Artikel Pajak by Suwarno

29
Artikel Pajak Oleh : Novita Khairunnisa Program Profesi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Riau Bentuk Usaha Tetap Sektor Minyak dan Gas Bumi di Indonesia BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas, dan tidak melakukan pengelolaan secara langsung, karena pengelolaan Migas pada sektor hulu baik eksplorasi maupun eksploitasi dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara maupun badan usaha bukan milik negara berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, efisien, dan transparan. Menurut Mahkamah model hubungan antara BP Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam pengelolaan Migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam Migas yang bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Paling tidak hal itu terjadi, karena tiga hal, yaitu: Pertama, Pemerintah tidak dapat secara langsung melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung badan usaha milik negara untuk mengelola seluruh wilayah kerja Migas dalam kegiatan usaha hulu; Kedua, setelah BP Migas menandatangani KKS, maka seketika itu pula negara terikat pada seluruh isi KKS, yang berarti, negara kehilangan kebebasannya untuk melakukan

description

Perpajakn PAK

Transcript of Artikel Pajak by Suwarno

Artikel PajakOleh : Novita KhairunnisaProgram Profesi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Riau

Bentuk Usaha Tetap Sektor Minyak dan Gas Bumi di IndonesiaBP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas, dan tidak melakukan pengelolaan secara langsung, karena pengelolaan Migas pada sektor hulu baik eksplorasi maupun eksploitasi dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara maupun badan usaha bukan milik negara berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, efisien, dan transparan. Menurut Mahkamah model hubungan antara BP Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam pengelolaan Migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam Migas yang bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Paling tidak hal itu terjadi, karena tiga hal, yaitu: Pertama, Pemerintah tidak dapat secara langsung melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung badan usaha milik negara untuk mengelola seluruh wilayah kerja Migas dalam kegiatan usaha hulu; Kedua, setelah BP Migas menandatangani KKS, maka seketika itu pula negara terikat pada seluruh isi KKS, yang berarti, negara kehilangan kebebasannya untuk melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan dengan isi KKS; Ketiga, tidak maksimalnya keuntungan negara untuk sebesar besar kemakmuran rakyat, karena adanya potensi penguasaan Migas keuntungan besar oleh Bentuk Hukum Tetap atau Badan Hukum Swasta yang dilakukan berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, wajar dan transparan. Dalam hal ini, dengan konstruksi penguasaan Migas melalui BP Migas, negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola sumber daya alam Migas, padahal fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bahwa untuk mengembalikan posisi negara dalam hubungannya dengan sumber daya alam Migas, negara/pemerintah tidak dapat dibatasi tugas dan kewenangannya pada fungsi pengendalian dan pengawasan semata tetapi juga mempunyai fungsi pengelolaan. Menurut Mahkamah, pemisahan antara badan yang melakukan fungsi regulasi dan pembuatan kebijakan dengan lembaga yangmelakukan pengelolaan dan bisnis Migas secara langsung, mengakibatkan terdegradasinya penguasaan negara atas sumber daya alam Migas. Walaupun terdapat prioritas pengelolaan Migas diserahkan kepada BUMN sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004, efektivitas penguasaan negara justru menjadi nyata apabila Pemerintah secara langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan (policy) tanpa ditambahi dengan birokrasi dengan pembentukan BP Migas. Dalam posisi demikian, Pemerintah memiliki keleluasaan membuat regulasi, kebijakan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan atas sumber daya alam Migas. Dalam menjalankan penguasan negara atas sumber daya alam Migas, Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu. Badan Usaha Milik Negara itulah yang akan melakukan KKS dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap. Dengan model seperti itu, seluruh aspek penguasaan negara yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 terlaksana dengan nyata.Menurut Mahkamah hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan tetapi harus merupakan hubungan yang bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan negara. Kontrak keperdataan akan mendegradasi kedaulatan negara atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas sepanjang dikonstruksi dalam bentuk KKS antara BP Migas selaku Badan Hukum Milik Negara sebagai pihak Pemerintah atau yang mewakili Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo adalah bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud oleh konstitusi. Untuk menghindari hubungan yang demikian negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberikan konsensi untuk mengelola Migas di Wilayah hukum Pertambangan Indonesia atau di Wilayah Kerja, sehingga BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, sehingga hubungannya tidak lagi antara negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tetapi antara Badan Usaha dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Pasal 6 UU Migas, merupakan pengaturan yang bersifat umum yang apabila tidak dikaitkan dengan BP Migas selaku Pemerintah adalah tidak bertentangan dengan konstitusi.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1971 TENTANG PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NEGARA KUASA PERTAMBANGAN Pasal 11(1) Kepada Perusahaan disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia, sepanjang mengenaipertambangan minyak dan gas bumi.(2) Kepada Perusahaan diberikan Kuasa Pertambangan yang batas-batas wilayahnya serta syarat-syaratnyaditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.Pasal 12(1) Perusahaan dapat mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk "Kontrak Production Sharing".(2) Syarat-syarat kerja sama termaksud pada ayat (1) pasal ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.(3) Perjanjian termaksud pada ayat (1) pasal ini mulai berlaku setelah disetujui oleh Presiden.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 1994 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN PEDOMAN KERJA SAMA KONTRAK, BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMIPengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN)Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang.UU 19/2003 tentang BUMNPasal 1 ayat 2: Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

Dilihat dari sisi pajaknya mengenai badan usaha tetap sektor minyak dan gas bumi di Indonesia, Dasar Hukum Pemungutan Pajak di Sektor Usaha Migas yang Diterapkan IndonesiaDasar hukum mengenai pemungutan pajak menjadi penting karena pengenaan PPh kepada kontraktor di sektor usaha migas, terkait erat dengan besarnya bagian kontraktor tersebut dan besarnya bagian negara atau pemerintah dari pembagian hasil produksi minyak dan gas bumi antara negara dan kontraktor.Besarnya PPh sebuah bentuk usaha tetap pada awalnya sebesar 56 %, namun pada tahun 1984, Indonesia mengeluarkan peraturan pajak baru yang menetapkan PPh dalam PSC adalah sebesar 48 % dan diberlakukan untuk PSC yang ditandatangani sejak tahun 1988.[8] Dan kini, sejak disahkannya UU No. 36 tahun 2008, yang menyebutkan bahwa pajak untuk bentuk usaha tetap adalah sebesar 28 %.Kemudian, untuk PSC yang ditandatangani setelah tahun 2000, sesuai dengan UU PPh, ditentukan bahwa tariff PPh yang diberlakukan adalah sebesar 44 %. Hal ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa kontraktor migas merupakan suatu bentuk usaha tetap, sehingga PPh yang harus dibayar adalah 30 % x penghasilan bersih + 20 % x (70 % dari penghasilan bersih), sehingga beban pajaknya adalah 44 % dari penghasilan bersih. PPh langsung dibayarkan oleh kontraktor kepada pemerintah.Beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan teknis lainnya yang menjadi dasar dikenakannya PPh dan mengenai pajak-pajak lainnya di sektor usaha migas kepada kontraktor PSC, antara lain:1. Undang-Undang No. 6 tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut sebagai UU KUP dalam makalah ini),2. UU No. 7 tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut sebagai UU PPh dalam makalah ini),3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut sebagai PP No. 35 tahun 1994),4. Keputusan Menteri Keuangan No. 242/PMK.011/2008 tentang Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah atas Impor Barang untuk usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi tahun anggaran 2009 (selanjutnya disebut sebagai Kepmen No. 242/2008 dalam makalah ini)5. Surat Edaran Menteri Keuangan No.SE-24/PJ.6/1999 perihal Petunjuk Pengenaan PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut sebagai SE No.24/1999 dalam makalah ini).Prinsip-Prinsip Penghitungan Pajak di Sektor Usaha MigasBeberapa prinsip-prinsip pengenaan pajak di sektor usaha migas antara lain:1. Prosentase pembagian adalah angka akhir setelah dipotong pajak dan perhitungan cost recovery. Hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi dibagi antara negara dan kontraktor dengan pembagian umumnya 85 % untuk negara dan 15 % untuk kontraktor pada hasil produksi minyak. Selain itu terdapat pola pembagian, 65 % untuk negara dan 35 % untuk kontraktor pada hasil produksi gas.2. Kontraktor wajib membayar PPh secara langsung kepada pemerintah Indonesia, sebelumnya pajak penghasilan dibayarkan oleh pertamina atas nama kontraktor kepada pemerintah.3. Dalam kontrak bagi hasil yang lama, bagi hasil diterapkan adalah 85 %:15% dengan tariffpajak yang berlaku pada umumnya adalah 48 %. Dengan demikian pembagian pendapatan antara negara dan kontraktor adalah 71,5 % dan 28,85 % , sehingga setelah dikurangi kewajiban pajak dan pengembalian biaya operasi pembagian tetap 85% dan 15%. Contoh perhitungan: 1. Hasil produksi minyak : 10002. Cost Recovery : 3503. Equity to be split (ETBS) : 650 (1000-350)4. Bagian negara sebelum pajak : 71,15% x 650=462,55. Bagian kontraktor sebelum pajak : 28,85 x 650=187,56. Pajak : 90 (48% x 187,5)7. Bagian kontraktor setelah pajak : 187,590=97,5 (15% ETBS)8. Bagian negara setelah pajak :462,5+90=552,5(85%ETBS)Atas dasar ketentuan UU PPh tahun 2000, dimana tariff PPh untuk kontraktor sebagai bentuk usaha tetap adalah sebesar 44 %, maka pembagian pendapatan antara negara dan kontraktor adalah sekitar 73,15 % dan 26,85% sehingga setelah dikurangi pembayaran kewajiban pajak dan pengembalian biaya operasi (cost recovery), pembagian tetap menjadi 85 % dan 15 %. Contoh penghitungannya adalah sebagai berikut:1. Hasil produksi minyak : 10002. Cost Recovery : 3503. Equity to be split (ETBS) : 650 (1000-350)4. Bagian negara sebelum pajak : 71,15% x 650=462,55. Bagian kontraktor sebelum pajak : 28,85 x 650=187,56. Pajak : 90 (48% x 187,5)7. Bagian kontraktor setelah pajak : 187,590=97,5 (15% ETBS)8. Bagian negara setelah pajak : 462,5+90=552,5(85%ETBS)Penghitungan sederhana di atas menunjukkan besaran pajak yang dikenakan sangat mempengaruhi bagian pemerintah dan bagian kontraktor. Pada contoh penghitungan pertama dimana bagi hasil 85:15 dengan tariff pajak 48 % maka bagian negara sebenarnya adalah 71,15 % dan kontraktor sebenarnya 28,85 %, sedangkan pada contoh penghitungan kedua dimana bagi hasil 85:15 dengan pajak 44 % maka yang dibagi sebenarnya 73,15 % : 26,85 %. Hal ini menunjukkan dengan mengunakan prinsip bagi hasil yang sama, penurunan tarif justru akan meningkatkan bagian pemerintah dan mengurangi bagian kontraktor, atau sebaliknya.Dasar Hukum Pada Undang-Undang KUP Undang-undang ini lengkapnya adalah Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut sebagai UU KUP dalam makalah ini). UU KUP inilah yang merupakan induk secara umum dari pengenaan pajak di sektor usaha migas.Pasal 1 angka 1 UU KUP menyebutkan bahwa; Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pajak, termasuk pemungutan pajak di sektor migas adalah kewajiban kepada setiap orang atau badan, khususnya dalam makalah ini adalah pelaku usaha dengan bentuk bentuk usaha tetap.Sedangkan mengenai subjek pajak di sektor migas telah disebutkan pada pasal 1 angka 3 UU KUP, yang berbunyi, Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.[11] Atas dasar pasal tersebut maka kontraktor PSC, yang berbentuk bentuk usaha tetap merupakan wajib pajak berdasarkan pasal 1 angka 2 UU KUP, yang berbunyi, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.Atas dasar ketentuan-ketentuan tersebut, maka berdasarkan UU KUP, kontraktor, sebagai bentuk usaha tetap wajib untuk membayarkan pajak yang dikenakan kepadanya, karena bentuk usaha tetap merupakan salah satu bentuk dari wajib pajak badan.Dasar Hukum Pada Undang-Undang Minyak dan Gas BumiPenegasan yang terdapat pada UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang terkait dengan pemungutan pajak di sektor usaha migas yaitu bahwa badan usaha atau bentuk usaha tetap (kontraktor) yang melaksanakan kegiatan usaha hulu, wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak.Setidaknya ada tiga jenis pajak yang mana kontraktor wajib untuk membayar, yaitu:1. Pajak-pajak, didalamnya termasuk mengenai PPh;2. Bea Masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai;3. Pajak daerah dan retribusi daerahDalam hal, ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menjadi dasar pengenaan pajak di sektor usaha migas, ditentukan oleh pasal 31 ayat (4) UU Migas, yaitu:1. Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat kontrak kerjasama (PSC) ditandatangani;2. Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.Dasar Hukum Pada Undang-Undang Pajak PenghasilanKontraktor PSC yang pada umumnya berbentuk bentuk usaha tetap, merupakan salah satu badan usaha yang diakui sebagai subjek pajak berdasarkan UU PPh. Dasar hukumnya adalah pasal 2 ayat (1) UU PPh.Sebagai bentuk dari penerapan asas non-diskriminatif dalam investasi, maka bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Implementasi nyatanya yaitu adanya kesamaan tarif PPh antara bentuk usaha tetap dan wajib pajak badan dalam negeri, yang berdasarkan UU PPh terbaru, yaitu sebesar 28 %.Dari segi territorial subjek hukumnya, kontraktor PSC yang berupa bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak luar negeri berdasarkan pasal 2 ayat (4) UU PPh.Selain itu, pada pasal 2 ayat (5) UU PPh, bentuk usaha yang menjadi subjek pajak penghasilan di Indonesia yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:(j). wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumiSelanjutnya, agar sebuah kontraktor PSC yang berbentuk bentuk usaha tetap di Indonesia dapat dikenakan PPh, maka perlu diklasifikasi apa saja yang diklasifikasikan sebagai objek pajak pada bentuk usaha tetap, yaitu:1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.Jadi apabila dalam satu tahun pajak, kontraktor berhasil memperoleh Z barrel. Maka bukan Z barrel itulah yang menjadi objek pajak, karena Z barrel tersebut belum dikuasai secara yuridis oleh kontraktor, melainkan harus diubah, setelah dikurangi cost recovery yang dibayarkan ke pemerintah, menjadi Equity to be Split (ETBS) setelah itu baru dikalikan dengan prosentase pembagian yang dimiliki kontraktor, yang biasanya sebanyak 15 % ata 20 %.Setelah didapat pendapatan dari split, maka hasil produksi minyak mentah tersebutlah yang menjadi objek PPh bagi kontraktor PSC. Dasar Hukum Pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas BumiHingga kini, peraturan pelaksana dari UU Migas hanya PP No. 35 tahun 2004, dimana dalam PP tersebut, belum diatur dengan jelas, bahkan belum diatur mengenai mengenai aturan perpajakan di sektor usaha migas. Atas dasar hal tersebut maka PP No. 35 tahun 1994 masih dapat dipergunakan sebagai dasar hukum dari pemungutan pajak di sektor usaha migas.Kewajiban membayar pajak kontraktor PSC diatur pada pasal 17 ayat (2) PP No. 35 tahun 1994, yang berbunyi; Kontraktor wajib membayar pajak-pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku atas perolehan bagiannya.Kemudian apabila mengacu pada UU Mgas, maka peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada pasal tersebut adalah Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat kontrak kerjasama (PSC) ditandatangani dan Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.Ketentuan yang Terdapat Pada Model PSCUU Migas mengisyaratkan paling tidak harus ada tiga belas (13) peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaan dari, antara lain mencakup penyediaan BBM di dalam negeri, pedoman, tatacara dan syarat Kontrak Kerja Sama (KKS/ PSC), pengembangan lapangan dan produksi, kewajiban menyerahkan 25% bagiannya dari hasil produksi, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga, bagian negara, pungutan dan bonus, dan lain-lain.Dari aturan-aturan pelaksanaan sebagaimana disebutkan di atas, yang mengatur masalah bagian negara adalah aturan yang memberi gambaran kebijakan di bidang pajak penghasilan. Peraturan pemerintah yang telah diterbitkan adalah Peraturan Pemerintah No. 35/2004 yang mengatur pelaksanaan di sektor hulu dan No. 36/2004 yang mengatur kegiatan di sektor hilir.Aturan pelaksanaan yang menyangkut masalah bagian negara diatur di pasal 54 PP No. 35/2004. Namun sayangnya, pasal tersebut mengatur bahwa masalah bagian negara akan diatur dengan peraturan pemerintah tersendiri.Dengan belum adanya pedoman yang dimaksud maka untuk mengetahui kebijakan perpajakan di industri hulu sektor migas maka yang dapat dilakukan adalah menyimak ketentuan dalam PSC yang telah ditandatangani antara kontraktor dengan BP Migas, selaku perwakilan negara dalam penandatanganan kontrak.Dengan asumsi bahwa kontraktor yang bersangkutan adalah suatu bentuk usaha tetap (BUT) maka pajak penghasilan yang harus dibayar adalah 30% x penghasilan bersih + 20% x (70% dari penghasilan bersih), sehingga beban pajaknya adalah 44% dari penghasilan bersih. Apabila beban pajak tersebut dikalikan dengan bagian kontraktor hasilnya di tabel 2Perhitungan di atas menunjukkan bahwa perbandingan antara bagian yang diterima oleh BP Migas dan kontraktor, untuk Minyak bumi: 80 : 20; dan untuk Gas alam: 65 : 35Dari sudut pandang kontraktor, umumnya pembagian ini lebih menguntungkan dari pembagian berdasarkan undang-undang lama. Dalam kontrak yang lama bagi hasil untuk minyak bumi adalah 85:15, dan untuk gas alam adalah 70:30. Bagi hasil sebagaimana diuraikan di atas didasarkan atas asumsi bahwa yang menandatangani kontrak adalah perusahaan asing, karena dalam perhitungan take home share tersebut termasuk pembayaran PPh Pasal 26 ayat (4) atau sering disebut branch profits tax.Sebagaimana diatur di pasal 31, UU No. 22/2001 penerimaan negara dipisahkan menjadi dua yaitu penerimaan negara berupa pajak dan penerimaaan negara bukan pajak. Ketentuan tersebut tidak mengatur hubungan kedua jenis penerimaan negara itu.Dari sudut pandang kontraktor, masih diperlukan penegasan yang menyangkut masalah, apakah penerimaan negara bukan pajak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa pajak-pajak selain pajak penghasilan boleh dikurangkan sebagai biaya. Sesuai dengan ketentuan UU PPh, perusahaan asing yang melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap dikenai PPh tambahan sebesar 20% sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat (4), yang biasanya disebut branch profit tax. Branch profit tax ini merupakan unsur penting karena merupakan faktor penentu yang menjamin bahwa bagi hasil akhir adalah 80:20 (untuk minyak bumi) dan 65:35 (untuk gas alam).Di dalam Model PSC hal ini ditegaskan di Section XV dengan rumusan sebagai berikut:BP MIGAS and CONTRACTOR agree that all of the percentages appearing in Section VI of this Contract have been determined on the assumption that Contractor is subject to final tax on after-tax profits under Article 26 (4) of the Indonesian Income Tax Law and is not sheltered by any tax treaty to which the Government of Republic of Indonesia has become a party. In the event that, subsequently, any portion of CONTRACTORs participating interest in this Contract becomes subject to a tax treaty, all or percentages appearing in Section VI as applicable only portion of CONTRACTORs participating interest in this Contract so affected by a tax treaty shall be revised in order to maintain the same net income after-tax for all CONTRACTORs participating interest.[21]Ketentuan tersebut diatas menunjukkan bahwa kebijakan perpajakan yang dianut dalam KKS adalah menjamin diperolehnya bagi hasil bersih sebesar 80:20 (untuk minyak bumi) dan 65:35 (untuk gas alam). Dengan demikian apabila kontraktor yang bersangkutan berdomisili di negara yang mempunyai tax treaty dengan Indonesia dan branch profit tax-nya lebih rendah dari 20% maka bagi hasilnya (split-nya) disesuaikan sehingga bagi hasil sebagaimana disebutkan diatas tetap dapat diperoleh.Potensi-Potensi Pemungutan Pajak di Sektor Usaha Migas Selain Pajak PenghasilanSaat ini, berdasarkan dasar-dasar hukum yang ada, baru PPh yang merupakan penerimaan negera berupa pajak dari bentuk usaha tetap di sektor usaha migas di Indonesia. Meskipun demikian pada dasarnya terdapat beberapa potensi pemungutan pajak selain PPh, antara lain; Mekanisme pmbayaran pajak dengan natura, Windfall Profit Tax, Farm in-Farm out Tax. Khusus untuk windfall profit tax, Amerika Serikat dan Venezuela telah menerapkan pajak tersebut kepada badan usaha yang melakukan usaha di sektor migas.Pembayaran Pajak dengan NaturaApabila memperhatikan proses penghitungan bagi hasil (split) sebagai contoh-contoh yang diuraikan sebelumnya, dan juga dikaitkan dengan harga minyak per tengah tahun 2009 yang mengalami lonjakan harga, maka mekanisme pembayaran pajak dengan natura/ bentuk minyak mentah (crude oil) akan lebih meningkatkan penerimaan negara berupa pajak.Pembayaran pajak dengan natura pada dasarnya dikenal baik, secara teoritis maupun penerapan dalam UU PPh. Secara teoritis pembayaran pajak dapat dilakukan dengan empat cara,[22] salah satunya adalah dengan menggunakan natura. Cara pembayaran pajak tersebut pernah diterapkan pada system tanam paksa pada masa kolonial Hindia Belanda yang sebenarnya adalah pajak tanah. Masyarakat tidak membayar pajak dalam bentuk uang, namun dalam bentuk natura atau dengan cara menyerahkan hasil bumi. Dalam UU PPh, ketentuan mengenai pembayaran dengan natura, disebutkan padal pasal 2 ayat (3) huruf d, yang merupakan ketentuan untuk mengecualikan objek pajak.[23] Karena telah dikecualikan pada pasal tersebut, maka pada praktiknya pembayaran dalam bentuk natura tidak dipergunakan di Indonesia.Meskipun begitu, pembayaran pajak dalam bentuk natura oleh bentuk usaha tetap yang melakukan usaha hulu migas di Indonesia dapat dimungkinkan untuk dilaksanakan. Misalnya dengan cara: setelah hasil minyak mentah atau gas alam cair yang diproduksi sudah di bagi (split), maka bentuk usaha tetap membayar pajaknya dengan ketentuan pajak natura x % dari minyak mentah atau gas alam cair tersebut.Mekanisme pada dasarnya seperti dua sisi pada mata uang, apabila harga minyak atau gas dunia sedang melonjak, maka negara akan diuntungkan melalui pajak natura di sektor migas. Namun di sisi lain, apabila harga minyak dan gas di pasaran sedang turun dengan tajam, maka negara akan sangat dirugikan dengan pemungutan pajak natura.Windfall Profit TaxWindfall profit Tax (WPT) ini pada dasarnya, sebagaimana mekanisme pembayaran pajak dengan natura, sangat bergantung pada harga minyak di pasaran yang melambung tinggi. Penerimaan negara berupa pajak dengan WPT, didapat melalui pajak pada perolehan keuntungan tdak terduga (windfall profit) yang diperoleh bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha hulu migas.Windfall profit adalah keuntungan tambahan yang diperoleh kontraktor asing bukan dari hasil kerja tambahan maupun investasi, melainkan semata-mata dipicu oleh gejolak harga pasar yang diramalkan semakin membesar dan selama ini dinikmati secara sepihak oleh kontraktor.[24] Penerapan pajak atas WP tersebut sangat relevan pada masa-masa sekarang ini, mengingat harga minyak dan gas dunia di pasaran yang sedang melambung, yang mana hal tersebut akan semakin menambah penerimaan negara berupa pajak, khususnya pajak di sektor migas.Farm in-Farm out TaxFarm in-Farm out Tax (selanjutnya disebut sebagai FFT)adalah pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha disektor migas yang mendapat keuntungan dengan melakukan pengalihan pengelolaan lapangan minyak atau gas bumi kepada pelaku usaha lain. Pengalihan tersebut adalah perilaku yang wajar dan sering terjadi dalam dunia bisnis perminyakan, khususnya di Indonesia.Pada dasarnya, dalam UU PPh telah disebutkan bahwa keuntungan yang didapat dari pengalihan semacam farm in-farm out, yaitu pada pasal 4 ayat (1) huruf d angka 5, yang berbunyi;Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.[32]Dengan adanya pengaturan mengenai keuntungan sebagaimana disebut dalam pasal tersebut dianggap sebagai objek pajak, menunjukkan bahwa di Indonesia telah menerapka capital gains tax walaupun tidak terintegrasi dengan PPh dan tidak ada peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari pengaturan tersebut. Dalam pasal 4 tersebut, capital gain tax hanya berlaku bagi pengalihan di sektor usaha pertambangan, yang diatur dengan UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak untuk farm in-farm out di sektor usaha migas. Hal tersebut cukup disayangkan, mengingat sektor usaha migas adalah sektor yang paling besar kontribusinya bagi penerimaan negara dari sumber daya alam.Jadi, farm in-farm out tax saat ini sebatas hanya sebagai potensi pemungutan pajak di sektor migas, karena belum ada peraturan perundang-undangan yang memberikan pengaturan akan hal ini.Dilema Maksimalisasi Penerimaan Negara dari Pajak di Sektor Usaha MigasSebagaimana telah terurai sebelumnya, bahwa saat ini pajak yang dikenakan terhadap bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha migas, hanya PPh. Meskipun demikian, terdapat potensi-potensi pemungutan pajak selain dari PPh, yaitu mekanisme pembayaran pajak dengan natura, windfall profit tax, dan farm in-farm out tax. Bila mengacu kembali kepada tujuan dari pajak yaitu sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, maka potensi-potensi tersebut akan semakin memperbesar peluang untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.Namun apabila berbicara mengenai peningkatan penerimaan berupa pajak, maka akan dihadapkan dengan dilemma akan turunnya jumlah investasi asing langsung (foreign direct investment) di Indonesia. Permasalahan tersebut adalah permasalahan klasik bak buah simalakama.

Jika Suatu Pihak Asing Atau Perusahaan Asing Masuk Ke Indonesia Dengan Membuat Kantor Perwakilan Yang Bergerak Dalam Bidang Oil And Gas, Dan Bentuk Kontrak Kerja Sama Dalam Hal Eksplorasi Serta Eksploitasi.Sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, ditegaskan bahwa Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Sebagai sumber daya alam strategis, Minyak dan Gas Bumi merupakan kekayaan nasional yang menduduki peranan penting sebagai sumber pembiayaan, sumber energi dan bahan bakar bagi pembangunan ekonomi negara. Mengingat bahwa Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam yang takterbarukan, maka pengusahaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi harus dilakukan seoptimal mungkin dan kebijakan pengaturannya berpedoman pada jiwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pengusahaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi bertujuan antara lain untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi melalui mekanisme yang terbuka dan transparan. Bertitik tolak dari landasan perlunya dasar hukum dalam pengusahaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, maka diperlukan pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah serta peraturan pelaksana lainnya.Aturan hukum tersebut ini mengatur mengenai Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yang antara lain meliputi pengaturan mengenai penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu termasuk pembinaan dan pengawasannya, mekanisme pemberian Wilayah Kerja, Survey Umum, Data, Kontrak Kerja Sama, pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri, penerimaan negara, penyediaan dan pemanfaatan lahan, pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat, pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri, serta penggunaan tenaga kerja dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.Melihat dari hal tersebut, maka untuk menjawab isu hukum yang dimaksudkan adalah:1. Suatu pihak asing atau pun perusahaan asing dapat membuat kantor perwakilan di Indonesia dalam hal pertambangan minyak dan gas dengan BENTUK USAHA TETAP. Merujuk pada Pasal 1 butir 18 UU No. 22 Tahun 2001, suatu BENTUK USAHA TETAP adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.Cara pendirian Bentuk Usaha Tetap hanya perlu dengan akta penegasan dari Notaris. Maksud penegasannya adalah dengan mencantumkan klausul BADAN USAHA YANG BERBENTUK USAHA TETAP di dalam akta tersebut. Dengan adanya klausul tersebut maka, secara valid Bentuk Usaha Tetap telah tunduk pada segala peraturan hukum di Indonesia sekalipun Bentuk Usaha Tetap tersebut merupakan Badan Hukum Asing.Syarat-syarat BUT mencakup:1) adanya tempat usaha2) sifat usaha permanent (Certain degree of permanent).3) adanya sifat ketergantungan (dependence) dengan Kantor Pusat.

Melihat isu hukum yang terkait maka Bentuk Usaha Tetap ini termasuk dalam kategori BUT fasilitas (Asset), karena berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber daya alam, pengeboran migas, perikanan, perkebunan dan kehutananPada intinya Bentuk Usaha Tetap dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Bentuk Usaha Tetap diartikan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan atau berkedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa, yaitu tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan, Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.

2. Menurut ketentuan aturan perundang-undangan serta aturan pelaksananya khususnya mengenai Oil and gas, maka perusahaan asing dapat mendapatkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi di Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada BP MIGAS. Namun, Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu. Kegiatan usaha hulu tersebut dikendalikan melalui kontrak kerja sama. Dan paling sedikit memuat persyaratan mengenai:1) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan.2) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana (BP MIGAS).3) Modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Kegiatan Usaha dilaksanakan oleh Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan BP MIGAS. Kontrak Kerja Sama wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu: a. penerimaan Negara;b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;c. kewajiban pengeluaran dana;d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;f. penyelesaian perselisihan;g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;h. berakhirnya kontrak;i. kewajiban pasca operasi pertambangan;j. keselamatan dan kesehatan kerja;k. pengelolaan lingkungan hidup;l. pengalihan hak dan kewajiban;m. pelaporan yang diperlukan;n. rencana pengembangan lapangan;o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adapt;q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.Kontrak Kerja Sama dibuat dalam bahasa Indonesia atau pun dalam bahasa Inggris. Dan jangka waktu kontrak kerja sama di Indonesia adalah paling lama 30 tahun, yang terdiri atas jangka waktu eksplorasi dan eksploitasi. Apabila dalam jangka waktu Eksplorasi Kontraktor tidak menemukan cadangan Minyak dan/atau Gas Bumi yang dapat diproduksikan secara komersial maka Kontraktor wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya.Di dalam Pasal 38 PP No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan bahwa kontrak kerja sama tunduk dan berlaku hukum Indonesia. Bentuk Usaha Tetap wajib ikut memenuhi kebutuhan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dalam negeri. Bentuk Kewajibannya adalah dengan menyerahkan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian Bentuk Usaha Tetap (kontraktor).Adapun aturan hukum terkait dengan isu hukum yang dimaksudkan diatas, antara lain:1. UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi2. PP No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Jo PP No. 34 Tahun 2005 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Jo PP No. 55 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi3. PP No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi4. Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 35 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi5. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 2761K/13/MEM/2008 Tahun 2008 tentang penetapan Wilayah kerja Minyak dan Gas Bumi, Bentuk Kontrak Kerja Sama dan Ketentuan Pokok kontrak Kerja Sama (Term and Condition) serta mekanisme Penawaran Wilayah Kerja Dalam Penawaran Wilayah kerja Minyak Dan Gas Bumi Periode II Tahun 2008

Kesimpulan Sejak disahkannya UU No. 36 tahun 2008, yang menyebutkan bahwa pajak untuk bentuk usaha tetap adalah sebesar 28 %. Penghasilan bentuk usaha tetap yang menjadi objek pajak adalah penghasilan dari harta yang dimiliki atau dikuasai. Hal tersebut menunjukkan bahwa penghasilan bentuk usaha tetap yang menjadi objek pajak penghasilan adalah minyak mentah atau crude oil yang telah dilakukan pembagian antara kontraktor PSC dan Pemerintah. Kekayaan alam Indonesia masih dapat menarik minat bagi investor mana pun untuk berinvestasi. Masalah pajak merupakan resiko yang harus ditanggung bagi setiap investor yang berinvestasi di Indonesia.Referensi Taripar Doly, SE, MM ,Bentuk Usaha Tetap Sektor Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, 2013 Benny Lubiantara, Disain Tata Kelola Migas Paska Putusan MK dan Kecenderungan Industri Migas Global, 2013Bagoesseto, Legal Opinion : License For Explorated And Exploited Oil And Gas InIndonesia, 2012

Simamora, Rudi M. Hukum Minyak dan Gas Bumi. Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000Soemitro, Rochmat., Dewi Karina Sugiharti. Asas dan Dasar Perpajakan. Bandung: Refika Aditama, 2004

Snape, John. Blackstones LLB Cases & Materials: Tax Law. London: Blacstone Press Limited, 1999

Stanley, Joyce., Allan J. Parker. Federal Income Tax Law 5th Ed. Boston: Warren, Gorham & Lamont, Inc., 1971

[1] Indonesia, Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, UU No. 41 tahun 2008, LN No. 171 tahun 2008, TLN No. 4920, pasal 4 ayat 2 huruf a[2] Indonesia, ibid., pasal 3 ayat (2) huruf ahttp://lexcommercii.wordpress.com/2009/12/08/aspek-hukum-pemungutan-pajak-terhadap-bentuk-usaha-tetap-pada-sektor-usaha-minyak-dan-gas-bumi-di-indonesia/#_ftn3