Antibiotik pada appendisitis.docx
-
Upload
yhoga-timur-laga -
Category
Documents
-
view
511 -
download
2
description
Transcript of Antibiotik pada appendisitis.docx
BAB I
PENDAHULUAN
Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam
adalah kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak
diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks
memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.
Insidens apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang.
Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.
Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun,
insidens lelaki lebih tinggi.
Hampir 7% orang barat mengalami apendisitis dan sekitar 200.000 apendiktomi
dilakukan di Amerika Serikat tiap tahunnya. Insidens semakin menurun pada 25 tahun terakhir,
namun di negara berkembang justru semakin meningkat, kemungkinan disebabkan perubahan
ekonomi dan gaya hidup.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis
akut .
Salah satu pilihan dalam manajemen appendicitis akut adalah dengan pemberian
antibiotik. Namun antibiotik biasanya diberikan pada appendicitis yang ringan sampai dengan
derajat sedang tanpa adanya komplikasi seperti perforasi. Biasanya tubuh pasien memberikan
respon setelah diberikan antibiotik untuk mengatasi inflamasi yang terjadi. Namun masih belum
bisa diketahui bagaimana reaksi tubuh selanjutnya setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun
kemudian bila hanya diberikan pengobatan dengan antibiotik saja.
Pemberian antibiotika pada kasus kasus bedah bertujuan untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas infeksi bedah. Infeksi bedah didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi setelah
tindakan pembedahan atau kasus-kasus infeksi yang penyembuhannya memerlukan tindakan
pembedahan disamping anti biotika. Infeksi bedah dibedakan dengan infeksi medikal, oleh
karena pada infeksi bedah terdapat masalah mekanik atau anstomis yang harus diatasi dengan
tindakan invasif atau tindakan pembedahan.
Saat ini masih didapatkan beberapa kontroversi dalam hal pemberian anti biotika
profilaksis, baik dalam hal diberi atau tidak, cara pemberian maupun jenis antibiotika yang
dipergunakan. Untuk beberapa macam prosedur pembedahan yang mempunyai resiko infeksi
yang rendah pemberian antibiotika profilaksis adalah tidak pada tempatnya.
Penelitian kontrol-trial yang membandingkan pemberian antibiotika dan plasebo, secara
konsisiten menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang efektif terhadap kuman anaerob,
baik terhadap pemberian tersendiri maupun pemberian kombinasi terbukti terbukti efektif dalam
menurunkan infeksi luka pasca operasi. Sedangkan pemberian antibiotika yang terutama aktif
terhadap kuman aerob tidak konsisten efektif. Dikatakan hal ini adalah merupakan penemuan
yang aneh, sebab kebanyakan kuman yang berhasil diisolasi dari luka adalah escherichia coli.
Meskipun eschericia coli adalah kuman aerob, pemberian anti anaerob tampaknya sangat
esensial. Antibiotika mungkin mempunyai peranan yang kecil kecuali appendik dalam keadaan
gangren atau perforasi. Penelitian ini menggunakan cefoxitim 2 gr perioperatif dan ditambah 1 gr
lagi 6 jam berikiutnya untuk appendisitis yang tidak perforasi. Apabila penderita alergi terhadap
safalospirin atau penicilin, digunakan bagi yang tidak perforasi metronidazole 500 mg
preoperatif dan gentamisin 1,5 mg /kg iv. Menurut Alexander et al (1991), telah dapat
dibuktikan dengan jelas bahwa pemberian anti biotik yang maksimal akan tercapai bila
pemberiannya akan dilakukan preoperatif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15
cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian
distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis
pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjangnya mesoapendiks
penggantungnya.
Pangkal appendix dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis Monroe-Pichter. Garis
diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi 3. Pangkal appendix terletak 1/3 lateral
dari garis tersebut dan dinamakan titik Mc Burney. Ujung appendix juga dapat ditentukan
dengan pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari SIAS dextra ke SIAS sinistra, lalu garis dibagi
6. Ujung appendix terletak pada 1/6 lateral dexter garis tersebut.
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di
belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan
oleh letak apendiks.
Persyarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.
Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami
gangren.
B. FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya menalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA. Immunoglobulin ini
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfa di sini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
C. ETIOLOGI
Apendisitis akut merupakan infeksi bacteria. Berbagai hal berperan sebagai factor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan factor yang diajukan sebagai factor pencetus
disamping hyperplasia jaringan limfe, fekalit (tinja yang mengeras), tumor apendiks, dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.hystolitica.
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam
bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan
penyakit kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap
apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia
coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella,
Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai
adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak
ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis .
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis
akut.
D. PATOLOGI
Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan
dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi
proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di
dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika
tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang
dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Setelah terjadi obstruksi lumen appendix maka tekanan di dalam lumen akan meningkat
karena sel mukosa mengeluarkan lendir. Peningkatan tekanan ini akan menekan pembuluh darah
sehingga perfusinya menurun akhirnya mengakibatkan iskemia dan nekrosis. Invasi bakteri dan
infeksi dinding appendix segera terjadi setelah dinding tersebut mengalami ulserasi. Infiltrat-
infiltrat peradangan tampak di semua lapisan dan exudat fibrin tertimbun di dalam lapisan serosa.
Meskipun perforasi belum terjadi, organisme-organisme biasanya dapt dibiakan dari mukosa
appendix. Nekrosis dinding appendix mengakibatkan perforasi dan pencemaran abdomen oleh
tinja.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini
dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut.
E. GAMBARAN KLINIS
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak
umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang
peritoneum local. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual dan
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik Mc-Burney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatic setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat
konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsngan
peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum,
tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa
nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul saat berjalan karena kontraksi m.psoas
mayor yang menegang dari dorsal.
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan
tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga peristalsis meningkat, pengososngan rectum
akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya.
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan
tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam
kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang
tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis baru
diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada
waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang usia lanjut yang gejalanya samar-samar
saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosa setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual dan muntah. Yang
perlu diperhatikan adalah pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah.
Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks akan terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi ke regio lumbal kanan.
Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat pucat, adanya nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri
lepas, dan tahanan otot (defans muskuler). Iritasi pada psoas dan obturator menimbulkan nyeri
panggul. Peristaltik di daerah appendix menurun. Pada rectal toucher, ada nyeri pada arah jam
10-11 merupakan petunjuk adanya perforasi.
Berikut ini adalah hubungan patofisiologi dan manifestasi klinis apendisitis:
Tabel 1. Hubungan patofisiologi dan manifestasi klinia apendisitis
Kelainan Patologi Keluhan dan Tanda
Peradangan awal Kurang enak pada ulu hati/di daerah pusat, mungkin
kolik
Apendisitis mukosa Nyeri tekan kanan bawah (rangsangan autonomic)
Radang di seluruh ketebalan
dinding
Nyeri sentral pindah ke kanan bawah, mual dan
muntah
Apendisitis komplit radang
peritoneum parietale
apendiks
Rangsangan peritoneum local (somatic), nyeri pada
gerak aktif dan pasif, defans muskuler local
Radang alat/jaringan yang
menempel pada apendiks
Genitalia interna, ureter, m.psoas mayor, kandung
kemih, rectum
Apendisitis gangrenosa Demam sedang, takikardi, mulai toksik, leukositosis
Perforasi Nyeri dan defans muskuler seluruh perut
Pembungkusan
- tidak berhasil
- berhasil
- abses
s.d.a + demam tinggi, dehidrasi, syok, toksik
massa perut kanan bawah, keadaan umum berangsur
membaik
demam remiten, keadaan umum toksik, keluhan dan
tanda setempat
F. DIAGNOSIS
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis
akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering pada
perempuan disbanding lelaki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang
masih muda sering timbul gangguan yang mirip apendisitis akut. Keluhan itu berasal dari
genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis atau penyakit ginekologi yang lain.
Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut, bila diagnosis
meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-
2 jam.
Pada anamnesis didapatkan demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C.
Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu rectal dan
aksila sampai 1C.
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan :
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan
dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari
apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini
disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga
akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila
letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan
apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis
pada apendisitis pelvika.
d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji
psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau
fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang
menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada
uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika.
Pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan adalah :
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan
darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil
diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi
ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan
pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan
dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
G. DIAGNOSIS BANDING
Pada keadaan tertentu beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding.
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih
ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan lekositosis kurang
menonjol dibandingkan apendisitis akut.
2. Demam dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan
hasil tes positif untuk Rumple Leede, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat.
3. Limfadenitis mesenterika
Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului oleh enteris atau gastroenteritis ditandai
dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut samar,
terutama kanan.
4. Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah
pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih
dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin
dapat mengganggu selama dua hari.
5. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih
tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus. Infeksi panggul pada
wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat
di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk
diagnosis banding.
6. Kehamilan di luar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada
ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang
mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan
vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan cavum Douglas dan pada kuldosintesis didapatkan
darah.
7. Kista ovarium terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga
pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal atau colok dubur. Tidak terdapat demam.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan diagnosis.
8. Endometriosis eksterna
Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis
berada dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.
9. Urolitiasis pielum/ureter kanan
Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar
ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos
perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai
dengan demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria.
10. Penyakit saluran cerna lainnya
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti divertikulum
Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis
kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid dan mukokel
apendiks.
H. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah :
1. Massa periapendikuler
Massa apendiks terjadi bila appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau
dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa periappendikuler yang
pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum
jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa peripendikuler
yang masih bebas disarankan untuk segera operasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu
operasi masih mudah. Pada anak selamanya dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari
saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan pendidingan yang
sempurna, dianjurkan untuk dirawat dulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran
massa serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada lagi demam, massa periapendikuler hilang,
dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan appendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi
nadi, bertambahnya nyeri dan teraba pembengkakan massa serta bertambahnya angka leukosit.
Riwayat klasik appendicitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di regio
iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses periapendikuler.
Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma sekum, penyakit Chron, dan amuboma. Perlu
juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan
ginekologik sebelum memastikan diagnosa massa appendiks. Kunci diagnosis biasanya terletak
pada anamnesis yang khas.
2. Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi
appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri
semakin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan
defans muskuler di seluruh perut, peristaltic usus menurun sampai menghilang karena ileus
paralitik.
3. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk
akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila
bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaasn peritoneum menyebabkan timbulnya
peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria dan mungkin syok. Gejalanya
adalah demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, abdomen tegang, kaku, nyeri tekan dan
bunyi usus menghilang.
I. TATA LAKSANA
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan terbaik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak diberikan
antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak
bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Apendektomi bisa dilakukan dengan cara terbuka atau dengan cara laparoskopi. Bila
apendektomi terbuka, insisi mcBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita
yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan
ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia
laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan
akan dilakukan operasi atau tidak.
Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka
tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian terapi antibiotik kombinasi
terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan
anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat
dilakukan. Jika gejala berlanjut yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan
melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendektomi. Namun, apabila
ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan
laboratorium tidak menunjukkan adanya radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik,
maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah. Setelah tindakan bedah
dilakukan, harus diberikan antibiotika selama 7 hari untuk mencegah terjadinya sepsis pasca-
operasi.
Pada apendektomi yang melibatkan pembukaan usus bagian bawah, diperlukan
pemberian antibiotika profilaksis pre-operasi untuk mencegah infeksi luka operasi yang
merupakan komplikasi utama dari apendektomi. Kemudiaan, bila saat operasi ditemukan
perforasi maka pemberian antibiotik akan diperpanjang sebagai terapi. Mengingat eratnya kaitan
penggunaan antibiotika dengan bedah apendiks maka dilakukan penelitian tentang penggunaan
antibiotika.
Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan DMK (Dokumen Medik Kesehatan)
pasien bedah apendiks bagian IRNA Bedah RSU Dr. Soetomo Surabaya sebagai bahan
penelitian. Populasi penelitian adalah DMK seluruh pasien dengan diagnosa apendisitis dan
dilakukan apendektomi di RSU Dr. Soetomo Surabaya. Sampel penelitian adalah DMK seluruh
pasien dengan diagnosa apendisitis di RSU Dr. Soetomo Surabaya yang memenuhi kriteria
inklusi dalam jangka waktu satu tahun yaitu mulai tanggal MRS antara 1 Januari 2006 hingga 31
Desember 2006, diikuti sampai tanggal KRS dengan menggunakan metode time limited. Pada
penelitian ini, sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 101 DMK.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah pasien bedah apendiks yang terbanyak
adalah pada rentang usia 17-64 tahun, yaitu sebesar 82,18% dengan kejadian yang paling banyak
terjadi adalah apendisitis akut tanpa penyulit (simple appendicitis) (54,46% ). Rasio insiden
apendisitis pada penelitian ini hampir sama antara laki-laki dan perempuan yaitu 1,1:1. Jenis
pembedahan yang dilakukan pada pasien bedah apendiks adalah 98,02% apendektomi terbuka,
dengan 3,96% disertai operasi tambahan omentektomi dan 0,99% histerektomi, dan 1,98%
apendektomi laparoskopik. Jenis antibiotika profilaksis yang digunakan dalam bedah apendiks
adalah golongan sefalosporin yaitu seftriakson (20,79%), sefazolin (16,83%), sefuroksim
(10,89%), dan sefotaksim (9,9%). Selain itu, juga digunakan antibiotika profilaksis kombinasi
yaitu sefazolin / metronidazol (0,99%), sefuroksim / metronidazol (0,99%) dan seftriakson /
metronidazol (0,99%).
Antibiotika terapi yang paling banyak digunakan adalah seftriakson / metronidazol
(12,73%), sefotaksim / metronidazol (9,09%) dan amoksisilin / asam klavulanat (3,64%).
Penggunaan antibiotika pada penelitian ini telah sesuai dengan guideline (ASHP) dan pedoman
penggunaan antibiotika profilaksis di bidang bedah (Bagian/SMF Ilmu bedah RSU Dr. Soetomo)
dimana direkomendasikan penggunaan sefalosporin pada pasien apendisitis. Dalam penelitian ini
didapatkan penggunaan obat tanpa indikasi, yaitu penggunaan antibiotika per-oral pada 48,37%
pasien apendisitis tanpa penyulit. Selain itu juga didapatkan penggantian antibiotika yang kurang
tepat pada 10,89% pasien dimana antibiotika yang diberikan berbeda setiap harinya.
Keberhasilan terapi antibiotika pada penelitian ini terlihat dari data luka operasi pasien yang
menunjukkan tidak adanya tanda-tanda infeksi dan data klinik pasien yang menunjukkan
perbaikan kondisi pasien. Berdasarkan hasil penelitian, hal-hal yang perlu menjadi masukan
adalah hendaknya ditinjau kembali mengenai penggunaan antibiotika per-oral pada pasien
apendisitis tanpa penyulit, dan penggantian antibiotika pada pasien yang kurang tepat. Karena
kurang lengkapnya data dalam DMK, disarankan dilakukannya penelitian lanjutan secara
prospektif.
J. PEMBAHASAN JURNAL
Berdasarkan jurnal yang berjudul “Antibiotic Therapy Versus Appendectomy for Acute
Appendicitis” (2010) oleh Krishna K Varadhan, penggunaan antibiotik dapat seefektif dan
seaman apendektomi dalam terapi apendisitis akut yang tanpa komplikasi. Jenis antibiotik yang
digunakan adalah amoxicillin/clavunate potassium dengan dosis 1 gram yang diberikan secara
intravena, diberikan 3 kali sehari dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian secara oral selama
1-2 minggu. Pemberian ini juga efektif diberikan sebelum apendektomi bila sudah terjadi massa
apendikuler dengan atau tanpa abses periapendikuler dan divertikulitis akut.
Pada studi ini telah diambil 200 pasien yang termasuk criteria inklusi, yaitu secara klinis
mengarah pada apendisitis dan usianya lebih dari 18 tahun. Follow-up dilakukan untuk menilai
durasi dari nyeri, lamanya rawat inap di rumah sakit, dan absen dari aktivitas sehari-hari.
Hasilnya adalah bahwa dengan pemberian antibiotik pada apendisitis tanpa komplikasi dapat
membantu dalam mengurangi rasa nyeri, waktu untuk rawat inap di rumah sakit dapat berkurang
dan penderita bisa menjalankan aktivitas sehari-hari dengan baik. Pemberian antibiotik ini tetap
diberikan sampai dengan leukosit sudah turun dalam batas yang normal.
Berdasarkan jurnal yang berjudul “Safety and Efficacy of Antibiotics Compared With
Appendicectomy for Treatment of Uncomplicated Acute Appendicitis” (2013) oleh peneliti yang
sama dengan jurnal sebelumnya Krishna K Varadhan, antibotik terbukti aman dan efektif sebagai
terapi utama pada pasien dengan apendisitis akut non-komplikasi. Risiko komplikasi lebih
rendah pada mereka yang diberikan terapi antibiotik dibanding dengan mereka yang menjalani
bedah apendektomi. Terapi antibiotik dapat dipertimbangkan sebagai terapi inisial pertama untuk
apendisitis akut non-komplikasi,namun tidak untuk menggantikan terapi bedah apendektomi
pada kasus-kasus dengan komplikasi.
Pada studi ini telah diambil 900 pasien yang termasuk criteria inklusi. Dari 900 pasien,
470 diberikan terapi antibiotik, sedangkan 430 menjalani operasi apendektomi. Terapi antibiotik
terkait dengan tingkat kesuksesan sebesar 63% (277/438) dalam waktu 1 tahun.
Berdasarkan jurnal yang berjudul “Antibiotic Therapy for acute Appendicitis: ampicillin,
metronidazole plus gentamycin versus cephalosporin” (2002), terapi antibiotik pada apendisitis
akut menggunakan cephalosporin terutama yang jenisnya ceftriaxone memberikan efek yang
lebih baik bila dibandingkan dengan ampicillin dan metronidazole plus gentamycin. Pemberian
cephalosporin ini tidak hanya terbatas pada anak-anak, tapi bisa diberikan pada orang dewasa
terutama yang berusis 12-48 tahun.
Pemberian ceftriaxone ini bertujuan untuk proteksi terjadinya sepsis saat post-operasi dan
bisa juga diberikan sebagai terapi profilaksi sebelum operasi. Pemberian ceftriaxone ini juga
mempertimbangkan waktu kerja perawat dan efisien dari harganya. Pemberian ini termasuk
efisien karena hanya diberikan satu kali saat menjelang operasi atau 1 kali sehari selama 5 hari
bila terjadi apendisitis yang perforasi. Sedangkn regimen yang lain biasanya diberikan setiap 8
jam sekali selam 3 hari dan bisa 5-7 hari bila telah terjadi perforasi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Pemberian antibiotik pada kasus apendisitis akut terbukti efektif bila diberikan pada
apendisitis tanpa komplikasi walaupun tidak dilakukan apendektomi, apendisitis yang
sudah terjadi massa apendikuler dan sebelum atau sesudah operasi. Namun golden
standar dari penangan kasus apendisitis akut adalah apendektomi.
2. Jenis antibiotik yang efektif digunakan dalam terapi apendisitis akut adalah
amoxicillin/clavunate potassium dan golongan cepahalosporin (ceftriaxone).
3. Dosis pemberian amoxicillin/clavunate potassium adalah 1 gram yang diberikan secara
intravena, diberikan 3 kali sehari dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian secara oral
selama 1-2 minggu.
4. Pemberian ceftriaxone hanya diberikan satu kali saat menjelang operasi atau 1 kali sehari
selama 5 hari bila terjadi apendisitis yang perforasi.