Angz - Pendekatan Struktural Roman

download Angz - Pendekatan Struktural Roman

of 168

Transcript of Angz - Pendekatan Struktural Roman

ANALISIS STRUKTURAL DALAM ROMAN LA GLOIRE DE MON PRE KARYA MARCEL PAGNOL

SKRIPSI

Diajukan dalam rangka menyelesaikan studi strata 1 Untuk mencapai gelar Sarjana Sastra

Disusun oleh:

Nama Prodi NIM

: Irmaya Roswintia Putri : Sastra Prancis : 2350402006

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2007

PERNYATAAN

Dengan ini saya Nama NIM Prodi Jurusan Fakultas : Irmaya Roswintia Putri : 2350402006 : Sastra Prancis : Bahasa dan Sastra Asing : Bahasa dan Seni.

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Analisis Struktural dalam Roman La Gloire de Mon Pre Karya Marcel Pagnol saya tulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana ini benarbenar merupakan karya sendiri. Skripsi ini saya hasilkan setelah melalui penelitian, pembimbingan, diskusi dan pemaparan/ujian. Semua kutipan, baik yang langsung maupun tidak langsung, maupun sumber lainnya, telah disertai identitas sumbernya dengan cara sebagaimana yang lazim dalam penulisan ilmiah. Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing skripsi ini membubuhkan tanda tangan sebagai keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah ini tetap menjadi tanggung jawab saya sendiri. Jika kemudian ditemukan ketidakberesan, saya bersedia menerima akibatnya. Demikian, harap pernyataan ini dapat digunakan seperlunya.

Semarang, Februari 2007 Yang membuat pernyataan

Irmaya Roswintia Putri 2350402006

ii

HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, pada:

Hari Tanggal

: Rabu : 28 Februari 2007

Panitia Ujian Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Rustono, M.Hum NIP. 131281222

Drs. Sudarwoto, M.Pd NIP. 131281217

Penguji I

Penguji II/Pembimbing II

Dr. D. Yahya Khan, M. Pd. M.Hum. NIP. 130805009

Drs.

Isfajar

Ardinugroho,

NIP. 132062252

Penguji III/Pembimbing I

Prof. Dr. Edi Astini NIP. 130359054

iii

SARI Putri, Irmaya Roswintia. 2007. Analisis Struktural dalam Roman La Gloire de Mon Pre Karya Marcel Pagnol. Skripsi. Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing : I. Prof. Dr. Edi Astini, II. Drs. Isfajar Ardinugroho, M.Hum. Kata kunci: roman La Gloire de Mon Pre dan struktural. Karya sastra dibangun oleh unsur-unsur intrinsik yang meliputi tema, fakta cerita yang terdiri dari penokohan, plot, dan setting, dan sarana cerita yang terdiri dari sudut pandang dan gaya bahasa. Untuk menganalisis unsur-unsur tersebut, penulis menggunakan pendekatan struktural karena pendekatan ini memandang karya sastra sebagai teks mandiri, sehingga terjaga keobjektifannya. Roman La Gloire de Mon Pre merupakan roman kontemporer pertama Marcel Pagnol yang diterbitkan pada tahun 1957. Berdasarkan pemaparan di atas maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah unsur intrinsik yang terkandung dalam roman La Gloire de Mon Pre. Penerapan pendekatan struktural atas roman La Gloire de Mon Pre dalam penelitian ini penting artinya untuk meningkatkan pemahaman kita terhadap sebuah karya sastra. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan dengan teknik pustaka. Adapun data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah roman La Gloire de Mon Pre karya Marcel Pagnol. Adapun teknik analisis data yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP), yaitu daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya. Dari hasil analisis dapat ditarik beberapa simpulan, yaitu: Roman La Gloire de Mon Pre mempunyai tema utama tentang kebanggaan seorang anak laki-laki terhadap ayahnya, sedangkan tema tambahan yang muncul adalah : (1) rasa ingin tahu yang besar (curiosit), (2) kecerdasan, (3) kenakalan masa kanak-kanak, dan (4) rasa sayang seorang anak laki-laki terhadap ibunya. Tokoh utama roman ini adalah seorang anak laki-laki berumur delapan tahun yang bernama Marcel Pagnol. Tokoh tambahan dalam roman ini adalah Joseph Pagnol (le pre), Augustine Lansot (la mre), Paul (le petit frre), Jules (loncle), dan Rose (la tante). Plot yang terdapat dalam roman ini adalah plot lurus atau plot maju, dimulai dari tahap awal (introduction), tahap tengah (dveloppement du rcit), dan tahap akhir (dnouement). Setting waktu yang digunakan dalam roman La Gloire de Mon Pre adalah masa Rpublique Parlementaire et Lacit (1870 1914) yang merupakan masa Republik ke-3. Pengarang menggunakan setting tempat di Marseille (wilayah Prancis bagian Selatan) dengan setting sosial Masyarakat Prancis yang pada masa itu terbagi menjadi dua bagian masyarakat, yaitu masyarakat atheis dan masyarakat yang tidak atheis. Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam roman ini adalah sudut pandang orang pertama dengan tokoh Aku sebagai tokoh utama. Selain itu pengarang juga bertindak sebagai narator yang menceritakan tokoh-tokoh lain. Gaya bahasa yang digunakan adalah: (1) simile, (2) metafora (mtaphore), (3) personifikasi (personnification), (4) metonimi (mtonymie), (5) sinekdoke (synecdoque), dan (6) hiperbola (hyperbole). Di akhir penelitian ini, saran yang iv

direkomendasikan adalah agar pembaca dapat memahami unsur pembangun sebuah karya sastra secara khusus dan mendalam, sehingga mendapatkan pengetahuan baru tentangnya.

v

RSUM Putri, Irmaya Roswintia. 2007. LAnalyse Structurale dans le roman La Gloire de Mon Pre de Marcel Pagnol. Mmoire. Dpartement de Langue et de Littrature trangres. Facult des Langues et des Arts. Universit dtat de Semarang. Directeurs : I. Prof. Dr. Edi Astini, II. Drs. Isfajar Ardinugroho, M.Hum. Mots cls: structural A. Introduction La Gloire de Mon Pre est la premire uvre contemporaine de Marcel Pagnol publie en 1957. Auparavant il tait connu comme metteur en scne. Il tait le premier metteur en scne avoir t couronn par lAcadmie Franaise en 1946. Son roman, La Gloire de Mon Pre, est lun de ses souvenirs denfance qui lui vaudra un regain de succs, donc, on peut dire que ce roman est un chef-duvre de Marcel Pagnol. Cest pour cette raison-l que jai choisi ce corpus pour mon mmoire. Lanalyse structurale est une analyse qui considre quune uvre littraire est un texte indpendant (Endraswara 2003: 51). Cette analyse tudie la valeur intrinsque dune uvre. Daprs Jabrohim (2003:60), cette analyse est objective parce quelle se concentre seulement sur lautonomie dune uvre. Lobjectif majeur de mon mmoire est danalyser la structure intrinsque du roman La Gloire de Mon Pre.

vi

Analyse Structurale Le roman est un rcit imaginaire dont lintrigue peut prsenter une certaine vraisemblance. Il fait vivre des personnages. Il peint souvent les murs dune poque. Lauteur y intervient parfois comme tmoin (Berton 1983:150). Daprs Stanton (Nurgiyantoro 2005:25) dans lanalyse structurale, on doit parler obligatoirement: (1) du thme, (2) du fait du rcit, cest dire du personnage, de lintrigue, de la situation spatio-temporelle, et (3) de linstrument du rcit, cest dire du point de vue et de la figure de style. Le thme est une signification du rcit. Il y a deux thmes dont on va parler: le thme principal et le thme supplmentaire. Le fait du rcit a trois sujets: les personnages, lintrigue et la situation spatio-temporelle. Les personnages ont un rle essentiel dans lorganisation des histoires. Ils dterminent les actions, les subissent, les relient et leur donnent du sens. Lintrigue est dfinie comme charpente ncessaire toute fiction, et les actions sont dfinies comme units sy intgrant selon un mode prcis. Dans lintrigue on va parler de trois tapes: lintroduction, le dveloppement du rcit et le dnouement. La situation spatio-temporelle signifie les tapes de la vie, lascension ou la dgradation sociale, des racines ou des souvenirs. Dans linstrument du rcit il y a deux sujets: le point de vue et de la figure de style. Le point de vue est une faon qui est utilise par lcrivain pour raconter son histoire. La figure de style est un procd par lequel on agit sur la langue, en mettant en avant ses particularits, afin daccentuer son efficacit ou de crer un morceau de bravour (Beth et Marpeau:5). Daprs Nurgiyantoro

vii

(2005:298) il y a sept figures de styles quon trouve souvent dans une uvre: (1) la simile, (2) la mtaphore, (3) la personnification, (4) la mtonymie, (5) la synecdoque, (6) lhyperbole, et (7) la paradoque.

B. Mthodologie de la Recherche La mthodologie que jai utilise dans cette recherche est structurale. Le corpus utilis dans ce mmoire est le roman La Gloire de Mon Pre de Marcel Pagnol.

C. Analyse Lanalyse structurale du roman La Gloire de Mon Pre dans ce mmoire parle de trois sujets, ce sont le thme, le fait du rcit, cest dire les personnages, lintrigue, la situation spatio-temporelle, et linstrument du rcit, cest dire le point de vue et la figure de style. 1. Thme Dans le thme on parle du thme principal et du thme supplmentaire. Exemple: Thme principal Le thme principal du roman La Gloire de Mon Pre est la fiert dun fils pour son pre. (1) Je mtais approch, et je voyais le pauvre Joseph. Sous sa casquette de travers, il mchonnait nerveusement une tige de romarin, et hochait une triste figure. Alors, je bondis sur le point dun cap de roches, qui avanait au-dessus du vallon et, le corps tendu comme en arc, je criai de toutes mes forces: Il les a tues! Toutes les deux! Il les a tues! Et dans mes petits poings sanglants do pendaient quatre ailes dores, je haussais vers le ciel la gloire de mon pre en face du soleil couchant. (LGMP/1/198) viii

Lanalyse: La phrase ..., je haussais vers le ciel la gloire de mon pre en face du soleil couchant. montre que Marcel est fier de Joseph, son pre, parce que son pre russit capturer des bartavelles, donc il va gagner le coup de roi. 2. Fait du rcit Dans cette partie, on parle obligatoirement de lintrigue, des personnages et de la situation spatio-temporelle. Exemple: Personnages Marcel est un petit garon dune grande curiosit. (2) Un mince rayon de lune passait par le trou du volet, et faisait briller le verre, sur ma table de nuit. Le trou tait rond, le rayon tait plat. Je me promis de demander mon pre lexplication de ce phnomne. (LGMP/2/166) Lanalyse: Lcrivain dcrit le personnage de Marcel Pagnol, un petit garon qui a une grande curiosit, il veut savoir une chose qui est intressante. 3. Instrument du rcit Dans cette partie, on va parler du point de vue et de la figure de style. Exemple: Figure de style (personnification) La personnification est un procd qui consiste reprsenter un objet ou une ide comme tre humain. (3) - Tu vas nous tre trs utile, lui dit-il, parce que les outils ont une grande malice: ds quon en cherche un, il le comprend, et il se cache ... - Parce quils ont peur des coups de marteau! Dit Paul. (LGMP/6/67)

ix

Lanalyse: Le mot

les outils dans la phrase ci-dessus est considr

comme tre humain, parce quil a des caractristiques humaines, malicieux, comprendre, se cacher, et avoir peur.

D. Conclusion De ces analyses on peut conclure que: 1. Le thme principal de ce roman est la fiert dun fils pour son pre, et les thmes supplmentaires sont: (1) la curiosit, (2) lintelligence, (3) la malice de lenfance, et (4) laffection dun fils pour sa mre. 2. Le fait du rcit se compose des personnages, de lintrigue et de la situation spatio-temporelle. a. Le personnage principal dans ce roman est un petit garon de huit ans qui sappelle Marcel Pagnol. Les personnages supplmentaires sont Joseph Pagnol (le pre), Augustine Lansot (la mre), Paul (le petit frre), Jules (loncle), et Rose (la tante). b. Lintrigue dans ce roman est lintrigue progressive, partir dintroduction, du dveloppement du rcit et du dnouement. c. La situation spatio-temporelle du temps dans ce roman est lpoque de la Rpublique Parlementaire et de la Lacit (1870 1914). Lvnement dans ce roman sest pass Marseille. Et la situation spatio-temporelle sociale est la socit franaise de cette poque-l partage en deux, cest dire lathe et linathe.

x

3. Linstrument du rcit se compose du point de vue et de la figure de style. a. Lcrivain dans ce roman utilise le point de vue de premier personnage Je. b. La varit de ces figures de styles rend le roman intressant. Les figures de style utilises dans ce roman est: (1) la simile, (2) la mtaphore, (3) la personnification, (4) la mtonymie, (5) la synecdoque, (6) lhyperbole.

xi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN Adresser au Ciel une fervente prire (Marcel Pagnol) Do something that has never been done (Coldplay) Hard things are put in our way not to stop us, but to call out our courage and our strength (Robert F. Kennedy)

Je ddie ma petite uvre: Au Grand Dieu, merci pour vos clmences et vos douceurs; mes parents (emak et bab) bien aims pour tous leurs prires et leur affection; mas Ronny et sa famille (mba Ninin et Hilmi), mba Ipieh, mas Weera, et mon chat, Eniel, qui me manquent tous les temps; ma dfunte tante Erna bien aime; mes bons copains : Nancy et Eemam avec qui je partageais des bonheurs et des tristesses.

xii

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi yang berjudul Analisis Struktural dalam Roman La Gloire de Mon Pre Karya Marcel Pagnol dapat terselesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi ini tentu saja tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Edi Astini (pembimbing I) dan Bapak Drs. Isfajar Ardinugroho, M.Hum (pembimbing II) yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan masukan, arahan, dan bimbingan dengan penuh kesabaran kepada penulis. Tak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Rustono, M. Hum. selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. 2. Drs. Sudarwoto, M. Pd. selaku Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. 3. Dr. D. Yahya Khan, M. Pd. selaku dosen penguji I. 4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis. 5. Teman-teman Sastra Prancis Angkatan 2002, Bu Meiga, Maria Eva, Deean, Keriz, Eatink, Endangdut, Eeda, Teequa, Paquito, Pineau, Edoho, Dolly, Candra si cakep, Idris Azmi, Haquime, Andiks, Wahyu, aa Rabi, Agoes, Asep Freysimatsu, terima kasih atas semangat dan dukungannya. Hidup Skripsi!

xiii

6. Teman-teman kos lama dan baru yang tercinta, Septuhu Subeby, Mendarmendar, Arumbia, dan mba Tyas terima kasih atas semua cerita-ceritanya. 7. Mbahku (Arief) dan Pa Kormadesku (Aconx) yang tercinta terima kasih atas warna-warni kehidupan yang kalian tunjukkan kepadaku dan semangatsemangatnya dan yang pasti atas motor dinasnya. 8. Endut Suhenny terima kasih atas semangatnya. 9. Semua pihak yang telah membantu peneliti dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga segala bantuan, bimbingan, dukungan, dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis menjadi amal dan mendapat balasan dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, Februari 2007 Penulis

xiv

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................................ PERNYATAAN ................................................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii SARI ..................................................................................................................... iv RSUM .............................................................................................................. vi MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... xii PRAKATA ........................................................................................................... xiii DAFTAR ISI ........................................................................................................ xv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... A. Latar Belakang .......................................................................................... B. Penegasan Istilah ....................................................................................... 1. 2. 1 1 4 i

Analisis Struktural ............................................................................. 4 Roman ................................................................................................ 5

C. Permasalahan ............................................................................................. 5

xv

D. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6 E. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 6 F. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................................... 6 BAB II LANDASAN TEORI .............................................................................. 7 A. Struktural .................................................................................................... 7 1. Tema .................................................................................................... 8 2. Fakta Cerita ............................................................................... 11

a. Tokoh dan Penokohan .................................................................... 11 b. Plot ................................................................................................. 18 c. Setting ............................................................................................. 21 3. Sarana Cerita ......................................................................................... 26 a. Sudut Pandang ................................................................................ 26 b. Gaya Bahasa ................................................................................... 32 B. Roman ........................................................................................................ 37 C. Ringkasan Cerita Roman La Gloire de Mon Pre ..................................... 38 BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 41 A. Pendekatan Penelitian ................................................................................ 41 B. Objek Penelitian ......................................................................................... 41 C. Sumber Data .............................................................................................. 42 D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 42 E. Teknik Analisis Data ................................................................................. 43 BAB IV UNSUR-UNSUR INTERNAL DALAM ROMANLA GLOIRE DE MON PRE KARYA MARCEL PAGNOL ........... 45

xvi

A. Tema .......................................................................................................... 45 1. Tema Utama Roman La Gloire de Mon Pre ..................................... 46 2. Tema Tambahan Roman La Gloire de Mon Pre ............................... 50 B. Fakta Cerita ................................................................................................ 61 1. Penokohan Roman La Gloire de Mon Pre ........................................ 61 a. Marcel Pagnol ................................................................................ 61 b. Joseph Pagnol (le pre) .................................................................. 67 c. Augustine Lansot (la mre) ........................................................... 71 d. Paul (le petit frre) ......................................................................... 78 e. Jules (loncle) ................................................................................. 83 f. Rose (la tante) ................................................................................ 89 2. Plot ........................................................................................................ 91 a. Tahap awal (introduction) .............................................................. 91 b. Tahap tengah (dveloppement du rcit) ......................................... 93 c. Tahap akhir (dnouement) .............................................................. 97 3. Setting ................................................................................................... 99 a. Setting Waktu Roman La Gloire de Mon Pre .............................. 99 b. Setting Tempat Roman La Gloire de Mon Pre ........................... 100 c. Setting Sosial Roman La Gloire de Mon Pre .............................. 106 C. Sarana Cerita ............................................................................................. 108 1. Sudut Pandang .................................................................................... 109 2. Majas .................................................................................................. 110 a. Simile ............................................................................................ 111

xvii

b. Metafora (mtaphore) ................................................................... 112 c. Personifikasi (personnification) .................................................... 113 d. Metonimi (mtonymie) ................................................................. 114 e. Sinekdoke (synecdoque) ............................................................... 115 1) Pars pro toto ......................................................................... 116 2) Totem pro parte ...................................................................... 116 3) Hiperbola (hyperbole) ............................................................ 117 BAB V PENUTUP .............................................................................................. 119 A. Simpulan .................................................................................................. 119 B. Saran .................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 121 122 124

xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sebuah karya sastra dapat ditelaah dengan menggunakan berbagai macam pendekatan, seperti pendekatan sosiologi sastra yang terfokus pada masalah manusia, pendekatan strukturalisme genetik yang memandang karya sastra dari dua sudut, yaitu intrinsik dan ekstrinsik, pendekatan struktural yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi, dan lain-lain. Dalam penelitian ini yang akan digunakan dalam menganalisis karya sastra adalah pendekatan struktural. Penulis memilih menggunakan pendekatan struktural karena pendekatan ini memandang karya sastra sebagai teks mandiri (Endraswara 2003:51), dan dengan pendekatan ini penulis bermaksud untuk menjaga keobjektifan sebuah karya sastra, sehingga untuk mamahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca (Jabrohim 2003:54). Karya sastra merupakan kesatuan struktural yang setiap bagiannya menunjukkan kepada keseluruhan. Dengan demikian, struktur karya sastra itu dibina oleh unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur tersebut adalah, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang ada di dalam karya itu sendiri, meliputi tema, penokohan, plot, setting, sudut pandang, dan lain-lain. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berasal dari luar karya tersebut, meliputi

1

2

biografi pengarang, latar belakang kehidupan pengarang, unsur sosial dan budaya, dan lain-lain. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra, seperti novel. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya peristiwa, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Nurgiyantoro 2005:23). Untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra digunakan pendekatan struktural. Menurut Jabrohim (2003:60) pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif, yaitu pendekatan dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya, penyerahan pemberian makna karya sastra yang dimaksud terhadap eksistensi karya itu sendiri, tanpa mengaitkan dengan unsur-unsur di luar signifikasinya. Teeuw (dalam Jabrohim 2003:55) juga menambahkan bahwa analisis struktur merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum dia melangkah pada hal-hal lain. Hal itu berdasarkan anggapan bahwa pada dasarnya karya sastra merupakan dunia dalam kata yang mempunyai makna intrinsik

3

yang hanya dapat digali dari karya sastra itu sendiri. Jadi, untuk memahami makna karya sastra secara optimal, pemahaman terhadap struktur adalah suatu tahap yang sulit dihindari, atau, secara lebih ekstrem, hal itu harus dilakukan. Pemahaman struktur yang dimaksudkan itu adalah unsur atau analisis pembangun keutuhan karya sastra. Karya sastra mempunyai beberapa bentuk yaitu, prosa, drama dan puisi. Prosa terbagi atas cerita pendek dan roman. Dalam kaitannya dengan struktural, penelitian ini menggunakan roman sebagai bahan kajian. Istilah roman berasal dari kesastraan Prancis. Roman adalah nama bahasa rakyat sehari-hari di negara tersebut yang pertama kali digunakan oleh pengarang di sana untuk menceritakan kehidupan rakyat biasa (Suharianto 2005:30). Dalam penelitian ini penulis menggunakan roman La Gloire de Mon Pre karya Marcel Pagnol sebagai bahan kajian. La Gloire de Mon Pre adalah roman kontemporer pertama Marcel Pagnol yang diterbitkan pada tahun 1957, sebelumnya Marcel Pagnol lebih dikenal sebagai seorang sutradara film yang karya-karyanya banyak dikenal oleh masyarakat luas. Roman ini membawanya kembali ke kesuksesannya sehingga roman ini dapat dikatakan sebagai karya agung (masterpiece) Marcel Pagnol. Dia adalah salah satu pengarang besar dari abad ke-20 dan dia merupakan sutradara film pertama yang menerima penghargaan dari lAcadmie Franaise pada tahun 1946 atas beberapa karyanya (Pierre 1994:1341). Selain beberapa pertimbangan di atas, penulis juga mempunyai alasan lain dalam pemilihan roman tersebut sebagai pemahaman atau analisis

4

bahan kajian yaitu, roman ini ditulis dalam bahasa Prancis modern, dan menggunakan gaya ungkap yang lugas sehingga mudah untuk dipahami. Dari ulasan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai unsur intrinsik yang terkandung dalam roman La Gloire de Mon Pre karya Marcel Pagnol, dengan menggunakan pendekatan struktural.

B. Penegasan Istilah Agar tidak menimbulkan kekaburan pengertian, ada beberapa hal yang akan dijelaskan berkaitan dengan judul penelitian ini. 1. Analisis Struktural Pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif, yaitu pendekatan dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya, menyerahkan pemberian makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada di luar struktur signifikansinya (Jabrohim 2003:60). Strukturalisme yang dimaksud dalam penelitian ini adalah elemen atau unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Elemen tersebut lazim disebut sebagai unsur intrinsik. Stanton (dalam Nurgiyantoro 2005:25) membedakan unsur pembangun sebuah karya sastra ke dalam tiga bagian, yaitu: a. Tema b. Fakta cerita, meliputi: 1) Tokoh dan penokohan 2) Plot

5

3) Setting

c. Sarana sastra, meliputi: 1) Sudut pandang 2) Gaya bahasa 2. Roman Le roman est le genre qui tient plutt au dveloppement des mouvements intrieurs de lme quaux vnements quon se persuade aisment que tout peut arriver ainsi; ce nest pas lhistoire du pass, mais on dirait souvent que cest celle de lavenir (Stal dalam Rey 1992:13). Roman adalah jenis karya sastra yang lebih menekankan pada perkembangan gerak batin daripada kisah yang diceritakan. Semua cerita yang ada di dalam roman seolah-olah benar-benar terjadi sehingga dapat diterima dengan mudah; roman bukan cerita tentang masa lalu tetapi lebih tepat sebagai cerita masa depan (Stal dalam Rey 1992:13).

C. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan yang dapat diajukan adalah bagaimanakah unsur intrinsik atau unsur pembangun karya sastra yang terkandung dalam roman La Gloire de Mon Pre karya Marcel Pagnol?

D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur intrinsik atau unsur pembangun karya sastra yang terkandung dalam roman La Gloire de Mon Pre karya Marcel Pagnol.

6

E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menambah pengetahuan pembaca tentang kesusastraan Prancis, khususnya karya Marcel Pagnol. 2. Memberikan sumbangan pengetahuan, khususnya di jurusan Bahasa dan Sastra Asing mengenai analisis struktural sebuah roman. 3. Menambah khasanah penelitian di bidang sastra khususnya di jurusan Bahasa dan Sastra Asing.

F. Sistematika Penulisan Skripsi Secara garis besar penyusunan skripsi ini terdiri atas tiga bagian, yakni bagian awal skripsi, bagian inti, dan bagian akhir skripsi. Bagian awal memuat halaman judul, pernyataan, pengesahan, sari, rsum, motto dan persembahan, prakata, dan daftar isi. Bagian inti skripsi ini terdiri atas lima bab. Bab I memuat latar belakang munculnya permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II berisi tentang landasan teori dalam penelitian ini, yang terdiri atas teori-teori mengenai struktural dan pengertian roman. Bab III menjelaskan mengenai metode penelitian yang terdiri atas pendekatan penelitian, objek data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab IV berisi pembahasan mengenai unsur-unsur internal dalam roman La Gloire de Mon Pre karya Marcel Pagnol, yang kemudian disimpulkan pada bab V yang berisi simpulan dan saran.

7

Bagian akhir skripsi ini terdiri atas daftar pustaka dan lampiran.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Struktural Sebelum membahas pendekatan struktural lebih jauh, akan dibahas sedikit mengenai sosiologi sastra. Sosiologi sastra adalah pendekatan yang terfokus pada masalah manusia (Endraswara 2003:79). Dalam sosiologi sastra digunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan strukturalisme genetik dan pendekatan struktural. Pertama, pendekatan strukturalisme genetik memandang karya sastra dari dua sudut, yaitu intrinsik dan ekstrinsik, atau dapat dinyatakan bahwa pendekatan strukturalisme genetik merupakan pendekatan sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya (Endraswara 2003:57). Kedua, pendekatan struktural akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif, yaitu pendekatan dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya, menyerahkan pemberian makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada di luar struktur signifikansinya (Jabrohim 2003:60). Menurut Fananie (2000:83) struktur formal karya sastra adalah struktur yang terefleksi dalam satuan teks. Karena itu, struktur formal karya sastra dapat disebut sebagai elemen atau unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Elemen tersebut lazim disebut sebagai unsur intrinsik. Stanton (dalam Nurgiyantoro

7

8

2005:25) membedakan unsur pembangun sebuah karya sastra ke dalam tiga bagian, yaitu: 1. Tema 2. Fakta cerita, meliputi: a. Penokohan b. Plot c. Setting 3. Sarana sastra, meliputi: a. Sudut pandang b. Gaya bahasa

1. TEMA Tema (thme), menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro 2005:67), adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita itu, maka masalahnya adalah: makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Menurut Hartoko & Rahmanto (dalam Nurgiyantoro 2005:68), untuk menentukan makna pokok sebuah roman, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok, atau tema itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan

9

situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat mengikat kahadiran atau ketidakhadiran peristiwa-konflik-situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu (Nurgiyantoro 2005:68). Lebih lanjut Fananie (2002:84) berpendapat bahwa, tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa beragam. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa berupa pandangan pengarang, ide, atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul. Tema, pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara singkat makna cerita. Makna cerita dalam sebuah karya fiksi, mungkin saja lebih dari satu, atau lebih tepatnya lebih dari satu interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya kita untuk menentukan tema pokok cerita, atau tema mayor (artinya: makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu). Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan (Nurgiyantoro 2005:82). Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian

10

tertentu cerita saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dapat diidentifikasikan sebagai makna bagian, makna tambahan. Makna-makna tambahan inilah yang dapat disebut sebagai tema-tema tambahan atau tema minor (Nurgiyantoro 2005:83). Makna-makna tambahan bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita. Bahkan sebenarnya, adanya koherensi yang erat antarberbagai makna tambahan inilah yang akan memperjelas makna pokok cerita. Jadi, singkatnya, makna-makna tambahan itu, atau tema-tema minor itu, bersifat mempertegas eksistensi makna utama, atau tema mayor (Nurgiyantoro 2005:83). Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tema merupakan fondasi awal dari sebuah cerita. Seperti halnya sebuah bangunan, tanpa fondasi yang bagus maka bangunan tersebut tidak akan dapat berdiri dengan tegak.

2. FAKTA CERITA Fakta dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot dan setting. Ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah novel (Stanton dalam Nurgiyantoro 2005:25).

a. Penokohan

11

Karena fiksi mempunyai sifat bercerita, dan yang diceritakan adalah manusia dengan segala kemungkinannya, maka masalah tokoh dan penokohan ini merupakan hal yang kehadirannya amat penting bahkan menentukan (Baribin 1985:52). Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan: Siapakah tokoh utama roman itu?, atau Ada berapa orang jumlah pelaku roman itu?, atau Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam roman itu?, dan lain-lain. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh sperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi (karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan) menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak (-watak) tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (dalam Nurgiyantoro 2005:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Dengan kata lain tokoh dalam sebuah cerita dapat disebut sebagai actor dari cerita tersebut, sedangkan penokohan merupakan watak atau karakter yang diperankan oleh seorang actor. Stanton (dalam Nurgiyantoro 2005:165) berpendapat bahwa penggunaan istilah karakter (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, character dapat berarti pelaku cerita dan dapat pula berarti perwatakan. Antara seorang tokoh

12

dengan perwatakan yang dimilikinya, memang merupakan suatu kepaduan yang utuh. Tokoh cerita (character), menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 2005:165), adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekpresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya dari pandangan teori resepsi, pembacalah yang memberi arti semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. 1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan Membaca sebuah roman, biasanya, kita akan dihadapkan pada sejumlah tokoh yang dihadirkan di dalamnya. Namun, dalam kaitannya dengan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tak sama. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting an ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh(-tokoh) yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan

13

yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character). Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik, penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung. Tokoh utama adalah yang dibuat sinopsisnya, yaitu dalam pembuatan sinopsis, sedang tokoh tambahan biasanya diabaikan. Tokoh utama dalam sebuah roman, mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tidak (selalu) sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan. 2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca sebuah roman, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh(-tokoh) tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh

14

pembaca disebut sebagai tokoh protagonis (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro 2005:178). Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi (yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero) tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro 2005:178). Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, pembaca. Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis, barangkali dapat disebut, beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin (Nurgiyantoro 2005:179). Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak harus hanya disebabkan oleh tokoh antagonis seorang (beberapa orang) individu yang dapat ditunjuk secara jelas. Ia dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral, kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi, dan lain-lain. Penyebab konflik yang tidak dilakukan oleh seorang tokoh disebut sebagai kekuatan antagonistis, antagonistic force (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro 2005:179). Konflik bahkan mungkin sekali disebabkan oleh diri sendiri, misalnya seorang tokoh akan memutuskan sesuatu yang penting yang masing-masing menuntut konsekuensi sehingga terjadi pertentangan dalam

15

diri sendiri. Namun, biasanya ada juga pengaruh kekuatan antagonistis yang di luar diri walau secara tidak langsung. Pembedaan antara tokoh utama dan tokoh tambahan dengan tokoh protagonis dan tokoh antagonis sering digabungkan, sehingga menjadi tokohutama-protagonis, tokoh-utama-antagonis, tokoh-tambahan-protagonis, dan

seterusnya. Pembedaan secara pasti antara tokoh utama protagonis dengan tokoh utama antagonis juga sering tidak mudah dilakukan. Pembedaan itu sebenarnya lebih bersifat penggradasian. Apalagi tokoh cerita pun dapat berubah, khususnya pada tokoh yang berkembang, sehingga tokoh yang semula diberi rasa antipati belakangan justru menjadi simpati, atau antipati menjadi berkurang, atau bertambah dari semula. 3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat Forster (dalam Nurgiyantoro 2005:181) berpendapat bahwa,

berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tidak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya menceminkan satu watak tertentu. Watak yang telah pasti itulah yang mendapat penekanan dan terus-menerus terlihat dalam fiksi yang

16

bersangkutan. Perwatakan tokoh sederhana yang benar-benar sederhana, dapat dirumuskan hanya dengan sebuah kalimat, atau bahkan sebuah frase saja (Nurgiyantoro 2005:182). Tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana, adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat. Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan (Abrams dalam Nurgiyantoro 2005:183). 4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dalam sebuah roman, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh statis (static character) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwaperistiwa yang terjadi (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro 2005:188). Tokoh jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tidak terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Jika diibaratkan, tokoh statis adalah bagaikan batu karang yang

17

tidak tergoyahkan walau setiap hari dihantam dan disayang ombak. Tokoh statis memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita. Tokoh berkembang, di pihak lain, adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahaan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun yang lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya. Adanya perubahan-perubahan yang terjadi di luar dirinya, dan adanya hubungan antarmanusia yang memang bersifat saling mempengaruhi itu, dapat menyentuh kejiwaannya dan dapat menyebabkan terjadinya perubahan dan perkembangan sikap dan wataknya. Sikap dan watak tokoh berkembang, dengan demikian, akan mengalami perkembangan dan atau perubahaan dari awal, tengah, dan akhir cerita, sesuai dengan tuntutan koherensi cerita secara keseluruhan. 5) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap

(sekelompok) manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal (typical character) dan tokoh netral (neutral character). Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro 2005:190), atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok orang yang

18

terikat dalam sebuah lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata. Penggambaran itu tentu saja bersifat tidak langsung dan tidak menyeluruh, dan justru pembacalah yang menafsirkannya secara demikian berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan persepsinya terhadap tokoh di dunia nyata dan pemahamannya terhadap tokoh cerita di dunia fiksi. Tokoh netral, di pihak lain, adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir (atau dihadirkan) semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, dan diceritakan. Kehadirannya tidak berpotensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya, seseorang yang berasal dari dunia nyata. Atau paling tidak, pembaca mengalami kesulitan untuk menafsirkannya sebagai bersifat mewakili berhubung kurang ada unsur bukti pencerminan dari kenyataan di dunia nyata. Selanjutnya, dalam penelitian ini penulis hanya akan menganalisis tokoh utama dan tokoh tambahan saja karena dianggap sudah mewakili kebaradaan tokoh-tokoh yang ada di dalam roman La Gloire de Mon Pre karya Marcel Pagnol. b. Plot Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi adalah plot cerita. Dalam analisis cerita, plot sering pula disebut dengan istilah alur. Menurut Siti Sundari (dalam Fananie 2000:93) dalam pengertiannya yang paling umum, plot sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita. Luxemburg (dalam Fananie 2000:93) menyebutkan bahwa

19

plot adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Dengan demikian plot dapat diartikan sebagai urutan atau rentetan peristiwa dalam sebuah cerita. Eksistensi plot ditentukan oleh ketiga unsur utama dalam pengembangan sebuah plot cerita, yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks. Peristiwa merupakan peralihan dari suatu keadaan yang lain (Luxemburg dalam Nurgiyantoro (2005:117). Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek dan Warren 1995:285). Peristiwa dan konflik mempunyai kaitan erat, bahkan pada hakikatnya konflik merupakan peristiwa. Ada peristiwa tertentu yang dapat menyebabkan konflik. Sebaliknya, dengan munculnya konflik, peristiwa-peristiwa lain pun dapat bermunculan. Konflik mengarah pada suatu sifat yang dialami tokoh cerita. Konflik yang mencapai intensitas tertinggi disebut klimaks. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua atau lebih, hal yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan atau konflik yang terjadi akan diselesaikan. Klimaks dalam sebuah cerita akan terdapat pada konflik utama dengan tokoh-tokoh utama cerita. 1) Tahapan Plot Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, Aristoteles mengatakan bahwa sebuah plot harus terdiri dari tahap awal (beginning), tengah (midle), dan akhir (end) (Abrams dalam Nurgiyantoro 2005:142).

20

a) Tahap awal. Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Dalam tahap ini terdapat penunjukkan dan pengenalan latar atau setting serta pengenalan tokohnya. Fungsi pokok tahap awal adalah untuk memberikan informasi atau penjelasan yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan. b) Tahap tengah. Tahap tengah dalam sebuah cerita disebut juga tahap pertikaian, yakni menampilkan pertentangan atau konflik. Selain itu, dalam tahap tengah ini klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik telah mencapai titik intensitas tertinggi. Singkatnya pada bagian inilah pembaca dapat memperoleh cerita. c) Tahap akhir. Tahap akhir sebuah cerita disebut pula sebagai tahap peleraian, yakni menampilkan adegan tertentu akibat klimaks. Pada bagian ini, pembaca dapat mengetahui akhir dari sebuah cerita. Berdasarkan teori klasik Aristoteles, penyelesaian cerita dibedakan dalam dua macam kemungkinan, yaitu kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad end). 2) Jenis Plot Menurut Nurgiyantoro (2005:153) berdasarkan urutan waktu, plot dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: a) Plot lurus atau progresif Apabila peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis atau runtut. cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan

21

konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Plot progresif biasanya menunjukan kesederhanaan dalam penceritaan, tidak berbelitbelit, dan mudah diikuti. Ini merupakan plot yang paling dominan digunakan dalam karya fiksi. b) Plot sorot balik atau flash-back Disebut juga plot regresif, yakni urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi tidak bersifat kronologis. Cerita dimungkinkan dimulai dari tahap tengah atau akhir baru kemudian tahap awal cerita. Teknik pembalikan cerita dapat dilakukan melalui perenungan, penuturan kepada tokoh lain secara lisan maupun tertulis maupun penceritaan masa lalu tokoh lain. c) Plot campuran Apabila dalam sebuah karya fiksi terdapat dua macam plot, yaitu progresif-regresif. Kedua alur tersebut digunakan secara bergantian. c. Setting Dalam karya sastra, setting merupakan satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting, karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum sebuah karya, hal ini dikemukakan oleh Abrams (dalam Fananie 2000:97). Walaupun setting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen setting hakikatnya tidaklah hanya sekedar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis. Dari kajian setting akan dapat diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi antara perilaku dan watak tokoh

22

dengan kondisi masyarakat, situasi sosial, dan pandangan masyarakatnya. Di samping itu, kondisi wilayah, letak geografi, struktur sosial juga akan menentukan watak-watak atau karakter tokoh-tokoh tertentu. Karena itu, fungsi setting dalam sebuah karya tidak bisa dilepaskan dari masalah yang lain seperti tema, tokoh, bahasa, medium sastra yang dipakai, dan persoalan-persoalan yang muncul yang kesemuanya merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan. Sebagaimana disebutkan Jakob Sumardjo (dalam Fananie 2000:98) setting yang berhasil haruslah terintegrasi dengan tema, watak, gaya, implikasi atau kaitan filosofisnya. Dalam hal tertentu setting harus mampu membentuk tema dan plot tertentu yang dalam dimensinya terkait dengan tempat, waktu, daerah, dan orang-orang tertentu dengan watak-watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup, dan cara berpikirnya. Hal ini oleh Roland Barthes (1967:32) disebut sebuah diagedis yaitu logika sebuah cerita. Unsur setting dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu, waktu, tempat, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. 1) Setting Waktu Menurut Nurgiyantoro (2005:230) setting waktu berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Setting waktu

23

dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Namun hal itu membawa juga sebuah konsekuensi: sesuatu yang diceritakan harus sesuai dengan perkembangan sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional, sehingga tidak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Setting waktu juga harus dikaitkan dengan setting tempat (juga:sosial) sebab pada kenyataannya memang saling berkaitan. Keadaan sesuatu yang diceritakan mau tidak mau harus mengacu pada waktu tertentu karena tempat itu akan berubah sejalan dengan perubahan waktu (Nurgiyantoro 2005:231). 2) Setting Tempat Setting tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat dengan inisial tertentu, biasanya berupa huruf awal (kapital) nama suatu tempat, juga mengarah pada tempat tertentu, tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri, misalnya kota M, S, T, dan desa B. Setting tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu, misalnya desa, sungai, jalan, hutan, kota dan lain-lain (Nurgiyantoro 2005:227).

24

Lebih

lanjut

Nurgiyantoro

(2005:227-228)

menyatakan

bahwa

penggunaan setting tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya dengan tempat-tempat yang lain. Untuk dapat

mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan, pengarang perlu menguasai medan. Pengarang haruslah menguasai situasi geografis lokasi yang bersangkutan lengkap dengan karakteristik dan sifat khasnya. Tempat-tempat yang berupa desa, kota, jalan, sungai, laut, gubug reot, rumah, hotel, dan lain-lain tentu memiliki ciri khas yang menandainya. Pelukisan tempat tertentu dengan sifat khasnya secara rinci biasanya menjadi bersifat kedaerahan, atau berupa pengangkatan suasana daerah. Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsur local color, akan menyebabkan setting tempat menjadi unsur yang dominan dalam karya yang bersangkutan. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional. Ia akan mempengaruhi pengaluran dan penokohan, dan karenanya menjadi koheren dengan cerita keseluruhan. Namun, perlu ditegaskan bahwa sifat ketipikalan daerah tidak hanya ditentukan oleh rincinya deskripsi lokasi, melainkan terlebih harus didukung oleh sifat kehidupan sosial masyarakat penghuninya. Dengan kata lain, setting sosial, setting spiritual, justru lebih menentukan ketipikalan setting tempat yang ditunjuk. Pengangkatan lokasi secara demikian, menunjukkan bahwa ia digarap secara teliti oleh pengarang (Nurgiyantoro 2005:228).

25

Setting tempat dalam sebuah novel biasanya meliputi berbagai lokasi. Ia akan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh. Keberhasilan setting tempat lebih ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur setting yang lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi. Keberhasilan penampilan unsur setting itu sendiri antara lain dilihat dari segi koherensinya dengan unsur fiksi lain dan dengan tuntutan cerita secara keseluruhan (Nurgiyantoro 2005:229-230). 3) Setting Sosial Setting sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain (Nurgiyantoro 2005:233). Untuk mengangkat setting tempat tertentu ke dalam karya fiksi, pengarang perlu menguasai medan, hal itu juga terlebih berlaku untuk setting sosial, tepatnya sosial budaya. Pengertian penguasaan medan lebih mengarah pada penguasaan setting. Sehingga, ia mencakup unsur tempat, waktu, dan sosial budaya sekaligus. Di antara ketiganya tampaknya unsur sosial memiliki peranan yang cukup menonjol. Setting sosial berperan menentukan apakah sebuah setting, khususnya setting tempat, menjadi khas dan tipikal atau sebaliknya bersifat netral. Dengan kata lain, untuk menjadi tipikal dan lebih fungsional, deskripsi setting

26

tempat harus sekaligus desertai deskripsi setting sosial, tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan (Nurgiyantoro 2005:234). Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa setting bukan hanya merupakan lokasi di mana sebuah cerita berlangsung, namun juga sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang melalui ceritanya tersebut.

3. SARANA SASTRA Sarana sastra meliputi sudut pandang dan gaya bahasa. Kedua unsur tersebut adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna (Stanton dalam Nurgiyantoro 2005:25). a. Sudut Pandang Sudut pandang, point of view, viewpoint, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton (dalam Nurgiyantoro 2005:246) digolongkan sebagai sarana cerita, literary device. Walaupun demikian, hal itu tidak berarti bahwa perannya dalam fiksi tidak penting. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Reaksi afektif pembaca terhadap sebuah karya fiksi pun dalam banyak hal akan dipengaruhi oleh bentuk sudut pandang. Sudut pandang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa

27

yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams dalam Nurgiyantoro 2005:248). Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi, memang, milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita. Sudut pandang bagaimanapun merupakan sesuatu yang menyaran pada masalah teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih besar daripada sudut pandang itu sendiri. Sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Dengan teknik yang dipilihnya itu diharapkan pembaca dapat menerima dan menghayati gagasan-gagasannya, dan karenanya teknik itu boleh dikatakan efektif (Booth dalam Nurgiyantoro 2005:249). Dengan demikian sudut pandang dapat diartikan sebagai siapa yang bercerita dan berkedudukan sebagai apa pengarang dalam cerita tersebut. Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam: persona pertama, first-person, gaya aku, dan persona ketiga, third-person, gaya dia. Penggunaan sudut pandang aku ataupun dia, yang biasanya juga berarti tokoh aku atau tokoh dia, dalam karya fiksi adalah untuk memerankan dan menyampaikan berbagai hal yang dimaksudkan pengarang. Ia dapat berupa ide, gagasan, nilai-nilai, sikap dan pandangan hidup, kritik, pelukisan, penjelasan, dan penginformasian, namun juga demi kebagusan cerita,

28

yang kesemuanya dipertimbangkan dapat mencapai tujuan artistik (Nurgiyantoro 2005:251). Pembedaan sudut pandang juga dilihat dari bagaimana kehadiran cerita itu kepada pembaca: lebih bersifat penceritaan, telling, atau penunjukkan, showing, naratif atau dramatik. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama. 1) Sudut Pandang Persona Ketiga: Dia Pengisahaan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya dia, narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus-menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak. Sudut pandang dia dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya, yaitu sebagai berikut: a) Dia Manatahu Sudut pandang persona ketiga manatahu dalam literatur bahasa Inggris dikenal dengan istilah-istilah the omniscient point of view, third-person omniscient, the omniscient narrator, atau author omniscient. Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut dia, namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh dia tersebut. Narator

29

mengetahui segalanya, ia bersifat manatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang

melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh dia yang satu ke dia yang lain, menceritakan atau sebaliknya menyembunyikan ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas seperti halnya ucapan dan tindakan nyata (Abrams dalam Nurgiyantoro 2005:258). b) Dia Terbatas, Dia sebagai Pengamat Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro 2005:259), dalam sudut pandang dia terbatas, seperti halnya dalam dia manatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja, atau menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro 2005:259), terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh dia, namun mereka tidak diberi kesempatan (tidak dilukiskan) untuk menunjukan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama. Oleh karena dalam teknik ini hanya ada seorang tokoh yang terseleksi untuk diungkap, tokoh tersebut merupakan fokus, cermin, atau pusat kesadaran , center of consciousness (Abrams dalam Nurgiyantoro 2005:260). Dalam teknik dia terbatas sering juga dipergunakan teknik narasi aliran kesadaran, stream of consciousness, yang menyajikan kepada pembaca pengamatan-pengamatan luar yang berpengaruh terhadap pikiran, ingatan, dan

30

perasaan yang membentuk kesadaraan total pengamatan. Sudut pandang cerita, dengan demikian, menjadi bersifat objektif, objektive point of view, atau narasi objektif, objektive narration. Pengarang tidak mengganggu dengan memberikan komentar dan penilaian yang bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan, ataupun tokoh-tokoh yang diceritakannya. Ia hanya berlaku sebagai pengamat, observer, melaporkan sesuatu yang dialami dan dijalani oleh seorang tokoh yang sebagai pusat kesadaran. Ia sama halnya dengan pembaca, adalah seorang yang berdiri di luar cerita. 2) Sudut Pandang Persona Pertama: Aku Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama, first-person point of view, aku, jadi gaya aku, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si aku tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan

peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Dalam sudut pandang aku, narator hanya bersifat manatahu bagi diri sendiri dan tidak terhadap orangorang (tokoh) lain yang terlibat dalam cerita. Ia hanya berlaku sebagai pengamat saja terhadap tokoh-tokoh dia yang bukan dirinya. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si aku dalam cerita, yaitu sebagai berikut: a) Aku Tokoh Utama Dalam sudut pandang teknik ini, si aku mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam

31

diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si aku menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si aku, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, atau dipandang penting. Jika tidak, hal itu tidak disinggung sebab si aku mempunyai keterbatasan terhadap segala hal yang di luar dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan. Dalam cerita yang demikian, si aku menjadi tokoh utama, firstperson central (Nurgiyantoro 2005:263). Keterbatasan tokoh aku untuk menjangkau tokoh dan peristiwa lain di luar dirinya dianggap sebagai kelemahan teknik ini. Pembaca menjadi tidak banyak tahu karena pengetahuannya tergantung pada pengetahuan si aku. Penafsiran perwatakan si aku itu sendiri dapat sulit dilakukan sebab seolah-olah diri kita sendiri (Nurgiyantoro 2005:264). b) Aku Tokoh Tambahan Dalam sudut pandang ini tokoh aku muncul bukan sebagai tokoh utma, melainkan sebagai tokoh tambahan, first-person peripheral. Tokoh aku hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan hubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si aku tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah (Nurgiyantoro 2005:264).

32

Dengan demikian, si aku hanya tampil sebagai saksi, witness, saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si aku pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita. Si aku tentu saja dapat memberikan komentar dan penilaian terhadap tokoh utama. Namun hal itu bersifat terbatas. Hal itu disebabkan tokoh utama tersebut bagi si aku merupakan tokoh dia sehingga ia menjadi tidak bersifat manatahu. Pandangan dan penilaian si aku akan mengontrol pandangan dan penilaian pembaca terhadap tokoh utama. Tokoh aku tambahan adalah tokoh protagonis, sedang tokoh utama itu sendiri juga protagonis. Dengan demikian, empati pembaca ditujukan kepada si aku dan tokoh cerita (Nurgiyantoro 2005:266). 3) Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam novel, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik dia manatahu dan dia sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik aku sebagai tokoh utama dan aku tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara aku dan dia sekaligus (Nurgiyantoro 2005:26). b. Gaya Bahasa Nurgiyantoro (2005:272) berpendapat bahwa, bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung nilai lebih daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Lebih lanjut Suharianto (2005:26) menyatakan bahwa,

33

betapa besar peran bahasa dalam suatu cerita, pastilah semua orang mengakuinya. Semua unsur cerita sebagaimana tersebut di atas baru akan dapat kita nikmati apabila telah disampaikan atau dinyatakan dengan bahasa. Beth dan Marpeau memberikan penjelasan mengenai gaya bahasa

(figures de style) sebagai berikut: La figure de style est un procd par lequel on agit sur la langue, en mettant en avant ses particularits, afin daccenteur son afficacit ou de crer un morceau de bravour. Gaya bahasa adalah suatu metode dalam bahasa yang mempunyai sifat khas yang berfungsi untuk memberikan tekanan atau untuk menciptakan bagian yang indah sekali dalam suatu tulisan. Sastra, khususnya fiksi, di samping sering disebut dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal itu disebabkan dunia yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa. Apapun yang akan dikatakan pengarang atau sebaliknya ditafsirkan oleh pembaca, mau tidak mau harus bersangkut-paut dengan bahasa (Fowler dalam Nurgiyantoro 2005:272). Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus dan mengandung arti leksikal alat untuk menulis. Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Sejalan dengan uraian pengertian gaya di atas, Scharbach menyebut gaya sebagai hiasan, sebagai sesuatu yang suci, sebagai sesuatu yang

34

indah dan lemah gemulai serta sebagai perwujudan manusia itu sendiri (Aminuddin 2002:72). Stile, style, gaya bahasa, adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro 2005:276). Adapun unsur gaya bahasa yang dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini adalah pemajasan. Menurut Nurgiyantoro (2005:296), pemajasan (figure of speech) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi, ia merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias. Penggunaan bentuk-bentuk kiasan dalam kesastraan, dengan demikian,

merupakan salah satu bentuk penyimpangan kebahasaan, yaitu penyimpangan makna. Bentuk pengungkapan yang mempergunakan bahasa kias jumlahnya relatif banyak, namun barangkali hanya beberapa saja yang kemunculannya dalam sebuah karya sastra relatif tinggi. Pemilihan dan penggunaan bentuk kiasan bisa saja berhubungan dengan selera, kebiasaan, kebutuhan, dan kreativitas pengarang. Bentuk-bentuk pemajasan yang banyak dipergunakan pengarang adalah bentuk perbandingan atau persamaan, yaitu yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya, misalnya yang berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah laku, dan lain-lain. Bentuk perbandingan tersebut dilihat dari sifat kelangsungan pembandingan

35

persamaannya dapat dibedakan ke dalam bentuk simile, metafora, dan personifikasi. Gaya pemajasan lain yang kerap ditemui dalam berbagai karya sastra adalah metonimi, sinekdoke, hiperbola, dan paradoks (Nurgiyantoro 2005:298).

1) Simile Simile menyaran pada adanya perbandingan langsung dan eksplisit, dengan menggunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan seperti: seperti, bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip, dan lain-lain. Contoh: Langkahnya amat lamban, mirip langkah-langkah seorang kakek pikun. 2) Metafora Metafora merupakan gaya perbandingan yang bersifat tidak langsung dan implisit. Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan pertama dengan yang kedua hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata penunjuk perbandingan eksplisit. Contoh: Langkahnya yang lamban (adalah) langkah-langkah seorang kakek pikun. 3) Personifikasi Personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Contoh: Desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Kini tanah dan air tidur dalam keheningan malam. 4) Metonimi

36

Metonimi adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah kata untuk menyatakan sesuatu yang lain karena terdapat pertalian yang erat. Contoh: seseorang suka membaca karya-karya Ahmad Tohari kemudian dikatakan: Ia suka membaca Tohari. 5) Sinekdoke Sinekdoke merupakan gaya yang juga tergolong gaya pertautan, mepergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhannya (pars pro toto), atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Contoh: Sudah lama ia tidak kelihatan batang hidungnya. 6) Hiperbola Hiperbola merupakan suatu cara penuturan yang bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkannya. Contoh: Suaranya menyambar bagai halilintar. 7) Paradoks Paradoks adalah cara penekanan penuturan yang sengaja menampilkan unsur pertentangan di dalamnya. Contoh: Ia merasa kesepian di tengah berjubelnya manusia metropolitan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah gaya bercerita seorang pengarang, yang selalu berbeda dengan pengarang yang lain. Dengan maksud untuk memperindah cerita melalui pemilihan kata, dan atau penggunaan ungkapan-ungkapan tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap pengarang memiliki ciri khasnya sendiri.

37

Analisis yang digunakan penulis untuk menganalisis roman La Gloire de Mon Pre karya Marcel Pagnol adalah dengan menggunakan ketujuh unsurunsur intrinsik yang tersebut di atas.

B. Roman Sampai saat ini para penulis buku sastra dan teorinya menggunakan dua buah istilah untuk satu bentuk karya sastra prosa yang wujudnya hampir sama, yaitu istilah roman dan novel. Padahal kedua istilah tersebut berasal dari sumber yang berbeda. Namun perbedaan itu tidak merujuk pada perbedaan karya sastra karena istilah tersebut berasal dari dua bahasa yang berbeda. Roman berasal dari bahasa Prancis romance, sedangkan novel berasal dari bahasa Inggris (www.pikiran-rakyat.com/cetak/0303/13/0803.htm). Pengertian roman disebutkan oleh Berton (1983:150) sebagai berikut: Le roman est un rcit imaginaire dont lintrigue peut prsenter une certaine vraisemblance. Il fait vivre des personnages. Il peint souvent les murs dune poque. Lauteur y intervient parfois comme tmoin. Roman adalah cerita rekaan yang alur ceritanya dapat menggambarkan bahwa cerita yang terjadi di dalamnya seolah-olah benar-benar terjadi. Hal tersebut akan menghidupkan tokoh yang ada di dalam roman. Roman sering menggambarkan adat kebiasaan suatu jaman. Penulis yang muncul di dalamnya kadang-kadang bertindak sebagai saksi cerita tersebut. Stal dalam Rey (1992:13) memberikan penjelasan tentang roman sebagai berikut: Le roman est le genre qui tient plutt au dveloppement des mouvements intrieurs de lme quaux vnements quon se persuade aisment que tout peut arriver ainsi; ce nest pas lhistoire du pass, mais on dirait souvent que cest celle de lavenir. Roman adalah jenis karya sastra yang lebih menekankan pada perkembangan gerak batin daripada kisah yang diceritakan. Semua cerita

38

yang ada di dalam roman seolah-olah benar-benar terjadi sehingga dapat diterima dengan mudah; roman bukan cerita tentang masa lalu tetapi lebih tepat sebagai cerita masa depan. Dari dua pengertian tersebut terdapat persamaan tentang pengertian roman yaitu walaupun roman berupa cerita rekaan tetapi kejadian yang ada di dalamnya seolah-olah benar-benar terjadi. Sifat rekaan yang ada di dalam roman merupakan salah satu ciri roman sebagai karya sastra. Dengan adanya sifat rekaan tersebut pembaca diharapkan dapat menghayati kenyataan-kenyataan dan masalah di dalam bentuk konkretnya. Dengan demikian, pembaca dapat menjawab terhadap kenyataan atau masalah yang disajikan dengan seluruh kepribadiannya (Sumardjo 1994:13).

C. Ringkasan Cerita Roman La Gloire de Mon Pre Marcel Pagnol yang baru berumur delapan tahun adalah putra pertama dari pasangan Joseph Pagnol dan Augustine Lansot. Dia mempunyai adik laki-laki berumur tiga tahun yang bernama Paul. Marcel lahir di sebuah desa kecil berpenduduk sepuluh ribu jiwa pada tahun 1895, yang bernama Aubagne, letak desa tersebut tidak jauh dari kota Marseille. Tetapi, dia hanya tiga tahun tinggal di Aubagne, kemudian dia dan keluarganya pindah ke Saint-Loup, sebuah desa yang terletak di pinggiran kota Marseille, dan di sanalah adiknya, Paul, lahir. Marcel sangat bangga terhadap ayahnya yang merupakan seorang guru dengan sertifikat kependidikan yang mengajar di sekolah dasar terbesar di Marseille, sedangkan ibunya adalah seorang

39

ibu rumah tangga yang pandai menjahit, dia sering membuatkan pakaian untuk suami dan anak-anaknya. Suatu hari Marcel dan keluarganya merencanakan menghabiskan liburan musim panas mereka bersama paman Jules dan tante Rose, di sebuah villa yang terletak di Bellons. Musim panas adalah musim yang ditunggu-tunggu oleh para pemburu, karena pada musim itu ada peristiwa besar, yaitu perburuan bartavelle (nama sejenis burung), bagi pemburu yang berhasil menangkapnya maka akan dianugrahi penghargaan coup de roi. Ayah dan paman Marcel ikut serta dalam perburuan tersebut. Bagi ayah Marcel, Joseph, berburu merupakan hal yang baru karena itu merupakan pengalaman pertamanya, jadi dia tidak tahu apa-apa mengenai berburu, sedangkan bagi paman Jules, berburu sudah mendarah daging dalam dirinya karena dia telah melakukannya sejak berumur tujuh tahun. Dia membagi ilmu berburunya dengan Joseph. Setiap hari mereka berlatih teknik-teknik berburu dan menggunakan senjata, dan di setiap latihan, Marcel selalu ikut membantu mereka. Hal ini membuatnya merasa yakin bahwa dia juga akan ikut dalam perburuan tersebut, selain itu dia juga merasa dirinya sudah cukup besar untuk ikut berburu. Tetapi pada kenyataannya dia tidak diizinkan ikut oleh ayah dan pamannya karena berburu terlalu berbahaya untuk anak seusianya. Marcel yang tidak diizinkan ikut berburu, merengek memaksa ikut berburu bersama ayah dan pamannya. Hal ini membuat mereka terpaksa membohonginya dengan menjanjikannya ikut serta dalam perburuan tersebut. Tetapi ketika hari perburuan tiba, Marcel mengetahui dari adiknya bahwa dia

40

telah dibohongi. Dia menjadi putus asa dan marah, sehingga malam itu juga, dia memutuskan untuk mengikuti mereka secara diam-diam. Ketika Marcel membuntuti ayah dan pamannya, di tengah perjalanan dia kehilangan jejak mereka dan dia tersesat di dalam hutan. Rasa takut dan putus asa membuat semangatnya luntur. Tetapi kemudian, semangatnya tumbuh kembali karena dia teringat oleh nasihat ayahnya bahwa harapan itu tidak penting, yang terpenting adalah kegigihan dalam berusaha. Nasihat itulah yang membuatnya yakin bahwa dia akan dapat bertemu kembali dengan orang-orang yang dicintainya. Setelah hampir seharian Marcel berputar-putar mencari jalan pulang, akhirnya dia bertemu kembali dengan ayah dan pamannya, dan sekaligus menjadi saksi kemenangan ayahnya yang berhasil menangkap bartavelle.

BAB III METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini membahas mengenai pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

A. Pendekatan Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan strukturalisme. Pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif, yaitu pendekatan dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya, menyerahkan pemberian makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada di luar struktur signifikansinya (Jabrohim 2003:60). Secara garis besar, pendekatan strukturalisme termasuk ke dalam penelitian mikro, sebab penelitian ini lebih mementingkan keobjektifan sebuah karya sastra tanpa bantuan unsur lain di luar karya sastra.

B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah unsur intrinsik atau unsur pembangun karya sastra yang terkandung dalam roman La Gloire de Mon Pre karya Marcel Pagnol.

41

42

C. Sumber Data Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah roman karya Marcel Pagnol yang berjudul La Gloire de Mon Pre. Roman tersebut terdiri dari 215 halaman tanpa ilustrasi, dan diterbitkan oleh Edition de Fallois pada tahun 1957 di Paris, Prancis. Roman ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

D. Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik pustaka. Yang dimaksud teknik pustaka adalah menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Adapun langkah-langkah pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Membaca dengan teliti roman La Gloire de Mon Pre yang akan digunakan sebagai sumber data. b) Menentukan tema utama didasarkan pada kutipan-kutipan yang muncul lebih dari dua kali, sedangkan untuk menentukan tema tambahan didasarkan pada kutipan-kutipan yang muncul lebih dari sekali. c) Selanjutnya, untuk menentukan unsur-unsur yang lainnya (penokohan, plot, setting, dan sudut pandang) didasarkan pada kutipan-kutipan yang muncul sekali. Sedangkan, untuk menentukan unsur gaya bahasa didasarkan pada kutipan-kutipan yang muncul sebanyak dua kali.

43

d) Mencatat unsur intrinsik atau unsur pembangun karya sastra yang terkandung dalam roman La Gloire de Mon Pre ke dalam kartu data seperti di bawah ini: 5 Data: Nos travaux commencrent par le vol, dont je fus charg, dune cuillre en fer battu, dans un tiroir de la cuisine. Ma mre la cherca longtemps, et la retrouva plusieurs fois. Mais elle ne la reconnut jamais, car nous lavions aplatie coup de marteau pour en faire une truelle. (LGMP/2/66) Terjemahan: Pekerjaan kami dimulai dengan pencurian sebuah sendok besi dari laci dapur yang membebaniku. Ibuku sudah lama mencarinya, dan dia sudah beberapa kali menemukannya. Tetapi dia tidak mengenalinya karena kami telah memukulnya hingga pipih dengan palu untuk membuat sebuah alat pencetok. Analisis: Keterangan: 5 : Nomor data

LGMP : Judul Roman (La Gloire de Mon Pre) 2 66 : Kode kajian (penokohan) : Halaman yang digunakan

E. Teknik Analisis Data Teknik yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP) yaitu daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto 1993:21).

Contoh analisis data:

44

5

Data: Nos travaux commencrent par le vol, dont je fus charg, dune cuillre en fer battu, dans un tiroir de la cuisine. Ma mre la cherca longtemps, et la retrouva plusieurs fois. Mais elle ne la reconnut jamais, car nous lavions aplatie coup de marteau pour en faire une truelle. (LGMP/2/66) Terjemahan: Pekerjaan kami dimulai dengan pencurian sebuah sendok besi dari laci dapur yang membebaniku. Ibuku sudah lama mencarinya, dan dia sudah beberapa kali menemukannya. Tetapi dia tidak mengenalinya karena kami telah memukulnya hingga pipih dengan palu untuk membuat sebuah alat pencetok. Analisis: Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa Marcel melakukan kenakalankenakalan yang disebabkan oleh rasa ingin tahu yang besar. Hal ini dapat dilihat pada kalimat Nos travaux commencrent par le vol, dont je fus charg, dune cuillre en fer battu, dans un tiroir de la cuisine. Ma mre la cherca longtemps, et la retrouva plusieurs fois. Mais elle ne la reconnut jamais, car nous lavions aplatie coup de marteau pour en faire une truelle. yang menunjukkan bahwa Marcel tidak memberitahukannya kepada sang ibu bahwa sendok yang pipih tersebut adalah sendok yang dicari-cari olehnya selama ini.

BAB IV UNSUR-UNSUR INTERNAL DALAM ROMAN LA GLOIRE DE MON PRE KARYA MARCEL PAGNOL

Bab ini membahas hasil analisis dengan pendekatan strukturalisme pada roman La Gloire de Mon Pre karya Marcel Pagnol. Hasil analisis dalam bab ini meliputi unsur internal (valeur intrinsque) yang terdiri dari: (1) tema, (2) fakta cerita yang terdiri dari tokoh dan penokohan, plot, setting, dan (3) sarana cerita yang terdiri dari sudut pandang dan gaya bahasa.

1. Tema (Thme) Tema yang dianalisis dalam penelitian ini adalah tema utama (mayor) dan tema tambahan (minor). a. Tema Utama (Mayor) Tema utama roman La Gloire de Mon Pre adalah kebanggaan seorang anak laki-laki terhadap ayahnya. Dalam roman ini Marcel Pagnol menceritakan betapa bangganya dia terhadap ayahnya yang seorang guru. Sang ayah selalu dapat memberikan penjelasan dari setiap pertanyaannya. Rasa bangganya terhadap ayahnya semakin besar ketika ayahnya yang hanya seorang guru dan yang tidak pernah pergi berburu sama sekali, berhasil memenangkan coup de roi yaitu penghargaan yang diberikan kepada orang yang berhasil menangkap bartavelle (sejenis burung). Hal ini dapat dilihat dari data (1), (2), (3), dan (4) berikut ini.

45

46

Konteks (1): Ketika keluarga Pagnol pergi berlibur, dalam perjalanan mereka berhenti di perempatan Quatre-Saisons untuk menunggu gerobak barang mereka. Sambil menunggu, ayah dan ibu Marcel berbincang-bincang mengenai keadaan sosial-politik di negara mereka. (1) Jadorais ces confrences politico-sociale de mon pre, que jinterprtais ma faon, et je me demandais pourquoi le Prsident de la Republique navait jamais pens lappeler, tout au moins pendant les vacances, car il et fait en trois semaines le bonheur de lhumanit. (LGMP/1/79) Aku mengagumi ayahku ketika membahas mengenai politik-sosial, yang aku artikan dengan caraku sendiri, dan aku bertanya-tanya mengapa Presiden Republik tidak pernah berpikir untuk memanggilnya, sekurangkurangnya selama liburan, karena dia akan memiliki kebahagiaan sebagai manusia selama tiga minggu. Dari data di atas dapat diketahui bahwa Marcel sangatlah mengagumi ayahnya yang selalu dapat menjelaskan segala sesuatu dengan jelas. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat Jadorais ces confrences politico-social de mon pre. Konteks (2): Suatu pagi, Marcel dan adiknya, Paul, harus membersihkan badan mereka terlebih dahulu sebelum pergi bermain. Bagi mereka berdua mandi merupakan hal yang paling mengerikan. Tetapi berkat kejeniusan ayah mereka, hal tersebut menjadi sesuatu yang menyenangkan. (2) Mon pre avait adapt un long tuyau en caoutchouc au robinet de la cuisine. Il en sortait par la fentre, et venait aboutir un bec de lance en cuivre, sur la terrasse. Jarrosais Paul, puis il minondait. Cette faon de faire tait une invention gniale de mon pre, car labominable toilette tait devenue un jeu: elle durait jusqu ce que ma mre nous crit par la fentre: Assez! Quand la citerne sera vide, nous serons obligs de partir! (LGMP/1/103)

46

47

Ayahku memasang selang air yang panjang ke keran dapur. Dia mengulurnya keluar melalui jendela, dan disambungkan dengan corot selang air dari tembaga, di teras. Aku menyirami Paul, kemudian dia menyiramiku. Cara mandi yang demikian merupakan penemuan yang luar biasa dari ayahku, karena mandi yang biasanya merupakan hal yang mengerikan menjadi suatu permainan: kegiatan tersebut berlangsung hingga ibuku berteriak kepada kami melalui jendela: Cukup! Kalau tangki airnya sampai kosong, nanti kita harus pergi! Kalimat Cette faon de faire tait une invention gniale de mon pre, car labominable toilette tait devenue un jeu membuktikan bahwa Marcel menganggap ide ayahn