Aspek Hukum Kloning Manusia

23
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan, etika dan hukum merupakan beberapa norma yang mengatur peradaban manusia. Seringkali ketiganya harus berhadapan dengan ilmu pengetahuan pada posisi berseberangan, padahal ada banyak hal di dunia ini yang membutuhkan ketiganya agar ilmu pengetahuan memiliki batasan atau pengendalian; tujuannya adalah memberikan rambu-rambu kepada manusia supaya ilmu pengetahuan digunakan hanya untuk kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat bagi kepentingan umum, tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar kemanusiaan serta harkat dan martabat manusia itu sendiri (Sugiarto, 2011). Bereproduksi merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling awal. Sejak zaman pembentukan manusia, manusia sudah melakukan kegiatan reproduksi. Bahkan dalam beberapa kitab suci, Tuhan memerintahkan manusia untuk bereproduksi demi kebaikan umat manusia. Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa memiliki keturunan dalam hal ini melalui kegiatan bereproduksi merupakan hak setiap umat manusia di bumi (Niemitz, 2004). Ilmu pengetahuan modern terus berkembang. Talcott Parson menambahkan dalam teorinya “The Sick Person1

description

Referat Forensik

Transcript of Aspek Hukum Kloning Manusia

Page 1: Aspek Hukum Kloning Manusia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ilmu pengetahuan, etika dan hukum merupakan beberapa norma yang

mengatur peradaban manusia. Seringkali ketiganya harus berhadapan dengan ilmu

pengetahuan pada posisi berseberangan, padahal ada banyak hal di dunia ini yang

membutuhkan ketiganya agar ilmu pengetahuan memiliki batasan atau

pengendalian; tujuannya adalah memberikan rambu-rambu kepada manusia

supaya ilmu pengetahuan digunakan hanya untuk kebaikan dan hal-hal yang

bermanfaat bagi kepentingan umum, tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar

kemanusiaan serta harkat dan martabat manusia itu sendiri (Sugiarto, 2011).

Bereproduksi merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling awal.

Sejak zaman pembentukan manusia, manusia sudah melakukan kegiatan

reproduksi. Bahkan dalam beberapa kitab suci, Tuhan memerintahkan manusia

untuk bereproduksi demi kebaikan umat manusia. Pernyataan tersebut

menyiratkan bahwa memiliki keturunan dalam hal ini melalui kegiatan

bereproduksi merupakan hak setiap umat manusia di bumi (Niemitz, 2004).

Ilmu pengetahuan modern terus berkembang. Talcott Parson menambahkan

dalam teorinya “The Sick Person” mengenai hak untuk tidak memperoleh

keturunan, hak untuk tidak hamil, serta hak untuk menentukan jumlah anak yang

diinginkan. Konsep ini kelak mendasari beberapa norma program keluarga

berencana. Kombinasi ilmu pengetahuan lama dan modern akhirnya menetapkan

bahwa bereproduksi dan semua aspeknya merupakan hak sepenuhnya individu

bersangkutan (Moeloek, 2002; Wihel, 2005).

Namun, ilmu pengetahuan dan terutama teknologi yang terus berkembang

menyebabkan hal-hal yang dulu jelas dan mudah diselesaikan menjadi sulit dan

berada pada daerah abu-abu (grey area) atau kontroversial. Salah satu yang paling

kontroversial adalah teknik reproduksi buatan kloning. Meskipun pelaksanaannya

sudah berjalan sekitar 2-3 dekade ini, namun kontroversi di dalamnya masih

1

Page 2: Aspek Hukum Kloning Manusia

terjadi sampai hari ini. Beberapa nilai yang masih perlu mendapat kajian khusus

adalah aspek etika, moral, dan hukum. (Moeloek, 2002; Wihel, 2005).

Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui aspek legal kloning manusia dari

segi etika, moral, dan hukum dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat

terhadap teknik reproduksi kloning manusia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah aspek legal kloning manusia dari segi etika, moral, dan

hukum ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui tentang aspek legal kloning manusia dari segi etika,

moral, dan hukum.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Sebagai sumber informasi tentang aspek legal kloning manusia dari segi

etika, moral, dan hukum khususnya di Indonesia.

2

Page 3: Aspek Hukum Kloning Manusia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Aspek Legal Kloning Menurut Hukum

Pembahasan dari aspek hukum sangat terkait dengan masalah etik dan

peraturan masing - masing negara penyelenggara. Melalui keputusan etik dan

moral yang kuat, maka dibuatlah peraturan hukum tertulis yang mengikat setiap

peneliti maupun penyelenggara teknik reproduksi buatan. Pada dasarnya,

peraturan hukum dibuat sebagai imbas dari aturan etika yang ada. Begitu pula

halnya di Indonesia. Indonesia sudah memiliki beberapa aturan hukum (tertulis)

mengenai teknik reproduksi buatan sejak tahun 1992.

Berikut beberapa peraturan hukum tentang teknik reproduksi buatan di

Indonesia menurut Moeloek, 2002 :

1. Undang-undang Kesehatan nomor 16 tahun 1992, berisi :

a. Kehamilan di luar cara alami hanya menjadi jalan terakhir mendapat

keturunan pada pasangan suami-istri yang sah

b. Upaya kehamilan di luar cara alami tersebut hanya dilakukan oleh suami-

istri sah dengan ketentuan:

i. Hasil pembuahan sperma dan ovum suami istri bersangkutan, hasilnya

ditanam pada rahim istri pemilik ovum tersebut

ii. Dilakukan tenaga kesehatan yang ahli di bidangnya

iii. Pada sarana kesehatan tertentu

c. Ketentuannya diatur oleh peraturan pemerintah

2. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 72 tahun 1999 tentang penyelenggaraan

teknologi reproduksi buatan berisi ketentuan umum, perizinan, pembinaan,

pengawasan, peralihan, penutup :

a. Pelayanan teknologi buatan hanya dari suami istri bersangkutan

b. Pelayanan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas

c. Embrio yang dipindah ke rahim istri maksimal tiga, boleh empat bila :

i. Rumah sakit memiliki perawatan intensif bayi baru lahir

3

Page 4: Aspek Hukum Kloning Manusia

ii. Pasangan suami-istri sudah gagal menjalani teknik reproduksi minimal

dua kali

iii. Istri berusia lebih dari 35 tahun

d. Dilarang melakukan surogasi

e. Dilarang memperjual belikan ovum, sperma, embrio

f. Dilarang menghasilkan embrio semata-mata untuk kepentingan penelitian

g. Dilarang melakukan penelitian pada embrio berusia lebih dari 14 hari pasca

fertilisasi

h. Sel telur yang sudah dibuahi sperma tidak boleh dibiakkan lebih dari 14

hari

i. Dilarang melakukan penelitian dari ovum, sperma, dan embrio tanpa izin

pemiliknya

j. Dilarang melakukan fertilisasi trans spesies kecuali dengan tujuan

mendiagnosis masalah infertilitas. Setiap hybrid trans-spesies yang

terbentuk harus diakhiri pada tingkat dua sel.

Menurut poin f, g, h diatas, secara tidak langsung kloning pada manusia di

Indonesia tidak diperbolehkan karena kloning pada manusia saat ini masih dalam

tahap penelitian yang memerlukan waktu lebih dari 14 hari.

Meski sampai saat ini belum ada manusia yang lahir hidup dan sehat dari

teknologi kloning, namun yang menjadi perdebatan adalah bagaimana kedudukan

manusia hasil kloning tersebut di mata hukum. Di Indonesia, ada beberapa

peraturan yang tegas mengatur hak dan kewajiban warga Negara, namun

peraturan tersebut belum mengkhusus pada manusia hasil kloning. Meskipun

begitu, jika kloning suatu saat nanti dilegalkan maka peraturan perundang –

undangan di Indonesia yang dapat melindungi hak dan kewajiban manusia hasil

kloning adalah sebagai berikut :

1. Aspek Hukum Perdata

Hukum perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan

kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Hukum perdata

yang dapat melindungi hak-hak dan kepentingan manusia hasil kloning

adalah sebagai berikut :

4

Page 5: Aspek Hukum Kloning Manusia

a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia

pasal 3 ayat (2) menyebutkan “Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta

mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan

hukum” dan ayat (3) berbunyi “Setiap orang berhak atas

perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa

diskriminasi”. Bahkan Pasal 5 ayat (3) menyebut,”…berhak

memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan

kekhususannya”.12

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 4

menyebutkan “Tiap orang mempunyai hak yang sama dalam

memperoleh derajat kesehatan yang optimal”.16

c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan

pokok Kesejahteraan Sosial pasal 1 menyebutkan “Setiap

Warganegara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-

baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam

usaha-usaha kesejahteraan sosial”.15

d. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional pasal 5 (1) menyebutkan “Setiap warga negara mempunyai

hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” dan

pasal 5 (2) menyebutkan “Warga negara yang memiliki kelainan fisik,

emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh

pendidikan khusus”.17

2. Aspek Hukum Pidana

Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang

menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak

pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap

yang melakukannya. Tidak ada peraturan yang spesifik mengatur

perbuatan apa yang dilarang dan termasuk tindak pidana dari manusia hasil

kloning, namun jika manusia hasil cloning dianggap sebagai warga negara

Indonesia dan manusia seutuhnya maka seluruh peraturan dalam Kitab

Undang – Undang Hukum Pidana akan berlaku padanya.

5

Page 6: Aspek Hukum Kloning Manusia

3. Aspek Hukum Administrasi Negara

Hukum administrasi negara adalah hukum yang selalu berkaitan

dengan aktivitas prilaku administrasi negara dan kebutuhan masyarakat

serta interaksi diantara keduanya. Manusia hasil kloning dilihat dari aspek

hukum administrasi negara yaitu :

a) Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 menyebutkan “Segala

warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya” sedangkan ayat 2 menyebutkan “Tiap-

tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan”.14

4. Aspek Hukum Tata Usaha Negara

Tidak ada peraturan yang spesifik mengatur manusia hasil kloning

pada hukum tata usaha negara namun jika manusia hasil cloning dianggap

sebagai warga negara Indonesia dan manusia seutuhnya maka seluruh

peraturan dalam hukum tata usaha negara akan berlaku padanya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan belum ada undang-undang khusus

yang mengatur manusia hasil kloning di Indonesia namun jika manusia hasil

kloning dianggap manusia seutuhnya maka peraturan perundang - undangan

yang mengatur warga Negara Indonesia juga berlaku pada manusia hasil

kloning.

2.2 Tinjauan Aspek Legal Kloning Menurut Etika dan Moral

Teknik reproduksi buatan mendapat kritik yang menarik dari segi etika dan

moral. Setidaknya, ada empat kesepakatan internasional penting mengenai

masalah etika dan moral teknik reproduksi buatan. Inggris merupakan Negara

yang pertama kali membuat kebijakan etika dan moral berkaitan dengan

kontroversi reproduksi buatan.

Committee of Enquiry into Human Fertilisation and Embriology yang

dibentuk pada tahun 1982 menghasilkan beberapa keputusan yang dapat dijadikan

referensi pelaksanaan teknik reproduksi buatan di negara-negara lain. Pada tahun

6

Page 7: Aspek Hukum Kloning Manusia

1984, Warnock menyampaikan hasil investigasi, telaah, dan kajiannya terhadap

reproduksi buatan. Secara umum, Warnock Report berisi perlu adanya pengaturan

yang jelas segi pelaksanaan teknik reproduksi buatan agar semuanya tidak

bertentangan dengan masalah etika, moral, sosial, dan hukum di negara masing-

masing (Moeloek, 2002).

Selanjutnya, pada tahun 1990 dibentuk Human Fertilisation and Embriology

Authority (HFEA) yang memiliki wewenang menjadi penasihat dan pengatur

pelaksanaan reproduksi buatan di berbagai negara. HFEA juga membuat petunjuk

pelaksanaan dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah negara pelaksana

atas berbagai masalah yang timbul akibat pelaksanaan teknik reproduksi buatan.

Semuanya bertujuan meminimalisasi dampak etika dan moral yang dapat

ditimbulkan teknik reproduksi buatan (Moeloek, 2002).

Beberapa kebijakan penting yang dikeluarkan HFEA adalah melarang :

1. Penelitian dan penyimpanan embrio manusia berusia lebih dari 14 hari

2. Menempatkan gamet atau embrio manusia di binatang dan sebaliknya

3. Menyimpan dan menggunakan embrio untuk kepentingan lain selain

memperoleh keturunan bagi pasangan sah yang telah diatur oleh peraturan

lain

4. Melakukan kloning untuk tujuan reproduksi manusia.

Poin nomor 4 pada peraturan yang dibuat oleh HFEA menegaskan bahwa

cloning untuk tujuan reproduksi manusia dilarang. Peraturan HFEA sangat jelas

dan eksplisit. Berbagai aturan tersebut disosialisasikan keseluruh negara di dunia

termasuk Indonesia. Rekomendasi HFEA ini sebagian digunakan oleh Panitia

Adhoc Khusus yang dibuat Departemen Kesehatan RI untuk mengatur syarat-

syarat pelaksanaan reproduksi buatan di praktik klinik.

Selain telaah terhadap Warnock Report dan HFEA, ada dua lagi aturan

penting berkaitan dengan aspek etika dan moral dari teknik reproduksi buatan :

The International Islamic Center for Population Studies and Research

Lokakarya ini diselenggarakan pada bulan November 2000 dihadiri oleh

negara-negara Islam di dunia. Kesepakatan negara-negara Islam tidak jauh

berbeda dari Warnock Report dan HFEA :

7

Page 8: Aspek Hukum Kloning Manusia

1. IVF diperbolehkan kecuali mengambil ovum, sperma, atau embrio dari

donor

2. Pre-implantation genetic diagnosis diperbolehkan dengan tujuan

mendiagnosis penyakit keturunan dan anomali genetik, kecuali melihat

jenis kelamin

3. Penelitian untuk melihat pematangan folikel, pematangan oosit in vitro,

dan pertumbuhan oosit in vitro diperbolehkan

4. Implantasi embrio dari suami yang sudah meninggal belum memiliki

keputusan tetap

5. IVF pada ibu pasca-menopause dilarang karena berisiko terhadap

kesehatan ibu dan anak transplantasi uterus masih kontroversial, penelitian

pada binatang diperbolehkan

6. Penggunaan sel punca untuk pengobatan diperdebatkan, diusulkan untuk

diperbolehkan

7. Kloning untuk tujuan reproduksi dan duplikasi manusia dilarang.

Keputusan dari The International Islamic Center for Population Studies and

Research poin 7 juga menunjukkan sikap negara – negara islam di dunia juga

melarang dilakukannya kloning manusia. Keputusan ini juga menjadi landasan

Negara Indonesia sebagai negara Islam untuk melarang dilakukannya kloning

manusia

FIGO

Ketentuan ini diatur pada bulan Agustus 2000. Beberapa keputusan etik

tentang teknik reproduksi buatan adalah :

1. Preconceptional sex selection untuk tujuan diskriminasi sex tidak

dibenarkan. Penelitian boleh dilanjutkan untuk mengetahui adanya sex-

linked genetic disorders.

2. Reproductive cloning atau duplikasi manusia tidak dibenarkan

3. Therapeutic cloning dapat disetujui

4. Penelitian pada embrio manusia sampai dengan 14 hari pasca-fertilisasi

(pre-embrio), tidak termasuk periode simpan beku :

a. Dapat diterima bila untuk tujuan kesehatan manusia

8

Page 9: Aspek Hukum Kloning Manusia

b. Hasil mendapat izin khusus dari pemilik pre-embrio tersebut

c. Harus disahkan oleh komite tertentu

d. Tidak boleh ditransfer ke uterus kecuali dalam rangka memperoleh hasil

kehamilan yang baik

e. Tidak untuk tujuan komersial

5. Tidak etis melakukan:

a. Melakukan penelitian seperti cloning setelah 14 hari pasca-fertilisasi

b. Mendapat hybrid dengan fertilisasi interspesies

c. Implantasi pre-embrio ke dalam uterus spesies lain

d. Manipulasi genom pre-embrio kecuali untuk tujuan pengobatan.

Pada ketentuan FIGO, kloning untuk terapi masih diperbolehkan. Teknik

terapi cloning saat ini masih dikembangkan terutama pada transplantasi organ.

Namun implementasinya di Indonesia sampai saat ini masih belum dilakukan

karena peraturan yang mengatur kloning untuk terapi di Indonesia sampai saat ini

belum ada. Keempat kesepakatan itu semuanya merupakan rambu-rambu yang

harus dipatuhi setiap pelaksana dan penyelenggara teknik reproduksi buatan.

Indonesia sendiri sudah menggunakan peraturan-peraturan di atas untuk tujuan

penelitian maupun praktik klinik.

Sebagai dokter, hal terpenting adalah selalu mengingat bahwa pelayanan

kesehatan maupun penelitian reproduksi manusia harus berujung pada

peningkatan kualitas hidup masyarakat, bukan untuk pemuasan ilmu maupun uang

semata. Kaidah dasar moral berupa non-maleficence, beneficence, justice, dan

autonomy haruslah dihormati sejak disumpah menjadi dokter.

2.2.1 Aspek Legal Kloning Menurut Etika Profesi Kedokteran Obstetri dan

Ginekologi Indonesia

Ketentuan etik teknik reproduksi buatan belum dicantumkan secara eksplisit

dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Namun, berdasarkan Mukernas

Etik Kedokteran Indonesia tahun 2002, sudah ditetapkan bahwa Negara kita juga

melarang teknik klonasi (kloning) pada manusia. Selain itu, Mukernas juga

menghimbau peneliti dan klinisi untuk tidak mempromosikan klonasi dalam

kaitannya dengan reproduksi manusia. Teknik klonasi hanya diperbolehkan secara

9

Page 10: Aspek Hukum Kloning Manusia

bioteknologi untuk kepentingan diagnostik dan pengobatan yang tidak

bertentangan dengan masalah etik dan hukum, juga untuk kepentingan penelitian

klonasi organ yang tujuannya untuk kesehatan manusia di masa akan dating

(Moeloek, 2002).

Menurut Affandi 2011 dalam buku panduan etika dan profesi obstetri dan

ginekologi di Indonesia, ada beberapa pasal etika profesi obstetri dan ginekologi

di Indonesia yang berhubungan dengan legalitas kloning. Pasal etika dan profesi

obstetri dan ginekologi di Indonesia tersebut diuraikan di bawah ini :

Pasal 14

Kloning untuk kepentingan komersial dan reproduksi dilarang.

Penjelasan

Kloning pada domba yang dilaporkan pada tahun 1997 adalah bahwa

reproduksi mamalia aseksual dimungkinkan dengan potensi juga pada manusia.

Kloning pada manusia dengan membelah mudigah juga dimungkinkan.

Dipermasalahkan 3 hal dalam kloning yang menyangkut etik dan dampak

sosialnya, yaitu:

1. Transfer sel kloning atau mudigah pada manusia;

2. Transfer sel kloning untuk menghasilkan jaringan/biakan sel manusia;

3. Transfer sel kloning atau membelah mudigah untuk menghasilkan manusia

kloning.

Sifat-sifat manusia amat ditentukan oleh DNA, misalnya golongan darah,

HLA, dan Haplotype. Tidaklah demikian dalam hal interaksi genetik dengan

lingkungan atau sosial. Ini berarti manusia klon akan identik dengan asalnya

dalam beberapa aspek. Pada kloning manusia dilakukan transfer sel yang

mengandung unsur gen yang sama dari seseorang. Ini berarti tidak menghargai

individu atau identitas orang tersebut. Selain mengandung risiko fisik yang belum

diketahui secara psikologik, juga bias berdampak buruk pada manusia yang

diproduksi dengan teknologi seperti ini (Affandi 2011).

Ciri-ciri awal yang dapat ditentukan sebelumnya (pre-determined),

memungkinkan teknologi kloning dipakai untuk maksud tertentu, misalnya donor

organ yang cocok. Mengatasi infertilitas dapat dilakukan dengan cara lain

10

Page 11: Aspek Hukum Kloning Manusia

misalnya inseminasi, FIV (Fertilisasi in Vitro), atau adopsi. Mengatasi infertilitas

dengan teknik kloning berarti mengabaikan aturan alam, yang dampaknya sulit

dikendalikan di kemudian hari (Affandi 2011).

Pasal 15

Mengobati seorang perempuan yang mempunyai defek mitokhondria dengan

jalan memasukkan sitoplasma berisi mitokhondria ke dalam protoplasma sel telur

perempuan tersebut, diperbolehkan.

Penjelasan

Perempuan dengan defek mitokhondria mempunyai risiko untuk menurunkan

kelainan ini kepada keturunannya. Pemberian suplemen sitoplasma yang

mengandung mitokhondria ke dalam protoplasma sel telur perempuan tersebut

tidak termasuk kloning. Akan tetapi, pemasukan inti salah satu sel somatik ke

dalam sel telur perempuan lain dianggap kloning. Oleh karena itu tindakan itu

dilarang (Affandi 2011).

Pasal 16

Riset pada praembrio seringkali diperlukan sehingga secara etis dibenarkan,

sepanjang:

a. Bertujuan untuk kepentingan kesehatan manusia, seperti yang tertulis dalam

definisi sehat menurut WHO;

b. Tidak membiarkan embrio berkembang melebihi 14 hari sejak terjadinya

pembuahan (tidak termasuk lamanya embrio dibekukan);

c. Informasi tidak bisa diperoleh dari model binatang;

d. Informed consent yang memadai dari kedua donor gamet

e. Projek riset praembrio diijinkan oleh badan etik yang kompeten;

f. Sebaiknya dilakukan pada praembrio yang berlebih (Surplus Praembrio) pada

FIV;

g. Praembrio bekas dipakai untuk riset tidak diimplantasikan ke dalam uterus,

kecuali ada argumentasi yang memadai bahwa kehamilan akan mencapai

kehamilan normal dan sukses.

11

Page 12: Aspek Hukum Kloning Manusia

Pasal 17

Riset pada praembrio menjadi tidak etis, bila:

a. kloning dengan tujuan menumbuhkan, melewati stadium praembrio;

b. memproduksi hibrid dengan fertilisasi interspesies

c. melakukan implantasi praembrio manusia ke dalam uterus spesies lain;

d. manipulasi genom, kecuali untuk tujuan pengobatan;

e. membuat bank gamet dan embrio untuk tujuan mencari untung

Penjelasan pasal 16 dan 17

Stadium praembrio didefinisasikan mulai dari saat pembuahan sampai

terbentuknya Primitive Streak, lamanya 14 hari. Riset pada praembrio diperlukan

untuk :

a. memperluas pengetahuan tentang proses perkembangan pada stadium itu;

b. memperbaiki penanganan infertilitas dan mengendalikan reproduksi;

c. memungkinkan skrining genetik untuk pencegahan dan pengobatan cacat

bawaan.

Dalam melakukan riset praembrio harus diperhatikan nilai-nilai etik, agama, dan

social (Affandi 2011).

Pasal 18

Donor "Gen" untuk kepentingan terapi genetik adalah etis sepanjang

berdasarkan altruistik dan bebas dari tujuan komersial.

Penjelasan

Terapi genetik yaitu usaha mengubah DNA manusia yang bertujuan untuk

meringankan penderitaan/penyakit seseorang yang dapat diidentifikasi. Perubahan

DNA manusia untuk tujuan lain tidak termasuk dalam terapi genetik. Pada tahun

1993 telah ditetapkan bahwa donor materi genetik harus dilakukan berdasar

altruistik dan tanpa eksploitasi komersial. Walaupun demikian, kompensasi untuk

penggantian biaya yang wajar masih bisa dibenarkan. Termasuk dalam kategori

"pembayaran" yaitu beberapa tindak medik seperti FIV dan sterilisasi dengan

mempersyaratkan donasi oosit. Oleh karena itu, tindakan demikian tidak etis

(Affandi 2011).

12

Page 13: Aspek Hukum Kloning Manusia

Pasal 19

Riset yang mempelajari perubahan DNA suatu sel somatik hanya dibenarkan

bila ditujukan untuk perbaikan pada kelainan yang berat atau kematian dini

Pasal 20

Riset perubahan DNA pada sperma, oosit, atau zigot yang kemudian

diimplantasikan pada uterus, saat ini dianggap tidak etis.

Penjelasan

1. Pada sel somatik perubahan genetik yang terjadi tidak diteruskan pada

keturunannya. Oleh karena itu, apabila dilihat dari sudut ini tidak ada masalah

etis. Akan tetapi, seperti halnya dengan riset-riset yang berkaitan dengan

manusia, masih banyak yang harus dipertanyaakan baik hasilnya maupun

dampaknya. Oleh karena itu, riset tentang perubahan DNA pada sel somatik

manusia harus mendapatkan persetujuan lebih dahulu dari badan tertentu. Bila

riset ini berhasil, dapat dibuat proposal untuk perubahan genetik sel somatic

intrauterine (Affandi 2011).

2. Berkenaan dengan perubahan DNA pada sperma, oosit, dan zigot, ada beberapa

hal yang perlu diperhatikan:

a. Perubahan genetik akan di teruskan pada keturunan

b. Pada saat ini belum ditemukan teknik untuk mengubah gen spesifik secara

tepat, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan

c. Teknik memilih zigot yang bebas dari gen pembawa penyakit lebih

sederhana daripada memilih zigot yang mengandung pembawa penyakit,

mengubahnya, dan mentransfernya ke dalam rahim

Dari ketiga pertimbangan tersebut, maka riset yang menyangkut perubahan

DNA pada sperma, oosit, dan zigot manusia secara etis tidak diterima (Affandi

2011).

Pasal 21

Perubahan gen pada individu yang sudah sehat, hanya untuk mendapatkan

peningkatan kualitas, seperti tinggi badan, intelegensi, dan warna mata, saat ini

dianggap tidak etis.

13

Page 14: Aspek Hukum Kloning Manusia

Penjelasan

Perubahan genetik pada individu yang telah sehat (bebas dari gen pembawa

penyakit) bisa ditujukan untuk peningkatan kualitas yang dikehendaki misalnya

tinggi badan, intelegensi, dan warna mata, dengan cara menyisipkan (insert) gen

pembawa sifat tersebut. Ada beberapa hal yang harus dipermasalahkan pada

teknologi ini :

a. Masih belum jelas kriteria untuk mengakses teknologi ini;

b. Teknologi ini sangat potensial untuk dikomersialkan.

Pada kenyataannya sampai sekarang belum terdapat cukup bukti (evidence)

tingkat keamanan serta risikonya. Oleh karena itu, teknologi ini secara etis belum

diterima (Affandi 2011).

14

Page 15: Aspek Hukum Kloning Manusia

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kloning manusia untuk kepentingan komersial dan reproduksi dilarang atau

tidak legal di Indonesia sesuai dengan peraturan Undang-Undang Kesehatan

nomor 16 tahun 1992, Keputusan Menteri Kesehatan nomor 72 tahun 1999

tentang penyelenggaraan teknologi reproduksi buatan, Keputusan Mukernas Etik

Kedokteran Indonesia tahun 2002, dan panduan etika profesi obstetri dan

ginekologi di Indonesia. Meskipun kloning dilarang di Indonesia namun belum

ada peraturan perundang – undangan yang khusus mengatur kloning pada manusia

di Indonesia. Kloning manusia untuk kepentingan komersial dan reproduksi juga

dilarang atau tidak legal di dunia sesuai dengan Warnock Report, kebijakan

HFEA, kesepakatan The International Islamic Center for Population Studies and

Research Nopember 2000, dan deklarasi FIGO Agustus 2000.

Sebagai dokter, hal terpenting adalah selalu mengingat bahwa pelayanan

kesehatan maupun penelitian reproduksi manusia harus berujung pada

peningkatan kualitas hidup masyarakat, bukan untuk pemuasan ilmu maupun uang

semata. Kaidah dasar moral berupa non-maleficence, beneficence, justice, dan

autonomy haruslah dihormati untuk kepentingan masyarakat.

3.2 Saran-saran1. Masalah kloning pada manusia ini masih relatif baru dan akan terus

berkembang, maka sebaiknya perlu diikuti perkembangan kajian ilmiah

yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian akan bisa

diharapkan akan menghasilkan kebijaksanaan baru yang lebih tepat,

terutama untuk mempersiapkan peraturan khusus mengenai masalah ini.

2. Diperlukan perundang – undangan yang khusus di Indonesia untuk

mengatur masalah kloning ini agar peneliti dapat mengetahui batasan

hukum yang jelas dalam meneliti teknologi kloning ini.

15