apendisits

download apendisits

of 30

Transcript of apendisits

  • 7/22/2019 apendisits

    1/30

  • 7/22/2019 apendisits

    2/30

    1. LANDASAN TEORI1.1 Apendisitis Akut1.1.1Definisi

    Apendisitis akut merupakan peradangan pada apendiks yang diawali oleh

    proses obstruksi penyumbatan lumen apendiks oleh mucus, fekalit, atau benda

    asing yang diikuti oleh proses inflamasi dan infeksi bakteri.

    1.1.2InsidensApendisitis akut merupakan salah satu penyakit yang paling sering

    ditemukan dari seluruh kasus abdomen akut. Dapat terjadi pada semua tingkat

    usia dan paling sering menyerang pada usia dekade kedua dan ketiga. Jarang

    dijumpai pada bayi, mungkin disebabkan oleh kemungkinan konfigurasi dari

    organ itu sendiri yang tidak memungkinkan untuk terjadinya obstruksi

    lumen.Terdapat hubungan antara banyaknya jaringan limfoid pada apendiks

    dengan kejadian kasus apendisitis akut, selain itu Faktor diet dan genetik juga

    memegang peranan

    Di Amerika sekitar 7% penduduk menjalani apendektomi dengan insidens

    1,1/ 1000 penduduk pertahun,sedang di Negara Negara barat sekitar 16%. Di

    Afrika dan asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh

    karena pola dietnya yang mengikuti orang barat.

    Komplikasi peritonitis dari apenditis akut tertinggi pada anak dan orang tua.

    Pada umumnya insidens pada laki laki sedikit lebih tinggi dibanding wanita. Di

    Indonesia insidens apendisitis akut jarang dilaporkan Ruchiyat dkk. (1983)

    mendapatkan insidens apendisitis akut pada pria 242 sedang pada wanita 218 dari

    keseluruhan 460 kasus. Di Swedia Anderson dkk. (1994) menemukan jumlah

    kasus pada laki- laki lebih rendah sedangkan John dkk (1993) melaporkan 64

    wanita dan 47 wanita denga umur rata rata 28 tahun menderita apenditis akut

    dengan menggunakan USG sebagai alat diagnostik.

  • 7/22/2019 apendisits

    3/30

    1.1.3EtiopatogenesisApendisitis disebabkan oleh obstruksi pada luman apendiks oleh

    hyperplasia limfoid, infeksi, stasis feses (fekalith), parasit ataupun kadang oleh

    neoplasma ataupun benda asing. Hiperplasia limfoid berhubungan dengan

    penyakit crohn, mononukleosis infeksiosa, measless, dan infeksi pada traktus

    digestivus dan respiratorius. Adanya obstruksi ini akan meningkatkan tekanan

    dalam lumen dan terus meningkat karena adanya produksi mukus mukosa.

    kemudian akan terjadi multiplikasi bakteri yang akan menyebabkanterjadinya

    lekositosis dan pembentukan pus. Proses obstruksi ini akan mengikuti closed

    loop obstruction yang menimbulkan sumbatan di bagian proksimal. Sekresi 0,5

    ml mucus akan menyebabkan kenaikan intra lumen hingga 60 cm H2O.

    Peninggian tekanan akan menyebabkan hambatan aliran limfe yang menyebabkan

    timbulnya edema, yang disertai dengan hambatan aliran vena dan arteri keadaan

    ini menyebabkan timbulnya iskemia dan nekrose hingga kemungkinan terjadinya

    perforasi jika proses terus berlanjut. Perforasi terjadi pada daerah yang gangrene

    sehingga pus dan produksi infeksi akan mengalir ke rongga abdomen dan

    menimbulkan peritonitis menyeluruh dan bahkan abses sekunder. Perforasi dapat

    terjadi dalam 6 jam sejak mulai timbulnya gejala tetapi biasanya jarang terjadi

    sebelum 24 jam.

    Mekanisme pertahanan tubuh akan berusaha melokalisir tempat infeksi dan

    omentum akan membungkus daerah tersebut (walling off). Pembungkusan ini

    tidak jarang melibatkan lengkung lengkung usus halus, sekum, kolon dan

    peritoneum sehingga terjadi suatu gumpalan massa phlegmon yang melekat erat

    dan sukar dipisahkan dan dibedakan dari struktur asalnya. Keadaan ini akan

    menyebabkan keadaan yang disebut sebagai periapendikuler infiltrat dimanamekanisme pertahanan tubuh dianggap berhasil melokalisir daerah infeksi.

    Periapendikuler infiltrate berupa massa phlegmon yang terdiri dari apendiks,

    usus, omentum, dan peritoneum dengan sedikit atau tanpa penggumpalan nanah.

    Apabila usaha tubuh untuk melokalisir infeksi dengan walling off belum

    sempurna oleh karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau kondisi penderita

    yang kurang baik misal pada anak,orang tua, ataupun wanita hamil maka

    terbentuklah apendikuler yang masih bebas. Pada saat ini perlekatan yang terjadi

  • 7/22/2019 apendisits

    4/30

    belum erat dan masih dapat dibebaskan secara tumpul. Perforasi merupakan

    stadium terminal apendisitis yang masih mungkin terjadi walling off. Pada

    walling off sempurna akan terbentuk abses primer sedang yang tidak sempurna

    akan terjadi abses sekunder yaitu abses yang terbentuk tidak pada tempat

    peradangan tersebut. Sesungguhnya sukar untuk membedakan secara klinis

    apakah massa yang teraba terfikser merupakan suatu periapendikuler infiltrat atau

    abses primer apendiks.

    1.1.4Kriteria PatologiPada permulaan apendisitis, infeksi hanya terbatas pada mukosa dan disebut

    sebagai apendisitis inkomplit atau apendisitis mukosa. Apabila infeksi meluas

    lebih dalam hingga ke lapisan otot dan serosa disebut apenditis komplit yang

    meliputi apendisitis phlegmonosa, apendisitis supuratif, dan apendisitis

    gangrenosa. Apendisitis mukosa merupakan peradangan atau ulserasi yang

    terbatas pada mukosa. Secara mikroskopis tampak sebukan lekosit

    polimorfonuklear pada lapisan stroma. Apendisitis phlegmonosa tampak apendiks

    membengkak, kongestif dan sedikit fibrin pada permukaanya bila apendiks

    dipotong cairan purulen akan keluar dari lumen apendiks.

    Apendisitis supuratif berdasarkan gambaran makroskopis tampak udem,

    hiperemis, terdapat pus pada lumen dan dinding apendiks. Mikroskopis terdapat

    ulserasi pada mukosa, sub mukosa dan muskularis ditemukan lekosit

    polimorfonuklear dan tidak ada folikel limfoid. Lapisan serosa tampak sembab

    pembuluh darah melebar dan ditemukan adanya thrombosis. Apendisitis

    gangrenosa ,gambaran makroskopisnya berupa jaringan gangrene berwarna

    kehitaman dan sembab pada bagian tertentu. Mikroskopis terdapat ulserasi luaspada mukosa, sebukan lekosit polimorfonuklear yang masif pada sub mukosa,

    tidak ada folikel limfoid dan pada serosa dan muskularis di daerah yang gangrene

    ditemukan ulserasi, pembuluh darah nekrotik dan berisi thrombus.

    1.1.5DiagnosisDiagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan gejala gejala klinis dan

    pemeriksaan fisis saja. Sedangkan pemeriksaan laboratorium dan radiologi

  • 7/22/2019 apendisits

    5/30

    berperan sebagai penunjang. Sistem Skor Apendisitis Akut 18,20 Kalesaran,dkk

    (1995), telah menemukan 7 item (mual, muntah, demam, nyeri batuk, nyeri ketok,

    defans lokal, dan jumlah lekosit) yang merupakan variabel yang bermakna untuk

    menentukan diagnosis apendisitis akut.

    Sistem skor Kalesaran

    Mual ya = 7 tidak = -10

    Muntah ya =11 tidak = -5

    Demam ya = 7 tidak = -27

    Nyeri Batuk ya = 15 tidak = -20

    Nyeri Ketok ya = 5 tidak = -23

    Defans Lokal ya = 10 tidak = -13

    Lekosit >10.000= 15

  • 7/22/2019 apendisits

    6/30

    segera setelah timbul rasa sakit. Jika penderita mengeluh riwayat muntah sebelum

    adanya rasa sakit maka keadaan itu bukan apendisitis.

    1.1.7Pemeriksaan fisikTemperatur tubuh dan denyut nadi akan membuktikan adanya demam dan

    takikardi. Selain itu kadang didapatkan gejala foetor oris, lidah berselaput kotor

    dan penderita berkeringat. Sikap dan posisi penderita sudah menunjukkan

    kecurigaan, kalau disuruh bergerak penderita akan melakukannya dengan sangat

    hatihati karena sakit. Penderita umumnya akan memfleksikan pangkal pahanya,

    karena otototot dinding perut akan melemas sehingga rasa sakit akan berkurang.

    Dengan palpasi akan ditemukan tanda nyeri tekan, nyeri lepas, nyeri ketok dan

    tanda defans lokal. untuk apendiks yang letaknya retrosekal dengan ujung dekat

    otot psoas maka dengan hiperfleksi pangkal paha akan menyebabkan rasa sakit

    bertambah akibat ketegangan otot tersebut (psoas sign).

    Apendiks letak pelvinal tegantung lokasinya dengan otot obturator internus,

    rasa sakit akan bertambah dengan rotasi sendi panggul yang dikenal sebagai

    obturator sign. pemeriksaan colok dubur untuk mengetahui situasi rongga pelvis

    penting dalam membuat diagnosis apendisitis akut terutama untuk menyingkirkan

    kelainan lain dalam rongga panggul.

    1.1.8Pemeriksaan Laboratorium dan HistopatologiPemeriksaan lekosit dan netrofil merupakan pemeriksaan rutin untuk

    apendisitis akut karena mudah dilakukan, harga murah, dalam waktu singkat dapat

    diperoleh hasilnya dan sebagai petanda sensitif proses inflamasi akut.

    Pemeriksaan Histopatologi Sejak saat dilakukan tindakan pembedahanapendektomi, maka secara makroskopis sudah dapat ditentukan ada tidaknya

    kelainan organ apendiks seperti : 1. Apendiks normal tanpa ada kelainan organ

    lain dalam rongga abdomen. 2. Apendiks kronis tanpa ada tanda-tanda peradangan

    akut 3. Apendiks normal tapi ditemukan kelainan organ lainnya dalam rongga

    abomen yang bisa merupakan kasus bedah atau non bedah. Secara makroskopis

    pada radang apendisitis akut akan terlihat adanya fibrin atau pus yang menutupi

    permukaan serosa disertai dengan adanya kerusakan pembuluh darah. Ulserasi

  • 7/22/2019 apendisits

    7/30

    permukaan mukosa dengan latar belakang yang hiperemis. Obstruksi lumen oleh

    karena fekalit ataupun benda asing lainnya dijumpai pada seperempat sampai

    sepertiga kasus. Secara mikroskopis perubahan-perubahan kelainannya

    bergantung pada interval waktu timbulnya gejala dengan saat tindakan operasi

    dilakukan. Pada stadium awal, netrofil didapatkan di dasar epitelium. Setelah

    proses peradangan mencapai submukosa, terjadi penyebaran yang cepat di seluruh

    lapisan apendiks.Pada stadium lanjut dijumpai dinding yang nekrotik. Trombosis

    pembuluh darah didapat pada seperempat kasus.

    Pembuktian kelainan apendiks dilakukan dengan pemeriksaan histopatologi

    dari puntung apendiks. Nowie seorang ahli patologi dari Glasgow menentukan

    kriteria apendisitis akut sebagai berikut : 1. Adanya lekosit polimorfonuklear di

    dalam lumen apendiks 2. Adanya fokus peradangan bagaimanapun kecilnya di

    dalam mukosa apendiks 3. Adanya ulserasi mukosa di atas fokus peradangan

    tersebut atau adanya kelompok sel-sel radang polimofonuklear yang menembus

    permukaan mukosa.

    1.1.9Diagnosis BandingDiagnosis Banding Diagnosis banding apendisitis akut tergantung pada 3

    faktor utama, yaitu : lokasi anatomi organ yang meradang, stadium proses

    peradangannya serta umur dan jenis kelamin penderita. (1) Pada anak-anak

    apendisitis akut paling sering dibedakan dari gastroenteritis akut,mesenterik

    limfadenitis, pielitis, Mekels diverkulitis, intussusseption, Enteric Duplication,

    Henoch Scholein purpura dan peritonitis primer. Apendisitis jarang dijumpai pada

    anak usia kurang dari 2 tahun. Pada Intussusseption dapat teraba massa seperti

    sosis, tidak ada demam dan biasanya dijumpai darah dan lendir pada pemeriksaancolok dubur. Pada penderita laki-laki dewasa apendisitis akut perlu dibedakan

    dengan enteritis regional akut, Batu ginjal dan ureter kanan, torsio testis dan

    epididimitis akut. Pada penderita perempuan perlu dipikirkan kemungkinan

    menderita kelainan-kelainan pada ovarium dan tuba, kelainan ektopik terganggu,

    Mittleschmerz , endometriosis dan salpingitis. Mittleschmerz dikarakteristikkan

    dengan adanya nyeri dipertengahan siklus menstruasi dan berkurang setelah

    beberapa jam.

  • 7/22/2019 apendisits

    8/30

    Pada orang tua harus dipikirkan kemungkinan terjadinya divertikulitis,

    duodenum perforasi, ulkus gaster, kolesistitis akut dan karsinoma sekum.

    1.1.10 PenatalaksanaanTidak ada cara yang dapat mencegah perkembangan lanjut terjadinya

    apendisitis akut. Operasi apendektomi emergensi merupakan satu-satunya

    tindakan yang harus dilakukan untuk dapat mengurangi morbiditas dan mencegah

    mortalitas penderita. Dalam 24 jam pertama timbulnya gejala, dapat terjadi

    perforasi sebanyak kurang dari 20%, tapi meningkat cepat menjadi lebih 70%

    setelah 48 jam. Pada penderita yang tidak dapat segera dilakukan tindakan

    operasi, penanganannya dilakukan dengan perawatan konservatif, penderita

    diobservasi ketat, istirahat total di tempat tidur, diet makanan yang tidak

    merangsang peristaltik dan pemberian antibiotik broad spektrum. Pasang drain

    bila terjadi abses.

    Ada 3 prinsip utama pola pemberian antibiotik pada penderita yang di

    diagnosis dengan apendisitis akut, yaitu:

    1. Antibiotik diberikan preoperatif bila diduga telah terjadi perforasi.

    2. Antibiotik diberikan preoperatif, dan terus dilanjutkan bila dijumpai

    apendiks perforasi atau gangrene

    3. Antibiotik diberikan preoperatif pada semua penderita dengan ap\endisitis

    akut dan dilanjutkan hingga 3-5 hari.

    Selain tindakan apendektomi yang biasa dilakukan, dapat pula dikerjakan

    apendektomi laparoskopik. Tindakan ini terutama dilakukan pada penderita

    dengan riwayat dan pemeriksaan fisik yang tidak jelas serta pada perempuan

    dengan kemungkinan menderita kelainan ginekologi.

    1.2 ApendektomiAdalah suatu tindakan pembedahan membuang appendiks dengan yang

    dilakukan atas indikasi : Appendisitis Akut , Appendisitis Subakut , Appendisitis

    Infiltrat ,Appendisitis perforata ,Appendisitis kronis.

  • 7/22/2019 apendisits

    9/30

    1.2.1 Teknik Operasi1 Penderita dalam posisi terlentang, ahli bedah dalam general anestesi.

    Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada seluruh abdomen dan dada

    bagian bawah, kemudian lapangan operasi dipersempit dengan doek

    steril.

    2. Dilakukan insisi dengan arah oblik melalui titik Mc Burney tegaklurus antara SIAS dan umbilikus (Irisan Gridiron), irisan lain yang

    dapat dilakukan adalah insisi tranversal dan paramedian.

    3. Irisan diperdalam dengan memotong lemak dan mencapaiaponeurosis muskulus Oblikus Abdominis Ekternus (MOE).

    4. MOE dibuka sedikit dengan skalpel searah dengan seratnya,kemudian diperlebar ke lateral dan ke medial dengan pertolongan

    pinset anatomi. Pengait luka tumpul dipasang di bawah MOE,

    tampak di bawah MOE muskulus Oblikus Internus (MOI)

    5. MOI, kemudian dibuka secara tumpul dengan gunting atau klemarteri searah dengan seratnya sampai tampak lemak peritoneum,

    dengan haak LangenBack otot dipisahkan. Pengait dipasang di bawah

    muskulus tranversus abdominis.

    6. Peritoneum yang berwaran putih dipegang dengan menggunakan 2pinset bedah dan dibuka dengan gunting, perhatikan apa yang keluar:

    pus, udara atau cairan lain (darah, feses dll), periksa kultur dan tes

    kepekaan kuman dari cairan yang keluar tsb. Kemudian pengait luka

    diletakkan di bawah peritoneum.

    7. Kemudian sekum (yang berwarna lebih putih, memiliki tanea koli danhaustra) dicari dan diluksir. Apendiks yang basisnya terletak pada

    pertemuan tiga taenia mempunyai bermacam-macam posisi an tara

    lain anteseka l, retrosekal, ante ileal, retroileal, dan pelvinal

    8. Setelah ditemukan, sekum dipegang dengan darm pinset dan ditarikkeluar, dengan kassa basah sekum dikeluarkan kearah mediokaudal,

    sekum yang telah keluar dipegang oleh asisten dengan dengan ibu jari

    berada di atas.

  • 7/22/2019 apendisits

    10/30

    9. Mesenterium dengan ujung spendiks di pegang dengan klem Kocherkemudian mesoapendiks di klem potong dan diligasi berturut-turut

    sampai pada basis apendiks dengan menggunakan benang sutera 3/0.

    10.Pangkal apendiks di crush dengan apendiks klem kocher dan padabekas crush tersebut diikat dengan sutera No . 00 2 ikatan.

    11.Dibagian distal dari ikatan diklem dengan Kocher dan diantara klemkocher dan ikatan tersebut apendiks dipotong dengan pisau yang

    telah diolesi betadine, ujung sisa apendiks digosok betadine.

    12.Sekum dimasukkan ke dalam rongga perut.13.Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis. Pada kasus perforasi, dapat

    dipasang drain sub facial.

    1.2.2 Komplikasi Operasi Durante Operasi: perdarahan intra peritoneal, dinding perut, robekan

    sekum atau usus lain.

    Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi, hamatom, paralitik ileus,peritonitis, fistel usus, abses intraperitoneal.

    Pasca bedah lanjut : Obstruksi usus jeratan, hernia sikatrikalis.1.2.3 Mortalitas

    0,1 % jika apendiks tidak perforasi 15% jika telah terjadi perforasi Kernatian tersering karena sepsis, emboli paru atau aspirasi.

    1.2.4 Perawatan pasca BedahPada hari operasi penderita diberi infus menurut kebutuhan sehari kurang

    lebih 2 sampai 3 liter cairan Ringer laktat dan dekstrosa. Pada apendisitis tanpa

    perforasi : Antibiotika diberikan hanya 1 x 24 jam. Pada apendisitis dengan

    Perforasi : Antibiotika diberikan hingga jika gejala klinis infeksi reda dan

    laboratorium normal. (sesuai Kultur kuman).

    Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar dengan

    menggerakkan kaki, miring kekiri dan kanan bergantian dan duduk.

  • 7/22/2019 apendisits

    11/30

    Penderita boleh jalan pada hari pertama pasca bedah. Pemberian makanan

    peroral dimulai dengan memberi minum sedikit-sedikit (50 cc) tiap jam

    apabila sudah ada aktivitas usus yaitu adanya flatus dan bising usus.

    Bilamana dengan pemberian minum bebas penderita tidak kembung

    maka pemberian makanan peroral dimulai. Jahitan diangkat pada hari kelima

    sampai hari ketujuh pasca bedah.

    1.3Spinal Anestesi/ Sub Arakhnoid BlokSpinal anestesi (subaraknoid blok) adalah anestesi regional dengan

    tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Spinal

    anestesi/subaraknoid blok disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural

    atau blok intratekal. Spinal anestesi dihasilkan bila kita menyuntikkan obat

    analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3

    atau L3-L4 atau L4-L5

    1.3.1 Indikasi

    1. Bedah ekstremitas bawah

    2. Bedah panggul

    3. Tindakan sekitar rektum perineum

    4. Bedah obstetrik-ginekologi

    5. Bedah urologi

    6. Bedah abdomen bawah

    7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan

    dengan anesthesia umum ringan

    1.3.2 Kontra indikasi absolut

    1. Pasien menolak

    2. Infeksi pada tempat suntikan

    3. Hipovolemia berat, syok

    4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

    5. Tekanan intrakranial meningkat

    6. Fasilitas resusitasi minim

  • 7/22/2019 apendisits

    12/30

    7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

    1.3.3 Kontra indikasi relatif

    1. Infeksi sistemik

    2. Infeksi sekitar tempat suntikan

    3. Kelainan neurologis

    4. Kelainan psikis

    5. Bedah lama

    6. Penyakit jantung

    7. Hipovolemia ringan

    8. Nyeri punggung kronik

    1.3.4 Persiapan analgesia spinal

    Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada

    anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan

    kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk

    sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu

    diperhatikan hal-hal di bawah ini:

    1. Informed consent

    Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal

    2. Pemeriksaan fisik

    Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

    3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

    Hb, ht,pt,ptt

    1.3.5 Peralatan analgesia spinal

    1. Peralatan monitor: tekanan darah,pulse oximetri,ekg

    2. Peralatan resusitasi

    3. Jarum spinal

    Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quinckebacock)

    atau jarum spinal dengan ujung pensil(pencil point whitecare)

  • 7/22/2019 apendisits

    13/30

    1.3.6 Teknik analgesia spinal

    Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis

    tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas

    meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi

    pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan

    menyebarnya obat.

    1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang

    stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah

    teraba. Posisi lain adalah duduk.

    2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko

    trauma terhadap medulla spinalis.

    3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-

    3ml

    5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G

    atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik

    biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak

    sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya

    ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-

    Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu

    pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk

    menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyerikepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal

    dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat

    dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya

    untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum

    spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90

    biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan

    kateter.

  • 7/22/2019 apendisits

    14/30

    6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedahhemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum

    flavum dewasa 6cm.

    1.3.7 Posisi

    1. Posisi DudukPasien duduk di atas meja operasi

    Dagu di dada

    Tangan istirahat di lutut

    2. Posisi LateralBahu sejajar dengan meja operasi

    Posisikan pinggul di pinggir meja operasi

    Memeluk bantal/knee chest position

    1.3.8 Tinggi blok analgesia spinal

    Faktor yang mempengaruhi:

    Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas

    daerah analgetik.

    Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yangtinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.

    Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinaldengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

    Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung

    berkumpul ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung

    menyebar ke cranial.

    Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat

    batas analgesia yang lebih tinggi.

    Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makinbesar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

  • 7/22/2019 apendisits

    15/30

    Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetiksudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan

    posisi pasien.

    1.3.9 Anastetik lokal untuk analgesia spinal

    Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-

    1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric.

    Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik.

    Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik

    lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur

    anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan

    tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

    1.3.9.1 Anestetik lokal yang paling sering digunakan

    1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis20-100mg (2-5ml)

    2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50mg(1-2ml)

    3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric,dosis 5-20mg

    4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifathiperbarik, dosis 5-15mg(1-3ml)

    1.3.9.2 Penyebaran anastetik local

    Faktor utama:

    1. Berat jenis anestetik local(barisitas)2.

    Posisi pasien

    3. Dosis dan volume anestetik localFaktor tambahan

    1. Ketinggian suntikan2. Kecepatan suntikan/barbotase3. Ukuran jarum4. Keadaan fisik pasien5. Tekanan intra abdominal

  • 7/22/2019 apendisits

    16/30

    1.3.9.3 Lama kerja anestetik lokal

    Tergantung pada :

    1. Jenis anestetia local

    2. Besarnya dosis

    3. Ada tidaknya vasokonstriktor

    4. Besarnya penyebaran anestetik local

    1.3.10 Komplikasi anestesia spinal

    Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan

    komplikasi delayed.

    1.3.10.1 Komplikasi tindakan

    1. Hipotensi beratAkibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan

    memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum

    tindakan.

    2. BradikardiaDapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok

    sampai T-2

    3. HipoventilasiAkibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

    4. Trauma pembuluh saraf5. Trauma saraf6. Mual-muntah7. Gangguan pendengaran8.

    Blok spinal tinggi atau spinal total

    1.3.10.2 Komplikasi pasca tindakan

    1. Nyeri tempat suntikan

    2. Nyeri punggung

    3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor

    4. Retensio urine

    5. Meningitis

    1.3.10.3 Komplikasi intraoperatif

  • 7/22/2019 apendisits

    17/30

    Komplikasi kardiovaskularInsiden terjadi hipotensi akibat spinal anestesi adalah 10-40%.

    Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang

    menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin

    tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari

    penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan

    pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif

    seperti efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien

    yang sehat pada saat dilakukan spinal anestesi. Henti jantung bisa terjadi tiba-

    tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik

    pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau

    hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia

    merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek

    Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse

    cairan kristaloid(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb

    dlm 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan

    cairan infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan

    vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit

    sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi

    karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi

    dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.

    Blok spinal tinggi atau totalSpinal anestesi tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan

    perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa

    muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran,paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung.

    Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas

    pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi

    pada spinal anestesi. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah

    ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan

    sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang

    menyebabkan terjadi henti nafas pada spinal anestesi total. Walau

  • 7/22/2019 apendisits

    18/30

    bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi

    akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik

    biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong

    terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi

    jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak

    yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung.

    Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan

    yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian

    oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat spinal anestesi berkurang, pasien

    akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada

    sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi

    dengan pengobatan yang cepat dan tepat.

    Komplikasi respirasi1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi

    paru-paru normal.

    2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinaltinggi.

    3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karenahipotensi berat dan iskemia medulla.

    4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan

    pernafasan buatan.

    1.3.10.4 Komplikasi postoperatif

    Komplikasi gastrointestinalNausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis

    berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus

    gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal

    merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan

    posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi

    lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan

    pada kehamilan meningkat.

    Nyeri kepala

  • 7/22/2019 apendisits

    19/30

    Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala.

    Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas spinal anestesi atau tusukan pada dural

    pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa

    faktor seperti ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar ukuran jarum

    semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi

    nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi.

    Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam selepas

    suntikan spinal anestesi. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di

    area oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda

    meningismus, diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri

    kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau

    berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau

    hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 48 jam

    harus di coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral

    atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan

    pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena

    pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan

    serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi

    konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin kedalam

    epidural untuk menghentikan kebocoran.

    Nyeri punggungKomplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari

    tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari

    struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri

    punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obati secarasimptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat

    sahaja.

    Komplikasi neurologikInsidensi defisit neurologi berat dari spinal anestesi adalah rendah.

    Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik.

    Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah spinal anestesi ditandai

    dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya

  • 7/22/2019 apendisits

    20/30

    memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam

    beberapa hari.

    Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom

    ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah

    beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area

    perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit

    motorik pada ekstremitas bawah.

    Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.

    Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah spinal anestesi

    dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik

    pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari

    meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.

    Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial

    yang lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi

    aliran darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat

    trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau

    suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi tetap berlaku.

    Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang

    berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang

    subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh

    darah besar di area lumbar yang menyebar ke ruang subaraknoid dari akar

    saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah jarang.

    Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah karena

    iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya

    tidak merata dan adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posteriorsaraf dan bukannya akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat

    tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke

    arteri spinal anterior karena terjadi gangguan bekalan darah dari arteri-arteri

    yang diganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena

    hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti

    vena mahu pun obstruksi aliran. Anestesi regional merupakan penyebab yang

    mungkin yang menyebabkan terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh

  • 7/22/2019 apendisits

    21/30

    beberapa faktor. Contohnya spinal anestesi menggunakan obat anestesi lokal

    yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang

    menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah

    yang memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul setelah

    anestesi regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah. Infeksi dari

    spinal adalah sangat jarang kecuali dari penyebaran bacteria secara

    hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jika spinal anestesi

    diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan

    terjadi penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh yang demikian, penggunaan

    spinal anestesi pada pasien dengan bakteremia merupakan kontra indikasi

    relatif. Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan

    araknoiditis. Tanda dan symptom yang paling prominen pada komplikasi ini

    adalah nyeri punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan

    rigiditas nuchal. Oleh itu, adalah tidak benar jika menggunakan anestesi

    regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit loka pada area lumbar atau

    yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan

    pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.

    Retentio urine / Disfungsi kandung kemihDisfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun

    regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya

    kembali paling akhir pada analgesia spinal,umumnya berlangsung selama 24

    jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang

    terjadi.

    1.3.11 Pencegahan Komplikasi1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus

    2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater

    3. Hidrasi adekuat,minum/infuse 3L selama 3 hari

    1.3.12 Pengobatan

    1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam2. Hidrasi adekuat

  • 7/22/2019 apendisits

    22/30

    3. Hindari mengejan4. Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni

    penyuntikan darah pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.

    1.3.13 Kesimpulan

    Walaupun komplikasi-komplikasi yang timbul ini bisa mengancam jiwa,

    tetapi harus di ingat bahwa insiden komplikasi ini adalah sangat rendah. Dengan

    teknik modern dan persiapan yang rapih, insiden sequel neural mayor selepas

    anestesi subarakanoid telah dilaporkan kurang dari 1 dalam 10,000 pasien. Ramai

    anestesiologi berpendapat bahwa jika dibandingkan dengan anestesi umum,

    komplikasi yang muncul dari anestesi regional adalah minimum sehingga anestesi

    regional menjadi pilihan utama jika sesuai dengan kebutuhan pada saat operasi

  • 7/22/2019 apendisits

    23/30

    II. LAPORAN KASUS

    Identitas

    Nama : Tn. Udin Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 19 tahun Berat badan : 60 kg Alamat : Semampir Selatan 2A Manggis 8 Triage : Merah Waktu datang IRD : Tanggal 17-12-2011 , pukul 02.40 WIB

    Kronologi Kejadian / Penyakit

    Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah

    Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Awalnya

    nyeri dirasakan di ulu hati kemudian menjalar atau pindah ke perut kanan bawah.

    Riwayat sumer - sumer (+), mual (+), muntah (+), nafsu makan turun (+), nyeri

    perut saat batuk (+) BAB dan BAK normal lancar. Pasien kemudian dibawa ke

    dokter umum oleh keluarga dan diberi terapi parasetamol, omeperazol serta

    domperidone. Karena nyeri perut memberat, keluarga membawa pasien ke Rumah

    Sakit Dr.Soetomo. Pasien ditangani teman sejawat bedah dan didiagnosis

    apendistis akut serta direncanakan cito apendektomi di OK IRD lt.5

    Primary Survey

    A : bebas

    B : RR 16x/mnt Simetris, retraksi (-);

    SuaraNafas: vesikuler/vesikuler, Wheezing -/-, Rhonci -/-

    C : akral HKM, CRT< 2

    TD: 120/80; N: 100x/mnt; temp: 37,80 C

    D : GCS 456, Pupil: bulat, isokor, 3mm/3mm, Refleks Cahaya +/+

    E : tidak ditemukan jejas.

    Secondary Survey

    Kepala/Leher : anemia (-), icterus (-), sianosis (-), dispnea (-)

  • 7/22/2019 apendisits

    24/30

    Thorax : Cor: S1,S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

    Pulmo: vesikuler/vesikuler, Wheezing -/-, Rhonci -/-

    Abdomen : I : flat, Darm Contour (-), Darm Steifung(-)

    A : BU (+) normal

    P : defans muscular (-), mass (-), nyeri tekan mc burney (+), psoas

    sign (+), Rebound phenomenom (+), Hepar - Lien ttb

    P : pekak hepar (+)

    Extrimitas : akral Hangat, Kering, Merah, CRT< 2

    Rectal Touche: TSA (+) normal, mukosa licin, ampulla kolaps, mass (-), nyeri

    jam 11 (-), darah (-), lendir (-), feses (-)

    Pemeriksaan Penunjang ( 17-12-2011)

    DL: UL:

    WBC : 17.5x103/ uL Glu : -

    RBC : 4.96 x106/ uL Bil : -

    Hb : 14,8 g/dl Ket : 2+

    Hct : 46.6% GG : 1.025

    MCV : 94.0 fl BLD : +/- intact

    MCH : 29.9 pg pH : 7.0

    MCHC : 31.8 g/dl PRO : +/-

    Plt :122 x103/ uL URO : 3.2 umol/L

    Leu : -

    Kimia Klinik: Nit : -

    BUN : 9,4 mg/dl Colour : Yellow

    SK : 0,76 mg/dl Clarity : clearSGOT : 19 U/L Eritrosit : 2-5 /Lp

    SGPT : 18 U/L Leukosit : 0-2 /Lp

    GDA : 125 mg/dl Epitel : sedikit

    Alb : 5.02 g/dl Kristal : -

    APTT : 24 (c. 28,9) Silinder: -

    PPT : 11.7 (c. 12,7)

  • 7/22/2019 apendisits

    25/30

    Foto Thorax:

    Normal

    Problem List:

    Mual, muntah Demam Nyeri perut saat batuk Nyeri tekan mc burney (+), Psoas sign (+), Rebound phenomenom (+),

    Pekak hepar (+)

    Leukositosis

    Assessment:

    Apendisitis akut

    Planning:

    Diagnosa : -

    Terapi : -

    - MRS OK cito apendektomi- Inj. Ceftriaxon 2x1 g- Inj. Ketorolac 1 amp.- Apendektomi informed consent- Konsul TS Anestesi

    Pre-OP Anestesi

    B1 : asma (-) alergi (-) URI (-)

    A : bebas, BM 3 jari, JMH > 6cm, MP 2

    B : SR, RR 16x/mnt, simetri (+), vesikuler/vesikuler, rhonchi -/-,

    wheezing -/-

    B2 : pHKM CRT < 2, TD : 120/90, N : 78x/mnt, tanda dehidrasi (-)

    B3 : alert, PBI 3mm/3mm, RC +/+,

    B4 : BAK spontan lancar

  • 7/22/2019 apendisits

    26/30

    B5 : Bu (+) N, nyeri tekan mc burney (+), psoas sign (+), Rebound

    phenomenom (+),defans muscular (-),

    B6 : edem -/- t : 37,60 C

    Rencana Operasi

    Physical Status : PSASA 1

    Jenis pembedahan: Apendektomi

    Jenis anestesi : RASAB

    Pilihan anestesi : Lidodex 5% + Adrenalin 0.2 mg

    Persiapan Operasi

    Persiapan pasien : visite pasien pre-op, informed consent, Medikasi prabedah

    Inj. Ceftriaxon 2x1 g, Inj. Ketorolac 1 amp., Premedikasi :

    Petidine 50 mg im, Dormicum 2,5 mg im, Pasang infuse

    line tangan kiri

    Persiapan alat : mesin anestesi, mask, Jackson rees, oropharyng tube, ETT

    7.0, laryngoskop, spuit cuff, stilet, lidocain spray, tape,

    suction, Spine needle 27 G, kasa, betadine, AlkoholPersiapan obat :obat emergency (ephedrine, SA, adrenalin, Lidocain), agen

    anestesi (propofol, ketamin, morphin, petidine, fentanyl,

    dormicum, vecuronium, lidodex 5% + Adrenalin)

    Perjalanan Anestesi

    Anestesi dimulai pukul 08.30 WIB, pasien memakai nasal O2 3 lpm

    kemudian dilakukan teknik Subarakhnoid Blok menggunakan Lidodex 5% +

    Adrenalin 0.2 mg dengan spine needle ukuran 27G. Pasien diposisikan lateral

    dekubitus kemudian mengidentifikasi letak L3 L4, desinfeksi dengan betadine

    dan alkohol, beri anestesi local lidocain 2% dengan teknik infiltrasi, insersi spine

    needle ukuran 27G kearah sefal, deteksi cairan spinal (+), darah (-), injeksikan

    obat, tutup dengan plester.

    Obatobatan suportif yang diberikan selama operasi : Dormicum 2 mg, Ranitidin

    50 mg, Ondancentron 4 mg, Ketorolac 30 mg (iv)

    Tensi selama pembedahan berkisar 120/80100/60 mmhg

  • 7/22/2019 apendisits

    27/30

    Nadi selama pembedahan berkisar 10070x/mnt

    Jumlah cairan : PO RL 1000 ml, DO RL 500 ml

    Cairan keluar : kateter (-)

    Perdarahan : 150 ml

    Pembedahan berakhir pukul 10.00 WIB dengan kondisi pasien TD: 110/70

    mmHg, heart rate : 80x/mnt, respiratory rate : 16x/mnt, perfusi hangat kering

    merah, CRT < 2, pasien alert.

    Problem List

    Pra bedah

    Aktual Potensial Planning

    B1 - - -

    B2 - - -

    B3 - - -

    B4 - - -

    B5

    Nyeri tekan mc

    burney (+), psoas

    sign (+), Rebound

    phenomenom (+)

    - Mengganggu ventilasi

    -Merangsang

    katekolamin release

    menyebabkan aritmia

    Pertahankan jalan

    nafas tetap bebas,

    persiapan obat

    emergensi, analgesi

    kuat bila perlu

    B6 - - -

    Selama Pembedahan

    Aktual Potensial Planning

    B1 Pengaruh sedasiAirway breathing

    terganggu

    Bebaskan jalan nafas

    dengan oropharing

    tube, pasang Jackson

    rees, intubasi bila

    apneu

    B2

    Perdarahan dan

    evaporasi selama

    operasi

    Hipotensi, syok

    hipovolemi

    Persiapan cairan

    kristaloid, koloid dan

    darah

  • 7/22/2019 apendisits

    28/30

    B3 Pengaruh sedasi - -

    B4 Kateter (-) - -

    B5 -

    perdarahan intra

    peritoneal, dinding

    perut, robekan sekum

    atau usus lain

    Persiapan cairankristaloid, koloid dan

    darah

    B6 - - -

    Pasca Pembedahan

    Aktual Potensial Planning

    B1 -Masih ada sisa obat

    sedasi

    Awasi airway dan

    breathing

    B2 - PerdarahanPersiapan cairan

    kristaloid dan koloid

    B3 Pengaruh sedasi Sumbatan nafasAwasi airway dan

    breathing

    B4 - - -

    B5 Nyeri daerah operasi

    Merangsang

    katekolamin release

    menyebabkan aritmia,

    hipoventilasi

    Analgesi kuat

    B6 - - -

    Monitoring Pasca Bedah

    Kesadaran Airway dipertahankan bebas, O2 mask nasal 3 lpm Tensi, nadi, nafas setiap 15 menit sampai kondisi baik, selama di ROI.

    Hubungi dokter bila TD systole 160 / 90 mmhg, nadi 100 / 60x/mnt,

    RR28 / 12x/mnt , suhu 38 / 360C

    Urin/jam Balance cairan/3jam

  • 7/22/2019 apendisits

    29/30

  • 7/22/2019 apendisits

    30/30

    DAFTAR PUSTAKA

    Hyderally H. Complications of Spinal Anesthesia. The Mountsinai Journal of

    Medicine. Jan-Mar 2002.

    Katz J, Aidinis SJ. Complications of Spinal and Epidural Anesthesia.J Bone Joint

    Surg Am. 2010; 62:1219-1222.

    Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran

    Universitas Indonesia 2009; 107-112.