Aspek Hukum Kontrak Asuransi Di Indonesia

13
1 Aspek Hukum Asuransi Di Indonesia oleh Abdul Mubarok, S.H., M.H., MARS. Hukum asuransi di Indonesia dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang tertuang dalam kodifikasi Wetboek Van Koophandel (Kitab Undang Undang Hukum Dagang). Dalam WvK/KUHD diatur tentang Asuransi Komersial. Lebih lanjut tentang Usaha Perasuransian diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari 1992, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13. Kini, seiring dengan perkembangan zaman, yaitu : 1) Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 1992 menyatakan : “...selain pengelompokan jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi  berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial...” 2) Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu. 3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (3), hasil amandemen kedua 18 Agustus 2000, yang menyatakan : “Setiap orang berhak atas  jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”; dan 4) Pasal 34 ayat (2), hasil amandemen keempat 11 Agustus 2002, yang menyatakan : “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”; maka dI Indonesia selain Asuransi Komersial, dikenal juga dengan Asuransi Sosial/Jaminan Sosial. Dengan demikian prinsip-prinsip hukum asuransi komersial (Lex generalis) juga berlaku bagi asuransi sosial (lex specialis), sepanjang tidak diatur lain oleh peraturan di lingkungan asuransi sosial/jaminan sosial.

description

Artikel Ini menjelaskan tentang Aspek Hukum dalam Kontrak dengan BPJS

Transcript of Aspek Hukum Kontrak Asuransi Di Indonesia

  • 1

    Aspek Hukum Asuransi Di Indonesia oleh

    Abdul Mubarok, S.H., M.H., MARS. Hukum asuransi di Indonesia dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang tertuang dalam kodifikasi Wetboek Van Koophandel (Kitab Undang Undang Hukum Dagang). Dalam WvK/KUHD diatur tentang Asuransi Komersial. Lebih lanjut tentang Usaha Perasuransian diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari 1992, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13. Kini, seiring dengan perkembangan zaman, yaitu :

    1) Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 1992 menyatakan : ...selain pengelompokan jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial...

    2) Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.

    3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (3), hasil amandemen kedua 18 Agustus 2000, yang menyatakan :

    Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; dan

    4) Pasal 34 ayat (2), hasil amandemen keempat 11 Agustus 2002, yang menyatakan :

    Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;

    maka dI Indonesia selain Asuransi Komersial, dikenal juga dengan Asuransi Sosial/Jaminan Sosial. Dengan demikian prinsip-prinsip hukum asuransi komersial (Lex generalis) juga berlaku bagi asuransi sosial (lex specialis), sepanjang tidak diatur lain oleh peraturan di lingkungan asuransi sosial/jaminan sosial.

  • 2

    1. ASPEK HUKUM ASURANSI KOMERSIAL

    1) Asuransi komersial diatur dalam : (1) Burgerlijk Wetboek/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun

    1847 Nomor 23); (2) Wetboek Van Koophandel/Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Staatsblad

    Tahun 1847 Nomor 23, sebagaimana telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan UU Nomor 4 Tahun 1971 Tentang Perubahan Dan Penambahan Atas Ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara 2959);

    (3) Undang Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian; (4) Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang terdapat di Peraturan Pemerintah No.

    73 Tahun 1992; (5) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 yang berisikan tentang perubahan

    Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992; (6) KMK No. 426/KMK/2003 yang berisi tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan

    Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; (7) KMK No. 425/KMK/2003 yang berisi tentang Perizinan dan Penyelenggaraan

    Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi; (8) KMK No. 423/KMK/2003 yang berisi tentang Pemeriksaan Perusahaan

    Perasuransian;

    2) Pengertian Asuransi Pasal 246 KUHD/WvK, Asuransi adalah Perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenement (peristiwa tidak pasti). UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari 1992, Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun dengan karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.

  • 3

    Pasal 1774 KUH Perdata Suatu persetujuan untunguntungan (kansovereenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Jadi asuransi adalah sebuah perjanjian yang bersifat untung-untungan.

    3) Unsur Asuransi

    Asuransi harus mencakup unsur-unsur berikut ini:

    1. Penanggung dan tertanggung, atau disebut juga sebagai Subjek Hukum. 2. Persetujuan antara si penanggung dan tertanggung, 3. Benda asuransi dan kepentingan si tertanggung, 4. Tujuan, 5. Premi dan resiko, 6. Peristiwa yang tidak pasti dan ganti rugi, 7. Syarat-syarat, 8. Polis asuransi.

    4) Tujuan Asuransi a. Pengalihan Risiko

    Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung.

    b. Pembayaran Ganti Kerugian

    Jika suatu ketika sungguhsungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam prakteknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh diderita.

    5) Berlakunya Asuransi

    Hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya asuransi walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara (cover note) dan dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan polis asuransi (Pasal 255 KUHD/WvK).

  • 4

    6) Prinsip Dasar Asuransi Ada 6 prinsip dasar asuransi yang melandasi hukum Asuransi yang perlu diketahui oleh para pengguna asuransi ataupun perusahaan penyedia asuransi:

    1. Insurable Interest adalah hak pertanggungan yang muncul dari hubungan keuangan dan diakui oleh hukum.

    2. Utmost good faith memaksudkan segala sesuatu yang dipertanggungkan yang harus diungkapkan secara detil dan lengkap. Oleh karena itu, kedua belah pihak harus jujur mengenai objek yang dipertanggungkan.

    3. Proximate cause adalah kejadian yang tidak terduga yang menyebabkan kerugian, tentu tanpa adanya intervensi yang menyebabkan kerugian tersebut.

    4. Indemnity adalah tanggung jawab penanggung untuk mengembalikan posisi finansial si tertanggung ke posisi semula sebelum terjadi kerugian.

    5. Subrogation adalah hak tuntut yang dimiliki oleh tertanggung kepada si penanggung, atau sering disebut sebagai 'klaim'.

    6. Contribution adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya untuk kerja sama.

    7) Hukum Asuransi tentang Premi dan Polis Dalam Hukum Asuransi dikenal kata premi dan polis, yakni dimana premi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh si tertanggung sebagai imbalan jasa si penanggung. Sementara, polis adalah akta atau perjanjian antara si penanggung dan tertanggung.

    8) Hukum Asuransi tentang Resiko dan Evenement Dalam hukum Asuransi dikenal istilah resiko dan evenement yang adalah peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan manusia yang bisa terjadi secara tidak terduga dan hasilnya kerugian. Oleh karena itu, perusahaan Asuransi menggunakan ilmu aktuaria yang berdasarkan pada statistik dan probabilitas, namun harus berlandaskan pada Hukum Asuransi.

    2. ASPEK HUKUM ASURANSI SOSIAL

    1) Asuransi Sosial diatur dalam :

    (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);

    (2) UU RI Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256);

  • 5

    (3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan;

    (4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan;

    (5) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Tertentu;

    (6) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan;

    (7) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional;

    2) Apakah kepesertaan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah kontrak ?

    Pasal 246 KUHD/WvK dan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi) Asuransi adalah perjanjian, sedangkan berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan :

    Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas;

    Sedangkan Penjelasannya menyatakan :

    Prinsip asuransi sosial meliputi:

    1. kegotongroyongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah;

    2. kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; 3. iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan; 4. bersifat nirlaba.

    Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya,

    Maka kepesertaan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah perjanjian pula. Oleh karena itu, ketentuan dalam buku III BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi BPJS. Untuk memahami secara konprehensif tentang hubungan Peserta BPJS/SJSN dengan BPJS dan hubungan BPJS dengan Rumah Sakit selaku provider kesehatan, kita perlu mengetahui tentang asas asas perjanjian.

  • 6

    3) Asas-asas Perjanjian/Kontrak

    Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).

    (1) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) BW, yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

    Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

    a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

    Berdasarkan asas ini, setiap orang yang telah dewasa (umur 21 tahun atau telah kawin) dan mempunyai kecakapan hukum dapat melakukan perjanjian apapun sepanjang tidak dilarang (baca : tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan) (periksa pasal 1320 BW).

    Pasal 1320 BW/KUHPerdata : Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.

    (2) Asas Konsensualisme (concensualism)

    Asas konsensualisme disimpulkan dari Pasal 1320 ayat (1) BW. Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.

    Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

  • 7

    (3) Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda) Asas ini disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagai layaknya undang-undang. Selain para pihak tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) BW.

    Pasal 1338 BW : Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

    Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

    (4) Asas Itikad Baik (good faith)

    Asas ini tercantum pada Pasal 1338 ayat (3) BW: Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.

    (5) Asas Kepribadian (personality) Asas ini menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan 1340 BW. Pasal 1315 BW: Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.

    Pasal 1340 BW: Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.

    Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 BW yang menyatakan: Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.

  • 8

    4) Asas Hukum Perjanjian Menurut BPHN

    Di samping kelima asas di atas, di dalam lokakarya Hukum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen Kehakiman (17 s/d 19 Desember 1985) asas dalam hukum perjanjian terbagi atas; asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan.

    (1) Asas Kepercayaan

    Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.

    (2) Asas Persamaan Hukum

    Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

    (3) Asas Kesimbangan

    Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

    (4) Asas Kepastian Hukum

    Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

    (5) Asas Moralitas

    Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan

  • 9

    hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

    (6) Asas Kepatutan

    Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.

    (7) Asas Kebiasaan

    Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

    (8) Asas Perlindungan

    Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.

    3. ASPEK PIDANA ASURANSI Dalam sistem hukum pidana di Indonesia dikenal asas legalitas yang tercantum pada Pasal 1 KUHP, yaitu :

    Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada lebih dahulu (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege)

    Maka ada tidaknya aspek pidana di dalam perasuransian harus dikembalikan kepada UU yang mengaturnya.

  • 10

    1) UU Nomor 2 Tahun 1992 Pasal 21 : (1) Barang siapa menjalankan atau menyuruh menjalankan kegiatan usaha

    perasuransian tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).

    (2) Barang siapa menggelapkan premi asuransi diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

    (3) Barang siapa menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak, kekayaan Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).

    (4) Barang siapa menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan, atau menjual

    kembali kekayaan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang- barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

    (5) Barang siapa secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan atas

    dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).

    Pasal 22 Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, terhadap perusahaan perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan Undangundang ini dan peraturan pelaksanaannya dapat dikenakan sanksi administratip, ganti rugi, atau denda, yang ketentuannya lebih lanjut akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 23 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 adalah kejahatan. Pasal 24 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan oleh atau atas nama suatau badan hukum atau badan usaha yang bukan merupakan badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan terhadap badan tersebut atau terhadap mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana itu maupun terhadap kedua-duanya.

  • 11

    2) Bagaimana dengan SJSN-BPJS ?

    a. Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN ternyata tidak diketemukan tentang KETENTUAN PIDANA.

    b. Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS diketemukan tentang KETENTUAN PIDANA, yaitu : (1) Pasal 54 Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m adalah larangan :

    g. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan

    dihapuskannya suatu laporan dalam buku catatan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;

    h. menyalahgunakan dan/atau menggelapkan aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;

    i. melakukan subsidi silang antarprogram;

    j. menempatkan investasi aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial pada jenis investasi yang tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah;

    k. menanamkan investasi kecuali surat berharga tertentu dan/atau investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial;

    l. membuat atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam buku catatan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; dan/atau

    m. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau merusak catatan pembukuan BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial.

  • 12

    (2) Pasal 55 Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 19 ayat (1) dan (2) : (1) Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari

    Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.

    (2) Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.

    (3) UU Nomor 20 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena aset BPJS adalah aset negara (walau sudah dipisahkan) berdasarkan Pasal 41 UU 24 Tahun 2011 : Pasal 41 (1) Aset BPJS bersumber dari:

    a. modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;

    b. hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial;

    c. hasil pengembangan aset BPJS;

    d. dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau

    e. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 42 UU 24 Tahun 2011 Tentang BPJS : Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

  • 13

    HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN 1) Tenggang waktu membayar Klaim oleh BPJS

    Pasal 24 UU 40 Tahun 2004 (2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membayar fasilitas kesehatan alas

    pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak permintaan pembayaran diterima.

    Penjelasan Pasal 24 Ayat (2) Ketentuan ini menghendaki agar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial membayar fasilitas kesehatan secara efektif dan efisien. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat memberikan anggaran tertentu kepada suatu rumah sakit di suatu daerah untuk melayani sejumlah peserta atau membayar sejumlah tetap tertentu per kapita per bulan (kapitasi). Anggaran tersebut sudah mencakup jasa medis, biaya perawatan, biaya penunjang, dan biaya obat-obatan yang penggunaan rincinya diatur sendiri oleh pimpinan rumah sakit. Dengan demikian, sebuah rumah sakit akan lebih leluasa menggunakan dana seefektif dan seefisien mungkin.

    Maka UU Anti Korupsi berlaku