Artike Ilmiah APBDes_21

14
Page1of14 ARTIKEL ILMIAH Potensi Kegagalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa pasca Pemberlakuan Undang- undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Untuk keperluan Tugas Perkuliahan Keuangan Publik Oleh : ARMAULIZA SEPTIAWAN NPM. 17. 023. 014. 0034 Program Doktor Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran Bandung, 2015.

description

After Otonomi desa

Transcript of Artike Ilmiah APBDes_21

Page 1: Artike Ilmiah APBDes_21

Page1of14

ARTIKEL ILMIAH

Potensi Kegagalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa pasca

Pemberlakuan Undang- undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Untuk keperluan Tugas Perkuliahan Keuangan Publik

Oleh : ARMAULIZA SEPTIAWAN

NPM. 17. 023. 014. 0034

Program Doktor Ilmu Administrasi Publik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjajaran

Bandung, 2015.

Page 2: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 2 of 14

POTENSI KEGAGALAN APB DESA PESISIR PASCA PEMBERLAKUAN

UNDANG- UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

Armauliza Septiawan

Universitas Padjadjaran

E- mail : [email protected]

ABSTRAK. Kehadiran Undang- undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

merupakan tonggak penting bagi proses pembangunan di Indonesia dimana desa

sebagai suatu entitas yang otonom memiliki kewenangan untuk mengatur dan

mengurus urusan serta kebutuhan masyarakatnya. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan potensi kegagalan pelaksanaan penganggaran di desa pesisir

sebagai bekal bagi setiap kalangan yang berupaya mewujudkan efektivitas dan

efisiensi pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setelah

diberlakukannya Undang- undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Secara ilmiah

penelitian ini juga teah melalui prosedur analisis melalui studi literatur dan

peneaahan terhadap dokumen perencanaan serta rekam jejak kinerja desa,

sehingga diperoleh gambaran yang komprehensif mengenai potensi kegagalan

tersebut. Hasil riset menunjukkan bahwa terdapat beberapa variasi yang menjadi

potensi kegagalan peyelenggaran kewenangan desa melalui village budgeting

sebagai tantangan mendatang yakni ; (1) Tingkat Pendidikan masyarakat desa

yang secara rerata masih sangat rendah, (2) Animo partisipasi masyarakat dalam

setiap proses perencanaan untuk penganggaran dalam APB Desa nantinya, dan (3)

Kapasitas Kemampuan Aparatur Desa yang belum mapan.

Kata Kunci : Desa, Penganggaran dan otonomi.

ABSTRACT . Nowadays, the enactment of new policy about village is an

important for the development milestone process in Indonesia where village as an

autonomous entity has the authority to regulate and manage the affairs and

community needs. This study aimed to describe the potential failure of the

implementation of the budget in the coastal village as stock for every circle that

seeks to realize the effectiveness and efficiency of the management of Budget

village after the enactment of village policy on 2014 concerning the village. In

scientific research also teah through the analysis procedure through the study of

literature and peneaahan of the planning documents as well as the track record of

the performance of the village, in order to obtain a comprehensive picture of the

potential of such failure. The results shows that there are several variations of the

potential failure of the authority of the village through village peyelenggaran

budgeting as the upcoming challenges; (1) The level of education in rural

communities the average is still very low, (2) The interest participation in any

planning process for budgeting in APB village later, and (3) Capacity

Capabilities Apparatus village that has not been established.

Keywords: village, Budgeting and autonomy.

Page 3: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 3 of 14

PENDAHULUAN

Potret pembangunan Desa di Indonesia masih menunjukkan banyak masalah yang

mengkhawatirkan. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui masih adanya desa yang

belum didukung infrastruktur listrik sebanyak 12.000 lebih desa atau sebesar 15,

40 % dari keseluruhan jumlah desa di Indonesia (kondisi sampai dengan akhir

Tahun 2014, Badan Pusat Statistik; 2015). Tidak berbeda dengan minimnya

dukungan infrastruktur listrik tersebut, terdapat 12. 636 desa yang telah memiliki

sarana jalan desa namun belum bisa dilalui oleh kendaraan roda 4. Gambaran ini

jelas mengkhawatirkan karena di balik ketiadaan dukungan energi listrik serta

minimnya ketersediaan sarana jalan di desa akan memberikan dampak negatif

bagi kelancaran aktivitas kegiatan masyarakat desa hingga dimensi kenyamanan

dan keamanannya.

Kondisi faktual sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnya menjadi salah satu

bahagian kecil dari banyaknya akar permasalahan yang masih dapat ditemukan di

desa sehingga memicu diberlakukannya Undang- undang No. 6 tahun 2014

tentang Desa. Kebijakan ini merupakan dinamika baru yang terjadi di era

pemerintahan yang desentralistis. Penyerahan kewenangan kepada desa sebagai

kesatuan masyarakat otonom berdaulat ini lebih mengedepankan keinginan desa

tidak lagi menjadi objek dalam upaya pembangunannya, melainkan menjadi

subjek utama dalam upaya membangun desa sesuai dengan kebutuhan

masyarakatnya. Kewenangan yang diserahkan tersebut juga tidak bersifat politik

dan administratif belaka, namun telah dilengkapi dengan perangkat kewenangan

fiskal sehingga ketika kebijakan ini dilaksanakan desa telah memiliki sumber daya

keuangan yang lebih banyak dibandingkan sebelumnya.

Secara operasional penyelenggaraan kewenangan fiskal oleh pemerintah desa

telah diatur dengan jelas. Proses ini dapat dipahami dengan berbagai aturan yang

mendukung pelaksanaan kewenangan mengatur dan mengelola desa berdasarkan

kebutuhan pembangunannya masing- masing. Wujud aturan tersebut antara lain;

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU

No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan kemudian dikuatkan dengan Peraturan

Pemerintah No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, juga dikeluarkannya Peraturan Menteri

Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia

Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa.

Pola kebijakan yang runtun tersebut di atas belum tentu menghasilkan kinerja

pembangunan desa yang efektif. Hal ini disebabkan karena kuatnya semangat dan

komitmen pemerintah pusat saat ini belum tentu mendapatkan respon, persepsi

maupun pemahaman yang sama oleh pemerintah desa nantinya. Asumsi ini

dibangun atas informasi bahwasanya kemampuan perencanaan khususnya pada

sisi penganggaran di desa saat ini belum sesuai dengan keinginan dan petunjuk

pelaksanaan yang diputuskan oleh pemerintah pusat. Fakta inipun didukung oleh

adanya laporan sebuah hasil temuan penelitian yang menjelaskan bahwa secara

struktural, pemerintah desa sebagai institusi belum memiliki kesiapan pada

Page 4: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 4 of 14

dimensi penyelenggaraan urusan keuangan desa. Fakta empiris ini diperoleh

melalui hasil survey terhadap 40 (empat puluh) desa di Kabupaten Banyumas

(Abdurokman, 2014).

Berbagai permasalahan sebagaimana fakta empiris yang telah dijelaskan

sebelumnya, membutuhkan suatu pemikiran yang komprehensif dalam hal

potensi kegagalan pelaksanaan penganggaran di desa pesisir sebagai bekal bagi

setiap kalangan yang berupaya mewujudkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setelah diberlakukannya Undang- undang

No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Otonomi Desa di Era Desentralisasi

Desa merupakan kesatuan entitas lokal yang memiliki pengakuan dan batas

wilayah, saat ini kembali menjadi bahasan sentral di Indonesia. Ditetapkannya

Undang- undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

merupakan pemicu utama munculnya kembali berbagai bahasan desa di tengah-

tengah kehidupan masyarakat akademis, aparatur pemerintah hingga pembicaraan

masyarakat dalam setiap aktivitas kesehariannya. Hal ini dikarenakan adanya

perubahan format desa yang telah memiliki kewenangan lebih luas dari

sebelumnya. Persepsi awal berbagai kalangan tersebut adalah keberadaan

kewenangan yang lebih luas mencerminkan peningkatan keleluasaan bagi desa

untuk mengatasi permasalahannya berdasarkan prakarsa masyarakat setempat.

Namun respon negatif juga muncul sebagaimana banyak pula kalangan yang

meragukan bahwa kewenangan yang luas bagi desa akan memindahkan tindakan

korupsi ke desa.

Dinamika pembangunan desa telah melalui proses yang sangat panjang. Dalam

perjalanan penyelenggaraan roda pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia, desa atau dalam sebutan lainnya merupakan bagian yang tidak

terpisahkan. Perkembangan ini menjelaskan bahwsanya sebagai suatu kesatuan

entitas lokal desa telah mengalami masa yang cukup panjang sebagai objek

pembangunan di masa lalu sampai kepada kapasitasnya sebagai subjek

pembangunan yang menjadi tantangan besar saat ini. Dalam periodensi tersebut

telah mengantarkan desa kepada posisi tawar yang tinggi dan dengan kewenangan

yang luas pula. Berikut dijelaskan tentang perubahan kewenangan desa yang telah

mengalami perubahan pada era desentralisasi.

Tabel 2.1. Kewenangan Desa menurut UU No. 32/2004 dan UU No. 6/2014

UU No. 32/2004 UU No. 6/2014

Urusan pemerintahan yang

sudah ada berdasarkan hak asal

usul desa

Kewenangan berdasarkan hak asal

usul

Urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan Kabupaten/

Kota yang diserahkan

Kewenangan lokal berskala Desa

Page 5: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 5 of 14

UU No. 32/2004 UU No. 6/2014

pengaturannya kepada desa

Tugas pembantuan dari Pemerintah,

Pemerintah Provinsi, dan/

atau Pemerintah Kabupaten/

Kota

Kewenangan yang ditugaskan oleh

Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, atau Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota

Urusan pemerintahan lainnya

yang oleh peraturan perundangundangan

diserahkan kepada

Desa

Kewenangan lain yang ditugaskan

oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, atau Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang- undangan

Sumber : Eko (2014)

Di era desentralisasi seperti saat ini, kewenangan desa tersebut dimaknai sebagai

hak desa untuk mengatur, mengurus dan bertanggung jawab atas urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Secara mendasar yang

dimaksud dengan ”mengatur” dan ”mengurus” serta “bertanggung jawab”menurut

(Eko, 2014) mempunyai makna yang beragam. Desa berkewenangan “mengatur

dan mengurus” memiliki makna bahwa sebagai suatu lembaga, desa memiliki

otoritas untuk mengeluarkan dan menjalankan kebijakan, tentangapa yang boleh

dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang

berkepentingan dalam batas wilayah desa. Misalnya desa menetapkan kebijakan

pembangunan pembangkit listrik karena desanya hingga saat ini belum dialiri

listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN). Makna selanjutnya juga menjelaskan

bahwa kewenangan mengatur dan mengurus tersebut berarti memutuskan dan

menjalankan alokasi sumberdaya (baik dana, peralatan maupun sumber daya

manusia) dalam kegiatan pembangunan atau pelayanan bagi warga desa, termasuk

membagi sumberdaya kepada penerima manfaat. Sebagai contoh, desa

memutuskan alokasi dana sekian rupiah dan menetapkan struktur pengelola BUM

Desa atau mengalokasikan dana desa kepada peruntukan beasiswa sekolah bagi

anak-anak desa yang berprestasi namun tidak didukung kemampuan ekonomi

keluarganya (miskin). Dalam makna operasional mengatur dan mengurus tersebut

dapat diartikan kewenangan menjalankan, melaksanakan, maupun merawat public

goods yang ada di desa.

Bertanggungjawab memiliki arti sebagai subjek pembangunan desa saat ini

merencanakan, menganggarkan dan menjalankankegiatan pembangunan atau

pelayanan, serta menyelesaikan masalah yang muncul. Sebagai contoh, karena

BUM Desa Pembangkit Listrik telah menjadi kewenangan lokal, maka desa

bertanggungjawab melembagakan BUM Desa ke dalam perencanaan desa,

sekaligus menganggarkan untuk kebutuhan usahanya termasuk menyelesaikan

masalah yang muncul.

Jika desa berwenang mengatur, dengan sendirinya desa juga mengurus terhadap

hal-hal yang diatur. Hal ini berkaitan dengan kekuasaan mengatur dan mengurus

terhadap aset atau hak milik desa. Namun demikian, menurut (Eko, 2014) konsep

mengurus tidak mesti merupakan konsekuensi dari kuasa mengatur atas hak milik

tersebut. Mengurus,dalam hal ini, berarti mengelola atau menjalankan urusan

Page 6: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 6 of 14

yang diberikan oleh pemerintah kepada desa, atau bisa juga disebut sebagai

hakkelola desa. Hasil pemikiran ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh

Gayatri (2008) yang menjelaskan bahwasanya secara teoritis kewenangan

mengurus bermakna bebas dari intervensi pemerintah pusat (state), otoritas dan

kewenangan desa dalam kerangka otonomi lebih besar dari sekedar kewenangan

suatu institusi belaka. Dengan demikian kewenangan desa dalam mengurus dan

mengatur kebutuhan pembangunannya merujuk pada konsensus lokal secara

politis sehingga menuntut adanya kapasitas pemberdayaan komunitas sosial (civil

society) serta kesadaran politik yang lebih besar pula.

Kedua pandangan yang berbeda tersebut jika dipahami datang melalui arah

kewenangan berbeda yang melekat pada desa. Ketika kewenangan mengatur dan

mengurus tersebut datang melalui arah sentral, maka akan terlihat jelas bahwa

desa akan dihadapkan kepada otoritas yang lebih besar sehingga dalam

pengaturannya tidak dapat dilaksanakan secara semena- mena keinginan

masyarakatnya belaka. Namun ketika perspektif kewenangan itu muncul sebagai

prakarsa bottom, kewenangan desa justru benar- benar independen baik secara

politis dan administratif.

Tarik menarik konsep kewenangan desa tersebut menunjukan bahwasa upaya

membangun desa merupakan proses yang kompleks. Hal ini disebabkan

kebutuhan masyarakat desa yang juga sarat dengan kompleksitas dan masalah

yang berkelanjutan. Oleh karena demikian penelitian ini berasumsi bahwa dalam

menjalankan kewenangan mengatur serta mengurus, desa seyogyanya meletakkan

fokus permasalahan yang sederhana dan mudah diselesaikan sebagai prioritas

awal pencapaian tujuan pembangunannya.

Konsep Penganggaran APB Desa

Penganggaran melalui APB desa merupakan bentuk operasional dari kewenangan

mengatur dan mengurus sebagaimana pembahasan sebelumnya. Konsep

penganggaran desa (village budgeting) dalam UU No. 6 Tahun 2014 juga telah

mengalami kemajuanbila dibandingkan dengan substansi penganggaran yang ada

pada PP No. 72 Tahun 2005. Sebelumnya alokasi dana desa merupakanbagian

dari perencanaan angaran Kabupaten/Kota, sehingga makna perencanaan

anggarannya lebih banyak mengusulkan secara vertikal ketimbang

memutuskannya di tingkat lokal. Saat ini desa dituntut secara mandiri untuk

menentukan alokasi fiskalnya berdasarkan kemandirian serta tingkat

responsivitasnya masing- masing. Dimensi ini yang akan membedakan

penganggaran suatu desa dengan desa lainya secara tentatif.

Fungsi budgeting dalam manajemen pembangunan di desa akan sangat

menentukan masa depan desa itu sendiri. Desa dituntut mampu secara demokratis

mengambil keputusan kolektif yang menjadi dasar pijakan pembangunan yang

bermanfaat untuk masyarakat dalam skala lokal. Menurut Eko (2014) salah satu

keputusan penting yang diambil dalam pelaksanaan otonomi desa saat ini adalah

alokasi anggaran, khususnya ADD, yang tidak hanya untuk membiayai konsumsi

Page 7: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 7 of 14

pemerintah desa, bukan pula sepenuhnya hanya untuk membangun prasarana fisik

desa, tetapi alokasi untuk investasi manusia dan pengembangan ekonomi lokal

yang berorientasi untuk penanggulangan kemiskinan.

Wujud alokasi anggaran desa kepada perogram dan kegiatan bernilai manfaat bagi

pembangunan desa bukanlah hal yang mudah. Tantangan keterlibatan secara aktif

masyarakat dalam merencanakannya merupakan salah satu fondasi penting hingga

alokasi tersebut diputuskan untuk dilaksanakan. Menentukan prioritas

penganggaran dalam skup pemerintahan lokal membutuhkan keseriusan dan

partisipasi aktif dari masyarakat (civil socity) sebagaimana dijelaskan melalui

hasil penelitian di China oleh Baogang (2011), Reddy (2014) yang merupakan

hasil riset desa di India serta sebuah tim peneliti dari Tanzania Research on

Poverty Alleviation (REPOA, 2008). Tidak hanya sekedar partisipasi aktif

masyarakatnya namun sebuah hasil penelitian menambahkan faktor political will

dari pemimpin lokal.

Berbagai penjelasan tersebut di atas menguatkan salah satu asumsi dasar bagi

penelitian ini bahwa secara teknis rangkaian kegiatan penganggaran desa

memerlukan adanya deteksi awal khususnya dalam hal tingkat keterlibatan

masyarakat desa dalam menentukan dan memutuskan item kegiatan pembangunan

desa yang dianggarkan dalam APB Desa.

Page 8: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 8 of 14

METODE

Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa penelitian ini memiliki kecendrungan

penggunaan pendekatan kualitatif dalam proses pengolahan hingga analisis

terhadap data dan informasi penelitian. Pemilihan rancangan penelitian kualitatif

ini didasarkan atas kemampuannya yang fleksibel dalam upaya menemukan

potensi gagalnya penganggaran APB Desa serta model berfikir yang sederhana

sebagai alat pendeteksi dini. Dengan demikian penelitian ini nantinya akan lebih

menjelaskan fenomena penganggaran APB Desa secara komprehensif.

Proses menelaah permasalahan sebagaimana telah diajukan merupakan bahagian

yang penting dilaksanakan, agar bahasan yang dihasilkan menjadi hasil pemikiran

komprehensif. Prosedur pembahasan masalah dilakukan secara operasional

mengikuti alur deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalu studi literatur

seperti dokumen perecanaan serta laporan kinerja pembangunan Desa Nagur

sebagai salah satu desa pesisir serta pengalaman penulis tentang hal ikhwal

administrasi pemerintahan di desa. Untuk menyederhanakan pelaksanaan

penulisan, maka diputuskan mengajukan kasus yang pernah dialami penulis

berkaitan dengan dinamika pembangunan Desa Nagur di Provinsi Sumatera Utara.

Tindakan ini didasarkan atas keterbatasan waktu penulisan yang tersedia yakni

dalam selang waktu 2 (Dua) Bulan yakni mulai Maret sampai dengan April Tahun

2015. Dengan demikian hasil pemikiran ini bukan dimaksudkan untuk men-

generalisasikannya bagi fenomena di wilayah desa pesisir lainnya di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian terhadap berbagai dokumen perencanaan serta

laporan kinerja pembangunan di Desa Nagur Provinsi Sumatera Utara, dapat

dijelaskan beberapa hal yang menjadi potensi kegagalan penganggaran sebagai

perwujudan penyelenggaraan desa pasca ditetapkannya Undang- undang No. 6

Tahun 2014 tentang Desa yakni sebagai berikut.

Tingkat Pendidikan. Sebagaimana perkembangan paradigma Administrasi

Publik saat ini, keterlibatan masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan di

desa menjadi salah satu fondasi yang meletakkan kepentingan dan masalah yang

dihadapi di desa. Keterlibatan masyarakat ini berdasarkan kerangka kebijakan

desa yang baru telah mendapatkan akses yang luas termasuk menentukan

kebutuhan pembangunan yang akan dianggarkan pada APB Desa.

Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat

Desa Nagur Provinsi Sumatera Utara masih jauh dari harapan untuk dapat

menentukan pilihan kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan. Berikut

dijelaskan hasil penelitian terhadap dokumen penelitian yang pernah dilakukan di

Nagur yakni sebagai berikut :

Page 9: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 9 of 14

Tabel 1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa (Representasi)

Pendidikan Terakhir

Responden Frekuensi Persentase

Tidak Pernah Sekolah 5 1.5 %

Tidak Tamat SD 187 57.2 %

Tamat SD 38 11.6 %

Tidak Tamat SLTP 18 5.5 %

Tamat SLTP 70 21.4 %

Tidak Tamat SLTA 5 1.5 %

Tamat SLTA 1 0.3 %

Tamat D-3 2 0.6 %

Tamat S-1 1 0.3 %

Total 327 100 %

Sumber : Nasution, 2014.

Dengan asumsi tingkat pendidikan masyarakat yang masih didominasi tingkat

pendidikan tidak tamat pada level SD, maka partisipasi yang ditunjukkan dalam

mewujudkan proses perencanaan angaran partisipatif akan sangat sulit dilakukan.

Capaian jenjang pendidikan formal masyarakat akan sangat mempengaruhi

kualitasnya dalam merencanakan anggaran publik yang efisien, efektif serta

berkeadilan. Kondisi faktual ini menyatakan bahwa proses penganggaran APB

Desa pasca diberlakukannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa akan terhambat

dengan kualitas partisipasi masyarakat yang kurang mendukung proses

penganggaran partisipatif di desa nantinya karena kapasitas pendidikan formal

masyarakat yang lemah.

Animo Partisipasi Masyarakat. Potensi selanjutnya dapat diukur melalui kadar

keterlibatan masyarakat Desa Nagur dalam agenda perencanaan hingga

penganggaran di desa. Proses perencanaan serta penganggaran yang didasarkan

atas kualitas dan kadar yang tinggi atas partisipasi masyarakat desa itu sendiri

akan memberikan hasil alokasi anggaran yang benar- benar bermanfaat.

Masyarakat desa cenderung meahami masalah dan kondisi desa tempatnya

berdomisili. Sederhananya partisipasi aktif akan menghasilkan proses

penganggaran yang baik namun sebaliknya jika kadar partisipasi masyarakat desa

rendah maka akan menghasilkan proses penganggaran yang semu. Berikut

disajikan informasi mengenai rekam jejak kadar keterlibatan masyarakat Desa

Nagur (Representasi) dalam perencanaan hingga penganggaran di desa.

Tabel 2. Rekam Jejak Partisipasi Masyarakat Desa (Representasi)

No.

Pernyataan

Frekwensi Jawaban

Jumlah Sangat

Tidak

Setuju

Tidak

Setuju

Ragu-

ragu Setuju

Sangat

Setuju

1 Bpk/Ibu pernah ikut serta

dalam menetapkan

program/kegiatan

pembangunan desa

0.6 76.2 7.6 15.5 0 100.0

Page 10: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 10 of 14

No.

Pernyataan

Frekwensi Jawaban

Jumlah Sangat

Tidak

Setuju

Tidak

Setuju

Ragu-

ragu Setuju

Sangat

Setuju

2 Bpk/Ibu pernah ikut serta

menyusun anggaran untuk

kegiatan pembangunan desa

0.9 77.8 9.2

12.1

0 100.0

3 Bpk/ibu mengetahui dengan

pasti program yang diusulkan

adalah merupakan kebutuhan

masyarakat

0 88.7 8.9 2.4 0 100.0

4 Dokumen RKP

disosialisasikan pada

masyarakat melalui lbg

masyarakat (pengajian, PKK,

arisan ,dll)

0.9 87.8 9.2 2.1 0 100.0

Sumber : Nasution, 2014.

Track record berdasarkan hasil penelitian sebagaimana tabulasi di atas

menjelaskan bahwa pengalaman ini membutuhkan strategi pelibatan masyarakat

yang jitu. Tingkat partisipasi masyarakat Desa Nagur yang masih sangat rendah

ini akan menjadi potensi proses penganggaran dalam APB Desa yang gagal

partisipatif. Asumsi ini justru dibangun atas dasar bahwa proses pembelajaran

masyarakat desa menjadi subjek pembangunan yang berperan aktif dalam

perencanaan ataupun penganggaran merupakan proses yang relatif lama sehingga

pengalaman rekam jejak kadar partisipasi ini sangat penting diketahui sebelum

melaksanakan alokasi dana pada APB Desa setelah diberlakukannya kebijakan

tentang desa yang baru.

Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Baogang

(2011) tentang partisipasi masyarakat lokal dalam penganggaran desa di China,

Reddy (2014) yang merupakan hasil riset desa di India serta sebuah tim peneliti

dari Tanzania Research on Poverty Alleviation (REPOA, 2008). Beberapa

penelitian tersebut jusru menjelaskan bahwa menentukan prioritas penganggaran

dalam skup pemerintahan lokal membutuhkan keseriusan dan partisipasi aktif dari

masyarakat (civil socity).

Meski demikian potensi ini sebenarnya menurut asumsi penulis masih memiliki

jalan keluar, yaitu dikikis melalui penerapan nilai- nilai ctizens participation as a

base of village budgeting. Proses penganggaran desa yang lebih mengedepankan

partisipasi masyarakat desa sebagai subjek pembangunan yang paling utama

(citizens) seyogyanya akan menjadi potensi strategis mengikis permasalahan

kurangnya partisipasi yang selama ini ditunjukkan. Meski sulit dieujudkan, namun

langkah inilah yang akan memandirikan masyarakat desa sekaligus sebagai proses

pemgelajaran yang baik dalam menentukan prioritas dan kebutuhan spesifik

pembangunan di desa.

Page 11: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 11 of 14

Kapasitas Kemampuan Pemerintah Desa. Sebagaimana literatur yang telah

dijelaskan sebelumnya bahwa di era desentralisasi seperti saat ini, kewenangan

desa tersebut dimaknai sebagai hak desa untuk mengatur, mengurus dan

bertanggung jawab atas urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat. Secara mendasar yang dimaksud dengan ”mengatur” dan ”mengurus”

serta “bertanggung jawab” menurut (Eko, 2014). Namun kondisi yang ada justru

menunjukkan hal yang berbeda yang dijelaskan melalui tabulasi berikut ini.

Tabel 3. Kapasitas Kemampuan Aparatur Desa (Representasi).

No.

Pernyataan

Frekwensi Jawaban

Jumlah

Sangat

Tidak

Setuju

Tidak

Setuju

Ragu-

ragu Setuju

Sangat

Setuju

1 Pemerintah desa berusaha agar

memiliki sumber keuangan

sendiri diluar sumber dana yang

diperoleh dari pemerintah. Mis :

hasil usaha desa bersama

masyarakat desa.

0

70.9

13.8

15.0

0.3

100.0

2 Dana yang ada digunakan untuk

membantu mengatasi

permasalahan masyarakat

0

75.3

13.8

10.9

0

100.0

3 Pemerintah desa memiliki

kemampuan yang baik untuk

mengelola keuangan desa

0.3

78.9

13.8

6.7

0.3

100.0

4 Bpk/ibu mengetahui penggunaan

keuangan

0.6

75.5

3.7

19.9

0.3

100.0

Sumber : Nasution, 2014.

Rekam jejak kapasitas kemampuan aparatur desa sebagaimana tabulasi di atas

menunjukkan bahwa dalam persepsi masyarakat cenderung menganggap bahwa

pemerintah desa masih belum memiliki kemampuan yang memadai. Kurang

mampunya aparatur desa dalam proses penganggaran APB Desa nantinya akan

menjadi sandungan bagi kelangsungan pengelolaan yang alokatif. Meski secara

teori sebagai pelaksana fungsi perencanaan atau penganggaran tentu aparatur desa

menjadi salah satu bagian dominan dari desa berhak mengurus dan mengatur

kebutuhan rumah tangga desanya. Sangat dimungkinkan sehingga kemudian fakta

inilah yang mendasari Kementrian terkait mengeluarkan aturan pendampingan

desa dalam penganggaran sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa

tersebut.

Dalam kaitan persoalan kekurangan kapasitas kemampuan SDM Aparatur di

pedesaan untuk melakukan pengelolaan anggaran secara efektif seperti informasi

di atas, dapat diminimalisasi melalui alur pemikiran Santoso (2015) yakni

menempatkan posisi Pemerintah Kabupaten sebagai salah satu mitra strategis

aparatur pemerintah desa untuk memastikan bahwa segala kebutuhan masyarakat

yang sangat prioritas dapat dipenuhi dengan baik. Berbeda dari yang

Page 12: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 12 of 14

dikemukakan beliau, pemerintah pusat juga telah mempersiapkan dukungan

melalui Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan

Desa, namun sebenarnya kepentingan pembangunan desa dipandang sebagai suatu

proses yang partisipatif, maka intrvensi seperti langkah ini justru berpotensi

melemahkan kapasitas kemampuan aparatur desa. Kecendrungan kemandirian

aparatur desa nantinya sulit berubah menjadi suatu kemandirian sebagaimana cita-

cita awal. Oleh karenanya, dalam posisi ini sebenarnya harus ada suatu format

pemikiran yang jitu seperti mengedepankan proses pendampingan dan kemitraan

yang menjamin tercapainya kemandirian aparatur desa nantinya, yakni dalam arti

memberikan pembelajaran (lesson learning) yang benar- benar dibutuhkan oleh

desa.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kehadiran UU No. 6 Tahun 2014 merupakan tonggak penting bagi proses

pembangunan di Indonesia dimana desa sebagai suatu entitas yang otonom

memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan serta kebutuhan

masyarakatnya. Namun dibalik dinamika tersebut Desa Nagur Provinsi Sumatera

Utara, berdasarkan hasil penelitian ini belum menunjukkan kesiapan yang mapan

untuk menyelenggarakan urusan yang telah dilimpahkan nantinya sehingga

memerlukan beberaapa format perbaikan dengan lebih memperhatikan potensi

kegagalan yang ada.

Terdapat beberapa variasi yang menjadi potensi kegagalan peyelenggaran

kewenangan desa melalui village budgeting sebagai tantangan mendatang yakni ;

(1) Tingkat Pendidikan masyarakat desa yang secara rerata masih sangat rendah,

(2) Animo partisipasi masyarakat dalam setiap proses perencanaan untuk

penganggaran dalam APB Desa nantinya, dan (3) Kapasitas Kemampuan

Aparatur Desa yang belum mapan.

Saran

Hasil simpulan sebgaimana paragraf sebelumnya membutuhkan suatu langkah

kongkrit agar APB Desa selanjutnya dapat dilaksanakan dengan baik yakni

melalui langkah- langkah sebagai berikut : (1) Melalui keluarga seyogyanya peran

penting orang tua sagat diharapkan agar dapat mendorong anak- anaknya untuk

mengikuti pendidikan formal dengan baik di desa, adanya problem Kepala

Keluarga yang juga memiliki modal pendidikan formal yang rendah, maka

semangatnya untuk dapat mengikuti program sekolah swadaya atau Paket C dapat

dilaksanakan di sela- sela aktivitas kesibukan bekerja memenuhi kebutuhan rumah

Page 13: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 13 of 14

tangganya, (2) Mengedepankan penanaman nilai- nilai ctizens participation as a

base of village budgeting dapat ditempuh melalui sosialisasi, penyebaran atribut

kampanye dan bentuk promosi lainnya sangat murah dan inovatifutuk

dilaksanakan sehingga sedari awal masyarakat desa dapat memulai proses

pembelajaran yang sebenarnya juga telah dilakukan pada era pembangunan

sebelumnya, (3) minimnya kesiapan aparatur desa dalam hal kapasitas

kemampuannya mengelola APB Desa dengan baik, diperlukan suatu format

pemikiran yang jitu seperti mengedepankan proses pendampingan dan kemitraan

yang menjamin tercapainya kemandirian aparatur desa.

Page 14: Artike Ilmiah APBDes_21

Page 14 of 14

Daftar Pustaka

Baogang He, 2011, Civic Engagement Through Participatory BudgetingIn China: Three

Different Logics At Work, Deakin University, Australia, Published online in Wiley

Online Library (http://wileyonlinelibrary.com ) DOI: 10.1002/pad.598.

Didik G. Suharto, Widodo Muktiyo, and Pawito, 2013, The Development of Village

Autonomy Using Decentralization Approach (An Indonesian Perspective),

Southeast Asian Journal of Social and Political Issues, Vol. 1, No. 3, March 2013.

Enefiok Ibok, 2013, The Impact Of Rural Roads And Bridges On The Socioeconomic

Development Of Akwa Ibom State, Nigeria: An Evaluation, Global Journal of

Political Science and Administration Vol.1, No.1, pp. 27-36, September 2013,

Published by European Centre for Research Training and Development UK

(http://ea-journal.org ).

Kartasasmita, Ginandjar, 1997, Administrasi Pembangunan, Jakarta, Pustaka LP3ES

Indonesia.

Korten, David,C. Dan Syahrir, (Penyunting), 1998, Pembangunan Berdimensi

Kerakyatan, Yayasan Obor Indonesia.

Nasution, Beti, 2014, Implementasi Otonomi Desa Pesisir Nagur Kabupaten Serdang

Bedagai Provinsi Sumatera Utara, Hasil Penelitian, Program Studi S-3

Perencanaann Wilayah dan Desa, Universitas Sumatera Utara.

Research on Poverty Alleviation (REPOA), 2008, The Oversight Processes Of Local

Councils In Tanzania (Final Report), http://www.repoa.or.tz

Reddy, V.R.; Reddy, M.S. and Rout, S.K, 2014, Groundwater governance: A tale of three

participatory models in Andhra Pradesh, India, http://water-alternatives.org

Volume 7 Issue 2 Water Alternatives 7(2): 275-297.

Richard A. Leins, 2014, Village Of Ossining Westchester County, New York Fiscal Year

2015 Tentative Budget, Village Manager, Presented to the Board of Trustees on

November 5, 2014

Sakinah Nadir, 2013, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa:Menuju Pemberdayaan

Masyarakat Des, Jurnal Politik Profetik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013.

Santoso, Purwo, 2015, Sabu Kesejahteraan Nusantara: Merajut desa- desa Perbatasan

sebagai beranda Depan Indonesia, Pokja Perbatasan Universitas Gadjah Mada,

Jojakarta, [email protected] .

Sutoro Eko DKK, 2014, DESA MEMBANGUN INDONESIA, Forum Pengembangan

Pembaharuan Desa (FPPD), http://forumdesa.org , Cetakan Pertama, ISBN: 978-

602-14772-7-4.