Argumentasi hukum

34
Sekretariat Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani No. 99 Malang Telp. 0341 713604 Fax. 0341 713605 Email : [email protected] website : fh.wisnuwardhana.ac.id ARGUMENTASI HUKUM DALAM PROSES PERADILAN Written by Dr. Kusnu Goesniadhie, S.H., M.Hum. *) Friday, 14 December 2007 Pengertian Dalam Terminologi Hukum (Rahuhandoko, 1996: 67), istilah ‘argument’ diartikan sebagai berusaha mempercayakan orang lain dengan mengajukan alasan-alasan. Dalam Kamus Filasafat (Rakhmad, 1995: 22-23), ‘argument’ dari bahasa Latin ‘arguere’ yang berarti menjelaskan. Alasan-alasan (bukti) yang ditawarkan untuk mendukung atau menyangkal sesuatu. Dalam logika, diartikan sebagai serangkaian pernyataan yang disebut premis-premis yang secara logis berkaitan dengan pernyataan berikutnya yang disebut konklusi. Argumen-argumen dibagi menjadi dua kategori umum, yaitu deduktif dan induktif . Dalam Blak’s Law Dictionary (Garner, 1999:102), istilah ‘argument’ diartikan “a statement that attempts to persuase; esp., the remarks of counsel in alalyzing and pointing out or repudiating a desired inference, for the assistance of decision-maker. The act or process of attempting to persuade”. Sedangkan ‘argumentative’, diartikan sebagai “of or relating to argument or persuasion, stating not only facts, but also inferances and conclusions drawn from facts (the judge sustained the prosecutor’s objection to the argumentative question)” . Dalam Kamus Hukum (Sudarsono, 1992: 36), istilah ‘argumen’ diberikan arti sebagai alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan. Berargumen, berarti berdebat dengan saling mempertahankan atau menolak alasan masing-masing. Istilah argumentasi, diartikan sebagai pemberian alasan untuk memperkuat atau

Transcript of Argumentasi hukum

Sekretariat

Fakultas Hukum

Universitas Wisnuwardhana

Malang

Jl. Danau Sentani No. 99 Malang

Telp. 0341 713604

Fax. 0341 713605

Email : [email protected]

website : fh.wisnuwardhana.ac.id

ARGUMENTASI HUKUM DALAM PROSES PERADILAN

Written by Dr. Kusnu Goesniadhie, S.H., M.Hum. *)

Friday, 14 December 2007

Pengertian

Dalam Terminologi Hukum (Rahuhandoko, 1996: 67), istilah ‘argument’ diartikan sebagai

berusaha mempercayakan orang lain dengan mengajukan alasan-alasan. Dalam Kamus Filasafat

(Rakhmad, 1995: 22-23), ‘argument’ dari bahasa Latin ‘arguere’ yang berarti menjelaskan.

Alasan-alasan (bukti) yang ditawarkan untuk mendukung atau menyangkal sesuatu. Dalam

logika, diartikan sebagai serangkaian pernyataan yang disebut premis-premis yang secara logis

berkaitan dengan pernyataan berikutnya yang disebut konklusi. Argumen-argumen dibagi

menjadi dua kategori umum, yaitu deduktif dan induktif.

Dalam Blak’s Law Dictionary (Garner, 1999:102), istilah ‘argument’ diartikan “a

statement that attempts to persuase; esp., the remarks of counsel in alalyzing and pointing out or

repudiating a desired inference, for the assistance of decision-maker. The act or process of

attempting to persuade”. Sedangkan ‘argumentative’, diartikan sebagai “of or relating to

argument or persuasion, stating not only facts, but also inferances and conclusions drawn from

facts (the judge sustained the prosecutor’s objection to the argumentative question)”.

Dalam Kamus Hukum (Sudarsono, 1992: 36), istilah ‘argumen’ diberikan arti sebagai

alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau

gagasan. Berargumen, berarti berdebat dengan saling mempertahankan atau menolak alasan

masing-masing. Istilah argumentasi, diartikan sebagai pemberian alasan untuk memperkuat atau

menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Berargumentasi berarti memberikan alasan

untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.

Dalam Kamus Belanda-Indonesia (Wojowasito, 2001: 45), istilah ‘argument’ diartikan

bukti sanggahan, alasan, perbantahan, dan ‘argumentatie’ diartikan sebagai hal memberikan

alasan dengan cara tertentu, debat, pembahasan. Dalam ‘Kamus Inggris-Indonesia’ ditemukan

istilah ‘argument’ yang diberikan arti alasan, perdebatan, bukti, perbantahan, dan

‘argumentation’ diberikan arti sebagai pemberian alasan dengan cara tertentu, debat,

pembahasan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, argumen diartikan sebagai alasan berupa uraian

penjelasan, dan argumentasi diartikan sebagai pemberian alasan yang diuraikan secara jelas

untuk memperkuat suatu pendapat.

Dari pengertian-pengertian di atas, diambil simpulan pengertian ‘argumentasi’ diartikan

sebagai, ‘mengajukan alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa

serangkaian pernyataan yang secara logis berkaitan dengan pernyataan berikutnya yang disebut

konklusi, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan’.

Istilah ‘hukum’ dalam makalah ini dimaksudkan sebagai norma, yang lazimnya diartikan

sebagai aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur bagaimana seyogianya berbuat

atau tidak berbuat agar kepentingan masing-masing terlindungi. Norma merupakan pandangan

objektif masyarakat tentang apa yang seyogyanya diperbuat atau tidak diperbuat. Pengertian

norma hukum meliputi asas hukum, norma hukum dalam arti sempit atau nilai (value norm) dan

peraturan hukum konkret. Norma hukum dalam arti yang luas, berhubungan satu sama lain dan

merupakan satu sistem, yaitu sistem hukum. Di samping norma dan sistem hukum sebagai

sasaran studi ilmu hukum, karena hukumnya tidak lengkap, sehingga perlu dicari dan

diketemukan. Oleh karena itu harus dipelajari pula caranya mencari atau menemukan hukum.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan ‘argumentasi hukum’ dalam makalah ini, yaitu

“alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan

secara logis, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan

dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan

penemuan hukum”.

Hukum itu sendiri bagi sebagian besar sarjana hukum didefinisikan sebagai himpunan

peraturan-peraturan hukum yang mengatur kegiatan kehidupan manusia yang dapat dipaksakan

pelaksanaannya. Dikatakan bagi sebagian besar sarjana hukum karena bagi sebagian sarjana

hukum yang lain hukum tidak dilihat sebagai himpunan peraturan. Sebagian besar sarjana hukum

(Hakim, Jaksa, Pengacara dan sebagainya) pada umumnya dihadapkan pada peristiwa konkret

yang memerlukan pemecahan, suatu konflik. Untuk memecahkan peristiwa konkret atau konflik

itu dicarikan norma atau hukumnya dan hukumnya terdapat dalam himpunan peraturan-peraturan

hukum.

Dalam mempelajari hukum, dihadapkan pada pemecahan masalah hukum atau konflik,

bagaimana memecahkan suatu konflik, apa hukum atau hukumannya, siapa yang berhak? Oleh

karena itulah Noll, (Van der Velden, 1988: 21-22) mengatakan bahwa ilmu hukum itu

merupakan ilmu peradilan (rechtspraakwetenschap). Yang dimaksudkan bahwa studi hukum itu

dilihat dari kaca mata hakim yang mengandung sekurang-kurangnya tiga ciri, yaitu: berkaitan

dengan peristiwa individual; diterapkannya suatu norma atau kaidah (peraturan hukum);

diselesaikannya suatu konflik.

Di sinilah pentingnya independensi badan-badan kehakiman/peradilan sebagai salah satu

dasar bagi terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law sebagaimana

pemikiran mengenai Negara Hukum modern yang di cetuskan dalam konferensi International

Commission of Jurists di Bangkok pada 1965. Dalam konferensi ditekankan pemahaman apa

yang disebut sebagai "the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age" (aspek-aspek

dinamika Rule of Law dalam abad modern). Dikatakan bahwa ada 6 (enam) syarat-syarat dasar

untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law, yaitu :

1) Perlindungan Konstitusional;

2) Peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

3) Pemilihan Umum yang bebas;

4) Kebebasan menyatakan pendapat;

5) Kebebasan berserikat / berorganisasi dan beroposisi;

6) Pendidikan kewarganegaraan.

Dari syarat-syarat tersebut jelas bahwa independensi kekuasaan kehakiman merupakan

salah satu pilar yang pokok, yang apabila komponen tersebut tidak ada maka kita tidak bisa

berbicara lagi tentang Negara Hukum.

Negara Hukum

Negara Hukum adalah negara yang penyelenggaraan pemerintahannya dijalankan

berdasarkan dan bersaranakan hukum yang berakar dalam seperangkat titik tolak normatif,

berupa asas dasar sebagai asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai pemerintahan dan

perilaku pejabat pemerintah. Keberadaan negara hukum menurut J. Van der Hoeven

memprasyaratkan:

a) Prediktabilitas perilaku, khususnya perilaku pemerintah, yang mengimplikasikan ketertiban

demi keamanan dan ketenteraman bagi setiap orang.

b) Terpenuhinya kebutuhan materiil minimun bagi kehidupan manusia yang menjamin

keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi.

Konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel

Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain- lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu

‘rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara Hukum dikembangkan

atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan ‘The Rule of Law’.

Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’

itu mencakup empat elemen penting, yaitu :

Perlindungan hak asasi manusia;

Pembagian kekuasaan;

Pemerintahan berdasarkan undang-undang;

Peradilan tata usaha negara.

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum

yang disebutnya dengan istilah ‘The Rule of Law’, yaitu :

Supremacy of law, supremasi aturan-aturan hukum, tidak ada kekuasaan sewenang-wenang

(absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh di hukum kalau

melanggar hukum;

Equality before the law, kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum, dalil ini berlaku

baik untuk orang biasa maupun pejabat;

Due process of law, terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang, serta keputusan-

keputusan pengadilan.

Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada

pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V.

Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern.

Friedman (Sunarjati,1976: 28), bahwa kata rule of law dapat dipakai dalam arti formal (in

the formal sense) dan dalam arti material (ideological sense). Dalam arti formal maka rule of law

itu tidak lain artinya sebagai “organized public power” atau kekuasaan umum yang terorganisir.

Dalam pengertian ini setiap organisasi hukum (termasuk organisasi yang dinamakan negara)

mempunyai rule of law, sehingga kita dapat berbicara tentang rule of law dari RRC, Perancis,

Jerman, Cekoslovakia, dan sebagainya. Sudah barang tentu bukan dalam arti formal ini kita

pakai rule of law itu, tetapi dalam arti material. Artinya, dalam arti yang materiel inilah yang

menyangkut ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang buruk. Dalam arti ini,

kita dapat berbicara tentang just atau unjust law.

Dari penjelasan di atas, dapat diambil pemahaman bahwa konsep rule of law melahirkan

konsep negara kesejahteraan (Welfare State) yang menggambarkan, bahwa hak-hak kebebasan

politik, haruslah disertai dengan hak-hak kebebasan di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Ia tidak menghendaki Negara Hukum formil dan demokrasi formil, tetapi juga kesejahteraan

seluruh rakyat.

Negara Hukum dalam Praktek di Indonesia

Praktek hukum di Indonesia memperlihatkan situasi yang sangat dipengaruhi oleh

positivisme hukum, bahkan positivisme undang-undang (legisme). Para praktisi hukumnya

dipengaruhi positivisme hukum, sehingga cenderung berpikir positivistik atau legistik dalam

menjalanhan profesinya masing-masing. Dalam pandangan yang positivistik itu, maka hukum

hanyalah apa yang secara eksplisit tercantum dalam aturan hukum yang sah (perundang-

undangan). Akibatnya penggunaan atau perujukan pada asas hukum dalam memberikan

argumentasi suatu pendapat hukum atau dalam menetapkan putusan hukum kurang mendapat

perhatian. Antara lain disebabkan oleh diabaikannya perujukan pada asas hukum dalam

argumentasi yuridis dalam upaya menerapkan berbagai aturan perundang-undangan yang saling

berkaitan. Maka implementasi konsepsi negara hukum dalam praktek menjadi jauh dari yang

diidealkan (misalnya kasus Tempo pada masa Orde Baru).

Yang terwujud dalam praktek adalah Negara Hukum formal saja, yang menjauhkan hukum

dari keadilan. Memang dalam masyarakat yang sedang mengalami krisis moral yang mendasar

seperti di Indonesia, maka semua nilai-nilai dan asas hukum yang sangat fundamental untuk

mewujudkan keadilan justru dapat menjauhkan ‘hukum’ dari keadilan atau kebutuhan hukum riil

dari masyarakat yang sesungguhnya (W. Friedmann).

Diabaikannya studi teori Argumentasi Yuridis (legal reasoning) dalam pendidikan hukum,

memperkuat kecenderungan berpikir positivistik (legalistik) dalam praktek hukum. Pengertian

legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal

reasoning berkaitan dengan proses psikologi yang dilakukan Hakim, untuk sampai pada

keputusan atas kasus yang dihadapinya. Studi legal reasoning dalam arti luas menyangkut aspek

psikologi dan aspek biographi.

Legal reasoning dalam arti sempit, berkaitan dengan argumentasi yang melandasi satu

keputusan. Studi ini menyangkut kajian logika suatu keputusan. Berkaitan dengan jenis-jenis

argumentasi, hubungan antara reason (pertimbangan, alasan) dan keputusan, serta ketepatan

alasan atau pertimbangan yang mendukung keputusan. (Golding, 1984: 1)

Menyelesaikan masalah hukum secara yuridis dalam intinya berarti menerapkan aturan

hukum positif terhadap masalah (kasus) tersebut. Menerapkan aturan hukum positif hanya dapat

dilakuhan secara kontekstual menginterpretasikan aturan hukum tersebut untuk menemukan

kaidah hukum yang tercantum di dalamnya, dalam kerangka tujuan kemasyarakatan dari

pembentukan aturan hukum (teleologikal) yang dikaitkan pada asas hukum yang melandasinya

dengan melibatkan juga berbagai metode interpretasi lainnya (gramatikal, historikal,

sistematikal, sosiologikal). Banyak contoh kasus hukum yang menggambarkan bahwa cara

penalaran hukum yang melibatkan asas hukum dan tujuan kemasyarakatan aturan hukum terkait

sering diabaikan.

Pemecahan Masalah Hukum

Di dalam masyarakat terdapat banyak masalah sosial. Dari sekian banyak masalah-masalah

sosial itu kita harus mampu menemukan atau menyeleksi masalah hukumnya, untuk kemudian

dirumuskan dan dipecahkan. Bukan pekerjaan yang mudah untuk menyeleksi masalah hukum

dari masalah-masalah sosial, yang sering tumpang tindih dengan masalah hukum dan sulit untuk

dicari batasnya, seperti misalnya masalah politik, masalah kesusilaan, masalah agama dan

sebagainya. Di sinilah pentingnya kemampuan untuk menyeleksi dan kemudian merumuskan

masalah hukum (legal problem identification).

Sebagai contoh konkret dapat dikemukakan kegiatan Hakim dalam memeriksa perkara.

Setelah peristiwa konkretnya diseleksi melalui proses tanya-jawab dengan argumentasi masing-

masing pihak, maka kemudian peristiwa konkret itu dibuktikan untuk dikonstatasi dan sekaligus

dirumuskan dan diidentifikasi bahwa benar-benar telah terjadi peristiwa hukum.

Kalau masalah hukumnya telah diketemukan dan dirumuskan, masih perlu diketahui

masalah hukum itu masalah hukum bidang apa, hukum perdata, hukum dagang, hukum agraria,

hukum pidana dan sabagainya. Antara masalah hukum perdata dengan masalah hukum pidana

sering tidak tajam batasnya, antara ingkar janji, perbuatan melawan hukum dan perbuatan

pidana, antara penggelapan dan pencurian.

Setelah diketemukan masalah hukumnya dengan menggunakan penemuan hukum, maka

harus dicari pemecahannya (legal problem solving). Kalau misalnya sudah diketahui bahwa

masalah itu merupakan utang-piutang, harus dipecahkan siapakah yang bersalah atau

bertanggungjawab dan dicari hukumnya untuk diterapkan. Kalau ter jadi pembunuhan harus

dicari siapa pelakunya dan hukumnya untuk diterapkan. Sehingga dalam mempelajari hukum,

dihadapkan pada peristiwa konkret, kasus atau konflik yang memerlukan pemecahan dengan

mencari hukumnya. Bekal untuk memecahkan konfik itu adalah pengetahuan tentang norma

hukum, sistem hukum dan penemuan hukum. Setelah pemecahan masalah hukum perlu diberi

hukumnya, haknya atau hukumannya. Dengan kata lain, harus diambil keputusan (decision

making).

Penting mendapatkan perhatian dan mutlak untuk dikuasai, ialah ‘the power of solving

legal problems’, karena di bidang profesi hukum manapun seorang sarjana hukum bekerja selalu

akan dihadapkan pada masalah hukum yang harus dipecahkannya. Maka dengan demikian,

norma hukum, sistem hukum dan penemuan hukum, adalah merupakan bekal yang digunakan

dalam memecahkan masalah hukum.

Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, seorang sarjana hukum yang bekerja

sesuai dengan profesinya, terutama dalam penegakan hukum, harus mempunyai sikap ilmiah,

yaitu antara lain jujur, berani mencari dan mempertahankan kebenaran serta berani mengakui

kesalahan dan memperbaikinya, terbuka untuk pendapat atau kritik orang lain dan tidak merasa

dirinyalah yang selalu benar, objektif tidak memihak, tidak bersikap emosional dan a priori

terhadap pendapat orang lain, kritis dan kreatif yang konstruktif.

Argumentasi Hukum dan Logika Hukum

Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis, merumuskan suatu argumentasi

secara cepat. Teori argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu

argurnentasi yang jelas dan rasional. Isu utama adalah kriteria universal dan kriteria yuridis yang

spesifik yang menjadikan dasar rasionalitas argumentasi hukum. (Feteris, 1994: 2)

Kata ’logika’ sebagai istilah, berarti suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk

meneliti ketepatan penalaran. Untuk memahami logika, orang harus mempunyai pengertian yang

jelas mengenai penalaran. Penalaran adalah satu bentuk pemikiran. Bentuk-bentuk pemikiran

yang lain, mulai yang paling sederhana ialah pengertian atau konsep (concept), proposisi atau

pernyataan (proposition, statement) dan penalaran (reasoning). Tidak ada proposisi tanpa

pengertian (konsep) dan tidak ada penalaran tanpa proposisi. Untuk rnemahami penalaran, maka

ketiga bentuk pemikiran harus dipahami bersama-sama. (Soekadijo, 1985: 3)

Satu dalil yang kuat, satu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan

kata lain adalah suatu "conditio sine qua non" agar suatu keputusan dapat diterima, adalah

apabila didasarkan pada proses nalar, sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat

mutlak dalam berargumentasi. (Brouwer, 1982: 32)

Argumentasi hukum merupakan satu model argumentasi khusus. Terdapat dua hal yang

menjadi dasar kekhususan argumentasi hukum :

1) Tidak ada Hakim atau pun Pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan hampa.

Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan

suatu keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan satu perkembangan yang

berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan norma-norma

baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas yang terdapat dalam

hukum positif untuk mengambil keputusan-keputusan baru.

2) Kekhususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran hukum, berkaitan dengan

kerangka prosedural, yang di dalamnya berlangsung argumentasi rasional (drie niveaous van

rationele juridische argumentatie) dan diskusi rasional.

Langkah Pemecahan Masalah Hukum

Pengumpulan Fakta

Fakta hukum bisa berupa perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Pembunuhan adalah

perbuatan hukum, kelahiran adalah peristiwa hukum, di bawah umur adalah suatu keadaan.

Pengumpulan fakta hukum didasarkan pada ketentuan tentang alat bukti.

Seorang lawyer pertama kali berhadapan dengan klien harus mendengar paparan klien

menyangkut fakta hukum. Sikap lawyer terhadap klien adalah sikap skeptik dalam rangka

mengorek kebenaran fakta hukum yang dipaparkan klien. Dengan berhati-hati lawyer

mengajukan pertanyaan untuk menguji sekaligus menggali fakta hukum secara lengkap. Untuk

dapat mengajukan pertanyaan tentunya harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan dan asas

hukum yang relevan.

Misalnya, fakta hukum berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum, tentunya lawyer

dalam mengajukan pertanyaan beranjak dari ketentuan Pasal 1365 BW.

Klasifikasi Hakekat Permasalahan Hukum

Klasifikasi hakekat permasalahan hukum pertama-tama berkaitan dengan pembagian

hukum positif. Hukum positif diklasifikasikan atas hukum publik dan hukum privat yang

masing-masing terdiri atas berbagai disiplin. Misalnya, hukum publik terdiri atas Hukum Tata

Negara, Hukum Administrasi Negara, dan Hukum Internasional Publik, sedangkan hukum privat

terdiri atas Hukum Dagang, Hukum Perdata, di samping ada disiplin fungsional yang memiliki

karakter campuran (misalnya, hukum perburuhan).

Hakekat permasalahan hukum dalam sistem peradilan, berkaitan dengan lingkungan

peradilan yang dalam penanganan perkaranya berkaitan dengan kompetensi absolut pengadilan.

Identifikasi dan Pemilihan Isu Hukum yang Relevan

Isu hukum berisi pertanyaan tentang fakta dan pertanyaan tentang hukum. Pertanyaan

tentang fakta pada akhirnya menyimpulkan fakta hukum yang sebenarnya yang didukung oleh

alat-alat bukti. Isu tentang hukum dalam civil law system, diawali dengan statute approach, yang

kemudian diikuti dengan conseptual approach. Dengan demikian identifikasi isu hukum

berkaitan dengan konsep hukum. Dari konsep hukum yang menjadi dasar, dipilah-pilah elemen-

elemen pokok.

Misal malpraktek dokter, apakah permasalahannya merupakan tindakan wanprestasi

ataukah perbuatan melanggar hukum.

Dalam menganalisa masalah tersebut, pertama-tama harus dirumuskan isu hukum yang

berkaitan dengan konsep wanprestasi. Analisis pada dasarnya mengandung makna pemilahan

dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Dengan konsep demikian, analisis atas isu wanprestasi

dilakukan dengan memilah-milah unsur-unsur mutlak wanprestasi, yaitu :

1) Adakah hubungan kontraktual dalam hubungan dokter-pasien?

2) Adakah cacat prestasi dalam tindakan dokter terhadap pasien?

Untuk isu perbuatan melanggar hukum, dapat dirumuskan isu berikut :

1) Apakah tindakan dokter merupakan suatu perbuatan hukum?

2) Apakah tindakan dokter merupakan perbuatan melanggar hukum? Apa kriteria melanggar

hukum?

3) Apa kerugian yang diderita pasien?

4) Apakah kerugian itu adalah akibat langsung perbuatan dokter?

Selanjutnya masing-masing isu tersebut dibahas dengan mendasarkan pada fakta

(hubungan dokter-pasien) dikaitkan dengan hukum dan teori serta asas hukum yang berlaku.

Terhadap setiap isu yang diajukan harus diadakan pembahasan secara cermat. Pada akhirnya

ditarik simpulan (opini) terhadap setiap isu. Berdasarkan simpulan (opini) atas setiap isu, ditarik

simpulan atas pokok masalah, yaitu ada tidaknya wanprestasi dan/atau perbuatan melanggar

hukum dalam hubungan dokter-pasien.

Penemuan Hukum yang Berkaitan Dengan Isu Hukum

Dalam pola civil law system, hukum utamanya adalah legislasi. Oleh karena itu langkah

dasar pola nalar yang dikenal sebagai reasoning based on rules adalah penelusuran peraturan

perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 1

angka 2, bahwa “peraturan perundang-undang adalah produk hukum tertulis yang dibuat oleh

lembaga negara atau pejabat yang berwenang, yang isinya mengikat umum”.

Langkah ini merupakan langkah pertama yang dikenal sebagai statute approach. Langkah

berikutnya (langkah kedua) adalah mengidentifikasi norma. Rumusan norma merupakan suatu

proposisi. Dengan demikian, sesuai dengan hakekat proposisi, norma terdiri atas rangkaian

konsep. Untuk memahami norma harus diawali dengan memahami konsep. Inilah langkah ketiga

yang dikenal dengan conceptual approach.

Misalnya norma Pasal 1365 BW, “setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan

kerugian, mewajibkan yang menimbulkan kerugian itu untuk membayar ganti kerugian”. Dalam

norma tersebut, konsep-konsep utama yang harus dijelaskan, adalah :

Konsep perbuatan

Kalau konsep ini tidak dijelaskan akan menimbulkan kesulitan, misalnya apakah kerugian

yang ditimbulkan oleh gempa bumi dapat digugat berdasarkan ketentuan Pasal 1365 BW.

Pertanyaan hukum yang muncul adalah apakah gempa bumi termasuk konsep perbuatan.

Pertanyaan menyusul adalah hal itu perbuatan siapa, dan pada akhirnya pertanyaan tentang siapa

yang bertanggungjawab.

Konsep melanggar hukum

Harus dimaknai secara jelas unsur-unsur melanggar hukum. Dalam bidang hukum perdata

orang berpaling kepada yurisprudensi. Berdasarkan yurisprudensi melanggar hukum terjadi

dalam hal :

. melanggar hak orang lain;

. bertentangan dengan kewajiban hukumnya;

. melanggar kepatutan;

. melanggar kesusilaan.

Konsep kerugian

Unsur-unsur kerugian meliputi :

. schade, kerusakan yang diderita;

. winst, keuntungan yang diharapkan;

. kosten, biaya yang dikeluarkan.

Dengan contoh di atas, bahwa tidak cukup hanya dengan berdasarkan norma hukum yang

tertulis langsung diterapkan pada fakta hukum. Rumusan norma bersifat abstrak dan konsep

pendukungnya dalam banyak hal merupakan konsep terbuka atau konsep yang kabur. Dengan

kondisi yang demikian, langkah ketiga seperti dijelaskan di muka, adalah merupakan langkah

penemuan hukum.

Penerapan Hukum

Setelah rnenemukan norma konkret, langkah berikutnya adalah penerapan pada fakta

hukum. Seperti contoh di atas setelah menemukan norma konkret dari perbuatan dalam konteks

Pasal 1365 BW dapat dijadikan parameter untuk menjawab pertanyaan hukum, “apakah gempa

bumi merupakan perbuatan?”

Contoh lain, berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat. Unsur

pertama adalah penyalahgunaan wewenang. Tanpa kejelasan konsep penyalahgunaan wewenang,

dengan sendirinya sulit dijadikan parameter untuk mengukur apakah suatu perbuatan atau

tindakan merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang. Salah konsep mengakibatkan

kesalahan mengambil kesimpulan.

Dalam logika dikenal rumus "Ex Falso Quo Libet" . Artinya, dari yang palsu (salah), bisa

benar bisa salah. Faktor kebetulan berperan dalam hukum, bisa terjadi kesewenang-wenangan

dan bahkan muncul penyalahgunaan wewenang baru, misal oleh Jaksa atau, Hakim atau pun

Pengacara.

Dasar Hukum Positif

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman,

ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka,

mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak

kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945.

Merdeka, berarti bebas, maka dengan demikian kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk

menyelenggarakan peradilan. Kebebasan kekuasaan kehakiman atau kebebasan peradilan atau

kebebasan hakim, merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana, baik di negara-negara

Eropah maupun di Amerika, Jepang, Indonesia dan lainnya. Yang dimaksudkan dengan

kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim

adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya

mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Peradilan atau hakim yang bebas, ialah bebas

untuk mengadili dan bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisiil.

Secara teknis kebebasan hakim dibatasi oleh kehendak pihak-pihak yang bersangkutan,

Pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hakim, terutama dalam

perkara perdata, terikat pada apa yang dikemukakan oleh para pihak. Pada dasarnya tidak dapat

memutuskan lebih atau kurang dari yang dituntut oleh yang bersangkutan. Putusannya tidak

boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD, undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Secara politis dibatasi oleh sistem pemerintahan, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.

Dalam menemukan hukum, ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 Tahun

2004, bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu

ada, tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus d igali. Jadi hukumnya itu ada,

tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan, kemudian diciptakan. Dikatakan oleh

Scholten, bahwa di dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan setiap

saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu hukumnya

sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukannya.

Perbedaan Persepsi Pada Tataran Konsep

Bagaimana Hakim memutus perkara menjadi sangat penting; karena melalui putusan

Hakim para pihak yang berperkara bisa memperoleh hak yang diperjuangkan dan atau sebaliknya

bisa kehilangan haknya. Jika putusan Hakim tidak adil, maka putusan itu akan mengakibatkan

kerugian moral bagi pihak yang dirugikan, karena putusan itu telah memberikan stigma kepada

orang yang bersangkutan sebagai “pelanggar hukum”. Ada tiga persoalan yang selalu muncul

dalam setiap perkara, yaitu:

a) apa yang sesungguhnya terjadi (fakta)?

b) hukum apa yang relevan berlaku dalam kasus demikian (hukum)?

c) jika hukum menolak memberi kompensasi, apakah hal demikian tidak adil dan jika dianggap

tidak adil, haruskah Hakim mengabaikan hukum demikian dan mengabulkan permohonan

ganti rugi tersebut (hubungan antara modal politik dan ketaatan hukum)?

Antara penegak hukum (Hakim, Jaksa dan Pengacara) kadangkala berselisih paham tentang

patokan apa yang harus dipergunakan untuk menentukan ‘hukum apa yang relevan bagi suatu

kasus’. Mereka kadangkala tidak sepakat tentang apakah dasar hukum dalam suatu kasus tertentu

telah terpenuhi atau tidak. Perselisihan ini disebut ketidaksepakatan teoritis tentang hukum dan

perbedaan pendapat tentang apa yang sesungguhnya menjadi konsep hukum berkenaan dengan

kompensasi itu, karena mereka tidak sepakat apakah undang-undang atau putusan Hakim telah

secara tuntas menelaah dasar hukum yang relevan. Perselisihan ini disebut perselisihan empiris

tentang hukum, yaitu perbedaan pendapat tentang kata-kata apa yang sebenarnya tercantum

dalam undang-undang dengan cara sama mereka tidak sepakat tentang jumlah fakta lain.

Mengapa Perbedaan Pendapat itu Ada

Mentakjubkan bahwa ilmu hukum tidak memiliki teori yang masuk akal berkenaan dengan

sengketa teoritis tentang konsep negara hukum. Ahli filsafat hukum tentunya sadar bahwa

sengketa teoritis ini bersifat problematis. Sengketa teoritis tentang hukum tidak lebih dari

sekedar ilusi bahwa sebenarnya baik Polisi/Jaksa/Pengacara maupun Hakim sepakat tentang

dasar hukum suatu pandangan diterima sebagai konsep hukum. Apa yang menjadi hukum

hanyalah soal apa yang telah diputuskan oleh institusi- institusi hukum. Mengapa Hakirn dan

Jaksa/Pengacara kadangkala masih juga tidak sepakat secara teoritis tentang konsep hukum?

karena ketika mereka tampaknya secara teoritis bersengketa tentang apa sebenarnya hukum itu

seharusnya. Persoalan sebenarnya tidak lebih tentang soal moralitas dan pentaatan cermat, bukan

tentang konsep hukum itu sendiri.

Opini populer dalam masyarakat bahwa Hakim-Hakim dalam mengambil keputusan harus

mengikuti hukum ketimbang mencoba mengembangkan hukum yang sudah ada. Sayangnya ada

beberapa Hakim tidak menerima batasan yang bijak ini dan secara sembunyi-sembunyi atau

justru terang-terangan mereka membengkokkan hukum demi tujuan-tujuan penguasa atau

kepentingan mereka sendiri.

Dari pandangan di atas dapat diambil simpulan bahwa putusan-putusan institusional tidak

hanya sekali-kali, tetapi setiap kali, tidak jelas atau ambigu atau tidak lengkap, bahkan kadang

putusan-putusan demikian kerap inkonsisten ataupun sekaligus inkoheren, (dalam kenyataan

tidak pernah ada hukum tentang segala apapun, namun hanya Hakim-Hakim yang membungkus

putusan-putusan mereka dengan retorika yang faktual dipengaruhi oleh preferensi kelas atau

ideologis), walaupun di sisi lain dipahami bahwa pandangan ini akan ditolak dalam pemikiran

yang diberikan kepada kerja para Hakim dan Pengacara dalam praktek mereka sehari-hari.

Apa yang sesungguhnya dipersengketakan dan kemudian mengkonstruksikan dan

mengajukan suatu teori tentang dasar-dasar yang layak bagi suatu konsep hukum. Praktek hukum

berbeda dari gejala sosial lainnya karena praktisi hukum sifatnya argumentative.

Simpulan

Argumentasi hukum, adalah “alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas,

berupa serangkaian pernyataan secara logis, untuk memperkuat atau menolak suatu pe ndapat,

pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum

konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum”.

Suatu argumentasi bermakna, hanya dibangun atas dasar logika, adalah suatu ”conditio

sine qua non” agar suatu keputusan dapat diterima, yakni apabila didasarkan pada proses nalar,

sesuai dengan sistem logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi.

Tidak ada Hakim atau pun Pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu keadaan

hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif. Hukum positif bukan merupakan

suatu keadaan yang tertutup ataupun statis, akan tetapi merupakan satu perkembangan yang

berlanjut. Dari suatu ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan norma-norma

baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas yang terdapat dalam hukum

positif untuk mengambil keputusan-keputusan baru.

Konsep rule of law melahirkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang

menggambarkan, bahwa hak-hak kebebasan politik, harus disertai dengan hak-hak kebebasan di

bidang ekonomi, sosial dan budaya. Ia tidak menghendaki Negara Hukum formil dan demokrasi

formil, tetapi juga kesejahteraan seluruh rakyat. Negara Hukum mempunyai sifat di mana alat

perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah

ditentukan lebih dahulu oleh alat perlengkapannya.

*) Dr. Kusnu Goesniadhie, S.H., M.Hum. adalah Dosen Fakultas Hukum Univ.

Wisnuwardhana Malang.

Referensi :

Benditt, Theodore M., 1978, Law as Rule and Principle (Problems of Legal Philosophy),

California: Stanford University.

Brouwer, P.W., A. Soeteman, 1982, Logica en Recht, WEJ. Tjeenk Willink, Zwolle.

Budiardjo, Miriam, 1977, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.

Feteris, E.T., 1994, Redelijkheid in Jurisdische Argumentatie, Een Overzicht van Theorieen Over

Het Rechtvaardigen van Juridische Beslissingen, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.

Friedmann, W., 1996, Filsafat Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Garner, Bryan A., 1999, Blak’s Law Dictionary, Sevent Editions, St. Paul Min.: West Group.

Golding, Martin P., 1984, Legal Reasoning, New York: Alfreda A. Knoff Inc.

Hartono, CFG Sunaryati, 1976, Apakah Rule of Law itu ?, Bandung: Alumni.

Rakhmad, Jalaluddin, 1995, Kamus Filsafat, Jakarta: Rosda Karya.

Ranuhandoko, IPM,1996, Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Rumokoy, Donald A, dalam SF Marbun, et.al., 2001, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum

Administrasi Negara, Yogyakarta: UII-Press.

Soekadijo, RG., 1985, Logika Dasar, Tradisional; Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia.

Sudarsono, Kamus Hukum, 1992, Jakarta: Rineka Cipta.

Velden, WG. Van der, 1988, De ontwikkeling van de wetgevingswetenschap, Lelystad:

Koninklijke Vermande.

Wojowasito, S., 2001, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Kesesatan Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berpikir karena penyalahgunaan bahasa

(verbal) dan/atau relevansi (materi) [1]. Kesesatan (fallacia, fallacy) merupakan bagian dari logika yang mempelajari beberapa jenis kesesatan penalaran sebagai lawan dari argumentasi

logis. Kesesatan karena ketidaktepatan bahasa antara lain disebabkan oleh pemilihan terminologi yang salah sedangkan ketidaktepatan relevansi bisa disebabkan oleh (1) pemilihan premis yang tidak tepat (membuat premis dari proposisi yang salah), atau (2) proses penyimpulan premis

yang tidak tepat (premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari).

Daftar isi [sembunyikan]

1 Klasifikasi kesesatan o 1.1 Kesesatan Bahasa

1.1.1 Kesesatan Aksentuasi 1.1.1.1 Kesesatan aksentuasi verbal 1.1.1.2 Kesesatan aksentuasi non-verbal

1.1.2 Kesesatan Ekuivokasi 1.1.2.1 Kesesatan Ekuivokasi verbal 1.1.2.2 Kesesatan Ekuivokasi non-verbal

1.1.3 Kesesatan Amfiboli 1.1.4 Kesesatan Metaforis

o 1.2 Kesesatan Relevansi 1.2.1 Argumentum ad Hominem Tipe I (abusif) 1.2.2 Argumentum ad Hominem Tipe II (sirkumstansial) 1.2.3 Argumentum ad baculum 1.2.4 Argumentum ad misericordiam 1.2.5 Argumentum ad populum 1.2.6 Argumentum auctoritatis (alias: Argumentum ad Verecundiam) 1.2.7 Appeal To Emotion 1.2.8 lgnoratio elenchi 1.2.9 Argumentum ad ignoratiam 1.2.10 Petitio principii

1.2.11 Kesesatan non causa pro causa (post hoc ergo propter hoc/ false cause) 1.2.12 Kesesatan aksidensi 1.2.13 Kesesatan karena komposisi dan divisi 1.2.14 Kesesatan karena pertanyaan yang kompleks

2 Referensi 3 Lihat pula

[sunting] Klasifikasi kesesatan

Dalam sejarah perkembangan logika terdapat berbagai macam tipe kesesatan dalam penalaran. Walaupun model klasifikasi kesesatan yang dianggap baku hingga saat ini belum disepakati para ahli, mengingat cara bagaimana penalaran manusia mengalami kesesatan sangat bervariasi,

namun secara sederhana kesesatan dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material.

Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (forma) penalaran yang tidak

tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsip logika mengenai term dan proposisi dalam suatu argumen (lihat hukum-hukum silogisme).

Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi) penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) yang menyebabkan

kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan juga dapat teriadi karena memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan kesimpulannya (kesesatan relevansi). Setiap

kata dalam bahasa memiliki arti tersendiri, dan masing-masing kata itu dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai dengan arti kalimat yang bersangkutan. Maka, meskipun kata yang digunakan itu sama, namun dalam kalimat yang berbeda, kata tersebut dapat bervariasi artinya.

Ketidakcermatan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat itu dapat menimbulkan kesesatan penalaran.

[sunting] Kesesatan Bahasa

Setiap kata dalam bahasa memiliki arti tersendiri, dan masing-masing kata dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai dengan keseluruhan arti kalimatnya.

Maka, meskipun kata yang digunakan itu sama, namun dalam kalimat yang berbeda, kata tersebut dapat bervanasi artinya. Ketidakcermatan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat

itu dapat menimbulkan kesesatan penalaran. Berikut ini adalah beberapa bentuk kesesatan karena penggunaan bahasa

[sunting] Kesesatan Aksentuasi

Pengucapan terhadap kata-kata tertentu perlu diwaspadai karena ada suku kata yang harus diberi tekanan. Perubahan dalam tekanan terhadap suku kata dapat menyebabkan perubahan arti.

Karena itu kurangnya perhatian terhadap tekanan ucapan dapat menimbulkan perbedaan arti sehingga penalaran mengalami kesesatan.

[sunting] Kesesatan aksentuasi verbal

Contoh:

* Serang (kota) dan serang (tindakan menyerang dalam pertempuran)

Apel (buah) dan apel bendera (menghadiri upacara bendera) Mental (kejiwaan) dan mental (terpelanting) Tahu (masakan, makanan) dan tahu (mengetahui sesuatu)

[sunting] Kesesatan aksentuasi non-verbal

Contoh sebuah iklan:

"Dengan 2,5 juta bisa membawa motor"

Mengapa bahasa dalam iklan ini termasuk kesesatan aksentuasi non-verbal (contoh kasus):

Karena motor ternyata baru bisa dibawa (pulang) tidak hanya dengan uang 2,5 juta tetapi juga dengan

menyertakan syarat-syarat lainnya seperti slip gaji, KTP, rekening listrik terakhir dan keterangan surat

kepemilikan rumah.

Contoh ungkapan:

Apa dan Ha

memiliki arti yang berbeda-beda bila:

* diucapkan dalam keadaan marah

diucapkan dalam keadaan bertanya diucapkan untuk menjawab panggilan.

[sunting] Kesesatan Ekuivokasi

Kesesatan ekuivokasi adalah kesesatan yang disebabkan karena satu kata mempunyai lebih dari satu arti. Bila dalam suatu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah kata yang sama, maka terjadilah kesesatan penalaran.

[sunting] Kesesatan Ekuivokasi verbal

Adalah kesesatan ekuivokasi yang terjadi pada pembicaraan dimana bunyi yang sama disalah artikan menjadi dua maksud yang berbeda.

Contoh:

* bisa (dapat) dan bisa (racun ular)

“ Seorang pasien berkebangsaan Malaysia berjumpa dengan seorang dokter

Indonesia. Setelah diperiksa, doktor memberi nasihat, "Ibu perlu menjaga makannya."

Sang pasien bertanya, "Boleh saya makan ayam?". Sang dokter menjawab "Bisa."

Sang pasien bertanya, "Boleh saya makan ikan?". Sang dokter menjawab "Bisa."

Sang pasien bertanya, "Boleh saya makan sayur?". Sang dokter menjawab "Bisa."

Sang pasien merasa marah lalu membentak "Kalau semua bisa (beracun), apa yang saya hendak makan.....?"[2]

teh (tumbuhan, jenis minuman) dan teh (basa sunda - kata imbuhan) buntut (ekor) dan buntut (anak kecil yang mengikuti kemanapun seorang dewasa pergi) menjilat (es krim) dan menjilat (ungkapan yang dikenakan pada seseorang yang memuji

berlebihan dengan tujuan tertentu)

[sunting] Kesesatan Ekuivokasi non-verbal

Contoh:

* Menggunakan kain/ pakaian putih-putih berarti orang suci. Di India wanita yang menggunakan kain

sari putih-putih umumnya adalah janda

Bergandengan sesama jenis pasti homo Menggelengkan kepala (berarti tidak setuju), namun di India menggelengkan kepala dari satu

sisi ke sisi yang lain menunjukkan kejujuran [3].

[sunting] Kesesatan Amfiboli

Kesesatan Amfiboli (gramatikal) adalah kesesatan yang dikarenakan konstruksi kalimat sedemikian rupa sehingga artinya menjadi bercabang. Ini dikarenakan letak sebuah kata atau

term tertentu dalam konteks kalimatnya. Akibatnya timbul lebih dari satu penafsiran mengenai maknanya, padalahal hanya satu saja makna yang benar sementara makna yang lain pasti salah.

Contoh:

Dijual kursi bayi tanpa lengan.

Arti 1: Dijual sebuah kursi untuk seorang bayi tanpa lengan. Arti 2: Dijual sebuah kursi tanpa dudukan lengan khusus untuk bayi.

Penulisan yang benar adalah: Dijual kursi bayi, tanpa lengan kursi.

Contoh lain:

Kucing makan tikus mati.

Arti 1: Kucing makan, lalu tikus mati Arti 2: Kucing makan tikus lalu kucing tersebut mati Arti 3: Kucing sedang memakan seekor tikus yang sudah mati.

(Inggris) Panda eat shoots and leaves.

Arti 1: Panda makan, lalu menembak, kemudian pergi. Arti 2: Seekor panda memakan pucuk bambu dan dedaunan.

Ali mencintai kekasihnya, dan demikian pula saya!

Arti 1: Ali mencintai kekasihnya, dan saya juga mencintai kekasih Ali. Arti 2: Ali mencintai kekasihnya dan saya juga mencintai kekasih saya.

[sunting] Kesesatan Metaforis

Disebut juga (fallacy of metaphorization) adalah kesesatan yang terjadi karena pencampur-adukkan arti kiasan dan arti sebenarnya. Artinya terdapat unsur persamaan dan sekaligus perbedaan antara kedua arti tersebut. Tetapi bila dalam suatu penalaran arti kiasan disamakan

dengan arti sebenarnya maka terjadilah kesesatan metaforis, yang dikenal juga kesesatan karena analogi palsu.

Contoh:

Pemuda adalah tulang punggung negara.

Penjelasan kesesatan: Pemuda disini adalah arti sebenarnya dari orang-orang yang berusia muda, sedangkan tulang punggung adalah arti kiasan karena negara tidak memiliki tubuh biologis dan tidak memiliki tulang punggung layaknya mahluk vertebrata.

Pencampur adukan anti sebenarnya dan anti kiasan dari suatu kata atau ungkapan ini sering kali disengaja seperti yang terjadi dalam dunia lawak Kesesatan metaforis ini dikenal pula dengan nama kesesatan karena analogi palsu

Lelucon dibawah ini adalah contoh dari kesesatan metaforis:

Pembicara 1: Binatang apa yang haram?

Pembicara 2: Babi

P 1: Binatang apa yang lebih haram dari binatang yang haram?

P 2: ?

P 1: Babi hamil! Karena mengandung babi. Nah, sekarang binatang apa yang paling haram?

Lebih haram daripada babi hamil?

P 2: ?

P 1: Babi hamil di luar nikah! Karena anak babinya anak haram..

[sunting] Kesesatan Relevansi

Kesesatan Relevansi adalah sesat pikir yang terjadi karena argumentasi yang diberikan tidak tertuju kepada persoalan yang sesungguhnya tetapi terarah kepada kondisi pribadi dan

karakteristik personal seseorang (lawan bicara) yang sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi argumennya.

Kesesatan ini timbul apabila orang menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premis nya. Artinya secara logis kesimpulan tersebut tidak terkandung dalam/ atau tidak merupakan

implikasi dari premisnya.

Jadi penalaran yang mengandung kesesatan relevansi tidak menampakkan adanya hubungan logis antara premis dan kesimpulan, walaupun secara psikologis menampakkan adanya

hubungan - namun kesan akan adannya hubungan secara psikologis ini sering kali membuat orang terkecoh.

[sunting] Argumentum ad Hominem Tipe I (abusif)

Argumentum ad Hominem Tipe I adalah argumen diarahkan untuk menyerang manusianya secara langsung. Penerapan argumen ini dapat menggambarkan tindak pelecehan terhadap

pribadi individu yang menyatakan sebuah argumen.

Hal ini keliru karena ukuran logika dihubungkan dengan kondisi pribadi dan karakteristik personal seseorang yang sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi

argumennya.

Argumen ini juga dapat menggambarkan aspek penilaian psikologis terhadap pribadi seseorang. Hal ini dapat terjadi karena perkbedaan pandangan.

Ukuran logika (pembenaran) pada sesat pikir argumentum ad hominem jenis ini adalah kondisi pribadi dan karakteristik personal yang melibatkan: gender, fisik, sifat, dan psikologi.

Contoh 1:

Tidak diminta mengganti bohlam (bola lampu) karena seseorang itu pendek.

Kesesatan: tingkat keberhasilan pergantian sebuah bola lampu dengan menggunakan alat bantu tangga tidak tergantung dari tinggi/ pendeknya seseorang.

Contoh 2:

Seorang juri lomba menyanyi memilih kandidat yang cantik sebagai pemenang, bukan karena suaranya

yang bagus tapi karena parasnya yang lebih cantik dibandingkan dengan kandidat lainnya, walaupun

suara kandidat lain ada yang lebih bagus

[sunting] Argumentum ad Hominem Tipe II (sirkumstansial)

Berbeda dari argumentum ad hominem Tipe I, ad hominem Tipe II menitikberatkan pada perhubungan antara keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya. Pada umumnya ad hominem Tipe II menunjukkan pola pikir yang diarahkan pada pengutamaan kepentingan pribadi, sebagai

contoh: suka-tidak suka, kepentingan kelompok-bukan kelompok, dan hal-hal yang berkaitan dengan SARA.

Contoh 3:

Pembicara G: Saya tidak setuju dengan apa yang Pembicara S katakan karena ia bukan orang Islam [4]

Kesesatan: ketidak setujuan bukan karena hasil penalaran dari argumentasi, tetapi karena lawan bicara berbeda agama.

Bila ada dua orang yang terlibat dalam sebuah konflik atau perdebatan, ada kemungkinan masing-masing pihak tidak dapat menemukan titik temu dikarenakan mereka tidak mengetahui

apakah argumen masing-masing itu benar atau keliru. Hal ini terjadi ketika masing-masing pihak beragumen atas dasar titik tolak dari ruang lingkup yang berbeda satu sama lain.

Contoh 4:

Argumentasi apakah Isa adalah Tuhan Yesus (Kristen) ataukah seorang nabi (Islam).

Ini adalah sebuah contoh argumentasi yang tidak akan menemukan titik temu karena berangkat dari keyakinan dan ilmu agama yang berbeda

Contoh 5:

Dosen yang tidak meluluskan mahasiswanya karena mahasiswanya berasal dari suku yang ia tidak suka

dan sering protes di kelas, bukan karena prestasi akademiknya yang buruk.

Argumentum ad hominem Tipe I dan II adalah argumentasi-argumentasi yang mengarah kepada hal-hal negatif dan biasanya melibatkan emosi.

[sunting] Argumentum ad baculum

Argumentum ad baculum (latin: baculus berarti tongkat atau pentungan) adalah argumen ancaman mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan bahwa jika ia menolak akan membawa akibat yang tidak diinginkan.

Argumentum ad baculum banyak digunakan oleh orang tua agar anaknya menurut pada apa yang diperintahkan, contoh menakut-nakuti anak kecil:

Bila tidak mau mandi nanti didatangi oleh wewe gombel (sejenis hantu yang mengerikan).

Argumen ini dikenal juga dengan argumen ancaman yang merupakan pernyataan atau keadaan yang mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan jika menolak akan membawa akibat yang tidak diinginkan.

Contoh argumentum ad baculum:

1. Seorang anak yang belajar bukan karena ia ingin lebih pintar tapi karena kalau ia tidak terlihat sedang belajar, ibunya akan datang dan mencubitnya.

2. Pengendara motor yang berhenti pada lampu merah bukan karena ia menaati peraturan tetapi karena ada polisi yang mengawasi dan ia takut ditilang.

3. Pegawai bagian penawaran yang berbohong kepada pembeli agar produk yang ia jual laku, karena ia takut dipecat bila ia tidak melakukan penjualan.

Jenis argumentum ad baculum yang juga dapat terjadi adalah mengajukan gagasan (yang seringkali bersifat tuntutan) agar didengar dan dipenuhi oleh pihak penguasa, namun gagasan itu

didasari oleh penalaran yang samasekali irasional dan argumen yag dikemukakan tidak memperlihatkan hubungan logis antara premis dan kesimpulannya.

Penolakan mahasiswa akan skripsi sebagai syarat kelulusan dengan alasan skripsi mahal dan menjadi

"akal-akalan" dosen.

[sunting] Argumentum ad misericordiam

(Latin: misericordia artinya belas kasihan) adalah sesat pikir yang sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan/ keinginan.

Contoh:

1. Pengemis yang membawa anak bayi tanpa celana dan digeletakkan tidur di trotoar. 2. Pencuri motor yang beralasan bahwa ia miskin dan tidak bisa membeli sandang dan pangan.

[sunting] Argumentum ad populum

(Latin: populus berarti rakyat atau massa) Argumentum ad populum adalah argumen yang menilai bahwa sesuatu pernyataan adalah benar karena diamini oleh banyak orang.

Contoh:

Satu juta orang Indonesia menggunakan jasa layanan seluler X, maka sudah pasti itu layanan yang bagus.

Semua orang yang saya kenal bersikap pro Presiden. Maka saya juga tidak akan mengkritik Presiden.

Mana mungkin agama yang saya anut salah, lihat saja jumlah penganutnya paling banyak di

muka bumi.

[sunting] Argumentum auctoritatis (alias: Argumentum ad Verecundiam)

(Latin: auctoritas berarti kewibawaan) adalah sesat pikir dimana nilai penalaran ditentukan oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah

terkenal karena keahliannya [5].

Sikap semacam ini mengandaikan bahwa kebenaran bukan sesuatu yang berdiri sendiri (otonom), dan bukan berdasarkan penalaran sebagaimana mestinya, melainkan tergantung dari siapa yang mengatakannya (kewibawaan seseorang).

Argumentasi ini mirip dengan argumentum ad hominem, bedanya dalam argumentum ad

hominem yang menjadi acuan adalah pribadi orang yang menyampaikan gagasan (dilihat dari disenangi/ tidak disenangi), maka dalam argumentum auctoritatis ini dilihat dari siapa (posisinya

dalam masyarakat/ keahlianny\a/ kewibawaannya) yang mengemukakan.

Contoh:

Apa yang dikatakan ulama A pada kampanye itu pasti benar.

Apa yang dikatakan pastor B dalam iklan itu pasti benar.

Apa yang dikatakan Rhoma Irama pasti benar.

Apa yang dikatakan pak dokter pasti benar.

"Saya yakin apa yang dikatakan beliau adalah baik dan benar karena beliau adalah seorang pemimpin yang brilian, seorang tokoh yang sangat dihormati, dan seorang dokter yang jenius"

[sunting] Appeal To Emotion

Appeal to Emotion adalah argumentasi yang diberikan dengan sengaja tidak terarah kepada persoalan yang sesungguhnya tetapi dibuat sedemikian rupa untuk menarik respon emosi si lawan bicara. Respon emosi bisa berupa rasa malu, takut, bangga, atau sebagainya.

Contoh 1:

Pembicara G: Saya merasa aneh mengapa Pejabat X tidak setuju dengan program kesejahteraan

Pembicara S: Mana mungkin orang baik seperti beliau salah. Lihat saja kedermawanannya di

masyarakat.

Contoh 2:

"Pemuda yang baik dan budi luhur, sudah semestinya turut serta berdemonstrasi!"

Contoh 3:

"Pejabat Bank Indonesia dituduh korupsi, tapi lihatlah, anaknya mengajukan pembelaan sambil berurai

air mata."

[sunting] lgnoratio elenchi

Ignoratio elenchi adalah kesesatan yang terjadi saat seseorang menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya. Loncatan dari premis ke kesimpulan semacam ini umum dilatarbelakangi prasangka, emosi, dan perasaan subyektif. Ignoratio elenchi juga dikenal

sebagai kesesatan "red herring".

Contoh:

1. Kasus pembunuhan umat minoritas difokuskan pada agamanya, bukan pada tindak kekerasannya.

2. Seorang pejabat berbuat dermawan; sudah pasti dia tidak tulus/mencari muka. 3. Saya tidak percaya aktivis mahasiswa yang naik mobil pribadi ke kampus.

4. Sia-sia bicara politik kalau mengurus keluarga saja tidak becus.

[sunting] Argumentum ad ignoratiam

Adalah kesesatan yang terjadi dalam suatu pernyataan yang dinyatakan benar karena kesalahannya tidak terbukti salah, atau mengatakan sesuatu itu salah karena kebenarannya tidak terbukti ada.

Contoh 1:

Saya belum pernah lihat Tuhan, setan, dan hantu; sudah pasti mereka tidak ada.

Contoh 2:

Karena tidak ada yang berdemonstrasi, saya anggap semua masyarakat setuju kenaikan BBM.

Contoh 3:

Diamnya pemerintah atas tuduhan konspirasi, berarti sama saja menjawab "ya". (padahal belum tentu)

Pernyataan diatas merupakan sesat pikir karena belum tentu bila seseorang tidak mengetahui sesuatu itu ada/ tidak bukan berarti sesuatu itu benar-benar tidak ada.

[sunting] Petitio principii

Aristoteles dalam Prior Analytics menulis mengenai petitio principii

Adalah kesesatan yang terjadi dalam kesimpulan atau pernyataan pembenaran dimana

didalamnya premis digunakan sebagai kesimpulan dan sebaliknya, kesimpulan dijadikan premis.

Sehingga meskipun rumusan (teks/ kalimat) yang digunakan berbeda, sebetulnya sama maknanya.

Contoh:

“ Belajar logika berarti mempelajari cara berpikir tepat, karena di dalam berpikir tepat

ada logika.. ”

Guru: "Kelas dimulai jam 7:30 kenapa kamu datang jam 8:30?"

Murid: "Ya, karena saya terlambat.."

Kesesatan petitio principii juga dikenal karena pernyataan berupa pengulangan prinsip dengan prinsip.

[sunting] Kesesatan non causa pro causa (post hoc ergo propter hoc/ false cause)

Kesesatan yang dilakukan karena penarikan penyimpulan sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelumnya adalah penyebab sesungguhnya suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan. Orang lalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama

merupakan penyeab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akiat dari peristiwa pertama - padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-

akibat.

Kesesatan ini dikenal pula dengan nama kesesatan post-hoc ergo propter hoc (sesudahnya maka karenanya)

Contoh:

Seorang pemuda setelah diketahui baru putus cinta dengan pacarnya, esoknya sakit. Tetangganya

menyimpulkan bahwa sang pemuda sakit karena baru putus cinta.

Kesesatan: Padahal diagnosa dokter adalah si pemuda terkena radang paru-paru karena kebiasaannya merokok tanpa henti sejak sepuluh tahun yang lalu.

[sunting] Kesesatan aksidensi

Adalah kesesatan penalaran yang dilakukan oleh seseorang bila ia memaksakan aturan-aturan/ cara-cara yang bersifat umum pada suatu keadaan atau situasi yang bersifat aksidental; yaitu situasi yang bersifat keabetulan, tidak seharusnya ada atau tidak mutlak.

Contoh:

1. Gula baik karena gula adalah sumber energi, maka gula juga baik untuk penderita diabetes.

2. Orang yang makan banyak daging akan menjadi kuat dan sehat, karena itu vegetarian juga seharusnya makan banyak daging supaya sehat.

[sunting] Kesesatan karena komposisi dan divisi

Kesesatan karena komposisi terjadi bila seseorang berpijak pada anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif.

Contoh:

1. Badu ditilang oleh polisi lalu lintas di sekitar jalan Sudirman dan Thamrin dan polisi itu meminta uang sebesar Rp. 100.000 bila Badu tidak ingin ditilang, maka semua polisi lalu lintas di sekitar jalan sudirman dan thamrin adalah pasti pelaku pemalakan.

2. Maulana Kusuma anggota KPU sekaligus dosen kriminologi di UI melakukan korupsi, maka seluruh anggota KPU yang juga dosen di UI pasti koruptor.

Kesesatan karena divisi terjadi bila seseorang beranggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi

seluru kelompok secara kolektif pasti juga benar (berlaku) bagi individu- individu dalam kelompok tersebut.

Contoh 1:

Banyak pejabat pemerintahan korupsi. Yahya Zaini adalah anggota DPR, maka Yahya Zaini juga korupsi.

Contoh 2: Umumnya pasangan artis-artis yang baru menikah pasti lalu bercerai.

Dona Agnesia dan Darius adalah pasangan artis yang baru menikah, pasti sebentar lagi mereka

bercerai.

[sunting] Kesesatan karena pertanyaan yang kompleks

Kesesatan ini bersumber pada pertanyaan yang sering kali disusun sedemikian rupa sehingga sepintas tampak sebagai pertanyaan yang sederhana, namun sebetulnya bersifat kompleks.

Jika diterapkan dalam kehidpan sehari-hari maksud dari kesesatan ini adalah karena pertanyaan

yang diajukan sangat kompleks, bukan hanya pertanyaan yang memerlukan jawaban ya atau tidak. Contoh pertanyaan sederhana, dengan pertanyaan ya atau tidak

Contoh:

“ Apakah kamu yang mengambil majalahku? ... Jawab ya atau tidak

Pertanyaan ini sulit dijawab hanya dengan ya dan tidak, apalagi bila yang ditanya merasa tidak pernah mengambilnya.

[sunting] Referensi

1. ^ Ida Anggraeni Ananda, S.S.,M.Si., Modul Dasar-Dasar Logika Daftar pustaka:

Hayon, Y.P, Logika, Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur. ISTN, Jakarta,

2001 Soekadijo, R.G, Logika Dasar Tradisional, Simbolik dan Induktif. Penerbit Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta 2001. 2. ^ Lelucon ini diambil dari cerita Yosri sebagai masukan dalam usaha penggabungan Wikipedia

Bahasa Indonesia dan Wikipedia Bahasa Melayu 3. ^ Etiket Internasional. Anak Benua India. Bahasa Tubuh dalam Pergaulan Sehari -hari. Hal. 151.

Peter Clayton. Karisma Publishing Group 2006 4. ^ Perdebatan tentang poligami 5. ^ Jan Hendrik Rapar, Pengantar logika; asas-asas penalaran sistematis. Penerbit Kanisius 1996.

ISBN 979-497-676-8