Artikel API

24
“API Dalam Tungku Perekonomian Indonesia” Oleh : Widy Taurus Sandy, SE 1 Industri perbankan merupakan industri yang memiliki peran sentral sebagai tulang punggung perekonomian di Indonesia. Secara historis, pertumbuhan perekonomian di Indonesia masih sangat tergantung kepada industri perbankan sebagai sumber pembiayaannya sehingga dapat dikatakan bahwa perekonomian Indonesia berbentuk Bank-based Economy. Eksistensi perbankan yang sentral tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi perekonomian secara makro. Berdasarkan paradigma tersebut maka Bank Indonesia mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sebagai sebuah instrumen guide-line yang terstruktur dalam membangun fundamental perbankan yang sehat dan kuat. Tantangan Perbankan Nasional Ke Depan Kondisi lemahnya fundamental perbankan yang mengakibatkan terpuruknya perekonomian nasional dapat ditunjukkan oleh perekonomian Indonesia saat mengalami krisis keuangan pada tahun 1997 – 1998. Bukti empiris 1 Penulis adalah Pengamat Perbankan Nasional, Pengajar di Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI) dan Peneliti di Pusat Pengkajian Ekonomi dan Sosial (PPES)

Transcript of Artikel API

Page 1: Artikel API

“API Dalam Tungku Perekonomian Indonesia”Oleh : Widy Taurus Sandy, SE1

Industri perbankan merupakan industri yang memiliki peran sentral

sebagai tulang punggung perekonomian di Indonesia. Secara historis,

pertumbuhan perekonomian di Indonesia masih sangat tergantung kepada industri

perbankan sebagai sumber pembiayaannya sehingga dapat dikatakan bahwa

perekonomian Indonesia berbentuk Bank-based Economy. Eksistensi perbankan

yang sentral tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi perekonomian

secara makro. Berdasarkan paradigma tersebut maka Bank Indonesia

mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sebagai sebuah instrumen

guide-line yang terstruktur dalam membangun fundamental perbankan yang sehat

dan kuat.

Tantangan Perbankan Nasional Ke Depan

Kondisi lemahnya fundamental perbankan yang mengakibatkan

terpuruknya perekonomian nasional dapat ditunjukkan oleh perekonomian

Indonesia saat mengalami krisis keuangan pada tahun 1997 – 1998. Bukti empiris

pada saat itu menunjukkan tuntutan terhadap sehat dan kuatnya industri perbankan

nasional dalam mendukung keberhasilan kebijakan makro dalam perekonomian

nasional. Peristiwa tersebut menggugah para analis ekonomi bahwa sehat dan

kuatnya sektor perbankan bukanlah “taken from granted” dari tersedianya sistim

perekonomian nasional. Kondisi tersebut menguatkan posisi peran perbankan

yang sehat terhadap fundamental perekonomian nasional.

Paradigma pembangunan yang baru mengenai posisis sentral perbankan

yang sehat dan kuat dalam perekonomian nasional sebenarnya merupakan suatu

1 Penulis adalah Pengamat Perbankan Nasional, Pengajar di Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI) dan Peneliti di Pusat Pengkajian Ekonomi dan Sosial (PPES)

Page 2: Artikel API

kajian yang sering dikupas dalam beberapa penelitian International Monetary

Fund (IMF) sebelum krisis moneter di Asia berkecamuk. Kajian taktis ini terlihat

dari formulasi tentang “empat prinsip” yang harus dipegang oleh setiap

perekonomian guna tumbuhnya perbankan yang sehat. Prinsip-prinsip itu

meliputi: pertama, kesehatan suatu bank pada hakikatnya adalah tanggung jawab

pemilik dan pengelola bank sedangkan kesehatan sistim perbankan merupakan

perhatian kebijakan publik. Kedua, kesehatan perbankan terkait erat dengan

efektivitas kebijakan ekonomi makro. Ketiga, suatu kerangka perbankan yang

sehat harus menyangkut struktur yang mendukung disiplin sistim kerja baik

disiplin internal bank, disiplin pasar maupun pengaturan dan supervisi perbankan.

Keempat, kerjasama dan koordinansi internansional dapat memainkan peran yang

penting dalam memperkuat sistim keuangan dunia maupun perbankan nasional.

Berdasarkan ke-empat prinsip tersebut di atas, sektor perbankan sebagai

aktualisasi ekonomi mikro menjadi konduktor bagi arus ekonomi secara makro.

Konsekuensi logisnya adalah eksistensi perbankan harus sehat dan kuat. Adapun

kondisi perbankan yang sehat dalam hal ini adalah menyangkut: permodalan,

manajemen dan kegiatan (sesuai dengan peraturan dan pengawasan perbankan

yang berlaku), pengaturan dan pengawasan yang efektif oleh lembaga independen,

adanya kelembagaan yang mendukung perbankan selain lembaga pengawas, serta

adanya kerjasama maupun koordinasi dengan organisasi perbankan internasional

lainnya. Beberapa kondisi ideal perbankan yang sehat tersebut mengindikasikan

bahwasannya perbankan yang sehat, bukan hanya dalam konteks manajemen

(mikro) tetapi juga termasuk pengawasan dan pengaturan bank serta kelembagaan

penunjangnya. Kelembagaan tersebut tidak hanya dalam lingkup dalam negeri,

tetapi juga diharapkan mampu untuk menembus pasar luar negeri serta mampu

Page 3: Artikel API

berjalan secara efektif. Dengan kata lain, kondisi perbankan yang sehat dan kuat

secara mikro dan makro dapat dijadikan sasaran kebijakan moneter guna

mempertahankan kestabilan moneter. Bahkan, kondisi tersebut dapat diekspansi

untuk mengelola ekonomi makro dalam konteks pemicu pertumbuhan ekonomi

dan penyediaan lapangan kerja sebagai wujud riil pembangunan ekonomi modern.

API Sebagai Aksi Preventif

Berdasarkan beberapa tantangan perbankan nasional yang sehat dan

eksistensi perbankan yang penting dalam perekonomian Indonesia yang berbentuk

Bank-based Economy, maka perekonomian kita memerlukan perbankan dengan

laju pertumbuhan kredit yang tinggi agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang

tinggi pula. Oleh karena itu, pemerintah melalui otoritas moneternya memerlukan

sebuah sistim perbankan yang memiliki proses yang terstruktur, jelas, terukur, dan

dapat dicapai. Kebijakan perbankan yang diambil diharapkan tidak lagi hanya

terbatas pada pemberian bantuan likuiditas seperti halnya BLBI yang pernah

dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor perbankan dapat dikatakan

solvable bila memiliki penguatan modal yang dapat dilakukan melalui program

rekapitulasi. Selain masalah solvability tersebut, perbankan juga harus melakukan

restrukturisasi dalam kegiatan operasionalnya (Operational Restructuring)

sehingga dapat mencapai economic of scale yang lebih baik agar mendapatkan

profit yang lebih besar lagi.

Pemenuhan solvabilitas perbankan secara otomatis akan menuntut

penyaluran kredit yang tepat sasaran guna memenuhi peran perbankan sebagai

lembaga perantara keuangan dalam sistim perekonomian. Akan tetapi,

pertentangan tuntutan kepentingan dari sektor perbankan sendiri berbeda dengan

kepentingan sektor riil. Secara historis, pemberian suku bunga yang tinggi untuk

Page 4: Artikel API

mempertahankan nilai tukar dan mendorong kegiatan ekonomi justru malah

menghambat proses restrukturisasi perbankan seperti yang terjadi saat awal krisis

moneter di Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor riil yang menuntut pemberian

suku bunga pinjaman perbankan yang rendah dengan penyediaan kredit yang

meningkat. Pada posisi seperti ini, sektor perbankan mengalami masalah yang

dilematis untuk mencapai keseimbangan antara mendorong kesehatan perbankan

atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan perbankan untuk mengatasi permasalahan dilematis sektor

perbankan seringkali dilandasi oleh kekeliruan paradigma dan juga pertimbangan

politis. Keputusan tersebut justru akhirnya mengakibatkan permasalahan tersebut

semakin ruwet dan sulit diuraikan pokok permasalahannya. Padahal,

restrukturisasi perbankan yang sehat juga memerlukan perbaikan pengaturan dan

pengawasan perbankan, perbaikan kelembagaan pendukung, perbaikan hukum

dan peradilan, Good Governance maupun aspek transparansi dalam kebijakan

publik terkait dengan perbankan nasional dan juga perekonomian nasional.

Beberapa acuan standar kesehatan perbankan mengarah pada standar-

standar penilaian yang tercantum dalam Financial Sector Assessment Program

(FSAP) yang dibentuk oleh International Monetary Fund (IMF) dan juga dalam

Core Principles for Effective Banking Supervision yang dibentuk oleh Basel

Committee yang lebih dikenal dengan The 25 Basel Core Principles for Effective

Banking Supervision maupun amandemen baru yang dinkenal dengan nama Basel

Accord II. Standar-standar tersebut sebenarnya lebih ditekankan pada peningkatan

pengaturan dan pengawasan perbankan. Adapun beberapa fokus tersebut meliputi:

pertama, pentingnya sistim klasifikasi kredit dan ketentuan tentang penyisihan

cadangan (provisioning) dalam pengawasan bank. Pengalaman krisis

Page 5: Artikel API

menunjukkan bahwa bank-bank yang memenuhi ketentuan permodalan standar

internansionalpun dapat mengalami masalah likuiditas dan solvabilitas. Beberapa

studi setelah krisis menunjukkan bahwa masalah likuiditas dan solvabilitas terjadi

karena permodalan bank ternyata dinilai terlalu tinggi. Selain itu, masalah tersebut

juga disebabkan karena kurang ketatnya monitoring terhadap besarnya kredit

bermasalah dan macet (Non Performing Loans) sehingga konsekuensi logis yang

menjadi implikasinya adalah penyisihan cadangannya tidak mencukupi untuk

pengembangan permodalannya. Kedua, bentuk kredit dalam mata uang asing

merupakan relevansi yang rawan antara gejolak nilai tukar dan kelemahan sektor

keuangan. Pengalaman krisis menunjukkan bahwa pinjaman dalam valas kepada

nasabah domestik oleh perbankan nasional dapat menggoyahkan kestabilan

industri perbankan. Hal ini karena lemahnya monitoring dan pengendalian kredit

dalam valas tersebut. Ketiga, pengelolaan risiko illiquidity bank. Fokus ini lebih

dikarenakan operasi bank yang pada dasarnya berkaitan dengan transformasi saat

jatuh tempo (maturity transformation) dari kewajiban jangka pendek bank

(deposito) menjadi aset yang berjangka panjang (kredit). Aspek ketiga ini bisa

dikatakan mengarah kepada manajemen likuiditas sehingga aspek ini sangat vital

bagi bank development. Bahkan hal ini dan kegiatan bank yang dasarnya

kepercayaan masyarakat dengan kondisi informasi yang tidak simetris antara bank

dan nasabah sebenarnya yang menjadi dasar legitimasi pengaturan dan

pengawasan terhadap operasi bank oleh otoritas pengaturan dan pengawasan bank

sehingga secara tidak langsung juga dapat berfungsi untuk melindungi konsumen.

Keempat, perlu adanya kerangka dasar pengaturan tentang kebijakan likuiditas

menghadapi kondisi distress bank, baik secara individu maupun sistemik. Ini

berkaitan dengan fungsi bank sentral sebagai Lender of The Last Resort (Penyedia

Page 6: Artikel API

Likuiditas Terakhir). Mengingat kontroversi yang berkepanjangan dengan segala

implikasinya dari masalah BLBI ketentuan mengenai hal ini sangat penting untuk

masa depan.

Kondisi-kondisi tersebut merupakan masalah-masalah pokok yang

seringkali menghambat proses-proses penyehatan perbankan di Indonesia selama

ini. Oleh karena itu Bank Indonesia mencoba meminimalisir hambatan-hambatan

tersebut dengan mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang

dilaksanakan secara terstruktur, bertahap, jelas dan terukur. Keberadaan API

sebagai suatu guide-line perbankan nasional diharapkan mampu mengantisipasi

segala masalah yang mungkin muncul sebagai akibat dari system-error secara

mikro maupun makro. Upaya preventif ini menimbulkan pro dan kontra yang

membangun setiap pilar-pilar yang digunakan dalam API sehingga diharapkan

dapat mencapai penerjemahan yang lebih lengkap agar lebih aplikatif serta

berguna baik bagi sektor perbankan maupun perekonomian nasional.

Enam Pilar API

Berdasarkan fenomena tuntutan perbankan dan beberapa pengalaman historis

yang melatarbelakangi perjalan perbankan nasional maka Bank Indonesia mencoba

membangun pondasi perbankan nasional yang kokoh, kuat dan sehat. Sistim

perbankan yang sehat dibagun berdasarkan permodalan yang kuat sehingga dapat

mendorong kepercayaan nasabah, yang selanjutnya akan mampu memberikan

kekuatan bagi bank untuk memperkuat modalnya melalui pemupukan laba ditahan.

API sendiri menghendaki pada 10 sampai 15 tahun ke depan, perbankan Indonesia

memiliki 2 sampai 3 bank dengan skala Bank Internasional, 3 sampai 5 Bank

Nasional, 30 sampai 50 Bank dengan kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha

tertentu dan BPR serta bank dengan kegiatan usaha terbatas.

Page 7: Artikel API

Guna mendukung terciptanya visi-visi API tersebut, maka Bank Indonesia

mencoba mengaplikasikannya melalui sebuah Guide-line yang berwujud enam pilar

API. Adapun ke-enam pilar tersebut antara lain adalah: Pilar Pertama, Struktur

perbankan yang sehat. Salah satu cara membangun pilar pertama ini yaitu dengan

memperkuat permodalan bank-bank. Bank-bank umum (konvensional dan syariah).

Artinya, bank-bank yang memiliki permodalan dibawah 100 miliar Rupiah harus

ditingkatkan sehingga permodalan bagi industri perbankan harus minimum 100 miliar

Rupiah. Modal minimum 100 miliar Rupiah tersebut merupakan kebutuhan minimum

bagi suatu bank untuk dapat menjalankan usahanya dengan baik. Dengan modal

dibawah 100 miliar Rupiah sangat sulit bagi bank untuk mendukung pertumbuhan

kredit yang tinggi karena modalnya terbatas. Selain itu, dengan modal yang kecil

dirasakan cukup sulit bagi suatu bank untuk meningkatkan skala usaha maupun skill

level yang dimiliki serta mengatasi risko-risiko yang dihadapi.

Diharapkan, pada tahun 2011 nanti semua bank umum yang beroperasi di

Indonesia telah memiliki modal minimum sebesar 100 miliar Rupiah. Disamping

memperkuat permodalan, struktur perbankan yang kuat juga dibangun dengan

meningkatkan peran serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam peta perbankan

nasional. Hal ini dikarenakan BPR yang kuat dan kokoh dianggap mampu untuk

melayani lapisan masyarakat di daerah pedesaan atau terpencil khususnya yang tidak

terjamah oleh pelayanan bank-bank umum. Oleh karena itu, daya saing BPR akan

terus ditingkatkan antara lain dengan memberikan kemudahan pembukaan kantor

cabang BPR sehingga BPR akan mampu bersaing dengan bank-bank umum yang

memiliki cabang-cabang di wilayah pedesaan. Selain itu, untuk memperkuat daya

saing BPR, maka BPR perlu meningkatkan efisiensi dalam melakukan kegiatan

operasional usahanya. Upaya tersebut dapat dilakukan oleh BPR melalui kerjasama

dengan BPR-BPR lain untuk menggunakan fasilitas back office secara bersama-sama

Page 8: Artikel API

diantara BPR tersebut, sehingga mereka bisa beroperasi secara efisien dengan

menekan overhead cost-nya. Secara makro, persyaratan modal minimum tersebut

juga berdampak pada kondisi pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5% sampai 6% setiap tahun diperlukan

dukungan kredit perbankan sebesar 22% per-tahunnya.

Pilar Kedua, Sistem pengaturan perbankan yang efektif. Guna membangun

industri perbankan yang kuat harus disertai dengan pembenahan pada sistem

pengaturan perbankan yang telah ada. Perbaikan proses penyusunan peraturan dan

ketentuan perbankan dilakukan dengan lebih banyak melibatkan para stakeholders

perbankan dalam proses penyusunannya sehingga peraturan yang dibuat akan selalu

memperhatikan kemampuan stakeholders. Selanjutnya, best practices ketentuan

perbankan yang bersifat internasional yang dikenal dengan 25 Basel Core Principles

for Effective Banking Supervision akan terus diimplementasikan secara bertahap

dalam jangka panjang. Dengan penerapan 25 Basel Core Principles fo Effective

Banking Supervision maupun ketentuan best practices laiinya seperti the New Basel

Accord (Basel II) diharapkan praktek penyelenggaraan perbankan nasional kita telah

memiliki standar yang sama dengan bank-bank yang ada di luar negeri, sehingga

tingkat kepercayaan masyarakat internasional terhadap industri perbankan nasional

akan semakin meningkat.

Pilar Ketiga, pengawasan bank yang independen dan efektif. Pengawasan

yang independen dan efektif sangat diperlukan baik untuk saat ini maupun jangka

panjang sebagai jawaban atas meningkatnya kegiatan usaha maupun kompleksitas

risiko yang dihadapi oleh perbankan. Bank-bank tidak lagi hanya menjual produk dan

jasa perbankan saja, melainkan juga produk-produk keuangan lainnya seperti

misalnya asuransi (bancassurance), assetbacked securities (efek beragun aset) dan

reksadana sehingga sehingga diperlukan pengawasan yang lebih kompleks dan rumit.

Page 9: Artikel API

Oleh karena itu, Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank akan

menyempurnakan sistem pengawasan bank dengan terus mengembangkan metode

pengawasan bank yang berbasis pada risiko (risk-based supervision) serta melakukan

konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia. Selain untuk

meningkakan efektivitas pengawasan, konsolidasi organisasi pengawasan bank yang

ada di Bank Indonesia juga ditujukan untuk memperkuat pelaksanaan enforcement

atas ketentuan dan kebijakan perbankan yang telah dibuat oleh Bank Indonesia.

Pilar Keempat, Kualitas manajemen dan operasional perbankan.. Peningkatan

kualitas manajemen bank diperlukan untuk meningkatkan good corporate governance

dari manajemen bank itu sendiri, sehingga praktek-praktek perbankan yang tidak

sehat (improper behaviour) dapat diminimalisir atau dihilangkan. Selanjutnya

peningkatan kualitas manajemen bank juga diperlukan untuk memperkecil terjadinya

risiko-risiko bank khususnya operational risk. Disamping perlunya kualitas

manajemen yang baik, fundamental perbankan kita juga perlu didukung dengan

adanya operasional perbankan yang efisien. Kinerja bank yang efisien memungkinkan

bank-bank untuk menekan biaya serendah mungkin sehingga bank tersebut mampu

meningkatkan profitabilitasnya. Untuk itu API telah merekomendasikan bank-bank

untuk memanfaatkan pemakaian fasilitas operasional perbankan secara bersama-sama

(shared facilities) seperti misalnya pemakaian ATMs dan back office, sehingga bank-

bank dapat mencapai economies of scales yang pada akhirnya dapat lebih

mengoptimalkan profit yang didapat.

Pilar Kelima, Infrastruktur pendukung. Kehadiran infrastruktur pendukung

perbankan sangat dibutuhkan untuk menunjang industri perbankan yang kuat.

Prioritas infrasturktur pendukung yang riil adalah tersedianya credit bureau yang

sangat dibutuhkan oleh perbankan untuk memperbaiki dan mempercepat proses

pemberian kredit dari bank kepada debiturnya. Konsep credit bureau disini adalah

Page 10: Artikel API

tersedianya data historis kondisi keuangan calon debitur sehingga bank memiliki

kapasitas untuk meningkatkan kualitas kredit sekaligus mengurangi potensi risiko

kredit yang akan muncul. Disamping itu, konsep credit bureau tersebut

memungkinkan terjadi clearing informasi diantara semua lembaga keuangan bank

termasuk BPR maupun bukan lembaga keuangan bukan serta sektor ritel sehingga

seseorang yang pernah memiliki kredit macet di perusahaan leasing akan sulit

memperoleh kredit dari suatu bank.

Pilar Keenam, perlindungan konsumen perbankan. Pilar ini merupakan salah

satu permasalahan yang sampai saat ini belum mendapatkan tempat yang baik di

dalam sistem perbankan nasional. Seringkali kita melihat bahwa nasabah selalu lemah

atau pada posisi yang kurang diuntungkan apabila terjadi kasus-kasus perselisihan

antara bank dengan nasabahnya, sehingga nasabah dirugikan. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, perbankan bersama-sama dengan masyarakat akan memiliki

beberapa agenda yang bertujuan untuk memperkuat perlindungan konsumen. Agenda

tersebut adalah dengan menyusun mekanisme pengaduan nasabah, membentuk

lembaga mediasi perbankan (ombudsman), meningkatkan transparansi informasi

produk dan melakukan edukasi produk-produk dan jasa bank kepada masyarakat luas.

Celah dalam API

API merupakan sebuah solusi yang dapat memperkokoh fundamental

perbankan di Indonesia. Segala aspek yang terkait dengan permasalahan dan

tantangan perbankan nasional mampu diantisipasi sejak dini melalui penguatan

fundamental perbankan tersebut. Namun seperti halnya sistim yang lain, API juga

memiliki beberapa hal yang dapat menjadi celah dalam pelaksanaannya. Adapun

celah tersebut antara lain adalah: Pertama, kurangnya perhatian terhadap konsep

“Disiplin Pasar”. Konsep API dibangun berdasarkan rekomendasi dari Basle

Committee on Banking Supervision yang menyarankan tiga pilar utama, yaitu

Page 11: Artikel API

persyaratan modal minimum, proses pengawasan, dan persyaratan disiplin pasar.

Secara akademis, keenam pilar API merupakan elaborasi yang cukup mendalam

terhadap dua pilar Komite Basle, yaitu persyaratan modal minimum dan proses

pengawasan. Proses pengawasan bahkan memperoleh porsi yang sangat besar.

Oleh karena itu, proses ini terwakili dalam seluruh program yang terdapat pada

pilar kedua dan ketiga. Pilar keempat pun mengandung unsur proses pengawasan,

seperti persyaratan sertifikasi bagi manajer risiko dan peningkatan Good

Corporate Governance. Bahkan proses pengawasan juga ada pada pilar kelima

melalui pembentukan biro kredit serta pilar keenam melalui mekanisme

pengaduan konsumen dan pembentukan lembaga mediasi perbankan yang

independen. Namun, rekomendasi Komite Basle mengenai persyaratan disiplin

pasar justru kurang terwakili dalam keenam pilar API. Kata "disiplin pasar"

bahkan tidak terwakili secara eksplisit di sana. Padahal, disiplin pasar adalah

sebuah mekanisme yang mampu memaksa manajemen bank mengadopsi prinsip

kehati-hatian walaupun pengawas dari otoritas perbankan sedang lengah. Hal ini

bisa dikarenakan hukuman oleh pasar bisa sangat besar dan merusak kesehatan

bank.

Sebagai contoh, apabila sebuah bank menggunakan manajemen risiko

yang kurang layak maka bank tersebut bisa dihukum dengan tingkat premi risiko

yang lebih tinggi jika Indonesia mempunyai sebuah Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) yang kredibel dalam pemeringkatan manajemen risiko. Akibatnya, bank

tersebut bisa dihukum oleh nasabahnya. Antara lain, mereka bisa saja mulai

mengalihkan simpanannya ke bank lain. Jika bank tersebut sudah Go Public,

kondisi ini bisa menjatuhkan harga saham bank. Konsekuensinya, nilai kecukupan

modal, kesehatan, dan kinerja bank akan merosot. Komisaris dan direksi bank pun

Page 12: Artikel API

secara profesional akan terhukum, baik melalui berkurangnya bonus, rusaknya

reputasi pribadi, maupun kemungkinan diberhentikan sebelum waktunya.

Sayangnya, masalah LPS, premi risiko, lembaga pemeringkat manajemen risiko,

dan berbagai kebutuhan infrastrukturnya kurang dibahas dalam API. Penggunaan

lembaga pemeringkat memang masuk dalam pilar kelima, tapi lebih terfokus pada

obligasi yang diterbitkan bank. Kata LPS bahkan sama sekali tidak muncul,

padahal itu merupakan institusi kunci bagi perbankan Indonesia di masa

mendatang. Hal tersebut membuat konsep pengawasan API terlalu bias ke arah

pengawasan birokratis. Disiplin pasar adalah konsep pengawasan yang melekat

pada diri bank. Karena itu, konsep API sangat harus memasukkan disiplin pasar.

Kedua, persyaratan modal minimum. Persyaratan modal perbankan

sebesar 100 milyar Rupiah memang merupakan sebuah tuntutan yang kondusif

bagi penguatan perbankan nasional. Akan tetapi, beberapa hal tentang modal

minimum ini juga perlu mempertimbangkan “nilai uang” dari 100 milyar Rupiah

tersebut. Hal ini dikarenakan API akan berlangsung pada tahun 2014 sehingga

nilai 100 milyar Rupiah tersebut termasuk dalam nilai uang pada tahun sekarang

ataukah pada tahun 2014 mendatang. Sebab, nilai 100 milyar Rupiah di tahun

2014 bisa jadi tidak mencukupi sebagai nilai minimum permodalan perbankan

nasional mengingat nilai uang yang semakin meningkat setiap tahunnya. Selain

itu, pertimbangan bank-bank yang pada tahun 2014 belum mampu mencukupi

persyaratan tersebut akan diberikan solusi apa? Hal ini pula yang menjadi

pertanyaan dalam persyaratan modal minimum.

Ketiga, porsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ke-enam pilar API masih

belum memberikan deskripsi yang jelas mengenai eksistensi OJK sebagai sebuah

lembaga independen yang mengawasi perbankan Indonesia. Pengalaman beberapa

Page 13: Artikel API

negara lain yang telah menerapkan OJK seperti Australia, Jepang, Inggris dan

Korea Selatan kurang terlihat pada stage awal penerapan penyehatan perbankan.

OJK sebagai suatu sistim kontrol mungkin akan lebih berguna saat sistim sudah

berjalan dengan baik. Selain itu, keberadaan OJK di awal proses restrukturisasi

penyehatan perbankan akan menjadikan potensi konflik dengan Bank Indonesia

sebagai bank sentral yang memiliki fungsi sebagai Lender of The Last Resort.

Jejak Langkah API Dalam Dua Tahun Terakhir

Terlepas dari pro dan kontra, Arsitektur Perbankan Indonesia sebagai

sebuah rancangan bentuk industri perbankan yang ingin dicapai di masa depan

telah memberikan jejak langkah yang jelas dan terarah. Sampai pada tingkat

tertentu yang terukur, ketentuan dan peraturan serta implementasi sendi-sendi

operasional perbankan melalui program API dapat berjalan dengan baik dengan

hasil yang cukup memuaskan dari tahun ke tahun.

Secara umum, beberapa tahun terakhir terlihat bahwa ketahanan industri

perbankan nasional mengalami peningkatan terutama dari sisi permodalan. Hal ini

dapat dilihat melalui nilai CAR industri perbankan saat ini yang berada pada

kisaran 20%, sehingga kemungkinan masih cukup memadai guna menyerap

berbagai risiko yang mungkin timbul. Bentuk riil pencapaian keberhasilan API

dapat dilihat melalui peningkatan peran fungsi intermediasi perbankan dari

berbagai program API seperti lingkage program bank umum dengan BPR, dan

skim penjaminan kredit Askrindo dengan Pemda telah berhasil

diimplementasikan. Sementara itu, peningkatan kualitas SDM perbankan melalui

program sertifikasi manajemen risiko baik bagi manajemen perbankan maupun

para pengawas secara bertahap telah dilaksanakan dan terus semakin meluas.

Page 14: Artikel API

Pencapaian lain yang tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan tugas

pengawasan bank yang secara bertahap mengalami perbaikan-perbaikan dari sisi

kualitas, kedalaman, dan luasnya cakupan pengawasan. Berdasarkan penilaian

terakhir pada bulan Oktober 2005 yang dilakukan oleh Technical Advisor Bank

Indonesia dari FSA menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan Bank Indonesia

terhadap The 25 Basel Core Principles mengalami peningkatan yang signifikan.

11 butir-butir Core Principles yang di waktu lalu secara kualitas tergolong non-

compliant ataupun materially noncompliant saat ini telah membaik dan tergolong

menjadi largely compliant bahkan banyak yang telah tergolong fully compliant.

Secara umum, dalam penggunaan ukuran The 25 Basel Core Principles, 22 butir

principles dalam pengawasan Bank Indonesia kualitasnya telah tergolong

compliant. Dari beberapa principles tersebut, hanya pelaksanaan penilaian risiko

secara terkonsolidasi dan peningkatan akurasi data pengawasan yang masih belum

terlaksana secara optimal. Berdasarkan hasil pencapaian sesingkat ini, maka API

sebagai sebuah konsep relatif lebih komprehensif dan efektif dibandingkan Paket

Kebijakan Ekonomi Pemerintah. Semoga API dapat membakar elemen-elemen

perbankan nasional dalam tungku perekonomian nasional sehingga dapat

menciptakan pilar-pilar besi yang kokoh dan megah sebagai fundamental industri

perbankan di Indonesia.

Daftar Pustaka

Abdullah, Burhanuddin. 2006. Arah Kebijakan Perbankan. www.bexi.co.id

Sugiarto, Agus. 2003. Arsitektur Perbankan Indonesia: Suatu Kebutuhan dan Tantangan Perbankan ke Depan. Kompas. 5 Juni 2003.

____________. 2004. Membangun Fundamental Perbankan Yang Kuat. Media Indonesia, 26 Januari 2004.

www.kompas.co.id. 2004. Api di Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia. Senin, 12 Januari 2004.