Antibodi Sbg Efek Terapetik
-
Upload
yusuf-dadan-anshori -
Category
Documents
-
view
40 -
download
1
description
Transcript of Antibodi Sbg Efek Terapetik
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antibodi adalah bagian pertahanan tubuh yang digunakan untuk menghilangkan
atau mengurangi zat asing yang masuk ke dalam tubuh.Mekanisme kerja antibodi
dalam tubuh dimulai dengan diikatnya epitope (bagian antigen) oleh antibodi. Ikatan
ini akan membentuk kompleks antigen-antibodi yang berukuran besar dan akhirnya
mengendap. Kompleks antigen-antibodi ini juga dapat dikenali oleh sel makrofag,
yang akan mendegradasi kompleks ini.
Pada perkembangannya antibodi banyak digunakan sebagai alat deteksi di bidang
klinis dan biomedisinal.Deteksi ini dapat berupa deteksi protein atau deteksi
mikroorganisme.Sebagai contoh penentuan golongan darah, penentuan jumlah
mikroorganisme menggunakan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) atau
penentuan ukuran protein menggunakan teknik western bloth
Ketidakspesifikan reaksi poliklonal antibodi, dapat diatasi setelah ditemukanya
monoklonal antibodi.Namun demikian pembuatan monoklonal antibodi sangat
sulit.Antibodi rekombinan bersifat sangat spesifik dan mudah dibuat menggunakan
teknik-teknik bioteknologi umum. Perkembangan pembuatan antibodi rekombinan
ini bertambah setelah keseluruhan gen antibodi telah berhasil di sekuensing dan
dengan ditemukanya teknik PCR. Saat ini antibodi rekombinan mulai dikembangkan
untuk tujuan pengobatan, seperti pada pengobatan kanker.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian antibody ?
2. Bagaimana kegunaan dan mekanisme kerja antibody sebagai agen terapetik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian antibody.
2. Untuk mengetahui kegunaan dan mekanisme kerja antibody sebagai agen terapetik.
1
BAB II
ISI
A. Pengertian Antibody
Antibody adalah bagian pertahanan tubuh yang digunakan untuk menghilangkan
atau mengurangi zat asing yang masuk ke dalam tubuh.Mekanisme kerja antibodi
dalam tubuh dimulai dengan diikatnya epitope (bagian antigen) oleh antibodi. Ikatan
ini akan membentuk kompleks antigen-antibodi yang berukuran besar dan akhirnya
mengendap. Kompleks antigen-antibodi ini juga dapat dikenali oleh sel makrofag,
yangakan mendegradasi kompleks ini.
Pada perkembangannya antibodi banyak digunakan sebagai alat deteksi di bidang
klinis dan biomedisinal.Deteksi ini dapat berupa deteksi protein atau deteksi
mikroorganisme.Sebagai contoh penentuan golongan darah, penentuan jumlah
mikroorganisme menggunakan ELISA (Enzyme Linked ImmunosorbentAssay) atau
penentuan ukuran protein menggunakan teknik western bloth.
Secara umum tahap pertama deteksi mengggunakan antibodi adalahdengan
mengikatkan epitope yang akan di deteksi dengan antibodi. Hal ini mengharuskan
antibodi yang digunakan mampu mengenali epitope secara spesifik.Antibodi yang
dapat mengenali lebih dari satu macam epitope dari dua antigen yang berbeda dapat
menimbulkan kesalahan deteksi positif.
Selama ini antibodi yang sering digunakan dalam deteksi adalah poliklonal
antibodi.Pada larutan antibodi ini terdapat bermacam-macam molekul antibodi.Satu
molekul antibodi, biasanya mengenali satu macam epitope, sehingga larutan
poliklonal antibodi mengenali lebih dari satu macam epitope (Hanly, et.al, 1995).Hal
ini mneyebabkan larutan poliklonal antibodi kurang spesifik jika digunakan sebagai
alat deteksi.
Masalah ketidakspesifikan pada poliklonal antibodi diatasimenggunakan
monoklonal antibodi, jenis antibodi yang merupakan pengembangan poliklonal
antibodi.Larutan monoklonal antibodi, hanya mengandung satu macam molekul
antibodi, sehingga larutan ini hanya mengenali satu macam antigen (Grimaldi dan
French, 1995).Berdasarkan sifat ini, maka larutan monoklonal antibodi sangat spesifik
ketika digunakan sebagai alat deteksi.
2
Namun terdapat beberapa kendala teknis dalam penyiapan monoclonal antibodi ini.
Laboratorium kultur sel mamalia untuk pembuatan hibridoma penghasil monoklonal
antibodi, memerlukan peralatan yang rumit dan keterampilan tinggi. Namun masalah
utama pada penyiapan monoklonal antibody adalah pada saat seleksi sel
hibridoma.Sel hibridoma disiapkan dengan melakukanfusi sel B dari bagian limpa
hewan yang diimunisasi dengan sel kanker (Karuet.al, 1995).Sementara itu hewan
yang diimunisasi dengan satu macam antigen mampu menghasilkan 6x106 sel B yang
berbeda. Satu macam sel B akanmenghasilkan satu macam antinodi. Pada saat
dilakukan fusi sel B, akandidapatkan 6x106 sel hibridoma yang berbeda (Harlow dan
Lane, 1988). Pada pembuatan monoklonal antibodi, harus diseleksi satu macam
hibridoma dari sejumlah hibridoma tersebut.Hal ini merupakan pekerjaan yang sullit
dan memakan waktu lama.
Kesulitan pembuatan monoklonal antibodi di atas, menimbulan usahausaha
kembali untuk mendapatkan jenis antibodi baru yang spesifik dengan cara yang lebih
mudah. Harapan didapatkanya antibodi seperti ini muncul ketika keseluruhan struktur
antibodi (khususnya IgG) telah selesai dipelajari dan ditemukanya teknik
PCR.Antibodi baru yang didapat seringkali sisebut antibody rekombinan.
B. Struktur Molekul Antibodi
Pada dasarnya banyak dikenal molekul antibodi, sebagai contoh padarespon
pertama masuknya antigen ke dalam tubuh dikeluarkan antibodi yang disebut IgM.
Peristiwa inflamasi atau alergi terjadi karena reaksi antara antibody IgE dan
antigen.Sementara antibodi yang efektif dan digunakan tubuh dalam jangka waktu
lama dikenal sebagai IgG.Semua antibodi di atas mempunyai struktur hampir sama
yang berbentuk huruf Y dan disebut sebagai Ig. Ig terdiri dari dua rantai
polipeptida berukuran besar disebut sebagai rantai berat) dan dua rantai polipeptida
berukuran kecil (disebut sebagai rantai ringan ). Dua rantai berat pada Ig saling
dihubungkanoleh ikatan disulfida dan antara satu rantai berat dan rantai ringan juga
saling dihubungkan dengan ikatan disulfida (gambar 1).
3
Gambar 1. Sruktur Molekul Antibodi
Terdapat dua jenis rantai ringan yang telah diketahui yang disebut dengan
gamma dan kappa, sementara terdapat banyak macam rantai berat yang telah
diketahui.Rantai berat ini yang menentukan apakah antibodi tersebut termasuk
golongna IgG, IgM, IgA, IgD atau IgE.
Secara lebih detail, rantai ringan terdiri dari dua bagian yaitu bagian lestari
(conserved/Fc) dan bagian variabel (Fab). Bagian lestari adalah bagian yang
mempunyai urutan asam amino yang hampir sama antar antibodi yang dikeluarkan
akibat respon antigen yang berbeda, bahkan bagian lesatari ini hampir sama antar
spesies. Bagian variabel merupakan bagian yang mempunyai urutan asam amino
yang berbeda. Meskipun jenis antibodinya sama, tetapi urutan asam amino bagian
variabel akan berbeda jika antigen yang direspon oleh antibody tersebut berbeda.
Lebih detail lagi, bagian variabel dapat dibagi menjadi enam bagian yang berupa
bagian frame work (FR) dan complementarity determiningregion (CDR) yang
terletak berselingan. sebagai contoh satu Fab akan mempunyai urutan sebagai
berikut FR1-CDR1-FR2-CDR2-FR3-CDR3. CDR merupakan daerah yang lebih
variatif antar antibodi dibandingkan FR.
Hampir sama dengan rantai ringan, rantai berat juga terdiri dari Fc danFab.
Terdapat satu bagian variabel yang terdiri dari CDR dan FR serta terdapat tiga
bagian lestari yang disebut CH1 (constant high), CH2 dan CH3 (Gambar 1).CH1
mrupakan bagian lestari yang lagsung berhubungan dengan bagian variabel, CH2
merupakan bagian lestari yang befungsi sebagai efektor (penyedia signaltransduksi)
4
untuk pembentukan antibodi dan CH3 merupakan bagian yang dikenali oleh
makrofag sebelum terjadinya fagositosis.
Struktur tersier antibodi menunjukan bahwa fragmen Fv (fragmentvariable)
yang terdiri dari bagian variabel rantai berat dan rantai ringan melakukanfolding
sehingga membentuk struktur loop (Harlow dan Lane, 1988). Bagian iniadalah
bagian yang berfungsi mengikat antigen.Sementara itu, bagian konstanrantai berat
melakukan folding untuk membantu menstabilkan struktur loop diatas.
C. Pemanfaatan Antibodi Rekombinan
Antibodi rekombinan sangat spesifik, karena antibodi ini hanya mengenali
epitope tertentu dari suatu antigen. Antigen yang berbeda, kadangkala memeliki
epitope yang sama. Hal ini seringkali menimbulkan kesalahan pada saat dilakukan
deteksi menggunakan anibodi rekombinan.Teknologi antibody rekombinan
memungkinkan kita memilih epitope tertentu yang spesifik dimiliki oleh suatu
antigen.Menggunakan antibodi yang sangat spesifik tersebut, kesalahan deteksi
positif dapat dikurangi.
Antibodi rekombinan juga memungkinkan pembuatan antibodi terhadap zat yang
sangat toksik (Dubel 2002).Antibodi terhadap zat yang sangat toksiktidak dapat
dibuat menggunakan teknik poliklonal maupun monoklonal antibodi.
Hewan percobaan yang terlalu banyak disuntuk zat toksik ini, akan mengalami
kematian, sementara jika jumlah zat toksik yang disuntikan terlalu sedikit, jumlah
antibodi yang dihasilkan tidak mencukupi jika digunakan secara komersial.
Teknik antibodi rekombinan memungkinkan penyuntikan zat toksik yangkecil,
tetapi gen pengkode antibodi terhadap zat tersebut telah tersimpan pada sel B di
jaringan limpa hewan percobaan. Selanjutnya gen ini dapat diisolasi dan produksi
antibodi untuk tujuan komersial (masal) dapat dilakukan secara in vitro.
Saat ini yang banyak dikembangkan adalah pemakaian antibody rekombinan
dalam protein fusi untuk membantu immunotargeting (Little, 1995).
Sebagai contoh dalam imunotoksin. Antibodi rekombinan yang difusikan
dalamprotein toksin, dapat membantu kerja protein tersebut karena akan membantu
mengenali molekul toksik target, karena ada bagian molekul toksik tersebut yang
juga dikenali antibodi. Menggunakan cara yang sama antibodi rekombinan juga
5
sering digunakan dalam pengobatan kanker (Ryu dan Nam, 2000). Antibodi yang
ditempelkan pada obat kenker akan membantu mengenali sel kanker, sehingga
pengobatan dapat berlangsung lebih efektif.
D. Obat antibody
1. Pengertian rituximab
Rituximab adalah antibody monoklonal anti-CD20 yang telah digunakan untuk
terapi berbagai penyakit autoimun.
2. Penggunaan Rituximab
Rituximab sudah digunakan pada beberapa penyakit autoimun pada pasien
dewasa dan anak, baik sebagai monoterapi maupun sebagai tambahan terapi
konvensional. Beberapa penyakit autoimun tersebut antaralain, limfomasel B,
anemia hemolitik autoimun, purpura trombositopeniimun, neuropatiIgM-mediated,
vaskulitispositif-anti-neutrophil cytoplasmic antibody (ANCA), artritisreumatoid,
lupus eritematosussistemik, penyakit limfoproliferatif pasca transplantasi, rejeksi
akut pasca transplantasi, dan nefropati membranosa dengan hasil yang baik. 4
Rituximab telah digunakan terhadap lebih dari 300.000 pasien limfoma sel B
dengan dosis 375 mg/ m2 luas permukaan badan (LPB) yang diberikan empat dosis
setiap minggu. Keberhasilan rituximab dalam terapi penyakit autoimun,
menimbulkan dugaan kuat terhadap peransel-B dalam pathogenesis penyakit
autoimun. 1,2 Edelbauer dkk5 melapork anak-anak dengan lupus eritematosus
sistemik yang refrakter terhadap imunosupresan konvensional, diobati dengan
rituximab dan terdapat perbaikan klinisekstrarenal, meskipun tidak terjadi remisi
total, namun hematuria dan proteinuria tidak mengalami perubahan. Marks dan
Tullus6 mengobati 19 pasien lupus eritematosus sistemik dengan rituximab 750
mg/m2 LPB diberikan dua kali selang waktu dua minggu, dan setelah dipantau
selama rerata 23 bulan, didapatkan 13 (54%) pasien dalam keadaan baik dan tidak
memerlukan pemberian imunosupresan lain. Nwobi dkk7 melaporkan 15 pasien
lupus eritematosus sistemik yang diterapi dengan rituximab. Pada 93% didapatkan
perbaikan klinis, fungsi ginjal, double-stranded DNA (dsDNA) antibodies, dan
proteinuria. Deplesisel B terjadi dalam dua minggu setelah pemberian rituximab.
Pada pasien lupus eritematosus sistemik yang diterapi dengan rituximab, terdapat
peningkatan bermaknasel T regulatori (TREG) dan peningkatan sel T apoptotik.
Angka kejadian remisi secara umum pada lupus eritematosus sebesar sekitar 89%.8
6
Rituximab juga dilaporkan berhasil dalam pengobatan berbagai penyakit ginjal.3
Beberapa peneliti melaporkan keberhasilan rituximab dalam tatalaksana sindrom
nefrotik refrakter. Pemberian rituximab dalam tatalaksana sindrom nefrotik
didasarkan pada patogenesis, yaitu dapat menyebabkan deplesisel B.
3. Mekanisme kerja rituximab
Mekanisme rituximab untuk menginduksi remisi pada sindrom nefrotik
belum jelas, namun demikian telah dikemukakan beberapa teori. 2,3 Rituximab
berperan langsung dalam pathogenesis sindromnefrotik, dengan menyebabkan
deplesi sel B secara langsung atau menghambat interaksi antara sel B dansel T.
Beberapa mekanisme farmakologi rituximab antaralain, sitotoksisitas yang
dimediasi antibody tergantung sel, sitotoksistas tergantung komplemen, induksi
apoptosis, inhibisi proliferasi sel, rekruitmen selefektor, danaktivasi sitokin.4
Secara invitro maupun invivo, diduga aksi predominan antibody adalah melalui
cellmediated lysis. 2,3 Dalam keadaan normal, limfosit B berperan dalam
perkembangan arsitektur limfoid untuk mengatur fungsi subset sel-T dan sel
dendritik melalui produksi sitokin serta aktivasi sel T. Dengan demikian, deplesi
sel B dapat menghambat akivasi sel T yang diinduksi oleh sel B atau derivate sel
B.3 Rituximab adalah antibody monoklonal anti CD20 yang terikat secara
spesifik terhadap antigen CD20 yang terletak pada limfosit pre-B dan limfosit-B
matur. Rituximab terikat pada CD20 dengan afinitas yang tinggi; CD20 adalah
glikoprotein permukaan semua sel limfosit B yang terdapat pada stadium sel pre-
B dan menghilang selama diferensiasi sel plasma. Selain hal tersebut, CD20
merupakan petanda sel B yang diekspresikan pada permukaan pre-B, dan sel
limfosit B dalam keadaan istirahat atau teraktivasi. Fungsi sesungguhnya CD20
belum diketahui, tetapi sangat penting dalam aktivasi limfosit-B. 4,5,10
Rituximab menyebabkan deplesi limfosit B (sel B darah perifer dan sel B kelenjar
getah bening) dengan mematikan sel CD20+ melalui lisis yang dimediasi oleh
komplemen (complement-mediated lysis) dan mencetuskan aktivitas selular
berupa sitotoksik yang dimediasi sel tergantung antibodi (antibody dependent
cell-mediated cytotoxicity). Deplesisel-B oleh rituximab dapat menghambat
aktivasi sel T yang diinduksi oleh sel B atau faktor yang berasal dari sel B. Meski
rituximab mendeplesi sel CD210+, tetapi tidak mempunyai dampak pada sel
plasma. 5,10 Setelah pemberian rituximab, produksi sitokinsel T termasuk IL-13
7
dapat berkurang.3 Ekspresimolekulko-stimulatori CD-40 terikat terhadap limfosit
T CD4+ dan secara bermakna menurun sebagaimana ekspresi banyak petanda
aktivasi limfosit T. Perubahan tersebut berkorelasi dengan efikasi klinik
rituximab. 5 Telah dibuktikan bahwa rituximab menurunkan CD40L dan CD80-
expressing cells di antara sel B dan CD69 pada sel CD4+. Sehingga
menggambarkan bahwa rituximab dapat menghambat interaksi antara sel B dan
sel T-teraktivasi. Namun demikian, peran CD40L pada pasien sindrom nefrotik
dependen steroid aktif belum jelas. 1,2 Dampak rituximab disebabkan inhibisi
pembentukan deposit imunsub epitel glomerulus karena reaksi yang dimediasi
oleh sel B, serta inhibisi selektif clones autoakif yang memproduksi
imunoglobulin nefritogenik. 4 Mekanisme rituximab menginduksi remisi pada
glomerulo sklerosisfokal segmental belum jelas, tetapi dalam pathogenesis
glomerulo sklerosis fokal terdapat factor sirkulasi. Telah dilaporkan terdapat
factor permeabilitas berupa protein beratmolekulrendah yang
mempunyaimuatananionik, terikatpada protein A,
danmungkinmempunyaistruktur yang samadenganimunoglobulin-fragment-like.
Meskipunsumber immunoglobulin-fragment-like
sebagaifaktorpermeabilitasbelumdiketahui, namunkemungkinansel B
memproduksifaktorpermeabilitastersebut, sehinggapenurunansel B karena
pemberian rituximab dapat menginduksi remisi pada sindromne frotik resisten
steroid karena glomerulosklerosis fokal.3 Mekanisme rituximab untuk mencegah
relap spade sindrom nefrotik belum jelas.
8
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Antibodi adalah bagian pertahanan tubuh yang digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi zat asing yang masuk ke dalam tubuh.
Antibodi rekombinan juga memungkinkan pembuatan antibodi terhadap zat yang
sangat toksik, Antibodi terhadap zat yang sangat toksik tidak dapat dibuat
menggunakan teknik poliklonal maupun monoklonal antibodi.
Mekanisme kerja antibodi dalam tubuh dimulai dengan diikatnya epitope (bagian
antigen) oleh antibody
9
DAFTAR PUSTAKA
Emantoko ,Sulistyo .2001. ANTIBODI REKOMBINAN :PERKEMBANGAN TERBARU DALAM TEKNOLOGI ANTIBODI. Departemen Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Departemen Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Vol. 9, No. 2. Sabtu, 20 Juni 2015. http://repository.ubaya.ac.id/23/1/Art0003_Sulistyo.pdf
Eka Putra, Andani. Suharti, Netti .2013. PENGEMBANGAN ANTIBODI MONOKLONAL TERHADAP ANTIGEN SPESIFIK Mycobacterium tuberculosis SEBAGAI KANDIDAT DIAGNOSIS TUBERKULOSIS MELALUI SPUTUM. Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. ISSN: 2339-2592 . Sabtu, 20 Juni 2015. http://semnasffua.com/pub/2013/prosiding-semnasffua2013-13-pengembangan-antibodi monoklonal.pdf
Fai Wong, Kwong. M Luk, John. 2006 . MONOCLONAL ANTIBODIES AS TARGETING AND THERAPEUTIC AGENTS: PROSPECTS FOR LIVER TRANSPLANTATION, HEPATITIS AND HEPATOCELLULAR CARCINOMA. Department of Surgery and Centre for Cancer Research, Jockey Club Clinical Research Centre, The University of Hong Kong, Pokfulam, Hong Kong. Clinical and Experimental Pharmacology and Physiology (2006) 33, 482–488. Sabtu, 20 Juni 2015 http://www.researchgate.net/publication/7080420_Monoclonal_antibodies_as_targeting_and_therapeutic_agents_prospects_for_liver_transplantation_hepatitis_and_hepatocellular_carcinoma.pdf
10