arti bermain bagi anak

81
arti bermain bagi anak Arti bermain bagi anak Bermain adalah kegiatan yang sangat dekat dengan dunia anak. Kegiatan ini dapat dilakukan secara perorangan,maupun berkelompok. Jenis permainan, jumlah peserta serta lamanya waktu yang dialokasikan untuk bermain,tergantung pada keingingan serta kesepakatan yangdibuat oleh para peserta. Begitu akrabnya kegiatan bermain ini dengan kesehariankita, sehingga kita kerap menganggapnya sebagai kegiatan biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Namun, benarkah demikian? Bermain vs Bekerja Bermain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata untuk menimbulkan kesenangan. Hal ini senada dengan pendapat Piaget yang menjelaskan bahwa bermain terdiri atas tanggapan yang diulang semata untuk kesenangan fungsional. Pengertian ini membedakan antara bermain dengan bekerja, yang memiliki tujuan tertentu dan tidak harus menimbulkan kesenangan. Saat ini, sekolah telah mengakui nilai dan manfaat bermain yang bersifat edukatif bagi perkembangan para peserta didik. Hal ini terlihat dengan pencakupan kegiatan permainan, olahraga, drama, seni dan sebagainya dalam kurikulum pendidikan formal. Manfaat bermain bagi perkembangan anak Sesungguhnya bermain memberi manfaat yang besar bagi perkembangan anak. Elizabeth B. Hurlock, salah seorang pakar perkembangan anak, menuliskan dalam buku “child development”, setidaknya ada 11 manfaat yang dapat diraih dari kegiatan bermain bagi anak. Namun saya hanya akan menguraikan 9 diantaranya, yaitu: 1. Perkembangan fisik Ketika seorang anak bermain, misalnya bermain permainan tradisional “gobak sodor”, maka akan terjadi koordinasi gerakan otot, terutama otot-otot tungkai dan otot-otot gerakan bola mata. Sehingga otot-otot ini terlatih dan

description

bagaimana melihat tumbang anak

Transcript of arti bermain bagi anak

arti bermain bagi anak

arti bermain bagi anakArti bermain bagi anak

Bermain adalah kegiatan yang sangat dekat dengan dunia anak. Kegiatan ini dapat dilakukan secara perorangan,maupun berkelompok. Jenis permainan, jumlah peserta

serta lamanya waktu yang dialokasikan untuk bermain,tergantung pada keingingan serta kesepakatan yangdibuat oleh para peserta. Begitu akrabnya kegiatan bermain ini dengan kesehariankita, sehingga kita kerap menganggapnya sebagai kegiatan biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Namun, benarkah demikian?

Bermain vs Bekerja

Bermain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata untuk menimbulkan kesenangan. Hal ini senada dengan pendapat Piaget yang menjelaskan bahwa bermain terdiri

atas tanggapan yang diulang semata untuk kesenangan fungsional. Pengertian ini membedakan antara bermain dengan bekerja, yang memiliki tujuan tertentu dan

tidak harus menimbulkan kesenangan. Saat ini, sekolah telah mengakui nilai dan manfaat

bermain yang bersifat edukatif bagi perkembangan para peserta didik. Hal ini terlihat dengan pencakupan kegiatan permainan, olahraga, drama, seni dan sebagainya dalam kurikulum pendidikan formal.

Manfaat bermain bagi perkembangan anak

Sesungguhnya bermain memberi manfaat yang besar bagi perkembangan anak. Elizabeth B. Hurlock, salah seorang pakar perkembangan anak, menuliskan dalam buku child

development, setidaknya ada 11 manfaat yang dapat diraih dari kegiatan bermain bagi anak. Namun saya hanya akan menguraikan 9 diantaranya, yaitu:

1. Perkembangan fisik

Ketika seorang anak bermain, misalnya bermain permainan tradisional gobak sodor, maka akan terjadi koordinasi gerakan otot, terutama otot-otot tungkai dan otot-otot gerakan bola mata. Sehingga otot-otot ini terlatih dan berkembang dengan baik. Selain itu, bermain juga berfungsi untuk menyalurkan energi yang berlebihan pada anak, yang bila terus terpendam akan membuat anak tegang, gelisah dan mudah tersinggung.

2. Penyaluran bagi energi emosional yang terpendam

Seringkali, seorang anak berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang tidak menyenangkan, termasuk pembatasan lingkungan atas perilaku mereka, yang secara tidak sadar menimbulkan ketegangan dalam dirinya. Ketegangan ini berkurang ketika anak bermain. Aturan-aturan ketat yang mesti ditaati di rumah, misalnya jadwal belajar anak, seringkali membuat anak merasa terkekang. Jika tidak ada komunikasi yang baik antara anak dan orangtua, maka kondisi ini akan terus membebani sang anak. Para orangtua dapat memperbaiki kondisi ini dengan terus membangun komunikasi yang terbuka dengan anak-anaknya, mendengarkan keluhan-keluhan mereka, bukan menceramahi. Selain itu, anak pun perlu diberikan kesempatan yang cukup untuk beristirahat (baca: bermain pen) pada waktu yang telah disepakati bersama. Sebab kita sama-sama mengetahui bahwa terlalu mengekang seorang anak, sama buruknya dengan memberikan kebebasan yang tanpa batas.3. Dorongan berkomunikasi

Seorang anak memiliki kesempatan berlatih komunikasi melalui sebuah permainan. Mereka belajar mengungkapkan ide-ide serta memberikan pemahaman pada teman-teman

sepermainannya tentang aturan dan teknis permainan yang akan dilakukan, sehingga permainan dapat berlangsung berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh para peserta, melalui penyampaian pesan yang efektif dan dimengerti antar peserta permainan.

4. Penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan

Ada begitu banyak keingingan dan kebutuhan anak yang tidak dapat dipenuhi dengan cara lain, seringkali bisa diwujudkan melalui kegiatan bermain. Seorang anak,

bisa menjadi siapapun yag ia inginkan ketika bermain. Ia mampu mewujudkan keinginannya menjadi seorang dokter, tentara maupun seorang pemimpin pasukan perang-perangan, yang mustahil mereka wujudkan dalam kehidupan nyata.

5. Sumber belajar

Melalui bermain, seorang anak dapat mempelajari banyak hal, yang tidak selalu mereka peroleh di institusi pendidikan formal. Mereka belajar tentang arti bekerjasama, sportifitas, menyenangkannya sebuah kemenangan maupun kesedihan ketika mengalami

kekalahan. Semakin beragam media permainan serta banyaknya variasi kegiatan, maka akan semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman baru yang mereka terima. Hal ini dapat difasilitasi oleh para orang tua dengan cara memasukkan unsur pengetahuan populer dalam permaianan anak. Bermain sambil belajar akan memberikan dua manfaat

sekaligus pada anak; yaitu kesenangan, serta kecintaan terhadap ilmu pengetahuan sejak dini.

5. Rangsangan bagi kreatifitas

Ketika anak-anak bermain, mereka kerap merasakan adanya kejenuhan ataupun rasa bosan. Pada saat seperti inilah mereka biasanya mencoba melakukan sebuah variasi permainan. Disini mereka belajar untuk mengembangkan daya kreatifitas dan imajinasinya. Ide-ide spontan yang dikemukakan oleh seorang anak, dan jika kemudian

diterima oleh teman sepermainannya, akan menimbulkan adanya rasa penghargaan dari lingkungan serta menjadi motivasi munculnya ide-ide kreatif yang lain. Permainan pun akan kembali terasa menyenagkan.

6. Perkembangan wawasan diri

Melalui bermain, seorang anak dapat mengetahui kemampuan teman-teman sepermainannya, kemudian membandingkannya dengan kemampuan yang ia miliki. Hal

ini memungkinkan terbangunnya konsep diri yang lebih jelas dan pasti. Ia akan berusaha meningkatkan kemampuannya, jika ternyata ia jauh tertinggal dibandingkan teman-teman

sepermainannya. Hal ini menjadi faktor pendorong yang sehat dalam pengembangan diri seorang anak.

7. Belajar bermasyarakat

Bersosialisasi dengan teman-teman sebaya merupakan hal penting yang perlu dilakukan oleh anak. Kegiatan bermain menjadikan proses bersosialisai tersebut terbangun dengan cara yang wajar dan menyenangkan. Tidak jarang timbul beberapa masalah ketika anak-anak bermain. Mereka belajar untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang timbul dalam sebuah permainan secara bersama-sama. Disini hubungan sosial diantara mereka terbangun.

8. Standar moral

Meskipun dalam lingkungan keluarga maupun sekolah, anak telah diajarkan tentang hal-hal yang dianggap baik dan buruk dalam hidup bermasyarakat, namun tiada standar moral yang lebih teguh selain dalam kelompok bermain. Kecurangan dan sikap tidak sportif yang ditunjukkan oleh seorang anak dalam sebuah permainan, tidak jarang menyebabkan lahirnya sanksi sosial yang membuatnya jera. Disini, ia belajar untuk selalu mematuhi standar moral yang telah disepakati oleh kelompok bermainnya

BERMAIN = BELAJARInformasi buku:Einstein Never Used Flash Cards : How Our Children Really Learn And Why They Need to Play More and Memorize Lessby Roberta Michnick Golinkoff (Author), Kathy Hirsh-Pasek (Author), Diane Eyer (Author)Hardcover: 272 pages ; Dimensions (in inches): 1.15 x 9.39 x 6.38Publisher: Rodale Press; (October 3, 2003)ISBN: 1579546951

Itu pesan yang disampaikan dalam buku ini yang ditulis oleh tiga peneliti di bidang psikologi perkembangan. Pesan tersebut didukung oleh berbagai penelitian dalam bidang psikologi perkembangan anak selama 40 tahun belakangan. Tetapi meskipun bukti-bukti penelitian menyatakan demikian, pesan tersebut tampaknya tidak sampai kepada kita, orang tua dan pengasuh anak. Buku ini mengingatkan kita bahwa kita terjebak dalam asumsi yang salah sehingga kita membuat anak-anak kita belajar (dalam konteks akademis) lebih awal dan mengurangi waktu bermain mereka, sementara dalam bermainlah anak-anak belajar banyak.

Sebagai orang tua, kita tentu selalu mengkhawatirkan kesejahteraan anak-anak kita. Salah satu yang kita khawatirkan adalah apakah anak kita akan memiliki keunggulan untuk bersaing di dunia yang semakin kompetitif. Akibatnya kita sangat mengedepankan perkembangan otak anak: susu formula yang kita pilih adalah susu yang mengandung semua zat yang membantu pertumbuhan otak bayi; kita membelikan mainan yang merangsang intelejensia anak; musik Mozart dan Bach menjadi menu bagi telinga mereka. Begitu anak-anak kita mulai bicara, sebagian dari kita berlomba-lomba memasukkan anak-anak kita ke kelompok bermain dan taman kanak-kanak yang menawarkan pelajaran musik, program dwi-bahasa, mental aritmatika dan berbagai aktivitas lain. Kita merasa bahwa belajar secara mandiri sebagaimana yang telah dilakukan selama ribuan tahun tidak lagi cukup. Kekhawatiran kita menyebabkan anak-anak kita menjadi anak-anak yang dibuat tergesa-gesa, dan mereka pun kehilangan masa kecil.

Telah banyak pakar yang membicarakan masalah di atas, dan para penulis dalam buku ini memberikan penawarnya. Dalam buku ini kita bisa menemukan berbagai bukti ilmiah mengenai perkembangan intelektual dan sosial anak tanpa bumbu-bumbu apa pun dari media massa maupun dari pemasaran industri pendidikan anak sehingga kita bisa lebih mengerti perkembangan anak kita dan mengapa bermain adalah belajar. Dengan berbekal pengetahuan tersebut, kita sebagai orang tua diharapkan dapat lebih percaya diri dalam mendidik generasi mendatang.

Buku ini dibagi dalam sepuluh bab. Setiap bab berisikan bukti-bukti penelitian dan tips-tips bagaimana secara praktis menerapkan berbagai hasil penelitian tersebut dalam keseharian. Penulis membuka dengan mengungkapkan situasi orang tua modern di mana mereka menghadapi situasi yang kompetitif dan mereka berupaya agar anak-anak mereka bisa unggul dengan persiapan sejak dini. Di bab dua, buku ini membahas otak dan perkembangannya, dan membantah mitos-mitos yang berkembang seputar perkembangan otak dan intelejensia anak. Bab-bab selanjutnya menjelaskan perkembangan anak dalam hal kemampuan mengenal kuantitas, bahasa, membaca, intelejensia, dan keterampilan sosial. Dalam dua bab terakhir, penulis menjelaskan mengenai bermain dan pentingnya bermain sebagai sarana belajar, serta rumus-rumus baru bagi kita sebagai orang tua dalam mengasuh anak.

Salah satu kesimpulan penelitan yang disampaikan di bab pertama adalah bahwa hubungan yang responsif dan bersifat mengasuh yang diterima anak dari orang tua dan para pengasuh merupakan hal kunci dalam memperkirakan perkembangan intelektual dan emosional anak. Selain itu sebuah kajian oleh salah seorang penulis terhadap anak-anak yang dimasukkan ke taman kanak-kanak akademis dengan yang dimasukkan ke TK biasa yang mengutamakan bermain menemukan bahwa mereka yang masuk ke TK akademis tidak memiliki keunggulan akademis jangka pendek, apalagi jangka panjang, dibandingkan dengan yang masuk ke TK biasa. Perbedaan kemampuan akademis antara kedua kelompok bahkan tak terlihat di kelas satu SD. Tetapi terdapat satu perbedaan antara kedua kelompok. Kelompok pertama terlihat lebih gelisah dan kurang kreatif dibandingkan kelompok kedua. Jadi, anak-anak menjadi korban jika belajar secara akademik dipaksakan sebelum mereka siap.

Bab dua dimulai dengan menjelaskan otak dan sel-sel syaraf sehingga kita mengerti bagaimana mereka bekerja. Menurut penelitian, otak terus berkembang dan berubah selama selama hidup manusia dengan menciptakan sinapsis-sinapsis baru, memperkuat yang perlu, dan sebaliknya menghapus yang tidak perlu. Penghapusan sinapsis (hubungan antara sel-sel syaraf) adalah sesuatu yang penting bagi otak agar bisa membuat keputusan dengan cepat dan tepat. Bahkan sebuah kelainan genetik yang mengakibatkan cacat mental terkait dengan tidak adanya penghapusan sinapsis. Dengan demikian anggapan umum bahwa kita harus melakukan berbagai upaya agar jangan sampai bayi kehilangan banyak sinapsis adalah salah.

Seperti anggapan di atas, mitos mengenai lingkungan yang diperkaya juga tidak memiliki landasan ilmiah. Mitos mengenai lingkungan yang diperkaya akan merangsang pertumbuhan otak bayi adalah interpretasi yang salah atas penelitian yang membandingkan besar otak tikus yang dibesarkan sendiri di kandang sempit dengan yang dibesarkan bersama beberapa tikus lain di kandang besar yang berisi mainan, lorong-lorong, dan perosotan (lingkungan yang diperkaya). Hasil penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa tikus yang memiliki otak paling besar adalah tikus yang dibesarkan di lingkungan alami. Sayangnya hasil yang terakhir ini kurang mendapatkan publikasi yang luas. Seorang peneliti mengungkapkan kekhawatiran bahwa memperkenalkan lingkungan yang diperkaya dan program pelatihan yang ambisius lebih awal kepada anak berpotensi mengurangi kreativitas si anak. Jadi, terlalu banyak belajar lebih awal justru menjadi penghambat dan bukan pendorong bagi perkembangan intelejensia anak.

Kita juga sering mendengar bahwa tiga tahun pertama anak adalah masa kritis pertumbuhan otak yang akan menentukan apakah si anak akan menjadi seorang jenius di masa datang, dan selepas tiga tahun kesempatan itu tidak ada lagi. Tetapi anggapan ini juga tidak benar. Sebagai contoh, penelitian mengenai kemampuan berbahasa Inggris terhadap imigran dari Cina atau Spanyol di Amerika menemukan bahwa imigran yang datang waktu Ia lebih muda memiliki kemampuan yang lebih baik, tetapi tidak ada masa kritis di mana bahasa asing tidak lagi bisa dipelajari. Terlebih lagi, tidak ada bukti yang menunjukkan pengalaman belajar di masa kecil membantu pertumbuhan otak. Selama anak tumbuh di lingkungan yang normal, dan dikelilingi orang-orang yang menyayangi mereka, otak mereka akan tumbuh sendiri.

Setelah mematahkan anggapan umum mengenai perkembangan otak, buku ini kemudian menjelaskan bagaimana anak-anak mempelajari kuantitas. Bayi diperkirakan telah mengetahui konsep lebih dan kurang. Saat mereka tumbuh, kemampuan mereka berkembang menjadi mengetahui jumlah, dan para usia sekitar lima tahun mereka telah bisa menghitung dan membandingkan jumlah. Dalam hal bahasa, bayi telah mengetahui bahasa ibunya saat mereka masih berusia dua hari, dan saat mereka berusia lima bulan mereka tahu bahwa bahasa terdiri atas kalimat-kalimat. Ketika mereka berusia sekitar 18 bulan dan telah menguasai 50 kata, yang merupakan massa kritis di mana mereka mulai bisa membentuk kalimat dari dua kata. Saat itulah mereka mulai sering bertanya, apa ini?, apa itu?, dan bayi 18-20 bulan mampu belajar hingga sembilan kata per-hari. Kemampuan berbahasa anak terus berkembang dengan cara menemukan pola-pola di dalam bahasa dan kemudian belajar menggunakannya sendiri.

Kemampuan berbahasa adalah dasar bagi kemampuan membaca anak. Sebelum anak dapat membaca, mereka harus mengembangkan empat kemampuan dasar: kosa kata, bercerita, mengenal fonem, dan mengetahui kode tertulis. Kemampuan mengenal fonem berarti mampu memisahkan bunyi dalam kata, seperti t di topi dan k di makan. Berdasarkan penelitian, 17 persen murid taman kanak-kanak dan 70 persen murid kelas satu sekolah dasar mampu memisahkan bunyi dalam kata. Anak harus mampu mengenal kode tertulis sebelum bisa membaca, yakni memisahkan huruf-huruf dari kata, mengetahui bunyi yang dihasilkan huruf-huruf, dan menggabungkan bunyi masing-masing huruf sehingga membentuk kata. Kemampuan membaca lalu diikuti oleh kemampuan menulis yang biasa dimulai pada usia taman kanak-kanak. Saat anak mulai menuliskan kata-kata yang mereka dengar tetapi mereka salah menuliskan ejaan, mereka telah mencapai kemajuan besar yaitu mengerti bagaimana cara kerja kata dalam bahasa.

Anak-anak belajar dari kegiatan mereka sehari-hari. Mereka selalu belajar dengan aktif, dan berusaha mengerti lingkungan mereka. Sesuatu berulang-ulang yang dilakukan anak-anak, yang kadang membuat kita kesal, sering merupakan cara mereka untuk mengerti sesuatu. Kalau kita memperlihatkan kartu-kartu yang bergambar (flash card) dan mengucapkan apa yang tergambar di kartu tersebut, mereka akan membeo. Tetapi kalau kita membiarkan mereka bermain dengan permen mereka akan tertarik dengan kuantitas. Kunci dalam proses belajar mereka adalah belajar dalam konteks.

Buku ini juga menjelaskan perkembangan anak dalam hal mengenal identitas diri, yaitu mengenal tubuh dan mengenal emosi serta bagaimana mengendalikan emosi sendiri. Anak pun mulai bisa mengevaluasi diri sendiri, tetapi kemampuan ini membutuhkan waktu yang lama. Menurut hasil penelitian, hanya 59 persen anak berusia 30 40 bulan memberikan respon secara emosional saat mereka berlaku buruk.

Dalam perkembangan sosialnya, dijelaskan bahwa anak pertama-tama mulai bisa membedakan antara orang dan barang, kemudian mereka bisa mengetahui emosi orang lain, dan pada tahap akhir mereka bisa menghargai bahwa orang lain berbeda pandangan daripada mereka. Dalam perkembangan tahap kedua, para peneliti melihat bahwa bayi membentuk keterikatan dengan sekelompok orang, dan sifat keterikatan di masa awal kehidupan mereka penting dan dapat memberikan dampak yang besar dalam penyesuaian-penyesuaian emosi dan akademik anak nantinya. Walaupun begitu, hubungan antara keterikatan dan penyesuaian di masa datang hanya terlihat jika si anak terus berada dalam lingkungan yang menyayangi dan mendukungnya.

Sebagai orang tua, yang perlu kita lakukan adalah memberikan dukungan bagi anak-anak untuk berkembang secara sehat. Salah satu dukungan tersebut mungkin telah kita lakukan selama ini, yaitu apa yang disebut sebagai scaffolding di mana kala kita melihat anak kesulitan melakukan sesuatu kita lalu memberikan sedikit bantuan yang membuat mereka dapat melakukan hal tersebut. Misalnya saat anak menyusun puzzle dan ia kesulitan, kita membantu dengan memasangkan satu potong puzzle sehingga ia bisa menyelesaikan puzzle tersebut. Hal lain yang dapat kita lakukan adalah dengan berbicara dengan anak dan membaca buku bagi mereka. Kegiatan ini dapat menambah kosakata (penguasaan kosakata dapat meningkatkan IQ sebesar 15-20 poin), penguasaan bahasa, dan minat baca. Selain itu, jika kita berbicara dengan mereka tentang emosi orang lain, hal ini dapat meningkatkan intelejensia sosial mereka. Misalnya, kita dapat menjelaskan kepada mereka, Si polan sedih karena mainannya hilang, atau Si polan menangis karena tangannya sakit.

Karena si anak adalah mesin bagi perkembangan mereka sendiri, maka yang sebaiknya dilakukan orang tua adalah menjadi mitra bagi mereka. Kita berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas anak kita, tetapi mereka lah yang memimpin dalam aktivitas-aktivitas tersebut. Kita mengulurkan sedikit bantuan kepada mereka (scaffolding) dan mengarahkan mereka mengenai hal-hal yang menyangkut moral. Di samping itu tentu saja kita harus memberikan pujian kepada mereka.

Pujian adalah senjata yang kuat sekaligus berbahaya. Ada anggapan umum yang salah bahwa memuji intelejensia anak dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka dalam bidang akademik. Anak-anak perlu dipuji atas usaha mereka karena belajar harus dilihat sebagai proses, bukan sebagai pembuktian atas kemampuan mereka. Dengan memuji usaha anak, kita mengajari mereka untuk menilai diri sendiri atas upaya yang mereka kerahkan untuk mencapai sesuatu sehingga mereka tumbuh menjadi manusia yang tidak mudah menyerah.

Setelah kita tahu bagaimana perkembangan anak di berbagai sisi, lantas bagaimana dengan bermain? Bab 9 menjelaskan pentingnya bermain bagi anak. Bukti-bukti penelitian menunjukkan dengan jelas, bermain mendorong perkembangan di berbagai sisi. Para peneliti telah menemukan bahwa bermain terkait dengan kreativitas dan imajinasi yang lebih baik, dan bahkan dengan kemampuan membaca dan skor IQ yang lebih tinggi. Jadi, jelas bahwa BERMAIN = BELAJAR. Terlebih lagi, jika orang dewasa ikut (bukan mengontrol) bermain dengan anak, tingkat permainan mereka meningkat.

Bagaimana mendefinisikan bermain? Menurut para peneliti, bermain memiliki lima unsur. Pertama, bermain harus bisa dinikmati dan menyenangkan. Kedua, bermain tidak boleh memiliki tujuan yang ditentukan. Ketiga, bermain harus spontan dan sukarela, bebas sesuai pilihan yang bermain. Keempat, para pemain harus terlibat aktif. Dan terakhir, bermain mengandung unsur berpura-pura.

Dari kelima unsur tersebut, yang paling sering kita hilangkan adalah unsur kedua. Kita membelikan anak-anak kita mainan yang mengandung unsur pendidikan. Hal ini tidak berarti semua mainan tersebut tidak bagus bagi anak. Yang perlu kita ingat adalah mainan tersebut, bukan si anak, menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Hal serupa terjadi dalam aktivitas-aktivitas yang terorganisir: orang dewasa mengarahkan apa yang harus dilakukan anak. Anak-anak perlu mengarahkan sendiri kegiatan bermain mereka. Dengan begitu, mereka merasa memiliki kekuasaan atas permainan mereka. Ini adalah salah satu fungsi utama bermain.

Menjauhkan anak dari bermain dapat mengarah kepada depresi dan kekerasan. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa tanpa bermain, binatang mengalami penundaan dalam kematangan otak. Penelitian juga membuktikan bahwa memberikan istirahat bermain kepada anak si sekolah memaksimalkan perhatian mereka kepada tugas-tugas sekolah yang melibatkan berpikir.

Semua peneliti sepakat bahwa bermain memberikan dasar yang kuat bagi pertumbuhan intelejensia, kreativitas, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Bermain juga merupakan alat untuk perkembangan emosi serta pengembangan keterampilan-keterampilan sosial dasar anak. Kita, orang tua, juga mungkin telah mengerti hal ini, tetapi mungkin kita kurang memfasilitasi anak untuk bermain karena kita khawatir bahwa mereka menjadi tidak belajar.

Buku ini memberikan banyak penjelasan tentang bermain dan manfaatnya. Saat anak bermain dengan benda-benda fisik, mereka belajar tentang hubungan antara satu benda dengan benda yang lain. Pengalaman mereka dari memainkan benda-benda tersebut tidak bisa diganti dengan kartu-kartu bergambar, atau bahkan dengan permainan komputer. Kreatifitas mereka diasah dengan bermain bebas dan tak terstruktur. Kemampuan berbahasa mereka berkembang dengan bermain pura-pura. Ketika mereka bermain masak-masakan dengan teman-teman, mereka mengembangkan kemampuan sosial mereka. Anak-anak yang berlari ke sana ke mari melatih kemampuan motorik mereka.

Albert Einstein memiliki kepandaian yang luar biasa, bukan karena Ia mengetahui banyak hal, tetapi Ia pemikir yang hebat. Tidak sedikit dari kita yang mengharapkan anak-anak kita memiliki kepandaian seperti Einstein. Waktu ia berusia 6 tahun, ia diikutkan dalam pelajaran musik, tetapi ia tidak pandai-pandai. Tiba-tiba pada umur 13 tahun ia sangat menyenangi Mozart dan pandai bermain biola. Komentar Einstein tentang kemampuan musiknya adalah Love is a better teacher than a sense of duty.

Yang dapat kita pelajari dari masa kecil Einstein adalah Ia mengambil jalannya sendiri, dan sebagian besar proses belajarnya terjadi saat Ia bermain. Jadi, kalau ibu Einstein tidak mengajarinya dengan kartu-kartu bergambar, mengapa kita harus melatih (drill) anak-anak kita, mengajarkan mereka membaca sebelum masuk taman kanak-kanak, bahkan mengajari mereka aritmatika sebelum umur tiga tahun? Kita tentu melakukan hal-hal tersebut dengan niat baik, tetapi mungkin kita melakukannya hanya karena kita tidak menerima informasi yang benar.

Buku ini menyebutkan empat mitos yang tak sehat yang menjadi petunjuk bagi kita dalam membesarkan anak:

1. Lebih cepat lebih baikKita ingin mempercepat perkembangan kognitif dan sosial anak.

2. Jadikan setiap saat berartiJangan sampai ada waktu anak yang terbuang percuma.3. Orang tua adalah serba bisaKita menganggap bahwa hanya kita yang bertanggung jawab atas perkembangan anak.4. Anak adalah gelas kosongAnak-anak hanya menunggu untuk diisi. Kita perlu melepaskan diri dari asumsi-asumsi tersebut, lalu mendidik anak-anak kita menggunakan empat prinsip berikut:

1. Belajar yang paling baik adalah belajar yang berada dalam jangkauan anakAnak perlu keluarga, teman, dan guru mereka untuk melampaui kemampuan alami mereka. 2. Menekankan proses di atas hasil menciptakan kecintaan terhadap belajarKita perlu memperhatikan bagaimana mereka belajar selain apa yang mereka pelajari. 3. EQ, bukan hanya IQAnak yang lebih banyak bermain cenderung lebih bahagia, dan mereka cenderung memiliki hubungan lebih baik dengan teman-teman mereka, dan kemudian lebih aktif di sekolah. EQ dan IQ berkembang melalui bermain.

4. Belajar dalam konteks adalah belajar yang sebenarnya dan bermain adalah guru terbaik. Dengan segala pengetahuan yang kita peroleh dari penelitian-penellitian tentang perkembangan anak, yang paling penting bagi kita orang tua adalah menciptakan keseimbangan. Keseimbangan antara bermain bebas dan aktivitas yang diorganisasikan orang dewasa. Dengan kesadaran seperti ini, kita orang tua dapat memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita.

Sebagai penutup, buku ini memberikan tiga kunci, yaitu 3 R, untuk mencapai keseimbangan tersebut:

1. ReflectTanyakan diri kita saat kita mendaftarkan anak kita ke suatu aktivitas yang terstruktur, apakah kita melakukannya karena keempat mitos salah yang disinggung di atas.2. ResistTolak dorongan yang mengatakan bahwa lebih cepat adalah lebih baik.3. Re-centerFokus kembali kepada empat prinsip di atas yang memiliki landasan ilmiah. Bukti-bukti ilmiah yang ada di dalam buku ini membuat kita orang tua bisa merasa lebih tenang dalam membesarkan putra-putri kita karena kita mengetahui bahwa bermain memberi manfaat yang banyak bagi perkembangan anak. Buku ini berisi banyak sekali tips-tips praktis untuk membantu anak kita mengembangkan diri mereka secara sehat. Sayang sekali untuk melewatkan buku ini. Selamat membaca!Tergila-gila ''Playstation''

SAYA memiliki 2 orang anak laki-laki dan perempuan yang berusia 10 dan 5 tahun. Yang bermasalah yang sulung laki-laki ini Bu. Kegemarannya main playstation sangat menakutkan saya. Dulu dengan pertimbangan agar tidak mengganggu pelajaran sekolahnya maka kami tidak membelikannya. Tetapi dia sering main di tetangga tiap Sabtu dan Minggu.

Masalahnya, sekarang makin banyaknya bermunculan tempat penyewaan playstation, bahkan ada 3 tempat di lingkungan tempat tinggal kami membuatnya seperti tergila-gila pada playstation. Uang sakunya bahkan tidak pernah digunakan untuk membeli makanan. Dia yang biasanya paling tidak tahan lapar, akhir-akhir ini saya lihat dia lebih baik memilih kelaparan, asalkan bisa menyewa playstation.

Kami berdua bekerja sampai jam 5 sore. Dia dengan adik dan neneknya di rumah. Neneknya tidak bisa berbuat apa dan tidak didengar kalau memberi nasihat agar pulang. Kadang-kadang memaksa pada neneknya untuk meminta uang tambahan kalau uang sakunya habis. Tetapi seringkali hanya melihat temannya bermain kalau dia tidak punya uang. Jadi sepulang sekolah pkl. 13.00 Wita, waktunya dihabiskan sampai sore di tempat penyewaan playstation. Saya benar-benar kebingungan melihatnya. Kenapa dia bisa tergila-gila sampai sedemikian rupa dengan playstation. Pelajarannya mulai menurun karena sampai di rumah malam harinya mengeluh capek dan akhirnya malas belajar.

M. Busri, Panjer

Mari kita lihat dan bahas satu demi satu. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, permainan anak pun berkembang dan berubah cepat. Kalau dulu anak bermain dengan alat permainan sederhana seperti kulit semangka jadi mobil-mobilan, kuda-kudaan dari pelepah daun pisang dan bermain layang-layang dari koran di lapangan, sawah, halaman atau kebun yang luas, sambil mencari jangkrik, ulat dan menangkap kupu-kupu. Kini dengan makin sempitnya lahan tempat bermain, industri elektronika menawarkan aneka mainan jadi untuk mengisi waktu anak-anak di rumah, karena kebun dan sawah tidak dapat mereka jumpai lagi.

Dimulai dari televisi. Saat itu begitu banyaknya anak-anak yang keranjingan menonton televisi sekaligus meniru terutama adegan-adegan kekerasan yang mereka lihat. Para ahli pun meneliti dan menemukan banyaknya dampak buruk televisi bagi perkembangan anak, mereka mengritik habis-habisan stasiun televisi yang menayangkan adegan kekerasan pada acara jam tayang anak. Tetapi tidak sedikit pula yang mengacungkan jempol pada stasiun televisi yang mampu menghadirkan beberapa acara anak-anak yang dirasakan bermanfaat bagi perkembangan anak. Jadi di samping dampak buruknya, televisi juga memiliki pengaruh positif bagi penambahan wawasan dan pengetahuan anak.

Seperti halnya televisi, playstation-pun memiliki sisi negatif dan sisi positif. Pengaruhnya sangat tergantung pada upaya lingkungan untuk mengkomunikasikannya pada anak.

Dampak Negatif

Duduk berjam-jam keasyikan memainkan playstation membuat anak kurang bergerak, kurang bermain dan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Bahkan pada beberapa anak yang cara duduknya kurang benar akan berakibat fatal pada pertumbuhan tulang belakangnya. Kondisi ini juga dapat membuat anak memiliki persepsi lebih enak bermain sendiri dan menghambat dorongan berinterasi sosialnya karena merasa tanpa melibatkan serta berkomunikasi dengan orang lain dia bisa 'enjoy'. Ini jelas menghambat perkembangan fisik, motorik serta sosialnya.

Keasyikannya bermain playstation akan mengganggu kegiatan lain seperti belajar, makan ataupun tidur. Anak yang sudah keasyikan memainkan playstation akan merasa terus tertantang untuk menemukan cara-cara bermain yang baru. Kondisi ini akan berdampak pada kelelahan mata, kelelahan fisik dan emosi serta dampak-dampak lainnya yang sudah menunggu. Seperti putranya yang sampai di rumah mengeluh capek dan mengantuk lalu menolak untuk belajar sehingga prestasinya mulai menurun.

Sementara itu yang dipacu pada alat permainan elektronik ini adalah kemampuan anak untuk bereaksi cepat melalui latihan yang terus menerus (drilling). Pada permainan ini umumnya anak tidak belajar dari kesalahan, tidak belajar memecahkan masalah karena kepraktisannya memencet tombol, ia dihadapkan pada jawaban salah dan benar. Dalam permainan ini pada umumnya juga tidak disajikan bagaimana cara untuk sampai pada jawaban yang benar. Jelas ini bukan gambaran dari kondisi yang sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari yang mengajarkan pada anak bahwa untuk mencapai keberhasilan ia perlu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Karena itu banyak ahli berpendapat video games dan playstation tidaklah merangsang kreativitas anak, justru menghambat sosialisasinya.

Bagaimana Sebaiknya

Perjanjian bersama. Bicarakan dengan anak dan bikin komitmen bersama atau perjanjian tertulis kalau perlu terutama untuk anak usia 6 tahun ke atas, porsi jam dan waktu anak bermain playstation. Misalnya, sepulang sekolah makan dulu, mengerjakan PR 1 jam, lalu bermain playstation 2 jam, lantas sebelum orangtua pulang kantor anak sudah harus di rumah, mandi dan siap belajar. Main playstation dalam seminggu cukup 3 kali saja sehingga hari lain bisa diisi dengan aktivitas lainnya yang positif.

Posisi bermain. Anak harus memahami hal-hal buruk playstation sehingga harus mengikuti aturan tiap 1 jam anak bermain harus mengistirahatkan matanya dari layar paling tidak 5 menit dan bangkit sementara dari tempat duduknya. Ajarkan pula bagaimana duduk yang baik dengan punggung tegak agar tidak mengganggu pertumbuhan tulang belakangnya.

Aktivitas Positif yang LainDorong anak untuk tetap mengembangkan kemampuan sosialnya dengan berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sebaya, juga mendorong untuk menemukan dunia bermain yang juga cukup asyik dan menantang di luar rumah bersama teman-temannya. Misalnya, dorong mereka bikin klub sepak bola, bola basket, sepeda gayung atau kelompok belajar bersama, kursus menari atau melukis di banjar.

Jadwal KegiatanBuatlah jadwal dengan anak untuk diingat, untuk disiplin terhadap waktu makan, dan beristirahat, serta bersosialisasi dengan anggota keluarga lain. Mempersyaratkan bahwa acara main playstation bukan kegiatan utama liburan melainkan hanya kegiatan tambahan atau alternatif kegiatan serta tidak boleh sampai mengabaikan hal-hal lain. Ini untuk menunjukkan bahwa ada dunia lain di luar playstation yang juga menyenangkan untuk dijelajahi dan dikembangkan. Misalnya, Sabtu sore bersama keluarga ke pantai, Minggu pagi jalan santai dan berolah raga bersama keluarga, Rabu sore mengunjungi keluarga, Jumat sore ke toko buku dsb.

Selektif terhadap Materi TontonanAjarkan keterampilan memilah-milah mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak boleh, kenapa baik dan boleh dilakukan dan apa alasannya kenapa tidak boleh dilakukan dan dampak buruknya. Contohnya dalam pemilihan kaset, doronglah anak untuk memilih kaset-kaset yang mampu merangsang daya imajinasi dan aspek kognitif (berpikirnya) bukan yang cenderung mengarah pada kekejaman atau agresivitas. Para pelaku bisnis penyewaan kaset kan juga para tetangga ya Pak? Bicaralah pada mereka untuk menyewakan kaset yang sesuai dengan perkembangan anak-anak. Karena dampak playstation bagi perkembangan anak adalah tanggung jawab bersama.

Reward dan Punishment

Karena sudah menjadi komitmen bersama dengan anak, maka bicarakan juga hadiah kalau anak melakukan komitmen dengan baik, misalnya bintang yang bisa dikumpulkannya tiap hari dan ditukar dengan sesuatu yang diinginkannya seperti sepatu roda, mobil remote, berlibur ke luar kota dsb. Demikian juga hukuman kalau anak melanggar aturan yang telah diputuskan bersama seperti memotong uang saku, hilangnya jadwal main playstation, membersihkan kamar mandi, mencuci mobil ayah dsb.

Memang seperti halnya televisi, playstation juga menyimpan banyak sisi positif. Beberapa permainannya banyak merangsang kemampuan kognitif anak seperti permainan yang ditujukan untuk memperkenalkan anak pada aneka huruf, angka, warna, binatang, bahasa dsb. Demikian pula keterampilan koordinasi tangan dan mata bisa terlatih lewat media ini. Beberapa ahli bahkan percaya, alat permainan ini dapat digunakan untuk melatih dan meningkatkan rentang perhatian dan konsentrasi anak karena berisi sesuatu yang kemungkinan besar akan menarik minat anak-anak. Di samping itu juga dapat berfungsi sebagai ajang kompetisi anak dengan dirinya sendiri.

Nah, sekarang tinggal bagaimana peranan orangtua dalam mengkomunikasikan dengan anak untuk meminimalkan dampak negatif permainan elektronik ini dan mengoptimalkan dampak positifnya bagi perkembangan anak. Dan hal yang perlu diingat, tren bermain selalu berganti-ganti, namun komunikasi adalah kunci semuanya

Mainan Yang MencerdaskanIni artikel hasil wawancara Koran Tempo dengan Taufan Surana. ''Memilih mainan anak gampang-gampang susah. Salah pilih, akibatnya bisa runyam. Bila permainan terlalu rumit anak bisa stres. Ini lambat laun akan berdampak buruk bagi perkembangan emosinya. Sebaliknya...''

Memilih mainan anak gampang-gampang susah. Salah pilih, akibatnya bisa runyam. Bila permainan terlalu rumit anak bisa stres. Ini lambat laun akan berdampak buruk bagi perkembangan emosinya. Sebaliknya, permainan yang terlalu mudah pun tak membawa manfaat bagi mereka. Karena interestnya berkurang dan tak merasa tertantang.

Menurut Taufan Surana, pengelola dan pemilik situs BalitaCerdas.com, yang paling penting dalam memilih mainan untuk anak adalah yang dapat merangsang semua panca inderanya. Semakin banyak panca indera digunakan, sel-sel otak anak akan lebih banyak berkembang dari segi kualitas dan jumlahnya.

Jangan remehkan sepeda roda tiga. Kata Taufan, dari penelitian yang dia himpun, sepeda roda tiga mampu merangsang seluruh panca indera. Komposisi gerak dan visualnya akan semakin terasah. ''Anak berlatih mengkoordinasikan gerakan, pandangan dan situasi sekitarnya'', jelas Taufan.

Permainan lain yang bisa dijadikan alternatif adalah Flash Card. Permainan kartu bergambar ini terdiri dari 150 kartu dengan bermacam-macam gambar seperti gambar buah, binatang, kendaraan, warna ataupun angka, dll. Cara memainkannya, cukup dengan menunjukkan gambar secara cepat (satu gambar per detik) di hadapan anak. Meski mungkin belum lancar, biasanya anak usia sampai dengan tiga tahun sudah bisa mengenali gambar berikut namanya. ''Permainan ini bisa dimainkan sejak anak berusia empat bulan'', ujar Taufan yang juga memproduksi Flash Card.

(catatan: Flash Card BalitaCerdas.com bisa diperoleh di

www.balitacerdas.com/fc)

Permainan Flash Card ini menurut Taufan bisa membantu memaksimalkan kemampuan photographic memory, serta membangkitkan respon otak kanan pada anak balita. Yaitu dengan cara mengendalikan pikiran bawah sadar, emosi, kreatif dan intuitif pada balita sejak dini.

Berikut adalah beberapa tips dalam memilih mainan untuk anak:

1. Orangtua perlu tahu tahap-tahap perkembangan anak, baik usia, emosi dan fisiknya.

2. Peduli terhadap mainan yang digunakan. Jangan asal beli yang mahal, sesuaikan dengan kemampuan anak. 3. Keamanan alat bermain perlu diperhatikan, baik dari bahan (materil dan catnya) dan kinerja alat tersebut (yang menghindari cedera ketika digunakan). 4. Pilih mainan yang berwarna kontras dan cerah, untuk merangsang indera penglihatan anak.

5. Pastikan semua mainan dalam jangkauan anak, agar terhindar dari cedera ketika anak berusaha mencapainya.

6. Anak di usia enam bulan keatas suka mainan yang mengeluarkan bunyi dan benda berwarna seperti genta, bel, lonceng mini, gambar penuh warna maupun benda berteksturlembut. 7. Beri mainan seperti lego dan sejenisnya yang mempunyai variasi bentuk pada anak usia 9 bulan keatas, atau mainan serupa yang dapat dimainkan sewaktu mandi. 8. Tak perlu mainan mahal untuk anak Anda. Si kecil butuh stimulus untuk merangsang kreatifitasnya, dan ini bisa anda lakukan dengan membuatnya sendiri. Tentu, kreatifitas Anda yang diperlukan

Dunia Sekolah, bukan Sekolah Dunia

Dida, keponakan saya, meski bahasa Inggrisnya belum lancar, senang tinggal di Ostrali. "Pelajaran matematikanya nggak sesulit SD di Indonesia," katanya, yang diteruskan bapaknya via e-mail barusan.

Saya bukan ahli pendidikan. Saya nggak paham isi benak para penyusun kurikulum. Yang saya tangkap, anak-anak SD sekarang, termasuk kedua putri saya, makin berat saja pelajarannya, begitu pula ranselnya. Itu pun masih harus ditambah les dan kursus ini-itu. Bahkan lembaga bimbingan tes masuk universitas pun melakukan deversifikasi, bikin bimbingan belajar untuk anak SD. Apa yang dijejalkan oleh sekolah ternyata belum memadai.

Anak-anak kita semakin kekurangan waktu untuk bermain, padahal dunia anak-anak yang bermain itu mestinya tak boleh terampas. Mereka pun berhak atas waktu pribadi sekadar untuk melamun, berkhayal tanpa batas.

Si gadis kecil mestinya ada waktu itu untuk mencobai sepatu ibunya, juga kalungnya, kemudian berdiri di depan cermin -- seperti bungsu saya :). Gadis kecil lainnya juga berhak atas waktu pribadi untuk merakit robot, menata mobil die cast mungil, bermain balapan truk [atau sedan rongsok di junkyard] di komputer -- seperti sulung saya [yes, asli, emang gitu kok]. Dari balik jendela bertirai, pada suatu libur, dengan riang saya mengawasi mereka ketika bermain di sebuah halaman rumah kosong tak bergerbang pagar, dan langsung berembuk ketika memulung sebuah barang rombeng. Mereka berhak atas itu semua. Termasuk kenakalan kecil masuk ke pelataran orang. :)

Sebagian anak kota besar, terutama Jakarta, sudah ketularan orangtuanya. Merasa bahagia saat akhir pekan tiba, dan berharap hari Senin akan tertunda dan tertunda. Hari-hari biasa ibarat siksa karena jadwal pejal yang nyaris tak berongga.

Para senior, mungkin termasuk orangtua Anda, semasa SD dulu ikut ujian negara [nasional?] yang isinya cuma tiga pelajaran. Nyatanya mereka pintar. Saat kurikulum belum berat itulah Malaysia mengirimkan mahasiswanya ke Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Dosen-dosen kita dipinjam, jadi penzarah di universiti negeri jiran.

Sekarang, kalau ada duit, kita yang bersekolah ke Malaysia. Banyak tawaran tersedia, seperti makanan ringan [enak] yang kita impor dari sana. Paling sial, untuk beroleh nafkah pun kita harus jadi tenaga kerja ilegal di sana, dan diperlakukan bak penjenayah haram jadah

Bisakah Selera Anak Dibentuk?]

Anak terbiasa mengekor selera orang lain maka dia akan sulit mengekspresikan diri dan sulit menentukan minatnya.

Hani (30 tahun) sungguh merasa tidak berkenan melihat penampilan teman-teman Lody (10 tahun) yang bertandang ke rumah. Penampilan dan sikap teman-teman Lody dinilai Hani berantakan,dan berlaku tidak sopan. Sepulang teman-temannya, Hani tak sabar untuk segera menegur Lody. "Kamu jangan meniru teman-temanmu itu ya. Mereka sungguh tidak sopan. Kok kamu mau berteman dengan mereka? kata Hani. Sedangkan, Lody merasa kebingungan dengan situasi yang ada.

Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani B Hermawan Psi, mengatakan, umumnya selera pada anak masih bersifat umum dan sederhana. "Artinya minat dan kegemarannya akan suatu hal masih situasional, misalnya anak menyukai es krim rasa cokelat dibandingkan strawberry atau anak lebih menyukai bermain playstation dibanding permainan lego atau seperti kasus diatas," katanya. Biasanya anak hanya bisa merasakan, namun belum dapat mengemukakan alasannya secara konkret dan jelas seleranya pada sesuatu. "Tapi, orangtua bisa mengarahkan selera anak," ujarnya.

Sejak lahir, Sani memaparkan, anak memang memiliki kecenderungan yang diturunkan kedua orangtuanya, yaitu karakter dan temperamen. "Keduanya memiliki potensi yang berbedabeda pada tiap anak tergantung dari hasil perkawinan karakter yang berpotensi membentuk selera alami anak," katanya. Misalnya, anak yang bersifat tertutup (introvert) cenderung menyukai benda-benda berwarna cerah.

Namun, pembentukan selera tergantung dari faktor lingkungan terdekatnya yaitu tingkah laku orangtua, motivasi lingkungan, penguatan (reinforcement), dan sebagainya. Misalnya, anak cenderung menyukai warna gelap, namun jika di lingkungannya lebih banyak warna cerah, maka anak tersebut juga menyukainya. "Makin lama tingkah laku yang dikuatkan makin terbentuk, sedangkan yang diabaikan akan hilang," ujar Sani.

Senada dengan Sani, Psikolog Klinik Anak RS Pondok Indah, Dra Endang Retno Wardani Psi berpendapat, pada anak-anak selera lebih kepada peminatan akan sesuatu. Misalnya, lingkungan yang memiliki kebiasaan membaca akan membuat anak punya minat lebih pada bidang ini, sekalipun seiring pertambahan umur dan pengalaman anak akan terbentuk peminatan lain. Misalnya masuk ke dalam lingkungan sekolah anak memilih ekskul di luar kebiasaannya di rumah.

Endang menambahkan, jika dilihat dalam kehidupan sehari-hari, pembentukan selera tak lepas dari keputusan orangtua. Misalnya, orangtua membiasakan mengklasifikasikan jenis pakaian, yaitu pakaian untuk berpergian, di rumah, dan tidur, maka lambat laun anak bisa menempatkan dirinya dalam berpenampilan. Selain itu, pembentukan selera sudah bisa diterapkan pada anak sedini mungkin melalui pembiasaan-pembiasaan, seperti jika ingin pergi anak diminta menggunakan baju rapi, mencuci tangan sebelum makan, atau memberikan permainan edukatif. Seiring pertambahan usia, aturan akan lebih kompleks dan pemahaman anak sejalan dengan perkembangan kognitifnya.

Sani menganjurkan agar orangtua banyak melakukan observasi melalui komunikasi dengan anak untuk mengetahui minat dan selera anak. Apabila anak belum dapat berkomunikasi, coba baca bahasa tubuhnya, misalnya ketika anak disodorkan sesuatu anak menggeleng dan membuang badan atau tersenyum. Namun, jika anak sudah bisa berkomunikasi, maka akan tampak mana yang disukai anak dan mana yang tidak.

Bersikaplah jeli ketika anak sudah mampu mengutarakan seleranya baik secara abstrak maupun konkret. Misalnya, anak yang belum bisa bicara akan lebih memilih dibacakan buku dibanding menonton tv, anak akan menangis saat ibunya menutup buku. Atau ketika anak berkata 'ingin menjadi dokter' orangtua sebaiknya memberikan respon positif serta berikan stimulasi dan fasilitas yang menunjang. Anak yang bisa mengutarakan apa yang ia sukai bisa mengindikasikan keyakinan pada dirinya. Apalagi kemudian anak bisa mengembangkan ide sederhana menjadi ide yang kreatif, hal ini bisa merangsang perkembangan fungsi inteligensinya,jelasnya.

Membentuk tingkat seleraEndang menjelaskan, tinggi rendahnya selera dibentuk berdasarkan tatanan norma yang diajarkan, sehingga jika anak menghadapi suatu kondisi berbeda anak sudah mampu menilai. Penilaian berdasarkan tingkah laku orangtua yang ditirunya (imitating behavior). Misalnya, mungkin anak sudah bisa tidak satu selera dengan teman yang bertamu memakai sandal jepit karena hal itu bertentangan dengan norma yang diajarkan.

Tingkat selera tidak bergantung pada aspek financial semata, meski dari segi ekonomi sebuah keluarga tergolong sederhana bukan berarti keluarga tersebut memiliki tatanan pembentukan selera yang buruk. Penempatan tinggi-rendahnya selera tergantung kepercayaan (belief) seseorang dipengaruhi oleh dianggap penting atau tidaknya suatu aturan dalam lingkungan keluarga, ujar pengelola klinik Child Growth Development Centre, Jakarta Selatan, ini.

Perkembangan kognitif juga akan mempengaruhi seberapa besar anak mampu menyerap aturan-aturan yang abstrak dari lingkungannya yang ditandai dengan munculnya sikap kritis pada anak. Endang menjelaskan, pemahaman anak akan sesuatu bisa mempengaruhi pembentukan seleranya kelak, apakah anak sepaham atau tidak dengan alasan yang diberikan orangtua. Misalnya anak dianjurkan bermain dengan teman di lingkungan rumahnya saja, awalnya mungkin anak akan mengikuti. Ketika usianya bertambah, anak mulai menanyakan alasannya, jika hal ini tidak sejalan dengan pemikirannya maka anak bisa beralih dari aturan tersebut, katanya.

Selain itu, tambah Sani, anak yang memiliki kecenderungan mengeksplorasi lingkungan berpotensi memiliki selera yang berbeda dengan orangtuanya. Hal ini disebabkan keinginan bereksperimen yang besar membuat anak mencampur pemahamannya dengan pengalamannya. Sebaiknya orangtua memberikan stimulasi yang bervariasi, contohnya pemberian mainan yang tidak melulu mobil-mobilan atau boneka, tapi bisa juga catur, drum mainan, dan sebagainya. Kendati demikian, Sani mengatakan, selera anak sangat bisa dibentuk dengan penguatan melalui pemberian pujian (reward). Jika anak memiliki pilihan selera yang positif, orangtua bisa memberikan penghargaan dan pujian. Sebaliknya jika mengarah ke hal yang negatif, seperti anak lebih menyukai bermain yang mengandung unsur kekerasan, orangtua bisa membatasi dan mengalihkannya. Tujuannya agar anak mengerti sedini mungkin mana selera yang dapat dikembangkan dan yang tidak,ujar psikolog dari Children and Family Clinic ini.

Endang menambahkan, dengan pembentukan selera sedini mungkin kelak anak akan lebih termotivasi dan fokus pada suatu bidang yang diminatinya. Sebaliknya, jika anak terbiasa mengekor selera orang lain maka dia akan sulit mengekspresikan diri dan sulit menentukan minatnya. Dengan rasa percaya diri tinggi dan kemampuan untuk berpikir kreatif akan mendukung anak memiliki rencanarencana di masa mendatang, seperti menentukan tingkat pendidikan, pekerjaan, pasangan hidup serta kualitas kehidupannya.

Jika lingkungan memahami kecenderungan selera anak dan mengakomodasinya, maka anak akan lebih mantap tampil di lingkungan, ujar psikolog Sani B Hermawan. Dia memberikan tips bagaimana orangtua membentuk selera anak,

1. Memahami konsep dasar dari selera anak. Pahami kecenderungan anak berdasarkan perkembangan usianya, misalnya saat usia dua tahun anak gemar menyanyi, kenali sejauh mana kemampuannya menyanyi. Dengan begitu orangtua bisa menyusun strategi yang tepat. 2. Tidak memberi label negatif pada selera anak. Jangan langsung berkata 'ya ampun' atau 'mama gak suka' ketika anak memilih padu padan pakaian yang tidak cocok. Anak akan menjadi takut dan kurang percaya diri dalam menyampaikan seleranya kelak.3. Mengenalkan anak pada selera lain yang ada pada lingkungan. Namun, lingkunan perlu juga merangsang halhal lain agar anak memiliki pengalaman baru dan menambah pengayaan pengetahuan.4. Tidak memaksakan kehendak. Selama anak tidak berkeberatan dengan apa yang Anda tawarkan bisa dikatakan itu hal positif. Jika tidak, jangan terburu-buru memaksakan kehendak Anda mungkin anak memiliki alasan yang logis.5. Memberi reinforcement berupa pujian pada halhal yang ingin dibentuk.Di Mana Anak-anak Kita Bermain?

Jess...jess...jess....pom pom!

Empat bocah lelaki itu tak terpengaruh akan suara kereta api yang akan singgah di Stasiun Cikudapateuh Bandung, tepat di seberang lokasi mereka bermain. Belasan kelereng dikumpulkan. Lalu, mereka bersiap melemparkan kojo.Ber! maneheun ayeuna! sergah seorang bocah

Ah, maneh mah licik. Pan urang enggeus tadi, jawab temannya.

Tempat bocah-bocah itu bermain hanyalah jalan setapak berukuran tak lebih dari 1,5 meter yang berada beberapa centimeter saja dari bantalan rel kereta api. Setiap siang, sepulang sekolah, bocah-bocah itu bermain di sana. Kalau tak bermain kelereng, mereka bermain pedang-pedangan

Apa yang berlangsung di sana, di seberang Stasiun Cikudapateuh itu hanyalah sebuah contoh. Betapa Bandung, sebagaimana kota besar lainnya di Indonesia, sudah tak sedemikian ramah terhadap anak. Soal ini, sebenarnya, sudah diprediksi oleh badan PBB yang khusus mengurus anak, yakni UNICEF. Bahwa lebih dari separuh anak di kota kehilangan tempat bermain. Anak-anak itu bermain di lahan-lahan tak resmi, seperti jalan, bantaran kali, dan itu tadi...bantalan rel kereta api.

Pakar planologi Merina Burhan mencatat semakin hilangnya lahan bermain anak sebagai salah satu sebab dari economic booming. Arus urbanisasi meningkat pesat. Ia mencatat, penduduk urban sudah mencapai angka 34,4% dari seluruh penduduk Indonesia, dengan tingkat pertumbuhan 4,7% per tahun. Bandingkan dengan angka pertumbuhan penduduk Indonesia yang rata-rata 1,5% per tahun.

Berdasarkan penelitiannya, rata-rata, anak Indonesia bermain selama 2 jam setiap hari--sama dengan kebanyakan anak di negara-negara Asia lainnya--. Satu jam lebih singkat dari kebanyakan anak di Amerika dan Eropa Barat.

Soal bermain ini, anak Indonesia (bersekolah SD- red.) dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, anak dari kalangan menengah-atas dan bersekolah bonafide. Kedua, anak dari kelas menengah-bawah, kebanyakan bersekolah negeri. Kelompok pertama cenderung bermain di dalam rumah (sendirian), sementara kelompok kedua cenderung bermain di luar rumah (bersama teman).

Anak pada kelompok pertama cenderung bermain dengan teman seusia dalam kelompok kecil (biasanya teman di sekolah). Sementara, anak kelompok kedua cenderung bermain dengan teman berbeda usia dalam kelompok yang lebih besar, kebanyakan tetangga.

Anak-anak pada kelompok pertama cenderung memilih permainan video/computer game di dalam rumah. Sementara, anak-anak dari kelompok kedua cenderung memilih permainan bersifat physically active, seperti sepak bola, selain juga karena fasilitas permainan elektronik yang tidak terjangkau.

Di sinilah masalahnya. Berdasarkan catatan, lebih dari 60% anak Indonesia justru tergolong ke dalam kelompok kedua. Memang, kebanyakan anak, berada di pinggiran kota dan pedesaan. Di situ, masih tersedia cukup lahan bermain buat mereka. Pada akhir dekade 1990-an, berdasarkan catatan, anak-anak di perkotaan masih memiliki lahan untuk bermain seluas 2.000 meter persegi per anak. Kondisi tersebut sebenarnya masih sangat jauh jika dibandingkan dengan anak-anak di Barat dengan 10.000 meter persegi per anak. Saat ini, entah berapa luas lahan yang masih tersisa buat anak bermain?

Tak terwujudnya sebuah taman bermain di setiap wilayah atau sebatas RT tak lepas dari ketidakpedulian terhadap hak-hak anak. Padahal, seyogianya anak memiliki suara pada setiap keputusan yang dilakukan para pengambil kebijakan. Dari jumlah keseluruhan penduduk Kota Bandung yang mencapai 2 juta orang, jumlah anak mencapai sepertiganya. Klasifikasi anak berdasarkan badan PBB, UNICEF merupakan penduduk yang berusia 0-18 tahun, termasuk janin di dalam kandungan.

Jumlah sepertiga tak dapat dipandang sebelah mata. Jika saja mereka dapat menduduki posisi dewan yang mewakili rakyat, sepertiga kursi DPRD di Kota Bandung seharusnya diisi anak-anak.

Keadaan tersebut sangat kontras dengan berbagai kebijakan yang dibuat oleh para pengambil kebijakan selama ini. Hak-hak anakyang dilindungi undang-undangseakan terpinggirkan. Berbagai produk hukum di Kota Bandung seakan tak pernah berpihak kepada anak. Sebagai contoh, revisi perda RTRW yang baru saja disahkan sama sekali tak berpihak kepada anak-anak, protes Eko Kriswanto, aktivis anak dari Yayasan Bahtera.

Sebuah rencana aksi kota yang jelas dan berpihak untuk anak, menurut Eko, seharusnya menjadi pertimbangan utama. Apa salahnya dalam setiap perencanaan kota dirumuskan dibangunnya lahan bermain baru untuk anak. Jangan hanya berpatokan pada sisi ekonomi maupun bisnis, ucapnya lagi.

Pendapat Eko mungkin saja benar. Saat ini, akan sangat sulit menemukan tempat bermain di Kota Bandung. Data Kementerian Lingkungan Hidup RI pada 2003 lalu mencatat bahwa luas taman kota di Kota Bandung mencapai 114 hektare saja atau sekira 0,68% dari luas wilayah Kota Bandung yang mencapai 16.729 hektare.

Halaman sekolah juga seharusnya dapat digunakan anak-anak untuk bermain. Namun, tak sedikit sekolah di kota ini yang tak memiliki lahan bermain. Anak-anak pun kemudian bermain pada tempat di mana keselamatan dan keamanan terabaikan.

Sempitnya lahan bermain anak juga diduga memicu kenaikan anak jalanan. Data Dinas Sosial Prov. Jabar 2003 menyebutkan, anak jalanan di Kota Bandung mencapai 4.626 orang, sementara di Jawa Barat 20.665 orang. Berdasarkan penelitian, sekira 80% darianak jalanan di Kota Bandung merupakan anak rumahan. Dalam artian, mereka memiliki rumah dan orang tua, dan menjadikan jalanan sebagai tempat bermain, tutur Eko Kriswanto dari Yayasan Bahtera.

Ironisnya, fenomena sempitnya lahan bermain di Kota Bandung menjadi lahan bisnis. Ada uang, ada lahan bermain. Kenyataan ini dapat dilihat dengan maraknya jenis permainan yang ditawarkan mal, misalnya.

Selain soal lahan, Merina Burhan menduga bahwa sistem pendidikan di sekolah dasar dan tingkat persaingan mengakibatkan waktu bermain semakin berkurang. Anak usia sekolah dasar (bahkan sejak di TK) telah dibebani berbagai pelajaran tambahan dan kursus-kursus privat lainnya. Alhasil, waktu anak untuk bermain hanya terbatas dengan teman sekolah dan pada jam istirahat. Kenyataan di atas mengakibatkan anak Indonesia tak saja kehilangan tempat, tetapi juga kehilangan waktu bermain mereka.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar, Ny. S. Roediono, S.H. dan praktisi perlindungan anak, Prof. H. Sambas Wiradisuria, dr., menegaskan, aktivitas bermain dapat sekaligus berfungsi untuk belajar.Faktor kreativitas dan kecerdasan anak akan terangsang dengan aktivitas bermain.

Hilangnya kesempatan bermain telah mengucilkan anak dari interaksi sosial dalam masyarakat. Jika anak-anak menjadi lebih egois dan individualis, itu bisa menunjukkan rendahnya kualitas dan kuantitas lingkungan bermain anak.

Kapan ya Bandung menjadi kota yang ramah anak? (Hazmirullah/Deni Yudiawan/PR)

Belajar Lebih Penting Daripada Bermain?

Sepenggal pembicaraan diatas menunjukkan betapa anak-anak sangat senang bermain dengan mainannya. Mereka sangat menikmati waktu bermain sehingga tidak jarang mereka lupa makan, lupa belajar bahkan tidak mau melakukan aktivitas lainnya jika sedang bermain. Orangtua pun harus tarik urat dahulu jika menyuruh anaknya berhenti bermain dan mau mengerjakan pekerjaan rumah (pr) atau belajar. Hal ini seringkali menyebabkan orangtua menganggap bahwa anaknya malas belajar dan maunya cuma bermain saja.Benarkah anak-anak kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain daripada belajar? Jika mau melihat secara lebih cermat dan memperbandingkannya dengan anak-anak pada masa sebelumnya (era 1970 - 1980an), sebenarnya justru terlihat kalau anak-anak masa sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar daripada bermain jika dibandingkan dengan anak-anak pada masa sebelumnya. Beberapa kritikan dari para ahli pendidikan tentang kurangnya waktu bagi anak untuk bersosialisasi dan mengembangkan hobby atau bakatnya (termasuk bermain) karena sebagian besar waktu terpakai untuk kegiatan-kegiatan belajar demi mengejar prestasi akademik di sekolah sudah sangat sering kita dengar. Sekolah-sekolah untuk anak-anak bahkan ada yang sudah dimulai dari anak umur 1,5 tahun (walaupun sekolah usia ini tentunya belum mulai belajar). Banyak TK yang menekankan kurikulumnya untuk mengajar anak membaca, menulis dan berhitung, bukan lagi sekedar bermain-main. Anak-anak SD bersekolah dengan waktu sekolah yang lebih panjang. Pulang sekolah anak masih harus mengikuti bermacam-macam les, misalnya kumon, sempoa, menggambar, balet, piano, komputer, dll. Selain untuk sekolah dan les, anak-anak juga masih perlu waktu untuk mengerjakan pr, mandi, makan dan istirahat (tidur). Jika melihat kenyataan ini, jadi kapan dong waktu anak-anak untuk bermain? Lalu sebenarnya, apakah anak-anak memang malas belajar atau mereka memang tidak cukup waktu untuk bermain

Orangtua sekarang ini seringkali sangat ambisius terhadap anak-anaknya, mereka ingin anaknya sepintar mungkin, dan diwujudkan dengan mengikutkan anak pada berbagai macam les untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh anak di sekolahnya. Hal tersebut memang tidak salah, namun kebutuhan anak untuk bermain hendaknya jangan diabaikan karena bermain adalah hal yang penting bagi perkembangan fisik dan mental anak

Bermain

Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia dalam bukunya Human Development, mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Dengan bermain, anak-anak menemukan dan mempelajari hal-hal atau keahlian baru dan belajar (learn) kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.

Bermain tentunya merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja. Menurut Hughes (1999), seorang ahli perkembangan anak dalam bukunya Children, Play, and Development, mengatakan harus ada 5 (lima) unsur dalam suatu kegiatan yang disebut bermain. Kelima unsur tersebut adalah :

Tujuan bermain adalah permainan itu sendiri dan si pelaku mendapat kepuasan karena melakukannya (tanpa target), bukan untuk misalnya mendapatkan uang.

Dipilih secara bebas. Permainan dipilih sendiri, dilakukan atas kehendak sendiri dan tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa.

Menyenangkan dan dinikmati.

Ada unsur kayalan dalam kegiatannya.

Dilakukan secara aktif dan saDi luar pendapat Hughes, ada ahli-ahli yang mendefinisikan bermain sebagai apapun kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable). Bermain dapat menggunakan alat (mainan) ataupun tidak. Hanya sekedar berlari-lari keliling di dalam ruangan, kalau kegiatan tersebut dirasakan menyenagkan oleh anak, maka kegiatan itupun sudah dapat disebut bermain.

Anakku Malas Belajar

Pada artikel sebelum ini telah dibahas mengenai kebutuhan anak untuk bermain. Pada artikel ini akan dibahas mengenai anak belajar. Anak usia sekolah tentunya perlu untuk belajar, entah mengulang kembali pelajaran yang sudah diberikan di sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah (pr) ataupun mempelajari hal-hal lain di luar pelajaran sekolah. Pentingnya belajar tanpa harus dibicarakan panjang lebar pasti sudah disadari oleh seluruh orangtua. Keluhan yang datang dari orangtua pada umunya lebih banyak menyangkut anaknya terlalu banyak bermain daripada orangtua yang anaknya terlalu banyak belajar. Bahkan kalau anak sangat rajin belajar, pastilah orangtua memamerkannya ke orang-orang dengan nada bangga, "Iya loh Pak Dani, anak saya itu belajarnya rajin sekali. Pulang sekolah belajar, bangun tidur siang belajar, terus malam kalau bapaknya sudah pulang ya belajar lagi. Makanya anak saya itu pintar sekali, apa-apa tahu. Kadang-kadang malah saya yang nggak tahu". Lain lagi kalimatnya jika anak terlalu banyak bermain, "Aduuuuuuh Pak Dani, anak saya ini kerjanya main melulu.... Siang main, sore main, malam juga main. Saya dan bapaknya kalau mau menyuruh dia belajar, harus teriak-teriak dulu, mengancam dulu, baru dia mau belajar. Pusing saya jadinya. Sudah begitu perkalian saja tidak hafal". Penyebab Kalau anak enggan belajar, tentunya perlu dicari tahu sebab-musababnya, baru kemudian diambil suatu tindakan. Beberapa sebab mengapa anak enggan belajar, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya waktu yang tersedia untuk bermain (sudah dibahas pada artikel yang lalu). 2. Sedang punya masalah di rumah (misalnya suasana di rumah sedang "kacau" karena ada adik baru). 3. Bermasalah di sekolah (tidak suka/phobia sekolah, sehingga apapun yang berhubungan dengan sekolah jadi enggan untuk dikerjakan). 4. Sedang sakit. 5. Sedang sedih (bertengkar dengan teman baik, kehilangan anjing kesayangan) 6. Tidak ada masalah atau sakit apapun, juga tidak kurang waktu bermain (malahan kebanyakan), hanya memang MALAS. Malas Dalam Kamus Bahasa Indonesia oleh Muhammad Ali, malas dijabarkan sebagai tidak mau berbuat sesuatu, segan, tak suka, tak bernafsu. Malas belajar berarti tidak mau, enggan, tak suka, tak bernafsu untuk belajar. Kalau anak-anak tidak suka belajar dan lebih suka bermain, itu berarti belajar dianggap sebagai kegiatan yang tidak menarik buat mereka, dan mungkin tanpa mereka sadari juga dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya/untungnya karena bagi ana-anak tidak secara langsung dapat menikmati hasil belajar. Berbeda dengan kegiatan bermain, jelas-jelas kegiatan bermain menarik buat anak-anak, dan keuntungannya dapat mereka rasakan secara langsung (perasaan senang yang dialami ketika bermain adalah suatu keuntungan). Motivasi Dalam dunia psikologi, dorongan yang dirasakan seseorang untuk melakukan sesuatu disebut sebagai motivasi. Motivasi tersebut dapat berasal dari dalam maupun dari luar diri seseorang. Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan beberapa teori motivasi: 1. Teori insentif Dalam teori insentif, seseorang berperilaku tertentu untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu ini disebut sebagai insentif dan adanya di luar diri orang tersebut. Contoh insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh anak-anak misalnya jika anak naik kelas akan dibelikan sepeda baru oleh orangtua, maka anak belajar dengan tekun untuk mendapatkan sepeda baru. Insentif biasanya hal-hal yang menarik dan menyenangkan, sehingga anak tertarik mendapatkannya. Insentif, bisa juga sesuatu yang tidak menyenangkan, maka orang berperilaku tertentu untuk menghindar mendapatkan insentif yang tidak menyenangkan ini. Dapat juga terjadi sekaligus, orang berperilaku tertentu untuk mendapatkan insentif menyenangkan, dan menghindar dari insentif tidak menyenangkan. 2. Pandangan hedonistik Dalam pandangan hedonistik, seseorang didorong untuk berperilaku tertentu yang akan memberinya perasaan senang dan menghindari perasaan tidak menyenangkan. Contohnya: anak mau belajar karena ia tidak ingin ditinggal ibunya ke pasar/supermarket. Dari uraian di atas, dapat diasumsikan anak yang malas tidak merasa adanya insentif yang menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan menyenangkan dari belajar. Memberikan Dorongan Agar Anak Mau Belajar Sehubungan dengan teori motivasi di atas tentunya bisa dikatakan dengan mudah, ayo kita berikan dorongan agar anak mau belajar. Tapi dorongan seperti apa yang dapat diberikan kepada anak? Berikut ini adalah beberapa buah saran: 1. Berikan insentif jika anak belajar. Insentif yang dapat diberikan ke anak tidak selalu harus berupa materi, tapi bisa juga berupa penghargaan dan perhatian. Pujilah anak saat ia mau belajar tanpa mesti disuruh (peristiwa ini mungkin jarang terjadi, tapi jika saat terjadi orangtua memperhatikan dan menunjukkannya, hal tersebut bisa menjadi insentif yang berharga buat anak). Pujian selain merupakan insentif langsung, juga menunjukkan penghargaan dan perhatian dari orangtua terhadap anak. Anak seringkali haus perhatian dan senang dipuji. Jadi daripada memberikan perhatian ketika anak tidak mau belajar dengan cara marah-marah, dan ketika belajar tanpa disuruh orangtua tidak memberikan komentar apapun, atau hanya komentar singkat tanpa kehangatan, akan lebih efektif perhatian orangtua diarahkan pada perilaku-perilaku yang baik. 2. Terangkan dengan bahasa yang dimengerti anak, bahwa belajar itu berguna buat anak. Bukan sekedar supaya raport tidak merah, tapi misalnya dengan mengatakan "Kalau Ade rajin belajar dan jadi pintar, nanti kalau ikut kuis di tv bisa menang loh, dapat banyak hadiah. Kan kalau anak pintar, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya". 3. Sering mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang diajarkan di sekolah pada anak (bukan dalam keadaan mengetes anak, tapi misalnya sembari mengisi tts atau ikut menjawab kuis di tv). Jika anak bisa menjawab, puji dia dengan menyebut kepintarannya sebagai hasil belajar. Kalau anak tidak bisa, tunjukkan rasa kecewa dan mengatakan "Yah Ade nggak bisa jawab, nggak bisa bantu Mama deh. Ade, di buku pelajarannya ada nggak sih jawabannya? Kita lihat yuk sama-sama". Dengan cara ini, anak sekaligus akan merasa dipercaya dan dihargai oleh orangtua, karena orangtua mau meminta bantuannya. 4. Banyak lembaga pra-sekolah yang mengajarkan kepada anak pelajaran-pelajaran dengan metode active learning atau learning by doing, atau learning through playing, salah satu tujuannya adalah agar anak mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Tapi seringkali untuk anak-anak SD, hal ini agak sulit dipraktekkan, karena mulai banyak pelajaran yang harus dipelajari dengan menghafal. Untuk keadaan ini, hal minimal yang dapat dilakukan adalah mensetting suasana belajar. Jika setiap kali pembicaraan mengenai belajar berakhir dengan omelan-omelan, ia akan mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang tidak memberi perasaan menyenangkan, dengan demikian akan dihindari. Membuat Suasana Belajar Lebih Menyenangkan Selain tidak sering-sering memarahi anak ketika belajar, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan agar suasana belajar lebih menyenangkan dan anak mau belajar. Hal-hal tersebut adalah: 1.Anak cenderung meniru perilaku orangtua, karena itu jadilah contoh buat anak. Ketika menyuruh dan mengawasi anak belajar, orangtua juga perlu untuk terlihat belajar (misalnya membaca buku-buku). Sesekali ayah-ibu perlu berdiskusi satu sama lain, mengenai topik-topik serius (suasana seperti anak sedang kerja kelompok dan diskusi dengan teman-teman, jadi anak melihat kalau orangtuanya juga belajar). Dengan demikian, anak melihat bahwa orangtuanya sampai tua pun tetap belajar. 2.Pilih waktu belajar terbaik untuk anak, ketika anak merasa segar. Mungkin sehabis mandi sore. Anak juga bisa diajak bersama-sama menentukan kapan waktu belajarnya. 3.Anak butuh suatu kepastian, hal-hal yang dapat diprediksi. Jadi jadikan belajar sebagai rutinitas yang pasti. Misalnya ketika sudah ditentukan, waktu belajar adalah 2 jam setiap hari, pukul 17.00-19.00, maka pada jam tersebut harus digunakan secara konsisten sebagai waktu belajar. Kecuali disebabkan hal-hal yang mendesak, misalnya anak baru sampai rumah pukul 16.30, tentunya tidak bijaksana memaksa anak harus belajar pukul 17.00, karena masih lelah. 4.Anak punya daya konsentrasi dan rentang perhatian yang berbeda-beda. Misalnya ada anak yang bisa belajar terus-menerus selama 1 jam, ada yang hanya bisa selama setengah jam. Kenali pola ini dan susunlah suatu jadwal belajar yang sesuai. Bagi anak yang hanya mampu berkonsentrasi selama 30 menit, maka berikan waktu istirahat 5-10 menit setelah ia belajar selama 30 menit. Demikian untuk anak yang mampu belajar lebih lama. 5.Dalam artikel di Tabloid Nova edisi Maret 2002, disarankan agar orangtua menemani anak ketika belajar. Dalam hal ini orangtua tidak perlu harus terus-menerus berada di samping anak karena mungkin Anda sebagai orangtua memiliki pekerjaan. Namun paling tidak ketika anak mengalami kesulitan, Anda ada di dekatnya untuk membantu. Demikian hal-hal yang dapat disarankan untuk membantu orangtua memberikan motivasi anak agar mau belajar. Semoga berguna dan dapat berhasil diterapkan. Orangtua senang, tidak lelah berteriak-teriak dan marah-marah, anak pun senang tidak dimarahi dan merasa menyukai kegiatan belajarTelevisi, teman atau musuh

Anak-anak suka sekali menonton teve. Memang, teve bermanfaat buat anak. Tapi jika tidak dibatasi dan diawasi, justru berbahaya. "Ayo, makan dulu! Dari tadi, kok, di depan teve terus." Kalimat seperti ini, pasti pernah terlontar dari orangtua kepada anaknya. Terutama anak usia prasekolah, yang menurut penelitian memang menunjukkan minat lebih besar pada teve ketimbang anak usia sekolah. Sebabnya? Antara lain, anak balita cenderung terbatas teman bermainnya, masih lebih banyak tinggal di rumah, dan belum mampu bersikap kritis mengenai segala sesuatu yang dilihatnya di layar kaca. Tapi kebiasaan juga pegang peranan dalam hal ini. Banyak anak sudah dibiasakan nonton TV sejak masih bayi.

Ada orangtua menjadikan TV sebagai babysitter karena tak mau repot. Biar anaknya anteng, si kecil didudukkan di depan teve. "Bahkan ada yang untuk makan, harus sambil nonton TV. Kalau tidak, anaknya tak mau makan," kata psikolog Hera L. Mikarsa. Jelas, si kecil tak begitu saja tertarik pada TV jika Anda tak pernah memperkenalkan ia pada TV. Dan ia tak akan pernah kecanduan nonton TV jika Anda tak membiarkan ia nonton kapan saja sesuka hatinya tanpa ada batas. Bukan berarti si kecil dilarang sama sekali nongkrong di muka layar kaca.

TV, sarana belajar perilaku sosial Bagaimanapun, TV merupakan salah satu media belajar bagi anak dan bisa memberi pengaruh positif terhadap tumbuh kembangnya. Yang penting, mencegahnya agar tak sampai kecanduan nonton TV. Ingatlah, anak usia ini sedang dalam tahap mengembangkan perilaku sosial. Ia harus mendapat banyak kesempatan bermain dengan teman-temannya. Karena itu, tegas Hera, jangan jadikan TV sebagai pengganti bentuk bermain. "Nonton TV itu, kan, cenderung pasif. Tak ada interaksi dua arah. Beda jika ia main dengan teman-temannya. Ia akan aktif, entah fisiknya, komunikasi, atau sosial. Jadi, ada timbal-balik, belajar saling memberi," jelas Ketua Program Profesi pada Fakultas Psikologi UI ini.

Selain itu, anak usia ini sedang kuat-kuatnya meniru, entah perilaku atau omongan. Apa yang ia dengar dan lihat, ia ucapkan dan lakukan tanpa ia mengerti. Sering, kan, kita melihat serta mendengar, betapa fasihnya (meski masih cadel) si kecil menirukan iklan atau nyanyian yang dilihatnya di teve? CUKUP 40-45 MENIT Untuk mengurangi dampak negatif teve, Hera menganjurkan, batasi waktu nonton TV, sekitar 40-45 menit bagi anak usia ini. Hera juga menyarankan, sebagaimana dianjurkan banyak pakar, dampingi anak saat nonton TV dan pilihkan program-program yang layak untuk ia tonton. "Anda tak bisa menjadikan TV sebagai baby-sitter jika Anda mau mendidik anak menjadi pemirsa yang kritis," tukas Hera. Apa juga, TV hanyalah sebuah benda mati.

Perlu Pendampingan dan Pengawasan Anda tak dapat menyalahkan TV jika anak lebih suka duduk berjam-jam di depan TV ketimbang melakukan aktivitas bermain lainnya atau ia jadi suka berkelahi gara-gara sering menyaksikan adegan kekerasan di TV. Seberapa besar pengaruh TV dan apakah pengaruhnya baik atau buruk terhadap anak Anda, menurut Elizabeth B. Hurlock, pakar psikologi perkembangan, ditentukan oleh jumlah bimbingan dan pengawasan terhadap anak yang menonton TV. Jika Anda menyediakan waktu untuk menafsirkan apa yang dilihat anak di layar TV, ia akan mengerti dan menafsirkan apa yang dilihatnya dengan benar. Selanjutnya, dengan bimbingan dan pengawasan atas program yang akan ditontonnya, ia dapat mempelajari pola perilaku dan nilai yang sehat yang akan membimbing ke arah sosialisasi yang baik dan tidak ke nilai serta pola perilaku yang tak sehat.

Kenapa ia harus didampingi? Kemampuan berpikir anak masih terbatas. Ia akan mengalami kesulitan mengikuti alur cerita karena keterbatasannya membedakan isi yang penting dan pokok dengan isi insidental yang bersinggungan dengan pokok utama. Sebuah isi insidental (Aldo yang gemuk jatuh tertelungkup) bisa tampak sama pentingnya dengan tema utama (Aldo dan kelompoknya hendak membantu seorang anak perempuan yang sedih karena orangtuanya bertengkar).

Ia pun mengalami kesulitan untuk memadukan unsur-unsur cerita yang berbeda yang terjadi pada waktu berlainan. Ia mungkin tak mampu menghubungkan satu adegan yang menggambarkan seorang pria bertopeng yang tengah merampok bank dengan adegan berikutnya setengah jam kemudian yang menggambarkan seorang pria ditangkap dan dipenjarakan.

Akhirnya, kesimpulan seorang ahli berikut ini patut Anda simak. "Jika Anda menggunakan TV sebagai penjaga anak sehingga mengabaikan hubungannya dengan orang lain, jelas Anda lalai. Jika Anda tak memperkenalkan buku kepada anak-anak hanya karena adanya TV, maka Anda bertindak ceroboh. Jika Anda tak membantu anak untuk membangun hubungan yang baik dengan teman sebayanya hanya karena TV 'menjaga mereka di rumah', maka Anda benar-benar bersalah terhadap mereka."

Apa Yang Anak Serap Dari TV? Jawabannya, banyak sekali. Semua program TV dan siaran iklan yang menyertainya, menyampaikan pesan yang berbeda-beda dan mengajarkan hal yang lain pula. Satu hal yang dicemaskan banyak orangtua ialah anak belajar kekerasan dari TV. Ini bisa dipahami. Sebab, tak sedikit adegan kekerasan muncul di layar TV, mulai dari pertengkaran mulut sampai perkelahian dan pembunuhan. Bukan cuma dalam program-program tayangan dewasa, tapi juga anak-anak. Anda tak dapat menghindari ini, tapi bisa mencegah pengaruh buruknya. Jelaskan padanya, orang-orang yang ia lihat di TV adalah aktor dan mereka melakukan itu tidak dengan sungguh-sungguh.

Atau, hapuskan semua program yang lebih banyak mengeksploitir adegan kekerasan dari daftar program TV yang sudah Anda pilih untuk anak. Jangan pula izinkan si kecil menonton program untuk dewasa. Pelajaran lain dari TV yang perlu diwaspadai ialah stereotipe sosial tentang wanita, pria, minoritas, orang lanjut usia, dan banyak kelompok lain, termasuk anak-anak. Stereotipe ini kadang dilebih-lebihkan. Misalnya, pria selalu digambarkan jadi pemimpin dalam mengatasi keadaan sementara yang wanita tetap pasif atau tak berdaya. Anak-anak belajar dari penggambaran ini terutama bila mereka hanya mempunyai sedikit kontak dengan kelompok yang digambarkan. Sebagaimana adegan kekerasan, Anda pun tak dapat menghindari adegan-adegan yang menggambarkan stereotipe sosial ini. Nah, berilah gambaran yang tepat pada anak tentang hal yang sebenarnya berlaku di masyarakat. Bukan cuma lewat kata-kata tapi juga harus diperkuat oleh perilaku Anda sehari-hari.

Bagaimana Anda sehari-hari bersikap terhadap anak Anda, misalnya, merupakan contoh bagaimana seharusnya orang dewasa memperlakukan seorang anak. Atau, bagaimana ayah memperlakukan ibu dan bagaimana ibu memperlakukan ayah, akan memberikan gambaran pada anak tentang bagaimana seharusnya seorang pria memperlakukan wanita dan sebaliknya. Ingatlah, TV akan memberikan pengaruh yang nyata pada anak, antara lain tergantung dari seberapa banyak anak dapat mengingat hal-hal yang ia tonton dan seberapa baik pemahamannya terhadap apa yang ia tonton. Jika ia menafsirkan kekerasan atau stereotipe sosial di TV sebagai pola perilaku yang direstui masyarakat dan model yang benar untuk ditiru, maka pengaruhnya akan sangat berbeda ketimbang bila ia menafsirkannya sebagai pola perilaku yang tak direstui dalam masyarakat

Memacu IQ Selagi Ada WaktuAnak cerdas tentu dambaan setiap orang, sebab kecerdasan merupakan modal tak ternilai bagi si anak untuk mengarungi kehidupan di hadapannya. Beruntung kecerdasan yang baik ternyata bukan harga mati, melainkan dapat diupayakan.

Dr. Bernard Devlin dari Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburg, AS, memperkirakan faktor genetik Cuma memiliki peranan sebesar 48% dalam membentuk IQ anak. Sisanya adalah faktor lingkungan, termasuk ketika si anak masih dalam kandungan.

Untuk menjelaskan peran genetika dalam pembentukan IQ anak, seorang pakar lain di bidang genetika dan psikologi dari Universitas Minnesota, juga di AS, bernama Matt McGue, mencontohkan, pada keluarga kerajaan yang memiliki gen elit, keturunannya belum tentu akan memiliki gen elit.

"Keluarga bangsawan yang memiliki IQ tinggi umumnya hanya sampai generasi kedua atau ketiga. Generasi berikutnya belum diketahui secara pasti, karena mungkin saja hilang, meski dapat muncul kembali pada generasi kedelapan atau berikutnya," ungkap McGue. "Orang tua yang memiliki IQ tinggi pun bukan jaminan dapat menghasilkan anak ber-IQ tinggi pula." Ini menunjukkan genetika bukan satu-satunya faktor penentu tingkat kecerdasan anak.

Faktor lingkungan, dalam banyak hal, justru memberi andil besar dalam kecerdasan seorang anak. Yang imaksud tak lain adalah upaya memberi "iklim" tumbuh kembang sebaik mungkin sejak si anak masih dalam kandungan gar kecerdasannya dapat berkembang optimal. Dengan gizi dan perawatan yang baik misalnya, si Polan bisa cerdas. tau dengan menjaga kesehatan secara baik dan menghindari racun tubuh selagi ibunya mengandung dia, si Putri dapat memiliki intelegensia baik. Begitu pula dengan memberikan kondisi psikologis yang mendukung, angka IQ si Tole lebih tinggi dari teman sebayanya. Gizi, perawatan, dan lingkungan psikologis itulah faktor lingkungan penentu kecerdasan anak. Kisah Helen dan Gladys, sepasang bayi kembar, bisa menjadi salah satu buktinya. ada usia 18 bulan mereka dirawat secara terpisah. Helen hidup dan dibesarkan dalam satu keluarga bahagia dengan lingkungan yang hidup dan dinamis. Sedangkan Gladys dibesarkan di daerah gersang dalam lingkungan "miskin" rangsangan intelektual. Ternyata saat dilakukan pengukuran, Helen memiliki angka IQ 116 dan berhasil meraih gelar sarjana dalam bidang Bahasa Inggris. Sebaliknya Gladys terpaksa putus sekolah lantaran sakit-sakitan dan IQ-nya 7 angka di bawah saudara kembarnya.

Gizi dan perilaku ibu

Dr. Devlin menemukan bukti bahwa keadaan dalam kandungan juga sangat berpengaruh pada pembentukan kecerdasan. "Ada otak substansial yang tumbuh dalam kandungan," jelasnya. "IQ sangat tergantung pada bobot ahir bayi. Anak kembar, rata-rata memiliki IQ 4 7 angka di bawah anak lahir tunggal karena umumnya bayi kembar memiliki bobot badan lebih kecil," tambahnya. Lebih dari 20 tahun terakhir berbagai penelitian juga mengungkapkan korelasi positif antara gizi, terutama pada masa pertumbuhan pesat, dengan perkembangan fungsi otak. Ini berlaku sejak anak masih berbentuk janin dalam rahim ibu. Pada janin terjadi pertumbuhan otak secara proliferatif (jumlah sel bertambah), artinya terjadi pembelahan sel yang sangat pesat. Kalau pada masa itu asupan gizi pada ibunya kurang, asupan gizi pada janin juga kurang. Akibatnya jumlah sel otak menurun, terutama cerebrum dan cerebellum, diikuti dengan penurunan jumlah protein, glikosida, lipid, dan enzim. Fungsi neurotransmiternya pun menjadi tidak normal.

Dengan bertambahnya usia janin atau bayi, bertambah pula bobot otak. Ukuran lingkar kepala juga bertambah. Karena itu, untuk mengetahui perkembangan otak janin dan bayi berusia kurang dari setahun dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan mengukur lingkar kepala janin. Begitu lahir pun, faktor gizi masih tetap berpengaruh terhadap otak bayi. Jika kekurangan gizi terjadi sebelum usia 8 bulan, tidak cuma jumlah sel yang berkurang, ukuran sel juga mengecil. Saat itu sebenarnya terjadi pertumbuhan hipertropik, yakni pertambahan besar ukuran sel. Penelitian menunjukkan, bayi yang menderita kekurangan kalori protein (KKP) berat memiliki bobot otak 15 20% lebih ringan dibandingkan dengan bayi normal. Defisitnya bahkan bisa mencapai 40% bila KKP berlangsung sejak berwujud janin. Karena itu, anak-anak penderita KKP umumnya memiliki nilai IQ rendah. Kemampuan abstraktif, verbal, dan mengingat mereka lebih rendah daripada anak yang mendapatkan gizi baik.

Asupan zat besi (Fe) juga diduga erat kaitannya dengan kemampuan intelektual. Untuk membuktikannya, Politt melakukan penelitian terhadap 46 anak berusia 3 5 tahun. Hasilnya menunjukkan, anak dengan defisiensi zat besi ternyata memiliki kemampuan mengingat dan memusatkan perhatian lebih rendah. Penelitian Sulzer dkk. juga menunjukkan anak menderita anemia (kurang darah akibat defisiensi zat besi) mempunyai nilai lebih rendah dalam uji IQ dan kemampuan belajar.

Maka atas dasar hasil penelitian tadi, kita bisa mengatur makanan anak sejak janin. Ketika anak masih dalam kandungan, si ibu mesti makan untuk kebutuhan berdua dengan gizi yang baik. Perilakunya juga mesti dijaga agar tidak memberi pengaruh buruk terhadap janin. Pasalnya, perilaku "buruk" ibu hamil, merokok misalnya, ternyata juga menjadikan IQ anak rendah. Penelitian David L. Olds et. al. (1994) dari Departement of Pediatrics, University of Colorado di Denver, AS, menunjukkan bayi- bayi yang lahir dari ibu perokok memiliki faktor potensial ber-IQ rendah, seperti bobot lahir rendah, lingkar kepala lebih kecil, lahir prematur, dan perawatan saat di ICU lebih lama dibandingkan dengan bayi dari ibu tidak merokok selama hamil. Anak dari ibu perokok selama hamil pada usia 12 24 bulan memiliki nilai IQ 2,59 angka lebih rendah, pada 36 48 bulan memiliki nilai IQ 4,35 angka lebih rendah ketimbang IQ anak dari ibu tidak merokok saat hamil. Menurut David, asap rokok diduga akan mengurangi pasokan oksigen yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan sistem syaraf janin. Nikotin rokok akan membuat saluran utero-plasental menyempit. Akibatnya, sel-sel otak bayi akan menderita hypoxia atau kekurangan oksigen. Asap rokok juga akan memicu terjadinya proses carboxy hemoglobin, yaitu sel-sel darah yang semestinya mengikat oksigen malah mengikat CO dari asap rokok. Selain itu, asap rokok juga mengandung sekitar 2.000 4.000 senyawa kimia beracun yang secara langsung mengganggu dan merusak berbagai proses tumbuh kembang sel- sel dan sistem syaraf. Merokok selama hamil juga berpengaruh pada kekurangan zat gizi yang diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel otak. Misalnya, kebutuhan zat besi akan meningkat karena harus memenuhi keperluan pembentukan sel-sel darah yang banyak mengalami kerusakan. Hal ini akan mengurangi kemampuan dan persediaan zat gizi lainnya, seperti vit. B- 12 dan C, asam folat, seng (Zn), dan asam amino. Zat-zat gizi tsb. dilaporkan sangat diperlukan dalam proses tumbuh kembang sel-sel otak janin. Jika terjadi kekurangan zat-zat gizi esensial, proses tumbuh kembang otak tidak optimal, sehingga nilai IQ pun menjadi lebih rendah. Setelah lahir, asupan gizi bagi bayi juga harus dijaga tetap baik. Idealnya, anak mendapatkan ASI secara eksklusif sampai usia 4 6 bulan. Jenis makanan, selain ASI, untuk bayi dan anak balita sebaiknya dibuat dari bahan makanan pokok (nasi, roti, kentang, dll.), lauk pauk, bebuahan, air minum, dan susu sebagai sumber protein dan energi. Jangan lupa, bahan makanan harus diolah sesuaitahap perkembangan dari lumat, lembek, selanjutnya padat. Secara keseluruhan asupan makanan sehari harus mengandung 10 15% kalori dari protein, 20 35 % dari lemak, dan 40 60% dari karbohidrat. Menu seimbang diberikan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Sejak awal balita, jika memungkinkan, anak diberi susu sebanyak 500 ml. Namun, jika ASI cukup, susu pengganti tidak perlu diberikan hingga usia dua tahun. Perhatian juga mesti diberikan terhadap jadwal pemberian makanan. Makan besar tiga kali (sarapan, makan siang, dan malam), makan selingan (makan kecil) dua kali yang diberikan di antara dua waktu makan besar, air minum diberikan setelah makan dan ketika anak merasa haus, serta susu diberikan dua kali, yakni pagi dan menjelang tidur malam. Untuk mengetahui kecukupan gizi pada anak ada dua cara yang bisa digunakan. Pertama cara subjektif, yakni mengamati respon anak terhadap pemberian makanan. Makanan dinilai cukup jika anak tampak puas, tidur nyenyak, aktifitas baik, lincah, dan gembira. Anak cukup gizi biasanya tidak pucat, tidak lembek, dan tidak ada tanda-tanda gangguan kesehatan. Cara kedua adalah dengan pemantauan pertumbuhan secara berkala. Cara ini dilakukan dengan mengukur bobot dan tinggi anak, dilengkapi dengan mengukur lingkar kepala pada anak sampai usia 3 tahun. Hasil pengukuran dibandingkan dengan data baku untuk anak sebaya. Jika ditemukan tanda-tanda kurang sehat, seperti pucat atau rambut tipis dan kemerahan, anak perlu diperiksa secara medis. Ada baiknya juga dilakukan pemeriksaan psikologis, terutama bila ada kemunduran prestasi belajar. Tempat tinggal dan cerita

Selain faktor gizi dan perawatan, apa yang dilihat, didengar, dan dipelajari anak, sejak dalam kandungan sampai usia lima tahun, sangat menentukan intelegensia dasar untuk masa dewasanya kelak. Setelah usianya melewati lima tahun, secara potensial IQ-nya telah tetap. Dengan begitu, masa itulah merupakan "kesempatan emas" bagi kita untuk memacu tingkat kecerdasan anak. Menurut Jean Piaget, psikolog dari Swis, semakin banyak hal baru yang dilihat dan didengar, si anak akan semakin ingin melihat dan mendengar segala sesuatu yang ada dan terjadi di lingkungannya. Karenanya disarankan agar orang tua memperkaya lingkungan tempat tinggal (kamar tidur atau kamar bermain) bayi dengan warna dan bunyi- bunyian yang merangsang. Umpamanya, gambar-gambar binatang atau bunga, musik, kicauan burung, dsb. Semuanya mesti tidak menimbulkan ketakutan dan kegaduhan pada anak.

Para pakar juga yakin lingkungan verbal bagi anak juga tak kalah pentingnya. Bahasa yang didengarkan anak bisa meningkatkan atau menghambat kemampuan dasar berpikirnya. Penelitian hal ini dilakukan psikolog Rusia. Ia membayar para ibu keluarga miskin untuk membacakan cerita dengan suara keras untuk bayi mereka masing-masing selama 15 20 menit setiap hari. Menjelang berusia 1,5 tahun, bayi menjalani pengukuran. Hasilnya, bayi-bayi itu memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik ketimbang bayi-bayi seusianya di daerah yang sama.

Penelitian lain dilakukan di sebuah sekolah perawat di New York, AS, terhadap dua kelompok anak usia tiga tahun. Masing-masing anak diperlakukan secara berbeda. Kelompok pertama diberi pelajaran berbahasa selama 15 menit setiap hari. Kelompok kedua diberi perhatian khusus juga selama 15 menit tanpa pelajaran bahasa. Setelah 4 bulan ternyata kelompok pertama mendapatkan kenaikan intelegensia rata-rata sebesar 14 angka. Sedangkan kelompok kedua kenaikan rata-ratanya cuma 2 angka. Nah, untuk mendapatkan anak cerdas ternyata gampang. Cuma dengan memberi makanan sehat, perawatan baik, dan lingkungan psikologis yang mendukung sejak dalam kandung hingga usia lima tahun, besar kemungkinan harapan kita akan tercapai. (dr. Audrey Luize)

9 RASA TAKUT DAN CARA MENGATASINYAWajar jika batita memiliki rasa takut. Bentuknya juga macam-macam. Yang jelas, bila ia tak dibantu mengatasi ketakutannya, bisa mengalami fobia.

Ketakutan, kata dr. Ika Widyawati, SpKJ dari Bagian Psikiatri FKUI- RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, merupakan suatu keadaan alamiah yang membantu individu melindungi dirinya dari suatu bahaya sekaligus memberi pengalaman baru. Pada sejumlah batita, rasa takutnya masih sebatas pada hal-hal spesifik seperti takut pada anjing, gelap, atau bertemu orang asing.

Yang kerap terjadi, jelas psikiater ini, ketakutan anak justru muncul karena "ditularkan" orang tuanya. Karena takut pada sesuatu atau kondisi tertentu, "Tanpa sadar orang tua akan melarang anak dengan cara menakut-nakutinya." Misanya, "Awas ada kucing, nanti kamu dicakar!" Akibatnya, anak merasa terancam alias tidak aman setiap kali melihat kucing. Padahal, umumnya kucing hanya akan marah dan mencakar jika diganggu.

Bentuk ekspresi ketakutan itu sendiri bisa macam-macam. Biasanya lewat tangisan, jeritan, bersembunyi atau tak mau lepas dari orang tuanya. Untungnya, seperti dijelaskan Ika, rasa takut ini akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. "Saat anak merasa aman dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya, hilanglah rasa takut tadi. Tentu saja perlu dukungan orang tua."

Yang jadi masalah adalah bila rasa takut mengendap dan tak teratasi sehingga berpengaruh pada aktivitas sehari-hari anak. "Bahkan bisa mengarah jadi ketakutan yang bersifat patologis. Malah bisa fobia alias ketakutan berlebih karena pernah mengalami kejadian tertentu." Misalnya, gara-gara takut tikus, tiap kali melihat hewan itu, ia akan menjerit ketakutan. "Tapi umumnya jarang muncul pada anak batita, kok," jelas Ika.

Berikut 9 jenis rasa takut yang kerap dialami batita dan tips mengatasi yang diberikan Ika.

1. TAKUT BERPISAH (SEPARATION ANXIETY)Anak cemas harus berpisah dengan orang terdekatnya. Terutama ibunya, yang selama 3 tahun pertama menjadi figur paling dekat. Figur ibu, tak selalu harus berarti ibu kandung, melainkan pengasuh, kakek-nenek, ayah, atau siapa saja yang memang dekat dengan anak. Kelekatan anak dengan sosok ibu yang semula terasa amat kental, biasanya akan berkurang di tahun-tahun berikutnya. Bahkan di usia 2 tahunan, kala sudah bereksplorasi, anak akan melepaskan diri dari keterikatan dengan ibunya. Justru akan jadi ma