Argumentasi
-
Upload
robby-milana -
Category
Self Improvement
-
view
62 -
download
0
Transcript of Argumentasi
ARGUMENTASI
The good man speaks well (Cicero)
Setiap kali saya mendengar orang bicara tentang kata “argumentasi,” maknanya seringkali
ditafsirkan negatif. Argumentasi diartikan sebagai silat lidah, perdebatan, polemik, atau
pertengkaran. Kata ini mirip dengan kata propaganda, politik, atau politikus. Semua kata itu
telah mengalami “pembusukan makna”. Padahal, pada dasarnya semua kata itu tidak negatif,
tidak buruk. Hanya saja masyarakat sudah membentuk semua kata‐kata di atas menjadi kata‐
kata yang memiliki makna negatif. Argumentasi sebenarnya sebuah kata yang baik, yang positif.
Dan setiap hari kita melakukannya.
Sering kita dengar orang bicara tentang argumentasi; di rumah, di lingkungan sekitar, di tempat
kerja, di sekolah, di jalan, dan terlebih‐lebih di kampus. Saya kasih tahu sebuah rahasia: “Semua
orang berargumentasi.”
Secara sederhana argumentasi didefinisikan sebagai ucapan untuk menyatakan pendapat yang
disertai dengan alasan‐alasan supaya bisa mempengaruhi orang lain.
Beberapa definisi lain di antaranya adalah;
Dalam filasafat argumentasi diartikan sebagai penjelasan yang dilengkapi dengan alasan‐
alasan (bukti) yang ditawarkan untuk mendukung atau menyangkal sesuatu.
Dalam Kamus Hukum istilah argumentasi diberikan arti sebagai alasan yang dapat dipakai
untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan.
Namun bagi saya, sebagaimana juga yang diyakini Gerry Spence (seorang pakar argumentasi
asal Amerika), argumentasi adalah seni kehidupan. Hidup menuntut manusia untuk
berargumentasi. Dan hidup itu sendiri merupakan sebuah argumentasi. Tidak percaya? Seorang
anak akan menangis ketika lapar. Saat dia menangis, ibunya akan segera memberikannya susu.
Setelah diberi susu, si anak diam dan tenang. Tangisnya tadi adalah sebuah argumentasi. Jika
bayi saja berargumentasi, maka demikian juga kita orang‐orang dewasa. Karena itu saya
katakan: “Hidup adalah argumentasi.”
Argumentasi hadir bukan hanya di universitas atau ruang pengadilan. Namun ia hadir di mana
saja; di dapur, di kamar tidur, di jalanan, di tempat kerja, di mana saja. Dan argumentasi bukan
dilakukan seseorang untuk menyangkal, melainkan untuk melengkapi. Bukan untuk menolak,
tapi untuk menguatkan.
Argumentasi bisa dinyatakan melalui kata‐kata. Tapi di waktu yang berbeda argumentasi dapat
juga ditunjukan melalui air mata. Kadang argumentasi berupa gerutuan kecil di pojok kamar
sempit. Tapi terkadang ia merupakan sebuah ledakan kemarahan yang membabi buta.
Terkadang argumentasi hanya sebuah bisikan cinta ke telinga pasangan Anda. Atau terkadang ia
hanya sebuah senyum sederhana namun tulus.
Argumentasi adalah instrumen (alat) paling khas yang digunakan dalam hubungan antar
manusia. Manusia berargumentasi untuk menolong, untuk mengingatkan, untuk membimbing,
untuk mencintai, utuk menciptakan, untuk belajar, untuk memperoleh keadilan. Intinya,
manusia berargumentasi "untuk menjadi."
Setiap orang bisa berargumentasi. Kita tidak perlu rambut putih keperakan dan suara keras
menggelegar layaknya seorang ahli pidato utk bisa berargumentasi; kita tidak perlu mempunyai
pembendaharaan kata seperti seorang profesor di Universitas Harvard; kita tidak perlu setelan
jas mahal; dan kita tidak perlu menjadi pakar untuk bisa berargumentasi.
Seorang anak kecil yang menangis atau yang bicara sederhana dengan tulus, terkadang jauh
lebih bisa berargumentasi di banding pakar hukum paling terkenal. Karena kunci utama
keberhasilan sebuah argumentasi bukan terletak pada "silat lidah" atau "serangan‐serangan
membabi buta", melainkan pada integritas.
Integritas
Apa itu integritas? Dalam KBBI integritas diartikan sebagai kejujuran. Dalam kamus lain
integritas diartikan sebagai kualitas moral. Namun saya lebih suka mengartikan integritas
sebagai kepercayaan. Ketika Anda dipercaya oleh orang lain, itu artinya Anda memiliki
integritas.
Suatu ketika Anda datang terlambat ke kantor. Lalu atasan Anda menegur, “Dari mana saja
kamu jam segini baru sampai?”
Anda mungkin akan mengatakan ini: “Jalanan macet, pak. Saya sudah berusaha, tapi apa daya
macetnya memang luar biasa.”
Semua orang juga tahu jika pada pagi hari jalanan akan macet. Hampir semua orang pergi
bekerja berbarengan menggunakan jalan yang sama dengan Anda. Jadi, kalimat Anda di atas
sangat tidak menarik di telinga atasan Anda. Dia akan berpikir bahwa Anda sedang beralasan.
Anda salah, tapi Anda malah menyalahkan kemacetan. Di hadapannya, argumentasi Anda itu
sudah tidak punya integritas. Anda pun akan dianggap tidak memiliki integritas.
Konsekuensinya, atasan Anda itu bisa saja marah, atau tidak marah tapi di hatinya muncul
perasaan tidak suka kepada Anda karena Anda tidak disiplin.
Bagaimana jika skenarionya kita ubah.
Atasan Anda menegur, “Dari mana saja kamu jam segini baru sampai?”
Anda kemudian menjawab dengan jujur, “Saya mohon maaf, pak. Keterlambatan ini memang
sepenuhnya kesalahan saya. Saya tidak ingin menyalahkan jalan yang macet. Saya terlambat
karena memang saya berangkat kurang pagi. Saya bersedia pulang lebih sore sebagai sanksinya.
Dan selanjutnya saya tidak akan terlambat lagi.”
Kira‐kira apa reaksi atasan Anda mendengar itu? Ya, kemungkinan besar dia tidak akan jadi
marah. Mungkin dia akan menasihati Anda sebentar, tapi dia tidak akan marah. Karena dia
melihat kejujuran dalam ucapan Anda. Anda dianggap memiliki integritas ketika
mengucapkannya.
Tapi adakah orang yang mengucapkan hal seperti itu? Bukankah itu kalimat klise? Saya percaya,
bahwa sebuah pengakuan atas kesalahan ketika kita memang salah, dan tidak perlu mencari
kambing hitam, akan menjadi sebuah argumentasi yang paling ampuh. Itu bukan sebuah klise,
itu sebuah integritas.
Katakan “Ya” Pada Rasa Takut
Tidak sedikit orang yang merasa bahwa untuk memulai sebuah kalimat paling benar sekalipun,
orang akan menghadapi rasa takut.
“Bagaimana kalau dia tidak percaya pada ucapan saya?”
“Bagaimana jika dia marah karena ucapan saya?”
“Bagaimana jika dia menyangkal ucapan saya?”
Kalimat‐kalimat tersebut sering muncul ketika kita akan memulai sebuah argumentasi. Kita
takut. Tapi tahukah Anda: itu adalah hal yang manusiawi. Memiliki rasa takut adalah
manusiawi. Anda tidak akan menjadi berani tanpa rasa takut. Bukankah seseorang dikatakan
sebagai pemberani ketika dia berhasil menghadapi rasa takut? Jadi tanpa ada rasa takut, maka
Anda tidak bisa menjadi pemberani.
Suatu ketika saya menghadapi presentasi pertama saya di bangku kuliah. Itu semester 2.
Makalah sudah saya siapkan. Kelas sudah menunggu. Saya sudah berada pada posisi. Tapi tidak
ada satu pun kata yang keluar dari mulut saya. Seakan lidah saya menjadi kaku. Sekilas saya
memandang teman‐teman mahasiswa dan dosen yang duduk di depan saya. Mereka
memandangi saya dan menunggu. Saya segera membuang pandangan saya ke bawah.
Memandang sepatu saya yang saat itu sepertinya memiliki wajah dan mentertawakan saya. Dan
saat itu tiba‐tiba saya seperti berdialog dengan alam pikiran saya sendiri:
Alam pikiran saya: “Kenapa kamu tidak mengatakan sesuatu pun?”
Saya: “Kamu sudah tahu kenapa.”
Alam pikiran saya: “Kamu takut?”
Saya: “Ya, saya takut.”
Alam pikiran saya: “Hey, tidak apa‐apa loh merasa takut. Kamu memang seharusnya merasa
takut. Ini pengalaman pertama kamu presentasi. Dan ini pengalaman pertama kamu bicara di
depan orang banyak. Jadi tidak apa‐apa merasa takut. Rasakan saja.”
Saya: “Tapi mereka semua sedang memandangi saya.”
Alam pikiran saya: “Ya memang. Jika mereka bisa memandangi kamu, kamu juga bisa
memandangi mereka. Kamu tahu, jika kamu berada di salah satu kursi di depan sana lalu kamu
melihat teman kamu yang berada di depan sini, maka kamu kemungkinan besar akan berpikir
bahwa teman kamu yang berada di depan sini tidak terlalu menarik. Kamu melihat dia di depan
sini cuma karena dosen menyuruh kamu demikian. Bahkan jangan‐jangan kamu ingin situasi ini
cepat selesai karena membosankan.”
Saya membenarkan apa yang dikatakan alam pikiran saya. Jika saya berada di antara orang‐
orang itu, maka saya akan melihat siapapun yang ada di depan sini sebagai sesuatu yang
mungkin kurang menarik. Kecuali…..orang yang di depan sini dapat menunjukan sesuatu yang
menarik.
Tanpa sadar saya mengangkat kepala saya dan memandangi teman‐teman serta dosen saya.
Ternyata di depan sana tidak semua teman‐teman saya memandangi saya. Ada yang membaca
buku, ada yang berbicara, ada juga yang bermain handphone. Saya memandangi mereka satu
persatu.
“Bapak dosen dan teman‐teman sekalian….” Tiba‐tiba saya secara samar menyadari bahwa
sesuatu telah terjadi pada diri saya. Rasa takut yang barusan saya rasakan, justru mendorong
saya untuk menunjukan isi presentasi saya supaya saya diperhatikan. Ya, minimal diperhatikan
dulu. Dan selanjutnya, saya sudah tidak takut lagi. Saya memaparkan isi makalah saya
semuanya. Dosen merasa puas pada presentasi saya. Dia mengatakan bahwa struktur
presentasi saya sangat sistematis dan mudah dicerna. Namun katanya, kekuatan teori dan
logika saya masih lemah. Sehingga setiap gagasan saya akan sangat mudah dipatahkan. Tapi
menurutnya, saya layak mendapat poin besar karena dengan serba kekurangan itu saya sudah
mempresentasikannya penuh percaya diri.
Percaya diri? Astaga! Bahkan tadi saya hampir tidak berani mengangkat kepala. Kenapa dosen
berpikir saya penuh percaya diri! Lalu saya berkesimpulan: Ketika saya lancar dalam
menyampaikan argumentasi saya, dan saya jujur dalam menyampaikannya, maka persepsinya
sebagai “penonton” akan berbeda sama sekali dengan persepsi saya ketika melihat diri saya
sendiri.
Hari itu saya mendapat pelajaran paling mahal yang nantinya menentukan cara saya
berinteraksi, berkomunikasi dan bahkan berkarir, yakni saya harus berani mengatakan “ya”
pada rasa takut saya. Setiap kali saya mencoba hal baru dan saya merasa takut, saya tidak akan
menghindari rasa takut itu. Melainkan saya akan memeluknya, saya akan menerimanya. Sebab,
jika saya menyangkal dan menghindarinya, saya akan terus merasa takut.
Argumentasi yang menang sering muncul dari keberanian untuk mengatakan “ya” pada rasa
takut. Jangan malu pada rasa takut. Jangan malu untuk merasa takut.
Argumentasi Bukan Menentang
Saya sering melihat orang menentang orang lain saat sedang bicara. Kalimat seperti “bukan
begitu,” atau yang sejenisnya, sering digunakan untuk menentang lawan bicara. Mungkin
dengan menentang atau menyangkal ucapan lawan bicara orang‐orang itu berpikir si lawan
bicara akan tunduk padanya lalu mau menerima semua ucapannya. Tapi ketahuilah:
argumentasi yang menang bukan untuk menentang. Tidak ada seorang pun yang bersedia
menerima gagasan atau pendapat kita dengan tulus ketika dia ditentang oleh kita.
Coba Anda datangi sebuah batu besar. Lalu di hadapan batu besar itu Anda bicara. Terserah
Anda mau bicara apapun. Bicara saja padanya. Apa perasaan Anda? Tidak enak? Jelas. Karena
batu tidak memberikan respons. Jika Anda selalu menentang ucapan orang lain ketika sedang
bicara, maka Anda seperti bicara dengan sebuah batu. Anda tidak akan direspons, dan sebalikya
Anda juga tidak mendapat apapun darinya. Dia akan mengambil sikap defensif, yakni diam
karena tidak mau lagi mempedulikan Anda. Sekalipun dia memberikan respons kecil‐kecilan, itu
bukan sebuah respons dalam arti sebenarnya. Itu hanya basa basi supaya Anda tidak
tersinggung.
Jika Anda seorang atasan dan memiliki anak buah, lalu anak buah Anda bersikap tidak disiplin,
Anda mungkin akan marah kepadanya dan menyerang anak buah Anda itu bertubi‐tubi. Apakah
dia akan menjadi lebih baik? Kemungkinan besar tidak. Dia justru akan menjadi sebaliknya. Dan
saya yakin bahwa sebuah argumentasi yang menang bukan seperti itu. Enak memang
memojokan orang lain, membuat orang lain menderita dengan serangan‐serangan argumentasi
kita. Namun argumentasi yang menang bukan menentang, bukan pula melakukan serangan
bertubi‐tubi. Argumentasi yang menang bukanlah sebuah proses di mana kita dapat
menghancurkan orang lain.
Saya diajarkan oleh pengalaman saya sendiri bahwa argumentasi yang menang adalah yang
dengannya kita dapat mencapai suatu akhir atau solusi. Lebih jauh saya menyimpulkan bahwa
argumentasi yang menang adalah sebuah mekanisme dalam menyingkapkan kebenaran.
Kebenaran bagi kita dan lawan bicara kita sekaligus.
Menang Tanpa Argumentasi
Mungkinkah sebuah argumentasi dapat dimenangkan tanpa berargumentasi? Jawabannya “ya.”
Saya akan ceritakan pengalaman teman saya. Tapi tolong jangan diceritakan pada orang lain
lagi, karena ini rahasia kita.
Saya punya seorang teman yang baru menikah. Saat itu adalah hari pertama dia masuk kantor
setelah weekend kemarin dia menikah. Ketika jam pulang kantor tiba, katanya dia mulai gelisah.
Dia tahu bahwa isterinya pasti sudah menunggu dirinya. Isterinya juga pasti sudah menyiapkan
makan malam untuknya. Tapi menurutnya, di masa awal pernikahannya, dia mau bikin aturan
dan isterinya harus menuruti aturan itu. Aturannya adalah isterinya tidak boleh marah jika dia
pulang terlambat.
Maka sepulang dari kantor dia tidak langsung menuju rumah, melainkan mampir ke sebuah
restoran lalu makan di sana. Dia sengaja berlama‐lama di restoran itu. Ketika sudah agak
malam, baru dia pulang. Setibanya di rumah, isterinya membukakan pintu sambil tersenyum.
Kata isterinya, “Halo saying. Itu aku sudah menyiapkan makan malam untuk mu.”
Teman saya bilang bahwa dia tidak mempercayai apa yang baru saja terjadi. DIa piker isterinya
akan marah atau menegur karena dia pulang terlambat. Ternyata tidak. Teman saya lalu
mengikuti isterinya menuju meja makan. Isterinya menyiapkan makanan lalu menemaninya di
situ.
“Maaf tapi saya tidak mau makan. Saya sudah makan beberapa jam lalu di luar,” kata teman
saya. Sekali ini isterinya pasti marah. Tapi ternyata isterinya malah mengatakan, “Syukurlah
kalau kamu sudah makan. Aku selalu khawatir dengan penyakit lambung mu. Bagus jika kamu
makan lebih cepat.” Itu ucapan yang dikeluarkan isterinya. Tidak ada pernyataan tersembunyi,
tidak ada keluhan, tidak ada sindiran, tidak ada kemarahan. Yang ada hanya senyum dan
kelembutan.
Teman saya tidak mempercayainya. Dia menganggap itu sebuah sandiwara. Dan dia berniat
akan mencobanya lagi besok. Dan besoknya dia kembali pulang terlambat dan tidak makan
masakan yang sudah disediakan isterinya. Tapi lagi‐lagi isterinya tidak marah. Bahkan dia
merangkul suaminya dengan manja.
Akhirnya karena penasaran, dia bertanya pada isterinya, “Kenapa kamu tidak marah karena
saya selalu pulang terlambat?”
Isterinya menjawab, “Tentu saja tidak, sayang. Aku tahu kamu sibuk dengan berbagai urusan di
kantor.”
“Dan kamu tidak marah saya tidak memakan sedikitpun masakan yang telah kamu buat dengan
susah payah?”
“Sayang, kamu seorang laki‐laki dewasa. Laki‐laki dewasa tidak memerlukan seseorang untuk
memberitahu kapan dia harus pulang untuk makan malam. Kamu tahu yang terbaik untuk diri
kamu sendiri. Saya hanya menyiapkan kalau‐kalau kamu belum makan.” Sudah, itu saja. Teman
saya bengong. Dan sejak saat itu dia tidak pernah lagi secara sengaja pulang terlambat.
Isterinya telah memenangkan argumentasi bahkan tanpa berargumentasi sama sekali.
Dari pengalaman teman saya itu, saya jadi paham bahwa di antara semua argumentasi yang
menang, pernyataan cinta kasih merupakan argumentasi paling superior (unggul) di atas
seluruh argumentasi apapun. Dengan cinta kasih yang kita nyatakan secara tulus, kita dapat
memenangkan sebuah argumentasi tanpa berargumentasi sedikitpun. Itulah yang dilakukan
bayi‐bayi kepada orang tuanya. Bayi dapat memenangkan semua argumentasi bahkan sebelum
mereka bisa bicara sedikitpun.
Semoga bermanfaat.