ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG

11
ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2008 [ Oleh : Uswatun Khasanah Alaqila, S.Hi] Asas legalitas sebagaimana diterangkan konteks di atas (baca lebih detail tulisan asas legalitas dalam perspektif hukum pidana Indonesia dan kajian perbandingan hukum dalam web ini), merupakan asas yang paling penting dalam hukum pidana sebagaimana diucapkan oleh Dupont. Dikaji dari perspektif hukum positif (ius constitutum) maka asas legalitas diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pada RUU KUHP, dikaji dari perspektif ius constituendum maka asas legalitas diatur pula dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. (2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. (4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Transcript of ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG

Page 1: ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG

ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2008

[ Oleh : Uswatun Khasanah Alaqila, S.Hi]

           Asas legalitas sebagaimana diterangkan konteks di atas (baca lebih detail tulisan asas legalitas dalam perspektif hukum pidana Indonesia dan kajian perbandingan hukum dalam web ini), merupakan asas yang paling penting dalam hukum pidana sebagaimana diucapkan oleh Dupont. Dikaji dari perspektif hukum positif (ius constitutum) maka asas legalitas diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Pada RUU KUHP, dikaji dari perspektif ius constituendum maka asas legalitas diatur pula dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:  

(1)    Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,

kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai

tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

(2)    Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang

menggunakan analogi.

(3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat

yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun

perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

(4)    Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan

nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang

diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

         Kemudian penjelasan pasal demi pasal terhadap ketentuan Pasal

1 RUU KUHP tersebut diperinci sebagai berikut:

Ayat (1)

Page 2: ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG

        Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa

suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan

oleh atau didasarkan pada undang-undang. Dipergunakannya asas

tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam

hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana

atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum

tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak

berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum

dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan

suatu tindak pidana.

Ayat (2)

        Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan

adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas

legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan

yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana,

tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk

tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama,

karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang

lain. Dengan ditegaskannnya larangan penggunaan analogi maka

perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini dapat

dihilangkan.

Ayat (3)

       Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu

di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang

hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai  hukum di daerah

tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum

pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk

memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum

Page 3: ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG

pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat

ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur

dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat

tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam

masyarakat tertentu.

Ayat (4)

         Ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau rambu-rambu

dalam menetapkan sumber hukum materiel (hukum yang hidup dalam

masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber

legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai

nasional dan internasional.

        Ada beberapa catatan substansial terhadap eksistensi asas

legalitas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP

tersebut. Pertama, asas legalitas dalam ketentuan Pasal 1 RUU KUHP

merupakan asas legalitas yang diperluas yaitu dikenal eksistensi asas

legalitas formal dan asas legalitas materiel. Pada RUU KUHP asas

legalitas formal diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) sedangkan

asas legalitas materiel diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3).  Pada

asas legalitas formal, dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah

Undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut

dilakukan. Kemudian asas legalitas materiel menentukan bahwa dasar

patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum yang hidup dalam

masyarakat yaitu hukum tidak tertulis atau hukum adat. Kedua,

dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang mempergunakan

analogi (Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP).  Penjelasan Pasal demi Pasal

ketentuan Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP menyebutkan bahwa, “larangan

penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak

pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas.

Page 4: ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG

Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada

waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi

terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak

pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena

kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain.

Dengan ditegaskannnya larangan penggunaan analogi maka

perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini dapat

dihilangkan”. Dalam kepustakan hukum hakikat penafsiran analogi

dimaksudkan apabila suatu perbuatan pada saat perbuatan bukan

merupakan tindak pidana, kemudian diterapkan ketentuan hukum

pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat

atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua

perbuatan itu dipandang analog satu dengan lainnya. Andi Hamzah

menyebut bentuk analogi menjadi dua yaitu gesetz analogi yaitu

analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidan terdapat dalam

ketentuan pidana, dan recht analogi yaitu analogi terhadap perbuatan

yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam

ketentuan hukum pidana. Herman Mannheim mengemukakan

adanya dua macam analogi. Pertama, analogi undag-undang atau

gesetzes analogie. Kedua, analogi hukum atau rechtsanalogie. Dalam

penerapan hukum pidana analogi yang diperbolehkan adalah analogi

undang-undang dan bukan analogi hukum. Kendatipun demikian, sulit

dibedakan antara analogi undang-undang dan analogi hukum. M.

Cherif Bassiouni, membagi ada tiga katagori analogi. Pertama,

analogi untuk menciptakan perbuatan pidana baru yang sudah diduga

tetapi tidak dirumuskan oleh pembentuk undang-undang.  Kedua,

analogi yang diterapkan apabila bunyi Undang-undang tidak cukup

jelas atau gagal merumuskan unsur-unsur dari suatu tindak pidana.

Ketiga, analogi yang diterapkan terhadap pemidanaan yang tidak

didifinisikan oleh pembentuk Undang-undang. Pada sistem dengan

pendekatan positivisme yang ketat, asas legalitas membolehkan

Page 5: ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG

analogi terhadap pemidanaan, asalkan masih dalam batasan-batasan

yang telah ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi,

pada sistem hukum yang menerapkan asas legalitas yang sangat

ketat, penggunaan analogi sepenuhnya dilarang, dengan mengingat

klausula aturan favor reo. Artinya, hakim harus menjatuhkan putusan

yang meringankan terdakwa.

             Pada hakikatnya, penerapan penafsiran analogi dalam hukum

pidana menimbulkan perdebatan panjang. Ada kelompok yang

menerima analogi, kelompok yang menentang penafsiran analogi dan

ada kelompok yang tidak secara tegas menolak dan menerima analogi.

Kelompok yang menyetujui penerapan analogi argumentasinya karena

perkembangan masyarakat relatif cepat sehingga hukum pidana harus

berkembang sesuai perkembangan masyarakat. Sebagian besar

negara Eropa melarang penggunaan analogi, terkecuali Negara

Denmark dan Inggris yang memperbolehkan penerapan analogi.

Kemudian kelompok yang menentang penerapan penafsiran analogi

dikarenakan penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat

menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Taverne,

Roling, Pompe dan Jonkers menerima penerapan analogi dan

Scholten, van Hattum, van Bemmelen, Moeljatno dan Jan

Remmelink menentang penerapan analogi dalam hukum pidana serta

Hazewinkel Suringa dan Vos yang tidak secara tegas menolak dan

menerima analogi. Dalam praktik peradilan pada tahun 1921

penerapan penafsiran analogi diterapkan dalam kassus pencurian

listrik dengan memperluas pengertian “barang” (goed) termasuk

aliran listrik. Praktik peradilan Indonesia lewat Putusan Pengadilan

Tinggi Medan Nomor: 144/Pid/1983/PT. Mdn telah menafsirkan Pasal

378 KUHP yang memperluas pengertian benda termasuk juga

“kegadisan seorang wanita”.

Page 6: ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG

            Lebih lanjut Eddy O.S. Hiariej mengatakan bahwa ketentuan

mengenai larangan menerapkan analogi merupakan suatu contradictio

interminis bila dihubungkan dengan ayat (3) di mana seseorang dapat

dipidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam peraturan

perundang-undangan. Sebab, untuk memidana suatu perbuatan yang

tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, mau tidak mau,

hakim harus menggunakan analogi atau setidak-tidaknya interpretasi

ekstensif. Padahal, pada hakekatnya tidak terdapat perbedaan prinsip

antara interprestasi ekstensif dengan analogi.Ketiga, asas legalitas

formal dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat

diberlakukan secara mutlak/absolut atau imperatif karena adanya

pengecualian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3),

(4) RUU KUHP. Eksistensi dan konsekuensi adanya ketentuan Pasal 1

ayat (3) RUU KUHP dijelaskan bahwa, “adalah suatu kenyataan bahwa

dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat

ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat

dan berlaku sebagai  hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian

terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya

disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum

yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal

tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan

pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam

peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat

tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam

masyarakat tertentu”. 

         Konklusi dasar dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP dengan

diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat yang merupakan

hukum tidak tertulis membawa konsekuensi logis bahwa pembentuk

RUU KUHP menarik hukum tidak tertulis menjadi hukum formal.

Page 7: ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG

Implikasi adanya aspek ini membuat penegakan hukum yang hidup

dalam masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui sub sistem

peradilan pidana. Hal ini dapat dimengerti oleh karena polarisasi

pemikiran pembentuk RUU KUHP bertitik tolak dari keseimbangan

monodualistik yaitu asas keseimbangan antara

kepentingan/perlindungan individu dengan kepentingan/perlindungan

masyarakat, keseimbangan antara kretaria formal dan materiel, dan

keseimbangan antara kepastian hukum dengan keadilan. Nilai/ide

keseimbangan dalam RUU KUHP dilanjutkan dalam menentukan suatu

tindak pidana adalah selalu melawan hukum dengan dianutnya sifat

melawan hukum materiel. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU KUHP

menentukan, “untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain

perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan

perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau

bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat” dan ayat (3)

berbunyi bahwa, “setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat

melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar”. Polarisasi pemikiran

pembentuk undang-undang dalam menentukan dapat dipidana harus

memperhatikan keselarasan dengan perasaan hukum yang hidup

dalam masyarakat. Konklusinya, perbuatan tersebut nantinya tidak

hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi

juga akan selalu bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang

bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dinilai oleh

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.

Ditentukannya syarat bertentangan dengan hukum, didasarkan pada

pertimbangan bahwa menjatuhkan pidana pada seseorang yang

melakukan suatu perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dinilai

tidak adil. Oleh karena itu untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim

selain harus menentukan apakah perbuatan yang diakukan itu secara

formil dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan apakah

perbuatan tersebut secara materiil juga bertentangan dengan hukum,

Page 8: ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG

dalam arti kesadaran hukum masyarakat. Hal ini wajib

dipertimbangkan dalam putusan. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1

ayat (3) RUU KUHP mengimbangi ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU

KUHP. Tegasnya, asas legalitas formal diimbangi dengan ketentuan

asas legalitas materiel.

        Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) RUU KUHP

dijelaskan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut

sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip

hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Kemudian

penjelasan Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “ayat ini mengandung

pedoman atau kretaria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber

hukum materiel (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat

dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman

pada ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.” Pada

hakikatnya, pedoman dalam ayat ini berorientasi pada nilai nasional

dan internasional. Apabila dijabarkan, aspek ini sesuai dengan nilai

nasional (Pancasila) artinya sesuai dengan nilai/paradigma moral

religius, nilai/paradigma kemanusian/humanis, nilai/paradigma

kebangsaan, nilai/paradigma demokrasi (kerakyatan) dan

nilai/paradigma keadilan sosial. Kemudian rambu-rambu yang

berbunyi, “sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui

oleh masyarakat bangsa-bangsa, bersumber pada “The general

principle of law recognized by community of nations” yang terdapat

dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) ICCPR (International Covenant on

Civil and Political Right). Adanya rambu-rambu tersebut, hukum yang

hidup (hukum pidana ada) mendapat landasan untuk dapat diadili

maupun sanksi adat setempat yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan

adalah sesuai nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum

umum yang diakui oleh masyarakat internasional. Keempat, adanya

pembatasan bahwa asas legalitas formal tidak diterapkan secara

Page 9: ASAS LEGALITAS DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG

absolut dan adanya keseimbangan monodualistik maka polarisasi

pemikiran pembentuk RUU KUHP menganut pula secara implisit ajaran

melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif.  Dalam

kepustakaan ilmu hukum dan praktik peradilan ajaran sifat melawan

hukum materiil dalam fungsi positif diartikan bahwa meskipun suatu

perbuatan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang,

hakim dapat menjatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut dianggap

tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial

lainnya dalam kehidupan masyarakat. ***

                                                         

 

           Penulis adalah Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, penulis Buku Ilmu Hukum, Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur Dan Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Universitas Merdeka, Malang

          Lieven Dupont dan Raf. Verstraeten, Handboek Belgisch Strafrech, Acoo Leuven/Amersfoort, 1990, hlm. 101 dalam: Komariah Emong Sapardjaja, Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm. 6

              Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Dalam Era Globalisasi, Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008, hlm. 33

              M. Cherif Bassiouni, Introduction to International Criminal Law, Transnational Publisher, Inc. Ardsley, New York, 2003, hlm. 179-180

               Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 38-39