Artikel Misgiati Setelah Revisi
-
Upload
pim-kampus -
Category
Documents
-
view
90 -
download
1
Transcript of Artikel Misgiati Setelah Revisi
PROBLEMATIKA PERTAMBANGAN SIRTU DI DAERAH NGORO MOJOKERTO DAN PENANGGULANGANNYA
MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Misgiati Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang
Jalan Barito 5 Malang Email: [email protected]
Abstrak: Permasalahan pertambangan sirtu merupakan permasalahan bersama, baik
pemerintah maupun masyarakat, yang harus segera ditanggulangi. Upaya mengatasi masalah
yang terjadi tidak hanya memerlukan peran masayarakat, melainkan peran perguruan tinggi.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah
dengan skenario pertambangan sirtu di wilayah Ngoro Mojokerto. Pokok permasalahannya
yang dapat digunakan dalam skenario pembelajaran adalah (1) kualitas udara, (2) erosi, (3)
kemampuan tanah, (4) kesehatan, (5) kerusakan jalan, dan (6) dampak biologi.
Kata Kunci: pertambangan sirtu, penanggulangan, pembelajaran berbasis masalah
Industri pertambangan merupakan salah satu industri yang diandalkan pemerintah
Indonesia untuk mendatangkan devisa. Selain mendatangkan devisa, industri
pertambangan juga menyediakan lapangan kerja, sekaligus sumber Pendapatan Asli
Daerah (PAD) bagi Kabupaten/ Kota merupakan. Kegiatan pertambangan merupakan
suatu kegiatan yang meliputi: eksplorasi, eksploitasi, pengolahan/ pemurnian, dan
pengangkutan mineral/ bahan tambang. Selain mendatangkan devisa dan
menyediakan lapangan kerja, industry pertambangan juga rawan terhadap perusakan
lingkungan. Banyak kegiatan penambangan yang mengundang sorotan masyarakat
karena perusakan lingkungan. Penambangan tanpa izin tidak hanya merusak
lingkungan, melainkan juga membahayakan jiwa penambang karena keterbatasan
pengetahuan si penambang, dan tidak adanya pengawasan dari dinas atau instansi
terkait.
1
Penambangan sirtu di Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto, secara
langsung maupun tidak langsung telah mengakibatkan perubahan bentuk lahan yang
cukup signifikan, sehingga menyebabkan degradasi atau kerusakan lingkungan yang
harus segera diatasi guna menghindari degradasi lingkungan yang lebih besar dan
kompleks. Wilayah Kabupaten Mojokerto terletak di antara 111° 20’13”-
111°40’47” BT dan 7°18’35”-7°47” LS. Kecamatan Ngoro merupakan bagian
dari Kabupaten Mojokerto, yang terdiri dari 19 desa. Batas-batas administratif
Kecamatan Ngoro adalah sebagai berikut. Sebelah utara Kabupaten Sidoarjo, sebelah
timur adalah Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Sidoarjo,
sebelah selatan adalah Kecamatan Trawas dan Kabupaten Pasuruan, dan sebelah
barat adalah Kecamatan Pungging dan Kecamatan Trawas (BAPPEDA Kabupaten
Mojokerto). Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak H. Muhdar, mantan
perangkat desa Dusun Sekantong, Desa Kunjorowesi, Kecamatan Ngoro, pada
tanggal 6 November 2011 lalu, eksploitasi penambangan sirtu sudah dimulai sejak
1983. Sementara yang mendapatkan izin untuk melakukan penambangan hanya satu
CV. Tahun 1997 diketahui bahwa izin penambangan yang diperbolehkan sekitar
5.000 hektar. Namun penambangan ini terjadi sampai sekarang ini.
Panambangan sirtu yang dilakukan di daerah Ngoro memang sangat luas, ada
beberapa lahan yang dilakukan penambangan dari sekian kelurahan. Frekuensi
Penambangan yang dilakukan kini semakin besar, terlebih dengan adanya kasus
lumpur Lapindo. Pasir yang digunakan di Lapindo sebagian besar diambil dari
pertambangan sirtu di daerah Ngoro. Sebetulnya penambangan yang dilakukan di
daerah Ngoro bukanlah penambangan liar. Semua penambangan yang dilakukan
mempunyai izin resmi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 41/ 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, disebutkan aspek perlindungan lingkungan
dipertegas dengan perlunya Amdal, reklamasi, serta pengelolaan pasca
penambangan, termasuk dana jaminannya. Bukan hanya pemegang Izin usaha
pertambangan yang berkewajiban melaksanakan pengembangan wilayah dan
masyarakat, pemerintah daerah pun wajib menyusun program pengembangan
wilayah dan masyarakat sekitar tambang.
2
Hasil penelitian Hardiawan (2009) di daerah Ngoro menunjukkan data sebagai
berikut. (1) Hasil klasifikasi penutup lahan, maka didapatkan kelas terbesar adalah
kebun yang memiliki prosentase 28,29% atau ± 1874,982ha, sedangkan pada
daerah yang tertambang memiliki persentase 4,45% dengan luas 294,687ha. (2)
Daerah tertambang yang didapat dari hasil klasifikasi citra Aster tahun 2009
pada daerah tertambang di dalam SIPD (Surat Izin Pertambangan Daerah) seluas
199,667 Ha dan daerah tertambang yang ada di luar SIPD seluas 95,02 Ha, yang
menyebar pada Kelurahan Wates Negoro, Manduro Manggung, Kunjorowesi, dan
Wotanmasjedong. (3) Berdasarkan hasil analisis SIG (Sistem Informasi Geografi)
dengan metode skoring kondisi lahan pada kawasan pertambangan ditinjau dari
aspek vegetasi, ketebalan tanah, dan kelerengan lahan dengan kondisi lahan
sangat rusak seluas 131,076 ha, kondisi lahan rusak seluas 395,249 ha, kondisi
potensial rusak seluas 53,668, kondisi agak rusak seluas 173,255 ha, dan kondisi
tidak rusak 3,615 ha. Sementara berdasarkan pengamatan penulis, dampak kerusakan
tanah yang terjadi pada penambangan sirtu adalah adanya kedalaman sudah sampai
20 hingga 72 meter, sehingga tempat tersebut menyerupai jurang dan sebagian
menjadi goa. Padahal menurut aturan, tingkat toleransi untuk galian sirtu sedalam 12
meter, sehingga pada saat hujan ada genangan-genangan air di lubang-lubang
tersebut. Daerah di sekitar lahan penambangan sangat gersang. Sumber mata air
mengering, sehingga masyarakat sekitar memperoleh sumber air minum dari sumur
bor dengan kedalaman 50 meter lebih. Selain itu jalan menuju penambangan penuh
debu akibat lalu lalang truk pengangkut pasir.
Permasalahan dampak penambangan sirtu yang kompleks ini sulit
diselesaikan dengan metode pendekatan maupun penyelesaian secara tunggal atau
manual. Oleh sebab itu, masalah dampak penambangan sirtu sudah menjadi masalah
ekologis. Penyelesaian kolaboratif secara multipihak dan multidisiplin menjadi sangat
penting untuk diwujudkan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah mengatasi
masalah dengan melibatkan generasi muda atau peserta didik di sekolah.
3
Dampak Pertambangan Sirtu
Pertambangan sirtu yang terletak di Dusun Sekantong, Desa Kunjorowesi,
Kecamatan Ngoro, Mojokerto, semuanya mempunyai izin resmi. Penambangan ini
memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar, berupa (1) adanya lapangan
kerja bagi mereka, sehingga mengurangi jumlah pengangguran, dapat meningkatkan
penghasilan, dan meningkatkan kesejahteraan hidup, (2) peningkatan pendapatan
masyarakat dari hasil penambangan dan pengangkutan, (3) penggunaan batu untuk
bahan bangunan, dan pasir sebagai tanah urug. Pasir inilah yang banyak digunakan
untuk menguruk tanggul di semburan lumpur Lapindo, Porong, Sidoarjo.
Faktor manusia dalam proses penambangan yang tidak memperhatikan
lingkungan tentu akan membawa dampak kerusakan lingkungan, baik pada faktor
fisik maupun faktor biotiknya. Interaksi antar manusia dengan alam menjadi tidak
harmonis, dalam arti manusia melakukan eksploitasi yang melebihi kapasitas atau
daya dukung alam yang mengkibatkan pencemaran atau kerusakan pada sistem
ekologi. Dampak negatif penambangan berkaitan dengan (1) menurunya kualitas
udara, (2) terjadinya erosi, (3) menurunnya kemampuan tanah, (4) terganggunya
kesehatan, (5) kerusakan jalan, dan (6) dampak biologi. Menurunnya kualitas udara
merupakan dampak kegiatan pembersihan lahan, penggalian, dan pengangkutan.
Dampak negatif terhadap udara terjadi karena debu dan kebisingan yang ditimbulkan.
Prakiraan tingkat pendebuan yang terjadi pada kegiatan pembersihan lahan tersebut
sangat besar. Demikian juga pada kegiatan pengangkutan sepanjang jalur jalan desa
yang dilewati truk pengangkut, pendebuannya akan relatif besar. Dampak pendebuan
ini dapat diklasifikasikan sebagai dampak penting, karena berlangsung terus-menerus
saat kendaraan pengangkut lewat, dan frekuensinya tinggi. Banyaknya debu bisa
mengakibatkan gangguan pernafasan dan penglihatan. Kebisingan diperkirakan
terjadi pada kegiatan penambangan dan pengangkutan. Dampak erosi dapat
mengotori dan mendangkalkan saluran-saluran air yang ada. Dampak terhadap
kemampuan tanah adalah selama penambangan tanah tidak dapat dimanfaatkan, dan
terjadi lubang-lubang di permukaan tanah. Terjadinya tebing-tebing yang curam
dapat menimbulkan ambrolnya dinding yang dapat membahayakan pekerja. Dampak
4
terhadap kesehatan dapat terjadi terhadap pekerja tambang dan masyarakat yang
tinggal di sekitar jalan yang dilewati truk pengangkut pasir. Dampak kerusakan jalan
terjadi akibat kendaraan pengangkut, yang melewati jalan desa, sehingga banyak
jalan bergelombang dan berlubang, karena truk yang digunakan untuk mengangkut
pasir berkapasitas besar. Dampak biologi yang ditimbulkan, terganggunya
keberadaan tumbuhan maupun hewan yang ada, misalnya berpindah tempat atau
berkurangnya pohon pinus, lumut hijau, alang-alang, rumput-rumputan, ikan, ular dan
sebagainya.
Upaya Penanggulangan Akibat Penggalian Sirtu di Daerah Ngoro Mojokerto
Upaya penanggulan akibat penambangan sirtu sebetulnya pernah dilakukan
pemerintah setempat, perusahaan yang mempunyai zjin, serta masyarakat. Namun,
upaya yang dilakukan hanya sesaat dan tidak terus menerus. Upaya penanggulan
dapat dilakukan dengan berbagai cara bergantung pada dampak negatif yang
ditimbulkan. Penanggulan dampak menurunnya kualitas udara dapat dilakukan
dengan membersihkan truk sebelum mengangkut pasir sehingga tanah/ pasir yang
menempel pada truk tidak berjatuhan selama proses pengangkutan. Berdasarkan hasil
pengamatan, untuk mengantisipasi debu di jalan petugas sudah membersihkannya
dengan menyapu jalanan, sehingga tanah/ pasir di jalan dipinggirkan. Dengan
demikian, saat truk lewat debu yang beterbangan akan berkurang. Selain itu juga ada
beberapa petugas yang menyiram jalan dengan air untuk mengurangi debu.
Sementara dampak kebisingan alat-alat berat untuk penambangan tidak perlu
dilakukan mengingat tempat penambangan jauh dari pemukiman. Hal yang perlu
dipertimbangkan adalah kebisingan akibat lalu-lalang truk yang melewati jalan desa
sekitar perumahan warga. Truk yang berisi muatan pasir/ tanah selama perjalanan
masih tidak menimbulkan kebisingan yang berlebihan, karena jalannya relatif pelan.
Sedangkan kecepatan truk kosong yang akan mengangkut pasir/ tanah cenderung
tinggi seperti ingin saling mendahului truk lainnya. Kondisi ini yang harus dikurangi,
yaitu dengan cara persuasif sopir truk agar tidak melakukan hal tersebut. Selain itu
5
diberlakukan juga pemerataan pengangkutan sehari-hari agar antar-sopir truk tidak
dirugikan.
Dampak erosi yang ditimbulkan adalah pengotoran aliran air. Proses
pencegahan yang bisa dilakukan adalah mereklamasi daerah penambangan. Menurut
Latifah (2003) sasaran reklamasi ada dua, yaitu pemulihan lahan bekas tambang
untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, dan mempersiapkan lahan
bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya.
Reklamasi yang akan dilakukan harus direncanakan. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam perencanaan reklamasi adalah sebagai berikut. (1) Mempersiapkan rencana
reklamasi sebelum pelaksanaan penambangan, (2) luas areal yang direklamasikan
sama dengan luas areal penambangan, (3) memindahkan dan menempatkan tanah
pucuk pada tempat tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan
revegetasi, (4) mengembalikan/ memperbaiki pola drainase alam yang rusak, (5)
mengembalikan lahan seperti keadaan semula dan/ atau sesuai dengan tujuan
penggunaannya, (6) memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi, (7)
permukaan yang padat harus digemburkan namun bila tidak memungkinkan, ditanami
dengan tanaman pionir yang akarnya mampu menembus tanah yang keras, (8) setelah
penambangan pada lahan bekas tambang diperuntukkan bagi revegetasi, segera
dilakukan penanaman kembali dengan jenis tanaman yang sesuai rencana rehabilitasi
departemen kehutanan, (9) memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai kondisi
yang diharapkan.
Dampak penurunan kemampuan tanah adalah adanya lubang-lubang yang
mengakibatkan tanah tidak rata sehingga membahayakan para pekerja tambang.
Sehingga kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kolam ikan. Pembuatan
kolam ikan akan menambah pendapatan warga sekitar, karena ada tambahan
pekerjaan disamping sebagai buruh pekerja pertambangan sirtu. Daerah
pertambangan yang berdinding curam harus direncanakan benar. Penambangan yang
dilakukan harus didasarkan pada tekstur tanahnya agar tidak longsor. Bagian
permukaan harus ditambang lebih dahulu, baru selanjutnya dilakukan sampai dengan
kedalaman yang telah ditentukan.
6
Upaya penanggulangan dampak di bidang kesehatan bisa dilakukan dengan
menggunakan masker bagi pekerja. Kenyataan di lapangan hanya sebagian kecil
pekerja yang menggunakan masker. Upaya lain berupa pemeriksaan kesehatan bagi
para pekerja terutama kondisi saluran pernafasan dan penglihatan secara rutin,
sehingga kalau terjadi sesuatu bisa segera diatasi. Masyarakat yang rumahnya di
pinggir jalan yang dilewati truk, juga perlu melakukan pengecekan kesehatan secara
berkala.
Upaya Penanggulangan Penambangan Sirtu Melalui Jalur Pendidikan
Berbagai upaya penanggulangan penambangan sirtu yang telah dilakukan
seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Sebagian upaya tersebut sudah
dilaksanakan, tapi ada juga yang belum maksimal. Berdasarkan pengamatan, masih
banyak ditemukan kondisi tanah yang berdinding curam, debu banyak bertebangan,
dan juga lahan di sekitar penambangan yang terlihat sangat gersang.
Semula, upaya konservasi sudah pernah dilakukan, tapi pelaksanaan tidak
maksimal dan tidak terus menerus. Berdasarkan hal ini, dampak dari penambangan
sirtu masih terjadi terus seperti yang telah dijelaskan di atas.
Sekarang ini, setiap pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam
mengatur wilayahnya atau yang sering disebut otonomi daerah. Karena itu setiap
daerah akan berlomba-lomba menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-
masing. Bisa dipastikan setiap daerah akan memanfaatkan sumber daya alam yang
ada, dan kurang merencanakan daerah pertambangan sirtu. Pengelolaan penggalian
sirtu secara terpadu harus dikaji secara komprehensif dengan memperhatikan segala
permasalahan yang ada dan bahkan mungkin akan timbul. Pengelolaan secara terpadu
ini juga berupaya memanfaatkan dan mengkonservasikan sumberdaya alam secara
efektif dan efisien. Pemanfaatan pertambangan sirtu boleh saja dilakukan selama
konservasi terhadap penggalian sirtu juga diupayakan dalam pemanfaatan penggalian
sirtu yang lebih agar berlangsung lebih lama.
Berbekal permasalahan ekologis yang sedang dan akan muncul, pemerintah
hendaknya merumuskan kebijakan, tujuan, sasaran, rencana kegiatan, implementasi
7
kegiatan, pemanfaatan, dan evaluasi dalam penanggulangan dampak penggalian sirtu
secara holistik. Ekosistem daerah pertambangan sirtu di Ngoro merupakan ekosistem
yang sangat kompleks karena terdiri dari berbagai unsur yang terkait dan berinteraksi
satu sama lain. Unsur-unsur tersebut meliputi biogeofisik, sosial-ekonomi, dan
budaya, sehingga segala kegiatan tersebut harus mempertimbangkan keterkaitan
antar-komponen penyusun ekosistem daerah penggalian sirtu. Keterlibatan sektor
swasta dan formal (lembaga pendidikan) langsung ataupun tidak langsung dalam
memanfaatkan sumberdaya pasir dan batu, merupakan bagian penting dalam
pengelolaan penggalian sirtu secara terpadu. Dengan cara tersebut perencanan hingga
evaluasi pengelolaan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pengelolaan yang
melibatkan beberapa sektor dan komponen penyusun penggalian sirtu bersifat
partisipatif. Karena itu perlu adanya saling mempercayai, keterbukaan, tanggung
jawab, dan ketergantungan di antara stakeholder pengelola. Kedudukan dan
tanggung jawab yang dipikul masing-masing stakeholder, dari awal perencanaan
haruslah jelas, sehingga masa yang akan datang tidak akan ada ketimpangan dan
kerancuan dalam menjalankan perannya.
Masalah pertambangan sirtu terbuka untuk direhabilitasi dan dikonservasi
bersama, karena masalah tersebut bukan lagi kewenangan pemerintah daerah atau
provinsi tetapi tanggung jawab itu ada di pundak seluruh elemen masyarakat,
terutama masyarakat Ngoro. Masyarakat memiliki tanggung jawab bersama
menyelesaikan masalah penambangan sirtu secara holistik dan berkesinambungan,
karena penambangan sirtu adalah masalah ekologi. Salah satu alternatif untuk
memecahkan masalah penggalian sirtu secara holistik berbasis ekologis adalah
melalui jalur pendidikan, yaitu sekolah atau perguruan tinggi.
Pembelajaran berbasis masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL)
merupakan salah satu metode pembelajaran untuk memecahkan masalah. Melalui
PBM itu materi perkuliahan atau pemeblajaran disampaikan kepada peserta didik dan
mengkaitkannya dengan siuasi dunia nyata (konteks). Metode pembelajaran ini
diharapkan membantu mahasiswa mempelajari materi akademik dan keterampilan
memecahkan masalah dengan melibatkan mereka pada situasi masalah kehidupan
8
nyata. PBM dapat mendorong siswa/ mahasiswa untuk membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari
sebagai mahasiswa, anggota keluarga dan masyarakat. PBM ini memberikan
kontribusi pada peningkatan sikap kepedulian siswa terhadap lingkungan hidup,
karena PBM dilandasi oleh prinsip makna belajar akan muncul dari hubungan konten
dan konteksnya, sedangkan konteks memberikan makna pada konten.
Konsep Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Arends (Fachrurroji, 2011) pembelajaran berbasis masalah (PBM)
merupakan pendekatan pembelajaran yang mendorong siswa menghadapi
permasalahan yang autentik untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri,
mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir, mengembangkan kemandirian,
dan percaya diri. Hal senada diungkapkan pula oleh Suryadi (2005) yang
menyatakan bahwa PBM merupakan suatu strategi yang dimulai dengan
menghadapkan siswa pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan.
Pada saat siswa menghadapi masalah tersebut, mereka mulai menyadari bahwa hal
demikian dapat dipandang dari berbagai perspektif serta penyelesaiannya
dibutuhkan pengintegrasian informasi dari berbagai ilmu. Pembelajaran berbasis
masalah adalah proses pembelajaran yang mengawali pembelajaran berdasarkan
masalah dalam kehidupan nyata, dari masalah ini siswa/ mahasiswa dirangsang untuk
mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka
punyai sebelumnya (prior knowledge), sehingga dari prior knowledge ini akan
terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru.
Landasan teori PBM adalah kolaboratisme, suatu perspektif yang
berpendapat bahwa mahasiswa atau siswa akan menyusun pengetahuan dengan
cara membangun penalaran dari pengetahuan yang dimiliki dan semua yang
diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu. Hal tersebut
juga mengisyaratkan bahwa proses pembelajaran berpindah dari transfer informasi
fasilitator-siswa ke proses konstruksi pengetahuan yang sifatnya sosial dan
individual (Zang, 2010). PBM memiliki gagasan terhadap pencapaian hasil belajar
9
yang maksimal jika kegiatan pendidikan dipusatkan pada tugas-tugas atau
permasalahan autentik, relevan, dan dipresentasikan dalam suatu konteks. Cara
tersebut bertujuan agar peserta didik memiliki pengalaman sebagaimana nantinya
mereka menghadapi kehidupan profesionalnya. Menurut Aqinoğlu (2007), aspek
penting dalam PBL adalah pembelajaran dimulai dengan permasalahan dan
permasalahan tersebut akan menentukan arah pembelajaran dalam kelompok
Menurut Grant (2011) dan Barrow (1996) dalam Suci (2008) bahwa
pembelajaran berbasis masalah memiliki sejumlah karateristik yang membedakannya
dengan model pembelajaran yang lainnya yaitu (1) pembelajaran bersifat student
centered, (2) pembelajaran terjadi pada kelompok-kelompok kecil, (3) dosen atau
guru berperan sebagai fasilitator dan moderator, (4) masalah menjadi fokus dan
merupakan sarana untuk mengembangkan ketrampilan problem solving, serta (5)
informasi-informasi baru diperoleh dari belajar mandiri (self directed learning).
Sedangkan Brooks & Martin (1993) dalam Suci (2008) secara lebih rinci
menguraikan beberapa ciri penting dari PBM, sebagai berikut. (1) Tujuan
pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan pebelajar dalam
pola pemecahan masalah, sehingga pebelajar diharapkan mampu mengembangkan
keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasikan
permasalahan. (2) Adanya keberlanjutan permasalahan, dalam hal ini ada dua
tuntutan yang harus dipenuhi yaitu pertama, masalah harus memunculkan konsep
dan prinsip yang relevan dengan kandungan materi yang dibahas, kedua,
permasalahan harus bersifat riil sehingga dapat melibatkan pebelajar tentang
kesamaan dengan suatu permasalahan. (3) Adanya presentasi permasalahan, artinya
pebelajar dilibatkan dalam mempresentasikan permasalahan, sehingga mereka
merasa memiliki permasalahan tersebut. (4) Pengajar berperan sebagai tutor dan
fasilitator, sehingga dalam posisi ini peran fasilitator adalah mengembangkan
kreativitas berpikir pebelajar dalam bentuk keahlian memecahkan masalah dan
membantu mereka untuk menjadi mandiri.
10
Implementasi Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pokok Masalah
Penggalian Sirtu
Implementasi PBM harus didasarkan pada kesepakatan institusional, yaitu
memasukkan problematika penggalian sirtu dalam suatu kelompok atau blok
matakuliah. Berdasarkan kedekatan materi, blok yang dapat dimasuki kurikulum
PBM adalah matakuliah Ekologi, Pengetahuan Lingkungan, KKN, KDM, Strategi
Belajar Mengajar, dan lain-lain. Pelaksanaan PBL dapat dilakukan pada satu
matakuliah tersebut, atau dimasukkan dalam blok yang terdiri dari beberapa
matakuliah, misalnya blok yang dibangun dari matakuliah Pengetahuan Lingkungan
dengan Strategi Belajar Mengajar.
Arends (2001) menyatakan, sintaks dari model pembelajaran PBM yaitu (1)
memberikan permasalahan pada mahasiswa, (2) mengorganisasikan siswa/
mahasiswa untuk belajar, (3) membimbing kemandirian dalam kelompok
penyelidikan, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil, (5) menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pelaksanaan dan kedalaman langkah
pembelajaran metode PBM itu sangat bergantung pada bobot matakuliah dan blok
matakuliah, serta ruang lingkup problematika. Langkah pertama PBM adalah
memberikan masalah kepada siswa/ mahasiswa tentang masalah-masalah yang terjadi
pada penambangan sirtu di wilayah Ngoro. Berikutnya menjelaskan tujuan
pembelajaran dan memotivasi mahasiswa agar berperan aktif dalam pemecahan
masalah penggalian sirtu. Pada pertemuan ini dosen bersama mahasiswa
mendikusikan dan menyusun asesmen yang akan digunakan untuk menilai kegiatan
dan hasil pembelajaran.
Konsep dasar yang dikembangkan dalam PBM adalah ruang lingkup materi
dan problematika penggalian sirtu. Konsep dasar ini biasanya berupa penjelasan
istilah-iatilah, referensi, petunjuk, dan beberapa kemampuan yang diperlukan dalam
proses perkuliahan, yang disampaikan dosen sebagai fasilitator kepada mahasiswa.
Tujuan pemberian konsep dasar ini agar mahasiswa lebih cepat masuk dalam proses
perkuliahan dan mendapatkan strategi untuk mencapai tujuan pembalajaran dan
menyelesaikan permasalahan. Selain itu, pengembangan konsep digunakan untuk
11
memastikan mereka mengetahui dan memahami kunci utama materi perkuliahan
problematika penggalian sirtu di wilayah Ngoro. Pengembangan ini untuk
memperkecil kemungkinan ketidakpahaman mereka terhadap konsep-konsep materi
yang baru dikenal. Pemahaman konsep tidak harus mendetil dan mendalam, diberikan
garis besarnya saja agar mahasiswa dapat mengembangkan konsepnya secara
mandiri.
Pengembangan konsep didasarkan atas permasalahan-permasalahan yang
terjadi pada penggalian sirtu di wilayah Ngoro, yaitu (1) kualitas udara, (2) erosi, (3)
kemampuan tanah, (4) kesehatan, (5) kerusakan jalan, dan (6) dampak biologi.
Pengembangan konsep yang dilakukan didasarkan atas teori-teori pendukung yang
sudah didapatkan pada perkuliahan sebelumnya yang dibutuhkan. Pemaparan
pengembangan konsep ini hendaknya dituliskan dalam panduan PBM.
Kegiatatan kedua adalah mengoordinasikan mahasiswa untuk belajar. Dosen
sebagai fasilitator menyampaikan skenario problematika penggalian sirtu di wilayah
Ngoro. Kegiatan dosen dan mahasiswa adalah melakukan diskusi, menyeleksi
problematika, dan melakukan pembagian kelompok. Diskusi dilakukan dengan cara
mahasiswa mengemukakan ide, pendapat terhadap skenario secara bebas, sehingga
muncul beberapa alternatif pendapat. Setiap diskusi yang dilakukan di
dokumentasikan, dan setiap kelompok mempunyai hak yang sama dalam
mengemukakan pendapat. Tujuan dilakukannya langkah ini agar mahasiswa
mempunyai gambaran yang jelas tentang apa yang diketahui dan tidak diketahuinya,
sehingga dapat digunakan sebagai bekal dalam melakukan tugasnya. Tugas fasilitator
mengarahkan dan memvalidasi pilihan-pilihan yang diambil mahasiswa. Jika tujuan
yang diinginkan belum disinggung, fasilitator mengarahkan dan mengusulkan kepada
mahsiswa disertai penjelasan alasan yang tepat.
Langkah ketiga dalam PBM adalah membimbing kemandirian dalam
kelompok penyelidikan. Tugas fasilitator pada langkah ini adalah membimbing
mahasiswa dalam penyelidikan di lapangan, membantu merencanakan, serta
membantu karya mahasiswa seperti laporan, rekaman-rekaman baik suara ataupun
gambar, atau mungkin bentuk lain yang diinginkan mahasiswa. Fasilitator
12
memotivasi mahasiswa mendapatkan informasi di lapangan sebanyak-banyaknya,
sehingga dapat menjelaskan pemecahan masalahnya. Tujuannya agar mahasiswa
mampu mencari informasi seluas-luasnya dan mengembangkan pemahaman yang
relevan dengan permasalahan yang telah didiskusikan di kelas. Tujuannya agar
mahasiswa mampu mempresentasikan di kelas atas temuan-temuan yang
diperolehnya, sehingga informasi tersebut dapat dipahami.
Kegiatan mahasiswa dalam kelompok juga mencari sumber-sumber lain yang
berkaitan dengan permasalahannya. Sumber-sumber bisa diperoleh dari artikel-artikel
yang diakses di perpustakaan, internet, ataupun dari praktisi yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan hidup. Mahasiswa bebas berkonsultasi kepada pihak-pihak
yang terkait dengan permasalahan yang dipaparkan. Tujuannya, agar mahasiswa bisa
segera melakukan perbaikan kalau terjadi sesuatu yang tidak relevan dengan tujuan
awal, dan melakukan pendalaman materi.
Langkah keempat adalah mengembangkan dan menyajikan hasil. Kegiatan
pada langkah ini fasilitator memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
mengembangkan temuan-temuan dari informasi yang didapat, dan saling bertukar
informasi agar apa yang telah dikumpulkan dan dibangun dapat diperoleh
kesepakatan. Fasilitator pada kegiatan ini tetap memantau agar tidak keluar dari
tujuan yang telah disepakati. Langkah keempat ini membantu mahasiswa melakukan
refleksi dan evaluasi terhadap permasalahan dan proses-proses yang dilakukan
mahasiswa dan kelompoknya. Selanjutnya setiap kelompok menentukan siapa yang
akan melakukan presentasi dari hasil kerja kelompok dalam diskusi di kelas,
menentukan pemecahan masalahnya, menentukan kesimpulan, dan menayangkan
temuan-temuan yang telah diperoleh.
Kegiatan terakhir, sebagai langkah kelima adalah menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah. Kegiatan ini menitikberatkan pada
asesmen melalui proses, tidak sekadar tes kertas dan pensil (pencil and paper test).
Pada PBM umumnya, teknik asesmen digunakan untuk menilai pekerjaan yang
dihasilkan oleh mahasiswa sebagai hasil penyelidikan atau hasil kerja mereka. Bentuk
13
asesemen PBM ini menggunakan assesmen kinerja dan portofolio. Kriteria penilaian
seperti yang sudah disepakati sejak awal antara mahsiswa dan dosen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Permasalahan penambangan sirtu merupakan permasalahan bersama baik
pemerintah maupun masyarakat yang harus segera ditanggulangi. Upaya mengatasi
masalah yang terjadi tidak hanya membutuhkan peran masyarakat, melainkan juga
melibatkan sektor formal dalam hal ini perguruan tinggi. Salah satu penerapannya
melalui penerapan PBM dengan skenario penggalian sirtu di wilayah Ngoro
Mojokerto.
Pokok permasalahan yang dapat digunakan dalam skenario pembelajaran
adalah (1) kualitas udara, (2) erosi, (3) kemampuan tanah, (4) kesehatan, (5)
kerusakan jalan, dan (6) dampak biologi.
Saran
Diperlukan kerja sama antara masyarakat, stakeholder, dan lembaga pendidikan
dalam penanganan dampak penambangan sirtu secara terpadu
14
DAFTAR RUJUKAN
Aqinoğlu, Orhan and Tandoğan, Ruhan Özkardeş. 2007. The Effects of Problem-Based Active Learning in Science Education on Students’ Academic Achievement, Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, III(1), 71-81
Arends, R.I. 2001. Learning to Teach 5th Edition. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc Fachrurrozi. 2011. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Sekolah Dasar . Edisi Khusus No 1. ISSN 1412-565X
Grant, M. Michael. 2011. Learning, Beliefs, and Products: Students’ Perspectives
with Project-based Learning. The Interdisciplinary Journal of Problem-Based Learning. Volume V, No. 2: 37-69
Hakkarainen, Päivi (2011) "Promoting Meaningful Learning through Video
Production-Supported PBL," Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning : Vol. 5: Iss. 1, Article 4.
Handayani, Sri dan Sapir. 2009. Efektifitas Penerapan Model Pembelajaran Berbasis
Masalah (Problem Based Learning) dan Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Tipe Jigsaw untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar, Hasil Belajar dan Respon Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Ekonomi di SMA Negeri 2 Malang. Jurnal Pendidikan Ekonomi Universitas`Negeri Malang. Volume II. No 1: 38- 52
Latifah, Siti. 2003. Kegiatan Reklamasi Bekas galian Tambang. Palembang: USU
Digital Library. Liliawati, Winny., Puspita, Erna. 2010. Efektivitas Pembelajaran Berbasis Masalah
dalam Meningkatkan Ketrampilan Berpikir Kreatif Siswa. Prosiding Seminar Nasional Fisika 2010 ISBN : 978‐979‐98010‐6‐7
Suci, Ni Made. 2008. Penerapan Model Problem Based Learning Untuk
Meningkatkan Partisipasi Belajar dan hasil Belajar Teori Akutansi Mahasiswa Jurusan Ekonomi Undiksha. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, II (1):74-86
15
Wicaksono, Herdiawan dan Taufik, Muhamammad. 2009. Analyse of Land Damage Cause Sirtu Mining in Ngoro Subdistrict Region Mojokerto Regency By Using Remote Sensing Method And Geografhic Information System. Surabaya: Geomatic Engineering Department, FTSP, ITS.
Zang, M., et al,. 2010. Using Questioning to Facilitate Discussion of Science
Teaching Problems in Teacher Professional Development. The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning • volume 4, no. 1 (Spring 2010) 57–82