Artikel_Pajak_100713.pdf

download Artikel_Pajak_100713.pdf

of 2

Transcript of Artikel_Pajak_100713.pdf

  • 7/26/2019 Artikel_Pajak_100713.pdf

    1/2

    Tax Evasion Pajak PropertiOleh Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

    Ketentuan untuk pajak transaksi properti, bahwa harga dapat menggunakan harga transaksi pasar

    properti atau harga NJOP jika tidak diketahui harga pasaran yang wajar. Nilai transaksi yangdilakukan kemudian pasti berbeda dengan NJOP, karena NJOP hanya menghitung harga tanah sesuai

    pasaran dan harga bangunan sesuai dengan bahan bangunan serta upah pekerja yang digunakan.

    Sedangkan nilai transaksi memasukkan unsur keuntungan developer dan emotional price. Unsur

    emotional price inilah yang mendongkrak harga properti melebihi nilai tanah dan bangunannya.

    Contohnya, transaksi satu kavling tanah di kawasan SCBD Jakarta Selatan seluas 9.700 meter dijual

    pada harga Rp193 juta per meter. Harga ini jauh melampaui NJOP bahkan nilai taksiran appraisal

    swasta yang ada di kisaran Rp112 juta per meter.

    Fakta mengejutkan muncul dari sidang kasus simulator SIM (18/06/2013), di mana ada penjualan

    rumah mewah oleh developer kepada terdakwa seharga Rp7,1 miliar di Semarang, namun pada aktanotaris hanya tertulis Rp940 juta atau ada selisih harga Rp6,1 miliar. Atas transaksi ini ada potensi

    PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang harus disetor sebesar 10 persen dari Rp6,1 milar atau Rp610

    juta. Selain itu, ada PPh (Pajak Penghasilan) final sebesar 5 persen dari Rp6,1 miliar atau Rp300 juta.

    Sehingga ada potensi total kekurangan pajak senilai Rp910 juta. Jika developer ini telah menjual

    ratusan unit rumah mewah, kerugian negara dapat mencapai puluhan miliar rupiah dari satu proyek

    perumahan.

    Hal tersebut dapat membantah pernyataan asosiasi developer yang menyatakan bahwa semua

    developer telah membayar pajak sesuai ketentuan. Padahal tidak ada developer yang melaporkan

    nilai transaksinya. Tentu mustahil bagi developer jika tidak mengetahui harga pasaran properti.

    Penggunaan nilai NJOP untuk transaksi developer, bukan karena ketidaktahuan aturan pajak, namunsebagai tindakan kriminal untuk menyembunyikan nilai omset guna penghindaran pajak (tax

    evasion). Kejadian ini tidak hanya terjadi pada developer di Semarang.

    Fakta lain di Depok, terdakwa simulator SIM juga membeli rumah seharga Rp2,65 miliar namun di

    akta jual beli hanya tertulis Rp784 juta atau ada selisih Rp1,9 miliar. Potensi PPN yang belum disetor

    adalah 10 persen dari Rp1,9 miliar atau Rp190 juta dan PPh final 5 persen dari Rp1,9 miliar atau

    Rp85 juta. Total pajak kurang dibayar developer sebesar Rp275 juta dari satu unit rumah saja.

    Kecurangan pajak properti menjadi masalah berulang karena perangkat pengawasan masih memiliki

    lubang. Pada sisi nilai transaksi properti, nilai acuan yang ada untuk properti hanya NJOP, yang

    notabene digunakan untuk pengenaan Pajak Bumi Bangunan (PBB). Harga NJOP, jika disamakan

    dengan nilai pasar akan memberatkan warga yang membayar PBB setiap tahun. Apalagi sejak tahun

    2011, NJOP untuk wilayah desa dan kota dikelola oleh Pemda, dan DJP tidak lagi dapat

    mengintervensi penetapan NJOP tersebut. Celakanya pembayaran PPh dan PPN transaksi properti

    oleh wajib pajak sering menggunakan angka NJOP. Dari sisi PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)

    sendiri, belum semuanya melaporkan harga transaksi properti sebenarnya.

    Pengawasan Surat Setoran Pajak (SSP) PPh pengalihan properti juga terkendala akibat ketiadaan

    data rinci properti di DJP, sejak PBB pedesaan dan perkotaan dikelola Pemda. DJP bisa saja

    memeriksa transaksi properti pada developer, namun koreksi harga transaksi ini belum tentu dapat

    diupdateke data NJOP PBB yang dikelola Pemda. Akibatnya jika properti tersebut pada tahun-tahun

    mendatang dialihkan ke pembeli lainnya, kemungkinan NJOP yang tidak update akan digunakan

    sebagai dasar pelaporan pajak transaksi properti.

  • 7/26/2019 Artikel_Pajak_100713.pdf

    2/2

    Problem lainnya adalah peran makelar properti. Developer biasanya menjual properti harga diskon ke

    broker properti tanpa akta peralihan hak, hanya kuasa menjual, sehingga belum terkena pajak,

    walaupun sudah ada pembayaran dari broker kepada developer. Proses ini bisa berulang sampai ke

    beberapa broker, yang nantinya akta jual beli akan dibuat oleh pembeli terakhir dengan developer.

    Ada juga lubang hukum dengan modus penyewaan properti, umumnya di strata title building, dalam

    jangka panjang antara 75-99 tahun. Dengan dalih penyewaan, akibatnya tidak ada akta jual belisehingga pembeli bebas pajak dan developer tidak perlu membayar PPN dan PPh. Padahal setelah 75

    tahun, apartemen/rumah susun akan dirobohkan karena sudah tua dan berbahaya.

    Agar bisa menangkis kecurangan pajak properti, ada beberapa langkah yang perlu dipikirkan.

    Pertama, mengingatkan kewajiban notaris sesuai Peraturan PemerintanP nomor 48/1994 untuk

    memvalidasi surat setoran pajak PPh ke kantor pajak. Validasi ini dilakukan tidak hanya untuk

    memastikan kebenaran penyetoran pajak ke kas negara, namun juga kebenaran nilai transaksi sesuai

    fakta harga transaksi sebenarnya.

    Kedua, perlu ada alternatif daftar acuan harga properti yang berbeda dengan NJOP, khususnya untuk

    penetapan pajak PPh dan PPN. Harga acuan properti dapat diperbarui per 6 bulan denganmenggunakan data property agent dan data penawaran developer. NJOP hanya digunakan untuk

    pengenaan PBB dan NJOP diupdate maksimal setahun sekali.

    Ketiga, peninjauan aturan Surat Edaran Kepala BPN Nomor SE no.5/SE/IV/2013 yang menyebutkan

    bahwa notaris dan pemohon hak tidak perlu melakukan validasi surat setoran pajak dan cukup

    dengan membuat surat pernyataan telah menyetorkan pajak. Seharusnya pemohon hak dan notaris

    PPAT harus menunjukkan bukti validasi setoran PPh dari kantor pajak.

    Keempat, aturan hukum kepemilikan properti bisa beralih dengan adanya surat kuasa menjual broker

    properti dan surat penyewaan jangka panjang sehingga atas peralihan tersebut dapat dikenakan

    BPHTB, PPN dan PPh. Kelima, perlu ada sharingdata NJOP PBB dari Pemda ke DJP secara periodik.

    Acuan NJOP per unit properti digunakan untuk membuat database harga properti bagi pengenaan

    pajak selain PBB.

    Keenam, untuk jangka panjang, perlu ada revisi aturan kewajiban laporan developer ke PPATK, agar

    developer melaporkan semua transaksi properti dengan akumulasi harga Rp500 juta. Amanat UU

    No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mewajibkan

    developer melaporkan transaksi properti bernilai minimal Rp500 juta. Akibatnya ada penjual properti

    yang mengakali sistem hard cash minimal 6 bulan atau cicilan per bulan hanya 90 jutaan untuk

    menghindari kewajiban pelaporan ke PPATK. Data PPATK menjadi bahan DJP menjaring pajak

    properti, sekaligus mengejar sumber penghasilan wajib pajak, apakah sudah terkena pajak atau

    belum.

    *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis

    bekerja.