Anveg Plot

40
LAPORAN FIELD TRIP EKOLOGI ANALISIS VEGETASI (METODE PLOT) NAMA: ASRINA(108095000004) DESTI IRMA C(108095000029) DINA ANGGRAINI(108095000020) HERI HERMAWAN(108095000011) PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

Transcript of Anveg Plot

Page 1: Anveg Plot

LAPORAN FIELD TRIP EKOLOGI

ANALISIS VEGETASI

(METODE PLOT)

NAMA: ASRINA(108095000004)

DESTI IRMA C(108095000029)

DINA ANGGRAINI(108095000020)

HERI HERMAWAN(108095000011)

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010

Page 2: Anveg Plot

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Cagar Alam Pulau Dua memiliki aneka ragam vegetasi, potensi sumber

daya alam yang perlu dilestarikan keberadaanya untuk menjamin kemurniaan dan

kekhasan dari setiap ekosistem yang berada di kawasan tersebut diupayakan

perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Vegetasi utama yang menutup

kawasan taman cagar alam adalah hutan mangroove yang memiliki vegetasi

dengan formasi yaitu hutan Rizophora, Avicennia, Diospiros dan Cantigi.

Suatu ekosistem alamiah maupun binaan selalu terdiri dari dua komponen

utama yaitu komponen biotik dan abiotik. Vegetasi atau komunitas tumbuhan

merupakan salah satu komponen biotik yang menempati habitat tertentu seperti

hutan, padang ilalang, semak belukar dan lain-lain. Struktur dan komposisi

vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang

saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh secara alami pada wilayah

tersebut sesungguhnya merupakan pencerminan hasil interaksi berbagai faktor

lingkungan dan dapat mengalami perubahan drastik karena pengaruh

anthropogenik (Sundarapandian, 2000).

Kawasan cagar alam Pulau Dua dikelilingi oleh pantai. Salah satu

ekosistem yang sangat erat kaitannya dengan perairan Pantai adalah Mangrove.

Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem kompleks terdiri atas flora dan fauna

daerah pantai, yang terletak di antara batas air pasang dan air surut. Ekosistem ini

berperan dalam melindungi pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan.

Hutan mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) untuk menstabilkan

tanah dan memerangkap bahan endapan dari darat yang terbawa arus sungai.

Ekosistem mangroove menduduki lahan pantai zona pasang surut, di

laguna,estuaria dan endapan lumpur yang datar. Kompleks, karena di dalam hutan

mangroove dan perairan atau tanah dibawahnya habitat berbagai satwa dan biota

perairan. Dinamis, karena hutan mangroove dapat terus berkembang serta

Page 3: Anveg Plot

mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah

sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali. (Nugroho, 1991)

Mangroove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan

mangroove terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan biologi. Karena sifat

fisikanya, mangroove mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahnan

intrusi dan abrasi air laut. Proses dekomposisi serasah mangrove yang terjadi

mampu menunjang kehidupan. Makhluk hidup di dalamnya. (Arif, 2003)

Hutan mangrove memiliki ciri khas yakni bentuk-bentuk perakaran yang

menjangkar dan bersifat pneumatophore. Adanya perakaran ini menjadikan proses

penangkapan debu dan partikel di tegakan Rhizophora sp. berjalan secara

ssempurna. Pembentukan sedimen sangat dipengaruhi oleh adanya pasang surut

yang membawa partikel-partikel yang diendapkan saat surut. (Poedjirahajoe,

1996).

1.2 TUJUAN

Untuk mengetahui struktur komunitas vegetasi di Pulau Dua.

Untuk mendeskripsikan kondisi hutan di Pulau Dua.

Untuk mengetahui jenis vegetasi yang dominan di Cagar Alam Pulau Dua.

Untuk mengetahui pola komunitas hutan dan hubungan pola komunitas

tersebut terhadap faktor lingkungannya.

Untuk mengetahui keanekaragaman vegetasi di Cagar Alam Pulau Dua.

Page 4: Anveg Plot

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HUTAN

Pengertian hutan yang diberikan Dengler adalah suatu kumpulan atau

asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas

sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang kondisi ekologis yang khas

serta berbeda dengan areal luarnya (Anonimous 1997). Undang-Undang No 41

tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain

tidak dapat dipisahkan.

Menurut Marsono (2004) secara garis besar ekosistem sumberdaya hutan

terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:

a. Tipe Zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim atau disebut klimaks iklim,

seperti hutan tropika basah, hutan tropika musim dan savana.

b. Tipe Azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat atau disebut klimaks

habitat, seperti hutan mangrove, hutan pantai dan hutan gambut.

Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan tropika

basah. Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan tropika basah sebagai ekosistem

spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan antara komponen

penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara komponen penyusun

ini memungkinkan bentuk struktur hutan tertentu yang dapat memberikan fungsi

tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas biologis yang tinggi, siklus

hidrologis yang memadai dan lain-lain. Secara de facto tipe hutan ini memiliki

kesuburan tanah yang sangat rendah, tanah tersusun oleh partikel lempung yang

bermuatan negatif rendah seperti kaolinite dan illite. Kondisi tanah asam ini

Page 5: Anveg Plot

memungkinkan besi dan almunium menjadi aktif di samping kadar silikanya

memang cukup tinggi, sehingga melengkapi keunikan hutan ini. Namun dengan

pengembangan struktur yang mantap terbentuklah salah satu fungsi yang menjadi

andalan utamanya yaitu ”siklus hara tertutup” (closed nutrient cycling) dan

keterkaitan komponen tersebut, sehingga mampu mengatasi berbagai

kendala/keunikan tipe hutan ini (Marsono, 1997).

Kondisi tanah hutan ini juga menunjukkan keunikan tersendiri. Aktivitas

biologis tanah lebih bertumpu pada lapisan tanah atas (top soil). Sanchez

memperkirakan bahwa 80% aktivitas biologis tersebut terdapat pada top soil saja.

Kenyataan kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hutan tropika basah

merupakan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem), karena setiap komponen

tidak bisa berdiri sendiri. Disamping itu dijumpai pula fenomena lain yaitu adanya

ragam yang tinggi antar lokasi atau kelompok hutan baik vegetasinya maupun

tempat tumbuhnya (Marsono, 1991).

2.2 STRUKTUR DAN KOMPOSISI

Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) membagi struktur vegetasi

menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu: fisiognomi vegetasi, struktur

biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik, struktur tegakan. Menurut

Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu:

1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram

profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun

vegetasi.

2. Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu

individu terhadap individu lain.

3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas. Hutan hujan

tropika terkenal karena pelapisannya, ini berarti bahwa populasi campuran di

dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara kontinu.

Tampaknya pelapisan vertikal komunitas hutan itu mempunyai sebaran populasi

hewan yang hidup dalam hutan itu. Sering terdapat suatu atau beberapa populasi

yang dalam kehidupan dan pencarian makanannya (Whitmore,1975).

Page 6: Anveg Plot

Selanjutnya Kershaw (1973) menyatakan, stratifikasi hutan hujan tropika

dapat dibedakan menjadi 5 lapisan, yaitu : Lapisan A (lapisan pohonpohon yang

tertinggi atau emergent), lapisan B dan C (lapisan pohon-pohon yang berada

dibawahnya atau yang berukuran sedang), lapisan D (lapisan semak dan belukar)

dan lapisan E (merupakan lantai hutan). Struktur suatu masyarakat tumbuhan pada

hutan hujan tropika basah dapat dilihat dari gambaran umum stratifikasi pohon-

pohon perdu dan herba tanah. Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya

frekwensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap

jenisjenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa,

persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan

kerapatan (Soerianegara dan Indrawan,1988).

Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu

luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha. Frekwensi suatu jenis tumbuhan adalah

jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak

contoh yang dibuat. Biasanya frekwensi dinyatakan dalam besaran persentase.

Basal area merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah yang dikuasai

oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal areal diduga dengan mengukur diameter

batang (Kusuma, 1997).

Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka

daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah.

Keanekaragaman jenis terdiri dari 2 komponen; Jumlah jenis dalam komunitas

yang sering disebut kekayaan jenis dan kesamaan jenis. Kesamaan menunjukkan

bagaimana kelimpahan species itu (yaitu jumlah individu, biomass, penutup

tanah, dan sebagainya) tersebar antara banyak species itu (Ludwiq and Reynolds,

1988).

2.3 HUTAN MANGROVE

Hutan mangrove merupakan tipe hutan khusus yang terdapat disepanjang

pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air. Ekosistem hutan

mangrove tumbuh di pantai datar atau di pantai yang berair tenang. Tempat

tumbuh ideal bagi vegetasi mangrove adalah di sekitar pantai dengan muara

Page 7: Anveg Plot

sungai yang relatif lebar, daerah delta dan tempat-tempat dengan arus sungai yang

banyak mengandung lumpur dan pasir (Ramayanti, 1996). Vegetasi mangrove

memiliki komposisi vegetasi yang hampir seragam, tersusun dari jenis-jenis

pohon atau perdu yang mempunyai persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi

terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut seperti yang diperlihatkan

oleh sistem perakaran yang khas, yaitu akar tunjang pada Rhizophora dan

Ceriops, akar napas pada Sonneratia dan Avicennia serta akar lutut pada

Breequeira, Lumnitzera dan Xylocarpus (Sugiarto dan Ekaryono, 1996).

Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau.

Tanaman dikotil adalah tumbuhan yang buahnya berbiji berbelah dua. Pohon

mangga adalah contoh pohon dikotil dan contoh tanaman monokotil adalah pohon

kelapa. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon

tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin.

Hutan mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis,

antara 32° Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan.

Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies

dengan klasifikasi taksonomi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua

tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman

yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi

pasang surut. Sebagai tambahan, tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi

dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa

masih berada pada pohon induknya. Istilah “bakau” adalah sebutan bagi jenis

utama pohon Rhizophora sp. yang dominan hidup di habitat pantai. Walaupun

tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut

hutan mangrove sebagai hutan bakau atau secara singkat disebut bakau (Irwanto.

2006).

Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan

mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang

berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan

bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau

hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun

Page 8: Anveg Plot

dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu,

penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusuma et

al, 2003).

Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya

pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai

sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan

akarnya. Pantai pantai ini tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari

angin, atau serangkaian pulau atau pada pulau massa daratan di belakang terumbu

karang di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1998).

Hutan mangrove selain hijau umumnya tumbuh dengan baik di tepian

sepanjang pantai yang terlindung secara alamiah, delta dan muara sungai.

Keterbatasan jenis mangrove disebabkan oleh kondisi-kondisi pada tempat

keberadaannya dan sedikitnya tumbuhan yang mampu bertahan serta tumbuh

dengan subur di lumpur bergaram dan sering digenangi air laut. Meskipun

mangrove toleran terhadap tanah bergaram, yang menandakan sebagai halophytes,

mangrove lebih bersifat fluktuatif daripada bersifat obligat karena dapat tumbuh

dengan baik di air tawar. Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula,

B.gymnorrhiza dan Sonneratia caseolaris yang tumbuh berbuah dan berkecambah

di Kebun Raya Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang tepian sungai Kapuas

di pedalaman sejauh 200 km di Kalimantan Barat (Yayasan Mangrove, 1993).

Tumbuhan mangrove umumnya mudah dikenali karena memiliki sistem

perakaran yang sangat menyolok, serta tumbuh pada kawasan pantai di antara

rata-rata pasang dan pasang tertinggi (Ng dan Sivasothi, 2001). Hutan mangrove

atau mangal adalah vegetasi yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis dan

sub-tropis, didominasi tumbuhan bunga terestrial umumnya berhabitus pohon dan

semak, dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut, dengan tanah

bersalinitas tinggi dan anaerob (Mac- Nae, 1968; Chapman, 1976; Tomlinson,

1986; Aksornkoae, 1993; Nybakken, 1993; Kitamura dkk., 1997). Ekosistem

mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan

mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (SNM, 2003),

namun tanpa hadirnya tumbuhan mangrove, kawasan ini tidak dapat disebut

ekosistem mangrove (Jayatissa dkk., 2002). Komposisi dan struktur vegetasi

Page 9: Anveg Plot

mangrove berbeda-beda, secara spasial maupun temporal akibat pengaruh

geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biogeografi, iklim, faktor edafik dan

kondisi lingkungan lainnya (Bandaranayake, 1998).

2.4 ANALISIS VEGETASI

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari

beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme

kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama

individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya

sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis

(Marsono, 1977).

Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat

mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda

dengan vegetasi di tempat 1ain karena berbeda pula faktor lingkungannya.

Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis, selalu berkembang sesuai

dengan keadaan habitatnya.

Kehadiran vegetasi pada suatu landskap akan memberikan dampak positif

bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Secara umum peranan

vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbon

dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah,

pengaturan tata air tanah dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi

pada suatu area memberikan dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi

tergantung pada struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu.

Sebagai contoh vegetasi secara umum akan mengurangi laju erosi tanah, tetapi

besarnya tergantung struktur dan komposisi tumbuhan yang menyusun formasi

vegetasi daerah tersebut.

Adanya perbedaan pengaruh tipe vegetasi terhadap sistem tata air pada

suatu area antara lain disebabkan karena setiap jenis tumbuhan memiliki model

arsitektur yang berbeda-beda. Model arsitektur biasanya diterapkan untuk

tumbuhan berhabitus pohon yang merupakan gambaran morfologi pada suatu

Page 10: Anveg Plot

waktu dimana merupakan salah satu fase dari rangkaian pertumbuhan pohon

tersebut. Model arsitektur pohon tertentu mempengaruhi translokasi air hujan

menjadi laju aliran batang, air tembus tajuk, infiltrasi dan laju aliran permukaan

pada suatu area yang terkait dengan peranan vegetasi dalam mengurangi laju erosi

pada daerah tersebut.

Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau

komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-

tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan

penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis,

diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun

komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi

kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.

Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan

kedalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal

dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang

sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman jenis

dalam suatu areal; dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan

faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith, 1983).

Selain itu, analisa vegetasi secara garis besar adalah mempelajari komunitas

tumbuhan , yang mencakup identifikasi species, bentuk pertumbuhan species.

Sedangkan khusus synekologi atau ekologi komunitas tumbuhan dikenal sebagai

phytososiologi atau sosiologi tumbuhan (Made Sedhana, 1982). Analisis vegetasi

adalah suatu analisis yang bertujuan untuk mempelajari karakter suatu komunitas

(Anonimous,1985).

Analisa pada berbagai sifat terdiri dari jenis yang kualitatif dan yang

kuantitatif. Jenis yang kualitatif berifat memerikan karena kesulitan untuk

mengukurnya, meskipun kebanyakan data kualitatif itu dapat ditentukan

kuantitasnya kemudian, tetapi jenis yang kuantitatif adalah corak yang dapat

diukurdengan mudah (J. Yanney Ewusie, 1990).

2.4.1 TIPE VEGETASI MANGROVE

Page 11: Anveg Plot

Komunitas mangrove di Indonesia pada dasarnya terdiri atas paling sedikit

47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba/rumput, 9 jenis liana, 29 jenis epifit

dan 2 jenis parasit (Yayasan Mangrove, 1993). Menurut Sukardjo (1996), di

Indonesia terdapat 75 jenis tumbuhan mangrove, sehingga Indonesia termasuk

pula sebagai wakil pusat geografi beberapa marga mangrove, Rhizophora,

Bruguiera, Avicennia, Ceriops, dan Lumnitzera. Meskipun demikian tidak semua

jenis mangrove tersebut ada pada setiap tipe komunitas mangrove, menyatakan

bahwa mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi,

seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan , 35 jenis diantaranya berupa

pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit

(29 jenis) dan parasit (2 jenis).

Menurut Noor et al., (1999), tipe vegetasi mangrove terbagi atas empat bagian

antara lain :

a) Mangrove terbuka, mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.

b) Mangrove tengah, mangrove yang berada di belakang mangrove zona terbuka.

c) Mangrove payau, mangrove yang berada disepanjang sungai berair payau

hingga air tawar.

d) Mangrove daratan, mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar

di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya.

2.4.2 JENIS-JENIS MANGROVE

Menurut Soerianegara (1987) , bahwa hutan maangrove terdiri atas jenis-

jenis pohon Avicennia, Rhizophora, Sonneratia, Bruguieria, Ceriops, Lumnitzera,

Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceros, Scyphyphora dan Nypa. Jenis-jenis

tumbuhan mangrove yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia sekitar 89

jenis yang terdiri atas 35 jenis pohon, lima jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana,

29 jenis epifit dan dua jenis parasit (Menurut Soerianegara, 1987).

Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang

banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau

(Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia

sp.), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis

Page 12: Anveg Plot

mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan

endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Salah satunya adalah api-api

(Avicennia sp.)

2.4.2.1 Api-api (Avicennia sp.)

Termasuk famili Avicenniaceae. Disebut juga sia-sia. Dikenal secara

umum sebagai black mangrove. Pohon jenis ini mempunyai toleransi yang tinggi

terhadap kadar garam. Dapat tumbuh mencapai ketinggian 25 – 30 m. Pohon ini

tidak mengeluarkan garam di bagian akarnya, tetapi mengeluarkan kelebihan

garam melalui pori-pori daunnya yang akan terbawa oleh hujan dan angin.

Seringkali garam terlihat sebagai lapisan kristal putih di bagian permukaan atas

daun.

Karena spesies Avicennia mudah menumbuhkan cabangnya,

memungkinkan untuk diambil cabang dan rantingnya tanpa mengganggu batang

pohonnya. Pohon jenis juga bersifat toleran terhadap air berkadar garam tinggi,

dapat juga menahan lumpur dari pasir dan hempasan ombak. Oleh karenanya

merupakan juga jenis bakau yang dapat menstabilkan pantai, mencegah erosi, dan

memberi kesempatan pohon lain untuk tumbuh.

Deskripsi umum : Belukar atau pohon yang tumbuh menyebar dengan

ketinggian mencapai 25 m. Kumpulan pohon membentuk sistem perakaran

horizontal dan akar nafas yang rumit. Akar nafas biasanya tipis, berbentuk jari

(atau seperti asparagus) yang ditutupi oleh lentisel. Kulit kayu luar berwarna

keabu-abuan atau gelap kecoklatan, beberapa ditumbuhi tonjolan kecil, sementara

yang lain kadang-kadang memiliki permukaan yang halus. Pada bagian batang

yang tua, kadang kadang ditemukan serbuk tipis (Noor, 1999).

Page 13: Anveg Plot

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada tanggal 29 Mei 2010 yang dmulai dari pukul

09.00-11.00 WIB. Penelitian di lakukan pada hutan mangrove di kawasan Cagar

Alam Pulau Dua pada formasi Avicennia yang terletak di pinggir pantai.

3.1.2 PROFIL TEMPAT

Cagar Alam Pulau Dua terletek di Teluk Banten dengan daerah

administrsis Desa Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Kaupaten Serang.

Topografi kawasan ini secara keseluruhan relatif datar, tidak terdapat bukit-bukit

dan ketinggiannya hanya berkisar antara 1-3 m di atas permukaan laut. Keadaan

iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim B dengan

curah hujan rata-rata 3.959 mm per tahun, temperatur rata-rata berkisar antara

22ºC-33ºC dengan kelembaban udara 80%.

Potensi biotik kawasan Flora Cagar Alam Pulau Dua mempunyai tipe

vegetasi hutan dataran rendah dan sebagian merupakan tipe ekosistem payau

(mangrove). Fauna cagar alam ini merupakan tempat persinggahan dan tempat

berkembang biaknya beberapa jenis burung migran dan burung-burung kecil

lainnya.

3.2 BAHAN DAN ALAT

Bahan yang diteliti adalah aquadest. Peralatan yang digunakan selama

penelitian adalah tali rapia sepanjang 40 m, 4 m(dan dibuat sebanyak tiga buah),

patok, meteran, termometer, lux meter, sling psychometer, soil tester,

anemometer, kamera dan alat tulis.

Page 14: Anveg Plot

3.3 CARA KERJA

3.3.1 METOTE PLOT

Mula-mula ditentukan lokasi untuk pemasangan plot. Letak petak/ plot di

sepanjang jalur di tentukan dengan menentukan jalur terlebih dahulu, setelah jalur

dibuat, maka ditentukan plot 10 x 10 untuk mengidentifikasi tumbuhan tingkat

pohon. Kemudian setelah dibuat plot, dilakukan pengukuran keliling pohon yang

nantinya akan ditentukan DBH. Setelah semua individu pohon telah dilakukan

pengukuran maka kita membuat 3 plot berukuran 1 x 1 untuk mengidentifikasi

tumbuhan tingkat semak atau herba. Penentuan plot dilakukan secara acak, yaitu

bisa dengan cara melempar batu dan bagian tempat jatuhnya batu dipasang plot.

Plot 1 x 1 dibuat sebanyak tiga plot yang ditentukan secara acak. Setelah plot

dibuat maka dilakukan pengukuran berupa jumlah individu dari masing-masing

spesies yang terdapat di dalam plot dan kerimbunan masing spesies. Perlakuan

yang sama dilakukan pada masing-masing plot.

3.3.2 PENGUKURAN FAKTOR FISIK LINGKUNGAN

Pengukuran faktor fisik yang dilakukan adalah:

pH tanah

Pengukuran pH tanah dimulai dengan menggali tanah kira-kira sedalam 5 cm

kemudian ditancapkan soil tester sampai batas yang berwarna kuning,

kemudian ditunggu selama lima menit. Setelah itu ditekan tombol untuk

membaca pH tanahnya.

Suhu tanah

Pengukuran suhu tanah dimulai dengan menancapkan termometer ke dalam

tanah selama tiga menit , kemudian dibaca suhu tanahnya.

Suhu udara

Page 15: Anveg Plot

Pengukuran suhu udara dilakukan dengan memegang tali pada termometer

yang diarahkan ke udara selama tiga menit, kemudian di baca suhu udaranya.

Kelembaban udara

Pengukuran kelembaban udara dilakukan dengan cara membasahi kasa

yang terdapat pada sling dengan menggunakan aquadest kemudian sling

diputar ke arah atas (menjauhi badan) selama tiga menit. Setelah tiga menit

kemudian dilakukan pembacaan skala yang terdapat pada sling dan dicatat

sebagai kelembaban basah dan kering yang kemudian diperoleh selisihnya dan

dicari kelembaban udaranya pada tabel.

Intensitas cahaya

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan cara mengarahkan sensor

lux meter ke arah cahaya kemudian ditunggu sampai skalanya stabil.

Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali kemudian hasilnya dirata-ratakan.

Kecpatan Angin

Pengukuran kecepatan angin dilakukan dengan menggunakan

anemometer. Pengukuran dilakukan dengan cara anemometer dikalibrasi

sampai jarum yang terdapat pada alat tersebut stabil. Setelah stabil

anemometer diarahkan berlawanan dengan arah datangnya angin selama tiga

menit kemudian dibaca skala yang terbaca sebagai kecepatan angin.

3.3.3 ANALISIS DATA

Jumlah individu rata-rata

= Σ individu

Σ plot

Kerapatan jenis

Kji = Σ individu rata-rata

Luas plot

Kerapatan relatif suatu jenis (KRi)

KRi = Σ Kerapatan suatu jenis x 100%

Σ Kerapatan seluruh jenis

Page 16: Anveg Plot

Frekuensi suatu jenis

Fji = Σ petak contoh yang diduduki suatu jenis (i)

Σ petak contoh / plot seluruh pengamatan

Frekuensi relatif suatu jenis (i)

FRi = Σ frekuensi suatu jenis (i) x 100 %

Σ frekuensi seluruh jenis (i)

Indeks Nilai Penting (INP)

Untuk tingkat semai atau pancang:

INP = KRi + Fri

Untuk tingkat pohon:

INP = KRi + DRi + FRi

Indeks Keanekaragaman

H' = - Σ (pi) Ln pi

i=1

Keterangan :

H' = Indeks Keranekaragaman Jenis

pi = ni/N

ni = Nilai Penting Jenis ke i

N = Jumlah Nilai Penting Semua Jenis

Indeks Kesamaan Komunitas

I S = 2 C

a + b

Keterangan :

I S = Indeks Similarity

C=umlah Nilai Penting Terkecil dari jenis yang terdapat

pada kedua releve yang dibandingkan

a= Jumlah nilai semua jenis pada salah satu releve

b = Jumlah nilai semua jenis pada releve lainnya

Page 17: Anveg Plot

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENGAMATAN

Lokasi : Hutan Mangrove di Cagar Alam Pulau Dua

Waktu : Sabtu, 29 Mei 2010

Pukul 09.00-11.00 WIB

Formasi: Avicennia

Habitus : Pohon

Tabel 1. hasil analisis data pohon

NO SpesiesΣindividu rata-rata

DBH rata-rata

KR (%)

DR (%)

FR (%)

INP (%)

1Avicennia

alba 5 0.16 100 100 100 300

Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai kerapatan relatif yaitu sebesar

100%. Kerapatan relatif menggambarkan jumlah individu suatu spesies yang

terdapat pada plot tersebut. Hal ini berarti pada plot tersebut hanya terdapat satu

jenis pohon yaitu Avicennia alba. Dari tabel tersebut terlihat pula nilai dominansi

relatif yaitu sebesar 100% hal ini berkaitan dengan nilai KR yang diperoleh,

karena pada plot tersebut hanya terdapat satu jenis pohon yaitu Avicennia alba,

maka spesies tersebut mendominasi plot tersebut. Dari tabel terlihat pula nilai

frekuensi relatif yaitu sebesar 100% hal ini berarti bahwa distribusi Avicennia

alba terdapat pada setiap plot. Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa vegetasi

yang mendominasi lokasi tersebut adalah jenia Avicennia alba, hal tersebut

Page 18: Anveg Plot

terlihat dari INP yaitu sebesar 300%. Sehingga komunitasi pada lokasi penelitian

merupakan Komunitas Avicennia.

Tabel 2. Keanekaragaman vegetasi pohon pada plot pengamatan

no sprsies

Σindividu rata-

rata Pi ln Pi Pi ln Pi H' e IS

1Avicennia

alba 5 0.5 -0.69 -0.346 0.346 0 1

Dari tabel trsebut terlihat bahwa nilai indeks keanekaragamannya adalah

sebesr 0.346 nilai tersebut kurang dari 1 dan mendekati 0, hal tersebtu

menunjukkan bahwa keanekaragaman vegetasi pohon pada lokasi tersebut adalah

rendah. Nilai yang mendekati nol menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut hanya

terdapat satu jenis pohon yaitu Avicennia alba. Dari nilai keanekaragaman,

dihitung pula indeks kemerataan spesies pada komunitas tersebut dan dari tabel

terlihat bahwa nilai kemerataan spesiesnya adalah 0 hal tersebut menunjukkan

bahwa persebaran spesies tidak merata karena hanya ada satu jenis vegatasi pohon

yang terdapat pada lokasi ini dan mendominasi lokasi tersebut. Diperoleh pula

indeks kesamaan jenis yaitu 1, hal tersebut menunjukkan bahwa pada plot tersebut

hanya terdapat satu jenis vgetasi yaitu Avicennia alba.

Tabel 3. Faktor fisik lingkungan

NO

Intensitas Cahaya (klux)

Kelembaban Udara (%)

Kecepatan Angin (m/s)

pH tanah

Suhu Tanah (ºC)

Suhu Udara (ºC)

1 3.76 3 4 30 33

Pada tabel tersebut terlihat bahna intensitas cahaya pada plot pengamatan

adalah 3.76 klux hal ini merupakan intensitas cahaya yang rendah. Hal ini

menunjukkan bahwa kawasan ini tertutup oleh kanopi yang cukup rapat.

Kecepatan angin juga kecil yaitu hanya sebesar 3m/s. pH tanah pada lokasi ini

Page 19: Anveg Plot

adalah asam yaitu hanya memiliki pH 4. suhu udaranya adalah 33 ºC merupakan

suhu yang sedang.

Habitus : Herba

Tabel 4.Hasil analisis herba

Taksa Jumlah ∑ ind.Rata-rata

KR(%)

FR(%)

INP(%)

Asteraceae 1 0.33 3.83 7.68 11.51

Spesies 1 1 0.33 3.83 1.58 5.41

Spesies 2 2 0.66 7.67 7.68 15.35

Spesies 3 4 1.33 15.33 7.68 23.01

Spesies 4 2 0.66 7.67 7.68 15.35

Spesies 5 1 0.66 7.67 7.68 15.35

Spesies 6 1 0.33 3.83 7.68 11.51

Spesies 7 8 2.66 31.01 7.68 38.69

Spesies 8 1 0.33 3.83 7.68 11.51

Spesies 9 1 0.33 3.83 7.68 11.51

Spesies 10 1 0.33 3.83 7.68 11.51

Kaktus 2 0.66 7.67 7.68 15.35

JUMLAH 26 8,61 100 100 100

Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai KR terbesar terdapat pada spesies 7

yaitu sebesar 31.01%, hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah individu spesies 7

terbanyak yang terdapat di dalam plot. Terlihat pula nilai KR terendah yaitu

sebesar 3.83% yaitu terdapat pada spesies 1,4,6,8,9,10 dan asteraceae. Nilai

tersebut menunjukkan bahwa taksa tersebut memiliki jumlah individu yang paling

sedikit yang terdapat pada plot. Selanjutnya pada spesies 3 diperoleh nilai KR

Page 20: Anveg Plot

sebesar 15.33%, nilai ini merupakan nilai terbesar kedua yang terdapat pada table.

Hal tersebtu menunjukkan bahwa spesies 3 memiliki jumlah indivu yang cukup

banyak pada plot tersebut.

Dari nilai FR terlihat bahwa spesies 2,3,4,5,6,7,8,9,10 dan asteraceae

memiliki ilai yang sama yaitu sebesar 7.68%, hal tersebut menunjukkan bahwa

distribusi atau penyebaran jenis tersebut tersebar merata pada setiap plot

pengamatan. Sedangkan nilai FR terendah terdapat pada spesies 1, hal tersebut

menggambarkan bahwa distribusi atau persebaran jenis tersebut tidak merata pada

plot pengamatan.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa INP terbesar yaitu terdapat pada spesies

8 yaitu sebesar 38.69% yang menunjukkan bahwa spesies 8 memiliki peranan

yang penting pada lokasi pengamatan, hal tersebut terlihat pula dari nilai KR dan

FR yang besar dimana spesiees tersebut mendominasi dan tersebar merata pada

seluruh plot. Spesies 3 memiliki INP yaitu sebesar 23.01%, ini menunjukkan

bahwa spesies 3 memiliki peranan yang tidak kalah penting daripada spesies 8

pada komunitas tersebut. Selanjutnya spesies 2,4,5 dan kaktus memiliki INP yang

sama yaitu sebesar 15.35 % hal tersebut menunjukkan bahwa taksa tersebut

memiliki peran yang tidak kalah penting dari spesies 8 dan 3. Asteraceae, spesies

6,8,9 dan 10 memiliki INP yang sama yaitu sebesar 11.51%. Dan INP terendah

terdapat pada spesies 1 yaitu sebesar 5.41%.

Tabel 5. Hasil analisis vegetasi pohon.

Spesimen Jumlah ∑ ind.Rata-rata

KR(%)

DR(%)

FR(%)

INP

Spesies 11 1 0.25 25 17.61 50 92.61

Waru Laut

3 0.75 75 82.39 50 207.39

JUMLAH 4 1.0 100 100 100 300

Pada plot tersebut juga diperoleh pohon. Dari tabel terlihat bahwa INP

terbesar yaitu pada spesies waru laut. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada plot

Page 21: Anveg Plot

pengamatan tersebut didominasi oleh jenis waru laut, hal tersebut terlihat dari

nilai dominansinya yaitu sebesar 82.39% dan nilai KR yaitu sebesar 75%.

Dominansi terlihat pada nilai KR dan FR yang besar. Nilai KR menggambarkan

kerapatan proyeksi tajuk yang menutupi pada plot tersebut, nilai FR

menggambarkan distribusi atau persebaran waru laut pada plot pengamatan

tersebar secara merata.

Tabel 6.Kanekaragaman vegetasi herba pada plot pengamatan

Taksa Jumlah ∑ ind.Rata-rata

Pi ln Pi Pi ln Pi

asteraceae 1 0,33 0.0082 -4.80 -0.04

Spesies 1 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04

Spesies 2 2 0.66 0.0165 -4.10 -0.07

Spesies 3 4 1.33 0.0332 -3.40 -0.11

Spesies 4 2 0.66 0.0165 -4.10 -0.07

Spesies 5 2 0.66 0.0165 -4.10 -0.07

Spesies 6 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04

Spesies 7 8 2.66 0.0665 -2.17 -0.18

Spesies 8 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04

Spesies 9 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04

Spesies 10 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04

Kaktus 2 0.66 0.0165 -4.10 -0.07

Spesies 11 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04

Waru Laut

3 1.0 0.025 -3.68 -0.09

JUMLAH 40 9.94 0.2462 H’EIS

0.940.36

Page 22: Anveg Plot

Dari tabel tersebut terlihat bahwa H’ adalah sebesar 0.94 nilai tersebut

kurang dari 1 yaitu menunjukkan bahwa keanekaragaman vegetasi pada plot

tersebut adalah randah. Nilai kemerataan yang diperoleh adalah sebesar 0.36 nilai

ini kurang dari 1, hal tersebut menunjukkan bahwa persebaran vegetasi pada plot

tersebut tidak merata. Hal ini disebabkan karena ada spesies yang mendominasi

pada plot tersebut yaitu waru laut.

Tabel 7. Pngukuran faktor fisik lingkungan

Suhu udara(ºC)

Suhu tanah(ºC)

Intensitas cahaya(Klux)

pH tanah Kelembaban udara(%)

Kecepatan angina(m/s)

32 32 10,16 7 Kering=32Basah=28

1,92

Dari tabel tersebut terlihat bahwa suhu udara adalah yang doperoleh

adalah 32ºC, suhu tersebut merupakan suhu yang sedang. Intensitas cahaya yang

diperoleh cukup tinggi yaitu sebesar 10.16 klux hal tersebut dikarenakan pada

wilayah tersebut hanya terdapat sedikit pohon yang menutupi plot tersebut

sehingga tidak ada celah yang menutupi cahaya masuk ke plot tersebut. pH

tanahnya adalah netral yaitu pada pH 7 dengan kecepatan angin yang rendah yaitu

sebesar 1.92 m/s.

4.2 PEMBAHASAN

Pada penelitian kali ini digunakan metode plot kuadrat yaitu untuk

mengetahui struktur vegetasi yang terdapat pada suatu lokasi. Penelitian ini

dilakukan pada formasi Avecennia. Dimana plot 10x10 m dipasang untuk

mengidentifikasi pohon, sedangkan plot 1 x 1m dipasang untuk mengidentifikasi

herba atau perdu.

Dibuat plot 10 x 10 m sebanyak dua plot yaitu sebagai pengulangan dan

diperoleh hasil yaitu. Avicennia alba memiliki INP sebesar 300%. Hal tersebut

menggambarkan bahwa jenis tersebut berperan penting dalam plot tersebut. Hal

tersebut terlihat pula pada nilai dominansi relatif yaitu sebesar 100% hal tersebut

Page 23: Anveg Plot

menunjukkan bahwajenis Avicennia alba mendominasi plot tersebut. Dominasi

juga dapat dilihat dari nilai kerapatan relatif yaitu sebesar 100%. Nilai ini

menggambarkan kerapatan jenis dari Avicennia alba pada plot pengamatan.

Kerapatan dapat dilihat dari luar penutupan tajuk terhadap tanah. Tajuk yang rapat

berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang dapat masuk ke dalam hutan.

Semakin rapat kanopi maka semakin kecil celah yang dapat dimasuki oleh cahaya.

Hal indi dapat berpengaruh pada tumbuhan yang terdapat dibawah tegakan pohon

tersebut.

Nilai INP sebesar 300% menunjukkan bahwa hanya terdapat satu jenis

vegetasi yang mendominasi wilayah tersebut dalam hal ini vegetasi tersebut

adalah Avicennia alba. Sehingga komunitas ini disebut komunitas Avicennia.

Indeks keanekaragaman diperoleh yaitu sebesar 0.346 nilai tersebut

kurang dari 1 dan hampir mendekati 0 , hal tersebut menggambarkan bahwa

keragaman vegetasi pada lokasi tersebut adalah rendah. Indeks kemerataan yang

diperoleh adalah 0 hal tersebut menunjukkan bahwa persebaran spesies tidak

merata karena hanya ada satu jenis vegatasi pohon yang terdapat pada lokasi ini

dan mendominasi lokasi tersebut. Diperoleh pula indeks kesamaan jenis yaitu 1,

hal tersebut menunjukkan bahwa pada plot tersebut hanya terdapat satu jenis

vgetasi yaitu Avicennia alba.

Selanjutnya untuk analisis herba diperoleh INP terbesar yaitu pada spesies

8 yang bernilai 38.69% yang menunjukkan bahwa spesies 8 memiliki peranan

yang penting pada lokasi pengamatan, hal tersebut terlihat pula dari nilai KR dan

FR yang besar dimana spesiees tersebut mendominasi dan tersebar merata pada

seluruh plot. Selanjutna pada plot tersebut juga terdapat jenis waru laut yang

memiliki nilai INP yang besar yaitu sebesar 207.39%. Hal tersebut menunjukkan

bahwa waru laut memiliki peranan penting pada wilayah tersebut.

Pada plot ini diperoleh indeks keanekaragaman yaitu sebesar bahwa H’

adalah sebesar 0.94 nilai tersebut kurang dari 1 yaitu menunjukkan bahwa

keanekaragaman vegetasi pada plot tersebut adalah randah. Nilai kemerataan yang

diperoleh adalah sebesar 0.36 nilai ini kurang dari 1, hal tersebut menunjukkan

bahwa persebaran vegetasi pada plot tersebut tidak merata. Hal ini disebabkan

karena ada spesies yang mendominasi pada plot tersebut yaitu waru laut.

Page 24: Anveg Plot

Dari hasil analisis yang dilakukan pada dua tipe vegetasi pada lokasi yang

sama terlihat bahwa indeks keanekaragaman yang diperoleh pada masing-masing

vegetasi adalah rendah. Hal ini disebabkan karena adanya salah satu jenis vegtasi

yang dominan pada wilayah tersebut. Vegetasi ini adalah Avicennia alba.

Dominansi ini ditunjukkan pula dengan kerapatan relatif dasi jenis ini pada lokasi

pengamatan. Kerapatan ini terlihat dari luas kanopi yan menutupi plot. Rapatnya

kanopi menyebabkan sedikitnya celah yang dapat dimasuki oleh cahaya ke dalam

hutan, hal ini berpengaruh pada tumbuhan yang tumbuh di bawah tegakan pohon

seperti herba. Terhalangnya cahaya untuk dapat masuk ke hutan menyebabkan

tanaman herba yang tumbuh pada komunitas ini memiliki keanekaragaman yang

rendah pula. Keanekaragaman yang rendah menyebabkan indeks kemerataan yang

rendah. Indeks kemerataan sendiri menggambarkan persebaran jenis pada masing-

masing plot. Hal ini juga dikarenakan adanya jenis yang mendominasi sehingga

tumbuhan tidak tersebar secara merata pada plot pengamatan. Diperoleh indeks

keseragaman 1 yaitu bahwa persebaran jenis pada plot ini adalah seragam.

Avicennia alba mendominasi pada plot ini dikarenakan oleh faktor fisik

lingkungan yaitu Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 20ºC-

30ºC, pada suhu di atasnya merupakan suhu yang kurang baik untuk mangrove

dapat tumbuh dan berkembang. Salinitas yaitu kandungan garam yang terdapat

pada air, seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka bahwa mangrove

merupakan vegetasi yang biada hidup di pantai, sehingga Avicennia

alba,berkembang baik dan mendominasi pada daerah tersebut dibandingkan

denga tumbuhan lain . pH yang diperoleh pada pengukuran yaitu sebesar 4 hal ini

cukup sesuai untuk mangrove dapat tumbuh. Karena mangrove merupakan

tumbuhan yang dapat tumbuh baik pada kondisi tanah yang asam maupun kondisi

tanah yang basa yaitu berkisar antara 7-8.5. Nilai pH ini mempengaruhi proses

biokimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi. Avicennia sp merupakan

tumbuhan yang tumbuh sangat baik pada substrat berlumpur. Kondisi tanah pada

lokasi pengamatan pun merupakan tanah berlumpur.

Page 25: Anveg Plot

BAB V

KESIMPULAN

Dari penelitian yang dilakukuan diperoleh kesimpulan yaitu:

Struktur vegetasi hutan merupakan hutan mangrove.

Kondisi hutan di Cagar alam Pulau Dua adalah baik.

Vegetasi mangrove merupakan vegetasi yang mendominasi kawasan

Cagar Alam Pulau Dua.

Komunitas yang diamati merupakan Komunitas Avicennia.

Keanekaragaman vegetasi di lokasi pengamatan adalah rendah karena

didominasi oleh vegetasi mangrove.

Page 26: Anveg Plot

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Arief Ahmad J, Soehardjono, 1990. Usaha Konservasi Hutan Bakau Di Batu

Ampar, Kalimantan Barat : Suatu Tinjauan Ekologis. Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.

Indiarto Yun, Suhardjono, Mulyadi, 1990. Pola Variasi Produksi Serasah Hutan

Mangrove Pulau Dua, Jawa Barat. Direktorat Jenderal Perlindungan

Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.

Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. Yogyakarta

Noor Alfian, 1990. Pemulihan Ekosistem Mangrove Sesudah Pencemaran

Minyak Bumi : Eksperimen In Situ. Direktorat Jenderal Perlindungan

Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.

JURNAL:

Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, Kusumo Winarno, dan A. Susilowati.

2005. Tumbuhan mangrove di Propinsi Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman jenis.

Biodiversitas 6 (1): 00-00 (submitted).

Onrizal, 2007. Pengenalan Vegetasi Mangrove. Departemen Kehutanan.

Universitas Sumatera Utara.

Setiadi Agus, 1990. Pengaruh Hutan Bakau Terhadap Sedimentasi Di Pantai

Teluk Jakarta. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.

Bogor.

Page 27: Anveg Plot