Argumentasi

11
ARGUMENTASI The good man speaks well (Cicero) Setiap kali saya mendengar orang bicara tentang kata “argumentasi,” maknanya seringkali ditafsirkan negatif. Argumentasi diartikan sebagai silat lidah, perdebatan, polemik, atau pertengkaran. Kata ini mirip dengan kata propaganda, politik, atau politikus. Semua kata itu telah mengalami “pembusukan makna”. Padahal, pada dasarnya semua kata itu tidak negatif, tidak buruk. Hanya saja masyarakat sudah membentuk semua katakata di atas menjadi katakata yang memiliki makna negatif. Argumentasi sebenarnya sebuah kata yang baik, yang positif. Dan setiap hari kita melakukannya. Sering kita dengar orang bicara tentang argumentasi; di rumah, di lingkungan sekitar, di tempat kerja, di sekolah, di jalan, dan terlebihlebih di kampus. Saya kasih tahu sebuah rahasia: “Semua orang berargumentasi.” Secara sederhana argumentasi didefinisikan sebagai ucapan untuk menyatakan pendapat yang disertai dengan alasanalasan supaya bisa mempengaruhi orang lain. Beberapa definisi lain di antaranya adalah; Dalam filasafat argumentasi diartikan sebagai penjelasan yang dilengkapi dengan alasanalasan (bukti) yang ditawarkan untuk mendukung atau menyangkal sesuatu.

Transcript of Argumentasi

Page 1: Argumentasi

  

 

 

ARGUMENTASI 

 

The good man speaks well  (Cicero) 

 

 

Setiap  kali  saya mendengar  orang  bicara  tentang  kata  “argumentasi,” maknanya  seringkali 

ditafsirkan  negatif.  Argumentasi  diartikan  sebagai  silat  lidah,  perdebatan,  polemik,  atau 

pertengkaran. Kata  ini mirip dengan  kata propaganda, politik,  atau politikus.  Semua  kata  itu 

telah mengalami “pembusukan makna”. Padahal, pada dasarnya semua kata  itu tidak negatif, 

tidak buruk. Hanya saja masyarakat sudah membentuk semua kata‐kata di atas menjadi kata‐

kata yang memiliki makna negatif. Argumentasi sebenarnya sebuah kata yang baik, yang positif. 

Dan setiap hari kita melakukannya. 

 

Sering kita dengar orang bicara tentang argumentasi; di rumah, di lingkungan sekitar, di tempat 

kerja, di sekolah, di jalan, dan terlebih‐lebih di kampus. Saya kasih tahu sebuah rahasia: “Semua 

orang berargumentasi.” 

  

Secara sederhana argumentasi didefinisikan sebagai ucapan untuk menyatakan pendapat yang 

disertai dengan alasan‐alasan supaya bisa mempengaruhi orang lain.  

 

Beberapa definisi lain di antaranya adalah; 

  

Dalam  filasafat  argumentasi  diartikan  sebagai  penjelasan  yang  dilengkapi  dengan  alasan‐

alasan (bukti) yang ditawarkan untuk mendukung atau menyangkal sesuatu. 

  

Page 2: Argumentasi

  

 

 

Dalam  Kamus  Hukum  istilah  argumentasi  diberikan  arti  sebagai  alasan  yang  dapat  dipakai 

untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan. 

  

Namun bagi  saya,  sebagaimana  juga  yang diyakini Gerry  Spence  (seorang pakar argumentasi 

asal  Amerika),  argumentasi  adalah  seni  kehidupan.  Hidup  menuntut  manusia  untuk 

berargumentasi. Dan hidup itu sendiri merupakan sebuah argumentasi. Tidak percaya? Seorang 

anak akan menangis ketika lapar. Saat dia menangis, ibunya akan segera memberikannya susu. 

Setelah diberi susu, si anak diam dan tenang. Tangisnya tadi adalah sebuah argumentasi.  Jika 

bayi  saja  berargumentasi,  maka  demikian  juga  kita  orang‐orang  dewasa.  Karena  itu  saya 

katakan: “Hidup adalah argumentasi.” 

 

Argumentasi hadir bukan hanya di universitas atau ruang pengadilan. Namun  ia hadir di mana 

saja; di dapur, di kamar tidur, di jalanan, di tempat kerja, di mana saja. Dan argumentasi bukan 

dilakukan  seseorang untuk menyangkal, melainkan untuk melengkapi. Bukan untuk menolak, 

tapi untuk menguatkan. 

  

Argumentasi bisa dinyatakan melalui kata‐kata. Tapi di waktu yang berbeda argumentasi dapat 

juga ditunjukan melalui  air mata. Kadang  argumentasi berupa  gerutuan  kecil di pojok  kamar 

sempit.  Tapi  terkadang  ia  merupakan  sebuah  ledakan  kemarahan  yang  membabi  buta. 

Terkadang argumentasi hanya sebuah bisikan cinta ke telinga pasangan Anda. Atau terkadang ia 

hanya sebuah senyum sederhana namun tulus. 

  

Argumentasi  adalah  instrumen  (alat)  paling  khas  yang  digunakan  dalam  hubungan  antar 

manusia.  Manusia berargumentasi untuk menolong, untuk mengingatkan, untuk membimbing,  

 

Page 3: Argumentasi

  

 

 

untuk  mencintai,  utuk  menciptakan,  untuk  belajar,  untuk  memperoleh  keadilan.  Intinya, 

manusia berargumentasi "untuk menjadi." 

 

Setiap  orang  bisa  berargumentasi.  Kita  tidak  perlu  rambut  putih  keperakan  dan  suara  keras 

menggelegar layaknya seorang ahli pidato utk bisa berargumentasi; kita tidak perlu mempunyai  

pembendaharaan kata seperti seorang profesor di Universitas Harvard; kita tidak perlu setelan 

jas mahal; dan kita tidak perlu menjadi pakar untuk bisa berargumentasi. 

  

Seorang  anak  kecil  yang menangis  atau  yang bicara  sederhana dengan  tulus,  terkadang  jauh 

lebih  bisa  berargumentasi  di  banding  pakar  hukum  paling  terkenal.  Karena  kunci  utama 

keberhasilan  sebuah  argumentasi  bukan  terletak  pada  "silat  lidah"  atau  "serangan‐serangan 

membabi buta", melainkan pada integritas. 

 

Integritas 

Apa  itu  integritas?  Dalam  KBBI  integritas  diartikan  sebagai  kejujuran.  Dalam  kamus  lain 

integritas  diartikan  sebagai  kualitas  moral.  Namun  saya  lebih  suka  mengartikan  integritas 

sebagai  kepercayaan.  Ketika  Anda  dipercaya  oleh  orang  lain,  itu  artinya  Anda  memiliki 

integritas. 

 

Suatu  ketika Anda  datang  terlambat  ke  kantor.  Lalu  atasan Anda menegur,  “Dari mana  saja 

kamu jam segini baru sampai?” 

 

Anda mungkin akan mengatakan  ini: “Jalanan macet, pak. Saya sudah berusaha, tapi apa daya 

macetnya memang luar biasa.” 

 

Page 4: Argumentasi

  

 

 

Semua  orang  juga  tahu  jika  pada  pagi  hari  jalanan  akan macet.  Hampir  semua  orang  pergi 

bekerja berbarengan menggunakan  jalan yang  sama dengan Anda.  Jadi, kalimat Anda di atas 

sangat tidak menarik di telinga atasan Anda. Dia akan berpikir bahwa Anda sedang beralasan. 

Anda salah, tapi Anda malah menyalahkan kemacetan. Di hadapannya, argumentasi Anda   itu   

sudah      tidak      punya    integritas.    Anda    pun  akan    dianggap    tidak   memiliki    integritas.  

Konsekuensinya,  atasan  Anda  itu  bisa  saja marah,  atau  tidak marah  tapi  di  hatinya muncul 

perasaan tidak suka kepada Anda karena Anda tidak disiplin. 

 

Bagaimana jika skenarionya kita ubah. 

 

Atasan Anda menegur, “Dari mana saja kamu jam segini baru sampai?” 

 

Anda kemudian menjawab dengan  jujur, “Saya mohon maaf, pak. Keterlambatan  ini memang 

sepenuhnya  kesalahan  saya.  Saya  tidak  ingin menyalahkan  jalan  yang macet.  Saya  terlambat 

karena memang saya berangkat kurang pagi. Saya bersedia pulang lebih sore sebagai sanksinya. 

Dan selanjutnya saya tidak akan terlambat lagi.” 

 

Kira‐kira  apa  reaksi  atasan Anda mendengar  itu?  Ya,  kemungkinan  besar  dia  tidak  akan  jadi 

marah. Mungkin  dia  akan menasihati  Anda  sebentar,  tapi  dia  tidak  akan marah.  Karena  dia 

melihat  kejujuran  dalam  ucapan  Anda.  Anda  dianggap  memiliki  integritas  ketika 

mengucapkannya.  

 

Tapi adakah orang yang mengucapkan hal seperti itu? Bukankah itu kalimat klise? Saya percaya, 

bahwa  sebuah  pengakuan  atas  kesalahan  ketika kita  memang salah, dan tidak perlu mencari  

 

Page 5: Argumentasi

  

 

 

kambing hitam, akan menjadi sebuah argumentasi yang paling ampuh. Itu bukan sebuah klise, 

itu sebuah integritas. 

 

Katakan “Ya” Pada Rasa Takut 

Tidak sedikit orang yang merasa bahwa untuk memulai sebuah kalimat paling benar sekalipun, 

orang akan menghadapi rasa takut. 

 

“Bagaimana kalau dia tidak percaya pada ucapan saya?” 

 

“Bagaimana jika dia marah karena ucapan saya?” 

 

“Bagaimana jika dia menyangkal ucapan saya?” 

 

Kalimat‐kalimat  tersebut  sering muncul  ketika  kita  akan memulai  sebuah  argumentasi.  Kita 

takut.  Tapi  tahukah  Anda:  itu  adalah  hal  yang  manusiawi.  Memiliki  rasa  takut  adalah 

manusiawi. Anda  tidak akan menjadi berani  tanpa  rasa  takut. Bukankah  seseorang dikatakan 

sebagai pemberani ketika dia berhasil menghadapi rasa takut? Jadi tanpa ada rasa takut, maka 

Anda tidak bisa menjadi pemberani.  

 

Suatu  ketika  saya  menghadapi  presentasi  pertama  saya  di  bangku  kuliah.  Itu  semester  2. 

Makalah sudah saya siapkan. Kelas sudah menunggu. Saya sudah berada pada posisi. Tapi tidak 

ada  satu pun kata yang keluar dari mulut  saya. Seakan  lidah  saya menjadi kaku. Sekilas  saya 

memandang  teman‐teman  mahasiswa  dan  dosen  yang  duduk  di  depan  saya.  Mereka 

memandangi   saya   dan   menunggu.   Saya   segera    membuang  pandangan  saya  ke  bawah.  

 

Page 6: Argumentasi

  

 

 

Memandang sepatu saya yang saat itu sepertinya memiliki wajah dan mentertawakan saya. Dan 

saat itu tiba‐tiba saya seperti berdialog dengan alam pikiran saya sendiri: 

 

Alam pikiran saya: “Kenapa kamu tidak mengatakan sesuatu pun?” 

 

Saya: “Kamu sudah tahu kenapa.” 

 

Alam pikiran saya: “Kamu takut?” 

 

Saya: “Ya, saya takut.” 

 

Alam pikiran  saya:  “Hey,  tidak apa‐apa  loh merasa  takut. Kamu memang  seharusnya merasa 

takut.  Ini pengalaman pertama kamu presentasi. Dan  ini pengalaman pertama kamu bicara di 

depan orang banyak. Jadi tidak apa‐apa merasa takut. Rasakan saja.” 

 

Saya: “Tapi mereka semua sedang memandangi saya.” 

 

Alam  pikiran  saya:  “Ya  memang.  Jika  mereka  bisa  memandangi  kamu,  kamu  juga  bisa 

memandangi mereka. Kamu tahu, jika kamu berada di salah satu kursi di depan sana lalu kamu 

melihat teman kamu yang berada di depan sini, maka kamu kemungkinan besar akan berpikir 

bahwa teman kamu yang berada di depan sini tidak terlalu menarik. Kamu melihat dia di depan 

sini cuma karena dosen menyuruh kamu demikian. Bahkan jangan‐jangan kamu ingin situasi ini 

cepat selesai karena membosankan.” 

 

 

Page 7: Argumentasi

  

 

 

Saya membenarkan apa  yang dikatakan  alam pikiran  saya.  Jika  saya berada di antara orang‐

orang  itu, maka  saya  akan melihat  siapapun  yang  ada  di  depan  sini  sebagai  sesuatu  yang 

mungkin kurang menarik. Kecuali…..orang yang di depan sini dapat menunjukan sesuatu yang 

menarik. 

 

Tanpa  sadar  saya mengangkat kepala  saya dan memandangi  teman‐teman  serta dosen  saya. 

Ternyata di depan sana tidak semua teman‐teman saya memandangi saya. Ada yang membaca 

buku, ada yang berbicara, ada  juga yang bermain handphone. Saya memandangi mereka satu 

persatu.  

 

“Bapak  dosen  dan  teman‐teman  sekalian….”  Tiba‐tiba  saya  secara  samar menyadari  bahwa 

sesuatu telah terjadi pada diri saya. Rasa takut yang barusan saya rasakan,  justru mendorong 

saya untuk menunjukan isi presentasi saya supaya saya diperhatikan. Ya, minimal diperhatikan 

dulu.  Dan  selanjutnya,  saya  sudah  tidak  takut  lagi.  Saya  memaparkan  isi  makalah  saya 

semuanya.  Dosen  merasa  puas  pada  presentasi  saya.  Dia  mengatakan  bahwa  struktur 

presentasi  saya  sangat  sistematis  dan mudah  dicerna.  Namun  katanya,  kekuatan  teori  dan 

logika  saya masih  lemah.  Sehingga  setiap gagasan  saya akan  sangat mudah dipatahkan. Tapi 

menurutnya, saya layak mendapat poin besar karena dengan serba kekurangan itu saya sudah 

mempresentasikannya penuh percaya diri. 

 

Percaya diri? Astaga! Bahkan tadi saya hampir tidak berani mengangkat kepala. Kenapa dosen 

berpikir  saya  penuh  percaya  diri!  Lalu  saya  berkesimpulan:  Ketika  saya  lancar  dalam 

menyampaikan argumentasi saya, dan saya  jujur dalam menyampaikannya, maka persepsinya 

sebagai  “penonton”  akan berbeda  sama  sekali dengan persepsi  saya  ketika melihat diri  saya 

sendiri. 

Page 8: Argumentasi

  

 

 

Hari  itu  saya  mendapat  pelajaran  paling  mahal  yang  nantinya  menentukan  cara  saya 

berinteraksi,  berkomunikasi  dan  bahkan  berkarir,  yakni  saya  harus  berani mengatakan  “ya” 

pada rasa takut saya. Setiap kali saya mencoba hal baru dan saya merasa takut, saya tidak akan 

menghindari rasa takut itu. Melainkan saya akan memeluknya, saya akan menerimanya. Sebab, 

jika saya menyangkal dan menghindarinya, saya akan terus merasa takut. 

 

Argumentasi  yang menang  sering muncul dari  keberanian untuk mengatakan  “ya” pada  rasa 

takut. Jangan malu pada rasa takut. Jangan malu untuk merasa takut. 

 

Argumentasi Bukan Menentang 

Saya  sering melihat  orang menentang  orang  lain  saat  sedang  bicara.  Kalimat  seperti  “bukan 

begitu,”  atau  yang  sejenisnya,  sering  digunakan  untuk  menentang  lawan  bicara.  Mungkin 

dengan menentang  atau menyangkal  ucapan  lawan  bicara  orang‐orang  itu  berpikir  si  lawan 

bicara  akan  tunduk  padanya  lalu  mau  menerima  semua  ucapannya.  Tapi  ketahuilah: 

argumentasi  yang menang  bukan  untuk menentang.  Tidak  ada  seorang  pun  yang  bersedia 

menerima gagasan atau pendapat kita dengan tulus ketika dia ditentang oleh kita. 

 

Coba Anda datangi  sebuah batu besar. Lalu di hadapan batu besar  itu Anda bicara. Terserah 

Anda mau bicara apapun. Bicara saja padanya. Apa perasaan Anda? Tidak enak? Jelas. Karena 

batu tidak memberikan respons. Jika Anda selalu menentang ucapan orang  lain ketika sedang 

bicara, maka Anda seperti bicara dengan sebuah batu. Anda tidak akan direspons, dan sebalikya 

Anda  juga  tidak mendapat  apapun  darinya.  Dia  akan mengambil  sikap  defensif,  yakni  diam 

karena tidak mau lagi mempedulikan Anda. Sekalipun dia memberikan respons kecil‐kecilan, itu 

bukan  sebuah  respons  dalam  arti  sebenarnya.  Itu  hanya  basa  basi  supaya  Anda  tidak 

tersinggung. 

Page 9: Argumentasi

  

 

 

Jika Anda seorang atasan dan memiliki anak buah, lalu anak buah Anda bersikap tidak disiplin, 

Anda mungkin akan marah kepadanya dan menyerang anak buah Anda itu bertubi‐tubi. Apakah 

dia akan menjadi lebih baik? Kemungkinan besar tidak. Dia justru akan menjadi sebaliknya. Dan 

saya  yakin  bahwa  sebuah  argumentasi  yang  menang  bukan  seperti  itu.  Enak  memang 

memojokan orang lain, membuat orang lain menderita dengan serangan‐serangan argumentasi 

kita. Namun  argumentasi  yang menang  bukan menentang,  bukan  pula melakukan  serangan 

bertubi‐tubi.  Argumentasi  yang  menang  bukanlah  sebuah  proses  di  mana  kita  dapat 

menghancurkan orang lain. 

 

Saya  diajarkan  oleh  pengalaman  saya  sendiri  bahwa  argumentasi  yang menang  adalah  yang 

dengannya kita dapat mencapai suatu akhir atau solusi. Lebih jauh saya menyimpulkan bahwa 

argumentasi  yang  menang  adalah  sebuah  mekanisme  dalam  menyingkapkan  kebenaran. 

Kebenaran bagi kita dan lawan bicara kita sekaligus. 

 

Menang Tanpa Argumentasi 

Mungkinkah sebuah argumentasi dapat dimenangkan tanpa berargumentasi? Jawabannya “ya.” 

Saya akan  ceritakan pengalaman  teman  saya. Tapi  tolong  jangan diceritakan pada orang  lain 

lagi, karena ini rahasia kita. 

 

Saya punya seorang teman yang baru menikah. Saat itu adalah hari pertama dia masuk kantor 

setelah weekend kemarin dia menikah. Ketika jam pulang kantor tiba, katanya dia mulai gelisah. 

Dia tahu bahwa isterinya pasti sudah menunggu dirinya. Isterinya juga pasti sudah menyiapkan 

makan malam untuknya. Tapi menurutnya, di masa awal pernikahannya, dia mau bikin aturan 

dan  isterinya harus menuruti aturan  itu. Aturannya adalah  isterinya tidak boleh marah jika dia 

pulang terlambat.  

Page 10: Argumentasi

  

 

 

Maka  sepulang  dari  kantor  dia  tidak  langsung menuju  rumah, melainkan mampir  ke  sebuah 

restoran  lalu makan  di  sana.  Dia  sengaja  berlama‐lama  di  restoran  itu.  Ketika  sudah  agak 

malam, baru dia pulang. Setibanya di  rumah,  isterinya membukakan pintu sambil  tersenyum. 

Kata isterinya, “Halo saying. Itu aku sudah menyiapkan makan malam untuk mu.” 

 

Teman saya bilang bahwa dia tidak mempercayai apa yang baru saja terjadi. DIa piker isterinya 

akan  marah  atau  menegur  karena  dia  pulang  terlambat.  Ternyata  tidak.  Teman  saya  lalu 

mengikuti  isterinya menuju meja makan.  Isterinya menyiapkan makanan  lalu menemaninya di 

situ. 

 

“Maaf  tapi saya  tidak mau makan. Saya sudah makan beberapa  jam  lalu di  luar,” kata  teman 

saya.  Sekali  ini  isterinya  pasti marah.  Tapi  ternyata  isterinya malah mengatakan,  “Syukurlah 

kalau kamu sudah makan. Aku selalu khawatir dengan penyakit  lambung mu. Bagus  jika kamu 

makan lebih cepat.” Itu ucapan yang dikeluarkan isterinya. Tidak ada pernyataan tersembunyi, 

tidak  ada  keluhan,  tidak  ada  sindiran,  tidak  ada  kemarahan.  Yang  ada  hanya  senyum  dan 

kelembutan. 

 

Teman  saya  tidak mempercayainya. Dia menganggap  itu  sebuah  sandiwara. Dan  dia  berniat 

akan mencobanya  lagi  besok. Dan  besoknya  dia  kembali  pulang  terlambat  dan  tidak makan 

masakan  yang  sudah  disediakan  isterinya.  Tapi  lagi‐lagi  isterinya  tidak  marah.  Bahkan  dia 

merangkul suaminya dengan manja. 

 

Akhirnya  karena  penasaran,  dia  bertanya  pada  isterinya,  “Kenapa  kamu  tidak marah  karena 

saya selalu pulang terlambat?” 

 

Page 11: Argumentasi

  

 

 

Isterinya menjawab, “Tentu saja tidak, sayang. Aku tahu kamu sibuk dengan berbagai urusan di 

kantor.” 

 

“Dan kamu tidak marah saya tidak memakan sedikitpun masakan yang telah kamu buat dengan 

susah payah?” 

 

“Sayang, kamu  seorang  laki‐laki dewasa. Laki‐laki dewasa  tidak memerlukan  seseorang untuk 

memberitahu kapan dia harus pulang untuk makan malam. Kamu tahu yang terbaik untuk diri 

kamu sendiri. Saya hanya menyiapkan kalau‐kalau kamu belum makan.” Sudah, itu saja. Teman 

saya  bengong.  Dan  sejak  saat  itu  dia  tidak  pernah  lagi  secara  sengaja  pulang  terlambat. 

Isterinya telah memenangkan argumentasi bahkan tanpa berargumentasi sama sekali. 

 

Dari pengalaman  teman  saya  itu,  saya  jadi paham bahwa di antara  semua argumentasi yang 

menang,  pernyataan  cinta  kasih  merupakan  argumentasi  paling  superior  (unggul)  di  atas 

seluruh  argumentasi  apapun. Dengan  cinta  kasih  yang  kita nyatakan  secara  tulus,  kita dapat 

memenangkan  sebuah  argumentasi  tanpa  berargumentasi  sedikitpun.  Itulah  yang  dilakukan 

bayi‐bayi kepada orang tuanya. Bayi dapat memenangkan semua argumentasi bahkan sebelum 

mereka bisa bicara sedikitpun.  

 

Semoga bermanfaat.