ASI PROS ATAS ATURAN NO 7 TA GUNAKA ILA SERT I KOTAMdigilib.uin-suka.ac.id/15884/1/BAB I, V, DAFTAR...

64
PENG IM L PERB GATURAN MPLEMEN LARANGA PERBUAT BUATAN A DIAJ UNIVERS UNT U N LOKALIS NTASI PER AN MENG TAN ASUS ASUSILA D JUKAN KE SITAS ISLA TUK MEM GE ZIND 1. U 2. M FAK UNIVERSIT SASI PROS RATURAN GGUNAKA SILA SERT DI KOTAM EPADA FA AM NEGE MENUHI SY ELAR SAR DALAM DI SETIYA NI P UDIYO BAS M. MISBAH IL KULTAS S TAS ISLAM YO STITUSI D N DAERAH AN BANGU TA PEMIK MADYA D SKRIPSI AKULTAS ERI SUNAN YARAT-SY RJANA ST M ILMU H OLEH: A AFANDI IM.113400 PEMBIMBI SUKI, S.H. HUL MUJI MU HUKU YARI’AH M NEGER OGYAKAR 2015 DI KOTA S H NO 7 TA UNAN ATA KATAN UN DAERAH T SYARI’AH N KALIJA YARAT M RATA SAT HUKUM IA MAHAS 027 ING: ., M.Hum. IB, S.Ag., M UM DAN HUK RI SUNAN RTA SURABAY AHUN 1999 AU TEMPA NTUK MEL TINGKAT H DAN HU AGA YOGY MEMPEROL TU SARI M.Hum. KUM KALIJAG YA (STUDI 9 TENTAN AT UNTUK LAKUKAN II SURABA UKUM YAKARTA LEH GA ATAS NG K N AYA) A

Transcript of ASI PROS ATAS ATURAN NO 7 TA GUNAKA ILA SERT I KOTAMdigilib.uin-suka.ac.id/15884/1/BAB I, V, DAFTAR...

PENGIM

L

PERB

GATURANMPLEMENLARANGAPERBUATBUATAN A

DIAJUNIVERS

UNT

U

N LOKALISNTASI PERAN MENGTAN ASUSASUSILA D

JUKAN KESITAS ISLATUK MEM

GE

ZIND

1. U2. M

FAKUNIVERSIT

SASI PROSRATURAN

GGUNAKASILA SERTDI KOTAM

EPADA FAAM NEGE

MENUHI SYELAR SAR

DALAM

DI SETIYANI

P

UDIYO BASM. MISBAH

ILKULTAS STAS ISLAM

YO

STITUSI DN DAERAH

AN BANGUTA PEMIKMADYA D

SKRIPSI

AKULTAS ERI SUNANYARAT-SYRJANA STM ILMU H

OLEH:

A AFANDIIM.113400

PEMBIMBI

SUKI, S.H.HUL MUJI

MU HUKUYARI’AH M NEGER

OGYAKAR2015

DI KOTA SH NO 7 TA

UNAN ATAKATAN UNDAERAH T

SYARI’AHN KALIJAYARAT MRATA SAT

HUKUM

IA MAHAS027

ING:

., M.Hum.IB, S.Ag., M

UM DAN HUK

RI SUNAN RTA

SURABAYAHUN 1999AU TEMPANTUK MELTINGKAT

H DAN HUAGA YOGYMEMPEROL

TU

SARI

M.Hum.

KUM KALIJAG

YA (STUDI 9 TENTANAT UNTUKLAKUKANII SURABA

UKUM YAKARTALEH

GA

ATAS NG K N AYA)

A

 

ABSTRAK

Perkembangan jumlah Pekerja Seks Komersial yang tinggi dengan penurunan yang sedikit namun stabil sampai pada tahun 2013 merupakan hal yang wajar, karena sebagian besar masyarakat menganggap bahwasannya lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya adalah legal sebab tidak banyak orang yang mengetahui adanya Perda No 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila di Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Selain itu sampai pada tahun tersebut Perda ini juga masih belum dijalankan secara maksimal. Berangkat dari latar belakang tersebut, penyusun mempertanyakan bagaimanakan sebenarnya pengaturan lokalisasi prostitusi dalam Perda No 7 Tahun 1999, dan bagaimana efektivitasnya.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, dan teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah kualitatif dengan menjadikan hasil wawancara Setda Bagian Hukum Pemerintah Kota Surabaya serta Dinas Sosial Kota Surabaya sebagai data primer, kemudian data tersebut dianalisa secara deskriptif berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan sebelumnya pada kerangka teoritik. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data-data bahwa tidak ada satupun aturan di Kota Surabaya yang melegalkan adanya lokalisasi prostitusi dan memang terhitung sejak tahun 1999 sampai pada tahun 2013 Perda No 7 Tahun 1999 belum dijalankan secara maksimal.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaturan lokalisasi prostitusi dalam Perda No 7 Tahun 1999 pada hakikatnya memang berupa larangan, dan larangan tersebut bukan hanya untuk melakukan perbuatan asusila di tempat umum tetapi juga di semua tempat maupun di setiap bangunan di Kota Surabaya dan tidak berjalannya Perda secara maksimal sampai pada tahun 2013 merupakan salah satu strategi yang dilakukan pemerintah untuk mempersiapkan secara matang akan dampak yang terjadi pasca penutupan lokalisasi serta memikirkan solusi untuk mengatasi hal tersebut. Benar-benar diimplementasikannya perda ini pada tahun 2014 secara maksimal menandakan bahwasannya perda ini masih efektif dalam mengurangi bahkan menghapus prostitusi di Kota Surabaya. Pada dasarnya prostitusi adalah suatu penyakit yang tidak bisa serta merta hilang dari tatanan hidup masyarakat meskipun telah dilakukan banyak tindakan untuk menghapuskan hal tersebut jadi untuk ke depannya memang sangat diperlakukan kontrol lebih dari pemerintah untuk tetap melakukan razia-razia guna mencegah munculnya lokalisasi baru.

vi  

MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

(QS. Al Insyirah 6)

Percayalah kamu akan merasakan sakitnya terjatuh di saat kamu

ingin menuai keberhasilanmu, dan di saat itu yakinlah bahwa kamu

mampu untuk bangkit dan memperjuangkan keberhasilan itu, meski

harus bersusah payah.

Syukuri dan nikmati setiap kegagalanmu sebagai langkah awal

menuju titik yang paling tinggi yaitu sukses.

   

vii  

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Ayahku Sutiyo dan Ibundaku Cici Ratna Sari yang telah merawat dan

membimbing penyusun menjadi manusia yang lebih baik selama ini.

2. Adikku Fendi Setiya Rahmat Bahtiar dan keponakanku Luky Hamidah

Rahayu serta seluruh keluargaku yang menambah arti dalam hidupku

serta memotivasi untuk menyelesaikan penelitian ini.

3. Bapak Udiyo Basuki, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing I, yang selalu

memberi arahan dalam penyusunan Skripsi.

4. Bapak M.Misbahul Mujib, S.Ag., M.Hum. selaku Pembimbing II, yang

selalu memberi arahan dalam penyusunan Skripsi.

5. Bapak/Ibu dosen dan karyawan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

6. Keluarga besar Tri Rahayu, Bapak Poniman dan simbok ngatiyem yang

telah memberikan arti keluarga ke dua di Yogyakarta

7. Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011 yang tidak bisa disebut

namanya satu persatu.

8. Yang selalu menemani perjuangan saya, Mugi Hartana

9. Sahabat-sahabat terbaikku selama menjalani masa kuliah di Universitas

Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tri Rahayu dan Anggita Rahma

Dewanti tanpa kalian mungkin Yogyakarta menjadi tanpa makna

10. Sahabat-sahabatku yang selalu mendukung dan menemaniku di kos

tercinta Umatul Khoiroh, Dwi Setya, Siska, Ana dan Sri Hidayati.

11. Sahabat sejatiku, Rini Riskya, Muthoharo, Arifatul Khodiqoh, dan Cuznul

khoiriyah.

12. Penasehat sekaligus teman terbaikku, Muhammad Haidar Ali, Muhammad

Zakaria dan Royhatun Toyyibah.

viii  

13. Teman-teman KKN Novita Abidatussyarifah, Hanifa Beni Pinesti,

Chiliatussafitri, Ariefta Hudi Fahmi, Setyo Prabowo, dan Walia Rahman.

14. Semua orang yang telah melimpahkan kasih sayangnya untukku serta

mewarnai hari-hariku dengan kebahagiaan.

xi  

DAFTAR ISI

ABSTRAK........................................................................................................ i

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... v

MOTTO ............................................................................................................ vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... vii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 8

D. Telaah Pustaka .................................................................................... 9

E. Kerangka Teoretik .............................................................................. 12

F. Metode Penelitian ............................................................................... 24

G. Sistematika Pembahasan ..................................................................... 28

BAB II. TINJAUAN PEMERINTAH DAERAH PERSPEKTIF GOOD

GOVERNANCE

A. Tinjauan tentang Pemerintah Daerah .................................................. 29

B. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik (Good Governance)

1. Tinjauan tentang Kebijakan Publik ............................................... 46

xii  

2. Keterbukaan Sistem Informasi Publik ........................................... 50

BAB III. TINJAUAN TENTANG PENGATURAN LOKALISASI PROSTITUSI DI

KOTA SURABAYA

A. Gambaran Umum Kota Surabaya .......................................................... 51

1. Sejarah Kota Surabaya ..................................................................... 51

2. Letak Geografis ............................................................................... 52

3. Demografi ........................................................................................ 54

4. Visi Dan Misi ................................................................................... 55

B. Gambaran Umum Lokalisasi Prostitusi di Kota Surabaya ................... 66

1. Sejarah Berdirinya Lokalisasi .......................................................... 69

2. Letak dan Kondisi Geografis ........................................................... 72

3. Batas Wilayah Kelurahan ................................................................ 72

C. Pengertian Teoritik Pekerja Seks Komersial ........................................ 73

D. Tinjauan Perda No 7 Tahun 1999 ......................................................... 84

BAB IV. PEMBAHASAN DAN ANALISIS

A. Analisis Pengaturan Lokalisasi Prostitusi di Kota Surabaya ................ 87

1. Respon Masyarakat dengan Diimplementasikannya Perda ............. 92

2. Dampak dan Hasil dari Diimplementasikannya Perda .................... 95

3. Upaya Pemerintah Kota Surabaya dalam Mengatasi Permasalahan

yang Muncul Pasca Penutupan Lokalisasi ....................................... 98

4. Perkembangan Pekerja Seks Komersial serta Mucikari di Lokalisasi

Prostitusi .......................................................................................... 108

B. Analisis Efektivitas Peraturan Daerah No 7 Tahun 1999 ..................... 109

xiii  

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 119

B. Saran ..................................................................................................... 120

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 122

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya kebebasan hubungan antara laki-laki dan

perempuan sudah ada sejak dahulu, bahkan tidak ada aturan yang melarang

siapapun untuk berhubungan dengan pasangan yang diinginkan. Beberapa

waktu kemudian barulah muncul konsep keluarga, yang antara lain berfungsi

untuk mengatur pemenuhan kebutuhan biologis. Berkaitan dengan

pemenuhan kebutuhan biologis tersebut manusia mempunyai dasar untuk

serakah, begitu pula halnya berkaitan dengan pemuasan kebutuhan

biologisnya.1

Dari latar belakang keserakahan tersebut kemudian muncul

praktik prostitusi. Prostitusi berasal dari kata “Prostituere”(bahasa latin)

yang berarti menonjolkan diri dalam hal-hal yang buruk atau tercela atau

menyerahkan diri secara terang-terangan kepada umum. Di Indonesia istilah

ini dikenal dengan “pelacuran”, yang pada umumnya dapat diartikan sebagai

                                                            1Mudjijono, Sarkem, Reproduksi Sosial Pelacuran, Cet.ke-1 (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2005), hlm.1.

 

2

penyerahan badan perempuan dengan pembayaran, kepada laki-laki guna

pemenuhan kebutuhan biologis orang tersebut.2

Iwan Bloch memberi batasan pelacuran sebagai suatu bentuk

tertentu dari perhubungan kelamin di luar perkawinan dengan pola tertentu,

yakni kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran,

baik untuk berhubungan badan maupun kegiatan seks lainnya yang

diinginkan oleh yang bersangkutan. Selanjutnya juga dikemukakan pendapat

Commenge, prostitusi adalah suatu perbuatan dimana seorang wanita

memperdagangkan atau menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk

memperoleh pembayaran dari laki-laki yang datang membayarnya dan wanita

tersebut tidak ada mata pencaharian nafkah lain dalam hidupnya kecuali

dengan melakukan hubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang.3

Selalu ada tempat-tempat yang menyediakan kegiatan prostitusi di

berbagai daerah baik secara resmi maupun sembunyi-sembunyi sehingga

pemerintah perlu menekan penyebarannya dengan berbagai macam peraturan

atau kebijakan berkaitan dengan hal tersebut, salah satunya yaitu dengan

dibuatnya Peraturan Daerah.

Hal ini berhubungan dengan Negara Republik Indonesia sebagai

Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam

                                                            2Soedjono, Pathologi, Sosia, Gelandangan, Penyalahgunaan, Narkotika,

Alkoholisme, Prostitusi atau Pelacuran, Penyakit jiwa, Kejahatan dll, Cet.ke-2 (Bandung: Alumni, 1974), hlm.115.  

3Mudjijono, Sarkem Reproduksi … hlm. 19. 

3

menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan

keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah.4

Agenda Otonomi Daerah sudah merupakan agenda nasional yang

sangat penting dan telah menjadi wacana publik saat kondisi bangsa ini

demikian kompleks permasalahannya dan belum jelas arahnya. Dengan

adanya Otonomi Daerah diharapkan dapat menjadi pilihan nasional yang

dapat mencegah kemungkinan terjadinya disintegrasi, bahkan dengan adanya

Otonomi Daerah diharapkan sebagai solusi untuk meningkatkan integrasi

sosial. Selain itu, Otonomi Daerah dianggap sebagai opsi untuk

meningkatkan derajat keadilan sosial serta distribusi kewenangan secara

proporsional antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah

Daerah dalam hal penentuan kebijakan publik, penguasaan aset dan politik

serta sumber daya lokal.

Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia,

disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 antara lain Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah

propinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai Pemerintah Daerah, yang diatur

dengan Undang-Undang.5 Bahwasannya dalam penjelasan tersebut, Negara

                                                            4HAW.Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan utuh,

cet.ke-6 (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 1. 

5Lihat Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945. 

4

Indonesia itu suatu eenheid staat, maka Indonesia tidak akan mempunyai

daerah-daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat.6

Ditetapkan juga dalam Undang-Undang Otonomi Daerah yaitu

Undang-Undang nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Pelaksanaan Otonomi Daerah menurut Undang-Undang tersebut adalah hak,

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai peraturan

perundang-undangan.

Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah propinsi, kabupaten

dan kota berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala

Daerah, guna menyelenggarakan urusan Otonomi Daerah dan tugas

pembantuan. Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah, setelah

mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Substansi

atau muatan materi Perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-

undangan yang tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas

masing-masing daerah, dan substansi materi tidak boleh bertentangan dengan

kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.

                                                            6Sudarsono, Kamus hukum, Cet.ke-6 (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm.109,

454.“Eenheid staat” adalah negara kesatuan, maksudnya daerah bukanlah merupakan negara bagian, akan tetapi merupakan propinsi. ”Staat”adalah negara, maksudnya negara bagian. 

5

Peraturan Daerah memiliki hak yurisdiksi setelah diundangkan

dalam lembaran daerah, dan pembentukan Peraturan Daerah berdasarkan asas

pembentukan peraturan perundangan, yang secara garis besar mengatur

tentang:

1. kejelasan tujuan;

2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

4. dapat dilaksanakan;

5. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6. kejelasan rumusan;

7. keterbukaan.

Adapun materi muatan Peraturan Daerah mengandung asas:

1. Pengayoman;

2. kemanusiaan;

3. kebangsaan;

4. kekeluargaan;

5. kenusantaraan;

6. bhineka tunggal ika;

7. keadilan;

8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

9. ketertiban dan kepastian hukum;

10. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;

6

11. asas-asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan.7

Kewenangan daerah untuk mengatur dan membuat Peraturan

Daerah termasuk di dalamnya kewenangan untuk mengatur lokalisasi

prostitusi dalam suatu Peraturan Daerah seperti halnya yang dimiliki oleh

Kota Surabaya yakni, Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999 tentang

Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk Melakukan Perbuatan

Asusila serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila yang dibuat

oleh Kotamadya Daerah tingkat II Surabaya. Peraturan Daerah ini sangat

dibutuhkan bagi kota Surabaya dalam rangka penertiban kota, karena seperti

yang telah dijelaskan di atas, selalu ada tempat-tempat yang menyediakan

kegiatan prostitusi di berbagai daerah baik secara resmi maupun sembunyi-

sembunyi, kota Surabaya pun tidak lepas dari permasalahan yang sama.

Selain sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang terkenal

dengan sebutan kota pahlawan, kota Surabaya juga dikenal dengan kota yang

menyediakan lokalisasi prostitusi. Hal itu sangat bertentangan dengan

Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999 yang dibuat oleh Pemerintah Kota

Surabaya guna mencegah semakin bertambahnya Pekerja Seks Komersial di

kota Surabaya, seperti disebutkan dalam Pasal 2 Peraturan Daerah Nomor 7

Tahun 1999 tersebut yang menyatakan bahwa “di Kotamadya Daerah Tingkat

II Surabaya setiap orang dilarang menggunakan bangunan atau tempat untuk

                                                            7Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, cet.ke-1

(Makassar: Sinar Grafika, 2005), hlm. 37. 

7

melakukan perbuatan asusila melakukan perbuatan pemikatan untuk

melakukan perbuatan asusila.

Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penyusun

mempertanyakan bagaimana sebenarnya pengaturan lokalisasi prostitusi di

kota Surabaya dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999 yang sudah

diberlakukan sejak tahun 1999 namun sampai tahun 2013 masih terdapat

lokalisasi prostitusi di kota Surabaya, serta bagaimana efektifitas dari

Peraturan Daerah tersebut. Oleh karenanya penyusun mengambil judul

“Pengaturan Lokalisasi Prostitusi Perspektif Peraturan Daerah Nomor 7

Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk

Melakukan Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan

Asusila di Kotamadya Tingkat II Surabaya”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penyusun

merumuskan pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Lokalisasi Prostitusi dalam Peraturan Daerah

Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau

Tempat untuk Melakukan Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk

Melakukan Perbuatan Asusila di Kotamadya Tingkat II Surabaya ?

2. Bagaimana efektifitas dari Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999

tersebut ?

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk menjelaskan bagaimana pengaturan lokalisasi prostitusi

di kota Surabaya dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun

1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat

untuk Melakukan Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk

Melakukan Perbuatan Asusila di Kotamadya Tingkat II

Surabaya.

b. Untuk mengetahui bagaimana efektifitas Peraturan Daerah

Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan

Bangunan atau Tempat untuk Melakukan Perbuatan Asusila

serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila di

Kotamadya Tingkat II Surabaya.

2. Kegunaan Penelitian

Dengan penelitian ini target yang diharapkan adalah

memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis,

antara lain:

a. Secara teoritis: diharapkan hasil penelitian ini kelak dapat

untuk menyumbangkan pemikiran dalam ilmu hukum

khususnya bidang hukum tata negara terutama yang berkaitan

dengan Pemerintah Daerah dan efektifitas produk hukumnya.

9

b. Secara praktis: diharapkan penelitian ini dapat memberikan

kejelasan dari pengaturan lokalisasi prostitusi di kota Surabaya

dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999.

D. Telaah Pustaka

Sejauh pengamatan dan pengetahuan penyusun, sudah banyak

ditemukan penelitian dan tulisan (skripsi) yang membahas tentang prostitusi.

Namun, belum banyak yang membahas mengenai pengaturan yang mengatur

tentang lokalisasi tersebut. Untuk mengetahui posisi penyusun dalam

melakukan penelitian ini, maka dilakukan review terhadap beberapa

penelitian terdahulu yang ada kaitannya atau ada relevansinya terhadap

masalah pada tulisan yang akan menjadi objek penelitian.

Penelitian-penelitian yang dimaksud misalnya skripsi Mashuri

dengan judul “Kajian Yuridis Sosiologis Implementasi Perda nomor 7 Tahun

1999 Terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK)”. Dalam skripsi ini

dipertanyakan tentang bagaimanakah sebenarnya fenomena PSK di Kota

Surabaya sehingga dijuluki kota prostitusi, dan bagaimanakah upaya

implementasi Perda No. 7 Tahun 1999 terhadap Pekerja Seks Komersial yang

diterapkan Satpol PP dan Dinas Sosial kota Surabaya.8

                                                            8 Mashuri, “Kajian Yuridis Sosiologis Implementasi Perda nomor 7 Tahun 1999

Terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK) Studi pada Satpol PP dan Dinas Sosial Kota Surabaya”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2008.

 

10

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Mashuri adalah

penelitian Mashuri lebih mengarah pada implementasi Peraturan Daerah No.

7 Tahun 1999 yang diterapkan oleh satpol PP dan Dinas Sosial kota Surabaya

terhadap pekerja seks komersial, dimana dalam penelitian tersebut penyusun

membatasi ruang lingkup kajian pada upaya penerapan Peraturan Daerah

terhadap Pekerja Seks Komersial yang dilakukan oleh satpol PP dan Dinas

Sosial sedangkan dalam penelitian ini penyusun mengkaji bagaimana

efektifitas dari Peraturan Daerah No. 7 Tahun 1999 tersebut, serta bagaimana

bentuk pengaturan lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya dalam Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 1999.

Selanjutnya skripsi karya M.Sofyan Hadi, dalam penelitiannya

yang berjudul “Penegakan Peraturan Daerah DKI No 8 Tahun 2007 tentang

Prostitusi di Mangga Besar Jakarta Barat (Analisis hukum Islam)”. Dalam

skripsi ini dipertanyakan praktek penegakan hukum Peraturan Daerah DKI

No 8 Tahun 2007 serta bagaimana moralitas dari penegak hukum dalam

menangani prostitusi di Mangga Besar.9 Perbedaan antara penelitian karya M.

Sofyan Hadi dan penelitian ini jelas berbeda jika ditinjau dari segi lokasi dan

Peraturan Daerah yang menjadi objek penelitian, M. Sofyan menjadikan DKI

Jakarta sebagai lokasi yang menjadi objek penelitiannya sedangkan dalam

penelitian ini yang dijadikan sebagai lokasi untuk penelitian adalah Kota

Surabaya, kemudian jika ditinjau dari segi permasalahan M. Sofyan lebih

                                                            9M.Sofyan Hadi, “Penegakan Perda DKI No 8 Tahun 2007 tentang Prostitusi di

Mangga Besar Jakarta Barat (Analisis Hukum Islam)”, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. 

11

menekankan pada bagaimana praktek penegakan hukum Perda DKI serta

moralitas penegak hukumnya dalam menangani prostitusi sedangkan dalam

penelitian ini penyusun lebih menekankan kajian pada efektifitas Perda yang

mengatur tentang prostitusi serta bagaimana pengaturan lokalisasinya dalam

Perda tersebut.

Skripsi karya Rossy Novita Khatulistiwa, dalam penelitiannya

yang berjudul “Efektifitas Penerapan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor

8 Tahun 2005 tentang Larangan Tempat Pelacuran dan Perbuatan Cabul di

Kota Malang sebagai Upaya Penanggulangan Pelacuran Jalanan”. Dalam

penelitiannya dipertanyakan bagaimana penerapan Peraturan Daerah kota

Malang tersebut dan bagaimana tingkat keberhasilannya (efektifitasnya).

Persamaan antara penelitian Rossy dan penelitian ini yaitu sama-sama

menguji efektivitas suatu Perda tentang prostitusi serta bagaimana Perda

tersebut diterapkan, Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Rossy yaitu

dalam penelitian ini penyusun juga mengkaji bentuk pengaturan lokalisasi

prostitusi.10

Skripsi karya Fisqiyatur Rohmah yang berjudul “Politik Peka

Perempuan (Kajian Terhadap Peraturan Daerah No.5 Tahun 2007 tentang

Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta)”,

                                                            10Rossy Novita Khatulistiwa, “Efektivitas Penerapan Peraturan Daerah Kota

Malang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Tempat Pelacuran dan Perbuatan Cabul di Kota Malang Sebagai Upaya Penanggulangan Pelacuran Jalanan”, skripsi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2011.

 

12

perbedaan antara skripsi karya Fisqiyatur dan penelitian ini adalah dalam

penelitian ini dipertanyakan terkait konstruksi sosial masyarakat Bantul

terhadap prostitusi, serta konstruksi politik peka perempuan dibalik Perda

larangan pelacuran di Kabupaten Bantul, persamaan dengan penelitian ini

yaitu dalam karya Fisqiyatur juga mengkaji terkait implikasi pemberlakuan

Perda pelacuran pada masyarakat di Kabupaten Bantul, nantinya penyusun

juga akan mengkaji bagaimana sebenarnya implikasi pemberlakuan Perda

prostitusi di Kota Surabaya terhadap masyarakatnya untuk mengukur

efektivitas Perda Kota Surabaya.11

E. Kerangka Teoretik

1. Teori Negara Hukum

Konsep Negara hukum tidak asing lagi dalam ilmu

pengetahuan ketatanegaraan sejak zaman purba hingga sekarang ini.

Hanya dalam praktek ketatanegaraan orang masih pesimis, apakah

negara hukum tersebut sudah diterapkan sepenuhnya atau belum. Hal

ini dapat dipahami karena praktek, pengertian menurut teori, masih

perlu diperhitungkan dengan faktor-faktor yang nyata dan hidup

dalam masyarakat menurut waktu dan tempat, karena itu tidak

mengherankan, sebab cita-cita universal mengenai Negara Hukum

yang diletakkan dalam konstitusi sering dilanggar dalam praktiknya.

Jika keadaan semacam ini harus terus menerus terjadi, maka negara

                                                            11Fisqiyatur Rohmah, “Politik Peka Perempuan (Kajian terhadap Peraturan

Daerah No.5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta)”, skripsi ,Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.  

13

hukum bersifat formal, sedang dalam kenyataannya jauh menyimpang

dari apa yang tercantum dalam konstitusi, dan seolah-olah negara

hukum itu hanyalah suatu mitos saja yang belum pernah terbukti

dalam sejarah ketatanegaraan. Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil

amandemen disebutkan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Adanya pengakuan Negara Hukum secara intrinsik melekat pada

Pancasila dan bersumber pada Pancasila. Tujuan ide negara hukum ini

dilahirkan adalah untuk membendung adanya kesewenang-wenangan

dari kekuasaan yang mempraktekkan sistem yang absolut dan

mengabaikan hak-hak dari rakyat itu sendiri.

Negara Hukum adalah negara yang berlandaskan atas

hukum dan keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala

kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara semata-mata

berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum, hal

demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup

warganya.12

2. Teori Demokrasi

Negara Hukum harus ditopang dengan sistem Demokrasi

karena terdapat korelasi yang jelas antara Negara Hukum yang

bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan

melalui sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi tanpa pengaturan,

                                                            12Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, cet.ke-6 (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),

hlm. 88.

 

14

hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa

demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Magnis Suseno

sebagaimana dikutip oleh Ni’matul Huda dalam bukunya, demokrasi

yang bukan Negara Hukum bukan demokrasi dalam arti yang

sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk

mempertahankan kontrol atas Negara Hukum.13

3. Teori Hak Asasi Manusia

Menurut Jerome J. Shestack, istilah Hak Asasi Manusia

tidak ditemukan dalam agama tradisional. Namun demikian, ilmu

tentang ketuhanan (theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori

HAM yang berasal dari hukum yang lebih tinggi dari pada negara dan

yang sumbernya adalah Tuhan (Supreme Being). Tentunya, teori ini

mengandaikan adanya penerimaan dari doktrin yang dilahirkan

sebagai sumber dari HAM.14

Ada beberapa teori yang penting dan relevan dengan

persoalan HAM, antara lain, yaitu: teori hak-hak kodrati (natural

rights theory), teori positivisme (positivist theory) dan teori

relativisme budaya (cultural relativist theory). Menurut teori hak-hak

kodrati, HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang setiap

saat dan di semua tempat oleh karena manusia dilahirkan sebagai

manusia. Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan

harta kekayaan seperti yang diajukan oleh John Locke. Pengakuan

tidak diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari suatu

                                                            13Munthoha, Negara Hukum Indonesia, Pasca Perubahan Undang-Undang

Dasar 1945, cet.ke-1 (Yogyakarta: Kaukaba, 2013), hlm. 3. 

14Jerome J. Shestack, Jurisprudence of Human Rights, dalam Theodor Meron, edit, Human Rights in International Law Legal and Policy Issues, (New York: Oxford University Press, 1992), hlm. 76. 

15

sistem hukum, karena HAM bersifat universal. Berdasarkan alasan

ini, sumber HAM sesungguhnya semata-mata berasal dari manusia.15

4. Teori Tindakan Pemerintah

Menurut Van Vollenhoven yang dimaksudkan dengan

tindakan pemerintah (Bestuurhandeling) adalah pemeliharaan

kepentingan negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh

penguasa tinggi dan rendah. Sedangan menurut komisi poelje dalam

laporannya tahun 1972 yang dimaksudkan dengan tindakan

pemerintah dalam hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum

yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi

pemerintahan. Romeijn mengemukakan bahwa tindak pemerintahan

adalah tiap-tiap tindakan atau perbuatan dari salah satu administrasi

negara yang mencakup juga perbuatan atau hal-hal yang berada diluar

lapangan hukum tata pemerintahan seperti keamanan, peradilan dan

lain-lain dengan maksud menimbulkan akibat hukum dalam bidang

hukum administrasi.16

Tindakan pemerintah menurut Juniarso Ridwan dan

Achmad Sodik dalam bukunya mengatakan bahwa tindakan

pemerintah adalah tidakan yang dilakukan oleh organ pemerintah atau

administrasi negara yang memiliki tujuan untuk menimbulkan akibat

                                                            15Todung Mulya Lubis, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of

Indonesia’s New Order, 1966-1990, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 15. 

16S.F Marbun dan Moh.Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, cet.ke-4, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 70. 

16

hukum dibidang pemerintahan atau administrasi negara. Berdasarkan

pengertian itu, tampak beberapa unsur-unsur dari tindakan hukum

pemerintahan:

1. perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam

kedudukannya sebagai alat kelengkapan pemerintahan dengan

prakasra dan tanggung jawab sendiri.

2. perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan

fungsi pemerintahan

3. perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum dibidang

administrasi

4. perbuatan tersebut bersangkutan dengan kepentingan negara

dan masyarakat

5. perbuatan tersebut harus berdasarka ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

6. perbuatan tersebut berorientasi pada tujuan tertetu berdasarkan

hukum

Telah jelas bahwa pemerintah atau administrasi negara

adalah subyek hukum yang mewakili dua institusi yaitu jabatan,

pemerintahan dan badan hukum, karena mewakili dua institusi dikenal

ada dua tindakan hukum yaitu tindakan hukum publik dan tindakan

hukum privat.

17

Secara teoritis cara untuk menentukan apakah tindakan

pemeritahan itu diatur oleh hukum privat atau hukum publik adalah

dengan melihat kedudukan pemerintah dalam menjalankan tindakan

tersebut. Jika pemerintah bertindak dalam kedudukannya seperti

pemerintah, hanya hukum publik lah yag berlaku. Jika pemeritah

bertindak dalam kapasitas tidak sebagai pemerintah, hukum privatlah

yang berlaku. Dengan kata lain ketika pemeritah terlibat dalam

pergaulan keperdataan dan bukan dalam kedudukannya sebagai pihak

yang memelihara kepentingan umum, ia tidak berbeda dengan pihak

swasta yang tunduk pada hukum privat.17

5. Teori Norma Hukum

Bila pemerintah yang sah mengeluarkan suatu peraturan

menurut perundang-undangan yang berlaku, peraturan tersebut

ditanggapi sebagai norma yang berlaku secara yuridis, yakni peraturan

itu terasa sebagai mewajibkan, sedemikian rupa sehingga seorang

yang tidak menurut peraturan itu dapat dikritik kelakuannya, bahkan

dapat dituntut hukuman terhadapnya melalui pengadilan. Hal ini yang

dimaksud bahwa hukum bersifat normatif.

Hukum bersifat normatif, tampak dalam perumusan

kaidah-kaidah hukum. Kaidah-kaidah itu dirumuskan sebagai

penggabungan antara dua kenyataan tertentu menurut prinsip

tanggungan yakni, bila hal ini terjadi, seharusnya hal itu terjadi pula.                                                             

17Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, cet.ke-3, (Bandung: Nuansa, 2012), hlm. 141. 

18

Dikatakan “harus atau seharusnya” dalam arti tanggungan, sebab

“harus” suatu situasi yuridis berbeda dengan “harus” dalam suatu

situasi alamiah. Dalam suatu situasi alamiah dua kenyataan selalu

tergabung satu sama lain, karenannya suatu keharusan alamiah selalu

efektif. Lain halnya yuridis yang tidak selalu efektif, sebab suatu

peraturan dapat ditaati, dapat tidak.

Bila hukum diakui sebagai normatif, diakui bahwa hukum

itu mewajibkan, bahwa hukum harus ditaati. Ketaatan itu tidak dapat

disamakan dengan ketaatan akan suatu perintah. Hukum ditaati, bukan

karena terdapat suatu kekuasaan dibelakangnya, melainkan karena

mewajibkan itu termasuk hakikat hukum sendiri. Pada hakikatnya

hukum adalah norma yang mewajibkan. Hal ini jelas, sebab bila suatu

pemerintah tidak berhasil mengefektifkan suatu peraturan, sehingga

peraturan itu kurang ditaati, kekuatan peraturan tersebut sebagai

norma hilang.18

6. Teori Pemerintah Daerah

a. Otonomi Daerah

Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai hak wewenang

dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Secara prinsipil terdapat dua hal yang tercakup dalam

                                                            18Theo Huijbers, Filsafat Hukum, cet.ke-3 (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm.

45.

 

19

otonomi, yaitu hak wewenang untuk memanajemeni daerah, dan

tanggung jawab terhadap kegagalan dalam memanajemeni daerahnya

tersebut.

b. Desentralisasi

Desentralisasi adalah istilah yang luas dan selalu

menyangkut persoalan kekuatan (power), yang biasanya dihubungkan

dengan pendelegasian atau penyerahan wewenang dari pemerintah

pusat kepada pejabatnya di daerah atau kepada lembaga-lembaga

pemerintah di daerah untuk menjalankan urusan-urusan pemerintah di

daerah.

Menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 32 Tahun

2004, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh

pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dengan demikian, wewenang pemerintah tersebut adalah

wewenang yang diserahkan oleh pemerintah pusat saja, sedangkan

Pemerintah Daerah hanya melaksanakan wewenang yang diberi oleh

pemerintah pusat sesuai dengan aspirasi masyarakat daerahnya,

walaupun sebenarnya daerah diberikan kewenangan untuk mengatur

dan mengurus rumah tangganya secara luas, nyata, dan bertanggung

jawab.

Kewenangan daerah ini mencakup kewenangan dalam

seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan yang dikecualikan

20

dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini, sebagaimana diatur

dalam Pasal 10 ayat (3), yaitu kewenangan dalam bidang politik luar

negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal

nasional, dan agama. Tujuan utama desentralisasi adalah:

1) Tujuan politik, yang ditujukan untuk menyalurkan

partisipasi politik di tingkat daerah untuk terwujudnya

stabilitas politik nasional;

2) Tujuan ekonomis, yang dimaksudkan untuk menjamin

bahwa pembangunan akan dilaksanakan secara efektif dan

efisien di daerah-daerah dalam rangka kesejahteraan

sosial.

c. Dekosentrasi

Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai

hubungan yang sangat erat. Dalam hubungannya dengan tugas

pemerintahan, pemerintah pusat dapat menyerahkan urusan-urusan

pemerintahannya kepada daerah secara dekonsentrasi, yaitu urusan-

urusan pemerintah yang diserahkannya ini tetap menjadi tanggung

jawab pemerintah pusat. Dekonsentrasi merupakan tanggung jawab

pemerintah pusat, sedangkan daerah, dalam hal ini propinsi, hanya

diberi wewenang karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah

pusat di daerah. Oleh karena itu, Gubernur selain pelaksana

desentralisasi, juga melaksanakan asas dekonsentrasi. Besaran dan isi

dekonsentrasi harus dekat dengan kepentingan masyarakat dan

21

bermakna sebagai upaya mempertahankan dan memperkuat persatuan

dan kesatuan serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan meningkatkan pemberdayaan, menumbuhkan prakarsa,

dan kreatifitas masyarakat serta kesadaran nasional.19

d. Tugas Pembantuan (Medebewind)

Tugas pembantuan adalah tugas-tugas untuk turut serta

dalam melaksanakan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada

Pemerintah Daerah oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah tingkat

atasnya, dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang

menugaskan. Urusan yang ditugaskan itu sepenuhnya masih menjadi

wewenang pemerintah atau propinsi yang menugaskan ini menyusun

rencana kegiatan, atau kebijaksanaan dan menyediakan anggarannya,

sedangkan daerah yang ditugasi sekedar melaksanakannya, tetapi

wajib untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas itu.20

7. Teori Efektifitas Hukum

Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari

hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana

aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Jika suatu aturan hukum

ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya,

kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah

                                                            19Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, cet. ke-1 (Bandung:

Pustaka Setia, 2010). 

20Ibid. hlm. 89. 

22

efektif. Namun demikian, sekalipun aturan yang ditaati itu efektif

tetapi kita masih tetap bisa mempertanyakan derajat efektifitasnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan terhadap

hukum secara umum, menurut Achmad Ali antara lain:

a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum

dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum

itu. Oleh karena itu, jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk

Undang-Undang, maka pembuat Undang-Undang dituntut untuk

mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan

Undang-Undang tersebut.

b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah

dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum. Jadi,

perumusan substansi aturan hukum itu, harus ditulis dengan jelas

dan mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya tetap

membutuhkan interpretasi dari penegak hukum yang akan

menerapkannya.

c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.

Kita tidak boleh meyakini fiksi hukum yang menentukan bahwa

semua penduduk yang ada dalam wilayah suatu negara, dianggap

mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku dinegaranya.

Tidak mungkin penduduk atau warga masyarakat secara umum,

mampu mengetahui keberadaan suatu aturan hukum dan

23

substansinya, jika aturan hukum tersebut tidak disosialisasikan

secara optimal.

d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka

seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat

mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang lebih mudah

dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan.

e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu, harus dipadankan

dengan aturan hukum yang dilanggar tersebut. Suatu sanksi yang

dapat kita katakan tepat untuk suatu tujuan tertentu, belum tentu

tepat untuk untuk tujuan lain.

f. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum,

harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Tidak

boleh terlalu berat dan tidak boleh terlalu ringan.

g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi

pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang

memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan

sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati,

oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap

tahapan.

h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud

larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum

yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-

orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut.

24

Aturan hukum yang sangat efektif, adalah aturan hukum yang

melarang dan mengancamkan sanksi bagi tindakan yang juga

dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain, seperti norma

moral, norma agama, norma adat istiadat atau kebiasaan, dan

lainnya. Aturan hukum yang tidak diatur dan dilarang oleh norma

lain, akan lebih tidak efektif.

i. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum,

juga tergantung pada optimal dan professional tidaknya aparat

penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum

tersebut, mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses

penegakkan hukumnya dan penerapannya terhadap suatu kasus

yang konkret.

Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga

mensyaratkan adanya pada standart hidup sosio-ekonomi yang minimal

dalam masyarakat, dan sebelumnya ketertiban umum sedikit atau banyak,

harus telah terjaga, karena tidak mungkin efektifitas hukum akan terwujud

jika masyarakat dalam keadaan kaos.21

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat

penyusun uraikan sebagai berikut:

                                                            21Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, cet.ke-4 ( Jakarta:

Kencana, 2012), hlm. 375. 

25

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Masalah

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah deskriptif, yaitu jenis penelitian yang sifatnya mendeskripsikan

atau menjelaskan Peraturan-Peraturan yang ada dan saat ini berlaku

sebagai hukum positif. Sedangkan pendekatan masalah yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

sosiologis, yaitu pendekatan terhadap hukum sebagai suatu norma

atau kaidah, dan pendekatan terhadap masyarakat dalam arti melihat

realita yang ada di masyarakat.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota Surabaya,

Propinsi Jawa Timur. Alasan dipilihnya wilayah tersebut sebagai

objek penelitian dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Analisa terhadap efektifitas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun

1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat

untuk Melakukan Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk

Berbuat Asusila di Kotamadya Daerah tingkat II Surabaya

b. Serta analisa pengaturan lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya

dalam Perda tersebut.

3. Jenis Data

Guna mendapatkan data dalam penelitian, penyusun

menggunakan dua jenis data, yaitu:

a. Data Primer

26

Data primer yaitu, suatu data yang di dapatkan dari

hasil penelitian lapangan yang diperoleh langsung dari responden atau

narasumber (field research), yakni berupa:

1) Kondisi Kota Surabaya yang menyangkut letak geografi,

sejarah kota dan lain sebagainya.

2) Sejarah munculnya lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya

3) Dampak positif serta negatif sebelum dan setelah

diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999

4) Respon masyarakat dengan diberlakukannya Peraturan Daerah

Nomor 7 Tahun 1999

b. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu suatu data yang di dapatkan dari

hasil penelitian pustaka (library research). Data sekunder yang

berupa perundang-undangan, yang memiliki otoritas tertinggi

adalah Undang-Undang Dasar 1945, kemudian data sekunder yang

digunakan dalam penelitian ini selain Undang-Undang adalah

peraturan yang otoritasnya di bawah Undang-Undang yakni,

Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota.

Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota yang dimaksud

adalah Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan

Menggunakan Bangunan atau Tempat untuk Perbuatan Asusila

serta Pemikatan untuk Melakukan Perbutan Asusila di Kota

Madya Daerah tingkat II Surabaya.

27

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun cara untuk mengumpulkan data, penyusun lakukan

dengan teknik sebagai berikut:

a. Untuk mengumpulkan data primer (field research), penyusun

melakukannya dengan cara wawancara yaitu melakukan tanya

jawab secara langsung dengan responden atau narasumber dan

dengan cara menyebar kuesioner yaitu rangkaian pertanyaan yang

disusun untuk menjaring data mengenai suatu hal yang diperlukan

dalam penelitian.

b. Untuk pengumpulan data sekunder (library research), penyusun

melakukannya dengan mempelajari peraturan perundang-

undangan, yakni, hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah para

sarjana, kamus-kamus, dan seterusnya, yang ada kaitannya

dengan materi yang dikaji.22

5. Analisis Data

Dalam menganalisis data tersebut, penyusun

mempergunakan analisis deskriptif kualitatif, yakni suatu analisis

yang sifatnya menjelaskan atau menggambarkan mengenai peraturan-

peraturan yang berlaku, kemudian dikaitkan dengan kenyataan yang

terjadi di masyarakat, dan akhirnya diambil kesimpulan.23

                                                            22Suratman dan Phillips Dillah, Metode Penelitian Hukum, cet ke-1 (Malang:

Alfabeta, 2012), hlm. 228.  

23Ibid, hlm. 229. 

28

G. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan skripsi ini penyusun membagi bahasan dalam

lima bab, yakni sebagai berikut:

Diawali dengan bab pertama, berisi pendahuluan, yang terdiri

dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan

sistematika pembahasan.

Bab kedua, berisi tinjauan tentang Pemerintah Daerah dalam

perspektif Good Governance, bab ini menguraikan tentang Asas-asas

Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik, Kebijakan Publik dan Sistem

Keterbukaan Informasi Publik

Bab ketiga, berisi tinjauan tentang pengaturan lokalisasi prostitusi

di Kota Surabaya, bab ini menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya

lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya jika dilihat dari perspektif Perda No 7

Tahun 1999

Bab keempat, berisi pembahasan tentang bagaimana pengaturan

lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya dan bagaimana efektifitas dari

Peraturan Daerah No 7 Tahun 1999

Bab kelima, yakni penutup, merupakan sesi terakhir yang memuat

kesimpulan dan merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang diangkat

dalam penelitian ini, dan ditutup dengan saran-saran.

118

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melalui pembahasan panjang pada 4 bab sebelumnya,

pada bab ini akan memberikan kesimpulan dari analisis yang telah

dilakukan. Benang merah yang dapat ditarik dari uraian pembahasan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perda No 7 Tahun 1999 mengatur lokalisasi prostitusi di Kota

Surabaya dengan ketentuan aturan berupa larangan yang

tercantum dalam konsideran huruf c yang berbunyi Pemerintah

dipandang perlu mengatur ketentuan berupa larangan

menggunakan bangunan atau tempat untuk berbuat asusila serta

pemikatan untuk berbuat asusila. Dimana dalam Perda tersebut

dinyatakan bahwa tidak ada satupun aturan yang menyatakan

lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya adalah legal atau diizinkan.

Pengaturan berupa larangan ini dipertegas dalam Pasal 2 huruf a

yang menyatakan bahwa di Kotamadya Daerah Tingkat II

Surabaya setiap orang dilarang menggunakan bangunan atau

tempat untuk melakukan perbuatan asusila, serta Pasal 2 huruf b

yang juga menyatakan bahwa setiap orang di Kotamadya Daerah

Tingkat II Surabaya dilarang melakukan perbuatan pemikatan

untuk berbuat asusila. Dengan demikian asumsi yang beredar dan

119

berkembang di kalangan masyarakat terkait pelegalan lokalisasi

prostitusi atau menganggap bahwa prostitusi di Kota Surabaya

dilokalisasi dewasa ini telah terpatahkan, karena Pemerintah Kota

Surabaya sudah mencover serangkaian hal yang berkaitan dengan

lokalisasi prostitusi di Kota Surabaya dalam Perda yang berisikan

larangan terhadap segala macam bentuk maupun kegiatan

prostitusi di Kota Surabaya.

2. Perda No 7 Tahun 1999 masih efektif diberlakukan di Kota

Surabaya serta mampu mengurangi masalah prostitusi yang terjadi

di kota tersebut, tidak diberlakukannya Perda tersebut terhitung

sejak tahun 1999 sampai pada tahun 2013 merupakan salah satu

strategi pemerintah, karena dalam mengimplementasikan Perda

tersebut pemerintah memang memerlukan proses yang panjang

dimana selain mengimplementasikan Perda tersebut pemerintah

juga memikirkan solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang

muncul akibat diimplementasikannya Perda tersebut. Efektifnya

Perda tersebut dapat diukur dengan terpenuhinya beberapa faktor

yang mempengaruhi efektifitas produk hukum itu sendiri yaitu,

aturan hukum yang dijalankan masih relevan untuk mengurangi

jumlah Pekerja Seks Komersial di Kota Surabaya, perumusan

substansi aturan dalam Perda No 7 Tahun 1999 cukup jelas dan

mampu dipahami masyarakat secara pasti, Pemerintah Kota

Surabaya telah melakukan sosialisasi seperti sebagaimana

120

mestinya kepada target pemberlakuan Perda yakni Pekerja Seks

Komersial dan Mucikari serta seluruh warga masyarakat yang

terlibat dalam lokalisasi, aturan yang terdapat di dalam Perda No 7

Tahun 1999 merupakan aturan yang sifatnya melarang bukan

mengharuskan, jadi mudah untuk diterapkan berlakunya, memuat

sanksi administratif sehingga sanksi yang diancamkan sepadan

dengan aturan hukum yang dilanggar dan bisa langsung

diterapkan, pemberian sanksi berupa denda yang diancam dalam

Perda ini ringan sehingga tidak bertentangan dengan Undang-

Undang dan faktor terakhir yaitu aturannya yang bersifat larangan

sehingga dengan mudah penegak hukum dapat langsung

mengimplementasikan Perda tersebut jika terjadi pelanggaran.

B. Saran

Dengan diberlakukannya Perda No 7 Tahun 1999 larangan

menggunakan bangunan atau tempat untuk melakukan perbuatan asusila serta

pemikatan untuk melakukan perbuatan asusila di Kotamadya Daerah Tingkat

II Surabaya adalah untuk mengurangi atau bahkan menghapus prostitusi dari

Kota Surabaya

1. Penegak hukum perlu melakukan operasi secara terprogram pasca

penutupan supaya tidak lagi muncul lokalisasi-lokalisasi baru di

Kota Surabaya

2. Seharusnya pengawasan terhadap kegiatan prostitusi tidak hanya

dipantau melalui dunia nyata saja oleh Pemerintah Kota Surabaya

121

tetapi perlu juga mengawasinya melalui operasi dunia maya

misalnya melalui media sosial atau lain sebagainnya mengingat

seiring berkembanganya waktu, tehnologi semakin canggih

sehingga memberikan banyak kemudahan bagi penggunannya

untuk menjalin komunikasi satu sama lain

3. Seharusnya harus lebih teliti lagi dalam menegakkan Perda No 7

Tahun 1999, Perlu kiranya dilakukan razia bukan hanya pada area

seputar lokalisasi tetapi juga area lain yang memungkinkan

dijadikan sebagai tempat untuk melakukan perbuatan asusila serta

pemikatan untuk melakukan perbuatan asusila

4. Aparat penegak hukum juga perlu mempelajari lebih dalam

transaksi-transaksi jual beli yang dilakukan oleh Pekerja Seks

Komersial dengan pelanggannya.

5. Pemerintah harus lebih giat lagi dalam melakukan sosialisasi

Perda, baik terhadap warga terdampak maupun tidak terdampak

6. Dukungan dari berbagai pihak (Pemerintah, aparat penegak

hukum serta masyarakat) sangat berarti demi terwujudnya Kota

Surabaya yang aman dan terhindar dari kegiatan prostitusi

122

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Daerah Daerah No 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan Atau Tempat untuk Perbuatan Asusila Serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila di Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya B. Buku-buku

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana, 2012.

Fatimah, Siti dan Nurainun Mangunsong, Panduan Praktikum Legal

Drafting, Yogyakarta: Suka Press, 2012. Hadi, M. Sofyan, “Penegakan Perda DKI No 8 Tahun 2007 tentang Prostitusi

di Mangga Besar Jakarta Barat (Analisis Hukum Islam)”, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Huda, Ni’matul , Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. ----------,Pengawasan Pusat terhadap Daerah, dalam Penyelenggaraan

Pemerintah Daerah, Yogyakarta: UII Press, 2007. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum.Yogyakarta: Kanisius, 1995. Jajuli, “Motivasi dan dampak psikologis Pekerja Seks Komersial”, skripsi,

Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, 2010.

Lubis, Todung Mulya, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas

of Indonesia’s New Order, 1966-1990, Jakarta: Gramedia, 1993.

Marbun, S.F dan Moh.Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi

Negara, Yogyakarta: Liberty, 2006.

Mashuri, “Kajian Yuridis Sosiologis Implementasi PERDA Nomor 7 Tahun 1999 Terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK) Studi pada Satpol PP

123

dan Dinas Sosial kota Surabaya”, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2008.

Mudjijono, Sarkem, Reproduksi Sosial Pelacuran. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2005.

Munthoha, Negara Hukum Indonesia, Pasca Perubahan Undang-undang 1945. Yogyakarta: Kaukaba, 2013.

Novita, Rossy Khatulistiwa, “Efektivitas Penerapan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Tempat Pelacuran dan Perbuatan Cabul di Kota Malang Sebagai Upaya Penanggulangan Pelacuran Jalanan”, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2011.

Rohmah, Fisqiyatur “Politik Peka Perempuan (Kajian terhadap Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta)”, Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.

Rosidin, Utang, Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Reza Muhammad, Lukman Hakim, “Implementasi Perda Nomor 13 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kantor Pelayanan Terpadu Kebupaten Klaten”, skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, Yogyakarta, 2013.

Shestack, Jerome J , Jurisprudence of Human Rights, dalam Theodor Meron,

edit, Human Rights in International Law Legal and Policy Issues,

New York: Oxford University Press, 1992.

Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

Soedjono, Pathologisosial, Gelandangan, Penyalahgunaan Narkotika, Alkoholisme, Prostitusi atau Pelacuran, Penyakit Jiwa, Kejahatan dll. Bandung: Alumni, 1974.

Sunarno, Siswanto , Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Makassar: Sinar Grafika, 2005.

Suratman, Philips Dillah, Metodologi Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2012.

124

Widjaja, HAW, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Winarno, Budi, Kebijakan Publik, Teori dan Proses, Yogyakarta: MedPress, 2007.

C. Internet

http://www.surabaya.go.id/ver5/, akses 2 mei 2014. http://www.merdeka.com/peristiwa/sejarah-gang-dolly-sampai-terbesar-di-

asia-tenggara.html, akses 2 mei 2014.

Wisma WTS Wisma WTS Wisma WTS Wisma WTS Wisma WTS Wisma WTS Wisma WTS

1 2001 0 6788

2 2002 0 7124

3 2003 0 7442

4 2004 0 7814

5 2005 0 8009

6 2006 0 6788

7 2007 300 388 435 1270 218 767 0 3378

8 2008 115 300 352 388 44 435 301 1270 27 218 76 767 915 3378

9 2009 85 274 186 550 54 876 331 1019 30 249 85 257 771 3225

10 2010 86 274 134 509 50 497 270 648 24 212 21 91 585 2231

11 2011 66 215 118 360 50 497 286 635 29 176 63 144 612 2027

12 2012 61 213 144 368 52 594 260 486 32 222 76 234 625 2117

JUMLAH 413 1576 934 2563 250 3334 1448 5328 142 1295 321 2260 3508 60321

Catatan

Intervensi yang telah dilakukan pemerintah kota surabaya :

1. Bimbingan dan Pelatihan

2. Pengajian setiap bulan di setiap Lokalisasi

3. Pemeriksaan kesehatan setiap bulan di Lokalisasi

4. Percepatan Alih Profesi

5. Pemulangan ke daerah asal

Dolly Jarak Sememi Klakah Rejo

DATA WISMA DAN WTS DI 6 LOKALISASI

NO TAHUN

LOKALISASIJUMLAH TOTAL

Dupak Bangunsari Tambak Asri

DATA BANTUAN STIMULAN PASCA PENUTUPAN LOKALISASI :

Dupak Bangunsari :

WTS : 135 Orang @ Rp 3,000,000,00

Mucikari : 30 Orang @ Rp 10,000,000,00

Tambak Asri :

WTS : 345 Orang @ Rp 4,450,000,00

Mucikari : 96 Orang @ 5,000,000,00

Klakahrejo

WTS : 191 Orang @ Rp 5,050,000,00

Mucikari : 69 Orang @ 5,000,000,00

Sememi

WTS : 95 Orang @ Rp 5,050,000,00

Mucikari

Dolly & Jarak

WTS : 630 Orang @ Rp 5,050,000,00

Mucikari : 66 Orang @ 5,000,000,00

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar. H-1 Penutupan Lokalisasi Prostitusi Kota Surabaya di Dolly-Jarak

Gambar. Deklarasi penutupan Lokalisasi Prostitusi

Gambar. Pemberian Dana stimulan untuk

PSK dan Mucikari

Gambar. Pemulangan PSK Ke kampung

halaman masing-masing

Sumber: Dinas sosial Kota Surabaya

CURRICULUM VITAE

Nama : Zindi Setiya Afandia Mahasari

TTL : Blitar, 07 Oktober 1993

Alamat : Perum. Podo Asih, Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur

Telp./Hp : 085604536129

Alamat Jogja : Jl.Ambar kusumo No.305, Catur Tunggal –Depok, Sleman, Yogyakarta

Ayah : Sutiyo

Pekerjaan : TNI-AL

Ibu : Cici Ratna Sari

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Riwayat Pendidikan

1. SDN Dupak V Surabaya, Jawa Timur (2000-2003)

2. SDN Kejapanan III Kab.Pasuruan, Jawa Timur (2003)

3. SDN Kedung Pandan II Kab.Sidoarjo, Jawa Timur (2003-2005)

4. SMPN 1 Jabon Kab.Sidoarjo, Jawa Timur (2006-2008)

5. SMAN 1 Bangil Kab.Pasuruan, Jawa Timur (2008-2011)

Pengalaman Organisasi

1. Anggota LPM Arena

2. Anggota LPM Advokasia

3. PMII