ARAH R EFORMASI INDONESIA T

23
Refrigeran Pengganti Freon yang Ramah Lingkungan P.K. Purwadi Membangun Kriteria Rekonstruksi Sejarah H. Purwanta Otonomi Daerah dan Masalahnya A. Kardiyat Wiharyanto ARAH REFORMASI INDONESIA Teknol eknol eknol eknol eknol ogi, Sejarah, dan Sos ogi, Sejarah, dan Sos ogi, Sejarah, dan Sos ogi, Sejarah, dan Sos ogi, Sejarah, dan Sosial ial ial ial ial No. 3 No. 3 No. 3 No. 3 No. 34, Februari 2007 , Februari 2007 , Februari 2007 , Februari 2007 , Februari 2007 ISSN 1410-895X ISSN 1410-895X ISSN 1410-895X ISSN 1410-895X ISSN 1410-895X LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

Transcript of ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Page 1: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Refrigeran Pengganti Freonyang Ramah Lingkungan

P.K. Purwadi

MembangunKriteria Rekonstruksi Sejarah

H. Purwanta

Otonomi Daerah dan MasalahnyaA. Kardiyat Wiharyanto

ARAH REFORMASI INDONESIATTTTTeknoleknoleknoleknoleknologi, Sejarah, dan Sosogi, Sejarah, dan Sosogi, Sejarah, dan Sosogi, Sejarah, dan Sosogi, Sejarah, dan Sosialialialialial

No. 3No. 3No. 3No. 3No. 344444, Februari 2007, Februari 2007, Februari 2007, Februari 2007, Februari 2007 ISSN 1410-895XISSN 1410-895XISSN 1410-895XISSN 1410-895XISSN 1410-895X

LEMBAGA PENELITIANDAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

UNIVERSITAS SANATA DHARMAYOGYAKARTA

Page 2: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

ARAH REFORMASIINDONESIA

Teknologi, Sejarah, dan Sosial

DEWAN REDAKSIPelindung:

Dr. Ir. P. Wiryono Priyotamtama, S.J.Rektor Universitas Sanata Dharma

Penasihat:Dr. Fr. Ninik Yudianti, M.Acc.

Wakil Rektor I Universitas Sanata Dharma

Pemimpin Redaksi:Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.

Ketua LPPM Universitas Sanata Dharma

Sekretaris Redaksi:S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum

Kepala Pusat Penerbitan dan Bookshop Universitas Sanata Dharma

Anggota Redaksi:Drs. H. Wahyudi, M.Si., Aris Widayati, M.Si.,Apt., Dr. T. Priyo W, M.Si.,

Dr. Susento, M.S., Dr. J.J. Spillane, S.J., Drs. H. Purwanta, M.A.,A. Rita Widiarti, S.Si.,M.Kom., Drs. S.R.L. Aji Sampurno, M.Hum.

Administrasi/Sirkulasi:Agnes Sri Puji Wahyuni, Bsc.

Maria Imaculata Rini Hendriningsih, S.E.Thomas A. Hermawan Martanto, Amd.

Alamat Redaksi:LPPM SADHAR

Mrican, Tromol Pos 29, Yogyakarta 55002Telepon: (0274) 513301, 515352, ext. 527

Fax: (0274) 562383.E-mail: [email protected]

Redaksi terbuka untuk menerima tulisan dalam bidang budaya, sosial,ekonomi, politik, hukum, dan religi dari pembaca. Tulisan ditulis berdasarkandisiplin ilmu masing-masing sehingga mempunyai landasan teori yang dapatdipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tulisan diketik pada kertas kuartodengan dua spasi, antara 15 - 20 halaman, dan dikirim ke alamat redaksi.

Page 3: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

KATA PENGANTAR

Dilihat dari sisi kehidupan manusia, teknologi dapat diandaikansebagai pedang bermata dua. Pada satu sisi, teknologi –sebagaimana motivasi awal penciptaannya – dimaksudkan untukmeningkatkan kapasitas kerja manusia. Dengan bantuan teknologi,manusia bekerja lebih ringan sekaligus produktivitasnya lebih tinggi.Pada sisi lain, secara tidak disadari teknologi dapat pula mengancamkehidupan manusia. Salah satu contohnya, sebagaimana diuraikanpada artikel yang berjudul “Refrigeran Pengganti Freon yang RamahLingkungan” yang ditulis oleh PK Purwadi, adalah penggunaan freonsebagai fluida kerja mesin pendingin (kulkas, frezeer, cold storage,dispenser, AC). Teknologi ini penggunaannya telah begitu dekat danmenyatu dengan kehidupan masyarakat sehingga dengan demikiantentu telah pula dirasakan memberikan kebermanfaatan yang tidakkecil bagi kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, tidak disadaribahwa freon juga mengancam kehidupan manusia. Hal ini disebabkanfreon mempunyai kemampuan membuat “lubang” ozon. Denganadanya lubang ozon, sinar ultraviolet dapat langsung ke permukaanbumi sehingga dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia;menimbulkan berbagai macam penyakit seperti katarak mata, kankerkulit, penurunan daya tahan tubuh, dan sebagainya. Selain itu,freon juga bisa menyebabkan kerusakan lingkungan: suhu di buminaik, iklim dan cuaca ikut berubah, rantai makanan di laut terusikdan terjadi percepatan kerusakan bahan alam maupun sintetik.Selain berpotensi merusak lapisan ozon, freon juga mempunyaipotensi menimbulkan pemanasan global yang tinggi.

Persoalannya adalah penggunaan freon telah terlanjur menyatudengan masyarakat dan masyarakat belum mengetahui teknologialternatif yang lain. Untuk menanggulangi bahaya yang mengancamkehidupan manusia itu, melenyapkan freon dari muka bumi ini tidaklah

Page 4: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Arah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi Indonesia

iv

mudah. Salah satu cara yang dapat ditempuh, sebagaimanadipaparkan oleh PK Purwadi, adalah menciptakan refrigeran baruyang “ramah lingkungan” sebagai pengganti freon dan kemudianmenginformasikannya kepada masyarakat. Dengan demikian,diharapkan penggunaan freon semakin terminimalisasikan.

Pada Jurnal Arah Reformasi Indonesia (ARI) nomor 34 ini jugadisajikan artikel yang berjudul “Membangun Kriteria RekonstruksiSejarah” yang ditulis oleh H. Purwanto. Dalam artikel yang keduatersebut dikemukakan bahwa sejarawan secara proporsionalmemiliki tanggung jawab untuk menjelaskan masa lampau. Namun,berdasarkan hasil kajian penulis, dari berbagai gagasan tentangpertanggungjawaban sejarawan terhadap hasil rekonstruksi yangtertuang akhir-akhir ini, tampaknya belum ada standar yang bakudan disepakati oleh sejarawan Indonesia tentang kriteria yang dapatdigunakan untuk mengukurnya. Penulis secara kritis mengulas kriteriapertanggungjawaban yang diajukan oleh beberapa sejarawanIndonesia, kemudian menyampaikan beberapa kriteria alternatifdalam rangka menggagas bagaimana sejarah dapat berperan sebagaipanduan yang efektif dan inspiratif bagi masyarakat masa kini dalammeraih kemajuan.

Akhirnya, pada jurnal ARI edisi ini disajikan artikel yang berjudul“Otonomi Daerah dan Masalahnya” yang ditulis oleh A. KardiyatWiharyanto. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa bangsaIndonesia telah menyelenggarakan Otonomi Daerah, namunkenyataannya masih menimbulkan berbagai kontroversi, bedapenafsiran dan pelaksanaan. Ada yang berpikir sebagai suatukesempatan mengapling, mengatur sendiri sebebas-bebasnya ataumemisahkan diri dari Pemerintahan Pusat. Pertanyaannya, “Mengapapelaksanaan Otonomi Daerah itu masih mengundang kontroversi?”Uraian dalam artikel ini mengemukakan jawaban terhadap pertanyaantersebut. Selamat membaca!

RedaksiI. Praptomo Baryadi

Page 5: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................ iii

DAFTAR ISI ..................................................................................... v

1. REFRIGERAN PENGGANTI FREON YANG RAMAHLINGKUNGAN ........................................................................... 11.1 Pendahuluan ......................................................................... 11.2 Refrigeran 134a ................................................................... 31.3 Refrigeran Petrozon............................................................. 51.4 Refrigeran Musicool ............................................................ 71.5 Refrigeran Hycool ............................................................... 91.6 Refrigeran CO2 .................................................................... 101.7 Penutup ................................................................................ 14Daftar Pustaka ............................................................................. 15

2. MEMBANGUN KRITERIA REKONSTRUKSI SEJARAH ....... 172.1 Pentingnya Kriteria .............................................................. 172.2 Alternatif Kriteria ................................................................. 182.3 Meninjau Kritik terhadap Historiografi Indonesia ............. 25Catatan ......................................................................................... 32

3. OTONOMI DAERAH DAN MASALAHNYA ............................ 353.1 Latar Belakang Otonomi Daerah ........................................ 363.2 Konsekuensi dari Otonomi Daerah.................................... 373.3 Masalah-masalah yang Kontroversi .................................... 393.4 Kekuatan dan Peluang ........................................................ 403.5 Kelemahan dan Ancaman ................................................... 40Daftar Pustaka ............................................................................. 42Catatan ......................................................................................... 43

Page 6: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

BIOGRAFI PENULIS

Ir. P.K. Purwadi, M.T. staf pengajar pada Program Studi Teknik Mesin,Fakultas Teknik, Universitas Sanata Dharma,Yogyakarta.

Drs. H. Purwanta, M.A. staf pengajar pada Program Studi SastraSejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Drs. A. Kardiyat Wiharyanto, M.M. staf pengajar pada Program StudiPendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Page 7: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

MEMBANGUNKRITERIA REKONSTRUKSI SEJARAH

H. Purwanta

2.1 Pentingnya Kriteria

Sejarawan secara profesional memiliki tanggung jawab untukmenjelaskan masa lampau. Dari berbagai gagasan tentangpertanggungjawaban sejarawan terhadap hasil rekonstruksi yangtertuang akhir-akhir ini, tampaknya belum ada standard yang bakudan disepakati oleh sejarawan Indonesia tentang kriteria yang dapatdigunakan untuk mengukurnya. Bambang Purwanto memberikanunsur-unsur manusiawi, mudah dipahami, menyenangkan danbermakna sebagai kriteria hasil rekonstruksi sejarah yang baik. Akantetapi, ketika membahas berbagai kelemahan yang terdapat dalamhistoriografi Indonesia, dia tidak menggunakan kriteria tersebutsebagai alat ukur. Dari kritiknya bahwa historiografi Indonesia dewasaini terjebak pada simplifikasi fenomena historis dan semakin menjauhdari sejarah obyektif, tampaknya obyektivitas dijadikan ukuran untukmenilai apakah suatu hasil rekonstruksi sejarah itu baik, kurang baikatau buruk.1

Berbeda dengan Bambang Pur wanto, Asvi Warman Adammengkritik bahwa historiografi Indonesia, ter utama sejarahnasionalnya, bersifat monolitis dan hanya memuat eksplanasi sangpemenang. Oleh karena itu, dia mengajukan usul untuk menempatkankeberagaman dan keberimbangan sebagai kriteria utama historiografiyang baik.2 Keberagaman dalam konteks ini adalah bahwa sejarahnasional Indonesia sudah seharusnya menggambarkan berbagai etnisdan kekuatan yang ada di Indonesia. Dalam kritiknya, Asvimenunjukkan etnis Tionghoa sebagai kelompok masyarakat Indonesia

Page 8: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Arah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi Indonesia

18

yang memberi sumbangan besar terhadap peradaban Indonesia, tetapitidak dimasukkan dalam sejarah nasional. Selain keberagaman,keberimbangan juga diusulkan menjadi kriteria. Dalam konteks ini,“sejarah korban” yang digelutinya menjadi alter natif untukmenyeimbangkan eksplanasi sejarah nasional.

Dari pandangan dua sejarawan yang akhir-akhir ini banyakmemperbincangkan keburaman sejarah Indonesia, tampak bahwakeduanya memiliki titik pijakan berbeda dalam melihat historiografiIndonesia. Bambang Purwanto mempertanyakan tingkat kebenaraneksplanasi, sedang Asvi menyoroti aspek kelengkapan eksplanasisebagai bentuk per tanggungjawaban profesional sejarawan.Keberbedaan tersebut sah, karena memang tidak ada atau belumada kriteria penilaian yang disepakati di antara para sejarawanIndonesia. Oleh karena itu, menjadi tidak lucu apabila antar keduanyaterlibat “perang”, kecuali untuk sensasi sesaat.

Ketiadaan standar baku yang disepakati secara profesional olehsejarawan, menjadikan siapapun tidak mungkin melakukan evaluasidengan hasil penilaian yang dapat diterima oleh umum secara rasional.Meskipun barangkali di antara para sejarawan nasional terdapatkesamaan pandangan bahwa wajah sejarah Indonesia carut marut,tetapi dapat dipastikan bahwa alasan masing-masing akan memilikiperbedaan yang cukup jauh, untuk tidak mengatakan ber tolakbelakang.

Kebutuhan akan kriteria yang diterima secara rasional oleh semuasejarawan mendesak untuk dipenuhi. Dengan kriteria tersebut,sejarawan dapat menggunakannya sebagai alat evaluasi dan refleksidiri tentang kerja profesional yang telah diperbuatnya selama periodewaktu tertentu. Berdasar hasil evaluasi yang telah dilakukan, sejarawanjuga dapat merencanakan pengembangan ke depan.

2.2 Alternatif Kriteria

Rekonstruksi sejarah seper ti pada umumnya sistem kerjaprofesional, dapat dievaluasi secara obyektif. Kriteria untuk menilaihasil suatu pekerjaan terutama adalah dari aspek pencapaian tujuan.Alasannya cukup sederhana, yaitu bahwa setiap tindakan manusiatentu memiliki tujuan. Ketika orang merasa haus dan meminum

Page 9: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Membangun Kriteria Rekonstruksi

19

segelas air, dalam dirinya tentu memiliki harapan agar air tersebutdapat menghilangkan rasa haus. Dengan contoh ini, kiranya mudahdipahami bahwa untuk menilai apakah tindakan tersebut berhasilatau gagal, ukuran yang digunakan adalah penghilangan rasa haussebagai pencapaian tujuan tindakan.

Apabila ditarik pada kasus usaha rekonstruksi sejarah yangdilakukan oleh para sejarawan, baik profesional maupun amatir, apatujuan usaha itu? Apa motivasi di balik kerja keras seorang sejarawanyang berhari-hari, bahkan bertahun-tahun, bergulat dengan sumber-sumber primer dan sekunder? Secara profesional tentu usaha kerastersebut dalam rangka menjelaskan peristiwa sejarah. Sampai padatitik ini, tampak bahwa penjelasan fenomena historis yang terjadidi masa lampau menjadi tujuan. Akan tetapi, apabila per tanyaandilanjutkan pada satu tingkat lebih mendalam, yaitu untuk apa peristiwasejarah itu dijelaskan kita akan sampai pada sasaran mendasar darirekonstruksi sejarah. Paling tidak ada tiga sasaran yang hendak dicapaioleh sebuah rekonstruksi sejarah, yaitu kultural sosial dan ilmiah.

2.2.1 Kultural

Setiap masyarakat, oleh karena kekhasan lingkungan fisikdan sosial ser ta keunikan pengalaman hidup, memiliki danmengembangkan sistem kehidupan yang khas atau unik. Meskipuntinggal di pulau yang sama, orang Jawa Barat mengembangkan sistemkehidupan yang berbeda dengan masyarakat Jawa Tengah maupunJawa Timur. Keunikan sistem kehidupan itulah yang disebut sebagaiidentitas kultural. Dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara, keunikantersebut merupakan kodrat alam.

Salah satu sifat kebudayaan adalah subyektif, yaitu bahwamasyarakat pendukung suatu kebudayaan akan meyakininya sebagaisistem kehidupan yang terbaik bagi mereka. Pemahaman itu secaraalamiah muncul sebagai kesimpulan terhadap tumpukan pengalamandan pengetahuan yang dikumpulkan dari generasi ke generasi. Sebagaicontoh, menyesuaikan perilaku manusia terhadap alam dipandangoleh masyarakat Indonesia mer upakan keutamaan, karenaditempatkan sebagai manifestasi tanggungjawab manusia untukmenjaga harmoni semesta. Keutamaan itu pada masyarakat Jawa

Page 10: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Arah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi Indonesia

20

terkristalisasi dengan ungkapan mamahayu hayuning bawana ataumenjaga keindahan dan kedamaian semesta. Untuk mencapaikeutamaan itu, masyarakat Indonesia menemukan metode yang khas,yaitu dengan melakukan mati raga dan hidup sederhana.

Dalam setiap masyarakat terdapat keutamaan-keutamaan yangmenjadi ciri khas atau identitas kultural. Sar tono Kar todirdjomenjelaskan identitas individu sebagai berikut:

... identitas adalah masalah kebutuhan dasar manusia. Tanpaidentitas, sukar bahkan mustahil melakukan komunikasi dalammasyarakat. Identitas mendefinisikan status dan peran seseorang,mencakup ciri-ciri pokok seseorang baik yang fisik maupun sosial-budaya... Jika seseorang kehilangan memori, antara lain karenasenilitas atau penyakit syaraf, timbullah pada dirinya kekacauandalam berkomunikasi dengan orang lain. Kecuali tidak mampumengenal identitas dirinya sendiri, dia juga tidak dapatmenentukan identitas orang lain. Akibatnya ialah miskomunikasiterus menerus.3

Dari penjelasan tentang identitas individu tersebut kiranya terdapatkesejajaran pemahaman bahwa identitas kultural mer upakankebutuhan dasar masyarakat dan sangat menentukan status dan perandalam kehidupan. Dinamika yang berlangsung sepanjang sejarahnyamerupakan usaha, baik dilakukan secara individu maupun kelompok,untuk mewujudkan keutamaan-keutamaan tersebut dalam kehidupannyata. Sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya dibangun olehmasyarakat untuk mewujudkan keutamaan hidup mereka. Dengankata lain berbagai aspek kehidupan, baik berupa norma, institusimaupun prasarana fisik dapat dirunut akarnya pada keutamaan hidupyang dijadikan identitas kolektif.

Dalam rangka mempertahankan identitas kolektifnya, masyarakatmenciptakan dan menggunakan berbagai cara, seperti penciptaanetika sosial dan sistem pendidikan dalam arti luas. Eksplanasi sejaraholeh hampir semua masyarakat di muka bumi ini ditempatkan sebagaisalah satu media yang efektif untuk mempertahankan identitasnya.Melalui eksplanasi sejarah yang dilakukan, diharapkan generasi barumenjadi memahami siapa diri mereka dan kemana hidup harusdiarahkan. Melalui rekontruksi sejarah diharapkan generasi baru

Page 11: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Membangun Kriteria Rekonstruksi

21

belajar berbagai keutamaan yang dijadikan landasan untukmengarungi dan memaknai kehidupan masa kini dan mendatang.

Salah satu contoh bagaimana masyarakat menghidupiidentitasnya dilakukan secara turun-temur un oleh masyarakatWotgaleh, meski saat ini kampungnya tergusur oleh pembangunanlapangan udara Maguwo (sekarang bandara Adisucipto). Merekamengidentifikasi diri sebagai “tukang berkelahi”. Identitas tersebutberakar dari keyakinan bahwa mereka merupakan pengikut setiaPangeran Purboyo, panglima perang sakti kerajaan Mataram danpemilik perdikan Wotgaleh, yang tidak pernah mengenal rasa takutuntuk membela kebenaran. Masyarakat Wotgaleh menghidupiidentitas kolektifnya dengan membuat eksplanasi sejarah tentangkehebatan Pangeran Purboyo yang disampaikan kepada generasi mudamelalui pertemuan rutin di Masjid Sulthoni. Identitas tersebut sampaisekarang tetap dihidupi, sehingga generasi baru mereka mewarisisikap pantang menyerah untuk meminta kembalinya kampungWotgaleh yang sekarang telah menjadi milik Adisucipto.

Hal yang sama juga dilakukan oleh bangsa Eropa ketika membuateksplanasi sejarahnya:

Why all the emphasis on the Greeks? It is because the Greeks werethe first people in ancient times who thought and acted much likeus. They displayed a keen intellectual curiosity, which led tospeculation on almost every subject. They also had a strongindividualistic spirit, and would not accept any law, rule or factjust because somebody.4

Salah satu sifat identitas kolektif adalah unik, sehingga modeleksplanasi sejarah pun bersifat unik. Masyarakat yang menempatkanindividualisme, rasionalisme dan empirisme sebagai keutamaan akanmemiliki model eksplanasi sejarah yang berbeda dengan masyarakatyang menempatkan kekerabatan dan keselarasan sebagai keutamaan.Perbedaan model eksplanasi juga dapat disimak pada masyarakattulis dan masyarakat lisan. Pada masyarakat berbudaya tulis, orangcenderung lebih mempercayai eksplanasi dan sumber yang berbentuktulisan dari pada lisan. Sebagai gambaran adalah perkembangan ilmusejarah. Pencarian sumber primer tertulis, seperti dokumen, catatanharian dan sebagainya, menjadi bagian yang sangat penting dalam

Page 12: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Arah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi Indonesia

22

ilmu sejarah. Tersendatnya perkembangan sejarah lisan di lainpihak merupakan manifestasi dari kekurangpercayaan terhadapsumber lisan.5

Sebaliknya, pada masyarakat berbudaya lisan, orang lebihmempercayai ucapan lisan daripada tulisan. Indonesia yang padaawalnya sebagai masyarakat yang berbudaya lisan, secara turun-temurun melakukan eksplanasi sejarah secara lisan. Masyarakatdengan tekun mendengarkan tetua yang mengkisahkan riwayat cikalbakal kampung mereka saat dilakukan upacara ruwahan. Bagi anggotamasyarakat yang segenerasi atau satu dua tingkat di bawah cikalbakal akan dapat secara lebih detil mengingat berbagai peristiwa yangdikisahkan oleh tetua kampung. Akan tetapi, seiring dengan perjalananwaktu dan pergantian sejumlah generasi, ingatan akan peristiwa detilmenipis dan tergantikan oleh ingatan tentang peristiwa secara globaldan akhirnya yang tertinggal adalah ingatan tentang nilai dari sebuahperistiwa yang dikisahkan. Pada tahap ini, fenomena historis yangdijelaskan sangat mungkin berubah bentuk menjadi cerita rakyat ataulegenda yang tidak jarang dibumbui dengan proses mistifikasi.

Meskipun terdapat perbedaan model eksplanasi sejarah antarkebudayaan, tetapi semuanya memiliki tujuan yang sama, yaitumewariskan identitas kultural. Dari perspektif ini, eksplanasi sejarahakan dipandang baik oleh masyarakat apabila mampu menjadi mediapewarisan identitas kolektif mereka. Eksplanasi sejarah yang mampumenjadikan generasi baru bangga terhadap kebudayaan dan menjadibagian dari masyarakat dimana mereka tinggal.

2.2.2 Sosial

Selain memiliki sasaran kultural, eksplanasi sejarah juga memilikisasaran untuk menjaga kohesivitas sosial kontemporer. Dalam rangkamencapai cita-cita kolektif, masyarakat menghadapi berbagaipermasalahan, baik berupa persaingan, konflik maupun perang, yangtidak jarang mengancam kepaduan kehidupan mereka sebagaikomunitas. Untuk memperoleh solusi yang tepat, masyarakat akanbertanya kepada sejarah. Dalam konteks ini, eksplanasi sejarah sudahseharusnya mampu menyumbang solusi terhadap problem aktual yangsedang dihadapi. Sejarah dikodratkan menjadi gedung arsip bagi

Page 13: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Membangun Kriteria Rekonstruksi

23

semua permasalahan yang pernah dialami oleh manusia. Oleh karenaitu, melalui koleksinya sejarah memiliki tanggungjawab untukmemberikan eksplanasi berbagai permasalahan yang memilikirelevansi tinggi terhadap problem aktual, sehingga masyarakat mampumengambil langkah yang tepat dalam usaha mengembalikankohesivitas sosialnya.

Salah satu usaha untuk menjadikan eksplanasi sejarah sebagaisumber solusi bagi problem aktual masyarakat adalah tulisan SartonoKartodirdjo saat menanggapi gejolak masyarakat di Way Jepara,Talangsari, Lampung. Dengan membahas gerakan protes petani akhirabad XIX dan awal abad XX, dia berusaha menyatakan bahwa terdapatkemiripan pola dengan gerakan protes di Way Jepara.

Dipandang dengan perspektif sejarah, Peristiwa Lampung tidakmerupakan kejutan sejarah karena dalam pola, struktur dankecenderungan tidak banyak berbeda dengan peristiwa-peristiwagerakan protes petani yang legio (massal) itu. Frekuensinya masakini jauh berkurang dan dengan pengetahuan kita mengenai sifatdan hakekatnya yang lebih luas, kiranya relatif lebih gampangjuga diketemukan pendekatan yang efektif dan bijaksana selarasdengan etos Bangsa Indonesia.6

Selain menegakkan harmoni kehidupan, sejarah jugabertanggungjawab atas terjaganya kohesivitas sosial. Sejarah memilikikewajiban ikut mendorong semua lapisan masyarakat untukmenjunjung tinggi berbagai kesepakatan publik yang telah dicapai.Melalui eksplanasi diakronisnya, sejarah memiliki kesempatan luasuntuk meninjau secara kritis berbagai kesepakatan publik, sehinggasetiap anggota masyarakat memiliki kebanggaan rasional untukmengikuti sistem yang berlaku.

2.2.3 Ilmiah

Dilihat dari genetika historis, sebetulnya sasaran ilmiah bukanmer upakan kodrat eksplanasi sejarah. Pada awalnya sasaranrekonstruksi sejarah hanya ada dua, yaitu kultural dan sosial. Sasaranilmiah merupakan sasaran kultural masyarakat Eropa. Sasaran itumelekat dalam diri penjelasan sejarah terjadi ketika kebudayaan Eropa(pada masa kini juga dikenal sebagai kebudayaan Barat) mendominasi

Page 14: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Arah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi Indonesia

24

dunia dan berbagai aspeknya ditempatkan sebagai ukuran kebenaranuniversal. Oleh karena kebudayaan Eropa antara lain menempatkanobyektivitas, rasionalitas dan empirisme sebagai kriteria kebenaran,maka sejarah sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuanmenempatkan ketiganya sebagai sasaran. Untuk mencapai sasaranilmiahnya, yaitu penjelasan sejarah yang obyektif, rasional dandidukung dengan bukti-bukti empiris, ilmu sejarah mengembangkanberbagai cara yang terangkum dalam metode sejarah.

Pada prosedur normal, seorang sejarawan akademis akanmemulai penjelasannya tentang peristiwa masa lampau denganmenentukan topik dan merumuskan permasalahan yang akan dikaji.Tahap selanjutnya sejarawan akan berusaha mengumpulkan bukti-bukti empiris, baik berupa artifak maupun mentifak, dengan berbagaicara. Setelah melakukan seleksi sumber untuk memilih bukti-buktiempiris yang signifikan, sejarawan akan melakukan kritik sumberdengan tujuan agar validitas bukti dapat terjamin. Pada berbagai bukumetode sejarah, kritik sumber dilakukan dengan dua cara, yaitu interndan ekstern. Dewasa ini kritik kebudayaan pembuat sumber semakinmemperoleh perhatian yang cukup untuk menjadi kritik sumber yangketiga. Dengan memahami pola pikir dan pola tindak atau konstrukmental pembuat sumber, sejarawan akan memahami maksud kataperkata yang disampaikan sumber, sehingga terhindar dari kesalahanpemaknaan saat pembacaan sumber. Konstruk mental seorang polisiakan berbeda dengan wartawan ketika menyampaikan suatu peristiwa.Hal itu juga berlaku pada dokumen-dokumen yang dibuat oleh pejabatBelanda saat menjajah Indonesia, karena dokumen itu akan menjadi“Indonesia menurut kaca mata kebudayaan Belanda”.

Tahap-tahap berikutnya adalah analisis, interpretasi danrekonstruksi.7 Pada tahap analisis, sejarawan memilah-milahkan datasesuai permasalahan yang diajukan dan menemukan hubungan ataukaitan antar data. Untuk menginterpretasi rangkaian data yang telahdianalisis, sejarawan akademik memiliki tiga pilihan, yaitu pemaknaandari luar yang dikenal dengan sebutan Covering Law Model ,pemaknaan dari dalam atau verstehen dan narrativisme.8 Pemaknaanmenggunakan Covering Law Model (CLM) mengasumsikan bahwatindakan manusia dipayungi oleh pola-pola umum atau hukum perilaku

Page 15: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Membangun Kriteria Rekonstruksi

25

manusia. CLM yang memperoleh popularitas pada pertengahan abadXX masuk ke Indonesia berkat jasa Sartono Kartodirdjo yang memberinama pendekatan multidimensional dan metode interdisipliner9 ataukemudian lebih dikenal sebagai Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial10.Kuntowijoyo memberikan berbagai contoh penggunaan teori-teoridan konsep Ilmu-ilmu sosial untuk menjelaskan peristiwa sejarah.11

Berbeda dengan CLM, pemaknaan dari dalam ber usahamemahami jalan pikiran pelaku sejarah, sehingga mampu menjelaskantindakan historis dari perspektif pelaku. Pemahaman tersebutdilakukan melalui proses pembacaan terhadap teks dan konteks yangterkait pada pelaku sejarah. Dewasa ini, pemaknaan dari dalam dikenaldengan nama hermeneutika dan semiotika.

Narrativisme adalah eksplanasi sejarah yang berbentuk kisah.Permasalahan yang dikaji biasanya terbatas pada apa, siapa, kapandan bagaimana suatu fenomena historis terjadi. Semenjak dominasieksplanasi sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam ilmusejarah di Indonesia, narrativisme terpinggirkan karena dipandangkurang mampu menjelaskan. Dewasa ini narrativisme kembalimemperoleh popularitas setelah beberapa dasawarsa tenggelam olehdominasi CLM, dengan alasan lebih mur ni atau tidak banyakmengandung bias interpretasi.

Tahap terakhir adalah rekonstruksi, yaitu penuangan hasilinterpretasi yang telah dilakukan oleh sejarawan dalam bentuk tulisanatau media lainnya.

2.3 Meninjau Kritik terhadap Historiografi Indonesia

Pada bagian ini, peninjauan terhadap historiografi Indonesiater utama difokuskan pada kritik yang muncul akhir-akhir ini,khususnya dari Bambang Purwanto dan Asvi Warman Adam. Telahdiawali sebelumnya bahwa kritik Bambang Pur wanto ditujukanterutama pada kebenaran eksplanasi sejarah ditinjau dari sejarahobyektif yang direkonstruksi oleh sejarawan. Apabila digunakankriteria di atas, kritik tersebut dapat dikategorikan pada sasaran ilmiah.Sinyalemen terjadinya simplifikasi eksplanasi sejarah sangat mungkinbenar, apabila tahap-tahap metode sejarah tidak diikuti dengan baik.

Page 16: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Arah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi Indonesia

26

Bukan rahasia lagi di kalangan sejarawan akademik, bahwalandasan teori sudah ditentukan pada saat tingkat perencanaan ataupersiapan penelitian. Fenomena ini terjadi sejak Covering Law Modelatau yang di Indonesia populer dengan nama pendekatan ilmu-ilmusosial memperoleh posisi terhormat. Dengan kata lain, dalampendekatan ilmu-ilmu sosial, sangat terbuka kemungkinan bagiseorang sejarawan untuk menentukan landasan teori yang hendakdigunakan bersamaan dengan saat penentuan topik, meski belummengumpulkan data. Langkah terbalik ini akan mampu mengefisiensibanyak hal, antara lain jumlah data yang harus dikumpulkan. Ketikaseorang sejarawan sudah menentukan untuk menggunakanpendekatan ekonomi, maka berbagai data yang tidak masuk padakategori ekonomi, meski seandainya memiliki signifikansi tinggiterhadap peristiwa sejarah yang ditelit i , t idak dipilih untukdikumpulkan. Dari sudut pandang ini, seleksi sumber sebenarnyasudah dilakukan bersamaan dengan pengumpulan sumber. Bahkanterbuka kemungkinan bagi sejarawan untuk menyingkirkan berbagaisumber yang memiliki signifikansi tinggi, sesuai dengan permasalahanyang diajukan, tetapi tidak cocok dengan landasan teori yang telahdibangun. Dengan kata lain, seleksi sumber tidak hanya terbatas padafaktor signifikansi sumber dengan peristiwa sejarah yang diteliti, tetapijuga kecocokan dengan landasan teori yang dibangun saat membuatrancangan penelitian. Penentuan landasan teori pada tahap palingawal juga mempermudah pelaksanaan analisis, karena alur analisistelah diberikan oleh ilmu-ilmu sosial. Sejarawan pada tahap ini lebihbanyak disibukkan dengan kerja kategorisasi sumber ke dalam alurpemikiran landasan teori.

Seleksi sumber berdasarkan pendekatan yang digunakan sertakecocokan dengan teori yang diterapkan akan memungkinkanterjadinya simplifikasi fenomena historis. Meskipun demikian, langkahtersebut bukan merupakan kesalahan. Alasan yang dapat digunakanadalah bahwa fenomena historis merupakan realitas yang kompleksdan tidak mungkin dikaji dalam satu dua penelitian. Dengan menyadariberbagai keterbatasan yang dimiliki sejarawan, pemilihan satuaspek kajian mer upakan langkah yang rasional dan dapatdipertanggungjawabkan secara akademik. Alasan lain yang realistisbahwa prosedur pengajuan proposal penelitian sejarah, baik pada level

Page 17: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Membangun Kriteria Rekonstruksi

27

S-1, S-2 maupun S-3, harus menyertakan landasan teori. Oleh karenaitu, selain tidak salah, penggunaan pendekatan dan landasan teorisejak awal tersebut juga legal.

Kritik Bambang Purwanto bahwa historiografi Indonesia semakinmenjauh dari sejarah obyektif perlu ditanggapi dengan jernih. Dariaspek metodis dan metodologis, kebenaran rekonstruksi sejarah tidakdiletakkan pada aspek obyektivitas dalam ar ti kesamaan antaraeksplanasi dengan peristiwa. Kajian filosofis menunjukkan bahwaobyektivitas tidak dapat digunakan sebagai ukuran dalam ilmu sejarah,karena peristiwa yang dikaji oleh sejarawan sudah hilang dan tidakmungkin dihadirkan kembali. Perbandingan antara obyek yang ditelitidengan hasil penelitian tidak dapat dilakukan. Ketidakmungkinanuntuk mengukur obyektivitas penjelasan sejarah bukan berarti dalamilmu sejarah tidak terdapat alat untuk mengukur kebenaran eksplanasi.Pengukuran kebenaran sejarah tidak dilakukan denganmembandingkan antara eksplanasi dan peristiwa sejarah, tetapi melaluipengukuran pada aspek koherensi dan korespondensi.12 Penjelasansejarah dinilai benar apabila uraiannya koheren dengan kebenaran-kebenaran yang telah disepakati oleh umum, khususnya hasil kajiankaum cerdik pandai. Sedangkan menur ut teori korespondensikebenaran eksplanasi sejarah ditentukan oleh kesesuaian antarapenjelasan sejarah dengan “kenyataan”. Sengaja kata kenyataan ditulisdalam tanda petik, karena kenyataan yang sebenarnya sudah hilangdan tidak lagi dapat dihadirkan kembali. Dari sudut pandang ini“kenyataan” adalah menurut perkiraan sejarawan yang pikirannyadipenuhi dengan berbagai kebenaran umum (common sense danteori). Dengan berlandas teori koherensi dan korespondensi, kiranyadapat diambil pemahaman bahwa: penjelasan sejarah diyakini benarapabila didukung dengan bukti-bukti empiris yang kuat dan alurnyasesuai dengan kebenaran umum (common sense dan teori). Untukmembuat kebenarannya semakin meyakinkan, penyampaianpenjelasan sejarah harus konsisten dan mengandung korelasi antarbagian-bagiannya.

Dengan kemustahilan obyektivitas sebagai ukuran kebenaranhasil rekonstruksi sejarah, kritik keterjebakan historiografi Indonesiadalam kondisi yang semakin jauh dari sejarah obyektif tidak dapatdiarahkan pada sasaran aspek metodis dan metodologis yang

Page 18: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Arah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi Indonesia

28

digunakan oleh sejarawan Indonesia. Kritik tersebut lebih tepat apabiladitempatkan pada sasaran etika keilmuan. Dalam bahasa yang berbeda,kritik tersebut hendak menyatakan bahwa sejarawan Indonesia kurangmemiliki curiosity dan komitmen yang tinggi terhadap ilmunya. Apabilahal itu terjadi, sekali-kali bukan merupakan kesalahan yang harusditangisi. Seperti telah disinggung pada awal pembahasan bagianini, yaitu bahwa sasaran ilmiah lahir dari kebudayaan Eropa yangmendasari pendidikannya dengan Trivium dan Quadrivium.13

Pertanyaannya adalah seberapa banyak sejarawan Indonesia yangmelalui pendidikan Trivium dan Quadrivium? Dengan menghitungnyasecara hati-hati, kiranya kita akan dapat memahami apabila banyakterjadi deviasi dan distorsi dalam historiografi Indonesia apabila dilihatdari kacamata historiografi Eropa.

Pertanyaan tentang pendidikan Trivium dan Quadrivium itusekali-kali bukan dimaksudkan untuk merendahkan kemampuansejarawan Indonesia, tetapi ingin menyatakan bahwa ada banyakhambatan socio-cultural yang menghadang sejarawan Indonesiasehingga mustahil untuk menjadi berjiwa sejarawan Eropa. Pertanyaanyang mungkin kita renungkan bersama adalah perlu danbermanfaatkah kita mendidik calon sejarawan Indonesia menjadiberetika keilmuan sejarawan Eropa? Tidak mampukah MasyarakatSejarawan Indonesia membangun etika keilmuan yang khas bagisejarawan Indonesia?

Terhadap kritik Asvi Warman Adam yang menyorot tentangketidaklengkapan dan ketidakberimbangan eksplanasi yang terdapatpada Sejarah Nasional Indonesia jilid I – VI, kiranya perlu ditanggapidengan terbuka. Realitas bahwa dari edisi pertama sampai terakhirbanyak kekurangan perlu diakui dan pembenahan berkala bukanmer upakan aib yang harus membuat malu para penyusunnya.Meskipun demikian, perlu disadari bersama pula bahwa menyusunSejarah Nasional untuk bangsa Indonesia yang memiliki banyak etnisjuga tidak mudah. Keterjebakan pada Jawa sentris perlu dengan sadardihindari, meski sulit untuk dipungkiri bahwa sejak jaman penjajahanberbagai peristiwa yang dapat terekam dalam dokumen, sebagianbesar tentang Jawa.

Page 19: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Membangun Kriteria Rekonstruksi

29

Keberadaan etnis Tionghoa yang tidak dijelaskan pada sejarahnasional Indonesia, seandainya memang merupakan kesengajaan,perlu dilakukan secara terbuka dan diberi alasan yang masuk akal.Hal yang sama juga berlaku terhadap etnis Hadrami. Apabila tidakada alasan yang kuat untuk mengeluarkannya, kedua etnis tersebutperlu diberi porsi yang memadai pada sejarah nasional Indonesia,sehingga peran masing-masing dalam sejarah Indonesia dapatdipahami bersama.

Tentang sejarah korban yang digagas oleh Asvi sebagai simbolperlunya keberimbangan porsi antara ekplanasi tentang pihakpemenang dan pihak yang kalah, kiranya sulit untuk diterapkan padasepanjang periode sejarah Indonesia. Hampir tidak mungkin, untuktidak mengatakan mustahil, merekonstruksi sejarah korban kebijakanDaendel dan Raf fles ketika menjalankan pemerintahan kolonial diIndonesia. Dari sudut pandang ini, sejarah korban akan mungkindirekonstruksi apabila pihak-pihak yang menjadi korban masih hidup.Dengan kata lain, rekonstruksi sejarah korban dapat dilakukanterutama pada masalah-masalah kontemporer atau bahkan peristiwa-peristiwa aktual yang kontroversial.

Meskipun banyak keterbatasan yang dimiliki oleh sejarah korban,berbagai usaha untuk membangun rekonsiliasi nasional antara parabekas tahanan politik 1965 dengan masyarakat Indonesia padaumumnya yang dilakukan oleh penggagas sejarah korban bersamakelompoknya patut diapresiasi tinggi, meski tetap terbuka lebarkemungkinan untuk tidak setuju dengan cara yang mereka tempuh.Usaha membangun rekonsiliasi tersebut menjadikan eksplanasisejarah memiliki relevansi dengan dan ikut menyumbang solusi padaproblem aktual masyarakat.14 Banyak problem aktual lain yangdihadapi bangsa Indonesia membutuhkan peran sejarawan, sepertikonflik antar suku dan berkembangnya Peraturan Daerah (Perda)Syariat.

Sejarah korban sebagai genre baru dalam ilmu sejarah dari aspekhistoriografis merupakan fenomena yang menarik. Apabila dilihatdari tiga kriteria di atas, sejarah korban merupakan kritik terhadapkecenderungan historiografi Indonesia yang kurang, bahkan tidak,memperhatikan sasaran sosial eksplanasi sejarah. Tidak ditunaikannya

Page 20: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Arah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi Indonesia

30

sasaran sosial dengan baik oleh eksplanasi sejarah mengakibatkanterjadinya banyak perilaku menyimpang dalam masyarakat, baik dikalangan elit maupun rakyat biasa. Bahkan pada tingkat ekstrim,penyimpangan berkembang sampai melahirkan kehendak untukmeruntuhkan Republik Indonesia.

Meski obyek kajian terbatas pada fenomena historis kontemporer,bahkan berfokus pada peristiwa 1965, kemunculan sejarah korbanmemberi kesadaran akan pentingnya sasaran sosial. Eksplanasi sejarahtidak hanya berkewajiban menunaikan tanggungjawab ilmiah, tetapijuga sudah seharusnya memenuhi tanggungjawab sosial, yaitu ikutmemecahkan problem-problem aktual masyarakat Indonesia. Topik-topik kajian sejarah sudah selayaknya mempertimbangkan unsurrelevansi dengan masyarakat kontemporer, sehingga masyarakat masakini merasa memiliki ikatan batin dengan masyarakat masa lampau.

Permasalahan yang terdapat pada sejarah korban adalah apakahpemojokan dan penganiayaan yang diterima oleh para korban, harusdieksplanasi dengan menampilkan penderitaan para korban besertafakta-fakta lain yang memojokkan dan menganiaya para pemenang?Apabila eksplanasi sejarah yang diproduksi hanya berisi fakta-faktayang memojokkan Orde Baru, tidaklah salah kekhawatiran sementarasejarawan aliran lain bahwa sejarah korban hanya akan melahirkaneksplanasi balas dendam dan pelestarian konflik.

Kajian-kajian lebih akhir tentang PKI dan pembunuhan massayang terjadi mendorong tidak hanya demitologisasi lebih lanjutterhadap sejarah resmi, tetapi lebih jauh lagi semakinmengkristalisasi historical resentment, jika tidak historical revenge.Bahkan dalam masyarakat kelihatan berkembang semacam“vigilanteisme” terhadap sejarah.15

Dengan kata lain, relevansi yang dimiliki oleh model eksplanasi sejarahkorban bukan untuk menegakkan kohesivitas sosial , tetapimelestarikan konflik yang mengarahkan masyarakat pada kehancuransosial.

Selain kemungkinan eksplanasi sejarah terjebak pada nuansabalas dendam, permasalahan lain yang dimiliki sejarah korban adalaheksplanasinya yang didominasi oleh kemalangan masyarakatIndonesia, baik berupa kecurangan para pemimpin maupun derita

Page 21: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Membangun Kriteria Rekonstruksi

31

rakyat kecil. Dipandang dari sudut ideologi perubahan, memangeksplanasi tentang kemalangan tersebut akan dapat menjadi cerminagar di masa mendatang, agar masyarakat terus-menerus berusahauntuk tidak akan mengulanginya lagi serta membangun kehidupanyang lebih baik di masa datang.

Perasaan malu terhadap bagian sejarah yang nista dan pahit itu,bahkan semestinya dapat ditumbuhkan sebagai sebuah kewajiban.Karena, perasaan malu itu selain sangat manusiawi, juga dapatmendorong tumbuhnya kebijakan (wisdom) kepada manusia lain,bahwa is dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari sejarah yangmemalukan itu dan untuk selanjutnya berusaha mengarahkanperjalanan sejarah di masa kini dan masa datang...... jangan pernah melupakan masa silam dan sejarah yang pahit,tetapi pada saat yang sama ia juga harus berusaha mengatasikepahitan itu dengan mentransformasikan maknanya melaluipenciptaan masa depan yang didasarkan pada keadaban (civility)di antara mereka yang pernah menjadi korban-korban sejarahdengan para pelaku kenistaan sejarah.16

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa kajian manajemenmenunjukkan bahwa kemajuan atau perkembangan dapat diperolehapabila manusia mampu menganalisis dengan tepat kekuatan(Strength), kelemahan (Weakness), peluang (Oppor tunity) danTantangan (Threat).17 Apabila perhatian hanya difokuskan padakelemahan-kelemahan yang dimiliki, gambaran untuk masa kini danmasa depan sebagian besar, bahkan mungkin keseluruhan, hanyalahtentang ancaman. Akibatnya berbagai peluang menjadi tidak dapatdimanfaatkan secara optimal. Sejajar dengan kajian manajementersebut, eksplanasi sejarah yang hanya memfokuskan pada peristiwayang oleh Azyumardi Azra disebut kenistaan sejarah, akan menjadikanberbagai kesempatan untuk meraih prestasi masa kini dankecemerlangan masa depan tidak dapat dimanfaatkan.

Selain kajian manajemen, kajian psikologis memberikanpemahaman yang lebih mendalam bahwa kemajuan ter utamaditentukan oleh kesadaran akan potensi diri, bakat, dan kekuatandiri, sehingga memungkinkan terbentuknya selfesteem.18 Dari sudutpandang ini, eksplanasi sejarah yang didominasi oleh kelemahan masalampau sangat sulit untuk dapat efektif mendampingi masyarakat masa

Page 22: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Arah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi IndonesiaArah Reformasi Indonesia

32

kini dalam meraih kemajuan. Sebaliknya, sejarah akan menjadipanduan efektif dan inspiratif bagi masyarakat dewasa ini apabilamampu mengeksplanasi tentang potensi diri, bakat dan kekuatanmasyarakat yang menjadikan mereka percaya diri dalam mengatasiproblem-problem yang muncul.

Catatan1 Lihat Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesia?!. Yogyakarta: Ombak,

2006, terutama bagian I. Bandingkan dengan pidato guru besarnya “ SejarawanAkademik dan Disorientasi Historiografi: Sebuah Otokritik” yang diterbitkan padaBambang Purwanto dan Asvi Warman Adam, Menggugat Historiografi Indonesia.Yogyakarta, Ombak, 2005.

2 Pemikiran Asvi tentang historiografi terutama terdapat pada “Pelurusan Sejarahdan Historiografi Alternatif ”, ibid.

3 Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Kompas, 2005, hlm.114-115.

4 http://www.xenohistorian.faithweb.com/index.html5 Bambang Purwanto membahas permasalahan ini dalam satu bab penuh untuk

mencoba meyakinkan bahwa sumber lisan tidak lebih rendah dari pada sumbertertulis. Lihat Bambang Purwanto, op cit., Bagian 2.

6 Sartono, 2005, op cit., hlm. 307 Pada berbagai buku metode sejarah, analisis dan interpretasi disatukan sebagai

tahap interpretasi. Menurut penulis, antara analisis dan interpretasi perludipisahkan karena memiliki sistem kerja yang berbeda. Analisis berkonsentrasipada pemilahan data dan penemuan relasi antar data, sedang interpretasi padapenyatuan semua data menjadi satu kesatuan yang utuh. Pemisahan semakintampak diperlukan apabila sumber sejarah yang digunakan adalah data kuantitatifyang membutuhkan analisis statistik.

8 Ketiganya dibahas secara padat dan menarik pada F.R. Ankersmit, Refleksi tentangSejarah. Terjemahan Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1987, bab VIII dan IX.

9 Lihat pada Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia:Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia, 1982. Pemikiran Sartono Kartodirdjo tentangpendekatan multidimensional dan metode interdispliner dapat disimak terutamapada Bagian Kedua.

10 Penamaan Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial terutama sejak diterbitkannya bukuSartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:Gramedia, 1992. Secara esensial pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial sama denganPendekatan Multidimensional dan Metode Interdispliner.

Page 23: ARAH R EFORMASI INDONESIA T

Membangun Kriteria Rekonstruksi

33

11 Lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, 2005, Bab 7,hlm. 108 – 125.

12 F.R. Ankersmit, loc cit.13 Trivium adalah mata kuliah wajib yang terdiri dari Grammar (Tata bahasa, teknik

berolah bahasa), Logic (Logika, teknik berolah pikir), dan Rhetoric (Retorika, teknikmengarahkan pendapat orang lain). Pada masa-masa kemudian Triviumberkembang menjadi Liberal Art yang merupakan mata kuliah-mata kuliah wajibbagi mahasiswa baru S-1 (undergraduate). Pada Abad Pertengahan ketiganyamerupakan prasyarat untuk mengambil Quadrivium yang terdiri arithmetic, geometry,music, dan astronomy. Keempatnya merupakan prasyarat untuk mengambil studifilsafat atau teologi.

14 Salah satu usaha yang menonjol dalam meyumbang solusi bagi kehidupanmasyarakat Indonesia dewasa ini dari pendukung sejarah korban adalah lahirnyaKomisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

15 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer. Jakarta: Gramedia, 2002, hlm.99.

16 Ibid., hlm 108 – 109.17 Analisis SWOT adalah strategi perencanaan yang secara umum digunakan untuk

membuat keputusan dalam rangka meraih suatu tujuan. Analisis SWOT pertamakali diperkenalkan oleh Albert Humphrey dari Stanford University. Lihat padahttp://en.wikipedia.org/wiki/SWOT-analysis.html

18 Kajian teori selfesteem dengan sangat menarik diberikan oleh Mark Rubin danMiles Hewstone, “Social Identity Theory’s Self-Esteem Hypothesis: A Reviewand Some Suggestions for Clarification” yang terdapat pada jurnal Personalityand Social Psychology Review, Vol. 2, No. 1.4042, tahun 1998. Download pada 20April 2007 dari http://72.14.235.104/search?q= cache:gXrWyTb5JkJ: intl-gpi.sagepub.com/cgi/external_ref%Faccess_num%3D10.1207/ s1532797/pspr.