asmaku

35
BAB I PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit saluran napas kronis yang penting dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia dengan kekerapan yang bervariasi di setiap negara dan cenderung meningkat di negara berkembang. Asma dapat timbul pada semua usia terutama usia muda dan tidak tergantung tingkat sosioekonomi tertentu. Meskipun asma jarang menimbulkan kematian, penyakit ini sering menimbulkan masalah baik pada anak maupun dewasa. 1 Penyakit asma merupakan penyakit lima besar penyebab kematian di dunia yang bervariasi antara 5-30% (berkisar 17,4%). Di Amerika Serikat, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh National Center for Health Statistics of the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011), selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2009, proporsi penderita asma di segala usia meningkat setinggi 12,3 %. Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5% penduduk Indonesia menderita asma. 1,2 Penyakit asma bronkial terdapat pada semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun penyakit ini sudah dikenal sejak lama, tetapi penyebab yang pasti belum diketahui. Patogenesis penyakit ini dari waktu ke waktu makin banyak terungkap dan makin komplek sejalan dengan perkembangan ilmu biologi molekuler. Definisi asma bronkial 1

description

asma

Transcript of asmaku

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit saluran napas kronis yang penting dan masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia dengan

kekerapan yang bervariasi di setiap negara dan cenderung meningkat di negara

berkembang. Asma dapat timbul pada semua usia terutama usia muda dan tidak

tergantung tingkat sosioekonomi tertentu. Meskipun asma jarang menimbulkan

kematian, penyakit ini sering menimbulkan masalah baik pada anak maupun dewasa.1

Penyakit asma merupakan penyakit lima besar penyebab kematian di dunia yang

bervariasi antara 5-30% (berkisar 17,4%). Di Amerika Serikat, berdasarkan data yang

dikeluarkan oleh National Center for Health Statistics of the Centers for Disease

Control and Prevention (CDC) (2011), selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2009,

proporsi penderita asma di segala usia meningkat setinggi 12,3 %. Di Indonesia

prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5% penduduk

Indonesia menderita asma. 1,2

Penyakit asma bronkial terdapat pada semua umur, baik laki-laki maupun

perempuan. Meskipun penyakit ini sudah dikenal sejak lama, tetapi penyebab yang pasti

belum diketahui. Patogenesis penyakit ini dari waktu ke waktu makin banyak terungkap

dan makin komplek sejalan dengan perkembangan ilmu biologi molekuler. Definisi

asma bronkial dewasa ini adalah suatu kelainan pada saluran napas berupa inflamasi

kronik. Inflamasi kronik ini menyebabkan peningkatan kepekaan bronkus terhadap

berbagai rangsangan. Pada individu yang sensitif, inflamasi kronik ini memberikan

gejala-gejala yang timbul akibat penyempitan saluran udara yang menyeluruh, dengan

derajat yang bervariasi dan sering membaik secara spontan atau dengan pengobatan.

Gejala asma dapat ditimbulkan oleh berbagai macam rangsangan, misalnya infeksi,

alergen, obat-obatan, beban kerja, pendinginan saluran napas dan bahan kimia.3,4

Identifikasi dan memperbaiki gangguan kualitas hidup merupakan komponen

penting pada penatalaksanaan asma. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)

menetapkan bahwa tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar dapat hidup normal tanpa hambatan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari.3

1

Asma bronkial kadang- kadang memberikan gejala yang tidak khas dan

menyerupai penyakit paru lain. Disamping itu, beberapa penyakit paru dan saluran

pernapasan dapat memberikan gejala menyerupai asma. Selain diagnosis yang tepat,

perlu ditentukan klasifikasi penyakit agar dapat diberikan pengobatan yang tepat dan

adekuat. Apabila riwayat penyakit dan gejala klinis yang terjadi jelas dan khas, maka

diagnosis asma bronkial tidaklah sulit ditegakkan.3 Pada sebagian kasus, gejala ini tidak

jelas demikian pula dengan riwayat penyakitnya sehingga diagnosis penyakit mungkin

saja sulit ditegakkan. Untuk itu, penegakan diagnosis asma memerlukan anamnesis dan

pemeriksaan yang teliti, mulai dari pemeriksaan yang sederhana seperti pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang.3,4

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh

dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan

kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak

napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough)

terutama pada malam atau dini hari. Patogenesis asma melibatkan banyak sel inflamasi

terutama sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Gejala-gejala pada penyakit asma

berhubungan dengan luasnya inflamasi, menyebabkan obstruksi jalan napas yang

bervariasi derajatnya dan bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan, dan

inflamasi ini juga menyebabkan peningkatan respon jalan napas terhadap berbagai

rangsangan.3,4

2.2. Epidemiologi

Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat

300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada semua

umur, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak. Di Amerika Serikat,

berdasarkan data yang dikeluarkan oleh National Center for Health Statistics of the

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011), selama tahun 2001 sampai

dengan tahun 2009, proporsi penderita asma di segala usia meningkat setinggi 12,3 %.1,2

Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-

5% penduduk Indonesia menderita asma. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

tahun 2007, prevalensi penyakit asma mencapai 4%. Angka ini jauh di atas prevalensi

asma pada tahun 1995 menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang hanya

1,3%. Selain itu, Sumatera Barat sebagai salah satu propinsi di Indonesia mencatat

angka prevalensi asma sebesar 3,6% pada tahun 2007.2,3

2.3. Etiologi

Suatu hal yang yang menonjol pada penderita asma adalah fenomena

hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan

imunologi maupun non imunologi. Ada beberapa hal yang merupakan faktor

predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma yaitu :3,4

3

a. Faktor predisposisi

Genetik

Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui

bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya

mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi

ini, penderita sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar dengan

faktor pencetus. Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi

1. Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

a) Inhalan : yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh : debu, bulu

binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.

b) Ingestan : yang masuk melalui mulut. Contoh : makanan dan obat-obatan.

c) Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh : perhiasan, logam

dan jam tangan.

2. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.

Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.

Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim

kemarau.

3. Stres

Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga

bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul

harus segera diobati penderita asma yang mengalami stres atau gangguan emosi perlu

diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum

diatasi maka gejala belum bisa diobati.

4. Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini

berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium

hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu

libur atau cuti.

4

5. Olah raga atau aktifitas jasmani

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas

jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan

asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas

tersebut.

2.4. Patogenesis

Konsep terkini patogenesis asma yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik

yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran

udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Hiperreaktivitas ini merupakan

predisposisi terjadinya penyempitan saluran respiratorik sebagai respons terhadap

berbagai macam rangsang. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respirator adalah

aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen

saluran respiratorik. Perubahan ini dapat terjadi meskipun secara klinis asmanya tidak

bergejala. Pemunculan sel-sel tersebut secara luas berhubungan dengan derajat beratnya

penyakit secara klinis. Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus

merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan

struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal

dengan istilah airway remodeling.3,5,6

2.4.1. Inflamasi Akut dan Kronik

Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respon alergi fase

cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respon fase lambat. Reaksi cepat

dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE spesifik terutama sel

mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap

timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel tersebut dan IgE

mengawali serial reaksi biokimia yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti

histamin, proteolitik, enzim glikolitik dan heparin serta mediator newly generated

seperti prostaglandin, leukotrin, adenosin dan oksigen reaktif. Bersama-sama dengan

mediator-mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediator-mediator ini

menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratorik dan menstimulasi saraf aferen,

hipersekresi mukus, vasodilatasi dan kebocoran mikrovaskuler. Reaksi fase lambat

dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari mekanisme inflamasi pada asma.

Selama respon fase lambat dan selama berlangsung paparan alergen, aktivasi sel-sel

5

pada saluran respiratorik menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan

merangsang lepasnya set leukosit pro inflamasi terutama eosinofil dan sel prekursornya

dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi.3,6

Gambar 1. Perubahan struktur paru pada serangan asma

2.4.2. Remodeling Saluran Respiratorik

Remodeling saluran respiratorik merupakan serangkaian proses yang

menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran

respiratorik melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi dan maturasi struktur sel.

Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, produksi berlebih

faktor pertumbuhan profibrotik/ transforming growth factors (TGF-β) dan proliferasi

serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang

penting dalam remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-

faktor pertumbuhan, chemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot

polos saluran respiratorik dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah

vaskularisasi, neovaskularisasi dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul

termasuk proteoglikan komplek pada dinding saluran respiratorik dapat diamati pada

pasien yang meninggal karena asma dan hal ini secara langsung berhubungan dengan

lamanya penyakit.3,5,6

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik timbul pada bronkus

pasien asma terutama pada yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran

respiratorik pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur saluran yang

bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratorik. Selama ini,

asma diyakini merupakan obstruksi saluran respiratorik yang bersifat reversibel. Pada

sebagian besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran

6

dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi kortikosteroid. Beberapa penderita

asma mengalami obstruksi saluran respiratorik residual yang dapat terjadi pada pasien

yang tidak menunjukkan gejala. Hal ini mencerminkan adanya remodeling saluran

napas.3,6

Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperreaktivitas saluran

respiratorik yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu yang

lama (lebih dari 1 sampai 2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi

inhalasi steroid.3

2.5 Patofisiologi Asma

2.5.1. Obstruksi Saluran Respiratorik

Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini

merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi pernapasan. Obstruksi saluran

respiratorik menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali secara spontan

atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas

pada asma : batuk, sesak, wheezing dan disertai hiperreaktivitas saluran respiratorik

terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf

sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan terutama pada anak,

batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan.3,6

Gambar 2. Faktor yang berperan dalam terjadinya asma

Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.

Penyebab utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan

dari sel-sel agonis inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase,

prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast; neuropeptida dari saraf aferen

setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran

respiratorik diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi

sel-sel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronis otot polos, vaskuler

dan sel-sel sekretori serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratorik. Selain itu,

7

hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak,

kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma yang keluar

melalui mikrovaskular bronkus dan debris selular.3,5,6

2.5.2. Hiperreaktivitas Saluran Respiratorik

Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang

secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab

terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan

pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas

(hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan

kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah

peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot

polos.3,5,6

Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan

stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara progresif

kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau FEV 1).

Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisik, hiperventilasi, udara kering dan aerosol

garam hipertonik tidak mempunyai efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti

histamin dan metakolin), akan tetapi dapat merangsang pelepasan mediator dari sel

mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratorik. Dikatakan

hiperreaktif bila dengan cara histamin didapatkan penurunan FEV 120% pada

konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.3,5,6

2.6. Diagnosis

Seperti pada penyakit lainnya, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan

anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih

meningkatkan nilai diagnostik.3,5

2.6.1. Anamnesis

Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:3,5

1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman,

riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma.

8

3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan

berdahak yang berulang.

4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari.

5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik.

6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator.

2.6.2. Pemeriksaan Fisik

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal.

Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah mengi.

Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran

objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu,

pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat

gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan. Sewaktu mengalami serangan, jalan napas

akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan

hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi

penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas

yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa

batuk, sesak napas, dan mengi.3,5

2.6.3. Faal Paru

Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini

disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar

keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai

derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita

menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat

dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma.

Banyak metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard

pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan (2) Peak Expiratory Flow meter

(Arus Puncak Ekspirasi/APE).3,5,6

Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan

reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA. Pengukuran volume ekspirasi paksa detik

pertama (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi

paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi

dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP. Maka

9

dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau rasio

VEP1/KVP (%). 5,6

Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai

alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari 20%).

Untuk mendapatkan variabilitas APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari

sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (pada malam hari gunakan

nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik.3,5

2.7 Klasifikasi Asma

Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis3,5

Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paruI. Intermiten Bulanan

Gejala < 1x/minggu Tanpa gejala diluar

serangan Serangan singkat

≤ 2x/bulan APE ≥ 80% VEP1 ≥ 80% nilai

prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik Variabilitas APE < 20%

II. Persisten Ringan

Mingguan Gejala > 1x/minggu, tapi <

1x/hari Serangan dapat

mengganggu aktivitas dan tidur

Membutuhkan bronkodilator setiap hari

> 2x/bulan APE ≥ 80% VEP1 ≥ 80% nilai

prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik Variabilitas APE 20-30%

III. Persisten Sedang

Harian Gejala setiap hari Serangan menggangu

aktivitas dan tidur Membutuhkan

bronkodilator setiap hari

>1x/minggu APE 60-80% VEP1 60-80% nilai

prediksi APE 60-80% nilai terbaik Variabilitas APE > 30%

IV. Persisten Berat

Kontinyu Gejala terus menerus Sering kambuh Aktivitas fisik terbatas

Sering APE ≤ 60% VEP1 ≤ 60% nilai

prediksi APE≤ 60% nilai terbaik Variabilitas APE > 30%

Asma juga dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya serangan saat asma fase

akut sesuai Tabel 2 berikut:3,5

10

Gejala dan Tanda

Berat Serangan Akut Keadaan Mengancam

JiwaRingan Sedang Berat

Sesak nafas Berjalan Berbicara IstirahatPosisi Dapat tidur

terlentangDuduk Duduk

membungkukCara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kataKesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk,

gelisah, kesadaran menurun

Frekuensi nafas < 20/menit 20-30/menit > 30 menitNadi < 100 100-120 > 120 BradikardiaPulsus paradoksus

-

10 mmHg

±

10-20 mmHg

+

> 25 mmHg

-

kelelahan otot

Otot bantu nafas dan retraksi suprasternal

- + + Torakoabdominal paradoksal

Mengi Akhir ekspirasi paksa

Akhir ekspirasi Inspirasi dan ekspirasi

Silent chest

APE > 80% 60-80% < 60%PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHgPaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHgSaO2 > 95% 91-95% < 90%

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi

klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan

kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2014) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk

melakukan penatalaksanaan berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan

mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu

dipertimbangkan, yaitu:3,5

1. Medikasi

2. Pengobatan berdasarkan derajat

2.8.1. Medikasi

11

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan

nafas, terdiri atas pengontrol (controller) dan pelega (reliever).

a. Pengontrol (controller)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,

diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol

pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat

pengontrol adalah:3,5,7

1) Glukokortikosteroid inhalasi

Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.

Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan

faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi gejala, mengurangi

frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Efek samping adalah efek

samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran

nafas atas.

2) Glukokortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai

pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas mengingat

risiko efek sistemik.

3) Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Pemberiannya secara inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten

ringan. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat

melakukan inhalasi.

4) Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti

antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi

dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.

Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, dimana

pemberian jangka panjang efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.

12

5) Agonis β 2 kerja lama

Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol yang

mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek relaksasi otot polos,

meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan

memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Pada pemberian jangka lama

mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan mempunyai efek protektif terhadap

rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan efek

bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral.

6) Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.

Leukotriene menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan

bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat

bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.

b. Pelega (reliever)3,5,7

Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat

mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip kerja obat ini

adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan

atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi,

rasa berat di dada, dan batuk.

1) Agonis β 2 kerja singkat

Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai

onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian

inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/tidak ada.

2) Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah

dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek

bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk

respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan respon

terhadap agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.

3) Antikolinergik

13

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan

asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan

menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks

bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.

4) Kortikosteroid sistemik

Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator

yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan

dengan bronkodilator lain.

2.8.2. Pengobatan berdasarkan derajat

Tabel 3. Pengobatan sesuai berat asma3,5,7

Semua tahapan : ditambahkan agonis β2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak > 3-4x/hari

Berat Asma Medikasi Pengontrol Harian

Alternatif/Pilihan Lain Alternatif Lain

Asma Intermiten

Tidak perlu - -

Asma Persisten Ringan

Glukokortikosteroid inhalasi (200-400ug BD/hari atau equivalennya)

Teofilin lepas lambat Kromolin Leukotrien modifiers

-

Asma Persisten Sedang

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis β2 kerja lama

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah teofilin lepas lambat, atau

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah agonis β2 kerja lama oral, atau

Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800ug BD atau equivalennya) atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800ug BD atau equivalennya) ditambah leukotriene modifiers

Ditambah agonis β2 kerja lama oral, atau

Ditambahkan teofilin lepas lambat

14

Asma Persisten Berat

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (>800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis β2 kerja lama, ditambah ≥1 dibawah ini:- teofilin lepas lambat- leukotriene modifiers- glukokortikosteroid oral

Prednisolon/ metil prednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis β2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat

Semua tahapan : bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian diturunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi

asma tetap terkontrol

Tabel 4. Penanganan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat pengobatan.3,5

Serangan Pengobatan Tempat pengobatan

RinganAktivitas relatif normalBerbicara satu kalimat dalam 1 nafasNadi < 100APE > 80%

Terbaik:Inhalasi agonis β2

Alternatif:Kombinasi oral agonis β2 dan teofilin

Di rumah Di praktek

dokter/ klinik/ puskesmas

SedangJalan jarak jauh timbulkan gelajaBerbicara beberapa kata dalam 1 nafasNadi 100-120APE 60-80%

Terbaik:Nebulasi agonis β2 @ 4 jamAlternatif:- Agonis β2 subkutan- Aminofilin iv- Adrenalim 1/1000 0,3 mL scOksigen bila mungkinKortikosteroid sistemik

UGD/RSKlinikPraktek dokterPuskesmas

BeratSesak saat istirahatBerbicara kata perkata dalam 1 nafasNadi > 120APE < 60% atau 100 L/dtk

Terbaik:Nebulasi agonis β2 @ 4 jamAlternatif:- Agonis β2 sc/iv- Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc

Aminofilin bolus dilanjutkan dripOksigenKortikosteroid iv

UGD/RSKlinik

Mengancam jiwaKesadaran berubah /menurunGelisahSianosis

Seperti serangan akut beratPertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik

UGD/RS ICU

15

Gagal nafas

Selain pemberian medikasi, penatalaksanaan asma juga melibatkan beberapa

komponen program lainnya, antara lain:3,5

Edukasi

Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu

sendiri, tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol

faktor pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan

juga penanganan serangan asma di rumah.

Identifikasi dan pengendalian factor pencetus

Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi

sebagian lagi tidak dapat menegtahui faktor pencetus asmanya.

Kontrol secara teratur

Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma

jangka panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk

ke ahli paru pada keadaan-keadaan tertentu.

Pola hidup sehat

Pola hidup sehat yang dianjurkan antara lain adalah meningkatkan kebugaran

fisik melalui olahraga, penderita dianjurkan untuk berhenti atau tidak pernah

merokok karena rokok merupakan oksidan yang dapat menimbulkan

inflamasi dan menyebabkan ketidakseimbangan protease antiprotease serta

penderita asma dianjurkan untuk tidak bekerja di tempat kerja yang

merupakan faktor pencetus asma.

16

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : INB

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 63 th

Alamat : Sidemen, Karangasem

Agama : Hindu

Pekerjaan : Petani

Tanggal Pemeriksaan : 1 Desember 2014

3.2. Anamnesis

Keluhan utama :

Sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Pasien

mengatakan sesak nafas timbul mendadak disertai suara ‘ngik-ngik’ dan mulai

sesak ketika malam hari sebelum datang ke RSUD Klungkung. Sesak mulanya

terasa ringan lalu makin lama dirasakan semakin memberat. Sesak nafas

dirasakan seperti tertekan sampai membuat pasien merasa sulit bernafas dan

pasien mengeluh sulit tidur. Sesak dikatakan berkurang jika pasien dalam posisi

duduk. Sesak nafas juga membuat pasien menjadi lemas dan tidak bisa

beraktivitas. Selama perawatan pasien mengatakan sesaknya masih terasa namun

sudah terasa berkurang.

Pasien juga mengeluhkan batuk yang muncul bersamaan dengan mulainya

sesak. Pasien batuk dengan mengeluarkan dahak berwarna putih kekuningan.

Batuk dengan dahak berdarah disangkal oleh pasien. Sampai saat perawatan

pasien masih batuk berdahak dengan warna putih kekuningan namun dikatakan

frekuensinya sudah jauh berkurang. Pasien menyangkal adanya keluhan demam,

mual dan muntah. Pasien juga menyangkal adanya penurunan nafsu makan dan

berat badan, serta berkeringat pada malam hari saat tanpa aktivitas. BAK pasien

dikatakan biasa, dengan frekuensi berkemih sekitar 4-5 kali dalam sehari, volume

17

tiap berkemih ± ¾ hingga 1 gelas, warna jernih kekuningan. BAB pasien juga

dikatakan biasa, frekuensi rata-rata sekali sehari, warna kecokelatan, konsistensi

padat.

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit asma sejak remaja. Selama

remaja penyakit asma pasien jarang kambuh, dan baru beberapa tahun belakangan

ini sering muncul. Pasien mengaku mengalami serangan asma 1-2x/minggu dan

bisa sembuh setelah diberi obat. Keluhan sesak nafas di malam hari dikatakan

lebih jarang, dengan frekuensi 2-3x dalam sebulan. Pasien mengatakan sering sulit

tidur dan aktivitas menjadi terganggu saat mengalami sesak nafas. Pasien tidak

rutin berobat ke dokter atau puskesmas, pasien hanya datang berobat jika keluhan

sesaknya muncul. Riwayat darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung

disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan bahwa almarhum ayah pasien memiliki riwayat penyakit

asma dan sering mengalami keluhan sesak nafas. Riwayat keluarga dengan batuk

kronis disangkal. Riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung

disangkal oleh pasien.

Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien saat ini pasien bekerja sebagai petani. Pasien mengatakan sesak

nafasnya sering kambuh bila cuaca sedang dingin atau pasien berada dalam

lingkungan yang berdebu. Pasien tidak memiliki riwayat merokok dan minum

minuman beralkohol.

3.3. Pemeriksaan Fisik

Status Present :

Kesadaran : compos mentis (GCS : E4V5M6 )

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 100 x/ menit

RR : 28 x/mnt

Suhu badan : 36,5º C

Status general :

Mata : Anemis -/- , ikterus -/- , refleks pupil +/+ isokor

18

THT : Kesan tenang

Thorax : Simetris (+), retraksi (+)

Cor

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis

Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V MCL S, kuat angkat (-)

Perkusi : Batas atas jantung ICS II kiri

Batas kanan jantung PSL kanan

Batas kiri jantung MCL kiri ICS V

Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi : Vocal fremitus N / N

Perkusi : Sonor / Sonor

Auskultasi : Vesikuler + / +, Rhonkhi - / - , Wheezing + / +, ekspirasi

memanjang

Abdomen

Inspeksi : Distensi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar / lien tidak teraba

Perkusi : timpani (+), ascites (-)

Ekstremitas:

Akral hangat + + Edema - -

+ + - -

3.4. Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

WBC 10,74 103µL 4,60 - 10,20 Tinggi

% NEUT 79,6 % 40,00 - 70,00

% LYMPH 11,8 % 20,00 - 40,00

% MONO 8,5 % 1,70 - 9,30

% EOS 0,0 % 0,00 - 6,00

19

% BASO 0,1 % 0,00 - 1,00

#NEUT 8,55 103µL 2,00 - 6,00

#LYMPH 1,27 103µL 0,60 - 5,20

#MONO 0,91 103µL 0,10 - 0,60

#EOS 0,00 103µL 0,00 - 0,40

#BASO 0,01 103µL 0,00 - 0,10

RBC 4,97 106µL 3,80 - 6,50

Hemoglobin 15,1 g/dL 11,50 - 18,00

Hematokrit 45,7 % 37,00 - 54,00

Platelet 140 103µL 150,00 - 400,00

MCV 92,00 fL 80,00 - 100,00

MCH 30,40 pg 27,00 - 32,00

MCHC 33,00 g/dL 31,00 - 36,00

THORAX AP

Cor : Besar dan bentuk normal

Pulmo : Tak tampak infiltrat pada kedua lapang paru

Sinus pleura kanan dan kiri tajam

Diafragma kanan dan kiri normal

Tulang-tulang tak tampak kelainan

Kesan : Gambaran Thorax normal

3.5. Diagnosis

Serangan Asma Sedang pada Asma Persisten Ringan

3.6. Terapi

MRS

IVFD RL 16 tetes/menit

O2 4 liter/menit

Nebulizer farbivent 1 amp + NaCl 0,9% @8 jam

Methylprednisolone 2 x 62,5 mg intravena

Ambroxol syrup 3 x C 1

Monitoring vital sign dan keluhan

20

BAB IV

PEMBAHASAN

Telah dilaporkan suatu kasus asma pada pasien laki-laki berusia 63 tahun. Asma

merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta

penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada semua umur,

dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak. Di Indonesia prevalensi

asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5% penduduk Indonesia

menderita asma. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi

penyakit asma mencapai 4%.

Fenomena hiperaktivitas bronkus merupakan suatu hal yang sangat menonjol pada

penderita asma sehingga sangat peka dengan suatu rangsangan imunologi maupun non

imunologi. Beberapa faktor predisposisi dan presipitasi terjadinya serangan asma

meliputi factor genetik, paparan alergen, perubahan cuaca, stress, lingkungan kerja, dan

aktifitas jasmani. Pada pasien ini, ditemukan riwayat keluarga yang memiliki penyakit

asma yaitu ayah dari pasien. Pasien juga sering mengalami keluhan sesak nafas pada

saat cuaca dingin, misalnya pada musim hujan. Keluhan sesak nafas juga muncul jika

pasien berada di lingkungan berdebu, sehingga paparan alergen inhalan sebagai

pencetus serangan asma belum dapat disingkirkan.

Diagnosis asma dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik terutama

pemeriksaan fisik paru, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien asma, keluhan

umumnya berupa sesak nafas yang bersifat episodik, batuk disertai dahak, dan mengi,

Keluhan muncul setelah adanya paparan terhadap allergen ataupun perubahan cuaca,

Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan sesak nafas yang timbul mendadak pada

malam hari. Pasien mengaku sering mengalami keluhan sesak nafas sebelumnya namun

biasanya membaik dengan pengobatan. Sesak nafas disertai suara ‘ngik-ngik’ dan juga

batuk dengan dahak berwarna putih kekuningan. Keluhan sesak nafas biasanya timbul

pada saat cuaca dingin atau lingkungan yang berdebu.

Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah

mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada

pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada pasien,

ditemukan mengi pada kedua lapang paru dan ekspirasi yang memanjang. Pemeriksaan

21

penunjang lain yang dikerjakan pada pasien ini adalah pemeriksaan darah lengkap dan

foto thorax PA, namun tidak ditemukan adanya kelainan yang bermakna. Pemeriksaan

faal paru dengan spirometri dan Peak Expiratory Flow meter (Arus Puncak

Ekspirasi/APE) sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Faal paru menilai

derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu menegakkan

diagnosis asma. Pada pasien ini pemeriksaan faal paru tidak dikerjakan.

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat berat asma sesuai gambaran

klinis dan dapat pula diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan pada fase akut. Pada

pasien, keluhan sesak nafas berkurang pada posisi duduk, pasien tampak gelisah dan

mampu berbicara beberapa kata. Dari pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi napas

28x/menit, frekuensi denyut nadi 100x/menit, adanya retraksi dinding dada dan

terdengar mengi di akhir ekspirasi, sehingga serangan asma digolongkan menjadi

serangan asma sedang. Pasien memiliki riwayat asma sejak remaja, dimana keluhan

sesak nafas terjadi dengan frekuensi 1-2x dalam seminggu. Keluhan sesak nafas di

malam hari terjadi lebih jarang, dengan frekuensi 2-3x dalam sebulan. Keluhan sesak

nafas seringkali mengganggu aktivitas dan pasien sulit tidur, sehingga derajat asma

digolongkan menjadi asma persisten ringan.

Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi

klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan

kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari. Terdapat 2 faktor yang dipertimbangkan untuk

mencapai keadaan asma yang terkontrol yaitu dengan medikasi dan penanganan

berdasarkan derajat. Medikasi terdiri atas pengontrol (controller) dan pelega (reliever).

Pengobatan berdasarkan derajat asma disesuaikan dengan klasifikasi asma seperti yang

telah disampaikan sebelumnya. Pada pasien dengan serangan asma sedang, penanganan

terbaik adalah dengan memberikan nebulasi agonis β2 tiap 4 jam, pemberian oksigen,

dan kortikosteroid sistemik. Pada pasien ini, diberikan penanganan berupa oksigen 4

liter/menit, nebulasi Farbivent 1 ampul + NaCl 0,9% tiap 8 jam, injeksi

methylprednisolone 2 x 62,5 mg, dan ambroxol sirup 3 x C1. Mekanisme kerja agonis

β2 yaitu relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier,

menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel

mast dan basofil. Kombinasi dengan ipratropium bromide adalah untuk meningkatkan

22

respon bronkodilatasi dengan cara memblok pelepasan asetilkolin saraf kolinergik jalan

nafas. Sedangkan kortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada

serangan asma, terutama jika pemberian agonis β2 kerja singkat inhalasi pada

pengobatan awal tidak memberikan respon, serangan terjadi walau penderita sedang

dalam pengobatan, serangan asma berat. Pemberian Ambroxol bermanfaat untuk

meningkatkan pembersihan sekresi yang tertahan pada saluran pernafasan dan

menghilangkan mukus statis, sehingga dapat melapangkan jalan nafas.

Selain dengan medikamentosa, edukasi pada pasien dengan asma merupakan

salah satu faktor penting dalam upaya mencapai dan mempertahankan keadaan asma

yang terkontrol. Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma

itu sendiri, tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor

pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan

serangan asma di rumah. Pentingnya follow up yang teratur, dan pola hidup sehat juga

merupakan suatu hal yang sangat penting dalam penanganan asma.

23