur’an, misalnya untuk
menghormati orang tua. Seruan ini langsung dapat diterjemahkan ke dalam praktek, kedalam
perilaku. Pendekatan semacam ini telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Ilmu ini cenderung
menunjukkan secara langsung, bagaimana secara legal perilaku harus sesuai dengan sistem
normatif. Cara yang kedua adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif itu menjadi teori ilmu
sebelum diaktualisasikan ke dalam perilaku. Agaknya cara yang kedua ini lebih relevan pada saat
sekarang ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks
masyarakat industrial–suatu restorasi yang membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh
daripada sekedar pendekatan legal. Metode untuk transformasi nilai melalui teori ilmu untuk
kemudian diaktualisasikan dalam praksis, memang membutuhkan beberapa fase formulasi:
teologi–filsafat sosial–teori sosial–perubahan sosial. Sampai sekarang kita belum melakukan
usaha maksimal kearah sana. Bagaimana mungkin kita akan dapat mengatur perubahan
masyarakat jika kita tak punya teori sosial?
Ada beberapa tawaran alternatif yang dikemukakan Kontuwijoyo dalam me-restorasi masyarakat
agar terkait dengan ajaran Islam.
1. Perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual
ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu di dalam Al-Qur’an. Misalnya ada sebuah ayat
dalam Al-Qur’an yang melarang untuk hidup berlebih-lebihan, kalau melihat fenomena ini
secara individual kita mengutuk orang-orang yang hidup berfoya-foya dan lain sebagainya. Tapi
yang harus dicari sebenarnya adalah mencari sebab-sebab struktural kenapa gejala hidup mewah
dan berlebihan itu muncul dalam konteks sistem sosial dan sistem ekonomi ? Secara mendasar
kita melihat ada konsentrasi kapital, akumulasi kekayaan, dan sistem pemilikan sumbersumber
penghasilan atas dasar etika keserakahan. Inilah sistem yang harus kita “bongkar” karena tidak
sesuai dan sangat dikecam oleh ajaran Islam.
2. Mengubah cara berfikir subjektif kearah berfikir objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi
berfikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektif. Misalnya
tentang ketentuan zakat, secara normatif memang diarahkan untuk “pembersihan” harta kita, tapi
sesungguhnya sisi objektif tujuan zakat pada dasarnya adalah tercapainya kesejahteraan sosial.
Dari reorientasi semacam ini kita ingin mengembangkan tesis yang lebih luas bahwa Islam
benar-benar ingin memperjuangkan tercapainya kesejahteraan sosial yang didalamnya zakat
merupakan salah satu instrumennya.
3. Mengubah Islam normatif menjadi teoritis. Selama ini kita cenderung lebih menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur’an pada level normatif, dan kurang memperhatikan adanya kemungkinan untuk
mengembangkan norma-norma itu menjadi kerangka-kerangka teori ilmu. Seperti konsep fuqara
dan masakin, paling banter kita melihat sebagai orang-orang yang perlu dikasihani sehingga kita
wajib memberikan sedekah, infaq atau zakat kepada mereka. Dengan menggunakan pendekatan
teoritis akan lebih dapat memahami konsep tentang kaum fakir dan kaum miskin pada konteks
yang lebih nyata, lebih faktual, sesuai dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi, maupun kultural.
Dengan cara itu kita dapat mengembangkan konsep yang lebih tepat tentang siapa sesungguhnya
yang dimaksud sebagai fuqara dan masakin itu, pada kelas sosial dan ekonomi apa mereka dalam
suatu masyarakat dan sebagainya. Dengan demikian maka banyak disiplin ilmu yang secara
orisinal dapat dikembangkan menurut konsep-konsep Al- Qur’an.
4. Mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis, kisah tentang bangsa Israel yang
tertindas pada zaman Fir’aun sering hanya dipahami pada konteks zaman itu. Kita tidak pernah
berfikir sesungguhnya kaum yang tertindas itu sebenarnya ada di sepanjang zaman dan ada di
setiap level sosial.
5. Last but not least barangkali merupakan simpul dari keempat program diatas adalah
bagaimana merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum (general) menjadi
formulasi-formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah
mengecam orang-orang yang melakukan sirkulasi kekayaan hanya di kalangan mereka (orang
kaya).Pernyataan ini jelas bersifat umum dan normatif. Kalau ditarik secara spesifik dan empiris
itu berarti kita harus menerjemahkan pernyataan itu ke dalam realitas sekarang, bahwa Allah
mengecam keras adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi dan politik, adanya
penguasaan kekayaan oleh kalangan tertentu di lingkungan elit yang berkuasa. Dengan
menerjemahkan seperti ini maka pemahaman akan Islam menjadi kontekstual, sehingga
penafsiran semacam ini menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial, dan pada gilirannya
akan menyebabkan Islam menjadi agama yang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sosial
sekarang. Dengan menyadari akan kelemahan ini, maka kita didesak untuk segera
mengimplementasikan tawaran-tawaran diatas, pilihan-pilihan mana yang akan kita pilih semua
terpulang pada kita umat Islam. Kita harus optimis menghadapi tantangan kedepan dan tidak
perlu takut dengan tesis bahwa sekularisme akan melindas fungsi agama karena datangnya
kebudayaan yang rasional.
6. Konsepsi Zakat Produktif Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari menguraikan konsep zakat produktif pada pembahasan mengenai pembagian zakat
(mustahik).
Pemikiran tersebut dalam kitab Sabil al-Muhtadin dapat di uraikan sebagai berikut :
1. Kepada fakir atau miskin yang tidak dapat berusaha (tidak ada keterampilan) dan tidak bisa
berdagang, diberikan zakat untuk biaya hidup mereka selama sisa umur galib (umur galib 60
tahun). Kalau umur fakir atau miskin 40 tahun, maka sisa umur galib 20 tahun. Pemberian zakat
bukan lagi berupa uang tetapi berupa barang yang menghasilkan (dengan izin imam), seperti
kebun yang harga sewa atau hasilnya cukup untuk memenuhi
2. kebutuhan belanja selama sisa hidupnya. Harta zakat ini dimilikinya dan di wariskan kepada
keluarga penerima zakat.
3. Kepada fakir atau miskin yang pandai berusaha karena telah berpengalaman maka diberi zakat
untuk membeli alat-alat yang di perlukan dalam pekerjaannya meskipun jumlahnya banyak dan
harganya mahal. Pembelian alat ini pun atas izin imam.
4. Kepada fakir atau miskin yang mempunyai keterampilan lebih dari satu macam, tetapi tidak
mempunyai peralatan untuk setiap macam keterampilannya, maka di berikan zakat untuk
membeli peralatan. Apabila tidak cukup untuk mebeli peralatan dua atau lebih keterampilan,
maka dibelikan peralatan untuk satu macam keterampilan yang paling memadai baginya.
Terhadap mustahik seperti ini (poin 2 dan 3), apabila hasil usahanya belum menutupi kebutuhan
hidupnya maka dapat diberikan pula barang yang menghasilkan seperti kebun.
5. Kepada fakir atau miskin yang pandai berdagang, diberikan zakat untuk modal berdagang
dengan di perkirakan agar keuntungan yang akan di peroleh cukup untuk kebutuhan hidupnya
selam sisa umur galib. Jika mereka telah memiliki kebun dan meniagakan hasilnya namun
keuntungannya masih belum mencukupi untuk kebutuhan hidupnya, maka kepada mereka diberi
zakat untuk menambah kebunnya agar hasilnya mencukupi kebutuhan hidupnya.
6. Kepada fakir atau miskin yang bisa berdagang namun kekurangan modal. Misalkan seseorang
hanya mempunyai modal 90 dirham dan dengan modal tersebut keuntungannya tidak cukup
untuk kebutuhan hidupnya akan tercukupi, maka kepadanya diberikan zakat untuk menambah
modal.
Keuntungan Pengelolaan Zakat Melalui Baitul Maal Dibandingkan dengan pajak modern, zakat
memiliki keuntungan tertentu atas zakat, sekurang-kurangnya ada tiga hal. Pertama,
penghindaran pajak merupakan masalah serius bagi pemungutan pajak modern. Setiap orang
tahu bahwa banyak orang berusaha menghindari pembayaran pajak penghasilan dengan
memberikan keterangan palsu. Masalah paktek curang dalam hal zakat sangat kecil
kemungkinannya karena sifat religio-ekonomiknya. Tidak perlu dikatakan bahwa zakat adalah
salah satu dari lima rukun Islam. Dalam bidang ekonomi, zakat merupakan penyerahan diiri
dengan sukarela kepada kehendak Allah. Kedua, sumber utama zakat yang merupakan kekayaan
tertimbun dan tidak digunakan, dipakai untuk tujuan yang mulia. Hanya melalui zakatlah ada
kemungkinan untuk menggali kekayaan tertimbun untuk di manfaatkan bagi kesejahteraan
masyarakat yang lebih besar.
Karena zakat merupakan perintah Ilahi, maka kerja sama yang ikhlas dari pribadi yang
bersangkutan untuk mengeluarkan kekayaannya yang tertimbun dapat terjadi. Akhirnya, tujuan
zakat dan pokok pengeluarannya telah jelas diterangkan dalam kitab suci Al-Qur’an. Jadi
pemerintah tidak diperkenankan membelanjakan uang yang di pungut dari pajak zakat sengan
sesuka hatinya. Jaminan Sosial. Dewasa ini, hampir semua negeri yang maju menyerukan adanya
program jaminan sosial. Mengenai makna dan cakupan jaminan Profesor F. Benham dalam
bukunya, Economics, menyatakan: “ Negara wajib memberikan jaminan ekonomi yang
minimum bagi senua warga negaranya. Ungkapan yang biasa digunakan untuk jaminan
minimum ekonomi ini adalah jaminan sosial. Tidak ada perbedaan jelas dan tegas yang
disepakati secara umum, antara jaminan sosial dan aturan lainnya untuk mengurangi
ketidaksamaan, seperti perawatan rumah sakit, nasiat kedokteran, pengobatan dan pendidikan
cuma84 cuma, dan subsidi untuk bahan pangan serta perumahan untuk kelas pekerja. Biasanya
yang dimasukkan ke dalam aturan jaminan sosial hanyalah rencana uuntuk memberikan
kedejahteraan keuangan pada orang yang menderita kesukaran ekonomi. Program semacam itu
juga meliputi asuransi terhadap pengangguran dan si penderita sakit, kompensasi bagi para
pekerja yang mengalami kecelakaan ketika melakukan pekerjaannya, bantuan melahirkan,
tunjangan keluarga untuk anak-anak,pensiun untuk orang tua, mereka yang cidera dalam perang,
dan dalam usaha terakhir bantuan nasional.”
Kesimpulan
Dari uraian di atas inti dari zakat sebagai pokok ajaran agama Islam bahwa zakat mengandung
hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dari zakat adalah sifat-sifat rohaniah dan filosofis yang
terkandung dalam zakat. Sedangkan yang di maksud dengan tujuan zakat disini adalah sasaran
praktisnya salah satu tujuan zakat terpenting adalah mempersempit ketimpangan ekonomi dalam
masyarakat hingga batas yang seminimal mungkin. Dengan demikian secara umum, dapat di
simpulkan bahwa yang dinamakan fakir miskin yang mendapatkan harta zakat konsumtif adalah
mereka yang di kategorikan dalam tiga hal perhitungan kuantitatif, antara lain : pangan, sandang,
papan. Pangan asal kenyang, sandang asal tertutupi dan papan asal bisa untuk berlindung dan
beristirahat. Segolongan orang berpendapat bahwa peran agama adalah membangun nurani,
menghidupkan hati, dan menyuguhkan tamsil-tamsil ideal kepada umat manusia. Selanjutnya ia
berusaha mengarahkan manusia melakukan sesuatu dengan mengharapkan ganjaran Allah SWT,
atau mengarahkan dengan ancaman atau siksaan-Nya.
Di luar hal itu merupakan hak penguasa untuk menentukan, mengatur, menuntut, dan
memberikan sangsi dalam urusan politik. Barangkali pandangan itu sesuai dengan ajaran
sejumlah agama. Namun, Islam menolak mentah-mentah pandangan tersebut. Islam, dengan
kitab suci al-Qur’an, adalah agama aqidah, sistem, moral, dan undang-undang kekuasaan. Islam
tidak menempatkan masalah zakat sebagai urusan pribadi, tetapi sebagai salah satu tugas
pemerintahan. Dalam hubungan ini, Islam menyerahkan wewenang kepada negara untuk
memungut dan membagikannya kepada mereka yang berhak. Masalah ini tidak hanya di
dasarkan pada kemurahan hati individu. Sebab, terdapat sejumlah faktor yang tidak dapat di
abaikan oleh syari’at.
Daftar Pustaka
Abdul Mannan, Muhammad. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta PT. Dana Bhakti
Wakaf. 1993.
Abdul Mannan, Muhammad. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta PT. Dana Bhakti
Wakaf. 1993.
Ali, Mohammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), 1988.
Asnaini S.Ag., M.Ag. Zakat Produktif dalam Perspektif Hukum Islam, Cet.IYogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Bouthoul, Gaston. Teori-teori Filsafat Sosial Ibn Khaldun. Edisi I, Cet.I-Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1998.
Fink Hans, Filsafat Sosial Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas, Cet.I-Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Hafidhudin, Didin. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta : Gema Insani Press. 2002.
Mas’udi, F. Masdar. Menggagas Ulang Zakat Sebagai Etika Pajak Dan BelanjaNegara Untuk
Rakyat. Bandung : PT. Mizan Pustaka.2005.
Nasution, S. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2004.
Qardhawi, Yusuf. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. Jakarta: Gema Insani Press. 1995.
Quthb Sayyid. Keadilan Sosial Dalam Islam. PUSTAKA. Perpustakaan Salman Institut
Teknologi Bandung.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Jilid 3. Bandung: Alma’arif. 1986.
Soehada, Moh. Pengantar Penelitian Sosial Kualitatif, Buku Daras, Program Studi
Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2004.
Supranto, J. M.A. Teknik Sampling Untuk Survey dan Eksperimen, Cet.IIIYogyakarta: PT.
Rineka Cipta, 2000.