ASETILASI DAN KARAKTERISTIK PATI AREN ASETAT
Transcript of ASETILASI DAN KARAKTERISTIK PATI AREN ASETAT
ASETILASI DAN KARAKTERISTIK
PATI AREN ASETAT
ABDUL RAHIM
SYAHRAENI KADIR
JUSMAN
i
Edisi Pertama
Penerbit
2017
ASETILASI DAN KARAKTERISTIK
PATI AREN ASETAT
Oleh:ABDUL RAHIM
SYAHRAENI KADIRJUSMAN
ii
Kutipan Pasal 72: Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hal Cipta No. 19 Tahun 2002 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayar (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDT) Asetilasi Dan Karakteristik Pati Aren Asetat Abdul Rahim. Palu: Untad Press, 2017 vi hal + 76 hal.; 15,5 x 23 cm ISBN: 978-602-6619-28-0 © Hak Cipta 2017 1. Non Fiksi i. Judul ii. Abdul Rahim Penerbit: UNTAD Press Jl. Soekarno Hatta KM. 9 Palu Sulawesi Tengah 94118
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan
buku referensi dengan judul “Asetilasi dan Karakteristik Pati
Aren Asetat” untuk dapat digunakan sebagai salah satu pegangan
dalam membantu proses belajar mengajar dalam bidang Teknologi
Hasil Pertanian (THP) karena perkembangan ilmu dan teknologi
modifikasi pati sangat pesat, maka dalam proses belajar mengajar
perlu perlengkapan sumber-sumber baru. Meskipun demikian,
diharapkan buku ini dapat memberikan informasi yang lengkap
mengenai proses asetilasi dan karakteristik fisik, kimia dan
fungsional pati aren alami dan termodifikasi dalam menunjang
keamanan dan ketahanan pangan nasional.
Buku referensi ini disusun berdasarkan hasil penelitian oleh
tim yang dilakukan di Indonesia melalui skim hibah penelitian
Strategis Nasional (Stranas) 2015-2017. Hasil-hasil penelitian
tersebut telah dipublikasikan pada jurnal nasional terakreditasi dan
bereputasi internasional yang terindeks pada scopus, EBSCO,
Thompson serta sebagian telah diseminarkan baik nasional maupun
internasional. Buku ini ditulis dengan tujuan dapat digunakan
sebagai salah satu sumber bahan ajar atau referensi untuk
meningkatkan wawasan di bidang THP khususnya teknologi
modifikasi pati aren dengan asetilasi dan pemanfaatannya. Pada
kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
iv
1. Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat pada
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI yang
telah memberikan kesempatan sebagai penerima hibah
penelitian Stranas Tahun pendanaan 2015-2017.
2. Rektor Universitas Tadulako yang telah menyediakan fasilitas
administrasi, sarana dan prasarana dalam penyusunan buku
ini.
3. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-
pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
dorongan dan masukannya, baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap penulisan dan penyempurnaan buku ini.
Penulis mengharapkan kritik, saran dan koreksi dari para
pembaca demi sempurnanya buku ini. Semoga buku Asetilasi dan
Karakteristik Pati Aren Asetat ini dapat memberikan manfaat bagi
mahasiswa dan pembaca. Amin.
Penulis
Tim Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ..................................................... i
PRAKATA......................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................... iv
BAB 1. PENDAHULUAN…………………………… 1
BAB 2. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA PATI
AREN ASETAT PADA JUMLAH PATI
AREN BERBEDA …………………………...
BAB 3. KARAKTERISTIK FUNGSIONAL PATI
AREN ASETAT PADA DS BERBEDA……
1.1. Latar Belakang ……………………………….. 1
1.2. Modifikasi pati ..…….………………………... 3
1.3. Pentingnya modfikasi pati….………………… 7
1.4. Tujuan………………………………………... 8
1.5. Asetilasi pati………………………………….. 9
13
2.1. Pengikatan gugus fungsional…………………. 13
2.2. Kristalinitas ………..…………………………. 14
2.3. Kemampuan menahan air dan minyak ……….. 15
2.4. Daya mengembang dan kelarutan ……………. 17
2.5. Viskositas……………………………………... 18
2.6. Kestabilan emulsi…………..…………………. 19
2.7. Kadar air……………………………………… 20
23
3.1. Rendemen resistant starch …………………… 23
3.2 Pengikatan asam/garam empedu……………… 25
vi
AREN ASETAT……………………………...
BAB 5. KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA
ROTI PREBIOTIK..........................................
3.3. Penurunan kolesterol………….………………. 28
BAB 4. KARAKTERISTIK PREBIOTIK PATI
31
4.1. Pola pertumbuhan bakteri…………………….. 31
4.2. Indeks prebiotik……………….……………… 33
4.3. Perubahan pH…………………………………. 35
4.4. Produksi SCFA………………….……………. 37
41
5.1. Prebiotik………………………......................... 41
5.2. Bahan roti prebiotik…………………………... 42
5.3. Proses pembuatan roti prebiotik……………… 48
5.4. Karakteristik fisik roti prebiotik……………… 52
5.5. Karakteristik kimia roti prebiotik…………….. 55
DAFTAR PUSTAKA ………………………………….. 59
GLOSARIUM…………………………………………... 68
INDEKS ………………………………………………… 75
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumber karbohidrat yang diperlukan oleh tubuh banyak
terkandung pada berbagai makanan pokok yang sering
dikonsumsi sehari-hari seperti beras, jagung, kentang, ubi kayu,
ubi jalar, sagu dan aren. Pada tanaman pangan tersebut,
karbohidrat tersimpan dalam bentuk pati. Kandungan utama
pati terdiri dari amilosa dan amilopektin, dimana komposisinya
bervariasi untuk masing-masing jenis pati. Di industri makanan,
pati digunakan sebagai binding dan thickening agent. Oleh
karena itu, karakteristik pati seperti swelling power, solubility,
freeze-thaw stability, paste clarity, dan gel strength berperan
penting untuk menghasilkan produk makanan berbasis pati
yang berkualitas.
Di era otonomi daerah, pemerintah daerah berusaha
mencari pontensi daerah yang dapat dikembangkan, yang pada
dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut pemanfaatan
komoditi potensial yang berperan terhadap pemenuhan bahan
baku agro-industri merupakan langkah yang tepat. Salah satu
potensi bahan baku dalam pengembangan agro-industri yang
belum dimanfaatkan secara maksimal adalah tanaman aren
(Arenga pinnata (Wurb) MERR). Tanaman aren merupakan
salah satu jenis tanaman yang telah lama dikenal petani di
2
pedesaan karena banyak memiliki manfaat, bahkan di saat krisis
ekonomi terjadi tanaman aren merupakan salah satu alternatif
yang banyak menolong petani.
Pohon aren memiliki manfaat yang banyak, yaitu antara
lain berperan dalam konservasi lahan dan air, penghasil ijuk,
nira untuk pembuatan gula, buah kolang-kaling, dan sebagai
sumber pati. Pati aren banyak digunakan terutama untuk
membuat starch noodle (sohun), hung kwe dan cendol
(Haryadi, 2002). Pohon aren hidup di wilayah ketinggian yang
luas, sehingga potensinya sangat besar. Batang aren
mengandung pati dalam batangnya. Usaha-usaha ekstraksi pati
dari batang aren sudah berkembang berupa sentra-sentra
industri kecil (Haryadi, 2002). Pohon aren juga dapat
dimanfaatkan sebagai penghasil nira atau buah kolang-kaling,
sering pohon yang sudah terlalu tua yang kurang produktif
menghasilkan nira atau buah kolang-kaling ditebang untuk
dimanfaatkan sebagai sumber pati.
Batang aren ditebang saat kandungan patinya paling
tinggi (saat produksi nira atau kolang-kaling menurun), setelah
pohon ditebang, empulur batang diolah untuk mendapatkan pati
aren. Pati aren dapat digunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan makanan seperti roti, mie, industri kerupuk, kue
kering, dan sirup berfruktosa tinggi. Dengan kemajuan
teknologi pangan, aren dapat dibuat menjadi instant artificial
rice siap santap yang dapat bersaing dengan beras alami.
3
Berbagai macam formulasi dapat dikembangkan untuk
meningkatkan cita rasa, dan penampilan produk. Pati aren juga
dapat menunjang berbagai macam industri, baik industri kecil,
menengah, maupun industri berteknologi tinggi. Pati aren yang
telah dimodifikasi dapat memberikan lebih banyak manfaat
dalam industri pangan, bahkan farmasi. Manfaat yang
dimaksud antara lain pada produksi makanan beku, rerotian,
bahan minuman prebiotik, bahan penyalut lapis tipis (film
coating) tablet, dan lain sebagainya.
Batang aren mengandung karbohidrat yang tinggi
dengan komponen utama adalah pati sebesar 90,49% berat
kering (Alam, 2006) dengan kadar amilosa 31% (Rahim dan
Haryadi, 2008). Pati aren sebagaimana jenis pati lainnya dapat
dimanfaatkan untuk produk pangan dan non pangan. Namun
demikian pati aren alami pemanfaatannya masih terbatas
karena mudah mengalami retrogradasi, tidak stabil terhadap
panas dan asam. Selain itu sifat fisik dan kimia sebagai
ingridien pangan dan fungsional untuk kesehatan belum
optimal. Untuk memperbaiki sifat-sifat tersebut, maka pati
aren harus dimodifikasi secara kimiawi.
1.2. Modifikasi pati
Modifikasi merupakan perubahan struktur molekul pati
yang dapat dilakukan dengan cara fisik, kimia (eterifikasi,
esterifikasi, oksidasi dan ikatan silang) dan enzimatik.
4
Beberapa faktor diketahui berpengaruh terhadap kecepatan
reaksi kimia antara lain lama waktu reaksi, pH, konsentrasi
reaktan, suhu, dan jenis pati (Clark, 2002). Setiap cara
modifikasi menghasilkan karakteristik pati modifikasi yang
berbeda-beda (Sriroth et al., 2002; Volkert et al., 2010).
Modifikasi pati secara kimia dapat dilakukan seperti eterifikasi,
esterifikasi, cross-linking, grafting, dekomposisi asam,
hidrolisa dengan menggunakan enzim, dan oksidasi. Ciri
modifikasi kimia adalah dengan menambahkan gugus
fungsional baru pada molekul pati sehingga mempengaruhi
sifat fisika-kimia dari pati tersebut. Modifikasi secara kimia
dapat dilakukan dengan cara penambahan reagen atau bahan
kimia tertentu dengan tujuan mengganti gugus hidroksil (OH-)
pada molekul pati. Modifikasi secara kimia, terdapat tiga gugus
OH pada atom C2, C3, dan C6 pada satuan glukosa yang dapat
disubstitusi oleh gugus fungsi reagen, sehingga derajat
substitusi (DS) maksimal 3. Reaktivitas hidrogen pada gugus
OH berbeda pada atom C2, C3, dan C6. Gugus OH pada atom
C primer (C6) lebih reaktif daripada gugus OH pada atom C
sekunder (C2 dan C3) (Xu et al., 2004) dan gugus OH pada
atom C2 lebih reaktif daripada C3 karena sifat sterik atom C3
(Diop et al., 2011).
Modifikasi pati secara asetilasi, cross-linking,
hydroxypropylation, atau kombinasi dari dua macam
modifikasi (contoh: gabungan asetilasi dan hydroxypropylation
5
pada pati beras) adalah empat metode modifikasi yang banyak
diterapkan di industri pangan (Raina et al, 2006). Dengan
menerapkan metode modifikasi tersebut pada pati, karakteristik
pati dapat ditingkatkan dan akan dihasilkan tekstur produk yang
lebih lembut, stabil, tahan terhadap asam, panas, dan air, serta
memiliki shell-life yang lebih lama jika dibandingkan dengan
pati yang tidak dimodifikasi.
Metode modifikasi pati secara asetilasi dengan DS yang
rendah telah digunakan secara luas oleh industri makanan
selama bertahun-tahun. Hal ini disebabkan oleh keunggulan
sifat fisikokimia yang dimiliki oleh pati terasetilasi seperti suhu
gelatinisasi, swelling power, solubility, dan tingkat kejernihan
pasta (paste clarity) yang tinggi, serta memiliki stabilitas
penyimpanan dan pemasakan yang lebih baik jika dibandingkan
dengan pati alaminya (Raina et al., 2006). Selain itu, kualitas
produk yang dihasilkan dari pati terasetilasi lebih stabil dan
tahan terhadap retrogradasi. Sifat fisika-kimia pada pati yang
terasetilasi ini dipengaruhi oleh jumlah distribusi gugus asetil
yang menggantikan gugus hidroksil (OH-) pada molekul pati.
Metode asetilasi merupakan metode yang sangat penting untuk
memodifikasi karakteristik pati karena metode ini dapat
memberikan efek pengentalan pada berbagai makanan. Pati
yang diperoleh melalui asetilasi biasa disebut pati asetat. Pati
asetat merupakan hasil modifikasi pati secara kimia dengan
asetat anhidrida melalui esterifikasi yang mempunyai peran
6
sebagai pangan fungsional untuk menunjang ketahanan dan
keamanan pangan nasional. Pati asetat tahan pada suhu dan
asam tinggi dibandingkan pati alaminya serta memiliki pati
tahan cerna (resistant starch, RS) yang memberikan efek
fungsional terhadap kesehatan. Pati asetat dapat juga digunakan
sebagai bahan pembuat olahan produk pangan sebagai
pengganti tepung terigu sehingga dapat menekan impor terigu
dan meningkatkan devisa negara (Rahim et al., 2016).
Modifikasi pati dengan cara esterifikasi diantaranya
asetilasi, butirilisasi dan fosforilasi ditujukan untuk
memperbaiki sifat fisik dan kimia pati serta dihasilkan pati
termodifikasi dengan kandungan RS yang tinggi. Pati ester
termodifikasi lebih sulit dicerna oleh enzim amilolitik yang
menyisakan sejumlah RS karena perubahan struktur beberapa
satuan glukosa pada molekul pati (Haryadi, 2002; Perera et al.,
2010). RS mempunyai potensi fungsional sebagai serat pangan
(Candela et al., 2010), mampu mengikat dan memerangkap air
(Sajilata et al., 2006; Rahim et al., 2012; Rahim et al., 2013;
Rahim et al., 2015), mampu mengabsorpsi asam/garam empedu
dan kolesterol (Perera et al., 2010; Rahim et al., 2013). RS tidak
dapat dicerna di usus halus dan akan difermentasi oleh
mikroflora kolon (Gibson, 2004). Menurut Yadav et al. (2010)
bahwa hasil fermentasi RS dalam kolon menghasilkan asam
lemak rantai pendek (short chain fatty acid, SCFA) terutama
asam asetat, asam propionat dan asam butirat yang bermanfaat
7
bagi kesehatan kolon, mencegah terjadinya kanker kolon,
menaikkan volume feses dan menurunkan pH kolon (Topping
et al., 2003). RS diduga sebagai prebiotik untuk menstimulasi
aktivitas dan atau mendorong pertumbuhan beberapa bakteri
selektif yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan
Lactobacilli dan menghambat atau menurunkan bakteri
patogen di dalam kolon (Brouns et al., 2002; Harmayani et al.,
2006; Rahim et al., 2013; Sajilata et al. 2006).
1.3. Pentingnya modifikasi pati
Pati modifikasi secara asetilasi menghasilkan pati
termodifikasi yang memiliki potensi fungsional sebagai
ingridien pangan dan kesehatan bahkan dapat juga sebagai
pengganti penggunaan plastik. Pati asetat memberikan efek
fungsional bagi kesehatan manusia karena kandungan RS yang
tinggi. RS tahan terhadap enzim pencernaan sehingga tidak
mampu diserap oleh usus halus, selanjutnya RS masuk ke dalam
kolon dan difermentasi oleh bakteri kolon yang menghasilkan
SCFA diketahui cukup efektif sebagai sumber energi dalam
kolon, menurunkan kolesterol, asam empedu, mereduksi
pembentukan batu empedu, mencegah kanker kolon, kanker
prostat, peradangan kolon dan sebagai anti karsinogenik (Bajka
et al., 2010; Barsby et al., 2000; Fuentes et al., 2010; Hamer et
al., 2009; Rodriguez et al., 2010; Perera et al., 2010). Pati
modifikasi dapat dimanfaatkan oleh stake holders di bidang
8
industri pangan dan non pangan, membantu pemerintah dari
aspek meningkatkan pendapatan dan kesehatan masyarakat.
Pati asetat memiliki karakteristik yang mirip dengan
karakteristik tepung terigu sehingga dapat digunakan untuk
substitusi tepung terigu dalam olahan produk pangan. Proses
asetilasi umumnya dapat diterapkan pada semua jenis pati-
patian dan dapat dilakukan pada tingkat petani dan masyarakat,
yang kemudian dapat diterima oleh industri dengan harga yang
layak, sehingga berdampak pada kenaikan pendapatan petani
dan masyarakat. Diharapkan pula penerapan ini mendorong
kenaikan penerimaan devisa negara. Diharapkan cara asetilasi
dapat diterapkan pada skala industri besar, sehingga
mengurangi impor tepung terigu yang saat ini dikenal bermutu
lebih baik daripada tepung/pati rakyat dan diharapkan pati
asetat yang dihasilkan mempunyai sifat fisik, kimia dan
fungsional mirip dengan tepung terigu sehingga dapat
menggantikan sebagian atau seluruh penggunaan terigu yang
berkaitan langsung dengan peningkatan ekonomi masyarakat.
1.4. Tujuan
Tujuan khusus dari penyusunan buku ini ialah (1)
mendapatkan informasi mengenai teknik asetilasi pati aren, (2)
membahas karakteristik fisik, kimia dan fungsional pati aren
asetat, (3) mendapatkan teknik produksi pati aren asetat skala
menengah, (4) membahas karakteristik prebiotik pati aren asetat
9
sebagai ingridien pangan fungsional secara in vitro melalui
proses fermentasi, (5) memahami aplikasi pati aren asetat
sebagai bahan substitusi tepung terigu untuk pembuatan roti
prebiotik dan (6) membahas karakteristik fisik, kimia dan
fungsional produk roti prebiotik yang dihasilkan sebagai
produk olahan pangan fungsional.
1.5. Asetilasi pati aren
Produksi pati aren asetat dapat dilakukan dengan
membuat suspensi pati aren terdiri dari 50, 200, 350, 500, 650,
800, 950 gram dengan menambahkan akuades berturut-turut
113; 450; 787; 1.124; 1.461; 1.798; 2.135 mL diaduk selama
satu jam pada suhu ruang. Selanjutnya ditambahkan asetat
anhidrida 15% (v/b) secara tetes demi tetes sambil
mempertahankan pH suspensi 8 dengan menambahkan NaOH
3% yang dilakukan pada suhu kamar dengan lama reaksi 60
menit. Setelah itu ditambahkan HCl 0,5 N sampai pH 4,5 untuk
menghentikan reaksi. Proses selanjutnya adalah pengendapan
dan pencucian dengan menggunakan akuades dua kali dan
etanol satu kali, kemudian pengeringan dengan cabinet drier
pada suhu 50oC selama 12 jam sehingga diperoleh pati aren
asetat yang dapat digunakan untuk bahan pangan fungsional.
Penentuan asetilasi didasarkan pada persen asetil dan
DS. Pola produksi pati aren asetat pada jumlah pati yang
berbeda dapat dilihat pada Gambar 1. Persen asetil dan DS pati
10
aren asetat tertinggi pada jumlah pati aren 200 g, kemudian
menurun sampai 500 g dan selanjutnya meningkat sampai 800
g dan kemudian mengalami pemurunan pada sampel 950 g.
Pola peningkatan persen asetil dan DS tidak bersifat linier, akan
tetapi bersifat kuadratik. Persen asetil dan DS yang bervariasi
pada setiap jumlah pati aren yang digunakan menunjukkan
bahwa produksi pati aren asetat dapat dilakukan dengan variasi
jumlah pati aren yang menghasilkan pati termodifikasi yang
memiliki nilai DS relatif rendah dan karakteristik semacam ini
dapat diaplikasikan sebagai bahan pangan fungsional. Pati aren
yang digunakan dalam proses asetilasi mengalami difusi dan
absorbsi gugus asetil ke dalam molekul pati sehingga dihasilkan
pati termodifikasi.
Gambar 1. Pola produksi pati aren asetat pada jumlah pati aren
yang berbeda.
Menurut Hui et al. (2009) bahwa sintesis pati oktenil
suksinat dari pati kentang menunjukkan pola peningkatan DS
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
50 200 350 500 650 800 900
Der
aja
t S
ub
stit
usi
(D
S)
Ka
da
r A
seti
l (%
)
Pati Aren (g)
Asetil DS
11
tidak linier, akan tetapi berbentuk kuadratik. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa DS pati kentang oktenil suksinat meningkat
(0,0133- 0,0143) seiring dengan meningkatnya waktu reaksi
dari 2 sampai 3 jam yang disebabkan oleh adanya tumbukan
partikel antara pati kentang dengan oktenil suksinat, dan
kemudian DS menurun (0,0143-0,0135) sampai dengan waktu
reaksi 4 jam karena jumlah oktenil suksinat anhidrida semakin
berkurang dan terjadi reaksi hidrolisis pada pati kentang
suksinat. Pola tersebut memiliki kecenderungan yang mirip
untuk semua proses asetilasi pati namun tergantung pada faktor-
faktor yang berpengaruh dalam proses modifikasi.
12
13
BAB 2. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA PATI AREN
ASETAT PADA JUMLAH PATI YANG
BERBEDA
2.1. Pengikatan gugus fungsional
Spektra fourier transform infra red (FTIR) pati aren
alami dan pati aren asetat pada jumlah pati yang berbeda
disajikan pada Gambar 2. Spektra pati aren alami memiliki
puncak pada bilangan gelombang 3510, 2932 dan 1651,07 cm-
1 yang masing-masing merupakan vibrasi dari gugus OH,
metilen (CH2), dan pengikatan air (H2O). Menurut Rahim et al.
(2012) bahwa spektra pati aren alami memiliki puncak pada
bilangan gelombang 3426, 2932 dan 1651 cm-1 yang masing-
masing merupakan vibrasi O-H dari gugus hidroksi, C-H, dan
pengikatan H2O dalam molekul pati.
Gambar 2. Spektra FTIR pati aren alami dan asetat pada jumlah
pati aren berbeda: pati aren alami (a), 200g (b), 650g (c) dan
950g (d).
14
Spektra pati aren asetat memiliki puncak baru pada
bilangan gelombang 1720 cm-1 yang menunjukkan terjadinya
inkorporasi gugus asetil mensusbsitusi gugus hidroksi dalam
molekul pati. Menurut Rahim et al. (2012) bahwa pati aren
asetat memiliki puncak baru pada bilangan gelombang 1728
cm-1. Di samping itu pati aren asetat memiliki ikatan hidrogen
yang lebih kecil dibandingkan pati aren alami karena terjadi
reaksi gugus asetil dengan gugus hidroksi pada molekul glukosa
dan terjadi penurunan gugus hidroksi pada daerah bilangan
gelombang 3000 – 3700 cm-1.
2.2. Kristalinitas
Pola X-ray diffraction (XRD) pati aren alami dan pati
aren asetat dapat dilihat pada Gambar 3. Pati aren alami dan pati
aren asetat mempunyai kristalin tipe A dengan pola puncak
utama pada 2θ = 15o, 17o, 18o dan 23o. Derajat kristalinitas
granula pati aren asetat lebih rendah dibandingkan dengan pati
alami yang disebabkan karena telah terjadi kerusakan ikatan
hidrogen intra dan antar molekul kristalin akibat proses
asetilasi. Derajat kristalinitas dari granula pati jagung asetat
lebih rendah dibandingkan dengan pati alaminya (Lopez et al.,
2010) derajat kristalinitas dari granula pati beras asetat lebih
rendah dari pada pati beras alami akibat proses asetilasi (Sha et
al., 2012).
15
Gambar 3. Kristalinitas pati aren asetat pada lama reaksi
berbeda: pati aren alami (a), 200g (b), 650g (c), 800g (d) dan
950g (e).
2.3. Kemampuan menahan air dan minyak
Pola kemampuan menahan air dan minyak (water-oil
holding capacity WHC-OHC) pati aren alami dan asetat pada
jumlah pati yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4. WHC
dan OHC pati aren asetat meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah pati aren. Data ini menunjukkan bahwa
sifat hidrofilik dan hidrofobik cenderung lebih baik setelah
asetilasi. Peningkatan WHC dan OHC disebabkan oleh adanya
perubahan geometrik dan gugus fungsional asetat pada molekul
pati yang memfasilitasi kemampuan menahan air dan minyak.
Inkorporasi gugus asetat dalam molekul pati dapat melemahkan
16
ikatan hidrogen intra dan antar molekul pati sehingga
menyebabkan perubahan geometrik molekul pati dan gugus
karbonil pada asetat memiliki kemampuan menahan air,
sedangkan gugus metil pada asetat memiliki kemampuan
menahan minyak.
Gambar 4. Pola WHC dan OHC pati aren alami dan asetat pada
jumlah pati yang berbeda
WHC dan OHC pati new cocoyam asetat lebih tinggi
daripada pati new cocoyam alami yang disebabkan oleh
inkorporasi gugus fungsi asetil ke dalam molekul pati yang
akan memfasilitasi meningkatnya kapasitas pengikatan molekul
air dan minyak (Lawal, 2004). Pati aren asetat dapat digunakan
sebagai pengental atau penstabil dalam produk pangan.
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Pati
alami
50 200 350 500 650 800 900
OH
C (
g/g
)
WH
C (
g/g
)
Pati Aren (g)
WHC OHC
17
2.4. Daya mengembang dan kelarutan
Daya mengembang pati aren asetat cenderung
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pati aren,
sedangkan kelarutan pati aren asetat mengalami penurunan
pada 50 g, kemudian meningkat sampai 350 g dan selanjutnya
menurun seiring dengan bertambahnya jumlah pati aren
(Gambar 5).
Gambar 5. Daya mengembang dan kelarutan pati aren alami
dan asetat pada jumlah pati aren yang berbeda.
Daya mengembang pati aren asetat cenderung
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pati aren.
Kelarutan pati aren asetat cenderung menurun seiring dengan
meningkatnya jumlah pati aren yang digunakan. Menurunnya
kelarutan pati aren asetat seiring dengan meningkanya jumlah
pati aren dapat menyebabkan sifat hidrofobik meningkat akibat
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Pati
alami
50 200 350 500 650 800 900
Kela
ruta
n (
%)
Daya M
en
gem
ban
g (
g/g
)
Pati Aren (g)
Daya mengembang Kelarutan
18
adanya inkorporasi gugus asetil pada molekul pati. Pati
semacam ini memiliki sifat pengemulsi sebagai bahan
tambahan makanan.
2.5. Viskositas
Viskositas pati aren asetat umumnya lebih kecil
daripada pati aren alami. Viskositas pati aren asetat untuk
semua jumlah pati aren lebih kecil dibandingkan dengan pati
alami, hal ini diduga disebabkan oleh adanya inkorporasi gugus
asetil ke dalam molekul pati secara maksimal sehingga gugus
OH lebih banyak disubstitusi oleh gugus asetil yang bersifat
mempertahankan sifat viskositas stabil, sedangkan pati alami
viskositasnya tinggi dan akan mengarah membentuk proses
retrogradasi yang menyebabkan terjadinya sineresis pada pasta
dan akhirnya mengeras. Sifat tersebut kurang bagus
diaplikasikan pada pangan yang mempertahankan sifat pasta
dan emulsi tetap stabil diantaranya pudding dan sejenisnya. Hal
ini menunjukkan bahwa pati aren asetat dapat diaplikasikan
sebagai bahan tambahan pangan untuk memperbaiki tekstur dan
mempertahankan konsistensi olahan produk pangan. Pola
viskositas pati aren alami dan asetat pada jumlah pati yang
berbeda dapat dilihat pada Gambar 6.
19
Gambar 6. Pola viskositas pati aren alami dan asetat pada
jumlah pati yang berbeda
2.6. Kestabilan emulsi
Pola kestabilan emulsi pada jumlah pati aren yang
berbeda selama penyimpanan 24, 48 dan 72 jam dapat dilihat
pada Gambar 7. Kestabilan emulsi pati aren alami lebih kecil
daripada pati aren asetat. Hal ini disebabkan karena pati aren
asetat memiliki kemampuan mengikat air dan minyak yang
lebih besar dibandingkan dengan pati alami, sehingga emulsi
yang terbentuk selama penyimpanan stabil. Kestabilan emulsi
ini diduga adanya gugus asetil pada molekul pati yang
menyebabkan molekul pati dapat bersifat hidrofobik atau biasa
disebut emulsifiyer (Perrachil and Cunha, 2010).
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
Pati
alami
50 200 350 500 650 800 900
Vis
kosi
tas
(CP
)
Pati Aren (g)
20
Gambar 7. Kestabilan emulsi pada jumlah pati aren yang
berbeda selama penyimpanan 24, 48 dan 72 jam
2.7. Kadar air
Kadar air pati aren asetat pada umumnya lebih kecil
daripada pati aren alami. Kadar air pati aren asetat untuk semua
jumlah pati aren asetat lebih kecil dibandingkan dengan pati
alami, hal ini diduga disebabkan oleh adanya inkorporasi gugus
asetil ke dalam molekul pati secara maksimal sehingga gugus
OH lebih banyak disubstitusi oleh gugus asetil yang dibuktikan
dengan adanya persen asetil dan terjadi substitusi yang
dibuktikan dengan adanya DS yang bervariasi untuk pati aren
asetat. Hal lainnya adalah terjadinya kerusakan kristalin akibat
asetilasi yang meyebabkan ikatan intra dan inter molekul
melemah sehingga air dalam molekul pati lebih banyak
menguap. Pola kadar air pati aren alami dan asetat pada jumlah
pati yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 8.
88
90
92
94
96
98
100
102
24 48 72
Kest
ab
ila
n e
mu
lsi
(%)
Waktu Pemisahan emulsi (Jam)
50g 200g 350g500g 650g 800g950g alami
21
Gambar 8. Pola kadar air pati aren alami dan asetat pada
jumlah pati yang berbeda
9.00
10.00
11.00
12.00
13.00
14.00
15.00
Pati
alami
50 200 350 500 650 800 900
Kad
ar A
ir (
%)
Pati Aren (g)
22
23
BAB 3. KARAKTERISTIK FUNGSIONAL PATI AREN
ASETAT PADA DS BERBEDA
Penentuan potensi fungsional pati aren asetat pada DS
berbeda untuk kesehatan dapat dilakukan secara in vitro dengan
mengevaluasi karakteristik fungsional meliputi kadar RS,
kemampuan pengikatan asam/garam empedu dan penurunan
kolesterol.
3.1. Rendemen Resistant starch
Rendemen RS merupakan jumlah RS yang diperoleh
dibagi dengan berat pati dikalikan dengan 100%. Rendemen RS
suatu bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
sumber botani pati, proses isolasi yang digunakan dan tingkat
perbedaan DS. Setiap sumber pati memilki tingkat kecernaan
pati yang berbeda, hal ini mengakibatkan perbedaan rendemen
RS untuk sumber pati yang berbeda pula. Proses isolasi RS
yang berbeda akan mengakibatkan rendemen RS yang
dihasilkan juga berbeda. Selain disebabkan oleh perbedaan
sumber botani pati dan cara isolasi, perbedaan rendemen RS
juga disebabkan oleh perbedaan DS yang dimiliki oleh masing-
masing sumber pati, rasio amilosa dan amilopektin dan kondisi
penyimpanan (Zhang dan Jin., 2011). Rendemen RS dari pati
aren asetat pada DS berbeda dapat dilihat pada Gambar 9.
24
4.93a
10.04b
11.20c
12.03c
0
2
4
6
8
10
12
14
Pati alami DS 0,039 DS 0,078 DS 0,139
Ren
dem
en R
S (
%)
Derajat substitusi
Gambar 9. Rendemen RS dari pati aren asetat pada DS berbeda
Rendemen RS dari pati aren alami berbeda nyata dengan
ketiga jenis pati aren asetat, dan rendemen RS dari pati aren
asetat DS 0,039 berbeda nyata dengan DS 0,078 dan DS 0,139,
sedangkan rendemen RS antara DS 0,078 dan DS 0,139 terlihat
tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa rendemen RS
dari pati aren asetat meningkat seiring dengan meningkatnya
DS. Hidrolisis pati aren alami oleh enzim α-amilase dan
amiloglukosidasi lebih mudah dibanding dengan pati aren
asetat, hal ini disebabkan karena pati aren asetat mengalami
esterifikasi dengan asetat anhidrida yang dapat menyebabkan
perubahan struktur molekul pati sehingga berpengaruh terhadap
kemampuan enzim membentuk kompleks dengan substrat
(Rahim et al., 2016).
25
3.2. Pengikatan asam/garam empedu
Di dalam usus, asam empedu primer dikonversi oleh
bakteri menjadi asam empedu sekunder yaitu asam kolat
menjadi asam deoksikolat dan asam kenodeoksikolat menjadi
asam litokolat (Yoshi dan Wasche, 2004). Asam empedu primer
maupun sekunder keduanya direabsorpsi oleh usus dan kembali
ke hati melalui siklus enterohepatik. Apabila reabsorpsi asam
empedu dihambat, misalnya oleh serat makanan termasuk RS
maka jumlah asam empedu yang kembali ke hati menjadi lebih
rendah. Hal ini berakibat pada peningkatan sintesis asam
empedu untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Oleh karena asam
empedu disintesis oleh kolesterol, maka peningkatan sintesis
asam empedu mengakibatkan penurunan kadar kolesterol
darah. Pengujian pengikatan asam/garam empedu yaitu asam
kolat, sodium taurokolat, dan sodium deoksikolat pada variasi
DS dari pati aren asetat dapat dilakukan secara in vitro. Pola
pengikatan asam/garam empedu pada DS berbeda dari pati aren
asetat dapat dilihat pada Gambar 10.
Pengikatan asam / garam empedu (asam kolat, asam
taurokolat dan asam deoksikolat) semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya DS pati aren asetat. Pengikatan asam
atau garam empedu oleh pati aren asetat diduga diinisiasi oleh
adanya interaksi hidrofobik diantara kedua senyawa tersebut.
Sifat hidrofobik pati aren asetat semakin meningkat seiring
meningkatnya DS, sehingga pengikatan asam / garam empedu
26
-1.00
1.00
3.00
5.00
7.00
9.00
11.00
Pati alami DS 0,039 DS 0,078 DS 0,139
Pem
gik
ata
n a
sam
em
ped
u (
%)
Derajat substitusi
Asam kolat
Sodium taurokolat
Sodium deoksikolat
juga semakin tinggi yang disebabkan oleh banyaknya gugus OH
pada anhiroglukosa yang tersubstitusi oleh gugus asetil.
Asam/garam empedu dan pati aren asetat sama-sama memiliki
gugus yang bersifat hidrofobik yang memungkinkan kedua
senyawa tersebut membentuk interaksi hidrofobik. Selain
interaksi hidrofobik, ikatan elektrostatik juga diduga
mempunyai peranan dalam pengikatan asam / garam empedu
oleh pati aren asetat. Pati aren asetat bersifat kationik,
sedangkan asam / garam empedu bersifat anionik yang
memungkinkan kedua senyawa tersebut membentuk ikatan
elektrostatik (Rahim et al., 2016).
Gambar 10. Pola pengikatan asam/garam empedu pada DS
berbeda dari pati aren asetat
Menurut Thongngam dan Clements, (2005) bahwa
pengikatan garam empedu (sodium taurokolat) oleh kitosan
disebabkan interaksi hirofobik dan elektrostatik. Hal yang sama
27
juga dinyatakan oleh Cornfine et al, (2010) bahwa pengikatan
asam empedu oleh dietary fibre lupins asetat disebabkan
interaksi hidrofobik. Di samping interaksi hidrofobik dan
elektrostatik serta pengikatan asam / garam empedu dengan pati
aren asetat juga diduga terjadi pengikatan secara fisik. Hal ini
disebabkan karena pati aren asetat dapat bersifat sebagai
emulsifiyer yang meningkatkan viskositas cairan uji sehingga
dapat memerangkap asam / garam empedu. Sifat emulsifiyer
meningkat dengan meningkatnya RS yang berkorelasi positif
dengan kemampuan pengikatan asam / garam empedu. Menurut
Barbana et al. (2011) bahwa mekanisme interaksi antara dietary
fibre dengan asam empedu melibatkan ikatan kimia dan
pemerangkapan dalam matriks gel akibat interaksi hidrofilik
atau hidrofobik. Besar kecilnya pengikatan terhadap asam /
garam empedu diduga ada kaitannya dengan struktur kimia dan
sifat ionik dari asam / garam empedu. Sodium deoksikolat dan
sodium taurokolat mempunyai muatan pada gugus R sehingga
mempunyai kemampuan interaksi ionik yang lebih tinggi
dibandingkan asam kolat yang gugus R-nya tidak bermuatan.
Berdasarkan hal tersebut kemungkinan ada faktor lain yang
juga berperan dalam proses pengikatan selain interaksi
hidrofobik, elektrostatik, dan secara fisik (Rahim et al., 2016).
28
89.24c
85.03b
83.24b
79.93a
74
76
78
80
82
84
86
88
90
Pati alami DS 0,039 DS 0,078 DS 0,139
Kole
sterol
(%)
Derajat Substitusi
3.3. Penurunan kolesterol
Pengukuran kadar kolesterol pada emulsi yang
ditambah dengan pati aren asetat dilakukan secara in vitro. Pola
penurunan kolesterol pada DS berbeda dari pati aren asetat
dapat dilihat pada Gambar 11. Data tersebut terlihat bahwa pati
alami menyisakan kolesterol 89,24% dalam cairan uji, pati aren
asetat DS 0,039 sebesar 85,03%, DS 0,078 sebesar 83,24% dan
DS 0,139 sebesar 79,93%. Kolesterol menurun seiring dengan
meningkatnya DS, hal ini menunjukkan bahwa pati aren asetat
mampu menurunkan/menyerap kolesterol dan semakin
meningkat dengan meningkatnya nilai DS.
Gambar 11. Pola penurunan kolesterol pada DS berbeda dari
pati aren asetat.
Penurunan kolesterol tersebut disebabkan karena pati
aren asetat mempunyai gugus hidrofobik yang dapat berikatan
dengan kolesterol melalui interaksi hidrofobik. Selain itu, pati
aren asetat juga sebagai emulsifiyer sehingga dapat
29
meningkatkan viskositas suspensi yang menyebabkan
kolesterol terperangkat di dalam matriks gel dan menghambat
absorpsi berbagai jenis makronutrien, lipid, dan asam / garam
empedu. Kitosan suksinat mengikat kolesterol melalui interaksi
hidrofobik (Chen-Minmao et al., 2011).
Mekanisme kerja pati aren asetat untuk menurunkan
kolesterol masih belum dapat dipahami. Namun diduga pati
aren asetat sebagai pengikat kolesterol melalui beberapa
mekanisme, yaitu (1) Pati aren asetat dapat meningkatkan
aktifitas enzim hepatik cholesterol 7α-hidroksilase, yaitu enzim
di dalam usus halus yang berperan dalam mengkonversi
kolesterol menjadi asam empedu dan kemudian disekresikan
bersama senyawa steroid lainnya melalui feces. (2) Pati asetat
mempunyai sifat viskos yang tinggi sehingga menyebabkan
absorpsi kolesterol dan asam empedu ke usus halus menurun
dan mengalami fermentasi oleh bakteri kolon menghasilkan
SCFA yang menghambat metabolism kolesterol. (3) Pati asetat
dapat menurunkan availabilitas kolesterol karena
kemampuannya untuk mengikat senyawa organik. (4) Pati
asetat mempunyai sifat meruah (Rahim et al., 2016).
30
31
BAB 4. KARAKTERISTIK PREBIOTIK PATI AREN
ASETAT
Pati aren hasil modifikasi secara asetilasi termasuk
golongan prebiotik karena memenuhi kriteria antara lain tidak
dihidrolisis maupun diserap (non-digestible) di saluran cerna
bagian atas traktus gastrointestinal sehingga dapat mencapai
usus besar secara utuh. Selain itu prebiotik juga menjadi
substrat selektif bagi satu atau sejumlah terbatas bakteri dalam
kolon yang distimulasi untuk tumbuh dan menjadi aktif secara
metabolik. Prebiotik dapat mengubah keseimbangan flora usus
besar ke arah komposisi yang menguntungkan kesehatan.
Evaluasi potensi prebiotik pati aren alami dan pati aren asetat
dengan DS 0,039; DS 0,078; dan DS 0,139 dengan
menggunakan inokulum dari feses segar manusia secara in vitro
dengan melalui fermentasi. Potensi prebiotik dapat dievaluasi
berdasarkan pertumbuhan bakteri kolon, indeks prebiotik,
penurunan pH dan produksi SCFA.
4.1. Pola pertumbuhan bakteri
Penentuan pertumbuhan bakteri kolon didasarkan pada
jumlah koloni yang tumbuh pada media selektif yang diinkubasi
pada suhu 37°C selama 48 jam dengan lama waktu inkubasi 0,
24, dan 48 jam. Pola pertumbuhan bakteri pada variasi DS pati
aren asetat dapat dilihat pada Tabel 1. Populasi jumlah sel
bakteri total, Bifidobacteria, Bacteroides, Lactobacilli dan
32
Clostridia untuk semua sampel mempunyai pola yang sama,
masing-masing meningkat pada lama waktu inkubasi 0 - 24 jam
dan konstan pada lama waktu inkubasi 24 - 48 jam. Pada lama
waktu inkubasi 0 - 24 jam bakteri kolon mengalami fase
eksponensial dalam pertumbuhannya, pada fase eksponensial
ini pembelahan sel berlangsung cepat, massa menjadi dua kali
lipat. Sedangkan pada lama waktu inkubasi 24 - 48 jam,
pertumbuhannya telah masuk dalam fase stasioner dan pada
fase ini pertumbuhan mulai diperlambat.
Tabel 1. Pola pertumbuhan bakteri pada variasi DS pati aren
asetat yang berbeda (pati alami, DS 0,039; DS 0,078; DS 0,139)
dengan lama waktu inkubasi 0, 24, dan 48 jam. Lama
Waktu
Inkubasi
(jam)
Variasi
RS
Jumlah koloni bakteri (log CFU/mL)
TB Bif Bac Lac Clos
0
24
48
Pati alami
DS 0,039
DS 0,078
DS 0,139
Pati alami
DS 0,039
DS 0,078
DS 0,139
Pati alami
DS 0,039
DS 0,078
DS 0,139
6,30 ±0,17
5,99 ±0,14
5,97 ±0,07
6,03 ±0,06
9,00 ±0,01
9,08 ±0,00
8,99 ±0,06
8,92 ±0,02
8,49 ±0,08
8,49 ±0,06
8,57 ±0,06
8,57 ±0,05
6,02 ±0,04
6,07 ±0,03
5,91 ±0,04
5,75 ±0,13
8,24 ±0,07
8,14 ±0,16
8,08 ±0,05
8,06 ±0,07
7,71 ±0,06
7,84 ±0,03
7,83 ±0,02
7,77 ±0,01
5,00 ±0,02
5,06 ±0,04
5,67 ±0,04
5,03 ±0,03
6,05 ±0,01
5,91 ±0,06
5,83 ±0,04
5,76 ±0,04
5,68 ±0,04
5,93 ±0,03
5,69 ±0,08
5,69 ±0,03
4,82 ±0,08
4,70 ±0,06
4,81 ±0,07
4,83 ±0,03
7,86 ±0,04
7,96 ±0,05
7,90 ±0,06
7,86 ±0,00
7,74 ±0,02
7,77 ±0,04
7,77 ±0,04
7,74 ±0,00
4,13 ±0,15
4,13 ±0,19
4,51 ±0,00
4,10 ±0,22
5,90 ±0,06
6,06 ±0,07
6,07 ±0,02
6,00 ±0,01
6,01 ±0,01
6,22 ±0,16
6,34 ±0,00
6,18 ±0,18
Keterangan: TB: Total bakteri, Bif: Bifidobacteria, Bac: Bacteroides,
Lac: Lactobacilli, Clos: Clostridia, DS: derajat substitusi.
Pati alami, DS 0,039, DS 0,078, dan DS 0,139
menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi jumlah sel
33
Bifidobacteria dan Lactobacilli meningkat 3 log siklus,
sedangkan Clostridia meningkat 2 log siklus dan Bacteroides 1
log siklus setelah fermentasi selama 24 jam, dan selanjutnya
konstan sampai 48 jam inkubasi. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa pati alami, DS 0,039, DS 0,078 dan DS 0,139
dapat dimanfaatkan oleh bakteri kolon sebagai sumber karbon
dan bersifat selektif terhadap pertumbuhan bakteri kolon
terutama Bifidobacteria dan Lactobacilli. Kedua kelompok
bakteri tersebut diketahui mampu memberikan efek yang
menguntungkan bagi kesehatan manusia.
Dalam menjaga kesehatan tubuh (diet) perlu diet pati
modifikasi termasuk pati aren asetat yang sulit dicerna untuk
menjaga keseimbangan mikroflora di usus, yang akhirnya
memunculkan konsep prebiotik. Pati aren asetat memiliki
kemampuan untuk memacu pertumbuhan populasi
Bifidobacteria dan Lactobacilli. Namun bakteri Bacteroides
dan Clostridia juga memiliki kemampuan untuk menggunakan
pati aren asetat sebagai sumber karbon meskipun pertumbuhan
relatif lebih kecil daripada Bifidobacteria dan Lactobacilli
(Rahim et al., 2016)
4.2. Indeks prebiotik
Indeks prebiotik (IP) menggambarkan hubungan antara
perubahan mikroflora yang menguntungkan dengan yang tidak
diinginkan terkait dengan kadar awal mikrobia tersebut.
34
0.91a 0.94a0.82a
0.75a
1.17b 1.16b
0.94a0.86a
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
24 48
Ind
ek
s P
reb
ioti
k (
IP)
Lama inkubasi (Jam)
Pati Alami DS 0.039 DS 0.078 DS 0.139
Pengujian IP dari pati aren alami dan pati aren asetat
menggunakan metode yang dikembangkan oleh Palframan et
al. (2003), dan Vardakou et al. (2008). Inokulum yang
digunakan berasal dari feses manusia. Nilai indeks prebiotik
pada 24 dan 48 jam yang disuplemantasi dengan berbagai DS
(pati alami, DS 0,039, DS 0,078, DS 0,139) dapat dilihat pada
Gambar 12. Nilai IP pada lama waktu inkubasi 24 jam (IP 0,82
– 1,17) lebih tinggi dibanding lama waktu inkubasi 48 jam (IP
0,75 – 1,16) untuk semua variasi DS. IP pada lama waktu
inkubasi 24 jam dan 48 jam berbeda nyata untuk sampel DS
0,078. Nilai IP yang positif pada masing-masing substrat
mengindikasikan terjadinya peningkatkan populasi
Bifidobacteria dan Lactobacilli dibandingkan populasi
Bacteroides dan Clostridia.
Gambar 12. Nilai indeks prebiotik pada 24 dan 48 jam yang
disuplemantasi dengan berbagai DS (pati alami, DS 0,039, DS
0,078, DS 0,139).
35
Pati aren alami, DS 0,039, DS 0,078, dan DS 0,139
memiliki kemampuan untuk memacu pertumbuhan bakteri
Bifidobacteria dan Lactobacilli sehingga dapat berpotensi
sebagai sumber baru prebiotik. Indeks prebiotik frukto
oligosakarida (FOS), trans-galaktooligosakarida (TOS), dan
FOS:TOS (50:50) pada fermentasi 37oC selama 24 jam oleh
bakteri kolon berturut-turut adalah 0,2; 0,8; dan 1,3 (Vulevic et
al., 2004). Ghoddusi et al. (2007) menggunakan inulin, FOS,
dan inulin : FOS (50:50) pada fermentasi 37oC selama 24 jam
oleh bakteri kolon, dimana hasilnya menyatakan bahwa IP
inulin, FOS, dan inulin : FOS (50:50) berturut-turut adalah 1,0;
2,3; dan 1,2. Menurut Licht et al. (2012) bahwa prebiotik dapat
difermentasi oleh bakteri kolon menghasilkan SCFA (asam
butirat) yang berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan dan
diferensiasi sel-sel epitelium serta meregulasi sel proinflamasi.
4.3. Perubahan pH
Nilai derajat keasaman (pH) diukur pada setiap DS
dengan lama waktu inkubasi 0, 12, 24, dan 48 jam
menggunakan pH meter. Nilai pH dengan lama waktu inkubasi
0, 12, 24, dan 48 jam pada pati alami, DS 0,039, DS 0,078, dan
DS 0,139 dapat dilihat pada Gambar 13. Lama waktu inkubasi
(sampai jam ke-24) nilai pH semakin menurun dan selanjutnya
meningkat sampai akhir fermentasi (jam ke-48). Penurunan pH
terkait langsung oleh adanya akumulasi SCFA yang bersifat
36
5
6
7
8
0 12 24 48
Nil
ai
pH
Lama fermentasi (Jam)
Pati Alami DS 0,039
DS 0,078 DS 0,139
asam dan peningkatan jumlah proton (H+) sebagai hasil
metabolisme bakteri yang ada dalam media fermentasi.
Perubahan pH menjadi asam akan menyebabkan efek
antimikroba bagi mikroba patogen, sebaliknya bakteri
menguntungkan masih dapat hidup dalam suasana asam dengan
pH optimum 3–8 (Rahim et al., 2016).
Gambar 13. Nilai pH media fermentsi pada 0, 12, 24, dan 48
jam yang disuplementasi dengan pati aren alami dan pati aren
asetat dengan DS 0,039, DS 0,078, dan DS 0,139.
Topping et al. (2007) menyatakan bahwa asam lemak
rantai pendek berpengaruh secara langsung dalam
mengasamkan kandungan digesta. Menurut Rathore et al.
(2012) bahwa fermentasi gandum oleh inokulum murni dari
Lactobacillus plantarum (NCIMB 8826) dan Lactobacillus
acidophilus (NCIMB 8821) yang diinkubasi pada suhu 37oC
menunjukkan penurunan pH dari 6,32 menjadi 3,5 pada akhir
37
fermentasi 28 jam, yang disebabkan oleh produksi asam-asam
organik selama fermentasi. Hal yang serupa dijelaskan oleh
Madhukumar dan Muralikrishna (2010) bahwa fermentasi
oligosakarida dari dedak gandum oleh inokulum
Bifidobacterium asdolescentis NDRI 236 pada suhu 37oC
selama 48 jam terlihat adanya penurunan pH yang disebabkan
oleh produksi SCFA. Menurut O’Callaghan et al. (2012) bahwa
tikus yang diberi pakan RS dari pati jagung amilosa tinggi
mempunyai digesta yang bersifat asam karena terbentuknya
SCFA. Sebagaimana dikemukakan oleh Poulsen et al. (2012)
bahwa fermentasi pati jagung, gandum, inulin oleh mikroflora
dari cairan rumen sapi menghasilkan SCFA yang membuat
asam di sekitarnya (Rahim et al., 2016).
4.4. Produksi SCFA
Penentuan short chain fatty acid (SCFA) pada media
fermentasi menggunakan gas kromatografi dengan lama waktu
inkubasi 0, 24, dan 48 jam. Konsentrasi SCFA pada 0, 24, dan
48 jam yang disuplementasi dengan pati aren alami dan pati
aren asetat pada DS 0,039, DS 0,078 dan DS 0,139 dapat dilihat
pada Tabel 2. Produksi SCFA mengalami fluktuasi dan
bervariasi dimana asam asetat diproduksi dalam jumlah
tertinggi dibanding asam propionat dan asam butirat dengan
rasio molar yang berbeda.
38
Tabel 2. Konsentrasi SCFA pada 0, 24, dan 48 jam yang
disuplementasi dengan pati aren alami dan pati aren asetat pada
DS 0,039, DS 0,078 dan DS 0,139.
Lama
Waktu
Inkubasi
(jam)
Variasi
DS
Konsentrasi SCFA (mM) Rasio Molar
AA:AP:AB
(%)
Asam
Asetat
(AA)
Asam
Propionat
(AP)
Asam
Butirat
(AB)
Total
SCFA
0
24
48
Pati alami
DS 0,039
DS 0,078
DS 0,139
Pati alami
DS 0,039
DS 0,078
DS 0,139
Pati alami
DS 0,039
DS 0,078
DS 0,139
2,656
0,992
1,032
1,073
6,986
7,800
8,046
8,481
1,873
1,068
3,074
1,034
0,955
TT
0,990
0,976
2,562
1,629
2,306
2,457
0.562
0,210
1,325
1,213
1,071
TT
O,513
0,451
1,022
0,701
0,913
0,982
TT
TT
0,859
0,574
4,682
0,992
2,535
2,500
10,570
10.130
11,265
11.920
2,435
1,278
5,258
2,821
57 : 20 : 23
100 : 0 : 0
41 : 39 : 20
43 : 39 : 18
66 : 24 : 10
77 : 16 : 7
71 : 21 : 8
71 : 21 : 8
77 : 23 : 0
84 : 16 : 0
59 : 25 : 16
37 : 43 : 20
Keterangan: TT= tidak terdeteksi
Produksi asam asetat meningkat seiring bartambahnya
lama inkubasi 0-24 untuk semua sampel dan menurun sampai
jam ke-48, sedangkan produksi butirat mengalami peningkatan
mulai dari awal sampai akhir fermentasi meskipun dalam
jumlah yang sedikit dan bahkan ada yang tidak terdeteksi. Pola
produksi asam propionat juga mempunyai kecenderungan yang
mirip dengan produksi asam asetat, meningkat seiring
bartambahnya lama inkubasi 0-24 dan dan selanjutnya menurun
sampai jam ke-48. Produksi asam butirat meningkat seiring
bertambahnya lama inkubasi 0, 24, dan 48 jam namun untuk
sampel DS 0,078 dan DS 0,139 sedangkan sampel lainnya ada
39
yang tidak terdeteksi (TT). Pada Tabel 2, terlihat konsentrasi
SCFA (asam asetat, propionat dan butirat) berbeda untuk setiap
perlakuan pada lama waktu inkubasi jam ke-0. Hal ini
disebabkan karena SCFA tersebut berasal feses yang
konsentrasinya berbeda-beda dan adanya perbedaan jalur
metabolisme produksi SCFA oleh mikrobia.
Pati alami, DS 0,039, DS 0,078, dan DS 0,139 sebagai
sumber karbon dalam fermentasi dengan bakteri kolon
menghasilkan konsentrasi SCFA yang berbeda. Hal ini diduga
karena adanya perbedaan jenis ikatan dan komposisi penyusun
jenis monosakarida. Lebih lanjut dijelaskan oleh Jonathan et al.
(2012) bahwa fermentasi glukomannan dan RS oleh mikrobia
kolon dari feses menghasilkan konsentasi SCFA yang berbeda,
hal ini disebabkan karena glukomannan mempunyai ikatan
(1,4)-β-D-mannan dengan monosakarida dari mannosa,
sedangkan RS mempunyai ikatan (1,4)-α-D-glukosa dengan
monosakarida dari glukosa (Rahim et al., 2016).
Di samping jenis ikatan dan komposisi penyusun
monosakarida, maka derajat polimerisasi (DP) juga
berpengaruh dalam fermentasi untuk produksi SCFA. Struktur
molekul yang kecil dari arbinoksilooligosakarida (DP ≤ 12)
menghasilkan efek bifidogenik dan konsentrasi SCFA yang
tinggi daripada struktur molekul yang besar (DP 61). Menurut
Ramnani et al. (2012) bahwa agar dan alginat dengan berat
40
molekul rendah memproduksi SCFA yang lebih tinggi dan
berpotensi prebiotik dibandingkan dengan berat molekul tinggi.
Pada produksi SCFA, pemanfaatan pati modifikasi akan
didegradasi oleh enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh
bakteri kolon menjadi glukosa. Selanjutnya glukosa yang
merupakan pentosa melalui fermentasi mengalami proses
glikolisis menjadi asam piruvat. Dalam proses metabolisme
selanjutnya asam piruvat akan diubah menjadi asam asetat,
asam propionat dan asam butirat. Hal ini dikarenakan bakteri
kolon merupakan kelompok jenis bakteri yang bersifat
heterofermentatif fakultatif yang dapat menghasilkan SCFA
dari fermentasi pati modifikasi / RS melalui jalur heksosa
monofosfat (HMP) atau biasa juga disebut jalur fosfoketolase
atau jalur pentosa fosfat (Rahim et al., 2016).
41
BAB 5. TEKNIK PEMBUATAN DAN
KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA ROTI
PREBIOTIK
5.1. Prebiotik
Prebiotik adalah komponen makanan yang
menguntungkan bagi kesehatan konsumen karena merangsang
pertumbuhan atau aktivitas kelompok mikroba tertentu di
dalam kolon. Prebiotik menyebabkan komposisi mikroflora
dalam kolon akan berubah. Populasi mikroba yang
menguntungkan, terutama Lactobacillus sp dan
Bifidobaciterium sp akan meningkat dan sebaliknya
pertumbuhan bakteri yang merugikan terutama Escerichia coli
dan Clostridium sp dihambat. Jika prebiotik dalam makanan
tidak cukup maka jumlah bakteri pathogen akan dominan
sehingga zat – zat beracun akan terbentuk (Silalahi, 2006).
Salah satu komponen bahan pangan fungsional yang
dikembangkan saat ini adalah pati termodifikasi termasuk pati
aren asetat yang memiliki sifat prebiotik dan dapat digunakan
sebagai bahan pensubstitusi sebagian atau seluruhnya tepung
terigu dalam olahan produk pangan seperti roti, mie dan
sebagainya, sehingga diperoleh olahan pangan yang sehat.
Prebiotik adalah komponen bahan pangan yang bermanfaat
bagi manusia karena dapat menstimulasi pertumbuhan dan
aktivitas sejumlah bakteri probiotik dalam kolon sehingga dapat
memperbaiki kesehatan saluran pencernaan manusia (Toma,
2006).
42
5.2. Bahan roti prebiotik
5.2.1. Tepung Terigu
Tepung terigu merupakan hasil penggilingan biji
gandum. Gandum bisa dibedakan berdasarkan kebiasaan
tumbuh (musim dingin atau panas), warna (merah putih sampai
kuning) dan kekerasan biji (keras atau lunak) sehingga dikenal
gandum jenis: hard/soft red winter, soft white winter, soft white
spring, red/yellow spring durum. Beberapa istilah untuk tepung
terigu antara lain: tepung kuat, tepung lemah, selfraising flour,
all purpose flour, instanized flour, enriched flour, whole wheat
flour, whole meal flour dan phospated flour. Tepung kuat dan
lemah dipakai untuk menunjukkan kandungan protein dalam
terigu. Kandungan protein tepung kuat lebih tinggi dari tepung
lemah sehingga cocok untuk membuat roti yang memerlukan
pengadukan dan fermentasi lebih lama (Koswara, 2009).
5.2.2. Pati aren asetat
Pati aren asetat marupakan hasil modifikasi pati aren
melalui proses asetilasi yang memiliki karakteristik fisik, kimia
dan fungsional yang mirip dengan tepung terigu. Pati aren asetat
memiliki daya mengembang yang besar dan juga memiliki
kadar RS yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai sumber
bahan pangan prebiotik. Produk pangan yang menggunakan
pati aren asetat ini dapat digolongkan sebagai olahan produk
pangan yang memiliki sifat prebiotik.
43
5.2.3. Garam
Fungsi garam dalam pembuatan roti adalah sebagai
penambah rasa gurih, pembangkit rasa bahan-bahan lain,
pengontrol waktu fermentasi, penambah kekuatan gluten,
pengatur warna kulit, dan pencegah timbulnya bakteri-bakteri
dalam adonan. Syarat garam yang baik yaitu harus 100% larut
air, jernih, tidak menggumpal, murni dan bebas dari rasa pahit.
Garam pada roti mempunyai fungsi yang lebih penting daripada
sekedar memperbaiki rasa. Garam membantu aktifitas amilase
dan menghambat aktifitas protease pada tepung. Adonan tanpa
garam akan menjadi lengket (agak basah) dan sukar dipegang
(Koswara, 2009).
Garam adalah salah satu bahan pengeras, bila adonan
tidak memakai garam, maka adonan agak basah.Garam
memperbaiki pori-pori roti dan tekstur roti akibat kuatnya
adonan, dan secara tidak langsung berarti membantu
pembentukan warna. Garam membantu mengatur aktifitas ragi
roti dalam adonan yang sedang difermentasi dan dengan
demikian mengatur tingkat fermentasi. Garam juga mengatur
mencegah pembentukan dan pertumbuhan bakteri yang tidak
diinginkan dalam adonan yang diragikan (Koswara, 2009).
5.2.4. Gula
Gula digunakan sebagai bahan pemanis dalam
pembuatan roti. Jenis gula yang paling banyak digunakan
adalah sukrosa. Selain sebagai pemanis sukrosa juga berperan
44
dalam penyempurnaan mutu panggang dan warna kerak, dan
memungkinkan proses pematangan yang lebih cepat, sehingga
air lebih banyak dipertahankan dalam roti (Koswara, 2009).
Gula sangat penting peranannya dalam pembuatan roti
diantaranya sebagai makanan ragi, memberi rasa, mengatur
fermentasi, memperpanjang umur roti, menambah kandungan
gizi, memberikan warna cokelat yang menarik pada kulit karena
proses maillard atau karamelisasi (Mudjajanto dan Yulianti,
2004).
Gula juga ditujukan sebagai sumber karbon pertama
dari sel khamir yang mendorong keaktifan fermentasi. Gula
yang dimanfaatkan oleh sel khamir, umumnya hanya gula-gula
sederhana, glukosa atau fruktosa, yang dihasilkan oleh
pemecahan enzimatik molekul yang lebih kompleks, seperti
sukrosa, maltosa, pati atau karbohidarat lainnya. Sukrosa dan
maltosa dapat dipecah menjadi gula sederhana (heksosa) oleh
enzim yang ada dalam sel khamir, sedangkan pati dan dekstrin
tak dapat diserang oleh khamir. Enzim-enzim yang terdapat
dalam tepung atau malt diastatik, berfungsi memproduksi gula
dekstrosa atau maltosa dari pati yang ada dalam adonan
(Koswara, 2009).
5.2.5. Susu Bubuk
Susu bubuk digunakan untuk produk-produk bakery
berfungsi membentuk flavor, mengikat air, sebagai bahan
45
pengisi, membentuk struktur yang kuat dan porous karena
adanya protein berupa kasein, membentuk warna karena terjadi
reaksi pencoklatan dan menambah keempukan karena adanya
laktosa (Koswara, 2009).
Roti yang terbuat dari tepung jenis lunak (soft) atau
berprotein rendah, penambahan susu lebih banyak
dibandingkan tepung jenis keras (hard) atau berprotein tinggi.
Penambahan susu sebaiknya berupa susu padat. Alasannya,
susu padat menambah penyerapan (absorpsi) air dan
memperkuat adonan. Bahan padat bukan lemak pada susu padat
tersebut berfungsi sebagai bahan penyegar protein tepung
sehingga volume roti bertambah (Mudjajanto dan Yulianti,
2004).
5.2.6. Ragi
Ragi termasuk bahan baku utama pada pembuatan roti.
Ragi untuk roti dibuat dari sel khamir Saccharomyces
cereviceae, dengan memfermentasi gula, khamir menghasilkan
karbondioksida yang digunakan untuk mengembangkan adonan
(Mudjajanto dan Yulianti 2004). Ragi berfungsi untuk
mengembangkan adonan dengan memproduksi gas CO2,
memperlunak gluten dengan asam yang dihasilkan dan juga
memberikan rasa dan aroma pada roti. Dengan memfermentasi
gula, khamir menghasilkan gas karbodioksida yang digunakan
untuk mengembangkan adonan (Koswara, 2009).
46
Ragi mengandung beberapa enzim yaitu protease,
lipase, invertase, maltase dan zymase. Protease memecah
protein dalam tepung menjadi senyawa nitrogen yang dapat
diserap sel khamir untuk membentuk sel yang baru. Lipase
memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserin. Invertase
memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Maltase
memecah maltosa menjadi glukosa dan zymase memecah
glukosa menjadi alkohol dan karbondioksida. Akibat dari
fermentasi ini timbul komponen-komponen pembentuk flavor
roti, diantaranya asam asetat, aldehid dan ester (Koswara,
2009).
Aktivitas ragi roti di dalam adonan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain enzim-enzim protease, lipase,
invertase dan maltase, kandungan air, suhu, pH, gula dan
garam. Enzim protease dapat mengurangi kekuatan jaringan zat
gluten sehingga adonan menjadi lebih mudah untuk diolah.
Sedangkan enzim lipase berfungsi melindungi selselragi roti
sewaktu menjadi spora. Enzim invertase merubah gula menjadi
glukosadan fruktosa, sedangkan enzim maltase merubah
maltosa menjadi dekstrosa. Adanya komponen garam akan
memperlambat kerja ragi roti. Kondisi optimal bagi aktivitas
ragi roti dalam proses fermentasi adalah pada activity water
(aw) = 0,905 suhu antara 25oC sampai 30oC dan pH antara 4.0
sampai 4.5 (Koswara, 2009).
47
5.2.7. Telur
Menurut Mudjajanto dan Yulianti (2004) telur berfungsi
sebagai pengembang, pembentuk warna, perbaikan rasa, dan
penambah nilai gizi. Jika telur tidak digunakan dalam adonan
maka adonan harus ditambahkan cairan walaupun hasilnya
kurang lunak. Roti yang lunak dapat diperoleh dengan
penggunaan kuning telur yang lebih banyak.Kuning telur
banyak mengandung lesitin (emulsifier). Bentuknya padat,
tetapi kadar airnya sekitar 50%. Sementara putih telur, kadar
airnya 86%. Putih telur mempunyai sifat creaming yang lebih
baik dibandingkan kuning telur.
Sebagai emulsifier (mengikat antar air dan lemak
sehingga dapat menyatu dalam adonan), selain itu juga
memberi rasa gurih dan menambah nilai gizi. Jika, pemakaian
kuning telur yang berlebihan akan membuat roti menjadi tidak
kekarbentuknya. gunakan telur yang segar sehingga tidak
mengurangi kualitas roti (Arifin, 2011).
5.2.8. Air
Air merupakan bahan yang berperan penting dalam
pembuatan roti, antara lain gluten terbentuk dengan adanya air.
Air sangat menentukan konsistensi dan karakteristik reologi
adonan, yang sangat menentukan sifat adonan selama proses
dan akhirnya menentukan mutu produk yang dihasilkan. Air
juga berfungsi sebagai pelarut bahan seperti garam, gula, susu
dan mineral sehingga bahan tersebut terdispersi secara merata
48
dalam adonan (Koswara, 2009). Menurut Mudjajanto dan
Yulianti (2004) air berfungsi sebagai penyebab terbentuknya
gluten serta pengontrol kepadatan dan suhu adonan. Selain itu,
air berperan sebagai pelarut garam, penahan dan penyebar
bahan-bahan bukan tepung secara seragam, dan memungkinkan
adanya aktivitas enzim.
Dalam pembuatan roti, air akan melakukan hidrasi dan
bersenyawa dengan protein membentuk gluten dan dengan pati
membentuk gel setelah dipanaskan. Jumlah air yang digunakan
tergantung pada kekuatan tepung dan proses yang digunakan.
Faktor-faktor yang terlibat pada proses penyerapan air antara
lain macam dan jumlah protein serta sebanyak 45,5 % air akan
berikatan dengan pati, 32,2 % dengan protein dan 23,4 %
dengan pentosan. Banyaknya air yang dipakai akan menentukan
mutu dari roti yang dihasilkan (Koswara, 2009).
5.2.9. Margarin
Menurut Arifin (2011) Sebagai pelumas pada adonan,
terlalu banyak margarin juga membuat roti menjadi tidak kekar
bentuknya. Margarin yang ada dipasaran, antara lain, Margarin
beraroma buah-buahan (fruity), Margarin beraroma mentega
(buttery), Margarin dengan kombinasi keduanya.
5.3. Proses pembuatan roti prebiotik
Roti umumnya dibuat dari tepung terigu, karena tepung
terigu mampu menyerap air dalam jumlah besar, dapat
49
mencapai konsisten adonan yang cepat memiliki elastisitas
yang baik untuk menghasilkan roti dengan remah halus tekstur
lembut, volume besar dan mengandung 12-13% protein. Pati
aren asetat merupakan pati hasil modifikasi secara asetilasi
yang memiliki sifat fisik mirip dengan tepung terigu sehingga
pati modifikasi ini memiliki potensi sebagai pensubstitusi
penggunaan tepung terigu. Pembuatan roti prebiotik
menggunakan komposisi seperti yang tercantum pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi bahan penyusun roti prebiotik
Bahan
Substitusi Tepung Terigu oleh Pati Aren Asetat
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%
Terigu cakra
kembar
360 g 324 g 288 g 252 g 216 g 180 g 144 g
Pati aren
asetat
0 36 g 72 108 144 g 180 g 216 g
Garam 0,25 sk 0,25 sk 0,25 sk 0,25 sk 0,25 sk 0,25 sk 0,25 sk
Gula 3 sb 3 sb 3 sb 3 sb 3 sb 3 sb 3 sb
Susu bubuk 1 sb 1 sb 1 sb 1 sb 1 sb 1 sb 1 sb
Ragi instan 1 sk 1 sk 1 sk 1 sk 1 sk 1 sk 1 sk
1 telur +air 211 g 211 g 211 g 211 g 211 g 211 g 211 g
Margarin 36 g 36 g 36 g 36 g 36 g 36 g 36 g
Keterangan: sk (sendok kecil), sb (sendok besar).
Proses pembuatan dilakukan dengan mencampur semua
bahan kering kecuali ragi instan (terigu cakra kembar, pati aren
asetat, garam, gula dan susu bubuk). Pada wadah lain, ragi
instan ditambahkan sedikit air dingin supaya lebik aktif. Ragi
instan dalam air dingin, telur, air dan margarin dimasukkan ke
dalam campuran bahan kering kemudian diuleni sampai
50
membentuk adonan kalis. Adonan kalis tersebut difermentasi
pertama selama 30 menit ditutupi plastik atau kain kasah yang
sedikit dibasahi. Proses berikutnya adalah adonan yang telah
difermentasi dibuang gasnya dengan cara dipress atau diuleni
lagi. Adonan ditimbang 40-45 gram, kemudian difermentasi
kedua selama 10 menit, selanjutnya adonan dibentuk atau
dibulatkan, kemudian difermentasi ketiga selama 15 menit.
Adonan yang telah difermentasi tersebut, diolesi kemudian
dioven 190-210oC selama 20-35 menit sampai kunig
kecoklatan. Contoh roti prebiotik yang dibuat sesuai
formulasi/resep yang tercantum pada Tabel 3 dapat dilihat pada
Gambar 14.
Gambar 14a. Roti prebiotik pada konsentrasi pati aren asetat 0
dan 10%.
0%
%
10%
%
51
Gambar 14b. Roti prebiotik pada konsentrasi pati aren asetat 20,
30, 40, 50 dan 60%.
20%
%
30%
%
40%
%
50%
%
60%
%
52
5.4. Karakteristik fisik roti prebiotik
Karakteristik roti prebiotik dari pati aren asetat pada
konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60% diantaranya daya
menahan air, daya menahan minyak, daya mengembang,
kelarutan, daya serap minyak, derajat pengembangan, weight
dan oven spring ditunjukkan pada Tabel 4. Konsentarasi pati
aren asetat tidak berpengaruh nyata terhadap daya menahan air,
daya mengembang dan weight roti prebiotik yang dihasilkan.
Di sisi lain, konsentrasi pati aren asetat berpengaruh nyata
terhadap daya menahan minyak, kelarutan, daya serap minyak,
derajat pengembangan dan oven spring roti prebiotik yang
diproduksi.
Roti tanpa pati aren asetat (0%) memiliki daya menahan
minyak paling tinggi dibandingkan dengan roti lainnya yang
terbuat dari pati aren asetat. Di samping itu roti prebiotik dari
pati aren asetat memiliki daya menahan minyak meningkat
dengan bertambahnya konsentrasi pati aren asetat. Peningkatan
daya menahan minyak disebabkan oleh adanya perubahan
geometrik dan gugus fungsional asetat pada molekul pati yang
memfasilitasi kemampuan menahan minyak, pati aren asetat
memiliki kristalinitas yang rendah dibandingkan dengan tepung
terigu atau pati aren alami serta bersifat lebih hidrofobik.
53
Tabel 4. Karakteristik fisik roti prebiotik dari pati aren asetat
pada konsentrasi berbeda.
Keterangan: DMA (daya menahan air), DMM (daya menehan minyak), DM
(daya mengembang), KLT (kelarutan), DSM (daya serap minyak) dan DP
(daya pengembangan).
Inkorporasi gugus asetat dalam molekul pati dapat
melemahkan ikatan hidrogen intra dan antar molekul pati
sehingga menyebabkan perubahan geometrik molekul pati dan
gugus karbonil pada asetat memiliki kemampuan menahan air,
sedangkan gugus metil pada asetat memiliki kemampuan
menahan minyak. Kelarutan roti memiliki kecenderungan
meningkat dengan bertambahnya konsentrasi pati aren asetat
yang digunakan dan lebih besar dibandingkan dengan
konsentrasi 0% (100% tepung terigu).
Roti tanpa pati aren asetat (0%) memiliki daya serapan
minyak yang sama dengan 60% dan keduanya terbesar,
sedangkan roti lainnya cenderung meningkat dengan
Pati
Aren
Asetat
(%)
DMA
(g/g)
DMM
(g/g)
DM
(%)
KLT
(%)
DSM
(g/g) DP (%)
Weiht
(g)
Oven
Spring
(g)
0 3.05 3.51b 38.40 2.31a 1.07b 85.92b 36.20 0.85a
10 2.93 2.84a 38.10 2.67c 0.84a 83.01b 36.05 1.45c
20 2.98 2.79a 38.13 2.46ab 0.81a 93.57b 36.00 1.02ab
30 2.71 2.92a 38.03 2.55ab 0.79a 86.44b 36.05 1.28bc
40 2.62 3.03ab 37.97 3.22cd 0.83a 89.30b 35.85 1.02ab
50 2.39 3.04ab 38.10 2.94bcd 0.98b 88.78b 36.23 1.10abc
60 2.66 3.23ab 38.34 3.34d 1.07b 63.66a 35.30 1.20abc
54
bertambahnya konsentrasi pati aren asetat. Hal ini diduga
karena terjadinya inkorporasi gugus asetil dalam molekul pati
yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur pati yang
lebih bersifat hidrofobik. Konsentrasi pati aren asetat
berpengaruh nyata terhada derajat pengembangan roti serta
memiliki kecenderungan meningkat sampai 50% kemudian
menurun pada konsentrasi pati aren asetat 60%. Pengembangan
roti terjadi sebagai hasil dari suatu reaksi yang berurutan. Disini
terdapat pengaruh fisis yang murni dari panas terhadap gas yang
terjebak sehingga menaikkan tekanan. Tambahan lagi karena
kebanyakan gas yang dilepaskan terjebak dalam film pati yang
elastis, sel gas mengembang dengan sendirinya. Dalam adonan
terdapat sejumlah besar sel gas yang kecil-kecil dimana setiap
gas mengembang dan mengakibatkan volume bertambah.
Pengembangan pada roti juga disebabkan oleh aktivitas
metabolism dalam khamir sejalan dengan naiknya suhu adonan
sampai titik non aktifnya khamir.
Derajat pengembangan dipengaruhi oleh konsentrasi,
suhu, pH larutan, gula, garam, lemak dan protein. Gula
menurunkan kekentalan karena gula mengikat air sehingga
menghambat pengembangan granula. Sedangkan lemak
membentuk ikatan kompleks dengan amilosa pada saat
pemanasan granula sehingga menghambat pelepasan amilosa.
Oven spring roti prebiotik pada konsentrasi pati aren asetat 0%
lebih kecil dibandingkan dengan lainnya serta semakin
55
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi pati aren asetat.
Hal ini disebabkan karena terjadinya pengembangan roti setelah
dioven dan salah satu sifat pati aren asetat memiliki
kemampuan mengembang yang baik. Fenomena ini diduga
disebabkan oleh melemahnya kekuatan asosiasi antarmolekul
pati karena inkorporasi gugus asetil pada gugus hidroksil dalam
molekul pati. Penelitian ini mirip dengan hasil penelitian oleh
Wang et al. (2011) bahwa daya mengembang pati jagung
oktenil suksinat meningkat dengan meningkatnya waktu reaksi
dan DS sampai dengan 0,81. Das et al. (2010) menunjukkan
bahwa daya mengembang pati sweet potato asetat meningkat
dengan meningkatnya lama reaksi dan DS dari 0,018 sampai
0,058.
5.5. Karakteristik kimia roti prebiotik
Karakteristik kimia roti prebiotik dari pati aren asetat
pada konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60% meliputi kadar
air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat, kadar
karbohidrat dan energi dapat dilihat pada Tabel 5. Konsentarasi
pati aren asetat berpengaruh nyata terhadap semua variabel
pengamatan roti prebiotik yang diproduksi. Berdasarkan Tabel
5, dapat diketahui bahwa kadar air roti prebiotik memiliki
kecenderungan menurun seiring bertambahnya konsentrasi pati
aren asetat. Menurunnya kadar air disebabkan berkurangnya
sifat hidrofilitas sehingga menurunkan kemampuan mengikat
56
air. Jumlah air yang diserap terutama sekali bergantung pada
jumlah dan kemampuan gugus hidrofilik untuk melakukan
ikatan dengan air.
Tabel 5. Karakteristik kimia roti prebiotik dari pati aren asetat
pada konsentrasi berbeda. Pati
Aren
Asetat
(%)
Air (%) Abu
(%)
Protein
(%)
Lemak
(%)
Serat
Pangan
(%)
Karbohidrat
(%)
Energi
(kkal/100g)
0 21.21ab 0.94bc 12.43d 6.25a 1.06a 58.11a 338.39a
10 22.54b 0.86a 10.76c 7.03bc 1.34ab 57.47a 336.15a
20 21.46ab 0.83a 9.70bc 7.73d 1.63b 58.65ab 342.98ab
30 20.50ab 0.90ab 8.75b 6.51ab 1.12a 62.23c 342.48ab
40 20.22ab 0.85a 9.34bc 6.69ab 1.21ab 61.68bc 344.32ab
50 22.10ab 0.86a 7.18a 6.65ab 1.12a 62.08c 336.94a
60 18.88a 0.96c 6.77a 7.31cd 1.15a 64.93c 352.59b
Kadar abu roti prebiotik 0 dan 6% signifikan terhadap
konsentrasi pati aren asetat lainnya. Sebagian besar makanan,
yaitu 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari
unsur-unsur mineral. Unsur mineral dikenal dengan zat
anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-
bahan organik terbakar namun zat anorganiknya tidak, karena
itulah disebut abu. Mineral terdiri dari kalsium, natrium, klor,
fosfor, belerang, magnesium dan komponen lain dalam jumlah
yang kecil.
Kadar protein dari roti prebiotik semakin menurun
seiring bertambahnya konsentrasi pati aren asetat. Penurunan
57
kadar protein ini disebabkan karena pati aren asetat memiliki
kandungan protein yang kecil dibandingkan dengan kandungan
protein tepung terigu yang menyebabkan penambahan pati aren
asetat akan menurunkan jumlah protein dalam roti. Disamping
itu, penyebab lain menurunnya protein diduga telah terjadi
denaturasi protein pada saat pemanggangan roti pada suhu 190-
210oC. Menurut Kusnandar (2010) denaturasi protein adalah
terjadinya modifikasi struktur sekunder, tersier, dan kuarter dari
protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida dan
perubahan sekuen asam amino pada stuktur protein. Protein
yang telah mengalami proses denaturasi disebut protein
terdenaturasi. Perubahan struktur protein ini biasanya
menyebabkan perubahan sifat fisikokimia protein secara
irreversibel, seperti hilangnya sifat kelarutan dan aktifitas
biologisnya. Denaturasi protein dapat menyebabkan bahan
pangan yang mengandung protein mengalami perubahan
tekstur, kehilangan daya ikat air, atau mengalami pengkerutan
(Kusnandar,2010). Roti tanpa pati aren asetat (0%) memiliki
kadar lemak yang sama dengan 60% dan keduanya terbesar,
sedangkan roti lainnya cenderung meningkat dengan
bertambahnya konsentrasi pati aren asetat. Hal ini diduga
karena bertambahnya sifat hidrofobik akibat proses asetilasi
pada molekul pati.
Kadar serat pangan roti prebiotik 0% (100% tepung
terigu) terkecil dibandingkan dengan lainnya. Hal ini
58
disebabkan karena pati aren asetat memiliki kandungan serat
pangan lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu. Oleh
karena itu roti dari pati aren asetat dapat digunakan sebagai
bahan pangan yang fungsional bagi kesehatan karena
kandungan seratnya yang relatif tinggi. Kadar karbohidrat dari
roti prebiotik semakin meningkat seiring bertambahnya
konsentrasi pati aren asetat. Peningkatan kadar karbohidrat
disebabkan karena pati aren asetat memiliki kandungan
karbohidrat yang lebih besar dibandingkan dengan kandungan
karbohidrat tepung terigu yang menyebabkan penambahan pati
aren asetat akan meningkatkan jumlah karbohidrat dalam roti.
Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam menentukan
karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan
lain-lain (Winarno, 1995). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai
kalori roti pati aren asetat meningkat seiring meningkatnya
konsentrasi pati aren asetat. Nilai kalori merupakan nilai yang
diperoleh dari konversi protein, lemak dan karbohidrat menjadi
energi. Sumber energi terbesar adalah lemak yang
menghasilkan 9 Kkal energi per 100 gram, sedangkan
karbohidrat dan protein menghasilkan eneri sebesar 4 Kkal per
100 gram.
59
DAFTAR PUSTAKA
Alam N. 2006. Potensi Batang Aren sebagai Sumber Pati untuk
Instant Starch Noodle. Jurnal Agroland 7 :121-128.
Arifin, S. 2011. Studi pembuatan roti dengan substitusi tepung
pisang kapok (Musa paradisiaca). Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Bajka, B.H., Clarke, J.M., Topping, D.L., Cobiac, L.,
Abeywardena, M.Y. and Patten, G.S. 2010. Butyrylated
starch increases large bowel butyrate levels and lowers
colonic smooth muscle contractility in rats. Nutr. Res. 30:
427 – 434.
Barbana, C., Boucher, A.C. and Boye J.I. 2011. In vitro binding
of bile salts by lentil flours, lentil protein concentrates
and lentil protein hydrolysates. Food Res. Int. 44: 174–
180.
Barsby, T.L., Donald, A.M. and Frazier, P.J. 2000. Starch
Advances in Structure and Function. Churchill College,
Cambridge.
Brouns, F., Kettlitz, B. and Arrigoni, E. 2002. Resistant starch
and the butyrate revolution. Trends Food Sci. Technol.
13: 251-261.
Candela, M., Maccaferri, S., Turroni, S., Carnevali, P. and
Brigidi, P. 2010. Functional intestinal microbiome, new
60
frontiers in prebiotic design. Int. J. Food Microbiol. 140:
93 – 101.
Chen, M., Liu, Y., Yang, W., Li, X., Liu, L., Zhou, Z., Wang,
Y., Li, R. and Zhang, Q. 2011. Preparation and
characterization of self-assembled nanoparticles of 6-O-
cholesterol-modified chitosan for drug delivery.
Carbohydr. Polym. 84: 1244-1251.
Clark, J. 2002. Factors Influencing Rate of Reaction.
http://www.chemguide.co.uk/
physical/basicrates/arrhenius.html#top (Akses pada
tanggal 10 Mei 2011).
Cornfine, C., Hasenkopf, K., Eisner, P. and Schweiggert, U.
2010. Influence of chemical and physical modification
on the bile acid binding capacity of dietary fibre from
lupins (Lupinus angustifolius L). Food Chem. 122: 638-
644.
Das, A.B., Singh, G., Singh, S. and Riar, C.S. 2010. Effect of
acetylation and dual modification on physico-chemical,
rheological and morphological characteristics of sweet
potato (Ipomoea batatas) starch. Carbohydr. Polym. 80:
725–732.
Diop CIK, Li HL, Xie BJ, Shi J. 2011. Effect of Acetic Acid /
Acetic Anhydride Ratios on the Properties of Corn
Starch Acetates. Food Chemistry 126 : 1662 - 1669.
61
Fuentes-Zaragoza, E., Riquelme-Navarrete, M.J., Sanchez-
Zapata, E. and Perez-Alvarez, J.A. 2010. Resistant starch
as functional ingredient. Food Res. Int. 43: 931 – 942.
Ghoddusi, H.B., Grandison, M.A., Grandison, A.S. and Tuohy,
K.M. 2007. In vitro study on gas generation and prebiotic
effect of some carbohydrates and their mixtures.
Anaerobe 13: 193-199.
Gibson, G.R., 2004. Prebiotic. Best Pract. Res. Clin.
Gastroenterol. 18: 287-298.
Hamer HM, Jonkers D, Bast A, Vanhoutvin SALW, Fischer
MAJG, Kodde A, Troots FJ, Venema K, Brummer RJM.
2009. Butyrate Modulates Oxidative Stress in the
Colonic Mucosa of Healthy Humans. Journal Clinical
Nutrition 28: 88 – 93.
Harmayani E, Marsono Y, Sismindari, Astuti IB, Darimiyya.
2006. Potensi Serat Pangan Ubi Jalar (Ipomea batatas
(L) Lam) sebagai Penghasil Butirat untuk Mencegah
Kanker. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional
PATPI di Yogyakarta.
Haryadi, 2002. The Current Status and Future Prospects of Sago
Palms in Java. In: Kainuma, K., Okazaki, M., Toyoda, Y.
and Cecil, J. E., (eds.) 2002. New Frontiers in Sago Palm
Studies. Proceedings of the International Symposium on
sago (Sago 2001), Oktober 15-17, Tsukuba. Universal
Academy Press, Inc., Tokyo.
62
Hui, R., He, C.Q., Liang, F.M., Qiong, X. and Qing, H.G. 2009.
Preparation and properties of octenyl succinic anhydride
modified potato starch. Food Chem. 114: 81-86.
Jonathan, M.C., Van den Borne, J.J.G.C., Wiechen, P.V., Da
Silva, C.S., Schols, H.A. and Gruppen, H. 2012. In vitro
fermentation of 12 dietary fibres by faecal inoculum
from pigs and humans. Food Chem. 133: 889 – 897.
Koswara, S. 2009. Teknologi pengolahan telur (Teori dan
Praktek) eBook Pangan.com. diakses pada tanggal 18
September 2017.
Kusnandar, F., 2010. Kimia Pangan : Komposisi makro. Edisi
pertama. Dian Rakyat. Jakarta.
Lawal, O. S. 2004. Composition, physicochemical properties
and retrogradation characteristics of native, oxidised,
acetylated and acid-thinned new cocoyam (Xanthosoma
sagittifolium) starch. Food Chem. 87: 205–218.
Lopez, O.V., Zaritzky, N.E. and Garcia, M.A. 2010.
Physicochemical characterization of chemically
modified corn starches related to rheological behavior,
retrogradation and film forming capacity. Journal of
Food Engineering 100: 160–168.
Madhukumar, M.S. and Muralikrishna, G. 2010. Structural
characterization and determination of prebiotic activity
of purified xylo-oligosaccharides obtained from Bengal
63
gram husk (Cicer arietinum L.) and wheat bran (Triticum
aestivum). Food Chem. 118: 215-223.
Mudjajanto, E.S. dan Yulianti, L.N. 2004. Membuat aneka roti.
Penebar Swadaya, Jakarta.
O’Callaghan, N.J., Toden, S., Bird, A.R., Topping, D.L. and
Fenech, M. 2012. Colonocyte telemore shortening is
greater with dietary red meat than white meat and is
attenuated by resistant starches. Clin. Nutr. 31: 60-64.
Palframan, R. Gibson, G.R. and Rastall, R.A. 2003.
Development of a quantitative tool for the comparison of
the prebiotic effect of dietary oligosaccharides. Lett.
Appl. Microbiol. 37: 281 – 284.
Perera, A., Meda, V. and Tyler, R.T. 2010. Resistant Starch : A
Review of Analytical protocol for determining resistant
starch and of factors affecting the resistant starch content
of food. Food Res. Int. 43: 1959 - 1974.
Perrachil F.A and Cunha R.L., 2010. Oil-in-Water Emulsions
Stabilized by Sodium Caseinate : Influence of pH, High-
Pressure Homogenization and Locust Bean Gum
Addition. Journal of Engineering 97: 441-448.
Poulsen, M., Jensen, B.B. and Engberg, R.M. 2012. The effect
of pectin, corn and wheat starch, inulin and pH on in vitro
production of methane, short chain fatty acids and on the
microbial community composition in rumen fluid.
Anaerobe 18: 83-90.
64
Rahim A, Haryadi. 2008. Pengaruh Cara Bubur pada
Pengolahan Instant Starch Noodle dari Pati Aren
terhadap Sifat Fisikokimia. Jurnal Agroland 15 (1) : 18-
21.
Rahim, A., Alam, N., Hutomo, G.S. dan Kadir, S., 2016.
Teknologi Modifikasi Pati Aren. Magnum Pustaka
Utama, Yogyakarta.
Rahim, A., Haryadi, Cahyanto, M.N. and Pranoto, Y. 2012.
Structure and Functional of Resistant Starch from
Butyrylated Arenga Starches. African Journal of Food
Science, 6(12): 335-343.
Rahim, A., Haryadi, Cahyanto, M.N., Pranoto, Y. and Hutomo,
GS. 2013. Prebiotic potential and characteristics of in
vitro fermentation products of resistant starch from
butyrylated arenga starches by human colonic
microbiota. International Journal of Biology, Pharmacy
and Allied Sciences, 2(5): 979-994.
Rahim, A., Syahraeni Kadir and Jusman, 2015. Chemical and
Functional Properties of Acetylated Arenga Starches
Prepared at Different Reaction Time. International
Journal of Current Research in Biosciences and Plant
Biology, 2(9): 43-49.
Raina, C., Singh, S., Bawa, A. and Saxena, D., 2006. Some
characteristics of acetylated cross-linked and dual
65
modified indian rice starches. Eur Food Res Technol.
223:561-570.
Ramnani, P., Chitarrari, R., Tuohy, K., Grant, J., Hotchkiss, S.,
Philp, K., Campbell, R., Gill, K. and Rowland, I. 2012.
In vitro fermentation and prebiotic potential of novel low
molecular weight polysaccharides derived from agar and
alginate seaweeds. Anaerobe 18: 1-6.
Rathore, S., Salmeron, I. and Pandiella, S.S. 2012. Production
of potentially probiotic beverages using single and mixed
cereal substrates fermented with lactic acid bacteria
cultures. Food Microbiol. 30: 239-244.
Rodríguez, C., Maria, E., Camuesco, D., Arribas, B., Garrido-
Mesa, G., Comalada, M., Bailón, E., Cueto-Sola, M.,
Utrilla, P., Guerra-Hernández, E., Pérez-Roca, C.,
Gálvez, J. and Zarzuelo, A. 2010. The combination of
fructooligosaccharides and resistant starch shows
prebiotic additive effects in rats. Am. J. Clin. Nutr. 29:
832-839.
Sajilata, M.G., R. S. Singhai and P.R. Kulkkarni. 2006.
Resistant starch–A Review. Comprehensive Reviews in
Food Science and Food Safety, Vol. 5: 1-17.
Sha, X.S., Xiang, Z.J., Bin, L., Jing, L., Bin, Z., Jiao, Y.J. and
Kun, S.R. 2012. Preparation and physical characteristics
of resistant starch (type 4) in acetylated indica rice. Food
Chem. 134: 149–154.
66
Silalahi, J. 2006. Makanan fungsional. Kanisius. Yogyakarta.
Sriroth, K., Wanlapatit, S., Kijkhunasatian, C., Sangseethong,
K., and Piyachomkwan, K. 2002. Application of ozone
in the sago starch industri. In: New frontiers of sago palm
studies (Kainuma, K., Okazaki, M., Toyoda, Y. and
Cecil, J. E., eds). Universal Academic Press, Inc., Tokyo.
Thongngam, M. and Clements, D.J. 2005. Isothermal titration
calorimetry study of the interactions between chitosan
and a bile salt (sodium taurocholate). Food Hydroc. 19:
813-819.
Toma, M.M. dan Pokrotnieks, J. 2006. Prebiotics as functional
food: Microbiological and Medical Aspects. Acta
Universitatis Latviensis. Diakses tanggal 14 Aril 2017.
Topping DL. 2007. Cereal Complex Carbohydrat and Their
Contribution to Human Health. Journal of Cereal
Science 46 : 220-229.
Topping, D. L., Fukushima, M. and Bird, A. R. 2003. Resistant
starch as a prebiotic and synbiotic: State of the Art. Proc.
Nutr. Soc. 62: 171-176.
Wang, X., Li, X., Chen, L., Xie, F., Yu, L. and Li, B. 2011.
Preparation and characterisation of octenyl succinate
starch as a delivery carrier for bioactive food
components. Food Chem. 126: 1218–1225.
Vardakou, M., Palop, C.N., Christakopoulus, P., Faulds, C.B.,
Gasson, M.A. and Narbad, A. 2008. Evaluation of the
67
prebiotic of wheat arabinoxylan fractions and induction
of hydrolase activity in gut microflora. Int. J. Food
Microbiol. 123: 166 – 170.
Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia
Pustaka Utama.
Volkert, B., Lehmann, A., Greco, T. and Nejad, M.H. 2010. A
comparison of different synthesis routes for starch
acetate and the resulting mechanical properties.
Carbohydr. Polym. 79: 571-577.
Vulevic, J., Rastall, R.A. and Gibson, G.R. 2004. Developing a
quantitative approach for determining the in vitro
prebiotic potential of dietary oligosaccharides. FEMS
Microbiol. Lett. 236: 153–159.
Xu Y, Miladinove V, Hanna MA. 2004. Synthesis and
Characterization of Starch Acetates with High
Substitution. Cereal Chemistry 81(6):735-740.
Yadav, B.S., Sharma, A. and Yadav, R.B. 2010. Resistant
starch content of conventionally boiled and pressure-
cooked cereals, legumes and tubers. J. Food Sci.
Technol. 47(1): 84 – 88.
Yoshi-Stark, Y. Wada, Y. and Wasche, A., 2004. In vitro
binding of bile acids by lupin protein isolates and their
hydrolysates. Food Chemistry 88: 179-184.
Zhang, B., Huanga, Q., Luoa, F., Fua, X., Jiang, H. and Jane, J.
2011. Effects of octenylsuccinylation on themstructure
68
and properties of high-amylose maize starch. Carbohydr.
Polym. 84: 1276–1281.
GLOSARIUM
Amilopektin Amilopektin merupakan molekul makro sebagai
senyawa penyusun pati bersama-sama dengan amilosa.
Amilosa Polimer glukosa tidak bercabang yang bersama-sama
dengan amilopektin menjadi komponen penyusun pati.
Arenga pinnata Palma yang terpenting setelah kelapa karena
merupakan tanaman serba guna. Pohon aren
menghasilkan nira dan gula, kolang-kaling, ijuk dan pati.
Asetat anhidrat Salah satu anhidrida asam yang paling
sederhana dengan nama IUPAC (etil etanoat) dan
disingkat sebagai Ac2O, rumus kimianya adalah
(CH3CO)2O. Senyawa ini merupakan reagen penting
dalam sintesis organik, tidak berwarna, berbau cuka
karena reaksi kelembabannya di udara membentuk asam
asetat.
Asetilasi Metode esterifikasi untuk membuat pati asetat yang
melibatkan substitusi nukleofilik, “penyerangan”
elektron dari pati menuju proton dari asam.
Bacteroides Genus dari bakteri Gram negatif, berbentuk
tongkat. Spesies Bacteroides tidak membentuk
endospora, anaerob, bergerak ataupun tidak dapat
69
bergerak, tergantung spesiesnya. Komposisi dasar DNA
adalah 40-48% GC.
Bifidobacteria Salah satu genus bakteri asam laktat yang hidup
di dalam kolon manusia dan hewan. Beberapa
karakteristik dari bakteri ini adalah gram-positif,
anaerobik, non-motil (tidak bergerak), tidak membentuk
spora, berbentuk batang, dan memiliki persen G+C
(guanosin-sitosin) yang tinggi (55-67%).
Butirilisasi Salah satu metode modifikasi pati aren dengan cara
mereaksikan pati tersebut dengan butirat anhidrida yang
menghasilkan pati aren butirat.
Clostridia Genus dari bakteri Gram positif yang meliputi
beberapa pathogen manusia yang signifikan terutama
agen penyebab botulisme dan bersifat anaerob obligat
yang mampu menghasilkan endospora.
Cross-linking Modifikasi pati dengan cara mereaksikan pati
dengan senyawa-senyawa yang dapat membentuk ikatan
silang pada suhu dan pH tertentu, yaitu mengganti gugus
OH- dengan gugus fungsi yang lain, seperti gugus eter,
gugus ester atau gugus fosfat agar terbentuk ikatan-
ikatanbaru antar molekul di dalam pati atau di antara
molekul pati yang satu dengan molekul pati yang lain
sehingga didapatkan jaringan makro molekul yang kaku.
Denaturasi Proses dimana protein atau asam nukleat
kehilangan struktur tersier dan sekunder dengan
70
penerapan beberapa tekanan eksternal atau senyawa
seperti asam kuat atau basa, garam anorganik
terkonsentrasi, ataupun panas.
Degree of substitution Jumlah gugus OH yang tersubstitusi
oleh reagan pereaksi pada satuan unit glukosa.
Elektrostatik Merupakan ikatan ionik yang mempersatukan
ion-ion dalam suatu senyawa ionik di mana pembentukan
ikatan ionik dilakukan dengan cara transfer elektron.
Emulsifier Penstabil suatu emulsi dengan menurunkan
tegangan permukaan secara bertahap agar butir minyak
tetap tersuspensi di dalam air.
Enzimatik Reaksi atau proses yang menggunakan enzim.
Enterohepatik Reabsorbsi sebagian besar asam empedu oleh
ileum dan dibawa ke liver untuk digunakan kembali.
Esterifikasi Modifikasi pati secara kimia melalui substitusi
gugus OH pada atom C2, C3 dan C6 dari satuan glukosa
oleh gugus asil melalui reaksi adisi-eliminasi dengan
keberadaan senyawa intermediet yang terbentuk.
Fermentasi Metabolisme oleh bakteri heterofermentatif
fakultatif di dalam kolon melalui jalur heksosa
monofosfat atau jalur fosfoketolase ataujalur pentosa
fosfat yang menghasilkan asam lemak rantai pendek
(short chain fatty acid) terutama asam asetat, asam
propionat dan asam butirat yang bermanfaat bagi
71
kesehatan kolon, mencegah terjadinya kanker kolon,
menaikkan volume feses dan menurunkan pH kolon.
Fosforilasi Penambahan gugus fosfat pada pati atau molekul
organik lain.
Gugus asetil Gugus fungsi yang menggantikan gugus OH-
pada asetilasi pati. Substitusi gugus asetil pada pati
melemahkan ikatan hidrogen pati sehingga air menjadi
lebih mudah berpenetrasi ke dalam granula pati dan
menyebabkan pembengkakan pati.
Gugus hidroksil Gugus fungsional -OH yang digunakan
sebagai subsituen pada sebuah senyawa organik.
Hidrofilik Molekul hidrofilik brsifat larut dalam air.
Hidrofobik Molekul hidrofobik dapat bereaksi dengan minyak.
Indeks prebiotik Salah satu metode evaluasi potensi prebiotik
berdasarkan kemampuannya meningkatkan populasi
Bifidobacteria dan Lactobacilli.
Inkorporasi Proses difusi gugus asetil ke dalam molekul pati
termasuk amilosa dan amilopektin yang menyebabkan
terjadinya perubahan struktur molekul pati.
Kristalinitas Keteraturan struktur kristalin hasil asetilasi pada
ikatan hidrogen intra dan antar molekul.
Lactobacilli Genus bakteri gram-positif, anaerobik fakultatif
atau mikroaerofilik.Genus bakteri ini membentuk
sebagian besar dari kelompok bakteri asam laktat,
dinamakan demikian karena kebanyakan anggotanya
72
dapat mengubah laktosa dan gula lainnya menjadi asam
laktat.
Modifikasi Perubahan struktur molekul pati yang dapat
dilakukan dengan cara fisik, kimia (eterifikasi,
esterifikasi, oksidasi dan ikatan silang) dan enzimatik.
OHC: Oil holding capacity Kemampuan menahan minyak
pada pati aren alami dan pati aren asetat.
Oksidasi Meengoksidasi pati dengan senyawa- senyawa
pengoksidasi (oksidan) dengan bantuan katalis yang
umumnya adalah logam berat atau garam dari logam
berat yang dilakukan pada pH tertentu, suhu dan waktu
reaksi yang sesuai.
Oven spring roti Bertambahnya volume atau besar roti pada 5-
6 menit pertama pemanggangan.
Pati aren asetat Pati yang berasal dari tanaman aren hasil
modifikasi menggunakan asetat anhidrida
Pati Polisakarida yang terdapat di dalam sel, berbentuk butiran-
butiran kecil (granula) yang dinamakan amiloplast atau
kloroplast, berikatan dengan air, lemak dan senyawa-
senyawa lainnya; merupakan polimer dari satuan α-D-
glukosa (anhidroglukosa) dengan rumus empiris
(C6H10O5)n; disusun oleh dua satuan polimer utama yaitu
amilosa dan amilopektin.
Persen asetil Jumlah kandungan gugus asetil yang bereaksi
dengan gugus OH pada satuan unit glukosa.
73
Prebiotik Nutrisi untuk bakteri probiotik yang banyak
ditemukan dalam makanan yang mengandung serat atau
fiber seperti brokoli, tempe, tahu, susu kedelai, sayuran
hijau dan buah.
Probiotik Mikroorganisme yang hidup di dalam kolon,
membantu metabolisme sistem pencernaan dan
membantu memperkuat daya tahan tubuh.Umumnya
bakteri probiotik ini berupa bakteri asam laktat.Dua jenis
bakteri probiotik yang paling mendominasi adalah jenis
Lactobacillus dan Bifidobacterium.
Ragi instan Ragi cepat naik untuk mengembangkan roti.
Resistant Starch Pati atau derivat pati yang tidak tercerna di
dalam usus halus individu yang sehat dan kemudian
masuk ke dalam kolon untuk digunakan sebagai substrat
bagi pertumbuhan mikroflora kolon.
Retrogradasi Bersatunya (terikatnya) kembali molekul-
molekul amilosa yang keluar dari granula pati yang telah
pecah saat gelatinisasi akibat penurunan suhu,
membentuk jaring-jaring mikrokristal dan mengendap.
Short chain fatty acid Asam lemak rantai pendek terutama
asam asetat, asam propionat dan asam butirat yang
bermanfaat bagi kesehatan kolon, mencegah terjadinya
kanker kolon, menaikkan volume feses dan menurunkan
pH kolon.
74
Solubility Salah satu sifat fungsional pati yang menunjukkan
banyaknya komponen gel pati yang larut dalam air.
Spektra FTIR: Fourier Transform Infrared Merupakan
spektrum yang dapat mendeteksi gugus-gugus fungsi
dalam suatu senyawa termasuk pati.
Swelling power Daya mengembang pati adalah kemampuan
granula pati untuk mengembang yang ditunjukkan
dengan pertambahan berat karena adanya penyerapan air
oleh granula pati.Granula pati akan mengembang dengan
adanya suhu tinggi pada kondisi cukup air.
Viskositas Ukuran kekentalan suatu fluida yang menunjukkan
besar kecilnya gesekan internal fluida.
Water holding capacity Kemampuan menahan air pada pati
alami dan pati aren asetat
Weight roti Berat roti setelah dioven atau dipanggang.
75
INDEKS
A
Amilopektin, 1, 21, 66, 69, 70
Amilosa, 1, 3, 21, 34, 51, 66, 69, 70, 71
Anhidroglukosa, 70
Asetat anhidrida, 6, 9, 22, 70
Asetilasi, ii, iii, iv, 4-11, 13-14, 19, 28, 39, 46, 54, 66, 69
B
Butirilisasi, 6, 67
C
Cross linking, 4, 62, 67
D
Daya mengembang, iv, 16, 39, 49, 50, 52, 72
Derajat substitusi/DS, iv, 4, 5, 10, 11, 19, 21-36, 52
E
Emulsi, 17-19, 26, 68
Esterifikasi, 3, 4, 6, 22, 66, 68, 70
F
Fermentasi, 6, 7, 9, 27-37, 39-43, 47, 68
Fosforilasi, 6, 69
G
Gelatinisasi, 5, 71
Gugus asetil, 5, 10, 13, 17-19, 24, 51-52, 69, 71
H
Hidrofilik, 14, 25, 53, 69
76
Hidrofobik, 14, 16, 18, 23-27, 49, 51, 54, 69
I
Indeks prebiotik, v, 28, 30-32, 69
K
Kristalin/kristalinitas, iv, 13-14, 19, 49, 69
M
Modifikasi pati, ii-iv, 3-8, 10-11, 28, 30, 37-39, 46, 54, 61, 67,
68, 70
O
Oil holding capacity/OHC, 14, 15, 70
P
Pati aren asetat, ii-v, 9-19, 21-39, 46-55, 69, 70, 72
Prebiotik, iv-v, 3, 7, 9, 28, 30-32, 37-39, 45-55, 69, 71, 74
Probiotik, 38, 71
R
Resistant Starch, iv, 6, 21, 56, 58, 60-64, 71
Retrogradasi, 3, 5, 17, 71
S
Short chain fatty acid/SCFA v, 7, 27-28, 32-37, 61, 68, 71
V
Viskositas, iv, 17-18, 25, 27, 72
W
Water holding capacity/ WHC, 14-15, 72
Weight, 49, 62, 72