Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
description
Transcript of Arahan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
39
ARAHAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PAPUA BERBASIS SUMBERDAYA
Recommendation on Resources Based Agricultural Development Acceleration in Papua
Wahyunto dan D. Kuntjoro
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor
ABSTRAK
Papua merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di Indonesia. Pada tahun 2003 kemiskinan di wilayah
pedesaan berkisar sekitar 55%, sedangkan di perkotaan hanya 28%. Diindikasikan bahwa kemiskinan terjadi pada penduduk dengan
mata pencaharian bertani. Sampai saat ini budaya bertani penduduk asli Papua masih peramu, dan sebagian sebagai peladang
berpindah, dengan demikian sebagian besar sumberdaya lahan di Papua belum dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan Inpres No.
5 tahun 2007, arahan percepatan pembangunan Papua di sektor pertanian mempertimbangkan karakteristik dan potensi sumberdaya
lahan dan sumberdaya manusia. Percepatan pembangunan pertanian Papua dapat diupayakan melalui klarifikasi status lahan untuk
pembangunan pertanian oleh pemda dan masyarakat adat, pengembangan infrastruktur pertanian termasuk jaringan jalan, pasar,
peningkatan SDM, dan pemberdayaan masyarakat untuk membangun sektor pertanian. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya lahan yang tersedia secara tepat dan lestari akan dapat mengangkat daerah Papua sebagai sentra produksi pertanian di
wilayah timur, memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli Papua, dan melestarikan sumber pangan lokal yang
sudah terbukti adaptif untuk ketahanan pangan dan kelestarian budaya setempat.
Kata Kunci : Pembangunan, pertanian, sumberdaya, percepatan, Papua
ABSTRACT
In general, the proportion of population living in poverty in Papua is still the highest among districts and provinces in
Indonesia. In 2003, the percentages of poverty in urban area is about 28%, whereas in the villages is 55%. It is indicated that the
poverty occurs within population dominated by farmers. Up to now, most farmers in Papua are conducting shifting cultivation and
gathering natural resources. Therefore, land resources have not been utilized optimaly for agriculture. In line with Inpres
(President’s decree) No. 5, 2007, the direction of agricultural development acceleration in Papua Province should be based on both
characteristic and potency of land and human resources. The efforts to speed up agricultural development in Papua can be executed
by legalizing land status for agricultural development by local government and traditional society, developing infrastructures on
agriculture including market and road network, improving the quality of human resources, and empowering society to build
agricultural sectors. By optimizing the utility of available land resources properly and sustainably, Papua can be promoted as a
central area of agro products in eastern Indonesia. It also can empower local people in the field of agriculture, so it can improve
their prosperity and preserve local food sources which is adaptable for food security and local culture preservation.
Keywords : Development, agriculture, land resources, acceleration, Papua
ampai saat ini pertanian masih merupakan
salah satu sektor penting dalam
pembangunan wilayah di kedua Provinsi
Papua, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat.
Pada tahun 1990 sampai 2003, sektor ini
mampu menyerap sekitar 72 sampai 77%
tenaga kerja dan berkontribusi 15 sampai 24%
terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). Hasil pertanian Papua sejauh ini masih
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan daerah.
Realisasi investasi untuk sektor pertanian sangat
kecil. Pada tahun 2003, jumlah investasi dari
dalam negeri untuk pertanian hanya 0,4% dan
investasi luar negeri 4,24% dari jumlah realisasi
investasi sebanyak Rp 19,99 triliun (Asmuruf,
2005).
Data tahun 2003, Papua merupakan
provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi
di Indonesia. Kemiskinan di wilayah pedesaan
sekitar 54%, sedangkan di perkotaan hanya
28%. Sebagai perbandingan, rumah tangga
tanpa akses jalan di wilayah dataran seperti di
Kabupaten Jayapura dan Merauke berturut-turut
sebesar 24,5 dan 60,0%, namun di wilayah
S
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
40
perbukitan dan pegunungan seperti di wilayah
Kabupaten Paniai dan Puncak Jaya, rumah
tangga tanpa akses jalan berturut-turut sebesar
93 dan 98,5% (Dewan Ketahanan Pangan,
2005). Hal ini memberikan indikasi bahwa
kemiskinan terjadi pada penduduk dengan mata
pencaharian bertani. Budaya bertani penduduk
asli Papua masih peramu, dan sebagian sebagai
peladang berpindah, dengan demikian sampai
saat ini sebagian besar sumberdaya lahan di
Papua belum dimanfaatkan secara optimal.
Data dan informasi sumberdaya lahan
mempunyai peranan sangat penting dalam
menunjang program pembangunan pertanian
suatu daerah, khususnya dalam menyusun
perencanaan pengembangan wilayah melalui
pemilihan daerah-daerah berpotensi. Untuk
mengetahui wilayah-wilayah berpotensi tersebut
diperlukan data sumberdaya lahan. Potensi
sumberdaya lahan untuk pertanian di Papua
masih relatif besar. Namun, keterbatasan
infrastruktur, keterisolasian dari pasar domestik
dan internasional, keterbatasan dan ketidak-
merataan penyebaran sumberdaya manusia
terampil, dan gangguan keamanan merupakan
disinsentif untuk penanaman modal di Papua
(Suradisatra, 2001 dan 2003a).
Pemanfaatan sumberdaya lahan di Papua
perlu disesuaikan dengan kondisi dan sifat-sifat
sumberdaya lahan tersebut serta kondisi
lingkungannya, sehingga dapat dicapai
pemanfaatan sumberdaya lahan secara optimal,
seimbang, dan berkelanjutan. Di Papua,
sumberdaya lahan pertanian sebagai sumber
penghasil pangan, sumber pendapatan petani,
maupun sumber pendapatan daerah, perlu digali
dan dikembangkan secara optimal, mengingat
sebagian besar masyarakat etnis Papua
kehidupannya masih tergantung pada
sumberdaya lahan dan lingkungannya. Dengan
demikian, usaha pengembangan pertanian,
secara tidak langsung juga ditujukan untuk
meningkatkan taraf hidup, pendapatan, dan
kesejahteraan masyarakat Papua. Pemanfaatan
potensi sumberdaya lahan daerah ini secara
terarah dan terpadu dapat menumbuhkan pusat-
pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia
bagian timur, khususnya di daerah Papua.
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN
PERTANIAN DI PAPUA
Penggunaan lahan dan vegetasi
Sebagian besar wilayah Papua (70%)
masih berupa hutan (Tabel 1). Menurut Pusat
Perpetaan Kehutanan, Departemen Kehutanan
(2005), kawasan hutan tersebut 47% berupa
hutan lindung dan hutan perlindungan dan
pelestarian alam, umumnya berupa hutan hujan
tropis yang menempati daerah atas dan hutan
rawa di daerah dataran. Di daerah hutan rawa
umumnya terdapat tanah gambut, sebagian
hutan rawa tersebut ditumbuhi pohon sagu.
Sementara di sekitar Merauke dan Pegunungan
Jayawijaya terdapat padang rumput, hutan
savana, dan sebagian berupa tanah tandus
dengan luas sekitar 2,15 juta ha. Padang rumput
juga dijumpai di wilayah dataran tinggi sekitar
Wamena (Lembah Baliem). Selain berpengaruh
terhadap proses pembentukan tanah, jenis-jenis
vegetasi tertentu dapat merupakan petunjuk
tentang keadaan tanahnya, misalnya mangrove
merupakan indikasi wilayah pantai yang airnya
payau dan drainase sangat terhambat
(tergenang). Jenis vegetasi ramin dan mentangur
misalnya merupakan indikasi adanya tanah
gambut.
Hutan sagu terdapat secara terpencar-
pencar, luasnya sekitar 667 ribu ha dan
umumnya sudah dimiliki penduduk setempat
secara turun-temurun. Sagu merupakan sumber
makanan pokok, sehingga perlu dilindungi dan
dipertahankan. Mengingat mata pencaharian
penduduk sebagian besar adalah berburu (rusa,
kanguru, babi, dan sebagainya) dan menokok
sagu, maka bila daerah ini dibuka perlu
disediakan atau disisihkan sebagian lahannya
untuk padang perburuan.
Daerah dataran dan pinggiran rawa sudah
banyak yang dimanfaatkan untuk pertanian.
Wilayah yang telah digunakan untuk budi daya
pertanian sekitar 17,6%, digunakan sebagai
tegalan, sawah, pekarangan/pemukiman ter-
masuk pemukiman transmigasi, perkebunan,
kebun campuran dan pertambangan, sedangkan
8,9% berupa tanah tandus, savana, rawa, dan
penggunaan lainnya.
Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua
41
Budi daya pertanian di Papua
Sebagian besar petani di Papua
melaksanakan kegiatan pertanian untuk
memenuhi kebutuhan primer keluarga, hanya
sebagian kecil saja yang dipasarkan untuk
memperoleh kebutuhan hidup lain seperti
sandang dan kebutuhan sekunder lainnya. Ciri
lain dari pertanian semacam ini adalah
pembagian tugas antara pria dan wanita dalam
kehidupan sehari-hari sangat jelas, dan
pertanaman berpola campuran sebagai strategi
memperkecil risiko gagal panen. Selama tidak
ada pengaruh budaya dari luar, penyakit maupun
bencana alam lainnya, maka sistem ini dapat
berjalan dengan baik dalam menunjang
kehidupan rumah tangga. Hal ini ditunjang oleh
sistem sosial yang kuat dalam membentuk
sistem komunal dan mekanisme saling
membantu dan mengatasi permasalahan sudah
menjadi budaya dan adat masyarakat.
(Suradisastra et al., 1991 dan 2001).
Secara umum, budaya bertani di Papua
mencakup budaya meramu (hunting and
gathering), ladang berpindah (slash-and-burn
agriculture), usaha tani transisi (sedenter), dan
usaha tani maju (semi-komersil dan komersil).
Meramu dan ladang berpindah merupakan
budaya yang dianut masyarakat lokal, terutama
di zona Manokwari-Fakfak, zona Pegunungan,
dan Merauke-Digoel. Sebagian etnis Arfak di
zona Manokwari masih menganut budaya
meramu dan ladang berpindah. Sebagian telah
berevolusi ke arah usaha tani sedenter, terutama
bagi etnis lokal yang tergabung dalam program
transmigrasi nasional seperti di Desa Prafi Mulya
yang semula merupakan lokasi transmigrasi.
Etnis Papua lokal umumnya menganut budaya
lumbung, yaitu penanaman tanaman pangan
(ubijalar, talas) secara bertahap (relay planting),
sehingga panen dapat dilaksanakan sewaktu-
waktu ketika petani membutuhkannya (Kepas,
1990). Teknik ini mampu menjaga kelangsungan
konsumsi selama berabad-abad karena tata
pengaturan dan pelaksanaannya dikontrol oleh
lembaga norma dan adat setempat.
Etnis pendatang, terutama petani trans-
migran memiliki keterampilan dan penguasaan
teknik bertani modern, telah memiliki orientasi
ekonomi dan agribisnis. Sebagian besar
merupakan petani maju yang telah menerapkan
teknologi tepat-guna dan berorientasi produksi
untuk memenuhi kebutuhan dan dijual guna
Tabel 1. Penggunaan lahan dan penutupan vegetasi di Papua
Luas
No. Penggunaan lahan/vegetasi
(x 1000 ha) %
1. Hutan lahan kering 20.098 47,6
2. Hutan rawa bergambut 5.466 13,0
3. Hutan rawa 2.510 5,9
4. Hutan mangrove 1.622 3,8
5. Rawa 561 1,3
6. Tegalan, semak, dan kebun campuran 5.547 13,1
7. Belukar rawa 1.317 3,1
8. Hutan tanaman industri (HTI) 4 0,0
9. Perkebunan 330 0,8
10. Ladang 917 2,2
11. Sawah 32 0,1
12. Pemukiman dan kawasan transmigrasi 577 1,4
13. Tanah terbuka, savana, dan tandus 2.157 5,1
14. Kawasan pertambangan 10 0,0
15. Penggunaan lain 1.050 2,5
Jumlah 42.198 100,0
Sumber : Hasil analisis citra satelit rekaman tahun 2004-2007, didukung
informasi dari Badan Pertanahan Nasional (2005), Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura Papua (2006), Pusat Perpetaan Kehutanan,
Departemen Kehutanan (2005).
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
42
menambah pendapatan. Sebagian lainnya me-
rupakan usaha tani komersil dimana petani
memilih dan mengembangkan komoditas yang
memiliki nilai pasar tinggi (Dimyati et al., 1991).
Kondisi sumberdaya lahan dan lingkungan
Wilayah Papua dengan luas ± 421.981
km
2
atau ± 42.198.100 ha (Badan Pusat
Statistik, 2005) merupakan pulau paling timur
dan terluas (± 22% luas Indonesia), terdiri atas
lahan rawa (rawa pasang surut dan non pasang
surut) seluas 11.942.100 ha
atau 28,3% dan
lahan kering (upland) seluas 30.256.000 ha
atau
71,7%.
Sumberdaya lahan di Papua belum banyak
digali sifat-sifat dan potensinya untuk berbagai
tujuan, sehingga masih sedikit sekali
pemanfaatannya di sektor pertanian. Penelitian
tanah di Papua sudah dimulai sejak tahun 1932
(Soepraptohardjo et al., 1971), namun sampai
sekarang wilayah yang telah diteliti masih
sangat sempit. Penelitian/survei dan pemetaan
tanah sampai periode tahun 1990-an baru
sekitar 66.989 km
2
(Retno et al., 1994) atau
15,8% dari luas total seluruh Papua.
Bersumber dari Peta Tanah Irian Jaya skala
1:1.000.000 (Wahyunto dan Marsoedi et al.,
1994) dan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi
Indonesia (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, 2000), berdasarkan
keadaan tanah dan fisiografinya, wilayah Papua
dibedakan menjadi 33 satuan peta.
Wilayah Papua didominasi oleh tanah
Inceptisols (Kambisols) sekitar 22,2%, kemudian
Ultisols (Podsolik) sekitar 21,4%. Tanah
Inceptisols dan Ultisols umumnya berpenyebaran
di daerah lahan kering (upland). Kedua tanah ini
untuk pengembangan pertanian mempunyai ken-
dala kemasaman tanah dan tingkat kesuburan
yang rendah. Selain itu dijumpai tanah-tanah
Alfisol (Mediteran), Mollisol (Renzina), Gleysol,
dan Aluvial yang luasnya mencapai 31,8% dan
mempunyai potensi relatif tinggi untuk
pengembangan pertanian dengan memper-
timbangkan kondisi fisik dan lingkungan/iklim
setempat (Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, 2000). Tanah Entisols
(Litosols dan Regosols) seluas 15,9% bila
dikembangkan untuk pertanian mempunyai
faktor penghambat tanah dangkal, berbatu, dan
berada pada lereng yang curam serta tekstur
berpasir. Tanah-tanah ini mempunyai kesuburan
alami yang sangat rendah dan tidak berpotensi
untuk pertanian. Tanah Histosols (Organosol)
terdapat di dataran rawa pantai dan pedalaman
meliputi luas sekitar 8,7%. Kendala untuk
pengembangan pertanian pada tanah ini adalah
adanya lapisan gambut yang tebal dan selalu
tergenang air.
Lahan rawa yang ada di Papua
dikelompokkan ke dalam tipologi: (1) lahan rawa
lebak bertanah aluvial seluas 2,71 juta ha, dan
bertanah gambut atau berasosiasi dengan tanah
gambut seluas 3,59 juta ha; (2) rawa pasang
surut air tawar 2,32 juta ha, dan rawa pasang
surut air payau/salin 1,89 juta ha (Widjaja-Adhi,
1995).
Iklim di Papua umumnya cukup basah.
Variasi curah hujan cukup besar, dari ± 1.500
mm sampai ± 5.000 mm per tahun, dengan
tendensi makin dekat ke Pegunungan Jayawijaya
semakin basah. Curah hujan rata-rata di
kawasan pegunungan berkisar antara 1.823 dan
4.355 mm/tahun. Namun menurut RePPProT
(1989), curah hujan di daerah ini bisa mencapai
5.000 mm/tahun yang terjadi di daerah
pegunungan utara, sebelah selatan S. Turui dan
S. Idenberg serta dekat muara sungainya
(Djaenudin, 1994). Wilayah di sekitar Merauke
paling kering dengan curah hujan <1.500
mm/tahun dan musim kemarau cukup panjang
(Juli-November), sedangan pada ketinggian di
atas 4.500 m dpl terdapat salju yaitu di puncak
Jayawijaya. Berdasarkan sistem Agroklimat
Oldeman et al. (1980), Indonesia dibedakan
menjadi lima zona utama agroklimat (A-E) atau
14 zona agroklimat, dimana 11 zona agroklimat
diantaranya terdapat di Papua (zona agroklimat
A sampai D2). Jumlah curah hujan rata-rata
bulanan meningkat ke pedalaman yang berupa
daerah perbukitan dan pegunungan (upland),
mengikuti bertambahnya ketinggian tempat dari
permukaan laut.
Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua
43
Berdasarkan jumlah dan distribusi curah
hujan, daerah upland mempunyai regim
kelembaban tanah udik, sedangkan di daerah
rendah/berawa (lowland) termasuk akuik. Makin
besar curah hujan dan makin lama periode
hujannya, proses pencucian hara di dalam tanah
menjadi semakin kuat/intensif, sehingga tanah
dipermiskin, sementara jika curah hujan terbatas
pencucian hara relatif rendah.
Infrastruktur
Secara umum kondisi infrastruktur di
Papua terutama di kawasan pegunungan tengah
(rangkaian Pegunungan Jayawijaya dan
Pegunungan Sudirman) masih memprihatinkan,
jalan belum dibangun dan sebagian besar listrik
belum menyala. Menurut Dinas Pekerjaan Umum
Papua (2006), panjang jalan di Papua mencapai
4.677 km. Minimnya pembangunan infrastruktur
jalan di Papua, hingga saat ini sebagian besar
daerah tidak bisa dijangkau dengan transportasi
darat. Untuk mencapai lokasi yang dituju, ada
dua pilihan, menggunakan transportasi udara
atau laut. Namun transportasi udara umumnya
menjadi pilihan utama. Tersedia dua jenis
transportasi udara di Papua, yakni penerbangan
niaga berjadwal dan penerbangan non niaga
(yang dilakukan sejumlah misionaris). Di Papua
ada 45 landasan lapangan udara yang
beroperasi. Ketergantungan masyarakat Pegu-
nungan Jayawijaya terhadap angkutan udara
teramat besar. Dampaknya, harga barang-barang
yang dibutuhkan masyarakat menjadi mahal
(Dinas Perkerjaan Umum Provinsi Papua, 2006).
Harga kebutuhan pokok bisa mencapai enam kali
lipat dari harga yang berlaku di Jayapura,
Sorong dan Manokwari. Untuk menunjang
transportasi laut dan danau, telah dibangun
enam dermaga yaitu Yahim, Kamaiyaka dan
Ayapo (Distrik Sentani), Pagai (Distrik Kaureh),
Depapre (Distrik Depapre) dan Youlim Sari
(Distrik Demta). Pelabuhan Jayapura melayani
pelayaran antar samudera, kapal perintis/nusan-
tara, kapal lokal, tanker serta lainnya.
Sedangkan pelabuhan di Nabire hanya melayani
kapal perintis/nusantara, kapal lokal, tanker serta
lainnya.
Trans Papua (dulu disebut Trans Irian),
yakni jalan yang menghubungkan Jayapura-
Wamena (panjang jalan 585 km, diresmikan
tahun 1985) belum selesai dibangun. Dari arah
Wamena jalan yang sudah beraspal baru sekitar
37 km, selanjutnya kilometer 37-48 masih
setengah aspal, berlanjut jalan “sungai mati”
hingga kilometer 140, distrik Lereh Kabupaten
Jayapura praktis tidak bisa dilalui kendaraan
bermotor. Kawasan ini sebenarnya sudah dibuka
pada tahun 1990-an , tetapi kemudian tertutup
karena jarang dilalui kendaraan (Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Papua, 2006). Seandainya
pembangunan transportasi darat Wamena-
Jayapura bisa segera direalisasikan, distribusi
dan pemasaran hasil pertanian dapat terbuka
lebar. Total jalan yang telah dibangun di daerah
pegunungan Jayawijaya ke arah kabupaten di
sekitarnya mencapai panjang 558,68 km,
26,2% diaspal, sisanya masih berupa jalan
kerikil dan tanah. Klasifikasi jalan berdasarkan
kondisinya tercatat 61% baik, 31% sedang, 5%
rusak, dan 3% rusak berat (Dinas Pekerjaan
Umum Kabupaten Jayawijaya, 2006). Masalah
infrastruktur di Papua pada kawasan pegunungan
yang mendesak untuk dilaksanakan, dengan
membuka hambatan akses darat antara satu
kabupaten dengan kabupaten lainnya di
kawasan pegunungan serta dengan kabupaten di
pesisir. Hal ini dilakukan dengan melanjutkan
pembangunan poros jalan darat Jayapura-
Wamena, pembangunan ruas Wamena-Kenyam,
serta pembangunan jalan antar kecamatan serta
jalan usaha tani.
Pengembangan infrastruktur untuk menun-
jang pertanian berdasarkan arahan penggunaan
lahan dan kedekatan (aksesibilitas) daerah yang
berpotensi dengan prasarana transportasi yang
telah ada. Daerah yang sesuai dan berjarak ≤ 5
km di kiri dan kanan jalan dan sungai yang
digunakan untuk transportasi air, secara
geografis dianggap berpotensi untuk dikembang-
kan dalam jangka pendek menjadi daerah
pertanian. Pada daerah-daerah yang dianggap
berpotensi untuk dikembangkan pertanian,
pengembangannya harus diikuti dengan rencana
pembangunan infrastruktur pendukung seperti
jalan desa, saluran irigasi, saluran drainase,
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
44
bangunan air, alat dan mesin pertanian, serta
rencana lokasi pasar.
ANALISIS/PEMECAHAN MASALAH
Sesuai Instruksi Presiden Republik
Indonesia (Inpres) Nomor 05/2007, Departemen
Pertanian ditugaskan memberikan dukungan
kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Papua
Barat untuk percepatan pembangunan di kedua
provinsi tersebut. Berkaitan dengan itu,
percepatan pembangunan pertanian berbasis
sumberdaya digunakan dua pendekatan utama,
yakni (1) analisis biofisik sumberdaya lahan dan
teknologi pertanian dan (2) analisis sosial-
ekonomi dan kelembagaan. Pendekatan yang
pertama mencakup kajian, tentang : (a) evaluasi
potensi sumberdaya lahan pertanian, (b)
pengembangan infrastruktur pertanian, (c)
pemantapan ketahanan dan diversifikasi pangan
lokal, dan (d) pengembangan produksi bio-
energi. Pendekatan yang kedua mencakup
kajian: (a) pengembangan sumberdaya manusia
di sektor pertanian, (b) pengembangan
agroindustri, (c) pengembangan kelembagaan
pertanian, dan sistem pemasaran komoditas
pertanian.
Analisis diarahkan kepada komoditas
pertanian unggulan hasil musyawarah rencana
pembangunan (Musrenbang) pada masing-
masing provinsi dan kabupaten untuk
mendukung : (1) pertumbuhan perekonomian
daerah, yaitu komoditas yang secara nyata
berpotensi meningkatkan pendapatan daerah
yang dalam pengembangannya memerlukan
investasi dari pihak ketiga. Termasuk dalam
kelompok ini adalah kelapa sawit dan kakao; (2)
peningkatan perekonomian rakyat, yaitu
komoditas yang secara langsung dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat, tidak
mutlak memerlukan areal yang luas (10-100 ha
dalam satu hamparan), dan tidak mutlak
memerlukan investasi pihak ketiga. Contoh
kelompok ini adalah kakao, kopi, dan ternak; dan
(3) peningkatan diversifikasi dan ketahanan
pangan lokal, yaitu komoditas yang dapat
diusahakan oleh masyarakat dalam skala usaha
rumah tangga dan penggunaan utamanya adalah
untuk konsumsi keluarga. Contoh kelompok ini
adalah sagu, ubijalar, talas, dan gembili.
DUKUNGAN DATA POTENSI
SUMBERDAYA LAHAN
Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang
Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000, Provinsi
Papua dan Papua Barat memiliki sekitar 17,3
juta ha lahan yang sesuai untuk pertanian, 7,2
juta ha di antaranya sesuai untuk dijadikan lahan
sawah, 4,1 juta ha untuk pertanian tanaman
semusim lahan kering, dan 5,6 juta ha untuk
tanaman perkebunan dataran rendah (<700 m
dpl). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk
lahan sawah, tanaman semusim lahan kering,
dan tanaman perkebunan berturut-turut adalah
sekitar 0,2; 0,4; dan 0,1 juta ha (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, 2001).
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (2007) melakukan kajian untuk
percepatan pembangunan pertanian di Papua.
Dalam menyusun arahan pengembangan
komoditas pertanian unggulan, pemilihan
prioritas tanaman yang diunggulkan adalah
mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Papua tahun 2004/2005, dan Program
Pembangunan Pertanian (Badan Pertanahan
Nasional, 2005). Komoditas tanaman pertanian
yang diunggulkan untuk setiap kabupaten
mengacu pada hasil musyawarah rencana
pembangunan (Musrenbang) oleh pemerintah
daerah tingkat kabupaten dan provinsi.
Umumnya dalam satu wilayah kabupaten hanya
satu atau dua komoditas pertanian yang
diprioritaskan untuk dikembangkan dengan
mempertimbangkan potensi sumberdaya lahan,
permintaan pasar, ketersediaan dan kualitas
sumberdaya manusia, dan kondisi sosial
ekonominya. Misalnya di Kabupaten Jayapura,
komoditas pertanian yang diunggulkan adalah
kakao, sagu, diintegrasikan dengan ternak babi
dan sapi. Dengan demikian di daerah Kabupaten
Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua
45
Jayapura hanya diarahkan untuk pengembangan
komoditas kakao dan sagu, walaupun lahan
tersebut juga berpotensi tinggi untuk
pengembangan komoditas tanaman pertanian
lainnya, misalnya kelapa sawit dan karet.
Potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan
komoditas pertanian unggulan di Papua disajikan
pada Tabel 2.
Di Papua lahan yang berpotensi untuk
pengembangan tanaman perkebunan, paling luas
adalah untuk kelapa sawit 1,4 juta ha, kemudian
diikuti kakao 477 ribu ha, kopi 180 ribu ha, dan
tebu dan atau jambu mete 268 ribu ha (Tabel 2).
Di daerah pantai utara Papua, lahan potensial
yang cukup luas untuk pengembangan
komoditas kelapa sawit terdapat di Kabupaten
Nabire >50.000 ha, Sarmi dan Keerom masing-
masing >15.000 ha. Sedangkan di wilayah
kepala Burung Papua, lahan yang sesuai untuk
pengembangan kelapa sawit antara 25.000-
60.000 ha, terdapat di Kabupaten Sorong, Fak-
fak, Bintuni, dan Kaimana. Wilayah potensial
dengan luasan 10.000 ha atau lebih untuk
pengembangan kakao dan kelapa dapat
dikembangkan di Kabupaten Sarmi, Waropen,
Nabire, Manokwari, dan Kaimana (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, 2000, 2001, dan 2002; dan Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007).
Tabel 2. Potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan
komoditas pertanian unggulan di Papua
No. Komoditas pertanian unggulan Luas wilayah potensial
ha
I. Perkebunan
1. Sawit 1.429.644
2. Kakao 477.321
3. Karet 81.098
4. Kelapa 78.781
5. Kopi 180.733
6. Sawit atau kakao 254.880
7. Sawit atau kopi 4.634
8. Tebu atau jambu mete 268.782
9. Kopi atau hortikultura (buah-buahan) 50.976
Jumlah I 2.826.849
II. Palawija dan hortikultura
1. Ubijalar, jagung, padi gogo 426.345
2. Padi gogo dan palawija 296.588
3. Hortikultura, palawija, sayuran 210.856
4. Hortikultura (buah-buahan) 1.237.327
Jumlah II 2.171.116
III. Sagu dan padi sawah
1. Sagu 836.470
2. Sagu, sayuran, palawija 215.489
3. Padi sawah, palawija 2.717.947
Jumlah III 3.769.906
IV. Perikanan dan peternakan
1. Perikanan 210.855
2. Peternakan 6.951
Jumlah IV 217.806
Luas wilayah potensial (I+II+III+IV) 8.985.677
Sumber : Diolah dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat (2000, 2001 dan 2002); Peta RTRWP Papua (Badan
Pertanahan Nasional, 2005), Peta Penggunaan Lahan Papua (Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007)
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
46
Di kawasan pegunungan, dukungan lahan
sangat menonjol untuk pengembangan
komoditas pangan lokal seperti ubijalar, padi-
padian, dan palawija. Lahan potensial untuk
pengembangan tanaman ubijalar, jagung, dan
padi gogo seluas 426 ribu ha. Di Kabupaten
Jayawijaya dan Puncak Jaya, terdapat lahan
potensial untuk komoditas ubijalar, jagung, dan
palawija seluas 150.000 ha. Petani di wilayah
ini tidak mengusahakan komoditas pangan lain.
Ubijalar atau hipere merupakan komoditas
eksklusif untuk Kabupaten Jayawijaya
(Suradisastra, 2003b dan Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi, 1998). Sebaliknya, Kabu-
paten Paniai dapat mendukung pengembangan
pangan komoditas padi, palawija, jagung, dan
padi gogo, serta sagu di lahan sekitar 48.000
ha. Di kawasan pegunungan ini juga berpotensi
untuk pengembangan tanaman hortikultura
(buah-buahan dan sayuran dataran tinggi), serta
tanaman kopi dengan luas lahan sekitar 210 ribu
ha. Kopi Wamena dan jeruk Bokondini termasuk
komoditas pertanian yang telah dipasarkan ke
luar Papua (Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, 1997).
Kawasan dataran rendah Papua bagian
selatan mencakup lima kabupaten, yakni
Kabupaten Merauke, Mappi, Boven Digoel,
Asmat, dan Mimika. Kabupaten Boven Digoel
memiliki wilayah terluas untuk tanaman
perkebunan terutama untuk kelapa sawit
544.000 ha, kemudian diikuti Kabupaten
Merauke 139.000 ha, Mappi 90.000 ha, dan
Mimika 6.000 ha. Di Kabupaten Boven Digoel
dan Mappi terdapat wilayah potensial untuk
pengembangan tanaman karet masing-masing
seluas 74.000 dan 6.900 ha. Untuk komoditas
tanaman tebu dan jambu mete dapat
dikembangkan di Kabupaten Merauke dengan
luas wilayah potensial sekitar 268.000 ha.
Lahan sawah sebagian besar terdapat di
Kabupaten Merauke, umumnya ditanami padi
oleh petani transmigrasi. Produksi padi saat ini
mampu memenuhi kebutuhan empat kabupaten
lainnya. Lahan yang berpotensi untuk
pengembangan tanaman padi sawah di seluruh
Papua sekitar 2,7 juta ha. Lahan potensial untuk
padi sawah, terluas di Kabupaten Merauke 1,39
juta ha, kemudian diikuti Kabupaten Mappi
468.000 ha. Untuk Kabupaten Boven Digoel,
Asmat, dan Mimika, area potensial untuk
pengembangan tanaman padi berturut-turut
seluas 81.000, 32.000, dan 27.000 ha. Kalau
dilihat dari potensi lahan yang dimiliki,
kabupaten-kabupaten di wilayah selatan Papua
ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan
karena lahan di wilayah ini terbentuk dari bahan
aluvial yang subur. Kabupaten Merauke yang
mencanangkan program MIRE (Merauke Inte-
grated Rice Estate), merupakan pengembangan
lahan pertanian berbasis tanaman padi (pilot
project 20.000 ha) diintegrasikan dengan ternak,
ikan, dan sarana pendukung lainnya. Direncana-
kan akan mengoptimalkan pemanfaatan mekani-
sasi pertanian, namun masih terkendala masalah
penyediaan sumberdaya manusia yang memadai.
Lahan yang berpotensi untuk pengembang-
an pertanian masih luas dan baru sebagian kecil
saja yang dimanfaatkan untuk usaha pertanian.
Kawasan lahan yang berpotensi tinggi (Sesuai-1)
untuk pengembangan komoditas pertanian
unggulan yang diunggulkan oleh pemerintah
daerah tingkat kabupaten hasil Musrembang
seluas 8,9 juta ha (Tabel 2), lahannya telah
dimanfaatkan sekitar 759 ribu ha, sehingga
masih tersedia lahan untuk pengembangan
pertanian seluas 8,2 juta ha (Tabel 3).
Lahan yang sudah dibuka untuk sawah
hanya 1,3% dari seluruh lahan yang sesuai
untuk sawah. Luas sawah Papua sekitar 25,1
ribu ha terluas terdapat di Kabupaten Merauke
19.350 ha dan Kabupaten Nabire 2.940 ha
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura, 2006). Karena berbagai kendala,
tiap tahun luas tanam padi tidak pernah
mencapai luas areal sawah yang ada.
Sebetulnya sumberdaya air cukup banyak
tersedia, namun karena belum dikelola secara
optimal, tidak dapat digunakan untuk mengairi
seluruh sawah yang ada. Produksi padi tahun
2006 mencapai 73.168 ton dengan produktivitas
rata-rata 4,2 t/ha.
Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua
47
Wilayah potensial untuk sagu terdapat di
daerah-daerah dataran rawa di sekitar pantai,
dataran rendah, dan pelembahan sungai yang
sering tergenang dengan luas sekitar 900.000
ha. Kabupaten yang mempunyai wilayah untuk
pengembangan sagu cukup luas adalah
Kabupaten Kaimana 157.000 ha, Nabire
150.000 ha, Waropen 139.000 ha, Sarmi
106.000 ha, Asmat 90.000 ha, Sorong 64.000
ha, dan Fak-fak 60.000 ha.
Sebagian besar tanaman sagu masih
merupakan tanaman liar yang tumbuh dengan
sendirinya. Biasanya masyarakat hanya
mengambil anakan dari rumpun tanaman yang
tumbuh liar dan menanam kembali di lahan
kosong yang diperkirakan baik untuk
pertumbuhan sagu. Berdasarkan peta wilayah
pertanian (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura, 2006), luas hutan sagu 513.000
ha, letak terpencar-pencar dan seluruhnya sudah
dimiliki masyarakat, produksinya sekitar 139 ton
dan melibatkan 1.663 petani.
ARAHAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
BERKELANJUTAN
Sektor pertanian memiliki potensi menjadi
salah satu sektor andalan dalam percepatan
pembangunan Papua. Dengan sumberdaya lahan
yang dimiliki, pembangunan pertanian diharapkan
dapat menjadi pilar permbangunan ekonomi
Papua dan Papua Barat. Tata ruang untuk
daerah yang belum banyak terganggu, perlu
diatur secara seksama dan ketat dengan
mempertimbangkan kelestarian lingkungan
hidup. Sedangkan daerah yang sudah rusak/
terdegradasi dan menurun fungsi produksinya
perlu direhabilitasi. Tanpa usaha ini, degradasi
lahan dan penurunan fungsi lingkungan akan
semakin parah, dan rehabilitasinya jauh lebih
berat, memerlukan waktu lama dan dana yang
besar. Dengan rusaknya hidrologi daerah DAS
hulu, daerah pantai/DAS hilir yang merupakan
sentra pengembangan pertanian akan terancam
bencana, karena intrusi air laut akan semakin
masuk jauh ke daratan.
Hutan dan tanaman tahunan diperlukan
terutama di daerah hulu DAS untuk memelihara
tata air dan sebagai kawasan penyangga,
sehingga lingkungan secara menyeluruh tetap
terpelihara. Di sepanjang pantai dengan tanaman
bakau dan hutan nipah juga perlu dipertahankan
untuk penyangga maupun tempat habitat ber-
bagai satwa yang secara ekonomis mempunyai
nilai tinggi dan penyeimbang lingkungan,
sebagaimana juga di sepanjang aliran sungai
maupun mata air.
Pertanian dan pengusahaan tanaman
semusim hanya dianjurkan pada lahan dengan
lereng <8% apabila tanahnya sesuai. Pertanian
ini tidak dianjurkan pada lahan datar sekiranya
tanahnya berbahan induk pasir kuarsa maupun
gambut dalam, serta tanah yang terlalu banyak
berbatu sehingga menyulitkan pengolahan tanah.
Lahan dengan lereng 8-16% dianjurkan sistem
wanatani, dimana tanaman semusim diusahakan
bersama dengan tanaman keras/tahunan.
Sedangkan lereng 16-40% sebaiknya hanya
diusahakan tanaman permanen/tahunan seperti
perkebunan maupun kehutanan (Amin et al.,
1994). Penggunaan lahan yang tepat dan
pengelolaan yang sesuai adalah kunci dari
pertanian berkelanjutan. Namun walaupun usaha
pertanian tersebut menguntungkan, tetapi kalau
Tabel 3. Arahan pengembangan komoditas pertanian unggulan di Papua
No. Komoditas pertanian unggulan Lahan potensial
Telah digunakan
untuk pertanian
Lahan untuk
pengembangan
……………………………… ha ………………………………
1. Perkebunan 2.826.849 442.563 2.384.286
2. Palawija dan hortikultura 2.171.116 90.369 2.084.747
3. Sagu dan padi sawah 3.769.906 189.962 3.579.944
4. Perikanan dan peternakan 217.806 37.074 180.732
Jumlah 8.985.677 759.968 8.225.709
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
48
kelestarian terusik, kondisi lingkungan terganggu,
usaha pertanian tidak akan dapat bertahan lama.
Lahan gambut memegang peranan penting
dalam sistem hidrologi DAS. Kegagalan introduksi
teknologi dan teknik bercocok tanam sering
terjadi karena pengabaian terhadap nilai-nilai
lokal serta adat dan norma yang berlaku di
wilayah pembangunan pertanian. Sebaiknya
proses adopsi teknologi dan penyuluhan
pertanian mengikutsertakan kelembagaan lokal
seperti kepala suku (ondoafie, keret, otini, dan
lain-lain) dan lembaga tata pengaturan
(sambanim-pakasanim, otini-tabenak, dan lain-
lain).
Strategi yang ditempuh untuk memper-
tahankan ketahanan dan diversifikasi pangan
lokal adalah melalui: pencapaian kemandirian
beras, ubi-ubian dan sagu sampai mendekati
100%; mempertahankan tingkat konsumsi ubi-
ubian dan sagu, sekurang-kurangnya pada
tingkat konsumsi sekarang; mendorong produksi
sayur-sayuran, buah-buahan dan ternak untuk
meningkatkan gizi masyarakat; meningkatkan
ketahanan (aksesibilitas, kecukupan, dan
keamanan) pangan rumah tangga; meningkatkan
pengembangan komoditas non beras;
meningkatkan daya beli rumah tangga atas
pangan; dan meningkatkan upaya kecukupan
pangan menjadi kecukupan gizi.
Untuk mengatasi ketimpangan/ketidak
selarasan budaya bertani antara etnis pendatang
dan etnis Papua terutama tentang ketrampilan
dan pengetahuan bertani hendaknya dikembang-
kan program percepatan pembangunan pertanian
dan adopsi-inovasi teknologi yang sesuai dengan
kondisi sosial-budaya, kelembagaan, dan pe-
nguasaan teknologi stakeholder petani maju dan
petani tertinggal. Program pembinaan dan
penyuluhan seyogyanya dipilah menjadi bimbing-
an dan penyuluhan untuk petani maju (etnis
pendatang) dan petani tertinggal. Untuk itu
diperlukan suatu pendekatan dan strategi
pelaksanaan percepatan sektor pertanian yang
berbasis sumberdaya, baik sumberdaya lahan,
air, iklim, dan sumber daya manusia secara
terintegrasi dan sesuai dengan kondisi setempat.
PENUTUP
Arah percepatan pembangunan pertanian
dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian
lahan dan aspek bio-fisik wilayah, dan interaksi
kepadatan penduduk dengan aspek pasar. Ber-
dasarkan keadaan sumberdaya lahan dan aspek
bio-fisik wilayah, wilayah Papua cukup potensial
untuk pengembangan pertanian termasuk pangan
lokal dan bio-energi (kelapa sawit, kelapa, tebu,
ubijalar, dan jagung).
Pangan tradisional perlu dipertahankan
dalam rangka diversifikasi dan pengembangan
tanaman bio-energi. Konsep desa mandiri dengan
mengutamakan sumber-sumber kekayaan setem-
pat untuk dijadikan bahan pangan, bahan bakar,
terutama untuk suplai energi listrik. Upaya
selayaknya mendorong kemandirian ekonomi
kerakyatan ke dalam pasar tradisional. Adanya
hak ulayat dan suku-etnis Papua memiliki ikatan
batin yang kuat dengan alam serta lingkungan
tempat mereka berpijak, maka rekomendasi
pengembangan pertanian, infrastruktur, dan
investasi di Papua tidak boleh memutuskan
hubungan masyarakat adat dengan aspek
penguasaan tanah ulayatnya. Kesiapan masya-
rakat dalam mengadopsi teknologi sangat penting
untuk dipertimbangkan misal pengembangan
agro-industri diprioritaskan untuk penyimpanan
bahan pangan agar dapat bertahan lama, bukan
teknik pengolahan menjadi berbagai produk
olahan baru.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuruf, D. 2005. Upaya Peningkatan Investasi
di Provinsi Irian Jaya. Makalah untuk
Kegiatan Rapat Pendahuluan Raker II
APPSI. APPSI, Bandung.
Amin, I., H. Sosiawan, dan E. Susanti. 1994.
Agroekologi dan Alternatif Pengembang-
an Pertanian di Sulawesi, Nusa Teng-
gara, Maluku dan Irian Jaya. Makalah
pada Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan
untuk Pembangunan Kawasan Timur
Indonesia. Palu, 16-20 Januari 1994.
Wahyunto dan D. Kuntjoro : Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian di Papua
49
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
2007. Arahan Percepatan Pembangunan
Pertanian Berbasis Sumberdaya di
Provinsi Papua dan Papua Barat. Draft
Laporan Akhir. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian. Jakarta.
Badan Pertanahan Nasional. 2005. Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua.
Proyek Inev-SDL Badan Pertanahan
Nasional, Kerjasama dengan Bappeda
Provinsi Papua. Jayapura.
Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia.
Luas Daerah dan Pembagian Daerah
Administrasi di Indonesia. Badan Pusat
Statistik. Jakarta.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
1997. Pola Pengembangan Pertanian di
Wilayah DAS Mamberamo, Irian Jaya.
Laporan Kerjasama antara Bagian Proyek
Sumberdaya Pertanian dan Agrotekno-
logi dengan IPB. Jalan Thamrin Jakarta.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
1998. Studi Evaluasi Zonase Lahan dan
Pra Studi Kelayakan Budidaya Lahan
Padi dan Kelapa Sawit, di DAS
Mamberamo Hilir, Irian Jaya. Laporan
Kerjasama antara Bagian Proyek
Sumberdaya Pertanian dan Agrotekno-
logi dengan IPB. Jalan Thamrin Jakarta.
Dewan Ketahanan Pangan. 2005. Peta
Kerawanan Pangan Indonesia. Dewan
Ketahanan Pangan, Departemen
Pertanian dan World Food Programe.
Jakarta.
Dimyati, A., K. Suradisastra, A. Taher, M.
Winugroho, D.D. Tarigan, dan A.
Sudradjat. 1991. Sumbangan Pemikiran
Bagi Pembangunan Pertanian di Irian
Jaya. Badan Penelitian dan Pengembang-
an Pertanian, Departemen Pertanian.
Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua. 2006.
Rencana Pembangunan Jalan di Papua.
Dinas Pekerjaan Umum, Provinsi Papua.
Jayapura.
Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Jayawijaya.
2006. Pembangunan Jalan di Kabupaten
Jayawijaya. Wamena.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Horti-
kultura. 2006. Potensi Pengembangan
Komoditas Pertanian Utama. Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura. Jayapura.
Djaenudin, D. 1994. Potensi Sumberdaya Alam
Daerah Aliran Sungai Mamberamo di
Provinsi Irian Jaya. Hlm. 403-412. Dalam
Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya
Lahan untuk Pembangunan Kawasan
Timur Indonesia, di Palu 17-20 Januari
1994. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Kepas. 1990. Analisis Agro-ekosistem untuk
Pembangunan Masyarakat Pedesaan Irian
Jaya. Badan Penelitian dan Pengembang-
an Pertanian, Pusat Studi Lingkungan
Hidup Universitas Cenderawasih dan the
Ford Foundation.
Oldeman, L.R., I. Las, and Muladi. 1980. The
Agroclimatic Maps of Kalimantan,
Maluku, Irian Jaya and Bali, West and
East Nusa Tenggara. Contr. Centr. Res.
Insti. Of Agric. No. 60.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya
Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:
1000.000. Puslit Tanah dan Agroklimat,
Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata
Ruang Indonesia skala 1:1.000.000.
Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan
Litbang Pertanian. Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. 2002. Atlas Arahan
Pengembangan Komoditas Pertanian
Unggulan Indonesia skala 1:1.000.000.
Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan
Litbang Pertanian. Bogor.
Pusat Perpetaan Kehutanan. 2005. Kawasan
Hutan di Papua. Pusat Perpetaan Kehu-
tanan, Departemen Kehutanan. Jakarta.
Regional Physical Planning Programme for
Transmigration (RePPProT). 1989. Hasil
Studi Regional Physical Planning
Programme for Transmigration di
Provinsi Irian Jaya dan Maluku. Ditjen
Pankim, Departemen Transmigrasi.
Jakarta.
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 4, Desember 2007
50
Retno, M.W., Suparmi, dan Marsoedi Ds. 1994.
Liputan Wilayah Pemetaan Sumberdaya
Lahan/Tanah di Provinsi Maluku dan Irian
Jaya. Malakah pada Temu Konsultasi
Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan
Kawasan Timur Indonesia. Palu, 16-20
Januari 1994.
Soepraptohardjo, M., M. Soekardi, dan W.J.
Surjanto. 1971. Tanah Irian Barat. Edisi
ke-2. Dokumen Pusat Penelitian Tanah
Bogor. No.3/1971.
Suradisastra, K. 1991. Comparison and Conflict
between Agriculturalists and Semi-
Nomadic Society in Prafi-IV Resettlement
Unit, Manokwari-Irian Jaya. The Research
Group of Agro-ecosystem. The Ford
Foundation.
Suradisastra, K. 2001. Rancangan Strategik
Pengembangan Investasi di Kawasan
Timur Indonesia, dalam Kawasan Timur
Indonesia dan Prospek Investasi. Hlm. 29-
42. Lembaga Informasi Nasional.
Suradisastra, K. 2003a. Eastern Indonesia: the
Great Challenge for Investment. Ministry
for Acceleration of Eastern Indonesia
Development, Jakarta.
Suradisastra, K. 2003b. Roadmap to Investment
in Eastern Indonesia. Ministry for
Acceleration of Eastern Indonesia Deve-
lopment, Jakarta.
Suradisastra, K., A. Taher, A. Dimyati, D.D.
Tarigan, A. Sudradjat, dan M. Winugroho.
1990. Potensi, Kendala, dan Peluang
Pembangunan Pertanian di Provinsi Irian
Jaya. Badan Litbang Pertanian.
Wahyunto dan Marsoedi. Ds. 1994. Keadaan
Tanah di Provinsi Irian Jaya. Hlm. 147-
162. Dalam Prosiding Temu Konsultasi
Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan
Kawasan Timur Indonesia, di Palu 17-20
Januari 1994. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat. Bogor.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1995. Lahan Rawa di
Kawasan Timur Indonesia: Potensi,
Pengelolaan, dan Teknologi Pengem-
bangannya. Hlm. 323-342. Dalam
Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya
Lahan untuk Pembangunan Kawasan
Timur Indonesia, di Palu 17-20 Januari
1994. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor.