Antijamur Antiviral, Anti Protozoa

download Antijamur Antiviral, Anti Protozoa

of 10

Transcript of Antijamur Antiviral, Anti Protozoa

Antijamur Kebanyakan jamur sangat resisten terhadap obat-obat antibakteri. Hanya sedikit bahan kimia yang diketahui dapat menghambat jamur patogen pada manusia, dan banyak diantaranya relatif toksik. Kebutuhan untuk dapat mendapat obat antijamur yang lebih baik ditekankan dengan sangat meningkatnya insidensi infeksi jamur, baik lokal maupun meluas pada pasien kurang imun. Diantara obat-obat antijamur yang tersedia saat ini, amfosetirin B ialah yang paling sulit penggunaannya dan banyak efek samping, tetapi masih tetap paling efektif untuk pengobatan mikosis sistemik yang berat. Flusitosin 1. Amfoterisin B Kimiawi Amfoterisin B adalah makrolid polien yang amfoter (polien = mengandung banyak ikatan rangkap, makrolid = mengandung cincin lakton yang besar terdiri dari 12 atom atau lebih), hampir tidak larut air, tidak stabil pada temperatur 370C tetapi stabil selama berminggu-minggu pada suhu 40C. Aktivitas antijamur Amfoterisin B menghambat Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Candida Albicans, Blastomyces dermatitidis dan organisme lainnya yang menyebabkan penyakit jamur pada manusia. Obat ini tidak mempunyai efek pada bakteri tetapi dapat digunakan dengan hasil yang baik pada meningoensefalitis karena Naegleria. Obat ini terikat erat dengan ergosterol pada membran sel jamur dan diubah mungkin melalui pembentukan pori-pori amfoterisin, serta makromolekul dan ion-ion di dalam sel hilang menyebabkan kehancuran yang irreversibel. Farmakokinetik Amfoterisin B sukar diabsorbsi dari saluran pencernaan, karena itu Amfoterisin B yang diberikan peroral hanya efektif untuk jamur didalam lumen saluran pencernaan dan tidak digunakan untuk pengobatan penyakit sistemik. Amfoterisin B lebih dari 90% terikat pada protein dan dikeluarkan dalam jumlah yang sangat terbatas. Dosis kumulatif total Amfoterisin B 75 mg/kg efektif untuk terapi dan tidak atau hanya sedikit menyebabkan toksisitas ginja atau neurologis. Penggunaan Klinik Untuk pengobatan infeksi jamur sistemik, Amfoterisin B diberikan dengan infus lambat lebih dari 4-6 jam. Dosis awal 1-5 mg/hari, ditingkatkan setiap hari sebanyak 5 mg sampai dosis

akhir 0,4-0,7 mg/kg/hari. Pada meningitis karena jamur, suntikan intratekal 0,5 mg v dapat diberikan 3 kalis eminggu sampai 10 minggu lebih. Pada ulkus kornea karena jamur, suatu larutan (1 mg/mL) yang diteteskan pada konjungtiva setiap 30 menit dapat menyembuhkan. Efek Samping Suntikan intravena dapat menyebabkan menggigil, demam, muntah dan sakit kepala. Jumlah Amfoterisin B yang aktif secara terapi biasanya mengganggu fungsi ginjal dan sel-sel hati serta menyebabkan anemia. 2. Flusitosin Flusitosin, 5g/ml, in vitro menghambat banyak strain Candida, Cryptococcus, dan Torulopsis serta beberapa strain Aspergillus dan jamur lain. Sel jamur lebih peka bila sel tersebut mengubah Flusitosin menjadi fluorourasil, yang akhirnya menghambat timidilat sintetase dan sintesis DNA. Dosis oral 150 mg/kg/hari diabsorbsi dengan baik dan didistribusikan secara luas ke jaringan termasuk cairan serebrospinalis dimana konsentrasi obat mencapai 60-80% konsentrasi serum, yang cenderung mendekati 50g/ml. Kira-kira 20% Flusitosin terikat pada protein. Flusitosin banyak diekresikan oleh ginjal, dan konsentrasi di urine mencapai 10 kali konsentrasi serum. Flusitosin tampaknya relatif nontoksik untuk sel-sel mamalia, namun keadaan kadar serum yang tinggi dalam waktu lama sering menyebabkan depresi sumsum tulang, kerontokan rambut dan abnormalitas fungsi hati. 3. Antijamur Azol a. Klotrimazol Klotrimazol 10 mg, sebagai tablet isap, 5 kali sehari dapat menekan kandidiasis rongga mulut, sebagai krim 1% efektif untuk topikal pada dermatofitosis. Obat ini juga tersedia sebagai tablet vagina untuk kandidiasis. Klotrimazol selalu toksik untuk penggunaan sistemik. b. Mikonazol Mikonazol telah lama digunakan sebagai krim 2% untuk dermatofitosis dan pada kandidiasis vagina yang tidak memberi respon terhadap nistatin topikal. Mikonazol juga diberikan secara intravena (30 mg/kg/hari) pada beberapa mikosis yang meluas dan memperlambat kekambuhan. Namun efek samping utama termasuk muntah, hiperlipidemia, tromboflebitis, gangguan hematologis dan lain-lain telah membatasi penggunaannya. c. Ketokonazol

Dosis harian tunggal Ketokonazol 200-400 mg diberikan bersama makanan. Obat ini diabsorpsi dengan baik dan didistribusikan secara meluas tetapi konsentrasi di dalam susunan saraf pusat rendah. Dosis harian menekan infeksi Candida mulut dan vagina dalam 1-2 minggu dan dermatofitosis dalam 3-8 minggu. Kandidiasis mukokutan pada anak-anak yang kurang imun yang memberi respons dalam 4-10 bulan. Dengan dosis oral 200 mg/hari, kadar puncak ketokonazol mungkin mencapai 2-3 g/ml, bertahan selama 6 jam atau lebih. Efek toksik yang utama termasuk, mual, muntah, rash pada kulit, dan peningkatkan kadar transaminase serum. Absorbsi oral ketokonazol terganggu bila diberikan bersama-sama dengan antasida, simetidin, atau rifampin. d. Flukanazol Flukonazol lebih larut dalam air dan lebih mudah untuk diabsorbsi dari saluran pencernaan dibandingkan ketokonazol. Setelah pemberian per oral Flukonazol, kadar plasma hampir sama tinggi dengan setelah pemberian intravena. Flukonazol didistribusikan secara luas di jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinalis, dimana kadarnya mencapai 50-80% kadar serum. Onat ini diekskresikan terutama melalui urin. Waktu paruh Flukonazol lebih kurang 30 jam dan sangat diperpanjang pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Flukonazol oral, 100-200 mg/hari, dapat menekan kandidiasis oral dan esophagus pada pasien defisiensi imunitas serta dapat efektif pada kandiasis sistemik. Flukonazol oral, 400 mg/hari, dapat menekan meningitis karena kriptokokus pada pasien AIDS tetapi sering kambuh kecuali diteruskan dengan dosis rumatan 200 mg/hari selama berbulan-bulan.

Obat antijamur topikal 1. Nistatin Nistatin tidak mempunyai efek terhadap bakteri atau protozoa, tetapi in vitro menghambat bermacam-macam jamur. Cara kerja obat ini melibatkan ikatan Nistatin dengan sterol membrane jamur, terutama ergosterol. Selanjutnya, Nistatin mengganggu permeabilitas dan proses transport, mungkin dengan membentuk pori. Hal ini menyebabkan hilangannya kation dan makromolekul daei dalam sel. Resistensi akibat penurunan sterol membrane atau perubahan strukturnya dan sifat ikatannya.

Nistatin tidak diabsorbsi secara bermakna di kulit, membrane mukosa, atau saluran pencernaan. Sebenarnya semua Nistatin yang dimakan diekskresikan ke dalam feces. Tidak ada kadar yang bermakna dalam darah dan jaringan setelah asupan per oral, dan terlalu toksik untuk diberikan secara parenteral. Nistatin dapat diberikan secara topical pada kulit atau membrane mukosa (bukal, vagina) dalam bentuk krim, salep, supositoria, suspensi atau tepung untuk menekan infeksi candida local. Nistatin diberikan per oral untuk menekana candida di dalam lumen usus. Cara ini dibenarkan pada bayi yang sangat kecil atau orang dengan gangguan daya tahan tubuh (diabetes mellitus, leukemia, steroid dosis tinggi), dimana kemungkinan keberadaan kandidiasis ini dapat menyebar. Namun penambahan Nistatin pada tetrasiklin oral diargukan manfaatnya. 2. Tolnaftat dan Naftifin Tolnafat ialah obat antijamur topical yang digunakan dalam bentuk krim, tepung, atau larutan untuk pengobayan dermatofitosis. Walaupun Candida resisten, banyak dermatofit lain ditekan dan efikasi klinik diperoleh untuk pengobatan selama 1-10 minggu. Dengan penggunaan topical, tampaknya tidak ada absorpsi yang bermakna. Reaksi toksik dan alergi tampaknya minimal. 3. Natamisin Natamisin merupakan obat antijamur polien yang aktif terhadap banyak macam jamur in vitro. Pemberian topical suspensi 5% untuk mata bermanfaat dalam pengobatan keratitis yang disebabkan oleh Fusarium, Cephalosporium atau jamur lain. Obat ini disetujui untuk penggunaan tersebut tetapi harus dikombinasi dengan tindakan bedah oftalmik yang tepat. Natamisin dapat efektif untuk kandidiasis oral atau vagina. Toksisitas dengan cara topical ini tampaknya rendah.

Antivirus 1. Replikasi virus terdiri atas tahapan berikut 2. Adsorpsi dan penetrasi sel yang rentan 3. Sintesis awal protein yang nonstructural, misalnya polymerase asam nukleat 4. Sintesis RNA atau DNA 5. Sintesis lambat protein structural 6. Pengumpulan (pematangan) partikel virus dan pelepasannya dari sel.

1. Penghambat Adsorpsi dan Penetrasi Sel yang Rentan a. Adamantanamin Adamantanamin simetris trisiklik yang menghambat pelepasan selubung miksovirus tertentu, sperti influenza A, rubella dan beberapa virus tumor setelah virus masuk ke dalam sel yang peka. Basa lemah seperti amin ini mungkin bekerja sebagian dengan buffering pH eondosom, vakuola yang terikat membrane yang mengelilingi partikel virus ketika diambil masuk sel pencegahan dari pengasaman vakuola ini menghambat fusi selubung virus dengan membrane endosom, sehingga menghambat transfer materi genetik virus ke dalam sitoplasma sel. Pada manusia dosis harian 200 mg obat baik untuk 2-3 hari sebelum maupun 67 hari setelah infeksi influenza A akan mnegurangi insiden dan beratnya gejala serta respon serologi. Jika diberikan secara oral Adamantadin hamper diabsorbsi sempurna di usus. Obat ini dieksresikan tanpa perubahan terutama melalui ginjal. Efek klinik amantadin yang menonjol adalah insomnia, bicara tidak jelas, pusing, ataksia dan tanda-tanda lain. 2. Penghambat Sintesis Intraseluler a. Penghambatan Sintesis Protein Awal Guanidine dan hidroksibenzimidazol dapat menghambat replikasi RNA enterovirus tertentu tetapi tidak pada yan lainnya. Kedua zat tersebut menghambat pembentukan RNA polymerase pada konsentrasi yang tampaknya tidak membahyakan sel inang in vitro. Resisten mutan terhadap kerja senyawa ini sering terjadi dan cepat hilang dengan adanya obat. Karena itu, seperti diperkirakan, senyawa ini tidak mempunyai aktivitas terapeutik penting in vivo. Uji coba biguanidian dalam infeksi virus RNA pada manusia tidak begitu menggembirakan.

b. Penghambatan Sintesis Asam Nukleat Ribavirin dapat menghambat replikasi baik virus RNA atau DNA dalam model percobaan. Senyawa ini bekerja dengan mengganggu pembentukan guanosin monofosfat dan selanjutnya sisntesis asam nukleat. Ribarivin juga efektif sebagai pengobatan infeksi influenza A dan B dengan mempercepat penurunan demam dan memperpendek gejala penyakit. Ribavirin telah digunakan untuk infeksi pernapasan dan hepatitis di Negara lain serta disetujui untuk infeksi virus sinsisial pernapasan di USA. Analog pirimidin dan purin o Fluorourasil Obat-obat ini dapat menghambat replikasi virus DNA dalam system kultur sel secara efektif, tetapi relative tidak efektif pada in vivo. o Idoksuridin Menghambat replikasi virus herpes simpleks di kornea dan membantu penyembuhan keratitis herpes pada manusia. Untuk pengobatan keratitis herpes, idoksuridin diberikan pada kornea (larutan 0,1% atau salep 0,5%). Obat cenderung untuk mempercepat kesembuhan spontan. Namun, sintesisi DNA sel inang juga dipengaruhi dan dibeberapa efek toksik pada sel kornea terjadi jika pengobatan berlangsung lama. Idoksuridin dapat menimbulkan kontak dermatitis yang alergik. Idoksuridin terlalu toksik untuk pemberian sistemik. o Interferon Interferon merupakan kelompok glikoprotein endogen yang menunjukkan akitiftas antivirus untuk virus nonspesifik, setidaknya pada sel yang homolog, melalui proses metabolic seluler yang melibatkan sintesis RNA dan protein. Diantara Interferon manusia (IFN), dikenal 3 zat utama yaitu IFN- sebagai interferon leukosit manusia (tipe I), IFN- sebagai interferon fibroblas manusia (tipe II), dan IFN- sebagai interferon imun manusia (tipe III). Dari berbagai virus yang peka terhadap penghambatan oleh interferon, obat ini merupakan antiviral yang potensial. Penelitian klinik interferon manusia telah menunjukkan aktivitas dalam beberapa infeksi virus dan neoplasma. Jika diberikan lebih awal interferon dapat mencegah penyebaran herpes zoster pada pasien kanker, mengurangi pelepasan sitomegalovirus setelah transplantasi ginjal, dan mencegah reaktivasi herpes simplek virus setelah pemutusan akar trigeminal.

Dosis interferon mulai dari 106 sampai 109 unit setiap hari, diberikan intravena. Efek samping termasuk demam, lesu, sakit kepala, lemah, mialgi, anemia dan gangguan saluran cerna atau kardiovaskular. Potensi akgir pengobatan interferin dalam pengobatan penyakit manusai masih perlu ditetapkan. c. Penghambatan Sintesis Lambat Protein Sejumlah analog asam amino yang berbeda (misalnya, fluorofenilalanin) mengahmbat sintesis protein structural untuk selubung partikel virus. Antibiotic puromisin mempunyai efek yang sama. Namun, penghambat sintesis protein ini menunjukkan tidak ada spesivisitas dati sintesis protein virus dan mengganggu sintesis protein sel inang sedemikian rupa sehingga sangat toksik. Akibatnya, tidak satupun dari zat ini berguna untuk kemoterapi sekarang. Analog senyawa gula tertentu menghambat sintesisi glikoprotein virus spesifik atau glikolipid. Jadi 2-deoksi-D-glukosa dimasukkan ke dalam glikoprotein dari virus herpes simpleks dan tampak untuk menghambat sintesis seluler polipeptida virus herpes utama yang terglikosilasi. Keuntungan klinik telah disebut tetapi belum dikonfirmasi oleh uji klinik. o Metisazon Dapat menghambat replikasi cacar (variola) virus pada manusia jika diberikan pada penderita dalam 1-2 hari sesudah pemaparan. Metisazon, 2-4 g/hari per oral (100 mg/kg/hari untuk anak-anak) selama 3-4 hari, memberikan proteksi yang mencolok terhadap reaksi klinik cacar.

3. Penghambatan Kumpulan atau Pelepasan Partikel Virus a. Rifampin Menghambat RNA polymerase yang bergantung pada DNA dalam bakteri dan sel mamalia. Obat ini juga menghambat poksvirus tetapi dengan mekanisme yang berbeda. Rifampin mencegah pengumpulan partikel berselubung yang telah matang. Penghambatan ini terjadi selama tahap pembentukan selubung dan bersifat ireversibel walaupun obat dihilangkan. Rifampin tidak digunakan untuk infeksi poksvirus pada manusia tetapi aplikasi topical dapat menghambat lesi vaksinasi manusia.

Antiprotozoa Empat spesies plasmodium penyebab manusia : Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale, Plasmodium falciparum. Meskipun semuanya dapat menyebabakan malaria berat. P. falciparum menyebabkan komplikasi paling serius dan kematian. Efektifitas obat antimalaria bervariasi antara spesies parasit dan antara stadium siklus hidup prasit. Siklus hidup parasit Nyamuk menjadi terinfeksi denganmenghisap darah manusia yang mengandung bentuk seksual parasit. Sporozoit yang berkembang pada tubuh nyamuk kemudian masuk ke tubuh manusia setelah menghisap darah manusia kembali. Stadium pertama perkembangan pada manusia, yaitu stadium eksoeritrositik, dimana sporozoit membelah diri di hati untuk membentuk skizon jaringan. Kemudian parasi tersebut keluar dari hati menuju aliran darah sebagai merozoit untuk memulai stadium stadium eritrositik. Dalam stadium ini, parasit memasuki sel darah merah dan akhirnya sel menjadi pecah, meleapskan skeumpulan merozoit baru. Siklus hidup ini dapat berulang beberapa kali. Sementara itu bentuk gametosit (stadium seksual) dilepaskan ke dalam aliran darah, dimana gametosit dapat terisap oleh nyamuk lain.

Pengobatan malaria Klasifikasi Obat Obat antimalaria dapat dibagi berdasarkan cara kerja selektifnya pada fase yang berbeda dari

siklus hidup parasit. Obat-obat yang mengeliminasi perkembangan skizon jaringan atau hipnozoit laten di hati (misalnya, primakuin) disebut skizontisid jaringan. Obat yang bekerja pada skizon darah disebut skizontisid darah atau obat supresif (misal, klorokuin, amodiakunin, proguanil, pirimetamin, meflokunin, kuinin). Gametosid adalah obat mencegah infeksi di dalam tubuh nyamuk dengan menghancurkan gametosit dalam darah (missal, primakuin untuk P. falciparum dan klorokuinon untuk P.ovale, P. vivax, dan P. malariae) obat sporodontisidal merupakan obat yang menyebabkan gametosid menjadi tidak terinfeksi dalam tubuh nyamuk (missal, pirimetamin, dan proguanil). a. Klorokuin Klorokuin yang diformulasikan sebagai garam fosfat untuk penggunaan oral dan sebagai hidrokoloid untuk penggunaan parenteral. Klorokuin diabsorbsi secara cepat dan hamper lengkap dari saluran cerna, mencapai konsentrasi plasma maksmimal (50-65% berikatan dengan protein) dalam waktu kira-kira 3 jam, dan secara cepat didistribusikan ke jaringan

tubuh. Klorokuin diekskresikan dalam urin dengan waktu paruh 3-5 hari. Ekskresi ginjal ditingkatkan oleh pengasaman urin. Klorokuin merupakan skizontisid darah yang sangat efektif dan digunakan secara meluas untuk mencegah atau mengakhiri serangan malaria vivax, malariae, ovale dan falciparum. Mekanisme kerja antimalaria Klorokuin yang pasti belum diketahui. Klorokuin dapat bekerja dengan menghambat sintesis enzimatik DNA atau RNA pasa mamalia dan sel protozoa atau dengan membentuk suatu kompleks dengan DNA yang mencegah replikasi atau transkripsi ke RNA. Konsentrasi Klorokuin dalam eritrosit normal adalah 10-20 kali dalam plasma dalam eritrosit yang terinfeksi, konsentrasinya kira-kira 25 kali eritrosit normal. Resistensi Parasit yang resisten terhadap Klorokuin tampaknya mengeluarkan Klorokuin melalui suatu membrane yang mirip dengan resistensi sel kanker terhadap banyak obat. Pompa dapat dihambat dan resistensi dapat diubah oleh beberapa obat, termasuk verapamil dan desipramin. Kerja farmakologi Meskipun Klorokuin mempunyai aktivias antiinflamasi, mekanisme kerja pada gangguan autoimun tidaj diketahui. Penggunaan klinik o Serangan Malaria Akut : Klorokuin biasanya mengakhiri demam (dalam 24-48 jam) dan menghilangkan parasitemia dalam (48-72 jam) dari serangan akut Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale, Plasmodium falciparum serta malaria yang disebabkan oleh P. falciparum yang tidak resisiten. Untuk menyembuhkan malaria yang disebabkan, primakuin harus diberikan bersamaan dengan Klorokuin untuk mengeardikasi stadium hati yang menetap. Klorokuin merupakan obat yang lebih disukai untuk profilaksis terhadap semua bentuk malaria kecuali daerah dimana P. falciparum yang resisten. o Amubiasis Klorokuin digunakan bersama dnegan emetin untuk obat alternative abses amuba hati. o Gangguan autoimun bila digunakan setiap hari dengan dosis tinggi selama beberapa bulan, Klorokuin bermanfaat untuk pengobatan autoimun. Efek samping

Gangguan saluran cerna, sakit kepala ringan, gatal (terutama orang hitam), anoreksia, lesu, pandangan kabur dan irutakaria sering terjadi. Kontraindikasi dan Perhatian Klorokuin dikontradinsikasikan pada penderita porfiria yang dapat menimbulkan serangan akut penyakit-penyakit ini. Obat ini tidak boleh dokombinasikan denbgan obat-obat lain yang menyebabkan dermatitis. Klorokuin harus diberikan secara hati-hati pada penderita dengan riwayat kerusakan hati, alkoholisme atau gangguan neurologik atau hematologik. Meskipun penelitian pada wanita hamil belum jelas, pemelitian ekstensif obat tersebut selama kehamilan tanpa efek teratogenik telah meningkatkan wewenang banyak pekerja dan WHO terhadap pandangan bahwa keuntungan obat ini lebih besar daripada resiko potensialnya terhadap janin. b. c. d. Meflokuin Primakuin Primetamin dan Proguanil (Kloroguanid)

Daftar Pustaka Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik; alih bahasa, Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran UNSRI; editor, H. Azwar Agoes. Edisi 6. Jakarta: EGC. pp. 753-758, 760-766, 813-818.