ARAB SPRING, ARAB RISING?

8
ARAB SPRING = ARAB RISING? Arab Spring dimulai dari sebuah rasa kecewa dan amarah yang dipendam oleh seorang pedagang di Sidi Bouzid, Tunisia. Karena tak terima martabat dirinya dihinakan oleh pejabat yang lalim, Bouazizi sang pedagang kemudian membakar dirinya sebagai sebuah simbol pembebasan dan penuntutan terhadap rezim yang selama ini telah menginjak-injak keadilan yang sudah seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari seorang insan. Tubuh Bouazizi boleh terbakar menjadi abu dilalap api, namun tidak dengan sukmanya. Sukma Bouazizi telah menginspirasi rakyat-rakyat biasa di seantero jazirah Arab yang semula tidak berani melawan lalimnya rezim otoriter untuk bergerak melangkah maju, membangun sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kerakyatan. Dalam waktu 1 tahun sejak peristiwa Bouazizi terjadi, negara- negara jazirah Arab hingga Maghreb mulai melepaskan dirinya dari rantai tiran dan opresi, dan sejak saat itulah, negara-negara ini mulai bergerak menuju sebuah proses demokratisasi yang melibatkan rakyat sebagai aktor utama dalam perubahan. Ada harapan besar setelah Arab Spring berlangsung. Melalui Arab Spring, peluang bahwa negara-negara jazirah Arab dapat bangkit sebagai sebuah kekuatan baru di konstelasi politik global dapat terjadi kembali – setelah pada tahun 1960an, Nasser telah mencoba melakukan hal yang sama dengan

description

Hanya sekadar sebuah tulisan

Transcript of ARAB SPRING, ARAB RISING?

Page 1: ARAB SPRING, ARAB RISING?

ARAB SPRING = ARAB RISING?

Arab Spring dimulai dari sebuah rasa kecewa dan amarah yang dipendam oleh seorang

pedagang di Sidi Bouzid, Tunisia. Karena tak terima martabat dirinya dihinakan oleh

pejabat yang lalim, Bouazizi sang pedagang kemudian membakar dirinya sebagai

sebuah simbol pembebasan dan penuntutan terhadap rezim yang selama ini telah

menginjak-injak keadilan yang sudah seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari

seorang insan.

Tubuh Bouazizi boleh terbakar menjadi abu dilalap api, namun tidak dengan sukmanya.

Sukma Bouazizi telah menginspirasi rakyat-rakyat biasa di seantero jazirah Arab yang

semula tidak berani melawan lalimnya rezim otoriter untuk bergerak melangkah maju,

membangun sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kerakyatan.

Dalam waktu 1 tahun sejak peristiwa Bouazizi terjadi, negara-negara jazirah Arab

hingga Maghreb mulai melepaskan dirinya dari rantai tiran dan opresi, dan sejak saat

itulah, negara-negara ini mulai bergerak menuju sebuah proses demokratisasi yang

melibatkan rakyat sebagai aktor utama dalam perubahan.

Ada harapan besar setelah Arab Spring berlangsung. Melalui Arab Spring, peluang

bahwa negara-negara jazirah Arab dapat bangkit sebagai sebuah kekuatan baru di

konstelasi politik global dapat terjadi kembali – setelah pada tahun 1960an, Nasser telah

mencoba melakukan hal yang sama dengan memberikan Republik Persatuan Arab.

Dengan penyelarasan semangat pembebasan yang tersebar di seluruh jazirah Arab,

keyakinan untuk mewujudkan persatuan dan kekuatan itu terlihat dengan nyata sebagai

sebuah kenyataan objektif yang digerakkan oleh rakyat seluruh jazirah Arab, seperti

yang dijelaskan oleh Hassan Hanafi, seorang cendekiawan Mesir.1

Sekarang, setelah beberapa negara di jazirah Arab telah melakukan upaya demokratisasi

di Arab secara gradual dan konsekuen sebagai dampak dari Arab Spring, apakah

kebangkitan Arab bisa dikatakan mungkin terjadi? Jika iya, bagaimana gabungan

kekuatan dari dunia Arab dapat memainkan peran untuk mempengaruhi percaturan

politik dunia? Atau, jika tidak, apa yang kira-kira menyebabkan kebangkitan Arab

tersebut susah untuk tercapai? 1 Marc Lynch, The Big Think Behind the Arab Spring, http://foreignpolicy.com/articles/2011/11/28/the_big_think, diakses 1 Maret 2013

Page 2: ARAB SPRING, ARAB RISING?

Sebuah Optimisme Baru untuk Perubahan Dunia

Sebuah semangat baru muncul setelah terjadinya Arab Spring. Banyak orang di dunia

yang masih tidak percaya bahwa rakyat diseantero jazirah Arab paham dan sadar akan

pentingnya membangun semangat keadilan dan demokrasi. Adanya kecenderungan dan

keberanian mendobrak penindasan inilah yang kemudian menginspirasi masyarakat

yang berada di belahan dunia lainnya, yaitu di benua Amerika untuk memulai sebuah

pergerakan baru bernama Occupy Wall Street. Masyarakat yang berada di Amerika juga

merasakan hal yang sama dengan masyarakat di jazirah Arab, yakni sebuah perasaan

tertindas oleh sebuah rezim yang tidak mendengar aspirasi rakyat. Menurut seorang

kolumnis di The Atlantic, Max Fisher, Arab Spring dan Occupy Wall Street merupakan

sebuah pertanda bahwa pergerakan rakyat dapat menembus batas-batas negara dan

kedaulatan yang selama ini menjadi faktor utama yang menentukan konstelasi politik

global.2 Kedua gerakan ini menunjukkan bahwa pada era globalisasi, gerakan rakyat

yang disokong oleh derasnya arus teknologi informasi tidak boleh dianggap

sembarangan bagi para pemangku kekuasaan yang hanya berjumlah 1% dari populasi

dunia, karena rakyat dapat menentukan dinamika politik dunia.

Hal seterusnya yang patut diperhatikan dari berlangsungnya Arab Spring adalah bahwa

gerakan rakyat ini kemudian turut mempengaruhi eksistensi sang polisi dunia, yakni

Amerika Serikat (AS). Saat gelombang demonstrasi berlangsung di jazirah Arab,

sebenarnya AS menanti dengan harap-harap cemas terhadap hasil dari Arab Spring. AS

sebenarnya mengharapkan bahwa proses demokrasi di Timur Tengah berlangsung

dengan baik dan aman, namun AS juga terkesan berhati-hati karena khawatir bahwa

momen demokratisasi akan dikuasai oleh kelompok Islamis. Selain itu, terdapat pula

pandangan dari seorang pakar Timur Tengah dari Middle East Institute, Allen L.

Keiswetter, menyatakan bahwa citra AS di mata generasi muda yang menggerakkan

Arab Spring menganggap AS sebagai sebuah kekuatan penyokong dari rezim yang

korup dan lalim. AS yang selama ini menjadi kekuatan penyokong bagi para rezim

otoriter di Timur Tengah kemudian harus mengatur sikap mereka supaya dapat

2 Max Fisher, Photo of the Day: Libyan Rebels Supports the Wall Street, http:// http://www.theatlantic.com/international/archive/2011/10/photo-of-the-day-libyan-rebels-support-occupy-wala-street/246910/, diakses 2 Maret 2013

Page 3: ARAB SPRING, ARAB RISING?

mempertahankan pengaruh di Timur Tengah.3 Hal ini terlihat ketika AS memberikan

protes keras terhadap Hosni Mubarak pada tahun 2011.4 Saat ini, dalam menghadapi

masalah Timur Tengah – terutama dengan negara-negara demokratis di jazirah Arab,

AS mencoba untuk memasang posisi yang netral dan bersahabat melalui pendekatan

soft power untuk meyakinkan bahwa AS adalah sahabat bagi dunia Muslim. Adanya

fenomena demikian menunjukkan bahwa AS tidak menganggap bahwa kekuatan

demokrasi di jazirah Arab bukanlah merupakan hal yang dihadapi secara sepele, karena

kekuatan ini bisa jadi merupakan penggerak bagi al-wahdah al-‘Arabiyyah.

Namun, di sisi lain, kita perlu juga melihat bahwa upaya kebangkitan Arab di persada

dunia melalui Arab Spring masih bisa dipertayakan, terutama ketika kita melihat

konteks politik domestik di negara-negara seantero Jazirah Arab.

Tantangan tak Terselesaikan dari Arab Spring

Reformasi politik dan demokratisasi menjadi sebuah konsekuensi yang tidak

terhindarkan dari gelombang Arab Spring yang berdasarkan pada nilai-nilai keadilan

dan kerakyatan. Namun, upaya reformasi politik dan demokratisasi bukan hal yang

mudah untuk dijalankan di tengah masyarakat yang masih kaget dengan perubahan yang

drastis. Hal pertama yang membuat zeitgeist dari Arab Spring tidak dapat diresapi

secara baik oleh masyarakat Arab adalah adanya friksi politik yang terpendam antar

masyarakat, terutama pada masyarakat yang memiliki komposisi penduduk yang cukup

beragam dari sisi etnis dan agama. Di Mesir, misalnya, terdapat perpecahan antara pihak

Islamis dan liberalis yang mencoba untuk mengkontestasikan ide tentang bentuk dan

hukum negara. Liberalis yang diwakili oleh kelompok Koptik dan elemen masyarakat

urban menegah-ke-atas melawan ide Islamis yang mencoba untuk mendirikan sebuah

negara dengan basis Syari’ah. Hal tersebut juga terjadi di beberapa wilayah, seperti

misalnya Tunisia.

Adanya kontestasi antarpihak dalam mewujudkan sebuah pemerintahan yang dapat

memenuhi seluruh aspirasi dari masyarakat sipil seringkali berujung dalam beragam

3 Allen L. Keiswetter, The Arab Spring: Implications for US Policy and Interests, http://www.mei.edu/content/arab-spring-implications-us-policy-and-interests, diakses 2 Maret 20134 Oded Eran, “The United States Confront the Challenges in the Middle East”, Yoel Guzansky & Mark A. Heller (ed.), One Year of the Arab Spring: Global and Regional Implications (Memorandum No. 113), INSS Tel Aviv University, h.22

Page 4: ARAB SPRING, ARAB RISING?

konflik. Dalam kurun 2011-2012, terjadi serangkaian krisis politik dan benturan

antarkelompok yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di Mesir. Di Tunisia, krisis

politik semakin menajam tatkala seorang pemimpin oposisi, Chokri Belaid, dibunuh

pada awal 2013. Melihat adanya ketidakstabilan dalam upaya demokratisasi, mungkin

kita bisa menganalisis hal ini dari teori transisi demokrasi yang diajukan oleh O’

Donnell dan Schmitter. Dalam bukunya yang berjudul Transition from Authoritarian

Rule, O’Donnell dan Schmitter mencoba untuk mengelaborasi bagaimana sebuah

transisi demokrasi berjalan.

Dalam pandangan O’Donnell dan Schmitter, terdapat dua pilihan dalam upaya transisi

demokrasi.5 Pilihan pertama adalah adanya konsolidasi antarelit yang kuat sehingga

mendukung sebuah proses demokrasi yang stabil dan berkelanjutan. Pilihan kedua

adalah bahwa masih belum adanya kesepakatan antarelit tentang bagaimana negara akan

dibawa setelah proses demokratisasi yang pada akhirnya menyebabkan gejolak politik

massa yang besar. Mencermati kondisi umum yang berkembang pada negara-negara

jazirah Arab setelah Arab Spring, kita cenderung melihat bahwa pilihan kedua

sepertinya menjadi sebuah pilihan yang tak terhindarkan. Hal ini patut disadari karena

kita dapat melihat terjadinya faksionalisasi elit di Mesir (Ikhwan vs. Liberal), Tunisia

(Ennahda vs. Sosialis-Sekuler), dan Libya (Islamis vs Liberalis). Dalam menghadapi

fenomena semacam ini, diperlukan pembentukan pakta politik antarkelompok untuk

membangun sebuah pemerintah konsosiasonal/korporatis. Namun sepertinya, hal ini

belum dapat terwujud di jazirah Arab selama masing-masing pihak bertahan dengan

posisi dan ideologinya masing-masing.

Hal kedua: tidak semuanya benar-benar terkena dampak positif Arab Spring. Ada

negara yang masih tidak dapat lepas dari kekangan rezim otoriter sebagai konsekuensi

pembangunan kekuatan militer selama berpuluh tahun lamanya. Hal ini tampak di

Bahrain, Yaman dan Suriah, dimana pihak militer masih menempati posisi dominan.

Walaupun demonstrasi berlangsung dalam skala yang luas di Bahrain, Yaman dan

Suriah, namun kekuatan militer dan politik yang dimiliki oleh pemimpin negara tersebut

ternyata mampu membendung gelombang Arab Spring, walaupun secara perlahan

bendungan tersebut mulai terkikis oleh adanya perlawanan dari faksi oposisi yang mulai 5 Kris Nugroho, “Konsolidasi Demokrasi”, Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XIV, No. 2, April 2001, h. 27

Page 5: ARAB SPRING, ARAB RISING?

menggerakkan kekuatan militer. Di Suriah, perlawanan faksi oposisi yang dipimpin

oleh Syrian National Council ini membawa implikasi serius bagi keamanan regional di

Timur Tengah, dimana banyak pihak, seperti Rusia, Cina, AS, dan Iran terlibat dalam

upaya proxy war untuk memperebutkan pengaruh di Suriah.

Selain itu, tidak semua negara di jazirah Arab mengembangkan sebuah antusiasme yang

sama dalam memandang Arab Spring. Walaupun beberapa negara di kawasan Teluk,

seperti misalnya Qatar secara aktif menyokong pergerakan Arab Spring dengan

memberikan bantuan materil serta immateril. Namun negara lainnya, seperti misalnya

Arab Saudi, Maroko, dan Sudan nampaknya tidak memberikan dukungan yang begitu

antusias terkait Arab Spring. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi internal negara

masing-masing yang masih menghadapi permasalahan dalam isu hak asasi manusia dan

demokrasi.

Kesimpulan

Di tengah segala dinamika dan problematika yang dihadapi oleh jazirah Arab,

sebenarnya kita dapat menarik satu kesimpulan utama: sebenarnya harapan kebangkitan

Arab di persada dunia tidak sirna. Setidaknya kebangkitan ini tidak akan sirna karena

kesadaran yang ditumbuhkan muncul dari rakyat. Berbeda dari gerakan kebangkitan

Arab sebelumnya yang dipimpin, digerakkan dan dikawal oleh kalangan elit, rakyat-lah

yang menjadi penggerak dan pengawal Arab Spring guna memastikan supaya sejarah

tidak berputarbalik menuju ke arah rejim tiran dan lalim. Mungkin perlu waktu bagi

rakyat di seantero jazirah Arab untuk membangun sebuah kesadaran kolektif melalui

kerjasama yang lebih selaras di sektor politik, ekonomi dan sosial-budaya.

Sekitar abad ke-19, seorang penyair Lebanon bernama Ibrahim al-Yaziji pernah

menuliskan sajak “..tanabbahu wa isytafiqu ya ayyuhal ‘Arabu!” – bangkit dan

bangunlah bangsa Arab!

..dan semoga syair ini bukanlah impian yang tertunda lagi bagi bangsa Arab.