Artikel API
-
Upload
pipo-angsyarullah -
Category
Documents
-
view
24 -
download
0
Transcript of Artikel API
“API Dalam Tungku Perekonomian Indonesia”Oleh : Widy Taurus Sandy, SE1
Industri perbankan merupakan industri yang memiliki peran sentral
sebagai tulang punggung perekonomian di Indonesia. Secara historis,
pertumbuhan perekonomian di Indonesia masih sangat tergantung kepada industri
perbankan sebagai sumber pembiayaannya sehingga dapat dikatakan bahwa
perekonomian Indonesia berbentuk Bank-based Economy. Eksistensi perbankan
yang sentral tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kondisi perekonomian
secara makro. Berdasarkan paradigma tersebut maka Bank Indonesia
mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sebagai sebuah instrumen
guide-line yang terstruktur dalam membangun fundamental perbankan yang sehat
dan kuat.
Tantangan Perbankan Nasional Ke Depan
Kondisi lemahnya fundamental perbankan yang mengakibatkan
terpuruknya perekonomian nasional dapat ditunjukkan oleh perekonomian
Indonesia saat mengalami krisis keuangan pada tahun 1997 – 1998. Bukti empiris
pada saat itu menunjukkan tuntutan terhadap sehat dan kuatnya industri perbankan
nasional dalam mendukung keberhasilan kebijakan makro dalam perekonomian
nasional. Peristiwa tersebut menggugah para analis ekonomi bahwa sehat dan
kuatnya sektor perbankan bukanlah “taken from granted” dari tersedianya sistim
perekonomian nasional. Kondisi tersebut menguatkan posisi peran perbankan
yang sehat terhadap fundamental perekonomian nasional.
Paradigma pembangunan yang baru mengenai posisis sentral perbankan
yang sehat dan kuat dalam perekonomian nasional sebenarnya merupakan suatu
1 Penulis adalah Pengamat Perbankan Nasional, Pengajar di Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI) dan Peneliti di Pusat Pengkajian Ekonomi dan Sosial (PPES)
kajian yang sering dikupas dalam beberapa penelitian International Monetary
Fund (IMF) sebelum krisis moneter di Asia berkecamuk. Kajian taktis ini terlihat
dari formulasi tentang “empat prinsip” yang harus dipegang oleh setiap
perekonomian guna tumbuhnya perbankan yang sehat. Prinsip-prinsip itu
meliputi: pertama, kesehatan suatu bank pada hakikatnya adalah tanggung jawab
pemilik dan pengelola bank sedangkan kesehatan sistim perbankan merupakan
perhatian kebijakan publik. Kedua, kesehatan perbankan terkait erat dengan
efektivitas kebijakan ekonomi makro. Ketiga, suatu kerangka perbankan yang
sehat harus menyangkut struktur yang mendukung disiplin sistim kerja baik
disiplin internal bank, disiplin pasar maupun pengaturan dan supervisi perbankan.
Keempat, kerjasama dan koordinansi internansional dapat memainkan peran yang
penting dalam memperkuat sistim keuangan dunia maupun perbankan nasional.
Berdasarkan ke-empat prinsip tersebut di atas, sektor perbankan sebagai
aktualisasi ekonomi mikro menjadi konduktor bagi arus ekonomi secara makro.
Konsekuensi logisnya adalah eksistensi perbankan harus sehat dan kuat. Adapun
kondisi perbankan yang sehat dalam hal ini adalah menyangkut: permodalan,
manajemen dan kegiatan (sesuai dengan peraturan dan pengawasan perbankan
yang berlaku), pengaturan dan pengawasan yang efektif oleh lembaga independen,
adanya kelembagaan yang mendukung perbankan selain lembaga pengawas, serta
adanya kerjasama maupun koordinasi dengan organisasi perbankan internasional
lainnya. Beberapa kondisi ideal perbankan yang sehat tersebut mengindikasikan
bahwasannya perbankan yang sehat, bukan hanya dalam konteks manajemen
(mikro) tetapi juga termasuk pengawasan dan pengaturan bank serta kelembagaan
penunjangnya. Kelembagaan tersebut tidak hanya dalam lingkup dalam negeri,
tetapi juga diharapkan mampu untuk menembus pasar luar negeri serta mampu
berjalan secara efektif. Dengan kata lain, kondisi perbankan yang sehat dan kuat
secara mikro dan makro dapat dijadikan sasaran kebijakan moneter guna
mempertahankan kestabilan moneter. Bahkan, kondisi tersebut dapat diekspansi
untuk mengelola ekonomi makro dalam konteks pemicu pertumbuhan ekonomi
dan penyediaan lapangan kerja sebagai wujud riil pembangunan ekonomi modern.
API Sebagai Aksi Preventif
Berdasarkan beberapa tantangan perbankan nasional yang sehat dan
eksistensi perbankan yang penting dalam perekonomian Indonesia yang berbentuk
Bank-based Economy, maka perekonomian kita memerlukan perbankan dengan
laju pertumbuhan kredit yang tinggi agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang
tinggi pula. Oleh karena itu, pemerintah melalui otoritas moneternya memerlukan
sebuah sistim perbankan yang memiliki proses yang terstruktur, jelas, terukur, dan
dapat dicapai. Kebijakan perbankan yang diambil diharapkan tidak lagi hanya
terbatas pada pemberian bantuan likuiditas seperti halnya BLBI yang pernah
dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor perbankan dapat dikatakan
solvable bila memiliki penguatan modal yang dapat dilakukan melalui program
rekapitulasi. Selain masalah solvability tersebut, perbankan juga harus melakukan
restrukturisasi dalam kegiatan operasionalnya (Operational Restructuring)
sehingga dapat mencapai economic of scale yang lebih baik agar mendapatkan
profit yang lebih besar lagi.
Pemenuhan solvabilitas perbankan secara otomatis akan menuntut
penyaluran kredit yang tepat sasaran guna memenuhi peran perbankan sebagai
lembaga perantara keuangan dalam sistim perekonomian. Akan tetapi,
pertentangan tuntutan kepentingan dari sektor perbankan sendiri berbeda dengan
kepentingan sektor riil. Secara historis, pemberian suku bunga yang tinggi untuk
mempertahankan nilai tukar dan mendorong kegiatan ekonomi justru malah
menghambat proses restrukturisasi perbankan seperti yang terjadi saat awal krisis
moneter di Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor riil yang menuntut pemberian
suku bunga pinjaman perbankan yang rendah dengan penyediaan kredit yang
meningkat. Pada posisi seperti ini, sektor perbankan mengalami masalah yang
dilematis untuk mencapai keseimbangan antara mendorong kesehatan perbankan
atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan perbankan untuk mengatasi permasalahan dilematis sektor
perbankan seringkali dilandasi oleh kekeliruan paradigma dan juga pertimbangan
politis. Keputusan tersebut justru akhirnya mengakibatkan permasalahan tersebut
semakin ruwet dan sulit diuraikan pokok permasalahannya. Padahal,
restrukturisasi perbankan yang sehat juga memerlukan perbaikan pengaturan dan
pengawasan perbankan, perbaikan kelembagaan pendukung, perbaikan hukum
dan peradilan, Good Governance maupun aspek transparansi dalam kebijakan
publik terkait dengan perbankan nasional dan juga perekonomian nasional.
Beberapa acuan standar kesehatan perbankan mengarah pada standar-
standar penilaian yang tercantum dalam Financial Sector Assessment Program
(FSAP) yang dibentuk oleh International Monetary Fund (IMF) dan juga dalam
Core Principles for Effective Banking Supervision yang dibentuk oleh Basel
Committee yang lebih dikenal dengan The 25 Basel Core Principles for Effective
Banking Supervision maupun amandemen baru yang dinkenal dengan nama Basel
Accord II. Standar-standar tersebut sebenarnya lebih ditekankan pada peningkatan
pengaturan dan pengawasan perbankan. Adapun beberapa fokus tersebut meliputi:
pertama, pentingnya sistim klasifikasi kredit dan ketentuan tentang penyisihan
cadangan (provisioning) dalam pengawasan bank. Pengalaman krisis
menunjukkan bahwa bank-bank yang memenuhi ketentuan permodalan standar
internansionalpun dapat mengalami masalah likuiditas dan solvabilitas. Beberapa
studi setelah krisis menunjukkan bahwa masalah likuiditas dan solvabilitas terjadi
karena permodalan bank ternyata dinilai terlalu tinggi. Selain itu, masalah tersebut
juga disebabkan karena kurang ketatnya monitoring terhadap besarnya kredit
bermasalah dan macet (Non Performing Loans) sehingga konsekuensi logis yang
menjadi implikasinya adalah penyisihan cadangannya tidak mencukupi untuk
pengembangan permodalannya. Kedua, bentuk kredit dalam mata uang asing
merupakan relevansi yang rawan antara gejolak nilai tukar dan kelemahan sektor
keuangan. Pengalaman krisis menunjukkan bahwa pinjaman dalam valas kepada
nasabah domestik oleh perbankan nasional dapat menggoyahkan kestabilan
industri perbankan. Hal ini karena lemahnya monitoring dan pengendalian kredit
dalam valas tersebut. Ketiga, pengelolaan risiko illiquidity bank. Fokus ini lebih
dikarenakan operasi bank yang pada dasarnya berkaitan dengan transformasi saat
jatuh tempo (maturity transformation) dari kewajiban jangka pendek bank
(deposito) menjadi aset yang berjangka panjang (kredit). Aspek ketiga ini bisa
dikatakan mengarah kepada manajemen likuiditas sehingga aspek ini sangat vital
bagi bank development. Bahkan hal ini dan kegiatan bank yang dasarnya
kepercayaan masyarakat dengan kondisi informasi yang tidak simetris antara bank
dan nasabah sebenarnya yang menjadi dasar legitimasi pengaturan dan
pengawasan terhadap operasi bank oleh otoritas pengaturan dan pengawasan bank
sehingga secara tidak langsung juga dapat berfungsi untuk melindungi konsumen.
Keempat, perlu adanya kerangka dasar pengaturan tentang kebijakan likuiditas
menghadapi kondisi distress bank, baik secara individu maupun sistemik. Ini
berkaitan dengan fungsi bank sentral sebagai Lender of The Last Resort (Penyedia
Likuiditas Terakhir). Mengingat kontroversi yang berkepanjangan dengan segala
implikasinya dari masalah BLBI ketentuan mengenai hal ini sangat penting untuk
masa depan.
Kondisi-kondisi tersebut merupakan masalah-masalah pokok yang
seringkali menghambat proses-proses penyehatan perbankan di Indonesia selama
ini. Oleh karena itu Bank Indonesia mencoba meminimalisir hambatan-hambatan
tersebut dengan mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang
dilaksanakan secara terstruktur, bertahap, jelas dan terukur. Keberadaan API
sebagai suatu guide-line perbankan nasional diharapkan mampu mengantisipasi
segala masalah yang mungkin muncul sebagai akibat dari system-error secara
mikro maupun makro. Upaya preventif ini menimbulkan pro dan kontra yang
membangun setiap pilar-pilar yang digunakan dalam API sehingga diharapkan
dapat mencapai penerjemahan yang lebih lengkap agar lebih aplikatif serta
berguna baik bagi sektor perbankan maupun perekonomian nasional.
Enam Pilar API
Berdasarkan fenomena tuntutan perbankan dan beberapa pengalaman historis
yang melatarbelakangi perjalan perbankan nasional maka Bank Indonesia mencoba
membangun pondasi perbankan nasional yang kokoh, kuat dan sehat. Sistim
perbankan yang sehat dibagun berdasarkan permodalan yang kuat sehingga dapat
mendorong kepercayaan nasabah, yang selanjutnya akan mampu memberikan
kekuatan bagi bank untuk memperkuat modalnya melalui pemupukan laba ditahan.
API sendiri menghendaki pada 10 sampai 15 tahun ke depan, perbankan Indonesia
memiliki 2 sampai 3 bank dengan skala Bank Internasional, 3 sampai 5 Bank
Nasional, 30 sampai 50 Bank dengan kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha
tertentu dan BPR serta bank dengan kegiatan usaha terbatas.
Guna mendukung terciptanya visi-visi API tersebut, maka Bank Indonesia
mencoba mengaplikasikannya melalui sebuah Guide-line yang berwujud enam pilar
API. Adapun ke-enam pilar tersebut antara lain adalah: Pilar Pertama, Struktur
perbankan yang sehat. Salah satu cara membangun pilar pertama ini yaitu dengan
memperkuat permodalan bank-bank. Bank-bank umum (konvensional dan syariah).
Artinya, bank-bank yang memiliki permodalan dibawah 100 miliar Rupiah harus
ditingkatkan sehingga permodalan bagi industri perbankan harus minimum 100 miliar
Rupiah. Modal minimum 100 miliar Rupiah tersebut merupakan kebutuhan minimum
bagi suatu bank untuk dapat menjalankan usahanya dengan baik. Dengan modal
dibawah 100 miliar Rupiah sangat sulit bagi bank untuk mendukung pertumbuhan
kredit yang tinggi karena modalnya terbatas. Selain itu, dengan modal yang kecil
dirasakan cukup sulit bagi suatu bank untuk meningkatkan skala usaha maupun skill
level yang dimiliki serta mengatasi risko-risiko yang dihadapi.
Diharapkan, pada tahun 2011 nanti semua bank umum yang beroperasi di
Indonesia telah memiliki modal minimum sebesar 100 miliar Rupiah. Disamping
memperkuat permodalan, struktur perbankan yang kuat juga dibangun dengan
meningkatkan peran serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam peta perbankan
nasional. Hal ini dikarenakan BPR yang kuat dan kokoh dianggap mampu untuk
melayani lapisan masyarakat di daerah pedesaan atau terpencil khususnya yang tidak
terjamah oleh pelayanan bank-bank umum. Oleh karena itu, daya saing BPR akan
terus ditingkatkan antara lain dengan memberikan kemudahan pembukaan kantor
cabang BPR sehingga BPR akan mampu bersaing dengan bank-bank umum yang
memiliki cabang-cabang di wilayah pedesaan. Selain itu, untuk memperkuat daya
saing BPR, maka BPR perlu meningkatkan efisiensi dalam melakukan kegiatan
operasional usahanya. Upaya tersebut dapat dilakukan oleh BPR melalui kerjasama
dengan BPR-BPR lain untuk menggunakan fasilitas back office secara bersama-sama
diantara BPR tersebut, sehingga mereka bisa beroperasi secara efisien dengan
menekan overhead cost-nya. Secara makro, persyaratan modal minimum tersebut
juga berdampak pada kondisi pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 5% sampai 6% setiap tahun diperlukan
dukungan kredit perbankan sebesar 22% per-tahunnya.
Pilar Kedua, Sistem pengaturan perbankan yang efektif. Guna membangun
industri perbankan yang kuat harus disertai dengan pembenahan pada sistem
pengaturan perbankan yang telah ada. Perbaikan proses penyusunan peraturan dan
ketentuan perbankan dilakukan dengan lebih banyak melibatkan para stakeholders
perbankan dalam proses penyusunannya sehingga peraturan yang dibuat akan selalu
memperhatikan kemampuan stakeholders. Selanjutnya, best practices ketentuan
perbankan yang bersifat internasional yang dikenal dengan 25 Basel Core Principles
for Effective Banking Supervision akan terus diimplementasikan secara bertahap
dalam jangka panjang. Dengan penerapan 25 Basel Core Principles fo Effective
Banking Supervision maupun ketentuan best practices laiinya seperti the New Basel
Accord (Basel II) diharapkan praktek penyelenggaraan perbankan nasional kita telah
memiliki standar yang sama dengan bank-bank yang ada di luar negeri, sehingga
tingkat kepercayaan masyarakat internasional terhadap industri perbankan nasional
akan semakin meningkat.
Pilar Ketiga, pengawasan bank yang independen dan efektif. Pengawasan
yang independen dan efektif sangat diperlukan baik untuk saat ini maupun jangka
panjang sebagai jawaban atas meningkatnya kegiatan usaha maupun kompleksitas
risiko yang dihadapi oleh perbankan. Bank-bank tidak lagi hanya menjual produk dan
jasa perbankan saja, melainkan juga produk-produk keuangan lainnya seperti
misalnya asuransi (bancassurance), assetbacked securities (efek beragun aset) dan
reksadana sehingga sehingga diperlukan pengawasan yang lebih kompleks dan rumit.
Oleh karena itu, Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank akan
menyempurnakan sistem pengawasan bank dengan terus mengembangkan metode
pengawasan bank yang berbasis pada risiko (risk-based supervision) serta melakukan
konsolidasi organisasi pengawasan bank yang ada di Bank Indonesia. Selain untuk
meningkakan efektivitas pengawasan, konsolidasi organisasi pengawasan bank yang
ada di Bank Indonesia juga ditujukan untuk memperkuat pelaksanaan enforcement
atas ketentuan dan kebijakan perbankan yang telah dibuat oleh Bank Indonesia.
Pilar Keempat, Kualitas manajemen dan operasional perbankan.. Peningkatan
kualitas manajemen bank diperlukan untuk meningkatkan good corporate governance
dari manajemen bank itu sendiri, sehingga praktek-praktek perbankan yang tidak
sehat (improper behaviour) dapat diminimalisir atau dihilangkan. Selanjutnya
peningkatan kualitas manajemen bank juga diperlukan untuk memperkecil terjadinya
risiko-risiko bank khususnya operational risk. Disamping perlunya kualitas
manajemen yang baik, fundamental perbankan kita juga perlu didukung dengan
adanya operasional perbankan yang efisien. Kinerja bank yang efisien memungkinkan
bank-bank untuk menekan biaya serendah mungkin sehingga bank tersebut mampu
meningkatkan profitabilitasnya. Untuk itu API telah merekomendasikan bank-bank
untuk memanfaatkan pemakaian fasilitas operasional perbankan secara bersama-sama
(shared facilities) seperti misalnya pemakaian ATMs dan back office, sehingga bank-
bank dapat mencapai economies of scales yang pada akhirnya dapat lebih
mengoptimalkan profit yang didapat.
Pilar Kelima, Infrastruktur pendukung. Kehadiran infrastruktur pendukung
perbankan sangat dibutuhkan untuk menunjang industri perbankan yang kuat.
Prioritas infrasturktur pendukung yang riil adalah tersedianya credit bureau yang
sangat dibutuhkan oleh perbankan untuk memperbaiki dan mempercepat proses
pemberian kredit dari bank kepada debiturnya. Konsep credit bureau disini adalah
tersedianya data historis kondisi keuangan calon debitur sehingga bank memiliki
kapasitas untuk meningkatkan kualitas kredit sekaligus mengurangi potensi risiko
kredit yang akan muncul. Disamping itu, konsep credit bureau tersebut
memungkinkan terjadi clearing informasi diantara semua lembaga keuangan bank
termasuk BPR maupun bukan lembaga keuangan bukan serta sektor ritel sehingga
seseorang yang pernah memiliki kredit macet di perusahaan leasing akan sulit
memperoleh kredit dari suatu bank.
Pilar Keenam, perlindungan konsumen perbankan. Pilar ini merupakan salah
satu permasalahan yang sampai saat ini belum mendapatkan tempat yang baik di
dalam sistem perbankan nasional. Seringkali kita melihat bahwa nasabah selalu lemah
atau pada posisi yang kurang diuntungkan apabila terjadi kasus-kasus perselisihan
antara bank dengan nasabahnya, sehingga nasabah dirugikan. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, perbankan bersama-sama dengan masyarakat akan memiliki
beberapa agenda yang bertujuan untuk memperkuat perlindungan konsumen. Agenda
tersebut adalah dengan menyusun mekanisme pengaduan nasabah, membentuk
lembaga mediasi perbankan (ombudsman), meningkatkan transparansi informasi
produk dan melakukan edukasi produk-produk dan jasa bank kepada masyarakat luas.
Celah dalam API
API merupakan sebuah solusi yang dapat memperkokoh fundamental
perbankan di Indonesia. Segala aspek yang terkait dengan permasalahan dan
tantangan perbankan nasional mampu diantisipasi sejak dini melalui penguatan
fundamental perbankan tersebut. Namun seperti halnya sistim yang lain, API juga
memiliki beberapa hal yang dapat menjadi celah dalam pelaksanaannya. Adapun
celah tersebut antara lain adalah: Pertama, kurangnya perhatian terhadap konsep
“Disiplin Pasar”. Konsep API dibangun berdasarkan rekomendasi dari Basle
Committee on Banking Supervision yang menyarankan tiga pilar utama, yaitu
persyaratan modal minimum, proses pengawasan, dan persyaratan disiplin pasar.
Secara akademis, keenam pilar API merupakan elaborasi yang cukup mendalam
terhadap dua pilar Komite Basle, yaitu persyaratan modal minimum dan proses
pengawasan. Proses pengawasan bahkan memperoleh porsi yang sangat besar.
Oleh karena itu, proses ini terwakili dalam seluruh program yang terdapat pada
pilar kedua dan ketiga. Pilar keempat pun mengandung unsur proses pengawasan,
seperti persyaratan sertifikasi bagi manajer risiko dan peningkatan Good
Corporate Governance. Bahkan proses pengawasan juga ada pada pilar kelima
melalui pembentukan biro kredit serta pilar keenam melalui mekanisme
pengaduan konsumen dan pembentukan lembaga mediasi perbankan yang
independen. Namun, rekomendasi Komite Basle mengenai persyaratan disiplin
pasar justru kurang terwakili dalam keenam pilar API. Kata "disiplin pasar"
bahkan tidak terwakili secara eksplisit di sana. Padahal, disiplin pasar adalah
sebuah mekanisme yang mampu memaksa manajemen bank mengadopsi prinsip
kehati-hatian walaupun pengawas dari otoritas perbankan sedang lengah. Hal ini
bisa dikarenakan hukuman oleh pasar bisa sangat besar dan merusak kesehatan
bank.
Sebagai contoh, apabila sebuah bank menggunakan manajemen risiko
yang kurang layak maka bank tersebut bisa dihukum dengan tingkat premi risiko
yang lebih tinggi jika Indonesia mempunyai sebuah Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) yang kredibel dalam pemeringkatan manajemen risiko. Akibatnya, bank
tersebut bisa dihukum oleh nasabahnya. Antara lain, mereka bisa saja mulai
mengalihkan simpanannya ke bank lain. Jika bank tersebut sudah Go Public,
kondisi ini bisa menjatuhkan harga saham bank. Konsekuensinya, nilai kecukupan
modal, kesehatan, dan kinerja bank akan merosot. Komisaris dan direksi bank pun
secara profesional akan terhukum, baik melalui berkurangnya bonus, rusaknya
reputasi pribadi, maupun kemungkinan diberhentikan sebelum waktunya.
Sayangnya, masalah LPS, premi risiko, lembaga pemeringkat manajemen risiko,
dan berbagai kebutuhan infrastrukturnya kurang dibahas dalam API. Penggunaan
lembaga pemeringkat memang masuk dalam pilar kelima, tapi lebih terfokus pada
obligasi yang diterbitkan bank. Kata LPS bahkan sama sekali tidak muncul,
padahal itu merupakan institusi kunci bagi perbankan Indonesia di masa
mendatang. Hal tersebut membuat konsep pengawasan API terlalu bias ke arah
pengawasan birokratis. Disiplin pasar adalah konsep pengawasan yang melekat
pada diri bank. Karena itu, konsep API sangat harus memasukkan disiplin pasar.
Kedua, persyaratan modal minimum. Persyaratan modal perbankan
sebesar 100 milyar Rupiah memang merupakan sebuah tuntutan yang kondusif
bagi penguatan perbankan nasional. Akan tetapi, beberapa hal tentang modal
minimum ini juga perlu mempertimbangkan “nilai uang” dari 100 milyar Rupiah
tersebut. Hal ini dikarenakan API akan berlangsung pada tahun 2014 sehingga
nilai 100 milyar Rupiah tersebut termasuk dalam nilai uang pada tahun sekarang
ataukah pada tahun 2014 mendatang. Sebab, nilai 100 milyar Rupiah di tahun
2014 bisa jadi tidak mencukupi sebagai nilai minimum permodalan perbankan
nasional mengingat nilai uang yang semakin meningkat setiap tahunnya. Selain
itu, pertimbangan bank-bank yang pada tahun 2014 belum mampu mencukupi
persyaratan tersebut akan diberikan solusi apa? Hal ini pula yang menjadi
pertanyaan dalam persyaratan modal minimum.
Ketiga, porsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ke-enam pilar API masih
belum memberikan deskripsi yang jelas mengenai eksistensi OJK sebagai sebuah
lembaga independen yang mengawasi perbankan Indonesia. Pengalaman beberapa
negara lain yang telah menerapkan OJK seperti Australia, Jepang, Inggris dan
Korea Selatan kurang terlihat pada stage awal penerapan penyehatan perbankan.
OJK sebagai suatu sistim kontrol mungkin akan lebih berguna saat sistim sudah
berjalan dengan baik. Selain itu, keberadaan OJK di awal proses restrukturisasi
penyehatan perbankan akan menjadikan potensi konflik dengan Bank Indonesia
sebagai bank sentral yang memiliki fungsi sebagai Lender of The Last Resort.
Jejak Langkah API Dalam Dua Tahun Terakhir
Terlepas dari pro dan kontra, Arsitektur Perbankan Indonesia sebagai
sebuah rancangan bentuk industri perbankan yang ingin dicapai di masa depan
telah memberikan jejak langkah yang jelas dan terarah. Sampai pada tingkat
tertentu yang terukur, ketentuan dan peraturan serta implementasi sendi-sendi
operasional perbankan melalui program API dapat berjalan dengan baik dengan
hasil yang cukup memuaskan dari tahun ke tahun.
Secara umum, beberapa tahun terakhir terlihat bahwa ketahanan industri
perbankan nasional mengalami peningkatan terutama dari sisi permodalan. Hal ini
dapat dilihat melalui nilai CAR industri perbankan saat ini yang berada pada
kisaran 20%, sehingga kemungkinan masih cukup memadai guna menyerap
berbagai risiko yang mungkin timbul. Bentuk riil pencapaian keberhasilan API
dapat dilihat melalui peningkatan peran fungsi intermediasi perbankan dari
berbagai program API seperti lingkage program bank umum dengan BPR, dan
skim penjaminan kredit Askrindo dengan Pemda telah berhasil
diimplementasikan. Sementara itu, peningkatan kualitas SDM perbankan melalui
program sertifikasi manajemen risiko baik bagi manajemen perbankan maupun
para pengawas secara bertahap telah dilaksanakan dan terus semakin meluas.
Pencapaian lain yang tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan tugas
pengawasan bank yang secara bertahap mengalami perbaikan-perbaikan dari sisi
kualitas, kedalaman, dan luasnya cakupan pengawasan. Berdasarkan penilaian
terakhir pada bulan Oktober 2005 yang dilakukan oleh Technical Advisor Bank
Indonesia dari FSA menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan Bank Indonesia
terhadap The 25 Basel Core Principles mengalami peningkatan yang signifikan.
11 butir-butir Core Principles yang di waktu lalu secara kualitas tergolong non-
compliant ataupun materially noncompliant saat ini telah membaik dan tergolong
menjadi largely compliant bahkan banyak yang telah tergolong fully compliant.
Secara umum, dalam penggunaan ukuran The 25 Basel Core Principles, 22 butir
principles dalam pengawasan Bank Indonesia kualitasnya telah tergolong
compliant. Dari beberapa principles tersebut, hanya pelaksanaan penilaian risiko
secara terkonsolidasi dan peningkatan akurasi data pengawasan yang masih belum
terlaksana secara optimal. Berdasarkan hasil pencapaian sesingkat ini, maka API
sebagai sebuah konsep relatif lebih komprehensif dan efektif dibandingkan Paket
Kebijakan Ekonomi Pemerintah. Semoga API dapat membakar elemen-elemen
perbankan nasional dalam tungku perekonomian nasional sehingga dapat
menciptakan pilar-pilar besi yang kokoh dan megah sebagai fundamental industri
perbankan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Abdullah, Burhanuddin. 2006. Arah Kebijakan Perbankan. www.bexi.co.id
Sugiarto, Agus. 2003. Arsitektur Perbankan Indonesia: Suatu Kebutuhan dan Tantangan Perbankan ke Depan. Kompas. 5 Juni 2003.
____________. 2004. Membangun Fundamental Perbankan Yang Kuat. Media Indonesia, 26 Januari 2004.
www.kompas.co.id. 2004. Api di Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia. Senin, 12 Januari 2004.