ARAB SPRING, ARAB RISING?
-
Upload
hadza-min-fadhli-r -
Category
Documents
-
view
133 -
download
1
description
Transcript of ARAB SPRING, ARAB RISING?
ARAB SPRING = ARAB RISING?
Arab Spring dimulai dari sebuah rasa kecewa dan amarah yang dipendam oleh seorang
pedagang di Sidi Bouzid, Tunisia. Karena tak terima martabat dirinya dihinakan oleh
pejabat yang lalim, Bouazizi sang pedagang kemudian membakar dirinya sebagai
sebuah simbol pembebasan dan penuntutan terhadap rezim yang selama ini telah
menginjak-injak keadilan yang sudah seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari
seorang insan.
Tubuh Bouazizi boleh terbakar menjadi abu dilalap api, namun tidak dengan sukmanya.
Sukma Bouazizi telah menginspirasi rakyat-rakyat biasa di seantero jazirah Arab yang
semula tidak berani melawan lalimnya rezim otoriter untuk bergerak melangkah maju,
membangun sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kerakyatan.
Dalam waktu 1 tahun sejak peristiwa Bouazizi terjadi, negara-negara jazirah Arab
hingga Maghreb mulai melepaskan dirinya dari rantai tiran dan opresi, dan sejak saat
itulah, negara-negara ini mulai bergerak menuju sebuah proses demokratisasi yang
melibatkan rakyat sebagai aktor utama dalam perubahan.
Ada harapan besar setelah Arab Spring berlangsung. Melalui Arab Spring, peluang
bahwa negara-negara jazirah Arab dapat bangkit sebagai sebuah kekuatan baru di
konstelasi politik global dapat terjadi kembali – setelah pada tahun 1960an, Nasser telah
mencoba melakukan hal yang sama dengan memberikan Republik Persatuan Arab.
Dengan penyelarasan semangat pembebasan yang tersebar di seluruh jazirah Arab,
keyakinan untuk mewujudkan persatuan dan kekuatan itu terlihat dengan nyata sebagai
sebuah kenyataan objektif yang digerakkan oleh rakyat seluruh jazirah Arab, seperti
yang dijelaskan oleh Hassan Hanafi, seorang cendekiawan Mesir.1
Sekarang, setelah beberapa negara di jazirah Arab telah melakukan upaya demokratisasi
di Arab secara gradual dan konsekuen sebagai dampak dari Arab Spring, apakah
kebangkitan Arab bisa dikatakan mungkin terjadi? Jika iya, bagaimana gabungan
kekuatan dari dunia Arab dapat memainkan peran untuk mempengaruhi percaturan
politik dunia? Atau, jika tidak, apa yang kira-kira menyebabkan kebangkitan Arab
tersebut susah untuk tercapai? 1 Marc Lynch, The Big Think Behind the Arab Spring, http://foreignpolicy.com/articles/2011/11/28/the_big_think, diakses 1 Maret 2013
Sebuah Optimisme Baru untuk Perubahan Dunia
Sebuah semangat baru muncul setelah terjadinya Arab Spring. Banyak orang di dunia
yang masih tidak percaya bahwa rakyat diseantero jazirah Arab paham dan sadar akan
pentingnya membangun semangat keadilan dan demokrasi. Adanya kecenderungan dan
keberanian mendobrak penindasan inilah yang kemudian menginspirasi masyarakat
yang berada di belahan dunia lainnya, yaitu di benua Amerika untuk memulai sebuah
pergerakan baru bernama Occupy Wall Street. Masyarakat yang berada di Amerika juga
merasakan hal yang sama dengan masyarakat di jazirah Arab, yakni sebuah perasaan
tertindas oleh sebuah rezim yang tidak mendengar aspirasi rakyat. Menurut seorang
kolumnis di The Atlantic, Max Fisher, Arab Spring dan Occupy Wall Street merupakan
sebuah pertanda bahwa pergerakan rakyat dapat menembus batas-batas negara dan
kedaulatan yang selama ini menjadi faktor utama yang menentukan konstelasi politik
global.2 Kedua gerakan ini menunjukkan bahwa pada era globalisasi, gerakan rakyat
yang disokong oleh derasnya arus teknologi informasi tidak boleh dianggap
sembarangan bagi para pemangku kekuasaan yang hanya berjumlah 1% dari populasi
dunia, karena rakyat dapat menentukan dinamika politik dunia.
Hal seterusnya yang patut diperhatikan dari berlangsungnya Arab Spring adalah bahwa
gerakan rakyat ini kemudian turut mempengaruhi eksistensi sang polisi dunia, yakni
Amerika Serikat (AS). Saat gelombang demonstrasi berlangsung di jazirah Arab,
sebenarnya AS menanti dengan harap-harap cemas terhadap hasil dari Arab Spring. AS
sebenarnya mengharapkan bahwa proses demokrasi di Timur Tengah berlangsung
dengan baik dan aman, namun AS juga terkesan berhati-hati karena khawatir bahwa
momen demokratisasi akan dikuasai oleh kelompok Islamis. Selain itu, terdapat pula
pandangan dari seorang pakar Timur Tengah dari Middle East Institute, Allen L.
Keiswetter, menyatakan bahwa citra AS di mata generasi muda yang menggerakkan
Arab Spring menganggap AS sebagai sebuah kekuatan penyokong dari rezim yang
korup dan lalim. AS yang selama ini menjadi kekuatan penyokong bagi para rezim
otoriter di Timur Tengah kemudian harus mengatur sikap mereka supaya dapat
2 Max Fisher, Photo of the Day: Libyan Rebels Supports the Wall Street, http:// http://www.theatlantic.com/international/archive/2011/10/photo-of-the-day-libyan-rebels-support-occupy-wala-street/246910/, diakses 2 Maret 2013
mempertahankan pengaruh di Timur Tengah.3 Hal ini terlihat ketika AS memberikan
protes keras terhadap Hosni Mubarak pada tahun 2011.4 Saat ini, dalam menghadapi
masalah Timur Tengah – terutama dengan negara-negara demokratis di jazirah Arab,
AS mencoba untuk memasang posisi yang netral dan bersahabat melalui pendekatan
soft power untuk meyakinkan bahwa AS adalah sahabat bagi dunia Muslim. Adanya
fenomena demikian menunjukkan bahwa AS tidak menganggap bahwa kekuatan
demokrasi di jazirah Arab bukanlah merupakan hal yang dihadapi secara sepele, karena
kekuatan ini bisa jadi merupakan penggerak bagi al-wahdah al-‘Arabiyyah.
Namun, di sisi lain, kita perlu juga melihat bahwa upaya kebangkitan Arab di persada
dunia melalui Arab Spring masih bisa dipertayakan, terutama ketika kita melihat
konteks politik domestik di negara-negara seantero Jazirah Arab.
Tantangan tak Terselesaikan dari Arab Spring
Reformasi politik dan demokratisasi menjadi sebuah konsekuensi yang tidak
terhindarkan dari gelombang Arab Spring yang berdasarkan pada nilai-nilai keadilan
dan kerakyatan. Namun, upaya reformasi politik dan demokratisasi bukan hal yang
mudah untuk dijalankan di tengah masyarakat yang masih kaget dengan perubahan yang
drastis. Hal pertama yang membuat zeitgeist dari Arab Spring tidak dapat diresapi
secara baik oleh masyarakat Arab adalah adanya friksi politik yang terpendam antar
masyarakat, terutama pada masyarakat yang memiliki komposisi penduduk yang cukup
beragam dari sisi etnis dan agama. Di Mesir, misalnya, terdapat perpecahan antara pihak
Islamis dan liberalis yang mencoba untuk mengkontestasikan ide tentang bentuk dan
hukum negara. Liberalis yang diwakili oleh kelompok Koptik dan elemen masyarakat
urban menegah-ke-atas melawan ide Islamis yang mencoba untuk mendirikan sebuah
negara dengan basis Syari’ah. Hal tersebut juga terjadi di beberapa wilayah, seperti
misalnya Tunisia.
Adanya kontestasi antarpihak dalam mewujudkan sebuah pemerintahan yang dapat
memenuhi seluruh aspirasi dari masyarakat sipil seringkali berujung dalam beragam
3 Allen L. Keiswetter, The Arab Spring: Implications for US Policy and Interests, http://www.mei.edu/content/arab-spring-implications-us-policy-and-interests, diakses 2 Maret 20134 Oded Eran, “The United States Confront the Challenges in the Middle East”, Yoel Guzansky & Mark A. Heller (ed.), One Year of the Arab Spring: Global and Regional Implications (Memorandum No. 113), INSS Tel Aviv University, h.22
konflik. Dalam kurun 2011-2012, terjadi serangkaian krisis politik dan benturan
antarkelompok yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di Mesir. Di Tunisia, krisis
politik semakin menajam tatkala seorang pemimpin oposisi, Chokri Belaid, dibunuh
pada awal 2013. Melihat adanya ketidakstabilan dalam upaya demokratisasi, mungkin
kita bisa menganalisis hal ini dari teori transisi demokrasi yang diajukan oleh O’
Donnell dan Schmitter. Dalam bukunya yang berjudul Transition from Authoritarian
Rule, O’Donnell dan Schmitter mencoba untuk mengelaborasi bagaimana sebuah
transisi demokrasi berjalan.
Dalam pandangan O’Donnell dan Schmitter, terdapat dua pilihan dalam upaya transisi
demokrasi.5 Pilihan pertama adalah adanya konsolidasi antarelit yang kuat sehingga
mendukung sebuah proses demokrasi yang stabil dan berkelanjutan. Pilihan kedua
adalah bahwa masih belum adanya kesepakatan antarelit tentang bagaimana negara akan
dibawa setelah proses demokratisasi yang pada akhirnya menyebabkan gejolak politik
massa yang besar. Mencermati kondisi umum yang berkembang pada negara-negara
jazirah Arab setelah Arab Spring, kita cenderung melihat bahwa pilihan kedua
sepertinya menjadi sebuah pilihan yang tak terhindarkan. Hal ini patut disadari karena
kita dapat melihat terjadinya faksionalisasi elit di Mesir (Ikhwan vs. Liberal), Tunisia
(Ennahda vs. Sosialis-Sekuler), dan Libya (Islamis vs Liberalis). Dalam menghadapi
fenomena semacam ini, diperlukan pembentukan pakta politik antarkelompok untuk
membangun sebuah pemerintah konsosiasonal/korporatis. Namun sepertinya, hal ini
belum dapat terwujud di jazirah Arab selama masing-masing pihak bertahan dengan
posisi dan ideologinya masing-masing.
Hal kedua: tidak semuanya benar-benar terkena dampak positif Arab Spring. Ada
negara yang masih tidak dapat lepas dari kekangan rezim otoriter sebagai konsekuensi
pembangunan kekuatan militer selama berpuluh tahun lamanya. Hal ini tampak di
Bahrain, Yaman dan Suriah, dimana pihak militer masih menempati posisi dominan.
Walaupun demonstrasi berlangsung dalam skala yang luas di Bahrain, Yaman dan
Suriah, namun kekuatan militer dan politik yang dimiliki oleh pemimpin negara tersebut
ternyata mampu membendung gelombang Arab Spring, walaupun secara perlahan
bendungan tersebut mulai terkikis oleh adanya perlawanan dari faksi oposisi yang mulai 5 Kris Nugroho, “Konsolidasi Demokrasi”, Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XIV, No. 2, April 2001, h. 27
menggerakkan kekuatan militer. Di Suriah, perlawanan faksi oposisi yang dipimpin
oleh Syrian National Council ini membawa implikasi serius bagi keamanan regional di
Timur Tengah, dimana banyak pihak, seperti Rusia, Cina, AS, dan Iran terlibat dalam
upaya proxy war untuk memperebutkan pengaruh di Suriah.
Selain itu, tidak semua negara di jazirah Arab mengembangkan sebuah antusiasme yang
sama dalam memandang Arab Spring. Walaupun beberapa negara di kawasan Teluk,
seperti misalnya Qatar secara aktif menyokong pergerakan Arab Spring dengan
memberikan bantuan materil serta immateril. Namun negara lainnya, seperti misalnya
Arab Saudi, Maroko, dan Sudan nampaknya tidak memberikan dukungan yang begitu
antusias terkait Arab Spring. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi internal negara
masing-masing yang masih menghadapi permasalahan dalam isu hak asasi manusia dan
demokrasi.
Kesimpulan
Di tengah segala dinamika dan problematika yang dihadapi oleh jazirah Arab,
sebenarnya kita dapat menarik satu kesimpulan utama: sebenarnya harapan kebangkitan
Arab di persada dunia tidak sirna. Setidaknya kebangkitan ini tidak akan sirna karena
kesadaran yang ditumbuhkan muncul dari rakyat. Berbeda dari gerakan kebangkitan
Arab sebelumnya yang dipimpin, digerakkan dan dikawal oleh kalangan elit, rakyat-lah
yang menjadi penggerak dan pengawal Arab Spring guna memastikan supaya sejarah
tidak berputarbalik menuju ke arah rejim tiran dan lalim. Mungkin perlu waktu bagi
rakyat di seantero jazirah Arab untuk membangun sebuah kesadaran kolektif melalui
kerjasama yang lebih selaras di sektor politik, ekonomi dan sosial-budaya.
Sekitar abad ke-19, seorang penyair Lebanon bernama Ibrahim al-Yaziji pernah
menuliskan sajak “..tanabbahu wa isytafiqu ya ayyuhal ‘Arabu!” – bangkit dan
bangunlah bangsa Arab!
..dan semoga syair ini bukanlah impian yang tertunda lagi bagi bangsa Arab.