Artikel - Kajian Bandingan Novel Dan Film Perempuan BErkalung Sorban-1

37
EMANSIPASI PEREMPUAN ISLAM DAN KEHIDUPAN PESANTREN DALAM NOVEL DAN FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN Oleh Alfian Rokhmansyah A. Pendahuluan Beberapa kurun waktu terakhir ini banyak film yang diadaptasi dari sebuah novel. Perubahan dari novel ke film merupakan sebuah bentuk resepsi penulis sekenario dan sutradara film terhadap novel yang dijadikan acuan film yang dibuat. Perubahan ini tentu menimbulkan perubahan yang menyebabkan perbedaan antara novel dan film. Novel Perempuan Berkalung Sorban merupakan sebuah novel islam yang mengandung banyak kritikan terhadap kehidupan pesantren tradisional. Novel Perempuan Berkalung Sorban ini juga bertujuan untuk mencari idealitas perempuan dalam pandangan Islam. Sebagaimana novel Perempuan Berkalung Sorban, film yang berjudul sama dengan novelnya ini juga mengandung beberapa kritikan

description

Artikel - Kajian Bandingan Novel Dan Film Perempuan BErkalung Sorban-1

Transcript of Artikel - Kajian Bandingan Novel Dan Film Perempuan BErkalung Sorban-1

EMANSIPASI PEREMPUAN ISLAM DAN KEHIDUPAN PESANTRENDALAM NOVEL DAN FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

OlehAlfian Rokhmansyah

A.PendahuluanBeberapa kurun waktu terakhir ini banyak film yang diadaptasi dari sebuah novel. Perubahan dari novel ke film merupakan sebuah bentuk resepsi penulis sekenario dan sutradara film terhadap novel yang dijadikan acuan film yang dibuat. Perubahan ini tentu menimbulkan perubahan yang menyebabkan perbedaan antara novel dan film.Novel Perempuan Berkalung Sorban merupakan sebuah novel islam yang mengandung banyak kritikan terhadap kehidupan pesantren tradisional. Novel Perempuan Berkalung Sorban ini juga bertujuan untuk mencari idealitas perempuan dalam pandangan Islam. Sebagaimana novel Perempuan Berkalung Sorban, film yang berjudul sama dengan novelnya ini juga mengandung beberapa kritikan terhadap kehidupan pesantren tradisional, yang masih dianggap kolot. Selain itu, film Perempuan Berkalung Sorban juga mengaktulisasikan gerakan feminisme yang dilakukan tokoh utama untuk menyejajarkan dirinya dengan kaum laki-laki,Film Perempuan Berkalung Sorban sempat dilarang beredar setelah beberapa minggu nangkring di beberapa bioskop. Larangan ini muncul dari MUI yang menganggap bahwa film Perempuan Berkalung Sorban merupakan film yang salah dan tidak sesuai syariat Islam. Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian antara adegan yang ada dalam film dengan syariat Islam mengenai kehidupan perempuan dari segi pandang hukum Islam.Dari uraian di atas, kajian ini menitikberatkan pada perspektif feminis tokoh utama dan penggambaran kehidupan pesantren yang terkandung dalam novel dan film Perempuan Berkalung Sorban. Ada beberapa perbedaan pengisahan dan pengungkapan gerakan feminisme perempuan dan kehidupan pesantren yang muncul dalam novel dan film Perempuan Berkalung Sorban. Kajian ini akan menggunakan metode perbandingan dalam kajian feminisme dan penggambaran kehidupan pesantren dalam novel dan film Perempuan Berkalung Sorban.

B.Landasan TeoriDalam kajian bandingan antara novel dan film Perempuan Berkalung Sorban ini, digunakan tiga teori umum, yaitu teori sastra bandingan, teori ekranisasi, dan teori feminisme.1.Konsep Dasar Sastra BandinganKarya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksi terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai objek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya kepada objek kolektifnya. Penggabungan objek individual terhadap realitas sosial yang ada di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur masyarakat tertentu. Keberadaan sastra yang demikian, menjadikan sastra dapat diposisikan sebagai dokumen. (Pradopo dalam Jabrohim 2001: 59)Karya sastra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah kejadian yang ada di masyarakat. Seluruh kejadian dalam karya sastra merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi pada kehidupan sehari-hari. Sebagai fakta kultural, karya sastra dianggap sebagai representasi kolektif yang secara umum berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasi dan kencenderungan komunitas yang bersangkutan. Kedudukan sastra dalam kecenderungan ini sangat penting, terutama untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dalam gejala yang selalu berubah.Pengarang menciptakan karya sastra berdasarkan kenyataan yang terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, karya sastra dapat diartikan sebagai suatu gambaran mengenai kehidupan sehari-hari di masyarakat. Adanya realitas sosial dan lingkungan yang berada di sekitar pengarang menjadi bahan dalam menciptakan karya sastra sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan pengarang maupun dengan masyarakat yang ada di sekitar pengarang.Sastra berhubungan dengan manusia dalam masyarakat termasuk di dalamnya usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untk mengubah masyarakat itu. Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Keterkaitan karya sastra dengan masyarakat biasa disebut dengan sosiologi sastra. Sosiologi dapat memberikan penjelasan yang brmanfaat tentang sastra dan bahkan tanpa sosiologi pemahaman tentang sastra belum lengkap (Damono, 1978: 2).Karya sastra lahir karena adanya suatu proses yang dilalui oleh pengarang ditinjau dari segi pencipta, karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam suatu kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Karya sastra dibuat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengarang harus mampu mempengaruhi pembaca untuk meyakini kebenaran yang dikemukakannya. Salah satu usaha untuk meyakinkan pembaca adalah dengan mendekati kebenaran yang diambil dari realitas yang ada dalam masyrakat. Keadaan masyarakat di salah satu tempat pada suatu saat penciptaan karya sastra, secara ilustratif akan tercermin di dalam sebuah karya sastra. Karya sastra biasanya berisi lukisan yang jelas tentang suatu tempat dalam suatu masa dengan berbagai tindakan manusia. Manusia dengan berbagai tindakannya di dalam masyarakat merupakan objek kajian sosiologi. Seperti yang dikatakan Marx (dalam Faruk 1999: 6), struktur sosial suatu masyarakat, juga struktur lembaga-lembaganya, moralitasnya, agamanya, dan kesusastraannya, terutama sekali ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan, khususnya kondisi-kondisi produktif kehidupan masyarakat itu.Sastra sebagai cermin masyarakat menganggap bahwa sastra merupakan sebuah tiruan kehidupan masyarakat. Menurut Ian Watt (dalam Damono 1978: 3-4) sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat merupakan fungsi sastra untuk merefleksikan kehidupan masyarakat kedalam sastra. Sastra umumnya berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya agar mampu menggambarkan kehidupan asli dari masyarakat zamannya.

2.Konsep EkranisasiTransformasi dari karya sastra ke bentuk film dikenal dengan istilah ekranisasi. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis, cran yang berarti layar. Selain ekranisasi yang menyatakan proses transformasi dari karya sastra ke film ada pula istilah lain, yaitu filmisasi.Ekranisasi (1991: 60) adalah pelayarputihan atau pemindahan sebuah novel ke dalam film. Eneste menyebutkan bahwa ekranisasi adalah suatu proses pelayarputihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Eneste juga menyebutkan bahwa pemindahan dari novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena itu, ekranisasi juga bisa disebut sebagai proses perubahan bisa mengalami penciutan, penambahan (perluasan), dan perubahan dengan sejumlah variasi.Damono (2005:96) memiliki istilah alih wahana untuk membicarakan transformasi dari satu ke yang lain. Istilah ini hakikatnya memiliki cakupan yang lebih luas dari ekranisasi. Ekranisasai merupakan perubahan ke- atau menuju layar putih, sedangkan alih wahana seperti yang dijelaskan Damono bisa dari berbagai jenis karya seni ke jenis karya seni lain. Akan tetapi, istilah ini tidak bertentangan dengan makna dan konsep dasar yang dimiliki oleh ekranisasi sebagai proses pengubahan dari satu wahana ke wahan lain.Damono menjelaskan bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke dalam jenis kesenian lain. Alih wahana yang dimaksudkan di sini tentu saja berbeda dengan terjemahan. Terjemahan dan penerjemahan adalah pengalihan karya sastra dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sedang alih wahana adalah pengubahan karya sastra atau kesenian menjadi jenis kesenian lain. Damono mencontohkan cerita rekaan diubah menjadi tari, drama, atau film. Bukan hanya itu, alih wahana juga bisa terjadi dari film menjadi novel, atau bahkan puisi yang lahir dari lukisan atau lagu dan sebaliknya. Alih wahana novel ke film misalnya, tokoh, latar, alur, dialog, dan lain-lain harus diubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keperluan jenis kesenian lain.Di dalam ekranisasi, pengubahan wahana dari karya sastra ke wahana film, berpengaruh pula pada berubahnya hasil yang bermediumkan bahasa atau kata-kata, ke dalam film yang bermediumkan gambar audiovisual. Jika di dalam novel ilustrasi dan penggambaran atau pelukisan dilakukan dengan menggunakan media bahasa atau kata-kata, dalam film semua itu diwujudkan melalui gambar-gambar bergerak atau audiovisual yang menghadirkan suatu rangkaian peristiwa.Perbedaan media dua genre karya seni, memiliki karakteristik yang berbeda pula. Bahasa sebagai medium karya sastra memiliki sifat keterbukaan pada imajinasi pengarang. Proses mental lebih banyak terjadi dalam hal ini. Bahasa yang digunakan memungkinkan memberi ruang yang luas bagi pembaca untuk menafsir dan mengimajinasi tiap-tiap yang ditontonnya. Faktor lain yang berpengaruh adalah durasi waktu dalam penikmatan film. Terbatasnya waktu memberikan pengaruh tersendiri dalam proses penerimaan dan pembayangan.Selain transformasi bentuk, ekranisasi juga merupakan transformasi hasil kerja. Dalam proses penciptaan, novel merupakan kerja atau kreasi individu, sedangkan film merupakan kerja tim atau kelompok. Novel merupakan hasil kerja perseorangan yang melibatkan pengalaman, pemikiran, ide, dan lain-lain. Maka dengan demikian, ekranisasi juga dapat dikatakan sebagai proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama atau gotong royong.Perbedaan wahana atau media dari dua genre karya tersebut tentu saja berpengaruh pada bentuk sajiannya. Dengan kata lain, perbedaan media memengaruhi cara penyajian cerita, bentuk penyajian cerita. Selain dipengaruhi oleh keterbatasan (limit) yang dimiliki oleh masing-masing media tersebut, dalam novel dan film, juga dipengaruhi oleh adanya proses resepsi, pembacaan, sutradara atau penulis skenario terhadap cerpen tersebut. Lebih dari itu, resepsi itu dapat lepas dari interpretasi dan pada itu juga akan dimasukkan juga ideologi dan tujuan-tujuan, intensi, pesan, misi, dan keinginan sutradara ataupun penulis skenario. Kompleksitas ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh jiwa zaman, fenomena sosial yang berkembang, kultural, dan sosial masyarakatnya.

3.Teori FeminismeFeminisme menurut Goefe (dalam Sugihastuti dan Suharto 2002: 18) adalah teori tentang persamaan hak antara laki-laki dan wanita di segala bidang. Suatu kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita. Hal ini disebabkan wanita selalu mengalami ketimpangan gender selama ini. Feminisme berupaya menggali identitas wanita yang selama ini tertutupi hegemoni patriarkat. Identitas diperlukan sebagai dasar pergerakan memperjuangkan kesamaan hak dan membongkar akar dari segala ketertindasan wanita. Tujuan feminis adalah mengakhiri dominasi laki-laki dengan cara menghancurkan struktur budaya, segala hukum dan aturan-aturan yang menempatkan wanita sebagai korban yang tidak tampak dan tidak berharga. Hal ini diterima wanita sebagai marginalisasi, subordinasi, stereotip, dan kekerasan.Menurut Fakih (2003: 99-100) feminisme berangkat dari asumsi bahwa wanita pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem yang dahulu tidak adil menuju ke sistem yang lebih adil bagi kedua jenis kelamin. Hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial. Puncak cita-cita feminis adalah menciptakan sebuah tatanan baru yang lebih baik dan lebih adil untuk laki-laki dan wanita.Feminisme berbeda dengan emansipasi. Emansipasi cenderung lebih menekankan diri pada partisipasi wanita dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan wanita yang selama ini dinilai tidak adil. Wanita dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan (Sofia 2003: 24).Dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap sistem patriarkhi yang ada pada masyarakat. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Millet (dalam Selden 1991: 139) dalam buku Sexual Politics yang menggunakan istilah patriarkhi (pemerintahan ayah). Istilah ini mempunyai arti sangat mementingkan garis keturunan laki-laki. Budaya patriarkhi juga menggunakan kekuatan secara langsung ataupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi wanita. Konsep yang dianggap tidak adil inilah yang digunakan sebagai dasar oleh Millet untuk mengungkap sebab penindasan terhadap wanita (Selden 1991: 139).Berkaitan dengan fenomena feminisme dalam dunia sastra, Faruk (dalam Sugihastuti 2002: 66) menyatakan bahwa bahasa adalah proses yang terus-menerus melakukan tindakan gender dalam berbagai situasi interaksi antara wanita dengan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Ketika laki-laki dan wanita berpikir melakukan komunikasi kebahasaan, mereka dihadapkan pada bahasa sebagai sebuah kondisi objektif yang bersifat eksternal yang memberikan batas, kerangka, dan bahkan arah terhadap apa yang dapat dipikirkan dan dikemukakannya.

C.Emansipasi Perempuan Islam dan Kehidupan Pesantren Tradisional dalam Novel dan Film Perempuan Berkalung SorbanPerbandingan antara novel dan film Perempuan Berkalung Sorban ini meliputi perbandingan pengungkapan perspektif feminis tokoh utama, yaitu Anisa, dan perbandingan kehidupan pesantren yang diungkapkan dalam novel dan film. Hal ini disebabkan karena adanya proses ekranisasi.1.Emansipasi Perempuan Islam dalam Novel Perempuan Berkalung SorbanDalam novel PBS, pandangan tokoh Nisa memang merupakan gambaran emansipasi atau gerakan feminisme yang dilakukan oleh perempuan. Hal ini dilakukan untuk menyamakan derajat antara perempuan dan laki-laki. Gerakan feminisme dalam novel Perempuan Berkalung Sorban pertama kali muncul ketika Nisa merasa dirinya dibedakan dari kedua kakak laki-lakinya. Benar, Mbak. Habis Rizal dan Wildan boleh kembali tidur, sementara Nisa harus membersihkan tempat tidur dan membantu ibu memasak di dapur. Sementara Rizal dan Wildan masuk lagi ke kamar, katanya mau belajar, padahal Nisa lihat sendiri mereka kembali tidur sehabis shala shubuh. (PBS, hlm. 21)

Pada kutipan di atas terlihat adanya ungkapan Nisa mengenai perbedaan peraturan antara anak laki-laki dan perempuan. Nisa sebagai anak perempuan harus mau membantu ibunya di dapur, sedangkan kedua kakaknya bisa bebas tanpa harus mengerjakan kewajiban. Pada diri Nisa terbentuk suatu pertentangan batin mengenai perbedaan yang terjadi antara dirinya dan kedua kakak laki-lakinya. Nisa merasa dirinya dibedakan oleh ayah dan ibunya dengan kedua kakaknya. Perilaku Nisa yang ingin menunjukkan bahwa perempuan juga bisa lebih dari laki-laki terjadi saat ia berdebat dengan Kiai Ali.Perdebatan itu membahas masalah peran istri dalam hubungan badan dengan suaminya. Pertanyaan Nisa dianggap kurang logis menurut Kiai Ali. Karena Islam tidak pernah mengajarkan seorang istri meminta dan memaksa suaminya untuk berhubungan badan.Bagaimana jika istrinya yang mengajak ke tempat tidur dan suami menunda-nunda hingga istri tertidur, apa suami juga dilaknat Allah, Pak Kiai?Tidak. Sebab tak ada hadis yang menyatakan seperti itu. lagi pula, mana ada seorang isteri yang mengajak lebih dulu ke tempat tidur. Seorang istri biasanya pemalu dan bersikap menunggu.Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang terbuka dan mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.(PBS, hlm. 80-81)

Pada kutipan di atas, terlihat adanya rasa keingintahuan Nisa terhadap perempuan yang mempunyai keinginan untuk mengajak suaminya melakukan hubungan badan. Hal itu disebabkan karena sebelumnya Kiai Ali telah mengatakan bahwa perempuan yang menolak ajakan suami untuk berhubungan badan akan dilaknat Allah.Perjuangan hidup Nisa untuk menyejajarkan dirinya dengan laki-laki umumnya hanya terdapat pada awal cerita. Bagian akhir cerita, terlihat perjuangan hidup Nisa dalam menghadapi hidup tanpa adanya seorang suami.

2.Emansipasi Perempuan Islam dalam Film Perempuan Berkalung SorbanGerakan feminisme dalam film Perempuan Berkalung Sorban digambarkan lebih eksplisit dibandingkan dalam novel. Inti persoalan munculnya gerakan feminis dalam film sebenarnya sama dengan dalam novel, yaitu keinginan Nisa untuk hidup lebih mandiri dan sejajar dengan laki-laki.Pemberontakan Nisa pertama kali terjadi saat ia mencoba berlatih kuda. Ibunya melarang Nisa untuk bermain kuda karena ia seorang perempuan. Nisa memberontak dan ingin berlatih kuda.

Gambar 1. Kedatangan Ibu Nisa saat Nisa berlatih naik kuda di pinggir pantaibersama kedua kakak laki-lakinya.

Rangkaian gambar di atas menunjukkan adanya pemberontakan Nisa pada Ibunya. Nisa tidak mau diajak pulang dengan alasan ingin berlatih naik kuda, seperti yang dilakukan kedua kakak laki-lakinya.Pemberontakan Nisa untuk mencapai keinginannya bermain kuda, terlihat saat Nisa dan keluarganya makan malam. Nisa bertanya kepada ayahnya kenapa ia tidak boleh berlatih kuda.

Gambar 2. Suasana makan malam saat Nisa meminta kepada ayahnyaUntuk berlatih naik kuda

Ayah Nisa melarangnya untuk bermain kuda karena Nisa adalah seorang perempuan. Kedua kakaknya juga melarang Nisa untuk bermain kuda. Hingga akhirnya ayahnya marah karena Nisa selalu menentang aturan dan keputusan ayahnya.Pemberontakan Nisa juga muncul ketika ia tidak menjadi ketua kelas. Dalam pemilihan ketua kelas itu, Nisa berhasil mengalahkan teman laki-lakinya dalam perolehan suara. Tetapi Pak Guru yang mengajar di kelas memilih teman laki-laki Nisa sebagai ketua kelas. Pak Guru menganggap bahwa yang berhak menjadi pemimpin adalah laki-laki. Nisa keluar dari kelas tanpa permisi.

Gambar 3. Situasi saat Nisa menjalani pemilihan ketua kelasdan Nisa memberontak karena Pak Guru dinilai tidak adil

Ayah Nisa marah karena Nisa keluar kelas tidak permisi. Nisa memberontak dan mengatakan bahwa Pak Guru tidak adil karena telah memilih teman laki-lakinya sebagai ketua kelas. Padahal Nisa yang memenangkan pemilihan ketua kelas itu. Pandangan Islam tentang derajat perempuan dengan laki-laki juga dijelaskan oleh Kiai Ali. Ia menganggap perempuan dilarang untuk meminta cerai kepada suaminya, karena hal itu dilarang oleh agama dan yang berhak meminta cerai adalah laki-laki. Keinginan Nisa untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi akhirnya terkabul saat ia diterima melalui jalur tanpa tes di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Ia meminta pada kedua orang tuanya untuk mengizinkannya kuliah di Yogyakarta.

Gambar 4. Situasi saat Nisa meminta Ayahnya untuk mengizinkannyaKuliah di Yogyakarta

Nisa mencoba menjelaskan bahwa Yogyakarta tidak jauh dari pesantren. Namun, ayah Nisa tetap tidak mengizinkannya untuk pergi dari pesantren. Ayahnya beralasan bukan karena uang ia melarang anaknya keluar dari pesantren, tetapi ia tidak mau melepaskan anaknya tanpa seorang muhrim.Akhirnya Nisa mengalah untuk dikawinkan dengan Samsudin, karena Nisa pikir itu adalah jalan satu-satunya untuk dapat kuliah di Yogyakarta. Namun semua itu hanya impiannya saja. Ia harus melayani Samsudin dan dilarang untuk berkuliah. Keinginan untuk kuliah dalam diri Nisa begitu besar, hingga akhirnya ia mencoba memberontak. Nisa mengetahui bahwa Samsudin telah menghamili Kalsum yang datang ke rumah mereka dalam keadaan hamil. Nisa mulai bersabar untuk menerima Kalsum menjadi istri Samsudin.Keinginan Nisa untuk lepas dari jeratan laki-laki menjadi besar. Nisa mengatakan pada Kalsum bahwa perempuan tidak boleh lebih lemah dari laki-laki dan tidak boleh tergantung pada laki-laki.Hal serupa juga diungkapkan oleh Khudhori. Ia mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tidak ada bedanya. Laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

3.Perbandingan Kehidupan Pesantren antara Novel dan Film Perempuan Berkalung SorbanPenggambaran kehidupan pesantren dalam novel dan film sangat terlihat jelas. Dalam novel, kekolotan dalam kehidupan pesantren hanya terjadi pada ketidakbolehan santri untuk membaca dan menonton film yang tidak berhubungan dengan Islam. Hal ini terjadi ketika Nisa melakukan debat dengan Kiai Ali.Apa yang dimaksud Pak Kiai, dengan buku-buku tak berguna dan film-film yang dibikin oleh orang kafir?Buku-buku tak berguna adalah semua buku yang tidak mengacu pada dalil-dalil al-quran dan hadis Nabi. Yaseperti novel-novel itu, majalah atau komik-komik yang mengandung nafsu. Sedangkan cerita-cerita dalam film, selalu berisi cinta palsu dan semu, seperti yang dilihat oleh orang-orang kita yang isinya Cuma khayalan dan kebohongan serta jauh dari kenyataan hidup yang sebenarnya.(PBS, hlm. 83)

Pada kutipan di atas terlihat larangan dari Kiai Ali pada santri untuk tidak membaca buku dan menonton film yang tidak sesuai dengan dalil dan hadis. Semua buku dan film hanya dibuat untuk menonjolkan cinta semu dan nafsu syahwat. Hal itu dapat merusak akidah dan akhlak para santri. Kiai Ali hanya menghimbau santri agar tidak membaca buku selain kitab pelajaran dan tidak menonton film.Berbeda dengan novel, film Perempuan Berkalung Sorban lebih berani menonjolkan dan memvisualisasikan kekolotan-kekolotan yang ada di pesantren tradisional. Larang Ayah Nisa agar Nisa tidak berlatih naik kuda merupakan salah satu kekolotan kiai pesantren. Ayah Nisa yang notabene adalah seorang pimpinan pesantren dan seorang kiai, melarang Nisa tanpa alasan yang jelas.Ayah Nisa mengatakan bahwa Nisa adalah anaknya dan menjadi alasan larangan kepada Nisa. Ia dianggap berbeda dengan anak-anak yang lain karena dia adalah anak seorang kiai dan harus menuruti perkataan ayahnya.Kekolotan ayah Nisa sebagai seorang kiai adalah melarang anaknya untuk menonton di bioskop. Ketika Nisa diketahui akan menon ton di bioskop, ayahnya sangat marah. Ia menyatakan bahwa ia takut jika hal itu diketahui oleh orang diluar pesantren termasuk orang tua dari para santri.

Gambar 5. Suasana ketika ayah Nisa marah setelah Nisa pergike bioskop bersama teman santriwati

Kekolotan dalam pesantren dengan memunculkan larangan-larangan kepada santrinya memuncak pada saat Nisa memasukan buku ke dalam pesantren. Nisa memasukan buku-buku yang sebenarnya menjadi larangan pesantren. Tetapi Nisa berusaha untuk mencoba memberikan wawasan kepada para santri.Keinginan Nisa dalam memajukan santri dengan memberikan tambahan bacaan diungkapkannya dalam pertemuan keluarga pesantren. Ia mencoba mengusulkan untuk membuka perpustakaan untuk menjadi wadah para santri menimba ilmu selain ilmu agama.Keinginan Nisa itu ditolak mentah-mentah oleh kakak Nisa. Ia tidak ingin semua santri menjadi seperti Nisa yang dianggap pemberontak. Kakaknya mengatakan bahwa orang tua menitipkan anaknya dipesantren untuk menjadi yang terbaik dan mengerti ilmu agama bukan menjadi pemberontak.Kekolotan pesantren yang tidak mau menerima buku dari luar menjadi wacana berat bagi para pemimpin pesantren. Para santriwati yang ada di pesantren Al Huda diketahui telah membaca buku-buku yang diberikan oleh Nisa. Hal itu ditemukan oleh beberapa Uztad.

Gambar 5. Suasana ketika ayah Nisa marah setelah Nisa pergike bioskop bersama teman santriwati

Pemimpin pesantren Al Huda yang merupakan kakak laki-laki Nisa memerintahkan untuk membakar semua buku yang berikan oleh Nisa. Hal ini membuat para santriwati kecewa dengan jalan keluar yang dilakukan oleh pesantren tersebut.Pembakaran yang dilakukan terhadap buku-buku Nisa mengakibatkan beberapa santriwati, yaitu Ulfah dan kawan-kawannya, kabur dari pesantren. Mereka kabur ke Yogyakarta untuk mengikuti workshop menulis yang diselenggarakan oleh mahasiswa sastra UGM.

Gambar 6. Suasana ketika Ulfah dan seorang kawan santriwatikabur dari pesantren saat malam hari

Nisa yang tidak tahu menahu mengenai kaburnya Ulfah dan kawan-kawannya menjadi sasaran pihak pesantren. Akhirnya Nisa dan Maryam mencari Ulfah di acara workshop yang dilakukan di UGM. Ia menemukan Ulfah dan kawannya mengikuti acara tersebut.Kekolotan pesantren Al Huda dengan adanya buku-buku dari luar pesantren akhirnya hilang setelah Nisa kembali ke pesantren. Nisa mengungkapkan bahwa seorang perempuan harus bisa menjadi yang terbaik bagi kaum laki-laki. Atas kesabarannya akhirnya kakaknya mengizinkan Nisa untuk membuka perpustakaan di Al Huda.

4.Ideologi Cerita dan Cara Pandang Masyarakat PenerimaAdanya perbedaan penggarapan isu poligami dalam novel dan film sebagai hasil resepsi sutradara tentu bukan berjalan begitu saja. Dengan melihat perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh kedua wahana tersebut kita bisa menangkap adanya persoalan sebagai apa karya tersebut dalam hubungannya dengan masyarakat penerimanya dan pengarang sebagai outhor.Persoalan feminisme dan kehidupan pesantren tidak secara eksplisit diungkapkan dalam novel, meskipun tidak dapat pula dikatakan kalau novel tidak mengusung persoalan ini. Ada kesan ketaksanggupan atau ketaksampaian untuk mengungkap persoalan feminisme dan kehidupan pesantren yang tidak mampu diungkapkan dengan lebih gamblang dan eksplisit di dalam novel. Kesengajaan untuk menyamarkannya tentu saja bisa terjadi. Tapi hal yang kiranya tidak dapat dilepaskan dari persoalan ini adalah siapa penulisnya, bagaimana latar belakang dan atributnya, siapa penerimanya, dan siapa pembacanya. Ada kesan kehati-hatian yang sangat dijaga dalam penggarapan masalah ini di dalam novel. Hal ini tidak tentu tidak lepas dari atribut pengarang dan atribut kesantriannya. Karya ini telah hadir sebagai wujud bagaimana pengarang dipengaruhi oleh masyarakat sekelilingnya dan atribut kesantriannya. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa persoalan feminisme dan kehidupan pesantren tidak dihadirkan secara lebih eksplisit. Semua ini selaras dengan budaya santri yang halus, tidak boleh berbicara bebas, dan yang senada dengan itu.Novel ini menunjukkan kepada pembaca bahwa kehidupan seorang perempuan yang dibatasi oleh peraturan-peraturan Islam akan sulit untuk digunakan dalam kehidupan masyarakat modern. Apalagi jika tidak menunjukkan eksistensinya pada kehidupan masyarakat umum. Belenggu yang menggerogoti para santri di pondok pesantren merupakan salah satu kendala untuk berkembang.Berbeda dengan novelnya, film Perempuan Berkalung Sorban mengangkat tema yang mempertanyakan hak perempuan dalam Islam. Para sineas lebih berani mengungkapkan pemberontakan seorang muslimah yang hidup dalam wilayah pesantren yang notabene mempunyai peraturan kuat. Tokoh Annisa, seorang putri Al Huda pemilik pesantren Salafiah di kota kecil di Jawa Timur, merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, dan putri satu-satunya. Annisa dibesarkan oleh kedua orang tua yang memelihara nilai-nilai Islam tradisional dimana posisi perempuan tidaklah istimewa. Banyak perbedaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di lingkungan Annisa. Contohnya perempuan dilarang menjadi pemimpin, boleh mengeluarkan pendapat tapi tidak diperhatikan, dilarang melihat dunia luar, dll.Tokoh Anisa yang diperankan oleh (Refalina S. Themat), difigurkan sebagai sosok perempuan yang semenjak kecil berjuang untuk menuntut persamaan hak dengan kaum lelaki. Tuntutan untuk sebuah kehidupan yang bebas dari hegemoni norma agama dan adat istiadat yang timpang dan sarat akan ketidakadilan. Anisa sebagai anak Seorang Kyai dari Pondok Pesantren yang bernuansa Salaf merupakan figur seorang perempuan kukuh pendiriannya, cantik dan cerdas. Di Pesantren Putri Al Huda, Jawa Timur masih dikisahkan sebagai lingkungan yang konservatif. Pelajaran yang ada masih memposisikan perempuan sangat lemah dan tidak seimbang perannya dengan laki-laki.Film ini berusaha mengritik hegemoni laki-laki, yang tentu saja, bukan hanya di pesantren. Ia berusaha mengoreksi pemahaman sempit para penafsir agama bahwa perempuan tidak berhak menjadi subyek yang merdeka, dan harus dituntun oleh laki-laki. Walau pun terkadang laki-laki tidak bisa menuntun, bahkan bisa menjerumuskan. Kehidupan pesantren yang diusung dalam film ini sangat eksplisit dan menggambarkan kehidupan pesantren yang kolot dan tradisional. Dalam film ini menganggap bahwa kehidupan pesantren sangat membatasi ruang gerak perempuan untuk berkembang. Hal ini disebabkan karena adanya norma-norma agama yang harus dipatuhi. Para kiai dan uztad memegang ajaran dan paham bahwa perempuan berada di bawah laki-laki. Selain itu, dala film ini juga mengangkat persoalan buku bacaan untuk para santri. Para sineas menggarap mengenai kehidupan pesantren yang tidak mau menerima buku apapun dari luar yang tidak berideologi Islam dan mengusung nilai-nilai akidah dari al-Quran dan hadis. Hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan kehidupan pesantren yang sebenarnya. Ada perbedaan pola penerimaan pendidikan umum, khususnya masalah buku, antara pesantren satu dengan yang lain.Sebagai sebuah sub-kultur, posisi pesantren memang unik. Pesantren mempunyai sistem kehidupannya tersendiri yang dijalankan secara ketat baik oleh para santri maupun masyarakat sekitar. Pesantren juga mempunyai hirarki khusus yang berbeda dan berada di luar hirarki formal kekuasaan. Hal ini nampak dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya meski tentu saja tidak berarti bahwa pesantren berdiri terpisah atau lepas sama sekali dari ikatan-ikatan umum dengan masyarakat luas. Bahkan dalam banyak hal pesantren tetap mempunyai banyak pertautan dengan kehidupan masyarakat luas di sekitarnya itu, hingga antara pesantren dan masyarakat sekitar mempunyai hubungan timbal balik. Dalam perjalanannya pesantren mengalami perubahan dari waktu ke waktu, seiring perubahan yang terjadi di luar kehidupan tradisinya. Faktor sosial, ekonomi, politik, budaya dan juga teknologi menjadi penentu perubahan itu. Faktor-faktor inilah yang kemudian merubah bentuk pesantren yang tadinya tradisional menjadi bermacam-macam. Ada yang masih tetap tradisional dengan salaf-nya, ada yang semi modern dengan menggabungkan salaf dan sekolah umum, dan ada juga yang modern penuh. Namun dari bentuk yang bemacam-macam itu, kiailah yang masih tetap memegang otoritas tertinggi. Dengan demikian kehidupan kesenian di pesantren pun, termasuk sastra di dalamnya, sangat tergantung dari kebijakan dan daya apresiasi sang kiai sebagai pimpinan.Di pesantren-pesantren semi modern atau modern pendidikan sastra secara formal didapatkan para santri dari pelajaran sekolah seperti halnya yang terjadi di sekolah-sekolah umum. Dan sastra yang diajarkan tentu saja bagian dari pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran sastra di sekolah ini tentu saja kurang maksimal karena terbatasnya jam pelajaran dan juga kapasitas gurunya, yang tidak semuanya punya minat yang besar pada sastra. Kehidupan sastra di pesantren-pesantren jenis ini tak jauh berbeda dengan kondisi di sekolah-sekolah umum.Sedang di pesantren-pesantren tradisional jelas tak ada pelajaran sastra seperti halnya di sekolah umum, namun atmosfir kesusastraan bisa didapat para santri melalui proses pengajian kitab kuning yang kebetulan banyak berisi syair-syair yang bernilai sastra tinggi. Pada awalnya para santri hanya menyimak makna dari syair-syair tersebut sebagai materi pengajian, namun dengan kekhusyukan mereka pun menjadi akrab juga dengan keindahan bahasanya, dengan kemerduan bunyinya dan sebagainya. Dengan demikian bagi para santri salaf pelajaran sastra mereka dapatkan secara tidak langsung, yakni lewat pengajian kitab kuning. Lewat atmosfir pengajian. Dan jika kebetulan kiainya berjiwa seniman proses pengajaran sastra secara tidak langsung ini bisa menjadi lebih khusyuk dan mendalam karena tidak terlalu dibatasi waktu, bahkan bisa sampai subuh. Di masa lalu jenis karya sastra yang banyak ditulis para santri atau kiai ini kebanyakan berupa nadoman atau syiiran, sejenis salawat atau puji-pujian yang merupakan penghormatan kepada Nabi Muhammad s.a.w., yang ditulis dalam bahasa Arab atau daerah. Padoman atau syiiran ini kadang juga berisi petuah atau nasihat. Di beberapa pesantren ada juga yang menulis naskah drama berdasarkan sejarah Islam atau riwayat para nabi.Sebagian masyarakat berpendapat bahwa film Perempuan Berkalung Sorban salah, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Islam tidak mendidik perempuan untuk memberontak dan islam memberikan kebebasan pada kaum hawa untuk bebas tetapi masih dalam batas kewajaran. Dalam masalah kehidupan pesantren yang kolot, hal ini berhubungan dengan cara hidup masyarakat pesantren itu sendiri. Penerimaan atau penolakan atas informasi dan ilmu pengetahuan dari luar merupakan hak dari masing-masing warga pesantren.

D.Penutup Film Perempuan Berkalung Sorban merupakan adaptasi dari novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khaieqy. Perbedaan cara pandang dalam mengupas suatu masalah yang diangakat, merupakan cara dari masing-masing penyusun karya itu. Dalam novel, persoalan dibangun oleh pengarang yang masih dibatasi faktor tertentu, khususnya aspek ideologi dan atribut kesantriannya. Sedang film ini mampu memberikan informasi secara eksplisit mengenai persoalan yang diangkat.Kontroversi pada masing-masing karya, baik film maupun novelm bergantung pada cara pandang masyarakat penerimanya. Persoalan sosial masyarakat penerimanya menjadi faktor penting dalam penyusunan baik novel maupun adaptasinya. Film sebagai adaptasi lebih mencoba mewadahi dan menyuguhkan fenomena sosial masyarakat yang direkamnya. Ini sekaligus sebagai kritik sosial pada fenomena-fenomena yang sedang terjadi, yang kemudian ditarik ke ranah sastra, dalam hal ini film.

Daftar PustakaDamono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Jakarta: Nusa Indah.El Khalieqy, Abidah. 2009. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.Suseno. Filmisasi Karya Sastra Indonesia: Kajian Ekranisasi pada Cerpen dan Film Tentang Dia.______. Isu Poligami dalam Novel dan Film Ayat-ayat Cinta: Kajian Perbandingan.Website:http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Kedudukan-Wanita-Dalam-Islam (diakses 26 April 2010)http://bahrudinonline.cilacaponline.web.id/index.php/sastro-muni/82-sastra-dan-komunitas-santri?format=pdf (diakses 28 April 2010)http://www.shalimow.com/etcetera/perempuan-berkalung-sorban-kontraversi-film-baru.html (diakses 24 April 2010)http://blog.nikenike.net/2005/08/15/perempuan-berkalung-sorban (diakses 29 April 2010)http://dhieeewhe.wordpress.com/2009/01/16/perempuan-berkalung-sorban (diakses 26 April 2010)http://go2.wordpress.com/?id=725X1342&site=ocehanpuput.wordpress.com&url=http%3A%2F%2Fen.wordpress.com%2Ftag%2Fperempuan-berkalung-sorban-sebuah-potret-penyalahartian-peran-dan-posisi-perempuan-dalam-islam-di-sebuah-ponpes%2F&sref=file%3A%2F%2Flocalhost%2FD%3A%2FNew%2520Folder%2FPerempuan%2520Berkalung%2520Sorban%2520%2520%2520Sebuah%2520Potret%2520Penyalahartian%2520Peran%2520dan%2520Posisi%2520Perempuan%2520dalam%2520Islam%2520di%2520Sebuah%2520PonPes%2520%25C2%25AB%2520Puput%25E2%2580%2599s%2520Blog.htm (diakses 26 April 2010)