Antara Shalahuddin dan Al-Ghazali * Kisah Peran Ulama ...

9
Abdul Rahman Saleh | Antara Shalahuddin dan Al-Ghazali Copyright Abdul Rahman Saleh [email protected] https://ab_saleh.staff.ipb.ac.id/2015/02/24/antara-shalahuddin-dan-al-ghazali/ Antara Shalahuddin dan Al-Ghazali * Kisah Peran Ulama dalam Kebangkitan Umat * Oleh: Dr. Adian Husaini (Pendiri dan Pembina INSISTS) Film Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott cukup berhasil menampilkan sosok pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih obyektif. Wajar, jika film yang menampilkan sisi-sisi hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama ini sosok Shalahuddin memang dipersepsikan sebagai “momok”, yang dibenci. Jenderal Geraud, saat berhasil menaklukkan Damaskus, pada abad ke-20, menginjakkan kakinya di makam Shalahuddin, sambil berteriak: “Saladin, wake up. We are back!” Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, menguraikan dampak Perang Salib dalam membentuk persepsi masyarakat Barat terhadap Muslim. Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antara sikap pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Tahun 1099, saat menduduki Jerusalem, pasukan Salib membantai hampir semua kaum Muslim dan Yahudi. Sekitar 30 ribu orang dibantai di Jerusalem, sehingga di Masjid al-Aqsha terjadi genangan darah setinggi mata kaki. Tapi, saat Shalahuddin merebut kembali Jerusalem, ia membebaskan kaum Kristen untuk meninggalkan Jerusalem dengan aman. Sosok Shalahuddin, telah berabad-abad melegenda dalam tradisi masyarakat Barat. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe”(Lihat, David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, 1999), memaparkan cerita-cerita menarik seputar legenda-legenda yang hidup di kalangan masyarakat Barat pada Zaman Pertengahan terhadap Islam. Misal, legenda tentang Eleanor of Aquitaine yang diisukan memiliki affair dengan Shalahuddin al-Ayyubi, saat ia menemani suaminya, Louis VII, dalam Perang Salib II. Ada pula legenda tentang Shalahuddin yang dikabarkan merupakan keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga, legenda bahwa Shalahuddin telah dibaptis pada akhir hayatnya. Apa pun persepsi Barat tentang Shalahuddin, bagi kaum Muslim, Shalahuddin al-Ayyubi dipandang sebagai pahlawan. Hingga kini, banyak orang Muslim bangga memberi nama anaknya “Shalahuddin”. Kisah-kisah kepahlawanan Shalahuddin, Muhammad al-Fatih, dan page 1 / 9

Transcript of Antara Shalahuddin dan Al-Ghazali * Kisah Peran Ulama ...

Abdul Rahman Saleh | Antara Shalahuddin dan Al-GhazaliCopyright Abdul Rahman Saleh [email protected]://ab_saleh.staff.ipb.ac.id/2015/02/24/antara-shalahuddin-dan-al-ghazali/

Antara Shalahuddin dan Al-Ghazali*  Kisah Peran Ulama dalam Kebangkitan Umat  *

Oleh: Dr. Adian Husaini(Pendiri dan Pembina INSISTS)

Film Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott cukup berhasil menampilkan sosok pahlawanIslam Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih obyektif. Wajar, jika film yang menampilkansisi-sisi hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama inisosok Shalahuddin memang dipersepsikan sebagai “momok”, yang dibenci. JenderalGeraud, saat berhasil menaklukkan Damaskus, pada abad ke-20, menginjakkan kakinya dimakam Shalahuddin, sambil berteriak: “Saladin, wake up. We are back!”

Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’sWorld, menguraikan dampak Perang Salib dalam membentuk persepsi masyarakat Baratterhadap Muslim. Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antarasikap pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Tahun 1099, saatmenduduki Jerusalem, pasukan Salib membantai hampir semua kaum Muslim dan Yahudi.Sekitar 30 ribu orang dibantai di Jerusalem, sehingga di Masjid al-Aqsha terjadi genangandarah setinggi mata kaki. Tapi, saat Shalahuddin merebut kembali Jerusalem, iamembebaskan kaum Kristen untuk meninggalkan Jerusalem dengan aman.

Sosok Shalahuddin, telah berabad-abad melegenda dalam tradisi masyarakat Barat. Jo AnnHoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya “Popular Attitudes towards Islam in MedievalEurope”(Lihat, David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam inMedieval and Early Modern Europe, 1999), memaparkan cerita-cerita menarik seputarlegenda-legenda yang hidup di kalangan masyarakat Barat pada Zaman Pertengahanterhadap Islam.

Misal, legenda tentang Eleanor of Aquitaine yang diisukan memiliki affair denganShalahuddin al-Ayyubi, saat ia menemani suaminya, Louis VII, dalam Perang Salib II. Adapula legenda tentang Shalahuddin yang dikabarkan merupakan keturunan dari anakperempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga, legenda bahwa Shalahuddin telahdibaptis pada akhir hayatnya.

Apa pun persepsi Barat tentang Shalahuddin, bagi kaum Muslim, Shalahuddin al-Ayyubidipandang sebagai pahlawan. Hingga kini, banyak orang Muslim bangga memberi namaanaknya “Shalahuddin”. Kisah-kisah kepahlawanan Shalahuddin, Muhammad al-Fatih, dan

page 1 / 9

Abdul Rahman Saleh | Antara Shalahuddin dan Al-GhazaliCopyright Abdul Rahman Saleh [email protected]://ab_saleh.staff.ipb.ac.id/2015/02/24/antara-shalahuddin-dan-al-ghazali/

penguasa-penguasa (umara) Muslim lainnya, telah memberikan inspirasi kepada banyakgenerasi Muslim, bahwa jalan kebangkitan umat Islam adalah dengan menunggu danberusaha menghadirkan seorang pemimpin politik kenegaraan. Bahkan, terkadang,harapan itu begitu besar, saat Negara dan masyarakat dalam kondisi terpuruk, banyakyang berharap hadirnya pemimpin baru akan memberikan perubahan besar dalamkehidupan mereka. Harapan itu sering kali berakhir sia-sia. Pemimpin baru yang tampil takmampu berbuat banyak, atau bahkan seringkali menunjukkan kualitas jauh lebih rendahdari pada citra yang dimunculkan saat kampanye pemilihan kepemimpinan negara.

Peran Ulama

Kisah kebangkitan umat Islam dalam Perang Salib – setelah terpuruk dan dibantai PasukanSalib dari Eropa – bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini. Kebangkitanumat Islam ketika itu terjadi bukan melalui hadirnya seorang pemimpin hebat sepertiShalahuddin al-Ayyubi, tetapi justru terjadi melalui kerja keras para ulama – melaluimadrasah-madrasah – yang berhasil melahirkan satu generasi yang hebat, yaitu “GenerasiShalahuddin” (Jiilu Shalahuddin). Kisah kebangkitan itu dipotret dan dianalisis dengan baikoleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddinwa-Hakadza ‘Aadat al-Quds. Buku ini memaparkan peran ulama-ulama seperti Imamal-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan sebagainya, dalam mendidik dan melahirkangenerasi Shalahuddin tersebut.

Peran Imam al-Ghazali dalam kebangkitan umat Islam saat itu juga digambarkan dalam Kitab al-Jihad yang ditulis ‘Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imambermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawanpasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahunsetelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulamibertemu dengan al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjidtersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periodePerang Salib. 1

Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapatmenyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Adadua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untukmengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihatsebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim,menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajibanagama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua,penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telahmemungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulamimenyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkanpasukan Salib. 2

page 2 / 9

Abdul Rahman Saleh | Antara Shalahuddin dan Al-GhazaliCopyright Abdul Rahman Saleh [email protected]://ab_saleh.staff.ipb.ac.id/2015/02/24/antara-shalahuddin-dan-al-ghazali/

Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’smemainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukanSalib akan hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al-jihad al-akbar). Ia jugamengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian,perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perangmelawan pasukan Salib (Franks). 3

Peran al-Ghazali dalam membangun moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef. Bahwa,kelemahan spiritual di kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh al-Ghazali,yang ketika itu mengajar di Damascus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan hawa nafsu,melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk membantukaum Muslim mereformasi jiwa mereka.

(The spiritual laxness existing in Islam on the eve of the Crusades was underlined byal-Ghazali, in 1096. The illustrious philosopher who, at the time, was teaching in Damascus,emphasized the priority of jihad of the soul, the jihad al-akbar (the major jihad) – struggleagainst evil – over the jihad al-aÎghar (the minor jihad), i.e. the struggle against infidel. Hisaim was to help the Muslim rediscover his soul. At this time, it was necessary to effect thereform of morals and beliefs and to create ways of combating the various heterodoxiesexisting in the very bosom of Islam). 4

Faktanya, sekitar 50 tahun kemudian, di masa Nur ad-Din Zengi, kaum Muslim mampumelaksanakan jihad efektif. Elisseef mencatat: “The person who would realize the ideal ofthe jihad which as-Sulami, Ghazali, and the ‘ulama of Damascus had advocated, was Nurad-Din.” 5

Titik balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144,di bawah komandan Imam al-Din Zengi, ayah Nur al-Din. Dua tahun sesudah itu, Zengiwafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk memimpinperjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenanganmelawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria di bawahkekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawanjihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174,Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan Muslimdalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasilmembebaskan Jerusalem pada tahun 1187. 6

Istilah jihad, secara yuridis Islam, kemudian berkembang menjadi makna khusus, dan telahdipahami oleh para sarjana Muslim dalam pengertian “perang” (qital). Dalam maknakhusus dalam bidang fiqih inilah, istilah jihad memiliki makna syariat. Semisal, ada

page 3 / 9

Abdul Rahman Saleh | Antara Shalahuddin dan Al-GhazaliCopyright Abdul Rahman Saleh [email protected]://ab_saleh.staff.ipb.ac.id/2015/02/24/antara-shalahuddin-dan-al-ghazali/

ketentuan-ketentuan hukum dimana orang yang matin dalam jihad – dengan makna qital –diperlakukan jezanahnya sebagai syahid. Namun, memang terdapat berbagai hadith Nabisaw yang menunjukkan berbagai jenis jihad dalam makna yang umum, seperti jihaddengan mengeluarkan kata-kata yang benar di depan penguasa yang zalim. Begitu jugadengan jihad melawan hawa nafsu, dengan lisan, dan harta.

Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasilmenggabungkan konsep jihad al-nafs dan jihad melawan musuh dengan baik. Karya-karyaal-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan berbagai jenis potensidalam perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik,bagaimana dalam situasi perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umatsecara komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali jugamenakankan pentingnya masalah ilmu. Ia membuka Kitabnya itu dengan “Kitabul Ilmi”.Aktivitas al-Ghazali yang aktif dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagaipemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan kepeduliannya yangtinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali seperti berpesan kepada umat, ketikaitu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan darifaktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah umatperlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar, yang dikatakan oleh Alial-Sulami sebagai tahap “reformasi moral”. Tentu, tahap kebangkitan dan reformasi jiwa initidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asasdari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan yangbenar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman yangsalah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana mungkin amal akan benar?

Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara komprehansif terhadapproblematika yang dihadapi oleh umat Islam. Ketika itu, umat Islam menghadapi berbagaimasalah: politik, keilmuan, moral, sosial, dan sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dandidudukkan secara proporsional dan adil. Yang penting ditempatkan pada posisinya, begitujuga yang kurang penting. Di situlah, al-Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin, denganmakna “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”. Ketika itu, dia seperti melihat,seolah-olah ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dihidupkan. Dalam Kitabnya, iasangat menekankan pada aspek niat dan pembagian keilmuan serta penempatannyasesuai dengan proporsinya.

Problema politik umat ketika itu merupakan masalah yang sangat serius. Tetapi,pronlematika keilmuan dan akhlak merupakan masalah yang lebih mendasar, sehinggasolusi dalam bidang politik, tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebihmendasar itu tidak diselesaikan terlebih dahulu. Al-Ghazali dan para ulama ketika ituberusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta menekankan padapentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang jahat. Sebab,ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan bagi Islam danumatnya. Nabi Muhammad saw memberi amanah kepada para ulama untuk menjagaagama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam

page 4 / 9

Abdul Rahman Saleh | Antara Shalahuddin dan Al-GhazaliCopyright Abdul Rahman Saleh [email protected]://ab_saleh.staff.ipb.ac.id/2015/02/24/antara-shalahuddin-dan-al-ghazali/

dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yangpenuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. SabdaRasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus darimanusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabilasudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagaipemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmupengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim). Sepanjang sejarah Islam, paraulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam,mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan olehulama-ulama su’, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerirsama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah.

Banyak kaum Muslimin yang berpikir bahwa jika aspek politik direbut oleh gerakan Islamtertentu, maka akan selesailah masalah umat. Pendapat ini sebagian benar. Tapi kurangsempurna. Kekuasaan politik adalah bagian dari masalah penting umat Islam. Sebab,ad-daulah adalah penyokong penting perkembangan agama. Bukan hanya Islam.    Tetapi,juga agama-agama lain. Agama Kristen berkembang pesat di Eropa atas jasa besar KaisarKonstantin yang mengeluarkan Dekrit ‘Edict of Milan’ (tahun 313) dan Kaisar Theodosiusyang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara Romawi (Edict of Theodosius, tahun392). Perkembangan agama Budha juga tidak lepas dari peran Raja Asoka. Begitu jugaeksistensi dan perkembangan agama-agama lain, sulit dipisahkan dari kekuatan politik.Sama halnya, dengan ideologi-ideologi modern yang berkembang saat ini. Eksistensi danperkembangan mereka juga sangat ditopang oleh kekuasaan politik. Komunisme menjadikehilangan pamornya setelah Uni Soviet runtuh. Sulit membayangkan Kapitalisme akandiminati oleh umat manusia jika suatu ketika nanti Amerika Serikat mengalamikebangkrutan sebagaimana Uni Soviet.

Tetapi, perlu dicatat, bahwa kekuasaan politik bukanlah segala-galanya. Banyak peristiwamembuktikan, bahwa pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu sejalandengan penguasa. Di masa Khalifah al-Makmun, yang Muktazily, umat Islam lebihmengikuti para ulama Ahlu Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Di masa penjajahanBelanda, umat Islam tidak mengikuti agama penjajah, dan lebih mengikuti kepemimpinanulama. Banyak lagi contoh lain.

Karena itu, ulama dan umara memang dua tiang penyangga umat yang penting. Keduaaspek itu harus mendapatkan perhatian yang penting. Para aktivis politik umat harusmemiliki pemahaman yang benar tentang Islam. Jika tidak, para pemimpin politik justrubisa menjadi perusak Islam yang signifikan. Karena ketidaktahuannya, bisa saja melakukantindakan yang keliru. Sebagai contoh, mereka mati-matian merebut kursi kepemimpinan didaerah atau departemen tertentu, sedangkan kemunkaran di bidang aqidah Islamiyahdianggap sepele. Ribuan orang dikerahkan untuk berdemonstrasi karena faktor kursikekuasaan, tetapi tidak demonstrasi apa-apa ketika ada penyimpangan dalam aqidahIslam, semisal kasus Ahmadiyah, penyebaran paham Pluralisme Agama, atau kezalimanyang sangat mencolok, semisal pembangunan patung yang memakan dana rakyat

page 5 / 9

Abdul Rahman Saleh | Antara Shalahuddin dan Al-GhazaliCopyright Abdul Rahman Saleh [email protected]://ab_saleh.staff.ipb.ac.id/2015/02/24/antara-shalahuddin-dan-al-ghazali/

milyaran rupiah, disaat rakyat sedang dililit kesulitan hidup dan berbagai penyakit yangmematikan.

Jadi, tidaklah benar jika dalam perjuangan mengabaikan salah satu aspek kehidupan.Tetapi, semuanya harus ditempatkan dalam proporsi dan tempatnya. Itulah yang namanyaadil. Nabi Muhammad saw memulai dakwah Islam dengan aspek ilmu, memberikanpemahaman yang benar kepada masyarakat tentang konsep-konsep dasar dalam Islam,seperti konsep tentang Tuhan, Nabi, wahyu, adil, agama, dan sebagainya. Pondasipemikiran (afkar), pemahaman (mafahim), standar-standar nilai (maqayis), dan ketundukan(qana’at), yang Islamiy ditanamkan secara kokoh oleh Nabi Muhammad saw kepada parasahabat ketika itu. Mereka tampil sebagai sosok-sosok ulama dan cendekiawan sertapejuang yang tangguh dalam berbagai bidang kehidupan. Bisa dilihat, bagaimana hebatnyaargumentasi Ja’far bin Abi Thalib ketika berdebat dengan Raja Najasyi dan orang-orangkafir Quraisy Mekkah di Habsyah. Ja’far dan kaum Muslimin yang sedang dalam kondisiterjepit meminta perlindungan kepadsa Najasyi, mampu memberikan argumen-argumenyang canggih seputar masalah Isa a.s. yang menjadi titik sentral kontroversi Islam denganKristen.

Ringkasnya, perjuangan Islam dalam menghadapi problematika yang dihadapi umat ini,perlu memadukan dan mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan,harta benda, dan sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidangkeilmuan, tidak perlu dipertentangkan dengan jihad melawan musuh. Semua perludipadukan, sebagaimana telah dilakukan di zaman Rasulullah saw, Perang Salib, dansebagainya, sehingga kaum Muslim berhasil mengukir kemenangan yang gemilang dalamberbagai arena perjuangan.

Rasulullah saw bersabda: “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum waalsinatikum”.(Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu, danlisan-lisanmu). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad, al-Darimi,dengan sanad yang sangat kuat. Ibn Hibban, al-Hakim, and an-Nawawiy menyatakan,bahwa hadits ini sahih. 7

Melalui hadits tersebut, Rasulullah saw menekankan pentingnya kaum Muslimin melakukanjihad secara komprehensif, dengan menggunakan berbagai potensi yang dimiliki, baikharta, jiwa, maupun lisan. Dalam arena perjuangan, atau arena jihad, sebenarnya tigaaspek: harta, jiwa, dan lisan, saling terkait satu dengan yang lain. Peperangan fisik adalahsalah satu bagian dari sebuah perjuangan yang luas dan panjang antara al-haq danal-bathil.

Bahkan, dalam hadits lainnya, Rasulullah saw juga menekankan pentingnya jihad melawan

page 6 / 9

Abdul Rahman Saleh | Antara Shalahuddin dan Al-GhazaliCopyright Abdul Rahman Saleh [email protected]://ab_saleh.staff.ipb.ac.id/2015/02/24/antara-shalahuddin-dan-al-ghazali/

hawa nafsu. Rasulullah saw bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fi-Allah ‘Azzawa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya dijalan Allah). Al-Iraqiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih, dan diriwayatkan oleh ImamTirmidzi. 8

Jadi, dalam arena perjuangan atau arena jihad, kaum Muslim sebenarnya diminta untukmenggabungkan seluruh kemampuan atau potensi – baik potensi jiwa, harta, maupun lisan(intelektual) dan menempatkan masing-masing pada proporsi yang sebenarnya. Kapankekuatan fisik digunakan, kapan kemampuan intelektual, dan kapan potensi harta bendadiperlukan. Semua itu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Semuapotensi jihad itu tidak bisa digunakan jika manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka,perang melawan hawa nafsu secara otomatis menjadi faktor penting dalam bentuk-bentukperjuangan lainnya. Jika kaum Muslim mampu menggabungkan semua potensi tersebut,maka dalam sejarahnya, kaum Muslim mampu tampil sebagai umat yang hebat, gemilangdan terbilang. Jika potensi itu terpecah belah dan tidak teratur dengan baik, makakekalahan menimpa kaum Muslimin.

Peran ilmu dan ulama

Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanyadipegang teguh, maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni,al-Quran dan Sunnah Rasululullah. Tapi, disamping itu, Rasulullah saw juga mewariskanpara ulama kepada umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah yangdiamanahkan untuk menjabarkan, mengaktualkan, membimbing, menerangi, danmemimpin umat dalam bidang kehidupan. Banyak ulama yang mensyaratkan ‘kemampuanberijtihad’ bagi kepala negara (khalifah).

Adalah ideal jika ulama dan umara sama-sama baik. Dalam sejarahnya, Islam akan cepatberkembang jika ulama dan umaranya baik. Tapi, ada fase-fase dalam sejarah, dimanasalah satu dari dua pilar umat itu bobrok atau rusak. Ketika itu, keberadaan ulama yangbaik lebih diperlukan. Ketika Khalifah al-Makmun memaksakan paham Muktazilah, paraulama Ahlu Sunnah melakukan perlawanan yang gigih. Umat selamat, dan lebih mengikutiulama ketimbang umara. Di zaman penjajahan Belanda, umaranya jelas rusak. Tetapi,ulama-ulama Islam ketika itu gigih mempertahankan ad-Dinul Islam. Alhamdulillah,meskipun Belanda berusaha sekuat tenaga menghancurkan Islam, umat Islam lebihmengikuti ulamanya.

Maka, yang perlu diperhatikan dan dicermati, — disamping kerusakan umara – adalahkerusakan ulama. Lahirnya ulama-ulama yang jahil, yang tidak kapabel keilmuannya, yangkorupsi ilmu agama, yang berfatwa tanpa ilmu yang memadai, yang akhlaknya rusak, yang

page 7 / 9

Abdul Rahman Saleh | Antara Shalahuddin dan Al-GhazaliCopyright Abdul Rahman Saleh [email protected]://ab_saleh.staff.ipb.ac.id/2015/02/24/antara-shalahuddin-dan-al-ghazali/

cinta dunia, dan sebagainya, adalah bencana terbesar yang dihadapi oleh umat Islam. Jikakondisi seperti ini sudah terjadi, maka umat Islam harus bersiap-siap mengalamikebangkrutan. Lebih rusak lagi jika para ulama sudah mencintai dunia, menjual agamadengan harta benda dunia, dan yang merusak ilmu-ilmu agama dengan dalihmenyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman.

Adalah musibah dan fitnah besar, misalnya, jika dari Perguruan Tinggi Islam justru lahirorang-orang yang berpaham atheis atau yang gila dunia. Jika ilmu agama sudah dirusak,maka akan lahir ulama yang rusak (ulama as-su’); yakni ulama, yang harusnya menjadipenjaga agama, justru menjadi penghancur agama. Ketika ilmu-ilmu Islam dirusak, makatidak ada jalan kembali bagi peradaban Islam untuk bangkit lagi. Karena itu sangatdiprihatinkan, jika umat Islam membiarkan terjadinya serangan pemikiran yang akanmerusak ilmu-ilmu agama.

Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk tulisan Ibnul Qayyimal-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan“Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutusRasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkanbersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakankeadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat danberbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allahmengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidakdilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).

Penutup

Sekelumit kisah kebangkitan umat Islam di era Perang Salib tersebut bisa menjadipelajaran berharga bagi kita, betapa pentingnya peran ulama dalam proses kebangkitanumat Islam. Ulama adalah pewaris Nabi. Maknanya, Nabi mewariskan perjuangannya padakepemimpinan ulama. Jatuh bangunnya umat terletak pada baik atau tidaknya kualitasulamanya. Jika ulamanya jahat atau jahil maka bencana besar menimpa umat.

Jadi, sepanjang zaman, ulama harus senantiasa ada dalam jumlah yang memadai. Sebab,perjuangan Nabi tidak boleh berhenti. Ulama tidak dilahirkan dan tidak turun dari langit.Tapi, ulama lahir dari proses pendidikan. Ironis, jika di masa penjajahan, lembagapendidikan Islam bisa melahirkan ulama-ulama hebat, tapi di masa kemerdekaan, justrutidak mampu melahirkan ulama-ulama hebat pewaris Nabi. Semoga musibah itu tidakmenimpa lembaga pendidikan kita. Amin.

page 8 / 9

Abdul Rahman Saleh | Antara Shalahuddin dan Al-GhazaliCopyright Abdul Rahman Saleh [email protected]://ab_saleh.staff.ipb.ac.id/2015/02/24/antara-shalahuddin-dan-al-ghazali/

1 Nikita Elisseef, “The Reaction of the Syrian Muslim after the Foundation of the First LatinKingdom of Jerusalem”, dalam Maya Shatzmiller (ed), “Crusaders&Muslims inTwelfth-Century Syria”, (Leiden: E.J. Brill, 1993), 163. W. Montgomery Watt, MuslimIntellectual, 144.

2 Nikita Elisseef, The Reaction, 164; Carole Hillenbrand, The Crusades: Islamic Perspectives,107.

3 Carole Hillenbrand, The Crusades: Islamic Perspectives, 107.

4 Nikita Elisseef, The Reaction, 164. Dr. Majid Irsan al-Kilani mengemukan dalam bukunya,berbagai penyakit moral yang menggerogoti umat Islam pada waktu itu, yaitu terutamapenyakit hubbud dunya (cinta-dunia), penyakit fanatisme kelompok, dan penyakitkekacauan pemikiran Islam. (Lihat, buku Misteri Masa Kelam Islam dan KemenanganPerang Salib: Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membangkitkan Umatdan Merebut Palestina).

5 Nikita Elisseef, The Reaction, 165.

6 Carole Hillenbrand, The Crusades: Islamic Perspectives, 112-131.

7 Musa b. Ismail, Sunan Abu Dawud, (Istanbul: Kitab al-Jihad, bab. 17, 1992), 22-23).

8 Muhammad bin Muhammad al-Husayniy al-Zabidiy, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin bi al-SharhIhya’ ‘Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), 397, 657.

sumber:  http://insistnet.com/

page 9 / 9