Anveg Plot
-
Upload
dinaadarius -
Category
Documents
-
view
397 -
download
2
Transcript of Anveg Plot
LAPORAN FIELD TRIP EKOLOGI
ANALISIS VEGETASI
(METODE PLOT)
NAMA: ASRINA(108095000004)
DESTI IRMA C(108095000029)
DINA ANGGRAINI(108095000020)
HERI HERMAWAN(108095000011)
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Cagar Alam Pulau Dua memiliki aneka ragam vegetasi, potensi sumber
daya alam yang perlu dilestarikan keberadaanya untuk menjamin kemurniaan dan
kekhasan dari setiap ekosistem yang berada di kawasan tersebut diupayakan
perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Vegetasi utama yang menutup
kawasan taman cagar alam adalah hutan mangroove yang memiliki vegetasi
dengan formasi yaitu hutan Rizophora, Avicennia, Diospiros dan Cantigi.
Suatu ekosistem alamiah maupun binaan selalu terdiri dari dua komponen
utama yaitu komponen biotik dan abiotik. Vegetasi atau komunitas tumbuhan
merupakan salah satu komponen biotik yang menempati habitat tertentu seperti
hutan, padang ilalang, semak belukar dan lain-lain. Struktur dan komposisi
vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi oleh komponen ekosistem lainnya yang
saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh secara alami pada wilayah
tersebut sesungguhnya merupakan pencerminan hasil interaksi berbagai faktor
lingkungan dan dapat mengalami perubahan drastik karena pengaruh
anthropogenik (Sundarapandian, 2000).
Kawasan cagar alam Pulau Dua dikelilingi oleh pantai. Salah satu
ekosistem yang sangat erat kaitannya dengan perairan Pantai adalah Mangrove.
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem kompleks terdiri atas flora dan fauna
daerah pantai, yang terletak di antara batas air pasang dan air surut. Ekosistem ini
berperan dalam melindungi pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan.
Hutan mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) untuk menstabilkan
tanah dan memerangkap bahan endapan dari darat yang terbawa arus sungai.
Ekosistem mangroove menduduki lahan pantai zona pasang surut, di
laguna,estuaria dan endapan lumpur yang datar. Kompleks, karena di dalam hutan
mangroove dan perairan atau tanah dibawahnya habitat berbagai satwa dan biota
perairan. Dinamis, karena hutan mangroove dapat terus berkembang serta
mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah
sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali. (Nugroho, 1991)
Mangroove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam
lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan
mangroove terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan biologi. Karena sifat
fisikanya, mangroove mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahnan
intrusi dan abrasi air laut. Proses dekomposisi serasah mangrove yang terjadi
mampu menunjang kehidupan. Makhluk hidup di dalamnya. (Arif, 2003)
Hutan mangrove memiliki ciri khas yakni bentuk-bentuk perakaran yang
menjangkar dan bersifat pneumatophore. Adanya perakaran ini menjadikan proses
penangkapan debu dan partikel di tegakan Rhizophora sp. berjalan secara
ssempurna. Pembentukan sedimen sangat dipengaruhi oleh adanya pasang surut
yang membawa partikel-partikel yang diendapkan saat surut. (Poedjirahajoe,
1996).
1.2 TUJUAN
Untuk mengetahui struktur komunitas vegetasi di Pulau Dua.
Untuk mendeskripsikan kondisi hutan di Pulau Dua.
Untuk mengetahui jenis vegetasi yang dominan di Cagar Alam Pulau Dua.
Untuk mengetahui pola komunitas hutan dan hubungan pola komunitas
tersebut terhadap faktor lingkungannya.
Untuk mengetahui keanekaragaman vegetasi di Cagar Alam Pulau Dua.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HUTAN
Pengertian hutan yang diberikan Dengler adalah suatu kumpulan atau
asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas
sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang kondisi ekologis yang khas
serta berbeda dengan areal luarnya (Anonimous 1997). Undang-Undang No 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi
jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain
tidak dapat dipisahkan.
Menurut Marsono (2004) secara garis besar ekosistem sumberdaya hutan
terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
a. Tipe Zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim atau disebut klimaks iklim,
seperti hutan tropika basah, hutan tropika musim dan savana.
b. Tipe Azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat atau disebut klimaks
habitat, seperti hutan mangrove, hutan pantai dan hutan gambut.
Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan tropika
basah. Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan tropika basah sebagai ekosistem
spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan antara komponen
penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara komponen penyusun
ini memungkinkan bentuk struktur hutan tertentu yang dapat memberikan fungsi
tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas biologis yang tinggi, siklus
hidrologis yang memadai dan lain-lain. Secara de facto tipe hutan ini memiliki
kesuburan tanah yang sangat rendah, tanah tersusun oleh partikel lempung yang
bermuatan negatif rendah seperti kaolinite dan illite. Kondisi tanah asam ini
memungkinkan besi dan almunium menjadi aktif di samping kadar silikanya
memang cukup tinggi, sehingga melengkapi keunikan hutan ini. Namun dengan
pengembangan struktur yang mantap terbentuklah salah satu fungsi yang menjadi
andalan utamanya yaitu ”siklus hara tertutup” (closed nutrient cycling) dan
keterkaitan komponen tersebut, sehingga mampu mengatasi berbagai
kendala/keunikan tipe hutan ini (Marsono, 1997).
Kondisi tanah hutan ini juga menunjukkan keunikan tersendiri. Aktivitas
biologis tanah lebih bertumpu pada lapisan tanah atas (top soil). Sanchez
memperkirakan bahwa 80% aktivitas biologis tersebut terdapat pada top soil saja.
Kenyataan kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hutan tropika basah
merupakan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem), karena setiap komponen
tidak bisa berdiri sendiri. Disamping itu dijumpai pula fenomena lain yaitu adanya
ragam yang tinggi antar lokasi atau kelompok hutan baik vegetasinya maupun
tempat tumbuhnya (Marsono, 1991).
2.2 STRUKTUR DAN KOMPOSISI
Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) membagi struktur vegetasi
menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu: fisiognomi vegetasi, struktur
biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik, struktur tegakan. Menurut
Kershaw (1973), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu:
1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram
profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun
vegetasi.
2. Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu
individu terhadap individu lain.
3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas. Hutan hujan
tropika terkenal karena pelapisannya, ini berarti bahwa populasi campuran di
dalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara kontinu.
Tampaknya pelapisan vertikal komunitas hutan itu mempunyai sebaran populasi
hewan yang hidup dalam hutan itu. Sering terdapat suatu atau beberapa populasi
yang dalam kehidupan dan pencarian makanannya (Whitmore,1975).
Selanjutnya Kershaw (1973) menyatakan, stratifikasi hutan hujan tropika
dapat dibedakan menjadi 5 lapisan, yaitu : Lapisan A (lapisan pohonpohon yang
tertinggi atau emergent), lapisan B dan C (lapisan pohon-pohon yang berada
dibawahnya atau yang berukuran sedang), lapisan D (lapisan semak dan belukar)
dan lapisan E (merupakan lantai hutan). Struktur suatu masyarakat tumbuhan pada
hutan hujan tropika basah dapat dilihat dari gambaran umum stratifikasi pohon-
pohon perdu dan herba tanah. Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya
frekwensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap
jenisjenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa,
persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan
kerapatan (Soerianegara dan Indrawan,1988).
Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu
luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha. Frekwensi suatu jenis tumbuhan adalah
jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak
contoh yang dibuat. Biasanya frekwensi dinyatakan dalam besaran persentase.
Basal area merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah yang dikuasai
oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal areal diduga dengan mengukur diameter
batang (Kusuma, 1997).
Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka
daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah.
Keanekaragaman jenis terdiri dari 2 komponen; Jumlah jenis dalam komunitas
yang sering disebut kekayaan jenis dan kesamaan jenis. Kesamaan menunjukkan
bagaimana kelimpahan species itu (yaitu jumlah individu, biomass, penutup
tanah, dan sebagainya) tersebar antara banyak species itu (Ludwiq and Reynolds,
1988).
2.3 HUTAN MANGROVE
Hutan mangrove merupakan tipe hutan khusus yang terdapat disepanjang
pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air. Ekosistem hutan
mangrove tumbuh di pantai datar atau di pantai yang berair tenang. Tempat
tumbuh ideal bagi vegetasi mangrove adalah di sekitar pantai dengan muara
sungai yang relatif lebar, daerah delta dan tempat-tempat dengan arus sungai yang
banyak mengandung lumpur dan pasir (Ramayanti, 1996). Vegetasi mangrove
memiliki komposisi vegetasi yang hampir seragam, tersusun dari jenis-jenis
pohon atau perdu yang mempunyai persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi
terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut seperti yang diperlihatkan
oleh sistem perakaran yang khas, yaitu akar tunjang pada Rhizophora dan
Ceriops, akar napas pada Sonneratia dan Avicennia serta akar lutut pada
Breequeira, Lumnitzera dan Xylocarpus (Sugiarto dan Ekaryono, 1996).
Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau.
Tanaman dikotil adalah tumbuhan yang buahnya berbiji berbelah dua. Pohon
mangga adalah contoh pohon dikotil dan contoh tanaman monokotil adalah pohon
kelapa. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon
tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin.
Hutan mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis,
antara 32° Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan.
Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies
dengan klasifikasi taksonomi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua
tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman
yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi
pasang surut. Sebagai tambahan, tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi
dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa
masih berada pada pohon induknya. Istilah “bakau” adalah sebutan bagi jenis
utama pohon Rhizophora sp. yang dominan hidup di habitat pantai. Walaupun
tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut
hutan mangrove sebagai hutan bakau atau secara singkat disebut bakau (Irwanto.
2006).
Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal
woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan
mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang
berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan
bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau
hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun
dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu,
penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusuma et
al, 2003).
Mangrove tersebar di seluruh lautan tropik dan subtropik, tumbuh hanya
pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang; bila keadaan pantai
sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan
akarnya. Pantai pantai ini tepat di sepanjang sisi pulau-pulau yang terlindung dari
angin, atau serangkaian pulau atau pada pulau massa daratan di belakang terumbu
karang di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1998).
Hutan mangrove selain hijau umumnya tumbuh dengan baik di tepian
sepanjang pantai yang terlindung secara alamiah, delta dan muara sungai.
Keterbatasan jenis mangrove disebabkan oleh kondisi-kondisi pada tempat
keberadaannya dan sedikitnya tumbuhan yang mampu bertahan serta tumbuh
dengan subur di lumpur bergaram dan sering digenangi air laut. Meskipun
mangrove toleran terhadap tanah bergaram, yang menandakan sebagai halophytes,
mangrove lebih bersifat fluktuatif daripada bersifat obligat karena dapat tumbuh
dengan baik di air tawar. Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula,
B.gymnorrhiza dan Sonneratia caseolaris yang tumbuh berbuah dan berkecambah
di Kebun Raya Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang tepian sungai Kapuas
di pedalaman sejauh 200 km di Kalimantan Barat (Yayasan Mangrove, 1993).
Tumbuhan mangrove umumnya mudah dikenali karena memiliki sistem
perakaran yang sangat menyolok, serta tumbuh pada kawasan pantai di antara
rata-rata pasang dan pasang tertinggi (Ng dan Sivasothi, 2001). Hutan mangrove
atau mangal adalah vegetasi yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis dan
sub-tropis, didominasi tumbuhan bunga terestrial umumnya berhabitus pohon dan
semak, dapat menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut, dengan tanah
bersalinitas tinggi dan anaerob (Mac- Nae, 1968; Chapman, 1976; Tomlinson,
1986; Aksornkoae, 1993; Nybakken, 1993; Kitamura dkk., 1997). Ekosistem
mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan
mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (SNM, 2003),
namun tanpa hadirnya tumbuhan mangrove, kawasan ini tidak dapat disebut
ekosistem mangrove (Jayatissa dkk., 2002). Komposisi dan struktur vegetasi
mangrove berbeda-beda, secara spasial maupun temporal akibat pengaruh
geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biogeografi, iklim, faktor edafik dan
kondisi lingkungan lainnya (Bandaranayake, 1998).
2.4 ANALISIS VEGETASI
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari
beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme
kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama
individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya
sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis
(Marsono, 1977).
Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat
mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda
dengan vegetasi di tempat 1ain karena berbeda pula faktor lingkungannya.
Vegetasi hutan merupakan sesuatu sistem yang dinamis, selalu berkembang sesuai
dengan keadaan habitatnya.
Kehadiran vegetasi pada suatu landskap akan memberikan dampak positif
bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Secara umum peranan
vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbon
dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah,
pengaturan tata air tanah dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi
pada suatu area memberikan dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi
tergantung pada struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu.
Sebagai contoh vegetasi secara umum akan mengurangi laju erosi tanah, tetapi
besarnya tergantung struktur dan komposisi tumbuhan yang menyusun formasi
vegetasi daerah tersebut.
Adanya perbedaan pengaruh tipe vegetasi terhadap sistem tata air pada
suatu area antara lain disebabkan karena setiap jenis tumbuhan memiliki model
arsitektur yang berbeda-beda. Model arsitektur biasanya diterapkan untuk
tumbuhan berhabitus pohon yang merupakan gambaran morfologi pada suatu
waktu dimana merupakan salah satu fase dari rangkaian pertumbuhan pohon
tersebut. Model arsitektur pohon tertentu mempengaruhi translokasi air hujan
menjadi laju aliran batang, air tembus tajuk, infiltrasi dan laju aliran permukaan
pada suatu area yang terkait dengan peranan vegetasi dalam mengurangi laju erosi
pada daerah tersebut.
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau
komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-
tumbuhan. Unsur struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan
penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis,
diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penvusun
komunitas hutan tersebut. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh informasi
kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.
Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan
kedalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal
dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain atau areal yang
sama namun waktu pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman jenis
dalam suatu areal; dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan
faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Greig-Smith, 1983).
Selain itu, analisa vegetasi secara garis besar adalah mempelajari komunitas
tumbuhan , yang mencakup identifikasi species, bentuk pertumbuhan species.
Sedangkan khusus synekologi atau ekologi komunitas tumbuhan dikenal sebagai
phytososiologi atau sosiologi tumbuhan (Made Sedhana, 1982). Analisis vegetasi
adalah suatu analisis yang bertujuan untuk mempelajari karakter suatu komunitas
(Anonimous,1985).
Analisa pada berbagai sifat terdiri dari jenis yang kualitatif dan yang
kuantitatif. Jenis yang kualitatif berifat memerikan karena kesulitan untuk
mengukurnya, meskipun kebanyakan data kualitatif itu dapat ditentukan
kuantitasnya kemudian, tetapi jenis yang kuantitatif adalah corak yang dapat
diukurdengan mudah (J. Yanney Ewusie, 1990).
2.4.1 TIPE VEGETASI MANGROVE
Komunitas mangrove di Indonesia pada dasarnya terdiri atas paling sedikit
47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba/rumput, 9 jenis liana, 29 jenis epifit
dan 2 jenis parasit (Yayasan Mangrove, 1993). Menurut Sukardjo (1996), di
Indonesia terdapat 75 jenis tumbuhan mangrove, sehingga Indonesia termasuk
pula sebagai wakil pusat geografi beberapa marga mangrove, Rhizophora,
Bruguiera, Avicennia, Ceriops, dan Lumnitzera. Meskipun demikian tidak semua
jenis mangrove tersebut ada pada setiap tipe komunitas mangrove, menyatakan
bahwa mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi,
seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan , 35 jenis diantaranya berupa
pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit
(29 jenis) dan parasit (2 jenis).
Menurut Noor et al., (1999), tipe vegetasi mangrove terbagi atas empat bagian
antara lain :
a) Mangrove terbuka, mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.
b) Mangrove tengah, mangrove yang berada di belakang mangrove zona terbuka.
c) Mangrove payau, mangrove yang berada disepanjang sungai berair payau
hingga air tawar.
d) Mangrove daratan, mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar
di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya.
2.4.2 JENIS-JENIS MANGROVE
Menurut Soerianegara (1987) , bahwa hutan maangrove terdiri atas jenis-
jenis pohon Avicennia, Rhizophora, Sonneratia, Bruguieria, Ceriops, Lumnitzera,
Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceros, Scyphyphora dan Nypa. Jenis-jenis
tumbuhan mangrove yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia sekitar 89
jenis yang terdiri atas 35 jenis pohon, lima jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana,
29 jenis epifit dan dua jenis parasit (Menurut Soerianegara, 1987).
Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang
banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau
(Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia
sp.), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis
mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan
endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Salah satunya adalah api-api
(Avicennia sp.)
2.4.2.1 Api-api (Avicennia sp.)
Termasuk famili Avicenniaceae. Disebut juga sia-sia. Dikenal secara
umum sebagai black mangrove. Pohon jenis ini mempunyai toleransi yang tinggi
terhadap kadar garam. Dapat tumbuh mencapai ketinggian 25 – 30 m. Pohon ini
tidak mengeluarkan garam di bagian akarnya, tetapi mengeluarkan kelebihan
garam melalui pori-pori daunnya yang akan terbawa oleh hujan dan angin.
Seringkali garam terlihat sebagai lapisan kristal putih di bagian permukaan atas
daun.
Karena spesies Avicennia mudah menumbuhkan cabangnya,
memungkinkan untuk diambil cabang dan rantingnya tanpa mengganggu batang
pohonnya. Pohon jenis juga bersifat toleran terhadap air berkadar garam tinggi,
dapat juga menahan lumpur dari pasir dan hempasan ombak. Oleh karenanya
merupakan juga jenis bakau yang dapat menstabilkan pantai, mencegah erosi, dan
memberi kesempatan pohon lain untuk tumbuh.
Deskripsi umum : Belukar atau pohon yang tumbuh menyebar dengan
ketinggian mencapai 25 m. Kumpulan pohon membentuk sistem perakaran
horizontal dan akar nafas yang rumit. Akar nafas biasanya tipis, berbentuk jari
(atau seperti asparagus) yang ditutupi oleh lentisel. Kulit kayu luar berwarna
keabu-abuan atau gelap kecoklatan, beberapa ditumbuhi tonjolan kecil, sementara
yang lain kadang-kadang memiliki permukaan yang halus. Pada bagian batang
yang tua, kadang kadang ditemukan serbuk tipis (Noor, 1999).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada tanggal 29 Mei 2010 yang dmulai dari pukul
09.00-11.00 WIB. Penelitian di lakukan pada hutan mangrove di kawasan Cagar
Alam Pulau Dua pada formasi Avicennia yang terletak di pinggir pantai.
3.1.2 PROFIL TEMPAT
Cagar Alam Pulau Dua terletek di Teluk Banten dengan daerah
administrsis Desa Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Kaupaten Serang.
Topografi kawasan ini secara keseluruhan relatif datar, tidak terdapat bukit-bukit
dan ketinggiannya hanya berkisar antara 1-3 m di atas permukaan laut. Keadaan
iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim B dengan
curah hujan rata-rata 3.959 mm per tahun, temperatur rata-rata berkisar antara
22ºC-33ºC dengan kelembaban udara 80%.
Potensi biotik kawasan Flora Cagar Alam Pulau Dua mempunyai tipe
vegetasi hutan dataran rendah dan sebagian merupakan tipe ekosistem payau
(mangrove). Fauna cagar alam ini merupakan tempat persinggahan dan tempat
berkembang biaknya beberapa jenis burung migran dan burung-burung kecil
lainnya.
3.2 BAHAN DAN ALAT
Bahan yang diteliti adalah aquadest. Peralatan yang digunakan selama
penelitian adalah tali rapia sepanjang 40 m, 4 m(dan dibuat sebanyak tiga buah),
patok, meteran, termometer, lux meter, sling psychometer, soil tester,
anemometer, kamera dan alat tulis.
3.3 CARA KERJA
3.3.1 METOTE PLOT
Mula-mula ditentukan lokasi untuk pemasangan plot. Letak petak/ plot di
sepanjang jalur di tentukan dengan menentukan jalur terlebih dahulu, setelah jalur
dibuat, maka ditentukan plot 10 x 10 untuk mengidentifikasi tumbuhan tingkat
pohon. Kemudian setelah dibuat plot, dilakukan pengukuran keliling pohon yang
nantinya akan ditentukan DBH. Setelah semua individu pohon telah dilakukan
pengukuran maka kita membuat 3 plot berukuran 1 x 1 untuk mengidentifikasi
tumbuhan tingkat semak atau herba. Penentuan plot dilakukan secara acak, yaitu
bisa dengan cara melempar batu dan bagian tempat jatuhnya batu dipasang plot.
Plot 1 x 1 dibuat sebanyak tiga plot yang ditentukan secara acak. Setelah plot
dibuat maka dilakukan pengukuran berupa jumlah individu dari masing-masing
spesies yang terdapat di dalam plot dan kerimbunan masing spesies. Perlakuan
yang sama dilakukan pada masing-masing plot.
3.3.2 PENGUKURAN FAKTOR FISIK LINGKUNGAN
Pengukuran faktor fisik yang dilakukan adalah:
pH tanah
Pengukuran pH tanah dimulai dengan menggali tanah kira-kira sedalam 5 cm
kemudian ditancapkan soil tester sampai batas yang berwarna kuning,
kemudian ditunggu selama lima menit. Setelah itu ditekan tombol untuk
membaca pH tanahnya.
Suhu tanah
Pengukuran suhu tanah dimulai dengan menancapkan termometer ke dalam
tanah selama tiga menit , kemudian dibaca suhu tanahnya.
Suhu udara
Pengukuran suhu udara dilakukan dengan memegang tali pada termometer
yang diarahkan ke udara selama tiga menit, kemudian di baca suhu udaranya.
Kelembaban udara
Pengukuran kelembaban udara dilakukan dengan cara membasahi kasa
yang terdapat pada sling dengan menggunakan aquadest kemudian sling
diputar ke arah atas (menjauhi badan) selama tiga menit. Setelah tiga menit
kemudian dilakukan pembacaan skala yang terdapat pada sling dan dicatat
sebagai kelembaban basah dan kering yang kemudian diperoleh selisihnya dan
dicari kelembaban udaranya pada tabel.
Intensitas cahaya
Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan cara mengarahkan sensor
lux meter ke arah cahaya kemudian ditunggu sampai skalanya stabil.
Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali kemudian hasilnya dirata-ratakan.
Kecpatan Angin
Pengukuran kecepatan angin dilakukan dengan menggunakan
anemometer. Pengukuran dilakukan dengan cara anemometer dikalibrasi
sampai jarum yang terdapat pada alat tersebut stabil. Setelah stabil
anemometer diarahkan berlawanan dengan arah datangnya angin selama tiga
menit kemudian dibaca skala yang terbaca sebagai kecepatan angin.
3.3.3 ANALISIS DATA
Jumlah individu rata-rata
= Σ individu
Σ plot
Kerapatan jenis
Kji = Σ individu rata-rata
Luas plot
Kerapatan relatif suatu jenis (KRi)
KRi = Σ Kerapatan suatu jenis x 100%
Σ Kerapatan seluruh jenis
Frekuensi suatu jenis
Fji = Σ petak contoh yang diduduki suatu jenis (i)
Σ petak contoh / plot seluruh pengamatan
Frekuensi relatif suatu jenis (i)
FRi = Σ frekuensi suatu jenis (i) x 100 %
Σ frekuensi seluruh jenis (i)
Indeks Nilai Penting (INP)
Untuk tingkat semai atau pancang:
INP = KRi + Fri
Untuk tingkat pohon:
INP = KRi + DRi + FRi
Indeks Keanekaragaman
H' = - Σ (pi) Ln pi
i=1
Keterangan :
H' = Indeks Keranekaragaman Jenis
pi = ni/N
ni = Nilai Penting Jenis ke i
N = Jumlah Nilai Penting Semua Jenis
Indeks Kesamaan Komunitas
I S = 2 C
a + b
Keterangan :
I S = Indeks Similarity
C=umlah Nilai Penting Terkecil dari jenis yang terdapat
pada kedua releve yang dibandingkan
a= Jumlah nilai semua jenis pada salah satu releve
b = Jumlah nilai semua jenis pada releve lainnya
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL PENGAMATAN
Lokasi : Hutan Mangrove di Cagar Alam Pulau Dua
Waktu : Sabtu, 29 Mei 2010
Pukul 09.00-11.00 WIB
Formasi: Avicennia
Habitus : Pohon
Tabel 1. hasil analisis data pohon
NO SpesiesΣindividu rata-rata
DBH rata-rata
KR (%)
DR (%)
FR (%)
INP (%)
1Avicennia
alba 5 0.16 100 100 100 300
Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai kerapatan relatif yaitu sebesar
100%. Kerapatan relatif menggambarkan jumlah individu suatu spesies yang
terdapat pada plot tersebut. Hal ini berarti pada plot tersebut hanya terdapat satu
jenis pohon yaitu Avicennia alba. Dari tabel tersebut terlihat pula nilai dominansi
relatif yaitu sebesar 100% hal ini berkaitan dengan nilai KR yang diperoleh,
karena pada plot tersebut hanya terdapat satu jenis pohon yaitu Avicennia alba,
maka spesies tersebut mendominasi plot tersebut. Dari tabel terlihat pula nilai
frekuensi relatif yaitu sebesar 100% hal ini berarti bahwa distribusi Avicennia
alba terdapat pada setiap plot. Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa vegetasi
yang mendominasi lokasi tersebut adalah jenia Avicennia alba, hal tersebut
terlihat dari INP yaitu sebesar 300%. Sehingga komunitasi pada lokasi penelitian
merupakan Komunitas Avicennia.
Tabel 2. Keanekaragaman vegetasi pohon pada plot pengamatan
no sprsies
Σindividu rata-
rata Pi ln Pi Pi ln Pi H' e IS
1Avicennia
alba 5 0.5 -0.69 -0.346 0.346 0 1
Dari tabel trsebut terlihat bahwa nilai indeks keanekaragamannya adalah
sebesr 0.346 nilai tersebut kurang dari 1 dan mendekati 0, hal tersebtu
menunjukkan bahwa keanekaragaman vegetasi pohon pada lokasi tersebut adalah
rendah. Nilai yang mendekati nol menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut hanya
terdapat satu jenis pohon yaitu Avicennia alba. Dari nilai keanekaragaman,
dihitung pula indeks kemerataan spesies pada komunitas tersebut dan dari tabel
terlihat bahwa nilai kemerataan spesiesnya adalah 0 hal tersebut menunjukkan
bahwa persebaran spesies tidak merata karena hanya ada satu jenis vegatasi pohon
yang terdapat pada lokasi ini dan mendominasi lokasi tersebut. Diperoleh pula
indeks kesamaan jenis yaitu 1, hal tersebut menunjukkan bahwa pada plot tersebut
hanya terdapat satu jenis vgetasi yaitu Avicennia alba.
Tabel 3. Faktor fisik lingkungan
NO
Intensitas Cahaya (klux)
Kelembaban Udara (%)
Kecepatan Angin (m/s)
pH tanah
Suhu Tanah (ºC)
Suhu Udara (ºC)
1 3.76 3 4 30 33
Pada tabel tersebut terlihat bahna intensitas cahaya pada plot pengamatan
adalah 3.76 klux hal ini merupakan intensitas cahaya yang rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa kawasan ini tertutup oleh kanopi yang cukup rapat.
Kecepatan angin juga kecil yaitu hanya sebesar 3m/s. pH tanah pada lokasi ini
adalah asam yaitu hanya memiliki pH 4. suhu udaranya adalah 33 ºC merupakan
suhu yang sedang.
Habitus : Herba
Tabel 4.Hasil analisis herba
Taksa Jumlah ∑ ind.Rata-rata
KR(%)
FR(%)
INP(%)
Asteraceae 1 0.33 3.83 7.68 11.51
Spesies 1 1 0.33 3.83 1.58 5.41
Spesies 2 2 0.66 7.67 7.68 15.35
Spesies 3 4 1.33 15.33 7.68 23.01
Spesies 4 2 0.66 7.67 7.68 15.35
Spesies 5 1 0.66 7.67 7.68 15.35
Spesies 6 1 0.33 3.83 7.68 11.51
Spesies 7 8 2.66 31.01 7.68 38.69
Spesies 8 1 0.33 3.83 7.68 11.51
Spesies 9 1 0.33 3.83 7.68 11.51
Spesies 10 1 0.33 3.83 7.68 11.51
Kaktus 2 0.66 7.67 7.68 15.35
JUMLAH 26 8,61 100 100 100
Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai KR terbesar terdapat pada spesies 7
yaitu sebesar 31.01%, hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah individu spesies 7
terbanyak yang terdapat di dalam plot. Terlihat pula nilai KR terendah yaitu
sebesar 3.83% yaitu terdapat pada spesies 1,4,6,8,9,10 dan asteraceae. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa taksa tersebut memiliki jumlah individu yang paling
sedikit yang terdapat pada plot. Selanjutnya pada spesies 3 diperoleh nilai KR
sebesar 15.33%, nilai ini merupakan nilai terbesar kedua yang terdapat pada table.
Hal tersebtu menunjukkan bahwa spesies 3 memiliki jumlah indivu yang cukup
banyak pada plot tersebut.
Dari nilai FR terlihat bahwa spesies 2,3,4,5,6,7,8,9,10 dan asteraceae
memiliki ilai yang sama yaitu sebesar 7.68%, hal tersebut menunjukkan bahwa
distribusi atau penyebaran jenis tersebut tersebar merata pada setiap plot
pengamatan. Sedangkan nilai FR terendah terdapat pada spesies 1, hal tersebut
menggambarkan bahwa distribusi atau persebaran jenis tersebut tidak merata pada
plot pengamatan.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa INP terbesar yaitu terdapat pada spesies
8 yaitu sebesar 38.69% yang menunjukkan bahwa spesies 8 memiliki peranan
yang penting pada lokasi pengamatan, hal tersebut terlihat pula dari nilai KR dan
FR yang besar dimana spesiees tersebut mendominasi dan tersebar merata pada
seluruh plot. Spesies 3 memiliki INP yaitu sebesar 23.01%, ini menunjukkan
bahwa spesies 3 memiliki peranan yang tidak kalah penting daripada spesies 8
pada komunitas tersebut. Selanjutnya spesies 2,4,5 dan kaktus memiliki INP yang
sama yaitu sebesar 15.35 % hal tersebut menunjukkan bahwa taksa tersebut
memiliki peran yang tidak kalah penting dari spesies 8 dan 3. Asteraceae, spesies
6,8,9 dan 10 memiliki INP yang sama yaitu sebesar 11.51%. Dan INP terendah
terdapat pada spesies 1 yaitu sebesar 5.41%.
Tabel 5. Hasil analisis vegetasi pohon.
Spesimen Jumlah ∑ ind.Rata-rata
KR(%)
DR(%)
FR(%)
INP
Spesies 11 1 0.25 25 17.61 50 92.61
Waru Laut
3 0.75 75 82.39 50 207.39
JUMLAH 4 1.0 100 100 100 300
Pada plot tersebut juga diperoleh pohon. Dari tabel terlihat bahwa INP
terbesar yaitu pada spesies waru laut. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada plot
pengamatan tersebut didominasi oleh jenis waru laut, hal tersebut terlihat dari
nilai dominansinya yaitu sebesar 82.39% dan nilai KR yaitu sebesar 75%.
Dominansi terlihat pada nilai KR dan FR yang besar. Nilai KR menggambarkan
kerapatan proyeksi tajuk yang menutupi pada plot tersebut, nilai FR
menggambarkan distribusi atau persebaran waru laut pada plot pengamatan
tersebar secara merata.
Tabel 6.Kanekaragaman vegetasi herba pada plot pengamatan
Taksa Jumlah ∑ ind.Rata-rata
Pi ln Pi Pi ln Pi
asteraceae 1 0,33 0.0082 -4.80 -0.04
Spesies 1 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04
Spesies 2 2 0.66 0.0165 -4.10 -0.07
Spesies 3 4 1.33 0.0332 -3.40 -0.11
Spesies 4 2 0.66 0.0165 -4.10 -0.07
Spesies 5 2 0.66 0.0165 -4.10 -0.07
Spesies 6 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04
Spesies 7 8 2.66 0.0665 -2.17 -0.18
Spesies 8 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04
Spesies 9 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04
Spesies 10 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04
Kaktus 2 0.66 0.0165 -4.10 -0.07
Spesies 11 1 0.33 0.0082 -4.80 -0.04
Waru Laut
3 1.0 0.025 -3.68 -0.09
JUMLAH 40 9.94 0.2462 H’EIS
0.940.36
Dari tabel tersebut terlihat bahwa H’ adalah sebesar 0.94 nilai tersebut
kurang dari 1 yaitu menunjukkan bahwa keanekaragaman vegetasi pada plot
tersebut adalah randah. Nilai kemerataan yang diperoleh adalah sebesar 0.36 nilai
ini kurang dari 1, hal tersebut menunjukkan bahwa persebaran vegetasi pada plot
tersebut tidak merata. Hal ini disebabkan karena ada spesies yang mendominasi
pada plot tersebut yaitu waru laut.
Tabel 7. Pngukuran faktor fisik lingkungan
Suhu udara(ºC)
Suhu tanah(ºC)
Intensitas cahaya(Klux)
pH tanah Kelembaban udara(%)
Kecepatan angina(m/s)
32 32 10,16 7 Kering=32Basah=28
1,92
Dari tabel tersebut terlihat bahwa suhu udara adalah yang doperoleh
adalah 32ºC, suhu tersebut merupakan suhu yang sedang. Intensitas cahaya yang
diperoleh cukup tinggi yaitu sebesar 10.16 klux hal tersebut dikarenakan pada
wilayah tersebut hanya terdapat sedikit pohon yang menutupi plot tersebut
sehingga tidak ada celah yang menutupi cahaya masuk ke plot tersebut. pH
tanahnya adalah netral yaitu pada pH 7 dengan kecepatan angin yang rendah yaitu
sebesar 1.92 m/s.
4.2 PEMBAHASAN
Pada penelitian kali ini digunakan metode plot kuadrat yaitu untuk
mengetahui struktur vegetasi yang terdapat pada suatu lokasi. Penelitian ini
dilakukan pada formasi Avecennia. Dimana plot 10x10 m dipasang untuk
mengidentifikasi pohon, sedangkan plot 1 x 1m dipasang untuk mengidentifikasi
herba atau perdu.
Dibuat plot 10 x 10 m sebanyak dua plot yaitu sebagai pengulangan dan
diperoleh hasil yaitu. Avicennia alba memiliki INP sebesar 300%. Hal tersebut
menggambarkan bahwa jenis tersebut berperan penting dalam plot tersebut. Hal
tersebut terlihat pula pada nilai dominansi relatif yaitu sebesar 100% hal tersebut
menunjukkan bahwajenis Avicennia alba mendominasi plot tersebut. Dominasi
juga dapat dilihat dari nilai kerapatan relatif yaitu sebesar 100%. Nilai ini
menggambarkan kerapatan jenis dari Avicennia alba pada plot pengamatan.
Kerapatan dapat dilihat dari luar penutupan tajuk terhadap tanah. Tajuk yang rapat
berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang dapat masuk ke dalam hutan.
Semakin rapat kanopi maka semakin kecil celah yang dapat dimasuki oleh cahaya.
Hal indi dapat berpengaruh pada tumbuhan yang terdapat dibawah tegakan pohon
tersebut.
Nilai INP sebesar 300% menunjukkan bahwa hanya terdapat satu jenis
vegetasi yang mendominasi wilayah tersebut dalam hal ini vegetasi tersebut
adalah Avicennia alba. Sehingga komunitas ini disebut komunitas Avicennia.
Indeks keanekaragaman diperoleh yaitu sebesar 0.346 nilai tersebut
kurang dari 1 dan hampir mendekati 0 , hal tersebut menggambarkan bahwa
keragaman vegetasi pada lokasi tersebut adalah rendah. Indeks kemerataan yang
diperoleh adalah 0 hal tersebut menunjukkan bahwa persebaran spesies tidak
merata karena hanya ada satu jenis vegatasi pohon yang terdapat pada lokasi ini
dan mendominasi lokasi tersebut. Diperoleh pula indeks kesamaan jenis yaitu 1,
hal tersebut menunjukkan bahwa pada plot tersebut hanya terdapat satu jenis
vgetasi yaitu Avicennia alba.
Selanjutnya untuk analisis herba diperoleh INP terbesar yaitu pada spesies
8 yang bernilai 38.69% yang menunjukkan bahwa spesies 8 memiliki peranan
yang penting pada lokasi pengamatan, hal tersebut terlihat pula dari nilai KR dan
FR yang besar dimana spesiees tersebut mendominasi dan tersebar merata pada
seluruh plot. Selanjutna pada plot tersebut juga terdapat jenis waru laut yang
memiliki nilai INP yang besar yaitu sebesar 207.39%. Hal tersebut menunjukkan
bahwa waru laut memiliki peranan penting pada wilayah tersebut.
Pada plot ini diperoleh indeks keanekaragaman yaitu sebesar bahwa H’
adalah sebesar 0.94 nilai tersebut kurang dari 1 yaitu menunjukkan bahwa
keanekaragaman vegetasi pada plot tersebut adalah randah. Nilai kemerataan yang
diperoleh adalah sebesar 0.36 nilai ini kurang dari 1, hal tersebut menunjukkan
bahwa persebaran vegetasi pada plot tersebut tidak merata. Hal ini disebabkan
karena ada spesies yang mendominasi pada plot tersebut yaitu waru laut.
Dari hasil analisis yang dilakukan pada dua tipe vegetasi pada lokasi yang
sama terlihat bahwa indeks keanekaragaman yang diperoleh pada masing-masing
vegetasi adalah rendah. Hal ini disebabkan karena adanya salah satu jenis vegtasi
yang dominan pada wilayah tersebut. Vegetasi ini adalah Avicennia alba.
Dominansi ini ditunjukkan pula dengan kerapatan relatif dasi jenis ini pada lokasi
pengamatan. Kerapatan ini terlihat dari luas kanopi yan menutupi plot. Rapatnya
kanopi menyebabkan sedikitnya celah yang dapat dimasuki oleh cahaya ke dalam
hutan, hal ini berpengaruh pada tumbuhan yang tumbuh di bawah tegakan pohon
seperti herba. Terhalangnya cahaya untuk dapat masuk ke hutan menyebabkan
tanaman herba yang tumbuh pada komunitas ini memiliki keanekaragaman yang
rendah pula. Keanekaragaman yang rendah menyebabkan indeks kemerataan yang
rendah. Indeks kemerataan sendiri menggambarkan persebaran jenis pada masing-
masing plot. Hal ini juga dikarenakan adanya jenis yang mendominasi sehingga
tumbuhan tidak tersebar secara merata pada plot pengamatan. Diperoleh indeks
keseragaman 1 yaitu bahwa persebaran jenis pada plot ini adalah seragam.
Avicennia alba mendominasi pada plot ini dikarenakan oleh faktor fisik
lingkungan yaitu Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 20ºC-
30ºC, pada suhu di atasnya merupakan suhu yang kurang baik untuk mangrove
dapat tumbuh dan berkembang. Salinitas yaitu kandungan garam yang terdapat
pada air, seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka bahwa mangrove
merupakan vegetasi yang biada hidup di pantai, sehingga Avicennia
alba,berkembang baik dan mendominasi pada daerah tersebut dibandingkan
denga tumbuhan lain . pH yang diperoleh pada pengukuran yaitu sebesar 4 hal ini
cukup sesuai untuk mangrove dapat tumbuh. Karena mangrove merupakan
tumbuhan yang dapat tumbuh baik pada kondisi tanah yang asam maupun kondisi
tanah yang basa yaitu berkisar antara 7-8.5. Nilai pH ini mempengaruhi proses
biokimiawi perairan misalnya proses nitrifikasi. Avicennia sp merupakan
tumbuhan yang tumbuh sangat baik pada substrat berlumpur. Kondisi tanah pada
lokasi pengamatan pun merupakan tanah berlumpur.
BAB V
KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukuan diperoleh kesimpulan yaitu:
Struktur vegetasi hutan merupakan hutan mangrove.
Kondisi hutan di Cagar alam Pulau Dua adalah baik.
Vegetasi mangrove merupakan vegetasi yang mendominasi kawasan
Cagar Alam Pulau Dua.
Komunitas yang diamati merupakan Komunitas Avicennia.
Keanekaragaman vegetasi di lokasi pengamatan adalah rendah karena
didominasi oleh vegetasi mangrove.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Arief Ahmad J, Soehardjono, 1990. Usaha Konservasi Hutan Bakau Di Batu
Ampar, Kalimantan Barat : Suatu Tinjauan Ekologis. Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Indiarto Yun, Suhardjono, Mulyadi, 1990. Pola Variasi Produksi Serasah Hutan
Mangrove Pulau Dua, Jawa Barat. Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. Yogyakarta
Noor Alfian, 1990. Pemulihan Ekosistem Mangrove Sesudah Pencemaran
Minyak Bumi : Eksperimen In Situ. Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.
JURNAL:
Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, Kusumo Winarno, dan A. Susilowati.
2005. Tumbuhan mangrove di Propinsi Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman jenis.
Biodiversitas 6 (1): 00-00 (submitted).
Onrizal, 2007. Pengenalan Vegetasi Mangrove. Departemen Kehutanan.
Universitas Sumatera Utara.
Setiadi Agus, 1990. Pengaruh Hutan Bakau Terhadap Sedimentasi Di Pantai
Teluk Jakarta. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
Bogor.