ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN …...Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya...
Transcript of ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN …...Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya...
ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN ANAK
(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Alan Novandi
1111043200008
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
ABSTRAK
ALAN NOVANDI. 1111043200008. IMPLEMENTASI ASAS ULTIMUM
REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN ANAK PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA. Konsentrasi Perbandingan
Hukum, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018. ix + 71 halaman.
Skripsi ini mengkaji tentang bagaimana kedudukan asas ultimum remedium
dalam hukum pidana dan bagaimana penerapannya dalam proses peradilan pidana
anak, dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan
dengan pendekatan perbandingan hukum (comparative approach), yaitu penelitian
yang didasarkan pada analisis terhadap asas hukum dan teori hukum serta peraturan
perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan hukum, yang
kemudian membandingkannya dengan hukum negara lain atau sistem hukum yang
lain. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, yaitu
data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka-angka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedudukan asas ultimum remedium
dalam pemidanaan anak terdapat dalam instrumen hukum nasional maupun
intenasional, yang sanksi pidananya merupakan upaya terakhir, dengan
mempertimbangkan kepentingan yang terbaik bagi anak. Dalam beberapa kasus,
mengenai implementasi asas ultimum remedium dalam pemidanaan anak telah
diterapkan, tetapi harus lebih dimaksimalkan dalam setiap penanganan kasus pidana
anak. Oleh karena itu, pemahaman dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
sanksi harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip perlindungan anak.
Kata Kunci: Ultimum Remedium, Perlindungan Anak, Peradilan Anak, Hukum
Islam, dan Hukum Positif.
Pembimbing: Dr. Supriyadi Ahmad, MA.
Fathudin, S.HI., SH., MH.
Daftar Pustaka: 1967-2015
vi
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tak terhingga atas limpahan rahmat dan nikmat Allah swt,
sehingga kita semua tetap dalam kondisi sehat beserta Islam dan iman yang
melekat. Shalawat dan salam senantiasa dihaturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Ungkapan Alhamdulillah, atas selesainya tulisan skripsi yang berjudul
“Asas Ultimum Remedium dalam Pemidanaan Anak (Perspektif Hukum Islam
dan Hukum Positif di Indonesia)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum (S.H) Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai manusia yang penuh khilaf dan salah, penulis menyadari bahwa
skripsi ini jauh dari sempurna. Namun penulis berharap bahwa hasil penelitian
skripsi ini bermanfaat terutama bagi penulis dan bagi akademisi secara umum.
Penulis juga menyadari, bahwa hanya dengan bantuan banyak pihak skripsi ini
dapat terselesaikan. Oleh karena itu, ucapan banyak terima kasih penulis
sampaikan terutama kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Ahmadi, M.Si., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab
dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., M.A., Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ummi Kultsum, Dosen Pembimbing Akademik yang telah mengarahkan
banyak hal dalam perkuliahan sampai proses akhir penyelesaian skripsi ini.
vii
4. Bapak Dr. Supriyadi Ahmad, M.A. dan Bapak Fathudin, S.HI., S.H., M.H.,
dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan dan
bimbingan sampai skripsi ini selesai.
5. Bapak Dr. Muhammad Taufiqi, M.Ag. dan Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag.,
dosen penguji proposal skripsi yang telah membimbing dan memberikan
arahan terhadap langkah awal skripsi ini.
6. Para dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmunya di berbagai disiplin keilmuan, baik dalam
perkuliahan atau di luar, semoga mendapatkan balasan dari Allah swt dan
bermanfaat bagi penulis.
7. Tak lupa dan teristimewa, ungkapan terima kasih untuk Ayahanda dan
Ibunda tercinta, H. Muhadi dan Hj. Aniah serta semua anggota keluarga yang
selalu memberikan dukungan dan doa setiap waktu.
8. Yang teristimewa, Shintya Andini Sidi, SH., MH. yang selalu meluangkan
waktu, memberikan doa, dukungan dan semangat selama penyusunan skripsi
ini.
9. Seluruh teman seperjuangan mahasiswa Program Studi Perbandingan
Mazhab angkatan 2011, teman seperjuangan di Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum (BEM FSH), Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Cabang Ciputat, Ikatan Keluarga Pesantren Darunnajah (IKPDN)
Jakarta, Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi (FKMB), Forum Diskusi
Comparative of Law Studies Community (CLC), para anggota Senat
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kawan-kawan lintas kampus
dalam Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (FL2MI) dan
organisasi/komunitas lainnya yang telah meluangkan waktu bersama dalam
mendewasakan diri, berbagi ilmu dan kebersamaan.
10. Teman-teman semangat skripsi yang penulis banggakan, Abdul Gopur S.H.,
Moh. Basri, S.H., Nur Moh. Maftuh, S.H., dan Dicka Nanda Darmawan S.H.
viii
dan adik-adik mahasiswa di Program Studi Perbandingan Mazhab yang
setiap saat bersama memberikan dukungan, saran, dan masukan kepada
penulis.
11. Seluruh pihak yang ikut andil memberikan dukungan moril atau materil yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga rahmat Allah senantiasa
menyertai mereka.
Hanya ungkapan terimakasih dan doa yang dapat penulis sampaikan,
dengan harapan semoga amal ibadah mereka semua diterima oleh Allah swt,
mendapatkan balasan dengan sebaik-baiknya balasan, dan menjadi catatan
kebaikan di akhirat kelak. Amin.
Jakarta, 30 Mei 2018 M
14 Ramadhan 1439 H
Penulis
ix
DAFTAR ISI
COVER .................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 5
D. Metode Penelitian dan Pedoman Penulisan ................................ 6
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 7
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN
PERADILAN ANAK
A. Pengertian dan Konsep Umum Tentang Anak ........................... 9
B. Perlindungan Anak dalam Instrumen Hukum Nasional dan
Internasional ............................................................................... 14
C. Perlindungan Anak dalam Perspektif Hukum Islam .................. 21
D. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia ............................... 24
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ......................................................... 34
BAB III ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN
A. Teori-Teori Pemidanaan .............................................................. 30
x
B. Konsep Umum Tentang Ultimum Remedium ............................ 40
C. Ultimum Remedium dalam Hukum di Indonesia ........................ 46
D. Tinjauan Hukum Islam tentang Ultimum Remedium ................. 48
BAB IV ANALISIS ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN
ANAK PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI
INDONESIA
A. Asas Ultimum Remedium dalam Pemidanaan Anak di Indonesia .. 55
B. Implementasi Asas Ultimum Remedium dalam Pemidanaan Anak
di Indonesia ................................................................................. 59
C. Tinjauan Hukum Islam tentang Implementasi Asas Ultimum
Remedium dalam Pemidanaan Anak .......................................... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 67
B. Rekomendasi ............................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang Undang Perlindungan anak dijelaskan bahwa anak adalah bagian
yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan
sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam
keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental,
maupun sosial.1 Hal ini menyatakan bahwa hak-hak anak dalam proses
perkembangannya perlu diperhatikan. Hak anak merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara.
Namun, dalam perkembangannya, terkadang anak melakukan sesuatu yang
dianggap tidak baik sehingga merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Bahkan
tindakan yang dilakukannya tersebut dianggap sudah termasuk perbuatan yang
dilarang oleh hukum. Tentunya menjadi polemik saat anak melakukan tindakan
pidana, karena di satu sisi, anak perlu mendapatkan perhatian dan pembinaan dari
orang-orang terdekatnya, di sisi yang lain anak tersebut harus menjalani prosesi
pemidanaan karena melakukan suatu perbuatan yang melanggar undang-undang.
Tingkah laku yang demikian terjadi dikarenakan dalam masa pertumbuhannya
kondisi mental anak belum betul-betul stabil, juga tidak terlepas pula pengaruh dari
lingkungan, pergaulan, bahkan keluarganya sendiri. Sehingga tidak sedikit perbuatan
anak yang lepas kendali dan tindakannya menjadi suatu tindak pidana atau kejahatan
1 Bagian Umum Pasal Penjelasan Atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
2
dan tidak dapat ditolerir lagi. Anak yang melakukan tindak pidana harus berhadapan
dengan aparat hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Menurut
Kartini Kartono perilaku dursila atau kejahatan/kenakalan anak-anak, merupakan
gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh suatu
bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian
tingkah laku yang menyimpang.2
Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negara hukum, penegakan hukum
setelah adanya pelanggaran ataupun kejahatan menjadi sebuah kewajiban, hal
tersebut merupakan upaya yang sangat penting dalam rangka menciptakan
ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Dalam pelaksanakan pemberian sanksi
bagi yang melakukan tindakan melawan hukum tentunya harus dilaksanakan, tak
terkecuali anak-anak.
Dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum dalam lingkup hukum pidana,
anak tersebut disebut anak nakal atau anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut hukum lain yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Meskipun
disebut nakal, anak perlu mendapatkan perlakuan khusus yang tidak diberikan kepada
pelaku tindak pidana orang dewasa. Marlina, dalam bukunya yang berjudul
“Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice”3 menyatakan bahwa dengan
terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggungjawaban pidana kepada seorang anak
yang telah melakukan tindak pidana, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut
dapat dikenakan pemidanaan, akan tetapi pemidanaan terhadap anak hendaknya harus
memperhatikan perkembangan seorang anak.
2 Kartini Kartono, Bimbingan Bagi Anak dan Remaja yang Bermasalah, (Jakarta:
Rajawali Press, 2011), h. 6 3 Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. "Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice", (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 72
3
Hal ini disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang berfikir dan kurangnya
pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Pemberian pertanggung- jawaban
pidana terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan
terbaik bagi anak di masa akan datang.4 Oleh karena itu, proses pejatuhan sanksi
terhadap anak pun diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA), dengan
pengadilan yang beda pula yaitu pengadilan anak.
Berbagai belahan dunia, baik negara maju maupun negara-negara terbelakang
dan berkembang, menunjukan fenomena yang sama, anak dengan berbagai alasan
harus berurusan dengan hukum. Adanya putusan pengadilan anak yang cenderung
menjatuhkan pidana penjara dari pada tindakan terhadap anak yang melakukan tindak
pidana, sebenarnya tidak sesuai dengan filosofi dari pemidanaan dalam hukum pidana
anak. Penjatuhan pidana secara tidak tepat dapat mengabaikan pengaturan
perlindungan anak, karena pemidanaan anak seharusnya adalah jalan keluar terakhir
atau upaya terakhir (ultimum remedium/the last resort principle) dan dijatuhkannya
hanya untuk waktu yang singkat. Penjatuhan pidana sebagai ultimum remedium atau
the last resort principle adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap kepentingan
terbaik anak.5
Dalam Hukum Pidana Indonesia, asas ultimum remedium, dikenal sebagai asas
yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal
penegakan hukum. Hal ini memiliki makna bahwa apabila suatu perkara dapat
diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun
hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui.6
4 Marlina, Peradilan Pidana Anak, h. 72
5 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak. "Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan ", (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010) h. 67-70 6 Anonim, https://istilahhukum.wordpress.com/2013/02/06/ultimum-remedium/ diakses
pada 20/01/17
4
Jika dikaitkan dengan asas hukum pidana yang bersifat publik memang terdapat
suatu poin dimana kedua asas ini saling bertolak belakang. Dengan asas bersifat
publik menyebabkan hukum pidana memiliki karakteristik bahwa walaupun terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang telah dibuat perjanjian perdamaian
dengan pihak korban, maka terhadap perkara tersebut tetap juga dapat dilakukan
pemeriksanaan lanjutan di tingkat kepolisian. Selain itu dengan karekteristik
„publik‟nya, terhadap suatu tindak pidana yang memang telah disetujui korban
dilakukan terhadapnya, pihak kepolisian tetap dapat memproses tindak pidana
tersebut.
Kritikan terhadap penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak masih saja terus
mengalir. Banyak kalangan menyatakan penyelenggaraan sistem peradilan pidana
anak dalam implementasinya masih jauh keinginan untuk dapat mendukung
mewujudkan tujuan kesejahteraan anak dan kepentingan terbaik bagi anak. Sejatinya
pelaksanaan peradilan pidana anak dapat menimbulkan dampak negatif pada anak,
akibat adanya penjatuhan pidana penjara terhadap anak. Pidana penjara bagi anak
menunjukkan adanya kecenderungan bersifat merugikan perkembangan jiwa anak di
masa mendatang.7
Melihat pentingnya asas ultimum remedium dalam sistem peradilan anak
sebagaimana dipaparkan, maka sekiranya perlu untuk mengetahui apakah asas
tersebut diterapkan dalam pemidanaan anak?. Untuk itu penulis mengangkat
permasalahan ini untuk dibahas melalui karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan
judul Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan Anak (Perspektif Hukum
Islam dan Hukum Positif di Indonesia).
7 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), h. 3
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka pembahasan dalam skripsi ini akan
dibatasi pada hal-hal sebagai berikut:
1. Asas ultimum remedium dibatasi pada pengertian bahwa sanksi pidana
merupakan obat terakhir dalam pemidanaan
2. Pemidanaan anak dibatasi pada pembahasan sistem peradilan pidana anak di
Indonesia dan sanksi-sanksi terhadap anak.
3. Hukum Islam dibatasi pada pembahasan tentang perlindungan anak dan
kedudukan asas ultimum remedium dalam pemidanaan anak.
4. Hukum Positif di Indonesia dibatasi pada perlindungan anak dalam
instrumen hukum nasional dan internasional dan kedudukan asas ultimum
remedium dalam pemidanaan anak.
Sedangkan rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimanakah pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia
tentang perlindungan anak?
2. Bagaimanakah perbandingan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia
tentang asas ultimum remedium dalam pemidanaan anak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif di
Indonesia tentang perlindungan anak
2. Untuk membandingkan antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia
tentang asas ultimum remedium dalam pemidanaan anak
Adapun manfaat yang dapat diperoleh antara lain:
6
1. Diharapkan skripsi ini dapat menjadi rujukan dalam menambah wawasan
bagi akademisi dan aktivis perlindungan anak terhadap penerapan asas
ultimum remedium dalam penyelesaian perkara pidana anak.
2. Diharapkan skripsi ini dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan
pemahaman terhadap masyarakat dan penegak hukum tentang pertimbangan
dalam memutuskan perkara pidana anak.
D. Metode Penelitian dan Pedoman Penulisan
1. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan8
dengan pendekatan perbandingan hukum (comparative approach), yaitu
penelitian yang didasarkan pada analisis terhadap asas hukum dan teori hukum
serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan
permasalahan hukum, yang kemudian membandingkannya dengan hukum negara
lain atau sistem hukum yang lain.
2. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan beberapa contoh putusan atas kasus
pidana anak.
3. Kriteria dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) sumber,
antara lain:
a. Data Primer
8 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2004), h., 52
7
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan,
Undang-Undang, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang terkait
dengan peradilan anak.
b. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan adalah buku-buku, jurnal, pendapat ahli,
ataupun literatur-literatur yang terkait dengan peradilan anak.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka,
yaitu dengan menelaah dan memahami objek penelitian serta mengkaji buku-
buku ataupun literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif
dengan pendekatan content analysist, yaitu dengan menganalisa isi dokumen
secara terperinci, lalu mengambil intisari dari dokumen yang menjadi sumber
data.
6. Pedoman Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Pada BAB I merupakan bagian pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan mengenai
latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
juga menjelaskan bagaimana metode yang digunakan dalam penelitian ini, pedoman
penulisan yang dipakai dan sistematika penulisannya.
8
Pada BAB II berisikan kajian teoritis tentang pengertian dan konsep umum
tentang anak, perlindungan anak dalam instrumen nasional dan internasional,
perlindungan anak dalam perspektif Hukum Islam, sistem peradilan pidana anak di
Indonesia dan kajian-kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini.
Pada BAB III berisikan kajian tentang teori-teori pemidanaan, pengertian asas
ultimum remedium dalam teori pemidanaan, kedudukan asas ultimum remedium
dalam Hukum Positif di Indonnesia, dan tinjauan Hukum Islam tentang asas ultimum
remedium.
Pada BAB IV merupakan analisis tentang perbandingan hukum Islam dan hukum
positif di Indonesia tentang asas ultimum remedium dalam pemidanaan anak.
Pada BAB V adalah penutup, berisikan kesimpulan dan rekomendasi dari
penulis. Adapun isi kesimpulan merupakan jawaban dari rumusan masalah dan
rekomendasi merupakan masukan dari penulis terkait dengan ilmu pengetahuan,
khususnya dalam pengetahuan terkait peradilan anak.
9
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN PERADILAN
PIDANA ANAK
A. Pengertian dan Konsep Umum Tentang Anak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan anak
adalah keturunan atau manusia yang masih kecil.1 Namun dalam pengertian sehari-
hari, yang dimaksud dengan anak adalah yang belum mencapai usia tertentu atau
belum kawin. Pengertian anak dirumuskan untuk suatu perbuatan tertentu,
kepentingan tertentu dan tujuan tertentu, sehingga menyebabkan batasan seseorang
disebut sebagai „anak‟ menjadi sangat beragam.
Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 Tahun 1973, pengertian
tentang Anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam
Convention on The Right Of the Child tahun 1989 yang telah diratifikasi pemerintah
Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah
mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefenisikan
anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun.2
Adapun pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia,
antara lain:
1. Pengertian anak berdasarkan UUD 1945
Pengertian Anak dalam UUD 1945 terdapat di dalam Pasal 34 yang berbunyi:
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung
makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi,
1 Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia; Pusat
Bahasa, Edisi Keempat (Cet.I; PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.55 2 Huraerah, 2006, h. 19
10
dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak, dengan kata lain anak
tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Terhadap
pengertian anak menurut UUD 1945 ini, Irma Setyowati Soemitri menjabarkan
sebagai berikut: “ketentuan UUD 1945 ditegaskan pengaturanya dengan
dikeluarkanya UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang berarti
makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus memproleh hak-
hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah, maupun sosial, atau
anak juga berahak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosial. Anak juga berhak atas pemelihraan dan perlindungan baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah ia dilahirkan”3
2. Pengertian Anak menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
UU No.1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan
seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam pasal 6
ayat (2) yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang yang belum mencapai
umur 21 tahun mendapati izin kedua orang tua. Pasal 7 ayat (1) memuat batasan
minimum usia untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan
wanita 16 (enam belas) tahun.
Dalam Pasal 47 ayat (1) dikatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada dibawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal
50 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernak kawin, tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
dibawah kekuasaan wali. Dari pasal-pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan
3 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara,
1990), h. 16.
11
bahwa anak dalam undang-undang ini adalah mereka yang belum dewasa dan sudah
dewasa yaitu 16 (enam belas) tahun untuk perempuan dan 19 (sembilan belas) tahun
untuk laki-laki.
3. Pengertian Anak menurut Undang-Undang Pengadilan Anak & Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa: “Anak adalah
orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah”.4
Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan syarat sebagai berikut: pertama,
anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) sampai dengan 18 (delapan belas)
tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin, maksudnya tidak sedang
terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak
sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinanya putus karena perceraian, maka
si anak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas)
tahun.
Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 disebutkan bahwa: “Anak yang
Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.5
4. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata.
Di dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) ditegaskan bahwa: “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan
4 Pasal 1 ayat (2) UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
5 Pasal 1 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
12
dibubarkan sebelum genap 21 tahun maka mereka tidak kembali berstatus belum
dewasa”.6
Pada Pasal 330 KUH Perdata memberikan pengetian anak adalah orang belum
dewasa yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih
dahulu telah kawin. Pengertian ini sama dengan yang disebutkan oleh Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada Pasal 1 ayat (2)
meyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun dan belum pernah kawin”.7
5. Pengertian Anak menurut Hukum Pidana.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang tidak secara tegas
mengatur tentang batasan seseorang disebut sebagai anak. Akan tetapi dapat dilihat
pada Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 tentang pengaturan seseorang yang melakukan
tindak pidana dan belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun mendapat
pengurangan ancaman hukuman dibanding orang dewasa. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa menurut KUH Pidana batasan umur seseorang anak telah dikatakan
dewasa apabila telah mencapai umur 15 tahun atau 16 tahun.
Pengertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek hukum postif
terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk
kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut
berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik. Oleh karena itu,
jika anak tersebut tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan
supaya si tersalah itu dikembalikan kepada kedua orang tuanya, walinya atau
6 Emeliana Krisnawati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: CV. Utomo,
2005), h. 4 7 Eugenia Liliawati Muljono, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Tentang
Perlindungan Anak, (Jakarta: Harvarindo, 1998), h. 3
13
pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkan supaya
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman.8
Sedangkan dalam pandangan Islam, sebagaimana termaktub dalam QS. Maryam
(19): 12, kata anak disebut dalam term shabīy adalah kanak-kanak.9 Dalam fiqh,
batas usia anak-anak dengan orang dewasa ditandai dengan balig, dimana jika laki-
laki telah ihtilam dan bagi perempuan telah haid, apabila tanda-tanda tersebut tidak
nampak, maka masa balig ditandai dengan sampainya seorang anak pada umur 15
tahun. Anak belum termasuk dalam kategori mukallaf, yaitu manusia dewasa yang
dibebani kewajiban agama seperti shalat dan puasa.10
8 Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 3
9 Abdul Mustaqim, “Kedudukan dan Hak-Hak Anak dalam Perspektif al-Qur‟an, dalam
al-Musāwa Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 4, No. 2, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2006), h. 157. 10
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), I, h., 177.
14
B. Perlindungan Anak dalam Instrumen Hukum Nasional dan Internasional
Pembahasan mengenai anak tidak akan terlepas dari pembahasan hak dan
perlindungannya. Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan,
yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subyek pelaksanaan pembangunan yang
berkelanjutan dan pemegang kendali suatu negara.11
Oleh karena itu, hak-hak anak
sangat perlu diperhatikan dan dilindungi keberadaannya.
Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat
dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi
nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik
maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.12
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi
agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan
pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak
merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian
perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.13
Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri
dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab
tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia,
perlu dilakukan upaya perlindungan, serta dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
11
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2011), h. 1 12
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), h. 33. 13
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak.., h. 33
15
anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakuan tanpa diskriminasi.14
Peran penting dan strategis anak bagi kemajuan suatu bangsa kemudian disadari
oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan suatu gagasan dan kesepakatan
bersama untuk melindungi hak-hak yang ada pada anak. Pada tahun 1989 lahirlah
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang kemudian
diratifikasi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Ratifikasi atas konvensi tersebut
tertuang dalam Kepres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the
Rights of the Child.
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) merupakan
instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak secara detail dan
merupakan tolak ukur yang harus dipakai secara utuh dalam implementasi hak asasi
anak.15
Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, maka sudah menjadi konsekuensi
bagi negara untuk menjunjung tinggi perlindungan hak-hak anak sebagai subyek
hukum seutuhnya. Namun, materi dalam konvensi tersebut bukan saja mengatur
tentang apa yang merupakan hak-hak anak, namun juga bagaimana tanggung jawab
negara menjalankan kewajibannya. Materi yang terkandung dalam Konvensi Hak
Anak dapat dikualifikasikan kepada:16
1. Penegasan hak-hak anak;
2. Perlindungan anak oleh negara;
14
M. Djamil Nasir, Anak Bukan Untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 8 15
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2009), h. 22 16
Muhammad Joni, Hak-Hak Anak Dalam Undang-undang Perlindungan Anak Dan
Konvensi PBB Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, (Jakarta: Komisi
Nasional Perlindungan Anak, 2008), h. 6
16
3. Peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, orangtua, dan swasta)
dalam menjamin, menghormati, memajukan, memenuhi, dan melindungi hak
-hak anak.
Konvensi Hak Anak juga memuat empat prinsip dasar, yaitu:17
1. Prinsip non-diskriminasi.
Artinya hak-hak yang dimuat dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan
kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini tertuang dalam Pasal
2 Konvensi Hak Anak.
2. Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child).
Artinya bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak, kepentingan
yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 ayat 1).
3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life,
survival and development).
Artinya bahwa negara-negara yang meratifikasi konvensi ini mengakui
bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6 ayat
1). Disebutkan juga bahwa negara akan menjamin sampai batas maksimal
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2).
4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the
child).
Artinya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan
keputusan. Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1.
Selanjutnya, hak-hak anak yang terdapat dalam konvensi ini bisa dikelompokkan
ke dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu:18
17
Supriyadi W. Eddyono, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Materi
: Pengantar Konvensi Hak Anak, (Jakarta: ELSAM, 2005), h. 2-3
17
1. hak untuk kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak untuk mempertahankan
hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan dan perawatan sebaik-
baiknya;
2. hak untuk tumbuh kembang, yang meliputi segala hak untuk mendapatkam
pendidikan, dn untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi
perkembangan fisik, mental, spritual, moral dan sosial anak;
3. hak untuk mendapatkan perlindungan, yang meliputi perlindungan dari
diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak-anak yang tidak
mempunyai keluarga dan bagi anak-anak pengungsi;
4. hak untuk berpartisipasi, meliputi hak-hak untuk menyatakan pendapat dalam
segala hal yang mempengaruhi anak.
Dalam instrumen lainnya juga memuat mengenai perlindungan terhadap hak-hak
anak. Salah satunya terdapat dalam Declaration of The Rights of The Child atau
disebut juga Deklarasi Hak-Hak Anak yang dikukuhkan dalam Resolusi Majelis
Umum PBB Nomor 1386 (XIV) tanggal 20 November 1959 mengenai Deklaration
of The Rights of The Child atau disebut juga Deklarasi Hak-Hak Anak.19
Pada deklarasi tersebut, dinyatakan bahwa:
Mengingat karena ketidakmatangan jasmani dan mental anak, maka kiranya
anak memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk
perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahirannya.
Selanjutnya, prinsip ke-2 dari deklarasi tersebut berbunyi :
18
Edy Ikhsan, Bebarapa Catatan Tentang Konvensi Hak Anak, (Medan: Fakultas
Hukum: Universitas Sumatera Utara, 2002) h. 3 19
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,
2007), h. 107
18
Anak harus menikmati perlindungan khusus, dan harus diberi kesempatan dan
fasilitas oleh hukum dan sarana lainnya, untuk memungkinkan dia untuk
mengembangkan fisik, moral, spiritual dan sosial secara sehat dan normal
dalam kondisi kebebasan dan martabat. Dalam pemberlakuan undang-undang
untuk tujuan kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan penting.
Selanjutnya, mengenai perlindungan terhadap anak yang berhadapan dan
berkonflik dengan hukum diatur dalam beberapa instrumen, yaitu: United Nations
Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing
Rules) yang disetujui pada tanggal 6 September 1985 yang kemudian dijadikan
Resolusi PBB pada tanggal 39 November 1985 dalam Resolusi 40/3320
; United
Nations Guidelines For The Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh
Guidelines yang tercantum dalam Resolusi PBB 45/112 tanggal 14 Desember
199021
; dan United Nations Rules for the Protection of Juvenile Diprived of Their
Liberty yang tertuang dalam Resolusi PBB 45/113, mulai berlaku tanggal 14
Desember 1990.22
Ketiga instrumen tersebut memuat mengenai prinsip-prinsip penanganan anak
yang berkonflik dengan hukum, proses pidana dan standar minimum bagi
perlindungan anak dari semua bentuk perampasan kemerdekaan yang dilandaskan
pada hak-hak asasi manusia dan menghindarkan anak dari efek samping dari semua
bentuk penahanan, demi tercapainya pengintegrasian anak ke dalam masyarakat.
Di Indonesia sendiri, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebangsaan dan kemanusiaan, juga melihat betapa pentingnya peran anak dalam
membangun kehidupan bangsa kelak, Indonesia memiliki banyak peraturan yang
secara khusus dan tegas memberikan upaya perlindungan terhadap anak. Dalam
20
Paulus Hadisuprapto dalam Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di
Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997), h, 105 21
Paulus Hadisuprapto dalam Romli Atmasasmita, Peradilan Anak, h. 86 22
Paulus Hadisuprapto dalam Romli Atmasasmita, Peradilan Anak, h. 100
19
Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah mengatur
bahwa:
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”23
.
Dalam pasal lain disebutkan bahwa:
“Fakir Miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”24
.
Dengan tercantumnya tentang perlindungan terhadap hak anak tersebut dalam
batang tubuh konstitusi, maka bisa diartikan bahwa kedudukan tentang anak dan
perlindungan terhadapnya merupakan hal penting yang harus diperhatikan dan
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, dalam upaya mengejawantahkan pasal tentang perlindungan anak
dalam UUD 1945, telah banyak lahir regulasi terkait anak dalam upaya
perlindungannya. Salah satu peraturan yang khusus membahas tentang perlindungan
terhadap anak yaitu Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, selanjutnya diubah dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang
kemudian mengalami perubahan kedua dengan ditetapkannya Undang Undang No.
17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
Adapun tujuan perlindungan anak sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Undang
Undang Perlindungan Anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak, agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
23
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 24
Pasal 34 UUD 1945
20
diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia,
dan sejahtera.25
Bicara mengenai perlindungan anak, masih banyak peraturan selain Undang
Undang Perlindungan Anak yang mengatur dan memuat prinsip-prinsip perlindungan
anak. Namun amat disayangkan, aturan-aturan tersebut masih menyebar di beberapa
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Misalnya, tentang perlindungan anak
dari kekerasan rumah tangga, diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Demikian tentang
perlindungan anak dari tindak pidana perdagangan orang, yang diatur dalam Undang-
Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Mengenai keperdataan, dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Pekawinan, yang mengatur tentang hak waris anak, prinsip-prinsip
pengasuhan anak, juga batasan usia menikah bagi anak. Lalu tentang batasan
minimum anak diperbolehkan bekerja dan hak-hak yang dimiliki pekerja anak, diatur
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dan masih banyak aspek lain yang
mengatur tentang persoalan anak dalam rangka melindungi hak-haknya yang tidak
bisa disebutkan satu persatu.
Melihat banyaknya aspek perlindungan anak yang kemudian diatur dalam
undang-undang menandakan bahwa perlindungan secara hukum bagi anak dalam
berbagai aspek sangat diperhatikan. Meskipun peraturan-peraturan tersebut masih
bertebaran di berbagai peraturan perundang-undangan dan kadang berbenturan antara
yang satu dengan yang lain. Hal ini mungkin menjadi pekerjaan ke depan bagi badan
negara yang berwenang untuk melakukan harmonisasi peraturan perundang-
undangan, baik dalam bentuk kompilasi atau dalam bentuk yang lain.
25
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, h. 146
21
C. Perlindungan Anak dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama, khususnya dalam pandangan
agama Islam, anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya
adalah atas kewenangan dan kehendak Allah SWT dengan melalui beberapa proses
penciptaanya yang dimensinya sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kedudukan
anak dalam Agama Islam ditegaskan dalam Al-qur‟an Surah Al-Isra‟ ayat (70):
هب بي آدم وحولبهن في البر والبحر ورزلبهن هي الطيببت ي ولمد كر لبهن على كثير هو وفض
خلمب تفضيل
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan Anak-anak Adam. Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan. Kami beri rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Penjelasan Surah Al-qur‟an tersebut diikuti dengan Hadist Nabi Muhammad SAW
yang artinya:
“Semua anak dilahirkan atas kesucian, sehingga ia jelas bicaranya”.26
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan tentang kewajiban orang
tua terhadap anaknya, antara lain:27
1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang
belum atau dibawah pengampuan, dan tidak boleh memindahkan atau
menggandakannya kecuali karena keperluan yang mendesak, jika
kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan
yang tidak dapat dihindarkan lagi;
26
T.M. Hasbi Ashshiddiqi, Pengantar Fiqh Mu‟amalah, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997), h. 12 27
Pasal 106 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam
22
2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya anak merupakan
titipan atau amanah Allah SWT yang harus dijaga dan dibina dengan sungguh-
sungguh oleh kedua orangtuanya. Mendidik agar manusia berguna dari dunia akhirat,
memberi pelajaran dan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Orang tua berkewajiban
memelihara dan mendidik supaya anak tersebut dapat berdiri sendiri.
Ada beberapa ajaran mengenai hak-hak anak yang wajib untuk dilindungi dan
dipenuhi oleh umat Islam, antara lain28
:
a. Hak anak dalam kandungan untuk memperoleh perlakuan yang baik, jaminan
dan perlindungan kesehatan. Dalam hal ini Allah berfirman:
فمىا عليهي حتى يضعي حولهي وإى كي أولت حول فأ
“Jika mereka (wanita-wanita itu) sedang hamil, maka nafakhilah mereka
sampai mereka melahirkan kandungannya” (Q.S. Ath-Thalaq: 6).
b. Hak untuk dijaga dengan baik, sewaktu dalam kandungan maupun setelah
lahir. Ini merupakan sebuah penegasan bahwa Islam sangat melarang aborsi
(walaupun dengan catatan). Hal ini berdasarkan firman Allah:
اول تمتلىا أولدكن خشية إهلق حي رزلهن وإيبكن إى لتلهن كبى خطئب كبير
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan!
Kamilah yang akan memberimu rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (Q.S. Al-
Isra: 31).
28
Nasir M. Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 19-
20
23
c. Hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan layak. Sebagaimana
hadits yang diriwayatkan Aththusi:
زهبهن غير زهبكن فإهن خلك لسهبهن وحي خلمب علوىا اولدكن فإهن سيعيش فى
لسهبب
"Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di
zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk
zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian” (HR. Aththusi).
d. Hak untuk mendapatkan kedudukan yang layak dan sederajat. Sebagaimana
hadits Nabi:
هللا,ول س ار ي ال ق ف ي)ص(نب ىال ل ا ل ج ر اء ج و به أد و ه إسم ن :ت حس اق ال ابنه اذ ق اح عه م ض
نا)الطوسى( س وضعاح م
“Seorang datang kepada Nabi SAW dan bertanya. „Ya Rasulullah, apa hak
anakku ini?‟, Nabi SAW menjawab, „Memberinya nama yang baik, mendidik
adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatimu)”
(HR. Aththusi).
e. Hak untuk diberikan ASI (Air Susu Ibu). Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT:
ضبعة والىالدات يرضعي أولدهي حىليي كبهليي لوي أراد أى يتن الر
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (Q.S. Al-Baqarah: 233).
f. Hak untuk tidak dihukum pidana sampai dengan usia 15 tahun, berdasarkan
Hadits Riwayat Baihaqi:
“Seorang anak bila telah berusia 15 tahun, maka diperlakukan hudud
buatnya”.
24
Sementara itu, Mukhoirudin membagi hak-hak anak menurut Islam, antara
lain:29
a. Pemeliharaan atas hak beragama;
b. Pemeliharaan hak atas jiwa;
c. Pemeliharaan atas akal;
d. Pemeliharaan atas harta;
e. Pemeliharaan atas keturunan nasab dan kehormatan.
Dari penjelasan diatas mengenai ajaran Islam atas hak-hak anak, maka dapat
diambil sebuah pandangan bahwa Islam sangat memperhatikan hak-hak anak, yang
perlu dipenuhi dan diberikan secara optimal, bahkan semenjak dalam kandungan.
Dengan demikian Islam sangatlah menjunjung tinggi hak-hak anak. Islam
memandang penting pembinaan anak sebagai calon pemimpin masa depan kelak,
tentunya melalui peran keluarga dan masyarakat serta negara.
D. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia
Secara hakikat, anak tidak mampu melindungi dirinya dari berbagai macam
tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri, baik secara fisik,
mental maupun sosial dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Mengingat situasi dan
kondisinya tersebut, anak harus mendapatkan bantuan dalam melindungi dirinya,
khususnya dalam pelaksanaan peradilan pidana anak. Anak perlu mendapat
perlindungan dalam penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan
terhadap dirinya, yang dapat menimbulkan kerugian fisik, mental maupun sosial.
Peradilan Pidana Anak merupakan peradilan yang khusus menangani perkara
Pidana anak.30
Sistem Peradilan Pidana Anak atau yang disebut juga The Juvenile
29
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2170488-hak-anak-menurut-
islam/#ixzz1zSXacwvM diakses pada 18/08/2017
25
Justice System merupakan istilah yang digunakan sedefinisi dengan institusi yang
ada dalam pengadilan, meliputi polisi, penuntut umum, hakim, penasehat hukum,
Lembaga Pengawas, pusat penahanan anak, dan fasilitas pembinaan anak.31
Mengenai sistem peradilan anak saat ini diatur dalam Undang Undang No. 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang mulai
diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012
sebagaimana disebut dalam Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 UU SPPA) yang
berarti UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014.
UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum
dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus
kepada anak yang berhadapan dengan hukum. UU SPPA ini merupakan pengganti
dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU
Pengadilan Anak) dengan harapan dapat mewujudkan peradilan yang menjamin
perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
a. Tindak Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana Anak
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda strafbaar feit
atau delict. Simons seorang guru besar ilmu hukum pidana di Universitas Utrecht
berpendapat bahwa tindak pidana ialah perbuatan melawan hukum yang berkaitan
dengan kesalahan seseorang yang mampu bertanggung jawab.32
Kesalahan yang
dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja)
dan culpa late (alpa dan lalai).
30
Di lingkungan peradilan umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dalam
undang-undang (Pasal 8 UU No. 2 Tahun 1982 Tentang Pengadilan Umum) 31
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), h. 35 32
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. "Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice", (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 75
26
Berbeda dengan Simons, R. Soesilo dan Moeljatno mendefinisikan tindak pidana
sebagai suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan Undang-Undang yang apabila
dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam
dengan pidana.33
Maka perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum tersebut di
berikan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut. Larangan ini ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau
kejadian) yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana
ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.34
Tindak pidana anak, jika mengacu kepada berbagai definisi di atas, dimaknai
sebagai perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, di berikan ancaman (sanksi)
berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan. Larangan ini
ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian) yang ditimbulkan atau
dilakukan oleh anak-anak.
Hal tersebut disebutkan dalam Undang-undang, sebagaimana diatur dalam
ketentuan pasal 45 KUHP dan surat edaran Kejaksaan Agung RI Nomor P.1 tanggal
30 Maret 1951 yang menjelaskan bahwa:
“Penjahat anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan
yang dapat dihukum, belum berusia 16 tahun (pasal 45 KUHP). Jadi hanya anak
yang melakukan tindak pidana berdasarkan KUHP-lah yang diajukan ke depan
Sidang Anak.”
Sehubungan dengan masalah tindak pidana anak ini, maka dapat kita hubungkan
dengan apa yang disebut Juvenile Delequency yang dalam bahasa Indonesia belum
mendapatkan keseragaman penyebutannya seperti kenakalan anak, kenakalan
pemuda ataupun jalin quersi anak. Kartini Kartono mendefinisikan Juvenile
33
R.Soesilo dan Muljatno, Dekonstruksi Hukum Adat atas Hukum Positif, (Cet. I;
Yogyakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 18 34
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, h. 76
27
Delequency sebagai perilaku jahat/dursila atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda,
merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.35
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa; juvenile delinquency adalah
tindakan atau perbuatan anak-anak usia muda yang bertentangan dengan norma atau
kaidah-kaidah hukum tertulis baik yang terdapat di dalam KUHP maupun
perundang-undangan di luar KUHP. Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja
tersebut bersifat anti sosial yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya
akan tetapi tidak tergolong delik pidana umum maupun pidana khusus.36
Kemudian, mengenai pertanggung jawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Moeljatno berpendapat bahwa
untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada kemampuan untuk
membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang
melawan hukum, dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan. Syarat pertama adalah faktor
akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan tidak; syarat
yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah
lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan atau tidak.37
Marlina menyatakan bahwa dengan terpenuhinya syarat-syarat adanya
pertanggungjawaban pidana kepada seorang anak yang telah melakukan tindak
pidana, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakan pemidanaan,
akan tetapi pemidanaan terhadap anak hendaknya haras memperhatikan
35
Kartono Kartini, Patalogis Sosial 2; Kenakalan Remaja, (Cet. VIII; Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), h. 6 36
Tholib Setiadi, Pokok-pokok hukum Panitensier Indonesia, (Bandung: Alfabeta,
2010), h. 179 37
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, h. 70
28
perkembangan seorang anak.38
Hal ini disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang
berfikir dan kurangnya pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Pemberian
pertanggungjawaban pidana terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan
dan kepentingan terbaik bagi anak di masa akan datang. Penanganan yang salah
menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah
generasi penerus bangsa dan cita-cita bangsa.
Menurut Setya Wayhudi, penjatuhan sanksi kepada anak, dalam hal ini yang
perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:39
1) Apakah sanksi itu sungguh-sungguh mencegah terjadinya kejahatan;
2) apakah sanksi itu tidak berakibat timbulnya keadaan lebih meragikan atas
diri anak (stigmatisasi), dari apabila sanksi yang tidak dikenakan;
3) apakah tidak ada sanksi lain yang dapat mencegah secara efektif dengan
kerugian yang lebih kecil.
Kebijakan penjatuhan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
menunjukan adanya kecenderungan bersifat meragikan perkembangan jiwa anak di
masa mendatang. Kecenderungan bersifat merugikan ini akibat keterlibatan anak
dalam proses peradilan pidana anak, dan dapat disebabkan akibat dari efek
penjatuhan pidana yang berupa stigma. Efek negatif bagi anak akibat keterlibatan
anak dalam proses peradilan pidana dapat berupa penderitaan fisik dan emosional
seperti ketakutan, kegelisahan, gangguan tidur, gangguan nafsu makan maupun
gangguan jiwa. Akibat semua ini maka anak menjadi gelisah, tegang, kehilangan
kontrol emosional, menangis, gemetaran, malu dan sebagainya. Terjadinya efek
negatif ini disebabkan oleh adanya proses peradilan pidana, baik sebelum
pelaksanaan sidang, saat pemeriksaan perkara, dan efek negatif keterlibatan anak
dalam pemeriksaan perkara pidana.
38
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, h. 72 39
Setya Wahyudi, Implementasi Ide…, h. 53
29
b. Proses Peradilan Pidana Anak
Proses peradilan pidana merupakan penyelesaian perkara pidana yang dilakukan
didalam peradilan pidana. Tindak pidana merupakan tindakan melanggar hukum
pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang
yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang
hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Jika anak melakukan tindak pidana, anak tersebut wajib mengikuti proses
peradilan pidana anak. Tahapan dalam proses peradilan anak yang melakukan tindak
pidana antara lain:
1) Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna
menemukan tersangkanya.40
Penyidikan dilakukan oleh kepolisian bertujuan untuk
mengumpulkan bukti guna menemukan apakah suatu peristiwa yang terjadi
merupakan peristiwa pidana, dengan adanya penyidikan juga ditujukan untuk
menemukan pelakunya.
Penyidik yang bertugas dalam proses peradilan pidana anak harus memenuhi
syarat-syarat, meliputi:41
a. telah berpengalaman sebagai penyidik;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
40
Pasal 1 ayat (2( Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 41
Pasal 26 ayat (3) UU SPPA
30
Adapun beberapa hal yang tidak boleh dilakukan polisi dalam melakukan
penyidikan terhadap anak, yaitu:42
a. Penyidik melakukan kekerasan dan tindakan tidak wajar terhapda anak
karena jika hal ini terjadi bisa menjadi trauma bagi anak.
b. Memberikan label buruk pada anak dengan menggunakan kata-kata yang
sifatnya memberikan label buruk seperti “pencuri”, „maling‟, „pembohong‟
dan lain sebagainya.
c. Penyidik kehilangan kesabaran sehingga menjadi emosi dalam melakukan
wawancara terhadap anak.
d. Penyidik tidak boleh menggunakan kekuatan badan atau fisik perlakuan kasar
lainnya yang dapat menimbulkan rasa permusuhan pada anak.
e. Membuat catatan atau mengetik setiap perkataan yang dikemukakan oleh
anak tetapi menggunakan alat perekam.
Dalam proses penyidikan, penyidik wajib memberikan perlindungan khusus bagi
anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat
dan memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana
kekeluargaan tetap terpelihara dalam penanganannya.43
Penyidik juga wajib meminta
pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan, dan apabila dianggap perlu, Penyidik dapat meminta
pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama,
Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli
lainnya.44
42
Marlina.,2012, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembang Konsep Diversi dan
Restorative Justice, PT Refika Aditama, h. 89-90 43
Pasal 17-18 UU SPPA 44
Pasal 27 UU SPPA
31
Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:45
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani
bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama
6 (enam) bulan.
Penyidik dalam proses penyidikan juga wajib mengupayakan Diversi. Diversi
adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku
tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. Prinsip utama pelaksanaan
konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan
kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.46
Sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU SPPA, Diversi diupayakan dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai dan dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah dimulainya Diversi.
2) Penangkapan dan Penahanan
Dalam Pasal 30 UU SPPA disebutkan bahwa penangkapan terhadap anak dapat
dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan
anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak.
Penangkapan terhadap anak juga wajib dilakukan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.
Dalam hal penahanan, anak yang memperoleh jaminan dari orang tua/Wali
dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan
45
Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU SPPA 46
http:// doktormarlina.htm, Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku
Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Diakses pada 21/01/2018
32
atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana,
penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan. Penahanan terhadap anak hanya
dapat dilakukan dengan syarat, bahwa:
a. anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh)
tahun atau lebih.47
3) Penuntutan
Menurut proses peradilan pidana, tahapan setelah penyidikan yaitu tahapan
penuntutan.48
Setelah menerima dan memeriksa berkas perkara, penuntut
berkewajiban mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidik
oleh pihak penyidik, dengan memberi petunjuk dan arahan apa saja yang harus
mendapat penyempurnaan berkas penyidikan dari penyidik.
Setelah berkas diterima dari penyidik telah sempurna selanjutnya penuntutan
harus membuat surat dakwaan. Setelah surat dakwaan diselesaikan dengan sempurna
seterusnya dilakukan pelimpahan perkara ke pengadilan, penuntut berkewajiban
menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. Tugas selanjutnya
setelah waktu persidangan dimulai adalah melakukan penuntutan.49
Dalam pasal 41 UU SPPA menyebutkan bahwa penuntutan terhadap perkara
anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa
47
Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU SPPA 48
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang
pengadilan. Lihat Pasal 1 butur 7 KUHAP.
49
KUHAP pasal 14 jo pasal 139 jo. pasal 143 ayat 1
33
Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Penuntut Umum dalam
peradilan anak juga harus memenuhi syarat-syarat yang meliputi:
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
c. Sanksi-Sanksi Terhadap Anak
Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat dijatuhkan pidana
yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dengan menyimak pasal 71 ayat 1 dan
ayat 2 diatur pidana pokok dan tambahan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum, antara lain:
1) Pidana pokok, terdiri atas:
(a) pidana peringatan;
(b) pidana dengan syarat:
(1) pembinaan di luar lembaga;
(2) pelayanan masyarakat; atau
(3) pengawasan.
(c) pelatihan kerja;
(d) pembinaan dalam lembaga; dan
(e) penjara.
2) Pidana tambahan, terdiri atas:
(a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
(b) pemenuhan kewajiban adat.
Disamping sanksi pidana, dikenal pula sanksi tindakan. Tindakan merupakan
penjatuhan sanksi tindakan terhadap seseorang yang terbukti secara sah dan
34
menyakinkan bersalah dengan tujuan memberikan pendidikan dan pembinaan serta
tindakan tertentu lainnya. Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 69 ayat 2 bahwa Anak yang belum berusia 14
(empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Sanksi tindakan yang dimaksud dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum yang terbukti secarah sah bersalah, yaitu:50
(a) pengembalian kepada orang tua/Wali;
(b) penyerahan kepada seseorang;
(c) perawatan di rumah sakit jiwa;
(d) perawatan di LPKS;
(e) kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta;
(f) pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
(g) perbaikan akibat tindak pidana.
Dalam hal penyerahan kepada seseorang yang dimaksud adalah penyerahan
kepada orang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab,
oleh Hakim serta dipercaya oleh Anak dan ini dilakukan untuk kepentingan anak
yang bersangkutan.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka penulis meninjau
kajian terdahulu. Sebelum membuat skripsi ini penulis melakukan kajian pustaka
yang berupa judul-judul skripsi yang telah ada sebagai pembanding dari skripsi ini,
antara lain sebagai berikut:
50
Pasal 82 UU SPPA
35
1. Dalam penelitian skripsi yang dilakukan oleh Maman Abdul Rahman pada tahun
2014 yang berjudul “Pertanggung Jawaban Pidana Anak Menurut Hukum
Pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Anak" dijelaskan tentang pertanggung jawaban pidana atas tindak
pidana yang dilakukan anak-anak yang berlaku sebagaimana lazimnya pada
orang dewasa dalam perspektif hukum pidana positif atau yang dikenal dengan
istilah criminal responsibility, hanya saja tergolong kepada perilaku anak,
sehingga anak selaku pelaku pidana berkonflik dengan hukum.51
2. Dalam penelitian skripsi yang dilakukan oleh Farulrozi pada tahun 2012 yang
berjudul “Sanksi Pidana Bagi Anak-anak Yang Melakukan Tindak Pidana
Ditinjau Dari Hukum Pidana Positif dan Hukum Islam” dijelaskan tentang
tentang penjatuhan sanksi bagi anak-anak pelaku tindak pidana ditinjau dari
perspektif hukum pidana negara dan hukum pidana Islam.52
3. Dalam penelitian skripsi yang dilakukan oleh Yani Suryani pada tahun 2015
yang berjudul “Pemidanaan Anak di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian
Dalam Perspektif Hukum Islam” dijelaskan tentang pemberlakuan sanksi pidana
pada anak pelaku pencurian menurut hukum konvensional dan hukum Islam.53
51
Maman Abdul Rahman, “Pertanggung Jawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana
Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak." (Skripsi
S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014) 52
Farulrozi, “Sanksi Pidana Bagi Anak-anak Yang Melakukan Tindak Pidana Ditinjau
Dari Hukum Pidana Positif dan Hukum Islam”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012) 53
Yani Suryani, “Pemidanaan Anak di Indonesia Terhadap Pelaku Pencurian Dalam
Perspektif Hukum Islam”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015)
36
BAB III
ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM PEMIDANAAN
A. Teori-Teori Pemidanaan
Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat
sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa
mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum
pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori
absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan
(integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial (social defence). Teori-teori
pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di
dalam penjatuhan pidana.1
Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut:
1. Teori Absolut (Teori Retibutif)
Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan
dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus
menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus
dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan
bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.2
Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar
menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak
1 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (Bandung : PT.
Rafika Aditama, 2009), h. 22. 2 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009),
h. 105.
37
dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli
apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan untuk
memidana suatu kejahatan.3 Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan pada
penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.4
Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari
adanya kejahatan.5
Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu:6
1) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
2) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-
sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
5) Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan
kembali si pelanggar.
2. Teori Relatif
Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini
muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum
yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan
untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki
3 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana, h. 24
4 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 90 5 Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung : Alumni,
Bandung, 1992), h. 12 6 Karl O.Cristiansen sebagaimana dikutip oleh Dwidja Priyanto, h. 26.
38
ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah
(prevensi) kejahatan.7
Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi
kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan
orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan pidana
adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu diperlukan
pidana.8
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan
tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya
sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana
terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana
dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan
melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian
theory).9
Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu:10
1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;
2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;
3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana ;
7 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, h.106
8 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, h.96-97
9 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, h.26
10 Karl O.Cristiansen dalam Dwidja Priyanto, h. 26
39
4) Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan ;
5) Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung
unsur pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak
membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat.
3. Teori Gabungan
Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar
dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan teori absolut
dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman
adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki
pribadi si penjahat.11
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu: 12
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankannya tata tertib masyarakat;
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana.
Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini
11
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, h.107 12
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2010), h. 162-
163.
40
muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum
yang ditujukan pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan
untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki
ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus
dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah
(prevensi) kejahatan.13
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif. Aliran ini
beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai
kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak
pribadinya, faktor-faktor lingkungan maupun kemasyarakatannya.14
Dengan
demikian kejahatan merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seorang yang
abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas
perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, melainkan harus diberikan
perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.
B. Konsep Umum Tentang Ultimum Remedium
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkadang keamanan dan ketertiban
terganggu oleh oknum yang mencoba melakukan tindak kejahatan. Kejahatan
merupakan fenomena sosial yang bersifat relatif di mana banyak aspek yang
mempengaruhi, seperti aspek ekonomi, sosial, budaya dan lain-lainnya yang
senantiasa menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan di dalam masyarakat.
Untuk menjaga agar keamanan dan ketertiban dalam masyarakat tetap terjaga
dari perilaku kriminal, hukum pidana dipandang sebagai solusi yang efektif dalam
menanggulangi masalah tersebut. Sanksi pidana merupakan wujud tanggung jawab
13
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, h. 96-97 14
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, h. 12
41
negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban serta upaya perlindungan hukum
bagi warganya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari konsep pembentukan
sebuah negara yang menurut JJ. Rosseau, didasarkan pada perjanjian masyarakat.
Selanjutnya rakyat bersepakat mengadakan sebuah perjanjian luhur yang dituangkan
dalam sebuah hukum dasar berwujud konstitusi negara, beserta peraturan-peraturan
dibawahnya.
Salah satu kebijakan pidana yang digunakan Negara adalah pemberian sanksi
pidana melalui undang-undang. Namun dalam pelaksanaannya, penerapan sanksi
pidana dalam tiap peraturan sebagai „senjata utama‟ atau disebut juga primum
remedium sejatinya dapat mengakibatkan terlanggarnya hak-hak konstitusional
warga negara. Karena pada kenyataannya, sanksi pidana tidak dapat memulihkan
keadaan yang rusak oleh perbuatan pidana, juga tidak dapat memperbaiki perilaku
pelaku tindak pidana. Sejatinya penyelesaian suatu perkara harus memberikan
kontribusi keadilan bagi mereka yang berperkara, yaitu antara korban dan pelaku
tindak pidana.15
Mudzakir memandang hukum pidana dan Sistem Peradilan Pidana saat ini tidak
memberikan keadilan bagi masyarakat karena keadilan yang ditegakkan masih
bersifat pembalasan (Retributive Justice).16
Penyelesaian perkara pidana dengan
mempergunakan pendekatan represif sebagaimana dilaksanakan dalam Sistem
Peradilan Pidana, telah melahirkan keadilan retributif (Retributive Justice), yang
berorientasi pada pembalasan berupa pemidanaan dan pemenjaraan. Bahwa
pelaksanaan keadilan retributif dirasa kurang menghasilkan keadilan bagi semua
pihak terutama korban. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu upaya pembaharuan
hukum pidana, guna menyelesaikan persoalan tersebut.
15 Mansyur Kartayasa, Restorative Justice dan Prospeknya Dalam Kebijakan Legislasi,
Makalah disampaikan pada seminar Nasional Peran Hakim Dalam Meningkatkan
Profesionalisme Menuju Peradilan yang Agung, Diselenggarakan IKAHI dalam rangka
Ulang Tahun IKAHI ke-59, 25 April 2012, h.1-2. 16
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana,
Disertasi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), h.180.
42
Kongres International Penal Reform Conference yang diselenggarakan di Royal
Holloway College, University of London, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda
baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal
reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau
mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar-
standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with
informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights
standards), dengan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum
pidana, antara lain:
1. Restorative justice;
2. Alternative dispute resolution;
3. Informal justice; dan
4. The role of civil society in penal reform.
Salah satu pembaharuan hukum yang diinginkan adalah penyelesaian perkara
pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Adapun Tony F.
Marshall memberikan definisi Restorative Justice sebagai “is a process whereby
parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal with the
aftermath of the offence and its implications for the future.” (suatu proses dimana
semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang)”17
Menurut Stephenson, Giller, dan Brown salah satu bentuk Keadilan Restoratif,
yang mempunyai tujuan memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan
kepentingan pelaku, korban, dan komunitas adalah Mediasi Penal (Victim-Offender
17
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.3 No.III
September 2004, h.19
43
Mediation).18
Pada umumnya di Indonesai kita mengenal Mediasi sebagai bentuk
pilihan penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution) dalam bidang hukum
perdata, yang mana mediasi diartikan sebagai suatu proses negoisasi pemecahan
masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan
pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan
perjanjian yang memuaskan.19
Perkembangan hukum yang terjadi saat ini, memungkinkan bahwa mediasi tidak
hanya dapat diterapkan dalam ranah hukum perdata namun juga dapat dipergunakan
dalam hukum pidana. Mediasi dalam hukum pidana dikenal dengan mediasi penal.
Menurut DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal adalah “Penyelesaian
perkara pidana melalui musyawarah dengan bantuan mediator yang netral, dihadiri
korban dan pelaku beserta orang tua dan perwakilan masyarakat, dengan tujuan
pemulihan bagi korban, pelaku, dan lingkungan masyarakat.”20
Berdasarkan penjabaran diatas, pemberian sanksi pidana seyogyanya dijadikan
sebagai obat terakhir atau disebut juga ultimum remedium selama upaya lain dapat
dapat dilakukan demi kebaikan bersama. Mengutip pendapat dari H.G de Bunt dalam
bukunya strafrechtelijke handhaving van miliue recht, hukum pidana dapat menjadi
senjata utama (primum remidium) jika korban sangat besar, tersangka/terdakwa
merupakan recidivist, dan kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable)21
. Kemudian
disimpulkan oleh Remmelink, bahwa sangat jelas dan nyata sebagai sanksi yang
18
I Made Agus Mahendra Iswara, Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative
Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Tesis, Program Pascasarjana Megister
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2013, h. 3 19
Gary Gopaster, Negoisasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negoisasi dan Penyelesaian
Sengketa Melalui Negosiasi, (Jakarta: Elips Projek, 1993), h. 201 20
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice
di Pengadilan Anak Indonesia, (Depok: Indie-Publishing, 2011), h. 86. 21
Romli Atmasasmita, Globalisasi dan Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), Cet. I, h. 192
44
tajam, hukum pidana hanya akan dijatuhkan apabila mekanisme penegakan hukum
lainnya yang lebih ringan telah tiada berdaya guna atau tidak dipandang cocok22
.
Melihat beberapa pendapat ahli diatas mengenai penggunaan hukum pidana,
maka Syarat Hukum Pidana/Sanksi Pidana dapat dijadikan sebagai suatu primum
remedium yaitu:
1) apabila sangat dibutuhkan dan hukum yang lain tidak dapat digunakan
(mercenary);
2) Menimbulkan korban yang sangat banyak;
3) tersangka/terdakwa merupakan recidivist;
4) kerugiannya tidak dapat dipulihkan (irreparable);
5) apabila mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan telah
tiada berdaya guna atau tidak dipandang.
Namun, meski beberapa ahli memberikan pandangan bahwa hukum pidana dapat
digunakan sebagai primum remedium dengan kriteria tertentu sebagaimana disebut
diatas, seharusnya hukum pidana ditempatkan sebagai senjata terakhir (ultimum
remedium) dalam pemidanaan, karena sejatinya hukum pidana merupakan hukum
yang paling keras diantara instrumen-instrumen hukum lain yang mengontrol tingkah
laku masyarakat. Selain itu, perlu dipahami bahwa penetapan sanksi pidana
seyogyanya dilakukan secara terukur dan berhati-hati, karena hal itu terkait dengan
kebijakan peniadaan kemerdekaan dari hak asasi manusia yang dilegalisasi oleh
undang-undang.
Sudikno Mertokusumo berpendapat, hukum yang berfungsi sebagai
perlindungan kepentingan manusia dalam penegakannya harus memperhatikan 3
(tiga) unsur fundamental hukum, antara lain: kepastian hukum (Rechtssicherheit),
22
Kumpulan Makalah Prof Edy O.S. Hiariej
45
kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit)23
. Oleh karenanya,
dalam menentukan pemberian sanksi pidana dalam suatu pemidanaan perlu
memperhatikan ketiga unsur fundamental hukum tersebut karena pada dasarnya
itulah yang menjadi tujuan dari hukum.
Hukum pidana dipandang sebagai ultimum remedium atau sebagai alat terakhir
apabila usaha-usaha lain tidak bisa dilakukan, ini disebabkan karena sifat pidana
yang menimbulkan nestapa, demikan Sudarto mengemukakan pada pelaku kejahatan,
sehingga sebisa mungkin dihindari penggunaan pidana sebagai sarana pencegah
kejahatan24
. Fungsi hukum pidana yang besifat subsidair tersebut juga sering disebut
dengan ultimum remedium atau sebagai obat terakhir, yaitu sebagai obat yang baru
akan digunakan manakala obat lain diluar hukum pidana sudah tidak dapat efektif
digunakan25
.
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara hukum pidana
dengan bidang hukum lain adalah sanksi hukum pidana merupakan pemberian
ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal
mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian
menjadi alasan untuk menggangap hukum pidana sebagai ultimum remedium, yaitu
usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta
memberikan tekanan psikologi agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Penerapan
hukum pidana sedapat mungkin dibatasi oleh karena sanksinya yang bersifat
penderitaan, dengan kata lain penggunaanya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain
tidak memadai lagi.26
23
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2005), h. 160 24
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h. 102 25
H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, h. 26 26
PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti,1997), h. 17
46
Sudikno Mertokusumo mengartikan bahwa ultimum remedium sebagai alat
terakhir27
. Istilah ultimum remidium diartikan dengan pemberian sanksi pidana yang
dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Dengan
perkataan lain, dalam suatu undang-undang sanksi pidana dicantumkan sebagai
sanksi yang terakhir, setelah sanksi perdata, maupun sanksi administratif.28
Mekanisme ini dipergunakan agar selain memberikan kepastian hukum juga agar
proses hukum pidana yang cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap
korban maupun terhadap pelaku itu sendiri.
Dari penjelasan yang dijabarkan diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
ultimum remedium merupakan istilah lumrah yang biasa dipakai atau dikaitkan
dengan hukum. Istilah ini menggambarkan suatu sifat hukum, yakni sebagai pilihan
atau alat terakhir yang dikenal baik dalam hukum pidana.
C. Ultimum Remedium dalam Hukum di Indonesia
Sejatinya, masalah sanksi menjadi isu penting dalam hukum pidana karena
dipandang sebagai pencerminan sebuah norma dan kaidah yang mengandung tata
nilai yang ada di dalam sebuah masyarakat. Adanya pengaturan dan penjatuhan
sanksi muncul akibat adanya reaksi dan kebutuhan masyarakat terhadap
pelanggaran/kejahatan yang terjadi. Untuk itu, Negara sebagai perwakilan dari
masyarakat menggunakan kewenangannya dalam mengatasi permasalahannya
melalui kebijakan pidana (criminal policy).
Salah satu kebijakan pidana yang digunakan Negara adalah pemberian sanksi
pidana melalui undang-undang. Namun dalam pelaksanaannya, penetapan sanksi
pidana melalui undang-undang di Indonesia sekarang ini lebih digunakan sebagai
27
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, h. 128 28
https://istilahhukum.wordpress.com/2013/02/06/ultimum-remedium/ diakses pada
20/01/17
47
primum remedium daripada sebagai ultimum remedium. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa undang-undang yang ada dimana hampir sebagian besar undang-undang
mencantumkan sanksi pidana.
Konstruksi norma sanksi pidana dalam bagian Ketentuan Pidana dalam sebuah
undang-undang dari perspektif penafsiran sistematis, sanksi pidana selalu
ditempatkan lebih dahulu ketimbang sanksi administratif maupun sanksi denda.
Misalnya dalam ketentuan Pasal 104 UU Perdagangan, pada frasa,”pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun) dan/atau denda paling banyak Rp.5000.000.000,00 (lima
milyar rupiah). Selain itu frasa “dan/atau” memuat makna kumulatif dan alternatif.
Artinya dapat dijatuhi pidana penjara saja, pidana denda saja, atau bahkan keduanya.
Sementara itu, tidak sedikit undang-undang yang menggunakan ancaman pidana
dalam ketentuan hukum pidana dengan konstruksi meletakan hukum pidana lebih
dahulu dari sanksi denda ataupun administratif dengan konstruksi dalam pasalnya
sebagai berikut:29
1. (sanksi pidana) + dan/atau + (sanksi denda);
2. (sanksi pidana) + atau + (sanksi denda);
3. (sanksi pidana);
4. (sanksi pidana) + dan + (sanksi pidana).
Hal ini menunjukkan ada pergeseran politik hukum (legal policy) mengenai
penerapan hukum pidana yang semula sebagai upaya/cara terakhir (ultimum
remedium) menjadi upaya/cara pertama (primum remedium), dimana sanksi pidana
masih dianggap senjata utama dalam menghukum seseorang sebagai pembalasan
perbuatan jahatnya di masa lalu.
29
Jurnal Konstitusi, Konstitusionalitas Norma Sanksi Pidana sebagai Ultimum
Remedium dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Volume 12 No. 4, 2015,
h. 879
48
Fenomena saat ini timbul karena masyarakat sudah terlalu sering memandang
pelaku kejahatan sebagai satu-satunya faktor kejahatan, seolah-olah kejahatan tidak
bisa disebabkan faktor-faktor lainnya seperti faktor lingkungan (keluarga),
kurangnya pendidikan, kurangnya pemahaman nilai-nilai agama, atau bahkan faktor
yang mungkin saja datang dari korban kejahatan itu sendiri, apabila ditelusuri lebih
mendalam bahkan beberapa alasan tersebut mungkin saja justru bersumber dari
kelemahan negara. Masyarakat masih menganggap bahwa sanksi pidana merupakan
media pembalasan perbuatan jahat seseorang tanpa mempertimbangkan faktor lain
dan dampak dari sanksi tersebut bagi pelaku ataupun korban.
Nyatanya, penerapan sanksi hukum pidana juga tidak selalu menyelesaikan
masalah karena ternyata dengan sanksi pidana tidak terjadi pemulihan keadilan yang
rusak oleh suatu perbuatan pidana. Oleh karena itu konsep keadilan restoratif perlu
menjadi pertimbangan dalam pemulihan keadilan terhadap suatu tindakan pidana.
Hal ini sejalan dengan sifat hukum pidana sebagai ultimum remedium yang mana
penggunaan sanksi pidana digunakan sebagai hukum atau senjata terakhir ketika
sanksi-sanksi lain seperti sanksi perdata dan sanksi administratif sudah tidak dapat
dilaksanakan.
D. Tinjauan Hukum Islam tentang Ultimum Remedium
Sebagai agama yang “rahmatan li al „Alamiin”, Islam memiliki tujuan untuk
menciptakan kebahagian hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat, dengan
mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak
berguna terhadap kehidupan manusia. Hukum Islam sendiri bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani, baik secara
individu ataupun dalam kehdiupan bermasyarakat. Demikian juga dalam proses
penyelesaian masalah pidana dan penjatuhan hukuman bagi pelaku tindak pidana, di
49
mana hukum Islam memiliki cara pandang tersendiri dalam memperlakukan si
pelaku kejahatan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan.
Nilai-nilai filosofis hukum pidana Islam tercermin dari asas-asas hukum Islam
secara tersendiri. Asas legalitas dipertimbangkan untuk menghindari kesalahan
dalam proses pemidanaan, karena banyak anggapan bahwa hukum pidana Islam itu
keras dan tidak sesuai dengan asas kemanusiaan. Misalnya kasus pembunuhan,
Hukum pidana Islam mengenal suatu konsep pemaafan. Pelaku pembunuhan, tidak
dapat dijatuhi sanksi pidana jika wali korban telah memaafkannya, atau misalnya di
antara pelaku dan korban terdapat suatu mediasi atau perdamaian yang dalam hukum
pidana Islam disebut dengan “al-Islah”.
Hal ini tentunya menunjukkan bahwa tidak setiap pelaku kejatahatan harus
mendapatkan hukuman. Dalam beberapa permasalahan, sanksi pidana dapat
diposisikan sebagai ultimum remedium yang berarti penjatuhan sanksi merupakan
senjata terakhir, tentunya dengan mempertimbangkan aspek tertentu, sebab-sebab
terjadinya suatu perbuatan pidana dan juga kondisi pelaku tindak pidana.
Hukum pidana Islam, sebagai realisasi dari hukum Islam itu sendiri, menerapkan
hukuman dengan tujuan untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat
serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap
anggota masyarakat, baik yang berkenaan dengan jiwa, harta, maupun kehormatan.30
Tujuan pemberi hukuman dalam Islam sesuai dengan konsep tujuan umum
disyariatkan hukum, yaitu untuk merealisasi kemaslahatan dan sekaligus akan
ditegakkannya keadilan.31
Dalam hukum pidana Islam seperti yang dikemukakan Abu Zahrah bahwa pada
dasarnya tujuan pemidanaan terutama dalam konteks Qişaş diyat adalah untuk
30
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h.
255 31
Makhrus Munajat, Fiqh Jinayat, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2010), h.
102
50
mendidik individu, menciptakan keadilan di tengah masyarakat dan menciptakan
kemaslahatan di tengah masyarakat.32
Dengan tujuan pemidanaan tersebut maka
masyarakat diharapkan dapat menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan
kriminal terutama dalam hal pembunuhan baik sengaja, semi sengaja maupun tidak
sengaja.
Pemikiran mengenai teori pemidanaan dalam Islam tidak lepas dari nilai–nilai
dan norma dalam Islam itu sendiri, teori Islam tentang pemidanaan merupakan suatu
kepercayaan yang berasal dari petunjuk Tuhan yang ada dalam Al-Qur‟ān.33
Dari
beberapa kajian terhadap nash-nash dalam syariat Islam, para pakar merumuskan
sejumlah teori tentang tujuan pemidanaan dalam Islam yaitu :
1. Pembalasan (al-jaza‟)
Konsep ini dalam pandangan hukum sekuler dikenal dengan tujuan
pemidanaan retributive atau pembalasan. Tujuan pemidanaan ini mengandung
pengertian bahwa hukuman itu dikenakan kepada pelaku jarimah sebagai
balasan atas perbuatannya itu.34
Hal ini berarti bahwa jika seseorang melakukan
suatu tindak kejahatan maka harus dibalas dengan apa yang telah ia lakukan dan
nilainya harus setimpal. Tujuan dari pembalasan diatas adalah hukuman yang
diberikan haruslah menggapai keadilan pihak korban, ahli waris dan orang-orang
terdekat korban.35
2. Pencegahan (al-jazr)
Hukuman itu diterapkan bermaksud sebagai upaya pencegahan atau tindakan
prevensi bagi orang–orang yang ingin melakukan tindakan pidana.36
Tujuan
pemidanaan ini terbagi menjadi 2 yaitu :
32
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), h. 365. 33
Ocktoberrinsyah, “Teori Pemidanaan Dalam Islam”, In Right Jurnal Agama dan
Hak Azazi Manusia, Vol. 1, 2011, h. 22 34
Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susilo, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif,
(Yogyakarta: Lab Hukum Fakultas Hukum UMY, 2006), h. 106 35
Ocktoberrinsyah, “Teori Pemidanaan Dalam Islam”…, h. 25 36
Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susilo, Hukum … , h. 106
51
a. Pemidanaan yang bermaksud sebagai pencegahan kolektif (generale
prevention), yang berarti pemidanaan harus bisa memberikan pelajaran bagi
orang lain untuk tidak melakukan tindak pidana serupa.37
b. Pencegahan yang bersifat khusus (special Prevention), artinya sesorang yang
melakukan tindak pidana setelah diteraokan sanksi terhadapnya ia akan
bertaubat dan berusaha untuk tidak mengulangi tindakannya tersebut.38
Misal
dalam kasus pembunuhan tidak di sengaja pelaku diwajibkan membayar diyat
yang dapat membuatnya kehilangan banyak harta hingga jatuh miskin sehingga
di kemudian hari ia akan lebih berhati–hati dalam bertindak agar tidak terjadi
kelalian lagi dalam bertindak.
3. Pemulihan/perbaikan (al-islah)
Pemulihan atau yang sering disebut rehabilitasi (rehabilitation) adalah
tujuan pemidanaan yang bermaksud untuk memperbaiki pelaku tindak kejahatan
(rehabilitation of the criminal), pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk
mengubah sikap dan perilaku pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi tindak
kejahatanya. Unsur utama dalam tujuan pemidanaan ini adalah mendidik pelaku
kejahatan agar menjadi lebih baik dalam kehidupan setelah menjalani sanksi
pidana.39
4. Restorasi (al-isti‟adah)
Keadilan restorasi adalah konsep pemidanaan yang mengedepankan pemulihan
kerugian yang dialami korban dan pelaku, dibanding menjatuhkan hukuman penjara
bagi pelaku.40
Korban mengambil peran aktif dalam proses, sementara pelaku didorong
untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka, untuk memperbaiki hal-hal
37
Makhrus Munajat, Fiqh Jinayat, h. 104 38
Ocktoberrinsyah, “Teori Pemidanaan Dalam Islam”…, h., 22 39
A. Hanafi, Asas-Asas ... , h. 57 40
Ary Wibowo, “Kejamnya Keadilan sandal Jepit”,
http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/Kejamnya.Keadilan.Sandal.Jepit
diakses 29/08/2017
52
yang membahayakan mereka, dilakukan dengan cara meminta maaf, mengembalikan
uang yang dicuri, atau pelayanan masyarakat.
Jika dalam tujuan pemulihan lebih berorientasi kepada pelaku tindak
pidana, maka dalam tujuan restorasi ini lebih berorientasi kepada kepentingan
korban.41
Hal ini didasarkan pada sebuah teori keadilan yang menganggap
kejahatan dan pelanggaran menjadi pelanggaran terhadap individu atau
masyarakat, bukan negara. Keadilan Restoratif mendorong dialog antara korban
dan pelaku menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas
pelaku.
Pada kasus tabrakan misalnya, korban seringkali tidak mendapat solusi
atas masalah yang dihadapi, yaitu mendapatkan biaya rumah sakit dan
penggantian atas biaya hidup karena ketidakmampuannya bekerja akibat
tabrakan yang ia alami. Demikian juga dengan sang penabrak, ia harus
mendapatkan pidana penjara sehingga baginya untuk apa juga memberikan uang
pengobatan kepada korban, toh ia sudah dipenjara. Dengan demikian pengenaan
atau penjatuhan pidana penjara pada pelaku kejahatan berimbas kepada keluarga
korban juga keluarga pelaku sendiri, dan tentu saja ini bukan sebuah solusi.42
Dalam Islam, tujuan pemidanaan ini dapat disimpulkan dari ayat-ayat yang
menegaskan adanya hukuman diyat sebagai hukuman pengganti dari hukuman
Qişaş apabila korban memaafkan43
dan pemberian maaf pihak korban (ahli
waris) dengan bersedekah dalam pidana pembunuhan karena tersalah
5. Penebusan dosa (at-takfir)
Penebusan dosa atau penghapusan dosa merupakan konsep tujuan
pemidanaan yang berasal dari pemikiran religious yang bersumber dari Allah.
41
Ocktoberrinsyah, “Teori Pemidanaan Dalam Islam”. .. h., 31 42
Keadilan restorative bagi korban tindak pidana,”
http://ulinnuha.blogdetik.com/2011/04/27/keadilan-restoratif-bagi-korban-tindak-pidana/
diakses 29/08/2017 43
Ocktoberrinsyah, “Teori Pemidanaan Dalam Islam” … , h. 31
53
Hal ini merupakan buah dari keyakinan akan datangnya hari pembalasan di
akhirat. Dalam keyakinan Islam segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia di
dunia ini akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat, dengan demikian konsep
ini memandang bahwa penjatuhan hukuman di dunia ini menurut para fuqaha,
salah satu fungsinya adalah untuk menggugurkan dosa–dosa yang telah
dilakukannya.
Seperti dalam kasus pembunuhan karena tersalah bahwasanya salah satu
tujuan dari diwajibkannya membayar diyat adalah untuk menghapuskan rasa
berdosa pelaku karena kelalaiannya telah mengakibatkan matinya seseorang.
Melihat tujuan-tujuan pemidanaan dalam Islam dapat diambil kesimpulan bahwa
penjatuhan sanksi pidana bukan merupakan satu-satunya cara dan bukan sebagai
senjata utama dalam menghukum seseorang yang bersalah. Konsep-konsep
penyelesaian masalah pidana tersebut merupakan bagian dari konsep Restorative
Justice yang akhir-akhir ini mulai dilirik oleh para pakar hukum dalam upaya
mencari penyelesaian hukum yang berkeadilan dan tentunya memberikan manfaat
serta kebaikan bagi semua pihak.
Bicara tentang pemidanaan tentunya juga tidak terlepas dari pembahasan
pertanggung jawaban pidana. Untuk dapat dipidananya seorang pelaku kejahatan
disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang
telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan
yang dilarang, seseorang akan bertanggungjawab terhadap perbuatannya tersebut
apabila perbuatannya bertentangan dengan hukum, serta tidak ada alasan pembenar
dan alasan pemaaf. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya
seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya.44
44
Syafrinaldi,“Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pembunuhan
(Perbandingan Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)”, Hukum Islam,
Vol.VI, No.4 (Desember 2006), h. 408
54
Dalam hukum Islam dalam segi pertanggung jawaban pidana, hubungan
hukuman dan pertanggung jawaban pidana, ditentukan oleh sifat keseorangan
hukuman dan ini merupakan salah satu prinsip dalam menentukan pertanggung
jawaban pidana.45
Dalam menentukan pertanggung jawaban pidana, syariat Islam
tidak semata-mata melihat pada perbuatan pidana semata, melainkan juga pada
niatan pembuat. Hal ini dikarenakan niat seseorang sangat penting dalam melakukan
suatu perbuatan melawan hukum. Pertanggung jawaban pidana dapat hapus karena
hal-hal yang berhubungan dengan diri pembuat sendiri atau karena hal-hal yang
berhubungan dengan keadaan diri pembuat.46
45
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqih Jinayah (Bandung: Aksara Baru,
2004), h. 69 46
Syafrinaldi, “Pertanggungjawaban.., h. 415
55
BAB IV
ANALISIS ASAS ULTIMUM REMEDIUM
DALAM PEMIDANAAN ANAK PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A. Asas Ultimum Remedium dalam Pemidaaan Anak di Indonesia
Persoalan mengenai anak yang menjadi pelaku tindak pidana menjadi persoalan
serius di berbagai negara. Melihat keadaan dimana perilaku anak-anak banyak yang
mengarah pada tindak kriminal, maka perlu upaya kuat dalam penanggulangan serta
penanganannya, terlebih dalam persoalan hukum pidana anak. Tentunya hal ini
mengarah kepada permberian perlakuan khusus bagi anak yang melakukan tindak
pidana. Proses penyelesaian kasus pada anak yang melakukan tindak pidana juga
harus dibedakan dengan orang dewasa, hal ini dikarenakan bahwa seorang anak
apabila dilihat dari kedudukannya secara hukum belum bisa dibebani kewajiban
sebagaimana orang dewasa, selama seseorang disebut sebagai anak maka selama
itulah dirinya tidak dituntut pertanggungjawaban, apabila timbul masalah pada anak
tetap diusahakan bagaimana haknya tetap dilindungi oleh hukum.1
Berbicara mengenai pemidanaan terhadap anak acapkali menimbulkan
perdebatan, karena masalah ini mempunyai konsekuensi dan dampak yang luas
menyangkut diri pelaku dan juga masyarakat. Di satu sisi, salah satu unsur terpenting
dalam hukum pidana adalah pemidanaan, dimana perbuatan pidana seseorang
diberikan sanksi sebagai bentuk balasan terhadap apa yang telah diperbuat. Namun di
sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa pemidanaan memiliki dampak negatif bagi
bagi yang dikenai pidana, khususnya bagi anak.
1 Kusumah, Mulyana W., Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: CV Rajawali, 1996), h.
3
56
Anak yang melakukan tindakan pidana juga harus dilindungi hak-haknya
sebagai seorang anak, karena anak merupakan tunas yang berpotensi meneruskan
cita-cita perjuangan bangsa dan negara di masa yang akan datang. Oleh karenanya,
proses tumbuh kembang anak harus tetap terjaga dengan baik. Tentunya hal ini
menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan juga negara
untuk mewujudkan pembinaan dan perlakuan yang baik terhadap anak.
Salah satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak anak yang diberikan oleh
negara adalah dengan dibentuknya berbagai aturan yang memiliki prinsip untuk
melindungi hak-hak anak, salah satunya adalah Undang-Undang tentang
Perlindungan Anak. Sedangkan, dalam upaya melindungi anak dari kesewenang-
wenangan hukum dalam proses pemidanaan, lahirlah Undang-Undang tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana peraturan ini bertujuan untuk menjaga dan
melindungi hak anak, meskipun anak tersebut melakukan suatu perbuatan pidana.
Peraturan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap anak yang
menjadi pelaku tindak pidana dalam proses penyelesaiannya.
Secara filosofis, proses peradilan pidana anak harus mengutamakan
perlindungan dan rehabilitasi terhadap anak yang melakukan tindak pidana, dengan
menyadari bahwa anak memiliki sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang
dewasa. Oleh karenanya, dalam menjalankan proses pemidanaan terhadap anak harus
menjunjung tinggi prinsip-prinsip perlindungan anak sebagaimana tertuang di dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan yang
terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya serta
penghargaan terhadap pendapat anak, dan dalam pasal 16 Ayat (3) Undang-Undang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana
penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
57
Prinsip bahwa sanksi pidana hanya diberikan sebagai obat terakhir atau disebut
juga sebagai asas ultimum remedium nyatanya tidak dapat dilepaskan dari
pemidanaan dalam sistem peradilan pidana anak. Asas ini mengarahkan bahwa
semaksimal mungkin anak dihindarkan dari pemberian sanksi pidana. Hal ini selaras
dengan aturan dalam Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak-Hak
Anak) (Resolusi MU PBB 44/25) yang menyebutkan bahwa:
“Penangkapan, penahanan dan pidana penjara, hanya digunakan sebagai
tindakan dalam upaya terakhir dan jangka waktu yang sangat pendek.2
Dalam United Nations Guidelines For The Prevention of Juvenile Delinquency (The
Riyadh Guidlines) juga menyebutkan bahwa:
Perlu diingat bahwa anak/remaja yang melakukan pelanggaran ringan tidak
harus direaksi dengan kriminalisasi atau penghukuman atas perbuatannya.3
Mengenai penjatuhan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana, telah
diatur dalam Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-
undang tersebut mengatur tentang sanksi pidana dan sanksi tindakan. Hakim
diberikan pilihan untuk menjatuhkan sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana
antara sanksi pidana atau tindakan. Apabila kita menempatkan bahwa sanksi pidana
merupakan obat terakhir (ultimum remedium) dalam pemidanaan anak, maka dalam
hal ini, Hakim mempunyai alternatif dalam menjatuhkan sanksi, yaitu dengan
penjatuhan sanksi tindakan.
Pada dasarnya sah-sah saja apabila keputusan hakim berkata lain dengan
menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana. Namun menurut
penulis, saat hakim ingin menjatuhkan sanksi pidana alangkah baiknya dilihat dan
ditinjau kembali apakah keputusan tersebut dapat memberikan nilai manfaat dan nilai
edukatif terhadap anak tersebut. Dengan menyadari bahwa kondisi anak yang masih
2 Dalam Artikel 37 huruf (d) Konvensi Hak Anak
3 Dalam Rule 1.1-1.5 The Riyadh Guidelines
58
sangat perlu mendapatkan bimbingan. Menurut penulis, penjatuhan sanksi pidana
berupa penjara dapat menimbulkan kerugian dan dampak buruk bagi anak. Saat anak
dirampas kemerdekaannya, anak akan terpisah dari komponen terpenting dalam
proses pendidikan dan pengarahannya, yaitu orang tua dan keluarga. Hubungan
kekeluargaan dan hubungan emosional antara anak dan keluarga akan terganggu.
Anak yang dipidana juga berpotensi menjadi anak yang lebih nakal dan ahli dalam
tindak pidana, hal ini bisa disebabkan dampak buruk dari terpidana lain yang
memungkinkan memberikan pergaulan yang negatif dan pengetahuan yang lebih
banyak tentang tindak kejahatan.
Dampak lain dapat dilihat dari sudut pandang masyarakat, anak yang pernah
dipidana pasti mendapat label buruk di mata masyarakat. Hal ini dapat dikaitkan
dengan labelling theory yang memandang bahwa seorang kriminal bukanlah orang
yang bersifat jahat, tetapi orang yang sebelumnya pernah berstatus jahat yang
ditetapkan oleh sistem peradilan pidana atau masyarakat. Berdasarkan pandangan ini,
ada kemungkinan masyarakat untuk menolak kehadiran anak yang pernah dipidana,
karena sudah ada pandangan bahwa anak yang pernah dipidana merupakan anak
yang nakal dan memiliki perilaku yang buruk, dengan kekhawatiran anak tersebut
dapat mengulangi perbuatan jahatnya atau dapat memberikan dampak buruk bagi
anak-anak yang lain.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, seharusnya dapat menjadi pertimbangan
Hakim bahwa dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak harus memperhatikan
kepentingan yang terbaik bagi anak dalam berbagai aspek, sehingga dalam
pengambilan keputusannya, hakim harus menerapkan asas ultimum remedium
dimana penjatuhan sanksi pidana merupakan upaya terakhir demi kepentingan anak.
59
B. Implementasi Asas Ultimum Remedium dalam Pemidaaan Anak di
Indonesia
Apabila kita berbicara mengenai pemidanaan anak, maka yang menjadi rujukan
utama adalah Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (UU SPPA), karena di undang-undang itulah yang mengatur tentang seluruh
rangkaian proses pemidanaan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, tentunya
dengan tetap memperhatikan instrumen-instrumen Internasional tentang anak yang
telah diratifikasi sebagai landasan yuridis pelaksanaan peradilan pidana anak.
Mengenai penjatuhan sanksi bagi anak yang berhadapan dengan hukum diatur
dalam pasal 71 ayat 1 dan 2 UU SPPA yang menyebutkan tentang sanksi pidana dan
dalam pasal 82 tentang sanksi tindakan. Apabila melihat ketentuan sanksi dalam UU
SPPA ini, yang mengatur bahwa ada sanksi tindakan, menandakan bahwa undang-
undang ini menganut double track system, yang artinya hakim mempunyai pilihan
dalam menentukan sanksi mana yang dapat dijatuhkan bagi pelaku, antara sanksi
pidana atau sanksi tindakan.
Dalam penjatuhan sanksi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,
tentunya harus memperhatikan asas-asas yang terkandung dalam sistem peradilan
pidana anak di Indonesia. Sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU SPPA, dimana
sistem peradilan pidana anak harus mementingkan perlindungan, keadilan,
nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak,
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan
anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir, dan penghindaran pembalasan.
Salah satu asas tersebut menyatakan bahwa perampasan kemerdekaan dan
pemidanaan sebagai upaya terakhir atau disebut juga sebagai asas ultimum
remedium. Tentang asas ultimum remedium dalam UU SPPA ini juga dapat dilihat
dalam Pasal 3 huruf g yang menyatakan bahwa tiap anak dalam proses peradilan
60
pidana berhak untuk tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
Mengenai ultimum remedium dapat diartikan bahwa penjatuhan sanksi pidana
merupakan obat terakhir selama upaya atau sanksi lain dianggap masih bisa
diberikan kepada pelaku tindak pidana. Hal ini tentunya bertujuan menjaga asas lain
dalam pemidanaan anak, yaitu perlindungan terhadap anak, menjaga kelangsungan
hidup dan tumbuh kembangnya, serta pembinaan dan pembimbingan terhadapnya.
Dalam upaya penerapan asas ultimum remedium tersebut, sistem peradilan anak
di Indonesia mengedepankan konsep restorative justice dalam pelaksanaannya.
Keadilan restoratif merupakan suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam
suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, tentunya demi
kebaikan bersama dan mencapai win-win solution, dengan menciptakan suatu
kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan
pelaku, korban, dan masyarakat dalam mencari solusi memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menentramkan hati yang tidak berdasarkan pada pembalasan.
Upaya tersebut terlihat dalam proses peradilan pidana anak, dimana adanya
perlakuan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sejak dimulainya proses
peradilan. Salah satunya dengan diwajibkannya diadakan Diversi dalam proses
penyidikan oleh penyidik. Diversi merupakan sebuah tindakan atau perlakuan untuk
mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem
peradilan pidana. Prinsip utama pelaksanaan konsep Diversi adalah tindakan
persuasif atau pendekatan non-penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang
untuk memperbaiki kesalahan. Proses pengalihan ini ditujukan untuk memberikan
perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Apabila proses Diversi
berhasil, maka anak yang berhadapan dengan hukum tidak boleh diproses lebih
lanjut ke dalam persidangan. Namun apabila Diversi tidak berhasil, maka anak tetap
mengikuti proses peradilan pidana, tetapi dengan perlakuan khusus sebagaimana
61
diatur undang-undang dengan tetap berorientasi pada prinsip-prinsip perlindungan
anak, dan dalam penjatuhan sanksi oleh Hakim juga dengan memperhatikan
kepentingan yang terbaik bagi anak.
Di Indonesia sendiri, persoalan mengenai anak yang terlibat kasus tindak pidana
tidak sedikit jumlahnya. Banyak kasus yang menjadi sorotan masyarakat dan media
tentang anak yang melakukan tindak pidana. Salah satunya kasus yang dihadapi oleh
AQJ atau biasa disebut Dul, anak dari Ahmad Dhani. Dul dianggap lalai dalam
mengemudikan kendaraan sehingga terjadi kecelakaan yang mengakibatkan sejumlah
korban meninggal dunia. Atas kasus tersebut, Dul ditetapkan sebagai tersangka atas
kecelakaan maut di Tol Jagorawi Km 8+200 September 2013 yang lalu dan harus
melewati proses peradilan anak. Dul dijerat dengan pasal 310 ayat (2), (3), dan (4)
Undang Undang Lalu Lintas dengan ancaman pidana maksimal enam tahun penjara.
Di satu sisi, perbuatan yang dilakukan Dul termasuk perbuatan pidana, apalagi
sampai memakan korban jiwa. Tetapi dalam kasus ini, Hakim menjatuhkan sanksi
tindakan terhadap Dul, yaitu dengan mengembalikan dirinya kepada orang tuanya,
padahal dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dul dituntut dengan satu tahun
penjara dengan masa percobaan dua tahun serta denda Rp. 5 juta subsider tiga bulan
kerja sosial.
Dalam kasus tersebut Hakim berpendapat bahwa terdakwa masih berusia 13
tahun, bukan anak nakal. Dul dianggap hanya kurang perhatian, kasih sayang, dan
pengawasan orang tua. Terlebih lagi antara pihak keluarga terdakwa dan korban telah
mencapai kata sepakat untuk berdamai. Kedua orang tua Dul juga berjanji akan lebih
mengawasi dan memperhatikan bocah 13 tahun tersebut. Hakim juga berpendapat,
dalam pengamatannya selama persidangan, Dul merupakan anak yang sopan dan
punya budi pekerti yang baik, hanya saja ia kurang mendapat perhatian dari orang
tuanya. Menurut Hakim, terdakwa dapat dibina, karena jika dengan dengan sanksi
62
pidana bersyarat sekalipun dapat memberikan stigma negatif kepada anak di masa
mendatang.4
Apabila melihat keputusan Hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap kasus
tersebut, menurut penulis keputusan tersebut sudah benar. Karena dalam hal ini
Hakim sangat mempertimbangkan kepentingan yang terbaik bagi terdakwa. Hakim
menilai bahwa perbuatan terdakwa bukan semata-mata kesalahan dia, tetapi juga
karena faktor keluarga yang kurang dalam mengawasi dan memberi perhatian, dan
apabila terdakwa dijatuhkan sanksi pidana, walaupun itu pidana bersyarat sekalipun,
dapat memberikan dampak yang negatif bagi dirinya. Dan dengan pertimbangan
tersebut, Hakim memutuskan untuk mengembalikan terdakwa kepada orang tuanya
dengan menghindari sanksi pidana atas perbuatannya.
Contoh kasus lain mengenai anak yang melakukan tindak pidana dapat dilihat
dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.568/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Bar.
Dalam kasus tersebut, seorang anak telah melakukan suatu perbuatan pidana yaitu
memiliki narkotika. Dalam putusan, Hakim menyatakan bahwa anak tersebut terbukti
secara sah dan dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak pidana dengan
“tanpa hak atau melawan hukum memiliki Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman”, namun sanksi yang diberikan Hakim adalah mengembalikan
terdakwa/anak tersebut kepada orang tuanya dibawah pengawasan Bapas. Kasus
lainnya dapat dilihat dalam salah satu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Dalam putusan tersebut, hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti dengan sah
serta meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan, tetapi Hakim
menjatuhkan sanksi agar terdakwa dikembalikan kepada orang tuanya dibawah
4 www.liputan6.com/amp/2078684/tewaskan-7-orang-dul-ahmad-dhani-divonis-bebas
diakses pada 7/01/2018
63
pengawasan Bapas, padahal Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa atas kasus
tersebut dengan pidana penjara selama 1 (satu) satu tahun dan 8 (delapan) bulan.5
Menurut penulis, apabila melihat contoh-contoh kasus yang dijabarkan diatas,
asas ultimum remedium telah diterapkan oleh Hakim dalam penjatuhan sanksi
terhadap anak. Padahal dalam putusannya, Hakim menyatakan para terdakwa secara
sah dan meyakinkan bersalah, namun sanksi yang diberikan bukanlah sanksi pidana
penjara, tetapi dikembalikan kepada orang tuanya masing-masing. Hal ini tentunya
dengan pertimbangan bahwa sanksi pidana bukanlah sanksi yang tepat diberikan
kepada anak yang melakukan tindak kejahatan.
Menurut penulis, seharusnya kasus-kasus tersebut dapat menjadi gambaran dan
acuan dalam penjatuhan sanksi terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
Meskipun dampak yang timbul dari perbuatan tersebut sangat besar, tetapi Hakim
juga sangat memperhatikan dampak apabila seorang anak pelaku tindak pidana
dijatuhi sanksi pidana.
5 Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor. 014/Pid.Sus/2014/PN.JKT.BAR
64
C. Tinjauan Hukum Islam tentang Implementasi Asas Ultimum Remedium
dalam Pemidaaan Anak
Dalam hukum Islam, ada istilah pertanggungjawaban pidana, yaitu pembebanan
seseorang akibat perbuatannya (atau tidak berbuat dalam delik omisi) yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud maksud dan
akibat-akibat dari perbuatannya itu.6 Yang di dalam ushul fiqh dikenal dengan istilah
ahliyyah, yaitu kelayakan atau kecakapan atau kemampuan seseorang untuk
memiliki hak-hak yang ditetapkan baginya atau untuk menunaikan kewajiban agar
terpenuhi hak-hak orang lain yang dibebankan kepadanya atau untuk dipandang sah
oleh syara‟ perbuatan-perbuatannya.7 Pertanggungjawaban pidana di atas ditegakkan
atas tiga hal, yaitu: (1) Adanya perbuatan yang dilarang, (2) Dikerjakan dengan
kemauan sendiri, (3) Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatannya tersebut.
Kalau ketiga hal tersebut ada maka terdapat pula pertanggungjawaban pidana, dan
kalau tidak ada maka tidak ada atas unsur-unsur dari pertanggungjawaban pidana.
Dari pengertian di atas maka hanya manusia berakal pikiran, dewasa, dan
kemauan sendiri yang dapat dibebani tanggung jawab pidana. Oleh karena itu tidak
ada pertanggungjawaban bagi kanak-kanak, orang gila, orang dungu, orang yang
hilang kemauannya, dan orang yang dipaksa atau terpaksa.8 Anak yang masih di
bawah umur tidak dikenakan hukuman secara penuh sebagaimana orang dewasa
melakukan tindak pidananya, anak yang masih di bawah umur disamakan dengan
orang yang gila dan orang yang tidak sadar, jadi tidak dikenakan hukuman.
Dalam istiah ushul fih, taklif (beban) itu diberikan kepada orang dewasa atau
balig. Sedangkan orang yang belum sempurna akalnya tidak pantas dibebani (beban
dari Allah) disebut tidak mukallaf. Anak-anak adalah manusia yang demikian itu.
6 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syari‟at Islam Dalam
Konteks Modernitas cet. 2 (Asy Syaamil Press & Grafika, Bandung, 2001), h. 166 7 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid II (Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995), h., 9
8 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 166.
65
Oleh karena itu, pada dasarnya anak tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas
apa yang ia lakukan. Allah berfiman dalam surat Al-Baqarah ayat 286:
فسب إل وسعهب ل يكلف للا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Daud:
بي حتى يحتلن رفع الملن عي ثلثة: عي الوجىى حتى يفيك، وعي البئن حتى يستيمظ، وعي الص
9
Dari Aisyah RA, Bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Hukuman tidak
berlaku atas tiga hal: orang yang gila hingga ia waras, orang yang tidur hingga
ia terjaga, orang yang dan anak kecil hingga ia dewasa.”10
Dengan demikian, kejahatan yang dilakukan anak belum dapat dihukum, tetapi
harus dididik secara khusus, sehingga keadilan restoratif sangatlah penting untuk
diterapkan demi kebaikan anak. Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tidak
pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain
yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Sesuai dengan tujuan pokok hukum Islam maqasid al-Syari‟ah adalah
mewujudkan kemaslahatan umat. Nilai maslahah-nya adalah untuk melindungi
generasi penerus bangsa agar tidak semakin rusak dan kembali menemukan arah dan
tujuan hidupnya untuk masa yang akan mendatang. Selain itu, Islam juga
menjelaskan bahwa perlindungan tidak hanya diberikan kepada korban tindak pidana
tetapi juga melindungi seseorang yang menjadi pelaku tindak pidana. Hal itu
dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, bahwa perlindungan yang
9 Shahih: [Shahiih al-Jaami‟ish Shaghiir 3514], Sunan at-Tirmidzi (II/102/693)
10 Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin, Terjemah Sunan Abu Dawud, IV
(Semarang: CV. Asy Syifa, 1992), h. 738.
66
diberikan kepada orang yang berbuat zhalim (pelaku) adalah dengan memegang
tangannya, yang berarti dengan memberikan pengawasan, pemantauan, sampai
pembinaan agar tidak terjerumus lagi ke hal-hal negatif.
Dengan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep hukum Islam
dalam menghadapi anak yang berhadapan dengan hukum yaitu dengan
mempertimbangkan kepentingan sang anak. Semaksimal mungkin diupayakan bagi
anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari pemidanaan, tentunya dengan
melihat maslahah bagi anak tersebut. Teori maslahah setidaknya dapat menjadi
acuan pemikiran awal dalam mewujudkan maqashid al-Syariah adalah konsep yang
paling tepat untuk mengkaji tentang sanksi pidana terhadap anak. Menurut konsep
maslahah al-Ghazali, bahwa menurut asal maslahah, berarti sesuatu yang
mendatangkan manfaat atau keuntungan dan menjauhkan mudharat yang pada
hakikatnya adalah memelihara tujuan syara‟ dalam menetapkan hukum.11
11
Al-Ghazali dalam Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Tinjauan dari
Aspek Metodologis, Legislasi dan Yurisprudensi, Ed. I (Cet. II, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007), h. 262
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka sebagai akhir dari skripsi ini dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Asas ultimum remedium dalam pemidanaan anak dapat dilihat dalam instrumen
hukum nasional maupun internasional, dimana proses peradilan pidana anak
harus selalu memperhatikan perlindungan terhadapnya. Kepentingan yang
terbaik bagi anak menjadi pertimbangan utama dalam proses peradilan pidana
anak, dengan memposisikan sanksi pidana sebagai upaya terakhir selama upaya
lain dapat dilakukan.
2. Dalam hukum Islam, penjatuhan sanksi pidana harus melihat konsep Ahliyyah,
yaitu kemampuan seseorang dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Dalam hal ini, seorang anak dianggap tidak memiliki kecakapan untuk
bertanggung jawab terhadap sesuatu yang telah diperbuat. Anak yang melakukan
tindak pidana harus dihadapi dengan restorative justice dan memperhatikan
maslahah bagi anak.
B. Rekomendasi
Dari uraian kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai
berikut:
1. Penerapan asas ultimum remedium dalam proses peradilan pidana anak
seharusnya menjadi pertimbangan penting bagi hakim dalam menjatuhkan
sanksi. Oleh karenanya, pemahaman hakim tentang perlindungan anak sangat
68
diperlukan, dengan melihat bahwa sanksi pidana bukanlah solusi terbaik, karena
dapat memberikan dampak buruk bagi anak di masa yang akan datang.
2. Dalam proses peradilan pidana anak, hendaknya Hakim dapat melibatkan unsur
atau pihak yang dapat memberikan gambaran mengenai keadaan anak serta
upaya dalam mewujudkan upaya perlindungan terhadapnya, seperti psikolog
anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan lembaga atau pihak lain
yang dapat membantu memberikan pertimbangan untuk hakim dalam melihat
kondisi anak dalam upaya perlindungan terhadapnya.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad., Usul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1985
Arifin, Bey. dan A. Syinqithy Djamaluddin, Terjemah Sunan Abu Dawud, IV,
Semarang: CV. Asy Syifa, 1992
Ashshiddiqi, T.M. Hasbi., Pengantar Fiqh Mu‟amalah, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997
Atmasasmita, Romli., Globalisasi dan Kejahatan Bisnis, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010
Atmasasmita, Romli., Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1997
Daradjat, Zakiah., Ilmu Fiqh Jilid II, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995
Eddyono, Supriyadi W., Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X,
Materi : Pengantar Konvensi Hak Anak, Jakarta: ELSAM, 2005
Gultom, Maidin., Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008
Hanafi, Ahmad., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967
Ichsan, Muchammad. dan M. Endrio Susilo, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif,
Yogyakarta: Lab Hukum Fakultas Hukum UMY, 2006
Ikhsan, Edy., Beberapa Catatan Tentang Konvensi Hak Anak, Fakultas Hukum:
Universitas Sumatera Utara, 2002
Joni, Muhammad., Hak-Hak Anak Dalam Undang-undang Perlindungan Anak Dan
Konvensi PBB Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, Jakarta:
Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2008
Jurnal Konstitusi, Konstitusionalitas Norma Sanksi Pidana sebagai Ultimum
Remedium dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Volume 12
No. 4, 2015
70
Kartono, Kartini., Bimbingan Bagi Anak dan Remaja yang Bermasalah, Jakarta:
Rajawali Press, 2011
Lamintang, PAF., Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1997
Mamudji, Sri., Metode Penelitian dan Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. "Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice", Bandung: PT. Refika Aditama, 2009
Mertokusumo, Sudikno., Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2005
Mubarok, Jaih. dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqih Jinayah, Bandung: Aksara
Baru, 2004
Muladi dan Arief, Barda Nawawi., Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung:
Alumni, 2007
Mulyana W, Kusumah., Hukum dan Hak-Hak Anak, Jakarta: CV Rajawali, 1996
Munajat, Makhrus., Fiqh Jinayat, Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2010
Mustaqim, Abdul., “Kedudukan dan Hak-Hak Anak dalam Perspektif al-Qur‟an,
dalam al-Musāwa Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 4, No. 2, Juli 2002
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2011
Nasir, M. Djamil., Anak Bukan Untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Ocktoberrinsyah, “Teori Pemidanaan Dalam Islam”, In Right Jurnal Agama dan
Hak Azazi Manusia, Vol. 1, 2011
Prints, Darwan., Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003
Santoso, Topo., Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syari‟at Islam Dalam
Konteks Modernitas, Bandung: Asy Syaamil Press & Grafika, 2001
71
Saraswati, Rika., Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2009
Setiyono, H., Kejahatan Korporasi, Malang: Bayumedia Publishing, 2005
Supeno, Hadi., Kriminalisasi Anak. "Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak
Tanpa Pemidanaan ", Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010
Syafrinaldi,“Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pembunuhan
(Perbandingan Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)”,
Hukum Islam, Vol.VI, No.4, Desember 2006
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005
Wahyudi, Setya., Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011
www.liputan6.com/amp/2078684/tewaskan-7-orang-dul-ahmad-dhani-divonis-bebas
diakses pada 7 Januari 2018
Ary Wibowo, “Kejamnya Keadilan sandal Jepit”,
http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/Kejamnya.Keadilan.San
dal.Jepit diakses 29/08/2017
Keadilan restorative bagi korban tindak pidana,”
http://ulinnuha.blogdetik.com/2011/04/27/keadilan-restoratif-bagi-korban-
tindak-pidana/ diakses 29/08/2017
https://istilahhukum.wordpress.com/2013/02/06/ultimum-remedium/ diakses pada
20/01/17
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2170488-hak-anak-menurut-
islam/#ixzz1zSXacwvM diakses pada 18/08/2017
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak