ARTIKEL ILMIAH MAKNA KONTEKSTUAL KATA DALAM AL …repository.unja.ac.id/5084/1/Artikel.pdfdan...
Transcript of ARTIKEL ILMIAH MAKNA KONTEKSTUAL KATA DALAM AL …repository.unja.ac.id/5084/1/Artikel.pdfdan...
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 1 | P a g e
ARTIKEL ILMIAH
MAKNA KONTEKSTUAL KATA ḤADĪṠ DALAM AL-QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
MUSDALIPAH
NIM: I1A214027
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS JAMBI
2018
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 2 | P a g e
MAKNA KONTEKSTUAL KATA ḤADĪṡ DALAM AL-QUR’AN
MUSDALIPAH Program Sudi Pendidikan Bahasa Arab
Universitas Jambi Jl. Raya Jambi-Ma. Bulian KM. 15 Mendalo Indah, Jambi
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan (1) untuk menyajikan makna kontekstual kata
Ḥadīṡ dan turunannya yang terdapat dalam Al-Qur’an (2) mendeskripsikan
konteks apa saja yang mempengaruhi makna kata Ḥadīṡ dan turunannya yang
terdapat dalam Al-Qur’an
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan
menggunakan metode analisis deskriptif. Teori yang digunakan adalah teori
Abdul Chaer dan Ahmad Mukhtār Umār. Objek penelitian yaitu seluruh kata
Ḥadīṡ dan turunannya yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makna kontekstual kata Ḥadīṡ
dan turunannya dalam Al-Qur’an ada 18 makna yang dipengaruhi oleh konteks
bahasa (as-Siyāq al-Lughah) dan konteks situasi (as-Siyāq al-Mawqif).
Kata Kunci: Makna kontekstual, Kata Ḥadīṡ, Al-Qur’an.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai kitab Allah menempati posisi sebagai sumber pertama
dan utama dari seluruh ajaran Islam dan berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman
bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sebagai
sumber hukum yang menduduki posisi paling sentral, Al-Qur’an tidak cukup
hanya sekedar dibaca tapi juga harus diupayakan untuk memahami maknanya
dengan benar untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sesuai
tuntunan Al-Qur’an dan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Setelah Al-Qur’an, Islam menempatkan ḥadīṡ sebagai sumber hukum kedua.
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 3 | P a g e
Salah satu fungsi ḥadīṡ adalah sebagai penjelas ayat-ayat Al-Qur’an yang
masih bersifat umum (mujmāl).
Secara bahasa kata ḥadīṡ memiliki arti; al-jadīd minal asyya (sesuatu yang
baru), lawan dari qodīm. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak
ataupun sedikit. Adapun ḥadīṡ menurut istilah ahli ḥadīṡ (muḥaddīṡin) hampir
sama (murādif) dengan sunnah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu
yang berasal dari Rasul, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya. Sedangkan,
menurut ahli uṣūl fiqh (uṣūliyyun) ḥadīṡ adalah segala perkataan Rasul, perbuatan
dan taqrīr beliau, yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i (Al-Khatib, 1963:
1).
Ditinjau dalam Al-Qur’an bahwa kata ḥadīṡ muncul sebanyak 28 kali, 23
dalam bentuk mufrod dan 5 dalam bentuk jamaʻ yang tersebar dalam 21 surah.
Namun, kata ḥadīṡ dalam Al-Qur’an memilki makna yang beragam, sesuai
dengan konteks yang mengitarinya. Seperti dalam Surah Ṭāhā [20] ayat 9 kata
ḥadīṡ bermakna kisah:
����
�
و�
���� �����
�� إذ
��
�ل
��ر� �
ٱرءا �
�ا
���
إ�
� ��و أ
�� أ
�� ���� �
ءا���
��
��ر� �
� ��
ى ���ر ٱءا�
�
��
9. Apakah telah sampai kepadamu kisah Mūsā
10. Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya:
"Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-
mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku
Sedangkan kata ḥadīṡ dalam ayat lain bermakna “Mimpi”, seperti pada ayat
ke-6 surah Yūsuf berikut ini:
���
و�� و�
�� ��
��
و���
ر���
����
��د�� ٱ�
ۥو���� ����� �
��
��
� إن إ����� ����
��
� ��
����
� � � �� ��
��
��
�ب �
� ءال ��� و�
���� ����
�ر���
6. Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan
diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari takwil mimpi-mimpi dan
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 4 | P a g e
disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya´qūb,
sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang
bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrāhīm dan Ishāk. Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Yūsuf [12]: 6)
Pada kedua contoh ayat diatas, terdapat kata ḥadīṡ. Namun, kata hadīṡ
tersebut memiliki makna yang berbeda, seperti dalam surah Ṭāhā ayat 9, kata
ḥadīṡ bermakna “kisah” sedangkan pada surah Yūsuf ayat 6, kata ḥadīṡ bermakna
“Mimpi-mimpi”. Sementara ḥadīṡ secara harfiah berarti “baru”.
Untuk mengetahui makna kata ḥadīṡ yang terdapat dalam Al-Qur’an
tersebut maka kita harus melihat konteks yang mengitarinya melalui kajian makna
khususnya makna kontekstual. Menurut Al-Khuli (1982: 57) di dalam bahasa
Arab makna kontekstual disebut ياق ي س ىن ع م /ma’na siyāqiyyun/. Ahmad Mukhtār
‘Umār (1982: 68) menyatakan bahwa makna kontekstual menekankan adanya
peranan yang dimainkan oleh konteks dalam memberi makna terhadap ucapan
atau tulisan. Setiap elemen makna perkataan dalam suatu kata saling berhubung
antara satu dengan yang lain, serta tidak dapat dipisahkan. Dalam buku linguistik
umum Chaer (2012: 290) mengatakan bahwa makna kontekstual adalah makna
sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Chaer (2012: 290)
juga mengatakan bahwa makna kontekstual dapat berhubungan dengan situasinya,
yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Lebih lanjut, Ahmad
Mukhtār ‘Umār (1988: 20) menegaskan bahwa makna suatu kata dapat
dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu (a) konteks kebahasaan (al-Siyāq al-
Lughawī), (b) konteks emosional (al-Siyāq al-‘Āthifī), (c) konteks situasi (Siyāq
al-Mawqif), dan (d) konteks sosiokultural/budaya (al-Siyāq al-Tsaqāfī).
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
deskriptif yakni prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan/melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi dan
Martini, 1994: 73). Dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan penelitian
kepustakaan (Library Research). Menurut M. Nazir (1998: 112) studi kepustakaan
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 5 | P a g e
adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap
buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan dipecahkan. Objek penelitian ini adalah
seluruh kata ḥadīṡ beserta turunannya yang terdapat dalam Al-Qur’an yaitu kata
ḥadīṡ, kata aḥādīṡ yang merupakan jama’ dari kata ḥadīṡ, kata al-ḥadīṡ, dan kata
al-aḥādīṡ.
B. Sumber Data
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Al-Qur’an Al-Karim, yaitu
dengan menggunakan Al-Qur’ān Al-Karim dan Terjemahnya Departemen Agama
RI. 2002. Semarang: Karya Toha Putra. Sedangkan sumber data sekunder adalah
buku yang berjudul Kajian Semantik Arab: Klasik dan Kontemporer karya
Matsna dan buku Abdul Chaer yang berjudul Linguistik Umum beserta Tafsir Al-
Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab.
C. Teknik Pemerolehan Data
Adapun prosedur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data dari Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya
Departemen Agama RI. 2002.
2. Mengklasifikasi data menurut aspek pemaknaannya.
D. Teknik Analisis
Adapun tahapan-tahapan yang ditempuh oleh peneliti dalam hal ini dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Membaca ayat yang akan dianalisis dengan baik
2. Membaca dan mencermati makna ayat menurut Al-Qur’an dan terjemahan
departemen agama RI
3. Membaca dan mencermati tafsir ayat
4. Membaca dan mencermati asbābun nuzūl ayat
5. Menganalisis kedudukan kata ḥadīṡ dalam ayat dengan berpedoman pada
ilmu nahwu dan shorof
6. Menganalisis kata ḥadīṡ berdasarkan konteks yang mengitarinya seperti
konteks kebahasaan, konteks situasi, dan konteks lingkungan penggunaan
bahasa tersebut dengan menggunakan pisau analisis teori kontekstual Abdul
Chaer (2012) dan Ahmad Mukhtār ‘Umār (1988)
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 6 | P a g e
7. Tahap akhir adalah menulis hasil laporan tersebut dalam bentuk karya
ilmiah sebagai laporan penelitian. Pada tahap akhir ini, peneliti menulis dan
menyusun hasil penelitian dalam bentuk karya ilmiah yang disajikam sesuai
pedoman yang berlaku.
Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan teori makna kontekstual
yang dikemukakan oleh Abdul Chaer dalam bukunya Linguistik Umum dan
Ahmad Mukhtār ‘Umār dalam bukunya Ilm al-Dalālah. Dalam upaya penafsiran
peneliti berpedoman pada Tafsir Al-Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab
yang terdiri dari 15 volume. Adapun penulisan ayat Al-Qur’ān peneliti
berpedoman pada Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan
bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987. Sedangkan cara penulisan
ayat-ayat Al-Qur’ān dan terjemahannya penulis menggunakan aplikasi Addins
Qur’ān in Ms Word yang dibuat oleh Mohamad Taufiq.
E. Pengujian Kredibilitas Data
1. Meningkatkan Ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat
dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian data dan urutan
peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis.
2. Teknik Triangulasi
Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengecek data yang
telah diperoleh melalui beberapa sumber; baik buku, kitab-kitab tafsir terkait,
maupun orang yang peneliti anggap mumpuni di bidangnya yang terkait dengan
penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah kata ḥadīṡ dan turunannya dalam al-Qur’ān ada 28 (23 dalam bentuk
mufrod dan 5 dalam bentuk jamak). Berikut makna kontekstual kata ḥadīṡ dan
turunannya dalam al-Qur’an:
Kata Ḥadīṡ dan Turunannya yang Bermakna “Al-Quran”
1. Q.S. Al-Qolam [68] Ayat 44
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 7 | P a g e
ر� �
ب �
�
ا و�� ��
���� ٱ��� �
�
���ر��� �� ���
��
��ن
����
Pada ayat diatas kata ḥadīṡ bermakna al-Qur’an. Makna ini muncul
berdasarkan konteks ayat. Selain itu, juga dikuatkan oleh makna kata pertama
pada ayat ini yaitu kata فذرين /fadżarnī/. Selain itu, makna ini muncul dipengaruhi
oleh konteks kebahasaan (al-Siyāq al-Lughawī) yaitu badal min isim isyārah.
2. Q.S. At-Ṭūr [52] Ayat 34
�ا
���
�� ���� ��
��� ۦ ��
�
�ا
�
�إن �
Makna kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah al-Qur’an. Makna ini
muncul dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu
berhubungan dengan konteks ayat yang menantang kaum musyrikīn untuk dapat
menciptakan ucapan yang sama seperti al-Qur’an baik dari aspek kandungan
isinya, keindahan bahasanya, maupun susunan katanya. Dan tentu saja tantangan
tersebut mustahil diwujudkan oleh manusia karena segala daya yang ada pada
manusia bersifat terbatas. Selain itu, makna ini juga dipengaruhi oleh konteks
budaya yaitu lingkungan penggunaan bahasa karena ayat ini mengarahkan
tantangan kepada siapapun yang meragukan al-Qur’an khsusunya kaum musyrikīn
Mekah saat itu yang menolak kebenaran risalah yang disampaikan Rasulullah
meskipun dengan dalih penolakan yang tidak masuk akal.
3. Q.S. Al-Kahfi [18] Ayat 6
����
�ا �
���
���ا
�� �
���� إن �
� ءا�
�
��
����� ٱ��� � �
���
�أ
Makna kata ḥadīṡ dalam ayat ini adalah al-Qur’an. Makna ini muncul
dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yakni diperkuat dengan
adanya kata hadza dalam ayat ini yang berfungsi untuk menunjukkan sesuatu
yaitu menunjukkan al-Qur’an sebagai keterangan yang nyata, tidak diragukan lagi
isi kandungannya yang mengandung kebenaran hakiki yang berasal dari Tuhan
Yang Maha Mengetahui. Makna ini juga muncul dipengaruhi oleh konteks situasi
(al-Siyāq al-Mawqif) karena melalui ayat ini Allah SWT ingin meneguhkan hati
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 8 | P a g e
Rasulullah SAW. yang sedang mengalami kesedihan yang amat mendalam
dikarekan penolakan kaum musyrikīn untuk beriman kepada keterangan yang ia
sampaikan, yakni al-Qur’an.
4. Q.S. Yūsuf [12] Ayat 111
��و� �
� ���� ��ة
� �
ن
��� ٱ�
� �
ن
� ���
����
����� ��
ى و� �
يٱ��
�ء �
�
�
���� ���� و�
��
���ن
�� ��
��
� ى ور�
�
�و�
Makna kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah al-Qur’an. Makna ini
muncul dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu berkaitan
dengan konteks ayat yang menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah cerita yang
dibuat-buat melainkan sebagai pertunjuk dan rahmat serta membenarkan wahyu
yang telah diturunkan sebelumnya. Selain itu, makna ini muncul dipengaruhi oleh
konteks situasi (al-Siyāq al-Mawqif) yaitu lingkungan penggunaan bahasa karena
ayat ini menjelaskan bahwa segenap kisah yang telah disampaikan di dalam al-
Qur’an merupakan kebenaran dan bukanlah cerita yang dibuat-buat serta
mengandung ibroh bagi orang-orang yang menggunakan akalnya dengan baik.
5. Q.S. Al-Wāqi’ah [56] Ayat 81
ا���
���� ٱ أ �
����ن �� ���
�أ
Makna kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah al-Qur’an. Makna ini
muncul dipengaruhi oleh konteks kebahasaan (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu adanya
hadza yang berfungsi untuk menunjukkan sesuatu (isim isyārah). Adapun dalam
konteks ayat ini yang ditunjuk tersebut maksudnya adalah al-Qur’an yang
diperkuat dengan ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa al-Qur’an sangat
mulia (Q.S. Al-Wāqi’ah [56]: 77) yang terpelihara (Q.S. Al-Wāqi’ah [56]: 78)
tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan (Q.S. Al-
Wāqi’ah [56]: 79) yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam (Q.S. Al-Wāqi’ah
[56]: 80). Selain itu, makna ini muncul dipengaruhi oleh konteks situasi (as-Siyāq
al-Mawqif) yaitu lingkungan penggunaan bahasa karena ayat ini mengecam
orang-orang yang tidak mengagungkan ayat-ayat Allah SWT.
6. Q.S. Az-Zumār [39] Ayat 23
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 9 | P a g e
ٱ�
� ��� أ
ل ��
��� ٱ� � ��� ���
�
�� ��
� �� ���
�
� �� ��
��
�د
�� ٱ��
�� ���� إ�
�� و�
�
�د
�� ��
� ��
ر���� �
�ن
�
�
� ٱذ�
��ى �
�
��
ٱ�
��� ۦ���ي �� �
ء و�� ��
��� ��
ٱ�
�
� ���د ۥ�
� ���
Makna kata ḥadīṡ dalam ayat ini adalah al-Qur’an. Makna ini muncul
dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu kedudukan kata
ḥadīṡ dalam ayat ini adalah sebagai mudhofun ilaih sedangkan mudhof-nya adalah
kata ahsan. Sehingga kata ahsan ḥadīṡ dalam konteks ayat ini merupakan idhāfah
yang melahirkan pengertian baru yaitu al-Qur’an. Kemudian makna ini diperkuat
dengan konteks ayat yang didahului oleh kata Allahu Nazzala yang menunjukkan
bahwa perkataan yang baik tersebut diturunkan dari sisi Allah SWT. Selain itu,
makna ini muncul juga dipengaruhi oleh konteks situasi (al-Siyāq al-Mawqif)
yaitu lingkungan penggunaan bahasa yang memberitahukan bahwa salah satu ciri-
ciri orang-orang yang beriman ketika mendengarkan maupun membaca al-Qur’an
menjadikan kulit dan hati mereka bergetar karena pesan-pesan ilahi tersebut dapat
ditangkap oleh hati yang memahami makna dan kandungan ayat yang
didengar/dibaca tersebut.
7. Q.S. Al-Mursalāt [77] Ayat 50
ي ��
ۥ���ه ����� �
���ن
���
Kata ḥadīṡ pada ayat ini bermakna Al-Qur’an. Makna ini muncul
dipengaruhi oleh konteks ayat sebelum dan sesudahnya yakni pada awal surah ini
Allah menekankan peringatan terhadap para pendurhaka sambil mengajurkan
mereka untuk memperhatikan aneka argumentasi agar tunduk kepada tuntunan
agama, karena itu maka surah ini ditutup dengan menampakkan “keheranan” dari
sikap mereka itu, sambil menjelaskan bahwa mereka tidak mempercayai bukti-
bukti atau ajaran yang telah dipaparkan, padahal bukti tersebut sedemikian jelas
dan gamblang, demikian penjelasan ar-Rāzi (Shihab, 2003: 695, Vol. 14). Makna
ini juga muncul dipengaruhi oleh konteks situasi (as-Siyāq al-Mawqif) yakni
lingkungan penggunaan bahasa bahwa pada akhir surah ini sejalan dengan awal
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 10 | P a g e
uraiannya yang berbicara tentang hari kemudian serta kepastian jatuhnya siksa
terhadap para pendurhaka.
Kata Ḥadīṡ dan Turunannya yang Bermakna “Kisah”
8. Q.S. Ṭāhā [20] Ayat 9
����
�
و�
���� �����
�� إذ
��
�ل
��ر� �
ٱرءا �
�ا
���
إ�
� ��و أ
�� أ
�� ���� �
ءا���
��
��ر� �
� ��
ى ���ر ٱءا�
�
�
� Pada konteks ayat ini kata ḥadīṡ bermakna kisah yaitu kisah tentang Nabi
Mūsā; Dia menerima wahyu dari Allah. Makna ini muncul dipengaruhi oleh
konteks bahasa (as-Siyāq al-Lughah) yaitu berkaitan dengan ayat selanjutnya
yang mengemukakan kisah Nabi Mūsā saat hendak melakukan perjalanan ke
Mesir dan dalam perjalanan tersebut Nabi Mūsā mengalami kejadian yang agung;
beliau mendapatakan wahyu dari Allah. Makna ini muncul karena berada dalam
konteks ayat yang berhubungan dengan kisah Nabi Mūsā –sebagaimana yang
dikemukakan diatas- selain itu, makna ini muncul berkenaan dengan lingkungan
penggunaan bahasa yaitu menceritakan kisah Nabi Mūsā As kepada Nabi
Muhammad agar dapat mendorong Nabi Muhammad dan umatnya untuk
meneladani kisah Nabi Mūsā tersebut.
9. Q.S. An-Nāzi’āt [79] Ayat 15
����
�
�
�� ر��� ����� ����
�د
�
ۥإذ �اد ��
س ٱ � ��
��
�
� ٱ ���ى �
� ذ
� إ�
����ن ۥإ�
�� �
�
�� �
�
�
�ن �
� أ
إ�
�
����
���
� وأ
���
�
ر�� ر�� �إ�
� ٱ�
ى ٱ ��� �
�
� �
ب و�� ��
�
�� ��
� ��� ��
دى �أ
��د
�
����
�ل
��
� ر���
�� ٱ�
�
ه � �
�
�
� ٱ �
��
�ل
�
� ٱو ���ة ٱ�
و�
� �
�إن
� �
� ��
� ��ة
�
��
� ��
Kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini bermakna kisah yaitu tentang Nabi
Mūsā As. dan Fir’aun. Makna ini muncul berkenaan dengan ayat selanjutnya yang
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 11 | P a g e
mengisahkan tentang Nabi Mūsā As. dan Fir’aun yaitu kisah Nabi Mūsā ketika
diperintahkan oleh Rabb-Nya untuk mengajak Fir’aun kembali ke jalan yang
benar. Namun seruan itu ditolak oleh Fir’aun; hatinya malah kufur sehingga dia
tidak mau tunduk kepada kebenaran, lahir batin. Selain itu, ayat ini muncul
berkenaan dengan situasi (as-Siyāq Mawqif) yakni lingkungan penggunaan bahasa
karena ayat ini berbicara tentang salah satu kisah yang dapat menjadi pelajaran
bagi segenap manusia bahwa orang-orang yang mengingkari kebenaran (cepat
atau lambat) pasti akan dibinasakan.
Kata Ḥadīṡ dan Turunannya yang Bermakna “Berita”
10. Q.S Al-Gāsiyāh [88] Ayat 1
��
��
��
��� ٱ ����
�
� �
Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari kiamat (Q.S Al-
Gāsiyāh [88]: 1)
Kata ḥadīṡ pada konteks ayat ini bermakna berita (yang besar) tentang hari
kiamat. Kata شية ٱل غ /al-gāsiyāh/ terambil dari kata يغشى /yaghsyā yang pada
mulanya berarti menutup. Al-Gāsiyāh artinya menutup secara mantap. Yang
dimaksud adalah peristiwa hari kiamat yang mengakibatkan tertutupnya akal dan
kesadaran manusia akibat rasa takut yang demikian mecekam (Shihab, 2008: 228,
Vol. 15). Makna ini muncul dipengaruhi oleh konteks bahasa (as-Siyāq al-
Lughah) karena kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini berkedudukan sebagai muḍāf
sedangkan muḍāfun ilaih-nya adalah kata al-Gāsiyāh sehingga memunculkan
pemaknaan baru (iḍāfah) yaitu berita (yang besar) tentang hari kiamat. Kemudian,
makna ini diperkuat oleh ayat selanjutnya yang menyatakan bahwa pada hari yang
dahsyat itu yakni hari kiamat Banyak muka pada hari itu yang tertunduk terhina
(al-Gāsiyāh: 2) Bekerja keras lagi kepayahan (al-Gāsiyāh: 3).
11. Q.S. An-Najm [53] Ayat 59
���ا أ
�
��� ٱ� �
����ن
��
Makna kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah ada berita mengenai
kiamat. Makna ini muncul dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi)
yang sangat berkaitan dengan beberapa ayat sebelumnya yang menjelaskan bahwa
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 12 | P a g e
telah dekatnya hari kiamat (Q.S. an-Najm [53]: 57) dan tidak ada yang dapat
mengungkapkan kapan pastinya terjadi hari kiamat tersebut kecuali Allah SWT
(Q.S. An-Najm [53]: 58) lalu pada ayat ke-59 Allah SWT mengecam kaum
musyrikīn apakah terhadap pemberitaan ini (hari kiamat) terus menerus merasa
heran lalu menolaknya?
12. Q.S Al-Burūj [85] Ayat 17
��
��
��
��د ٱ����
� �
��د
و�
�� ٱ�� �����ن
��
����
� �
�وا
�
ٱو ��
�� ��
�� ���
� ��� ورا
�
��
��
��
�ءان
��
Makna kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah “berita (mengenai) kaum-
kaum penentang” (yaitu kaum) Fir´aun dan (kaum) Ṡamūd. Makna ini muncul
dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu kata hadits junud
yang berkedudukan sebagai idhofah yang bermakna berita kaum-kaum
penentang” (yaitu kaum) Fir´aun dan (kaum) Ṡamūd. Makna ini juga diperkuat
oleh ayat sesudahnya ن ومثود عوفر . Selain itu, makna ini muncul dipengaruhi oleh
konteks situasi (al-Siyāq al-Mawqif) yaitu lingkungan penggunaan bahasa karena
ayat ini memberitahukan sekaligus mengingatkan kembali kepada setiap orang
yang mendengar firman ini bagaimana kesudahan orang-orang yang menentang-
Nya.
13. Q.S. Al-A’rāf [7] Ayat 185
�و�
�ت أ
�
�� �
�وا
��ت ٱ��� �ض ٱو ���
� �
� ٱو�� �
�� ��
��
�ن
ن ��
��� أ
ن
ء وأ
ب ٱ� �� ��
��
ي ����� أ
��
�
ۥ���ه ���ن
�� �
Makna kata ḥadīṡ dalam ayat ini adalah berita selain al-Qur’an. Makna ini
muncul dipengaruhi oleh konteks situasi (al-Siyāq al-Mawqif) yaitu lingkungan
penggunaan bahasa karena ayat ini berbicara kepada orang-orang yang meragukan
al-Qur’an bahwa apakah dengan segala bukti nyata yang telah disampaikan oleh
Rasulullah saw. dan segala tanda-tanda penciptaan yang tidak terbantahkan bahwa
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 13 | P a g e
mereka lebih memilih untuk mempercayai berita selain dari al-Qur’an yang tidak
ada alasan untuk meragukan apalagi menolaknya.
Kata Ḥadīṡ dan Turunannya yang Bermakna “Mimpi”
14. Q.S. Yūsuf [12] Ayat 6
���
�� و�
��
و���
ر���
����
و�� �
���د�� ٱ�
و���� �
�� ۥ�����
����� � � �� ��
��
��
�ب �
� ءال ��� و�
��
��
���� ����
ر���� إ����� ���� إن
��
��
Makna kata aḥādīṡ dalam konteks ayat ini adalah “takwil mimpi” yaitu
penafsiran yang akan terjadi di dunia nyata terkait apa yang diimpikan. Makna ini
mucul dipengaruhi oleh konteks bahasa (as-Siyāq al-Lughah) yaitu kedudukan
kata ḥadīṡ dalam ayat ini sebagai muḍāfun ilaih sedangkan muḍāf-nya adalah kata
ويل تأ . Hal ini berarti kata أحاديث ويل ٱلتأ merupakan iḍāfah yang melahirkan makna
baru, “takwil mimpi”. Selain itu, makna ini juga dipengaruhi oleh konteks situasi
(al-Siyāq al-Mawqif) yaitu lingkungan penggunaan bahasa yang mengabarkan
kepada Nabi Muhammad dan seluruh umatnya bahwa pada diri Nabi Yusūf
terdapat keistimewaan yang diberikan Allah SWT salah satunya mampu
menafsirkan beberapa mimpi sebagaimana dijelaskan pada ayat lainnya pada
surah yang sama bahwa di dalam mimpinya, Nabi Yūsuf melihat sebelas bintang,
matahari dan bulan sujud kepadanya.
15. Q.S. Yūsuf [12] Ayat 21
�ليٱ و�
��� ٱ �
�
� � �� �� ��
ن ۦ ��أ
��� ��� أ
�� ��
�
أ
ه ����
و �
أ
���
� ۥ���
���� ���
���
��
�
� و�
ٱو�
�ض �
��و�� �� ۥو���
���د��� ٱ�
ٱو �
�� ��ه
� أ
� ��
��� ۦ�
و�
��
���س ٱأ
��ن
���
��
Makna kata aḥādīṡ dalam ayat ini adalah “takwil mimpi” yakni penafsiran
yang akan terjadi dari apa yang diimpikan. Makna ini muncul dipengaruhi oleh
konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu adanya kata takwil yang menyertai
kata ḥadīṡ yang disebut dengan iḍāfah sehingga menimbulkan makna baru
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 14 | P a g e
sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat selanjutnya, Q.S. Yūsuf [12]: 6.
Selain itu, makna ini juga muncul dipengaruhi oleh konteks situasi (al-Siyāq al-
Mawqif) yaitu lingkungan penggunaan bahasa karena ayat ini mengisahkan
tentang salah satu bagian dari perjalanan hidup Nabi Yūsuf hingga beliau
diberikan keistimewaan oleh Allah SWT yaitu berupa mampu mentakwilkan
mimpi.
16. Q.S. Yūsuf [12] Ayat 101
�� ���� ءا�
� ٱرب �
��
� �� ���
�و�� و��
���د��� ٱ�
�
�����ت ٱ� �ض ٱو ���
�� و� �
��ٱ� ۦأ
� � ���ة� ٱو ��
���
�
� ��
�
��� ������ و�
��� �
Makna kata aḥādīṡ dalam konteks ayat ini adalah “takwil mimpi” yaitu
penafsiran yang akan terjadi dari apa yang diimpikan. Makna ini muncul
dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu berkaitan dengan
penggunaan kata dalam konteks ayat karena dalam konteks ayat ini kata takwil
aḥādīṡ merupakan iḍāfah yang bermakna penafsiran yang akan terjadi dari apa
yang diimpikan. Selain itu, makna ini muncul berkaitan dengan konteks situasi
(al-Siyāq al-Mawqif) yaitu lingkungan penggunaan bahasa karena ayat ini
menyebutkan anugerah yang telah diberikan Allah SWT kepada Nabi Yūsuf yaitu
berupa kedudukan yakni sebagai bendaharawan Mesir dan memberikan
kemampuan untuk mentakwilkan mimpi.
Kata Ḥadīṡ dan Turunannya yang Bermakna “Pembicaraan”
17. Q.S. An-Nisā’ [4] Ayat 140
�� � و�
��
��
ل ��
� ٱ�
��
� �
ا ����� ءا�
إذ
ن
ٱأ
��
� �ا
��
� ��� ����
��وا
��
�
� ���
� ��� و�����أ
�
��
�ه ۦ���� �
��� إن
�ا ��
� إذ
�
� ٱإ�
������ ٱ���� �
�
��� ٱو
� ����� � �����
��
Makna kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah pembicaraan yaitu
pembicaraan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Makna ini muncul
dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu berada dalam
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 15 | P a g e
konteks ayat yang berbicara mengenai larangan duduk bersama orang-orang yang
mengingkari dan memperolok-olokkan al-Qur’ān.
18. Q.S. Al-An’ām [6] Ayat 68
ا�� �ذ
�� ٱر�
�� ��� ���
�
�ض
�
�� ���
� ءا�
�ن
��
�
� �ا
��
� �ه
ۦ���� �
������� � ��� ٱ���
��� ��
��
�
�
�ى ٱ��� �
�م ٱ�� �
���� ٱ �
��� �
Makna kata ḥadīṡ dalam ayat ini adalah “pembicaraan” yaitu pembicaraan
yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Makna ini muncul dipengaruhi
oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu diperkuat dengan kata-kata
sebelumnya همعن رضفأع ءايتنا يخوضون في ت ٱلذين وإذا رأي Dan apabila kamu melihat orang-
orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka
sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Selain itu, Makna ini
muncul berkaitan dengan konteks situasi (al-Siyāq al-Mawqif) yaitu lingkungan
penggunaan bahasa karena ayat ini mengemukakan larangan agar tidak bersatu
dengan majelis-majelis yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah SWT.
Kata Ḥadīṡ dan Turunannya yang Bermakna “Percakapan”
19. Q.S. An-Nisā’ [4] Ayat 78
����� �
� ��ر��
�ا
��
�
��ت ٱ�
�ة� �
��� ��� � ��وج ��
� �
و�
�ه�
�ا
��
��
���� ����
ٱ�� ��� ۦ�ن �
�� ����
�ن �
�ه�
�ا
��
��
�� ��� ۦ����
�
�
ٱ�� ���ك �
���ل �
�
ء �
�� �م ٱ�
�� �
����
��ن
�
��
ون
�د
��
� �
Makna kata ḥadīṡ dalam ayat ini adalah “pembicaraan” yakni penjelasan-
penjelasan yang selama ini telah disampaikan oleh Rasulullah saw. terutama
terkait kematian pasti akan menimpa setiap makhluk yang bernyawa. Makna ini
muncul dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu penggunaan
kata hadits dalam konteks ayat. Kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah sebagai
maf’ūl bih yaitu isim manṣūb yang menjadi sasaran perbuatan atau objek (Zaairul
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 16 | P a g e
Haq dan Fatimah, 2014: 143). Selain itu, makna ini diperkuat dengan ayat
sebelumnya (Q.S. An-Nisā’ [4]: 77-78).
20. Q.S. Al-Aḥżāb [33] Ayat 53
�� ��� � �� ٱ �
� ���ت �
�ا
���
�
�
� ��� ٱءا���ا
�
�
ن
ذن ��
أ �إ�
� ����
ا د
�� إذ
�� و�
���� إ�
� �
� ���� �إ�
�ا
��
ا د
�ذ
�
����� ��
وا �
��
���
��� ����� و� �
�
�� إن
�
ن
�
ذي ���� ٱ��
����
� و ۦ�
ٱ���
��
����
� ٱ�� ۦ� �
ا ��ذ
�� ��
�� ��
��� �
�� ���
� أ
��
ء ���ب� �
�� �� ورا
��
�
ر��لوا
ذ�ن �
� أ
�
�
ن
و�� � �����
�� و�
���
� ٱ ��
�ن �
أ و�
ز��� أ
����ا
ۥ� ۦ �� ���ه
� ���
ن
� �
��
�
� ٱ��� إن
��
������ Makna kata ḥadīṡ dalam ayat ini adalah “percakapan” yaitu percakapan
yang diperpanjang dan tidak perlu untuk dibahas dalam konteks menghadiri
undangan sehingga mengganggu tuan rumah. Makna ini muncul dipengaruhi oleh
konteks situasi (as-Siyāq al-Mawqif) dan konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi)
karena berada dalam konteks ayat yang melarang untuk memasuki rumah Nabi
saw. tanpa izin. Hal ini disebabkan mereka biasa masuk rumah tanpa izin pada
zaman jahiliah dan permulaan Islam.
Kata Ḥadīṡ dan Turunannya yang Bermakna “Buah Tutur”
21. Q.S. Al-Mu’minūn [23] Ayat 44
��� ����
��� ��ه
��
� ��
ر����
� ��
ء أ
�� ��
� � �
�
� ��
�� ر��
ر��
أ
�
��� �����
��د��
��� أ
و���
���ن
��
�� ��
�ا �
���
�
� Makna kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah “buah tutur” yaitu bahan
sebut-sebutan orang yang berkaitan dengan sebab dan akibat perbuatan mereka.
Mereka dalam konteks ayat ini adalah orang-orang yang mendustakan Rasul.
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 17 | P a g e
Makna ini muncul dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu
berkaitan dengan kedudukan kata ḥadīṡ dalam ayat ini sebagai maf’ūl bih yaitu
isim manṣūb yang menjadi sasaran perbuatan atau biasa disebut objek. Selain itu,
makna ini dipengaruhi oleh konteks situasi (al-Siyāq al-Mawqif) yaitu lingkungan
penggunaan bahasa karena ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang
mendustakan Rasul yaitu orang-orang yang menolak kebenaran hakiki sehingga
Allah SWT timpakan azab kepada mereka baik berupa banjir, tanah longsor,
ditenggelamkan, dan bermacam-macam bentuk azab lainnya. Lalu Allah SWT
jadikan mereka beserta segenap perbuatannya sebagai bahan tutur bagi generasi
setelahnya baik sebagai peringatan maupun sebagai pengajaran serta untuk
merendahkan kedudukan mereka karena mereka telah menolak kebenaran hakiki.
22. Q.S. Sabā’ [34] Ayat 19
�ا
��
�� ���
��
أ
��ا
�
� و�
�ر�
��
أ
��� ر���� ��� �����
�
��د�� أ
�
� �
��
��
� �
�ق� إن ����
� � ���
و����
�ر \��� �
�ار �
Makna kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah buah tutur yaitu mengenai
tindakan kaum Saba’ yang telah berbuat zalim terhadap diri mereka sendiri dan
tidak bersyukur terhadap segala kenikmatan yang telah Allah berikan serta mereka
meminta bahwa kenikmatan tersebut diganti dengan keburukan. Makna ini
muncul dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu berkaitan
dengan konteks ayat yang berbicara mengenai salah satu bentuk kezaliman kaum
saba’ terhadap diri mereka sendiri yang menginginkan kenikmatan yang telah
diberikan Allah SWT kepada mereka diganti dengan keburukan yaitu meminta
agar Allah menjauhkan jarak perjalanan mereka dari Ma’riba ke Syam yang
dipenuhi dengan gurun pasir yang tandus dan berbagai gangguan.
Kata Ḥadīṡ dan Turunannya yang Bermakna “Perkataan”
23. Q.S. An-Nisā’ [4]: Ayat 87
ٱ�
��م � � إ������� � �
�
�� إ�
إ�
���� ٱ�
ر�� ���� �
�
��
��ق ٱو�� أ
�� �
�����
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 18 | P a g e
Makna kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah perkataan yaitu perkataan
Allah yang menyatakan bahwa Allah SWT pasti akan mengumpulkan seluruh
manusia pada hari kiamat yang tidak ada keraguan mengenai terjadinya. Makna
ini muncul dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) karena kata
ḥadīṡ dalam ayat ini berkedudukan sebagai Tamyīz yakni isim manṣūb yang
berfungsi untuk menghilangkan ketidakjelasan mengenai kata sebelumnya atau
untuk menjelaskan mengenai hitungan atau ukuran isim sebelumnya (Zaairul Haq,
2014: 164). Kemudian diperkuat dengan “perkataan” Allah yang menyatakan
bahwa Allah SWT pasti akan mengumpulkan kamu pada hari Kiamat yang tidak
diragukan terjadinya.
24. Q.S. Al-Jāṡiyāh [45] Ayat 6
��� �
ٱءا�
�� �
��
�� �
��
��
�� � �
ي ����� ��� ���
ٱ�
��
�� ۦوءا�
���ن
�� �
Makna kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah perkataan yaitu perkataan
mana lagi setelah kalam Allah dan ayat-ayat-Nya yang mampu membuat mereka
beriman dan percaya akan kebenaran yang hakiki. Makna ini muncul dipengaruhi
oleh konteks bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu kedudukan ḥadīṡ sebagai
muḍāfun ilaih sedangkan kata اي /ayyu/ sebagai muḍāf-nya dan diperkuat dengan
ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dari Allah SWT
dan pada penciptaan langit dan bumi serta apa yang ada di dalamnya terdapat
tanda-tanda kebenaran dan kebesaran Allah SWT, Sang Pencipta yang Maha
Perkasa.
25. Q.S. Luqmān [31] Ayat 6
ي ���س ٱ و��
��� �� ��
��� ٱ� � ���� ��
� ٱ���
��
�� اب ���� ��
�
���
و�
�و� أ
� �
�
� و�����
�� �
���
Makna kata ḥadīṡ dalam ayat ini adalah perkataan yang sia-sia atau
perkataan yang tidak berguna yaitu semua perkataan yang dapat memalingkan
manusia dari jalan Allah SWT. Makna ini muncul dipengaruhi oleh konteks
bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu kedudukan kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 19 | P a g e
sebagai mudhofun ilaih sementara mudhof-nya adalah kata lahwa. Sehingga
lahwal ḥadīṡ merupakan iḍāfah yang menimbulkan pengertian baru. Selain itu,
makna ini diperkuat oleh konteks situasi (al-Siyāq al-Mawqif) yaitu lingkungan
penggunaan bahasa karena ayat ini menjelaskan bahwa ada manusia yang
mempergunakan perkataan sia-sia untuk memalingkan manusia dari kebenaran
secara tidak bertanggung jawab.
Kata Ḥadīṡ dan Turunannya yang Bermakna “Suatu Peristiwa”
26. Q.S. At-Tahrīm [66] Ayat 3
�� �ذ
ز��� ���� ٱأ
��� أ � ۦإ�
���� ��
ت
���
� � ��
� ۦ�
��ه �
ٱوأ
�� �
���
�� ���ف
� ۥ�� ��
�� ���� �
�
�ض
�
وأ
�� �����
� ۦ�
���
�
�ل
� �
�
ك �
���
� �� أ
��
���� ٱ�
�� ٱ �
� �
Pada konteks ayat ini kata ḥadīṡ bermakna suatu peristiwa yakni kasus
yang terjadi pada diri Nabi Muhammad saw. ketika beliau meneguk madu di
rumah salah seorang istri beliau, Zainab binti Jaḥsyi. Keberadaan beliau disana
dalam waktu yang relatif lama dan dengan jamuan itu menimbulkan kecemburuan
istri beliau yakni ‘Aisyah dan Hafshah, yang keduanya kemudian bersepakat
bahwa bila Nabi saw. datang mengunjungi mereka, maka mereka akan
menyampaikan kepada beliau bahwa ada aroma kurang baik dari mulut beliau,
boleh jadi karena makanan tertentu. Nabi saw. yang masuk ke rumah Hafshah ra.
Dan diberitahu dimikiam, menyatakan bahwa beliau hanya meneguk madu.
Hafshah berkata bahwa boleh jadi lebah madu itu mengisap dari pohon maghfir
yakni sejenis pohon bergetah dan manis tetapi beraroma serupa dengan aroma
minuman keras. Nabi saw. berjanji untuk tidak lagi akan meneguknya. Nabi saw.
juga berpesan agar tidak menyampaikan hal ini kepada ‘Aisyah ra. Tetapi ternyata
Hafshah menyampaikannya sehingga turunlah ayat-ayat surah ini (Shihab, 2003:
313, Vol. 13).
Makna ini muncul dipengaruhi oleh konteks ayat sebelum dan sesudahnya.
Selain itu, makna ini muncul dipengaruhi konteks situasi yaitu berkaitan dengan
sebab turunnya surah ini –sebagaimana yang telah dikemukakan diatas. Makna ini
juga diperkuat oleh konteks kebahasaan (as-Siyāq al-Lughawi). Dalam konteks
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 20 | P a g e
ayat ini kata حدیثا berkedudukan sebagai maf’ūl bih yaitu isim manṣūb yang
menjadi sasaran perbuatan pelaku atau objek (Zaairul dan Sekar, 2014: 143).
Ḥadīṡ dan Turunannya yang Bermakna “Kejadian”
27. Q.S. An-Nisā’ [4] Ayat 42
����� ��� ٱ��د
��
و���ا
�وا
�
ٱ�
ى ��� �����ل ���
� �
ٱ�
�ض
�
���ن
��
ٱو�
�� �
���� �
Makna kata ḥadīṡ dalam konteks ayat ini adalah “kejadian”. Makna ini
muncul dipengaruhi oleh konteks bahasa (al-siyāq al-lughawi) yaitu makna yang
dihasilkan dari penggunaan kata dalam konteks ayat yang tersusun dengan kata-
kata lainnya. Dalam konteks ayat ini kata ḥadīṡ berkedudukan sebagai maf’ūl bih
yaitu isim manṣūb yang menjadi sasaran perbuatan pelaku atau objek. Makna ini
juga dipengaruhi oleh konteks situasi (as-Siyāq al-Mawqif) yaitu lingkungan
penggunaan bahasa karena ayat ini berbicara tentang keadaan orang-orang kafir
dan orang-orang yang mendustai Rasul bahwa mereka amat berputus asa dan
menyesali perbuatan mereka ketika berada di dunia. Hal ini dibuktikan dengan
keinginan mereka “sekiranya mereka bisa disamaratakan dengan tanah” maka
mereka ingin seperti itu saja daripada menerima siksa akibat perbuatan mereka di
dunia. Tapi, “pengandaian” mereka mustahil terjadi. Karena hari itu tidak ada satu
kejadian pun, meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, di tempat yang
gelap gulita tetap semuanya pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.
Kata Ḥadīṡ dan Turunannya yang Bermakna “Cerita”
28. Q.S. Aż-Żāriyāt [51] Ayat 24
����
�
�� إ����� �
�
��� ٱ����
��
� �
Makna ḥadīṡ dalam ayat ini adalah cerita mengenai tamu-tamu Ibrāhīm
(malaikat-malaikat) yang dimuliakan. Makna ini muncul dipengaruhi oleh konteks
bahasa (al-Siyāq al-Lughawi) yaitu berkaitan dengan konteks ayat yang
menceritakan malaikat-malaikat yang bertamu ke rumah Ibrāhīm dan memberikan
kabar gembira kepadanya dengan kelahiran seorang anak yang alim yaitu Ishaq
padahal saat itu istrinya sedang mandul begitu pula peristiwa-peristiwa dahsyat
lainnya yang diceritakan oleh tamu Ibrāhīm tersebut yang menunjukkan Kuasa-
Nya, meskipun dalam daya pikir manusia adalah peristiwa yang irasional. Makna
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 21 | P a g e
ini juga dipengaruhi oleh konteks situasi (al-Siyāq al-Mawqif) yaitu lingkungan
penggunaan bahasa karena ayat ini menjelaskan kepada Nabi Muhammad
mengenai cerita tamu-tamu Ibrāhīm yaitu malaikat-malaikat yang dimuliakan.
KESMIPULAN
Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa makna kontekstual kata
ḥadīṡ dan turunannya dalam Al-Qur’an ditemukan sebanyak 18 makna yaitu:
1. kisah tentang Nabi Mūsā.; Dia menerima wahyu dari Allah: 1 (Satu)
2. kisah tentang Nabi Mūsā As. dan Fir’aun: 1 (Satu)
3. Al-Qur’an: 7 (Tujuh)
4. “Suatu peristiwa” yakni kasus yang terjadi pada diri Nabi Muhammad saw.
ketika beliau meneguk madu di rumah salah seorang istri beliau, Zainab
binti Jaḥsyi: 1 (Satu)
5. “Kejadian” yaitu segenap kejadian yang dilakukan manusia ketika berada di
dunia: 1 (Satu)
6. “Cerita” mengenai tamu-tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang
dimuliakan: 1 (Satu)
7. “Percakapan” yaitu percakapan yang diperpanjang dan tidak perlu untuk
dibahas dalam konteks menghadiri undangan sehingga mengganggu tuan
rumah: 1 (Satu)
8. “Perkataan yang sia-sia” atau perkataan yang tidak berguna yaitu semua
perkataan yang dapat memalingkan manusia dari jalan Allah SWT: 1 (Satu)
9. Berita (yang besar) tentang hari kiamat: 2 (Dua)
10. “Berita (mengenai) kaum-kaum penentang” (yaitu kaum) Fir´aun dan
(kaum) Ṣamūd: 1 (Satu)
11. Berita selain al-Qur’an: 1 (Satu)
12. “Takwil mimpi” yaitu penafsiran yang akan terjadi di dunia nyata terkait
apa yang diimpikan: 3 (Tiga)
13. “Pembicaraan” yaitu pembicaraan yang tidak bertentangan dengan nilai-
nilai Islam: 2 (Dua)
14. “Pembicaraan” yakni penjelasan-penjelasan yang selama ini telah
disampaikan oleh Rasulullah saw. terutama terkait kematian pasti akan
menimpa setiap makhluk yang bernyawa: 1 (Satu)
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 22 | P a g e
15. “Buah tutur” yaitu bahan sebut-sebutan orang yang berkaitan dengan sebab
dan akibat perbuatan mereka. “Mereka” dalam konteks ayat ini adalah
orang-orang yang mendustakan Rasul: 1 (Satu)
16. “Buah tutur” yaitu mengenai tindakan kaum Saba’ yang telah berbuat zalim
terhadap diri mereka sendiri dan tidak bersyukur terhadap segala
kenikmatan yang telah Allah berikan serta mereka meminta bahwa
kenikmatan tersebut diganti dengan keburukan: 1 (Satu)
17. “Perkataan” yaitu perkataan Allah yang menyatakan bahwa Allah SWT
pasti akan mengumpulkan seluruh manusia pada hari kiamat yang tidak ada
keraguan mengenai terjadinya: 1 (Satu)
18. “Perkataan” yaitu perkataan mana lagi setelah kalam Allah dan ayat-ayat-
Nya yang mampu membuat mereka beriman dan percaya akan kebenaran
yang hakiki: 1 (Satu)
Sedangkan konteks yang mempengaruhi makna kata ḥadīṡ dan turunannya
dalam Al-Qur’an adalah:
1. Konteks bahasa (as-Siyāq al-Lughawi): 28 (Dua Puluh Delapan)
2. Konteks Situasi (as-Siyāq al-Mawqif): 28 (Dua Puluh Delapan)
SARAN
Analisis makna kontekstual kata merupakan salah satu upaya untuk
menelusuri secara lebih dalam dan lebih luas isi kandungan makna kata tersebut
sehingga pemaknaan secara holistik dan radiks dapat ditangkap kemudian menjadi
konsep yang utuh untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penulis berharap
penelitian mengenai makna kata dapat terus digencarkan terutama bagi penggiat
bahasa khususnya oleh mahasiswa/i program studi Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. 1984. Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa.
Al-Dayah, Fayiz. 1996. ‘Ilmu al-Dalālah al-‘Arabiy baina an-Nazhariyah wa al-Tathbiq. Lebanon: Darul Fikri al-Mu’ashir.
Al-Farāhīdī, Al-Kholil Ibn Aḥmad. 2003. Kitāb al-‘Aīn. Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 23 | P a g e
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. 1963. Al-Sunnah Qabl al-Tadwin. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Khuli, Muhammad Ali. 1982. Asālib Tadris al-Lughah al-‘Arabiyah. Riyadh: Al-Mamlakah Al-Arabiyyah al-Su’udiyah.
Aminuddin. 1998. Semantilk Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Bandung.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 2000. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3 (Surah Al-Isra’-Yāsin). Penerj. Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press.
_________. 2000. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4. Penerj. Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press.
Az-Zuhaily, Wahbah. 1481 H. Tafsir Al-Munir. Cet. Ke-2. Beirut: Dar Al-Fikr.
Basyir, Hikmat dkk. 2016. Tafsir Muyassar 2: Memahami Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Penafsiran Paling Mudah. Jakarta: Darul Haq.
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta.
_________.2013. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantik I; Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Eresco.
_________.1999. Semantik 2; Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama..
Depdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdikbud. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia V (daring).
Fairūz Ābādī, Majduddīn. 2008. Al-Qāmūs Al-Muḥīṭ. Kairo: Dār al-Ḥadīṡ.
Haidar, Farīd ‘Awaḍ. 2005. ‘Ilm al-Dalālah; Dirāsah Naẓariyyah wa Taṭbiqiyyah. Kairo: Maktabah al-Ādāb.
Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks dan Teks. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hamid, Abdul. 2017. Pengantar Studi Al-Qur’an. Cet. Ke-2. Jakarta: Kencana.
Haq, Thoriqul. 2013. Rasionalisasi Tuhan; Membaca Allah dengan Semantik. Cet. Ke-2. Surabaya: Imtiyaz.
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 24 | P a g e
Ibn Manzhūr, Abū ‘al-Fadl Jamāl al-Dīn Muhammad Ibn al-Makram. 1990. Lisān al-‘Arab. Beirūt: Dār Ṣādir.
Ibrāhīm al-Sayyid, Shabri. 1995. ‘Ilmu al-Dilālah Itharun Jadīd. Iskandariyyah: Darul Ma’rifah al-Jami’ah.
Ibrāhīm, Rajab Abd. Al-Jawwād. 2001. Dirāsāt fī al-Dilālah wa al-Mu’jam. Kairo: Dār al-Fikr al-‘Araby.
Izutsu, Thoshihiko. 1997. Relasi Tuhan dan Manusia (Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an). Penj. Agus Husein Fahri, dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Izutsu, Thoshihiko. 1993. Etika Beragama Dalam Al-Qur’an .Penj. Mansuruddin Djoely. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Mahyar, Zikri. 2007. Analisis Makna Kata ر الذك /Aż-Żikru/ dalam Al-Qur’an Al-
Karim. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Marzuki Mustamar. Ilmu Bahasa dan Sastra. Lingua Jurnal Terakreditasi: 88/dikti/kep.
Matsna, Moh. 2016. Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer. Jakarta: Prenamedia Grup.
Mubarok, Ahmad Zaki. 2007. Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur. Yogyakarta: Elsaq Press.
Munawwir, A.W. 1997. Kamus Al-Munawwir. Cet. Ke-14. Yogyakarta: Progressif.
Nasim ‘Aun. 2005. Al-Alsuniyyah Muhādharāt fi ‘ilm al-Dilālah. Beirut: Dār al-Farābī.
Nawawi, Hadari dan Mimi Martini. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Parera, J.D. 2014. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Saragih, Amrin. 2006. Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik Terhadap Tata Bahasa dan Wacana. Medan: Program Pascasarjana UNIMED.
Artikel Ilmiah Mhs FIB Universitas Jambi 25 | P a g e
Saleh, A. Syukri. 2007. Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jambi: Sulthan Thaha Press.
Setiawan, M. Nur Kholis. 2006. Al-Qur’an: Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: Elsaq Press.
Shihab, M. Quraish. 2008. Tafsir Al-Miṣbah. Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Vol. 2. Tangerang: Lentera Hati.
_________. 2008. Tafsir Al-Miṣbah. Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Vol. 8. Cet. IX. Jakarta: Lentera Hati.
_________. 2008. Tafsir Al-Miṣbah. Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Vol. 13. Cet. IX. Jakarta: Lentera Hati.
_________. 2002. Tafsir Al-Miṣbah. Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Vol. 14. Jakarta: Lentera Hati.
_________. 2002. Tafsir Al-Miṣbah. Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Vol. 15. Jakarta: Lentera Hati.
Sudaryat, Yayat. 2009. Makna dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.
Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Cet. Ke-25. Bandung: Alfabeta.
Susanto, Ahmadi Eko. 2017. Makna Kata “Ḥadīṡ” dalam Al-Qur’an Al-Karin (Analisis Semantik). Skripsi. Fakultas Adab. UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wahyudi, Chafid. 2002. Pandangan Dunia al-Qur’an Tentang Taubah, Aplikasi Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an. Skripsi. Yogjakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Yayasan Penerjemah Al-Qur’an. 2002. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya Departemen Agama RI. Semarang: Karya Toha Putra.
Zaairul Haq, M dan Sekar Dina Fatimah. 2014. Buku Pintar Nahwu. Yogyakarta: Diva Press.
‘Umar, Ahmad Mukhtar. 1988. ‘Ilm al-Dalālah. Kuwait: Maktabah Dār al-Urūbah Linnasyr wa Tauzi’.