Anemiaeva.docx
-
Upload
fauziaevalatifahs -
Category
Documents
-
view
224 -
download
3
Transcript of Anemiaeva.docx
Anemia
Definisi Anemia
Anemia didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadinya penurunan konsentrasi eritrosit atau hemoglobin pada darah sampai dibawah normal hal ini terjadi apabila keseimbangan antara kehilangan darah (lewat perdarahan atau penghancuran sel) dan produksi darah terganggu.Dengan kata lain, anemia terjadi apabila kadar eritrosit atau hemoglobin dalam darah menurun dan mengakibatkan penurunan fungsi utamanya.
Kriteria Anemia
Dalam menjelaskan definisi anemia, diperlukan adanya batas batas kadar hemoglobin dan hematokrit sehingga bisa dianggap telah terjadi anemia. Batasan (cut off point) ini sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, diantaranya adalah usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, dan lain lain.Batasan yang umumnya digunakan adalah cutt off point kriteria WHO 1968, yang selanjutnya membagi derajat keparahan anemia berdasarkan nilai hemoglobinnya.
Namun untuk memudahkan dalam melakukan tindakan sesuai diagnosis anemia, pada praktiknya kriteria anemia pada rumah sakit dan klinik di Indonesia adalah:
1.Hemoglobin < 10 g/dl
2. Hematokrit < 30%
3. Eritrosit < 2,8 x 106 /mm
Patofisiologi Anemia
Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat digolongkan pada tiga kelompok
Anemia akibat produksi sel darah merah yang berkurang atau gagal
Anemia akibat penghancuran sel darah merah
Anemia akibat kehilangan darah
Anemia Akibat Produksi Yang Berkurang Atau Gagal
Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang terlalu sedikit atau sel darah merah yang diproduksi tidak berfungsi dengan baik. Hal ini terjadi akibat adanya abnormalitas sel darah merah atau kekurangan mineral dan vitamin yang dibutuhkan agar produksi dan kerja dari eritrosit berjalan normal. Kondisi kondisi yang mengakibatkan anemia ini antara lain Sickle cell anemia, gangguan sumsum tulang dan stem cell, anemia defisiensi zat besi, vitamin B12, dan Folat, serta gangguan kesehatan lain yang mengakibatkan penurunan hormon yang diperlukan untuk proses eritropoesis.
Anemia akibat penghancuran sel darah merah
Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak mampu bertahan terhadap tekanan sirkulasi maka sel darah merah akan hancur lebih cepat sehingga menimbulkan anemia hemolitik. Penyebab anemia hemolitik yang diketahui atara lain:
Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia
Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau beberapajenis makanan
Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis
Autoimun
Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka bakar, paparan kimiawi, hipertensi berat, dan gangguan trombosis
Pada kasus yang jarang, pembesaran lien dapat menjebak sel darah merah dan menghancurkannya sebelum sempat bersirkulasi.
Anemia Akibat Kehilangan Darah
Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat ataupun pada perdarahan yang berlangsung perlahan namun kronis. Perdarahan kronis umumnya muncul akibat gangguan gastrointestinal ( misal ulkus, hemoroid, gastritis, atau kanker saluran pencernaan ), penggunaan obat obatan yang 10 mengakibatkan ulkus atau gastritis (misal OAINS), menstruasi, dan proses kelahiran.
ANEMIA PENYAKIT KRONIK Anemia penyakit kronik dikenal juga dengan nama anemia gangguan kronik, anemia
sekunder, atau anemia sideropenik dengan siderosis retikuloendotelial. 5,6,29-32
Pengenalan akan adanya anemia penyakit kronik dimulai pada awal abad ke 19, dimana pada waktu itu pada pasien–pasien tuberkulosis sering ditemukan muka pucat. Lalu Cartwright dan Wintrobe pada tahun 1842 memperlihatkan adanya benda – benda kecil di sampel darah pasien demam tifoid dan cacar air. Juga pada penyakit infeksi lainnya seperti siphilis dan pneumonia. Nama yang dipergunakan waktu itu adalah Anemia penyakit infeksi. Pada tahun 1962 setelah dilakukannya suatu studi tentang infeksi dan ditemukannya gambaran yang sama pada penyakit–penyakit kronik bukan infeksi seperti artritis reumatoid,
nama anemia penyakit kronik diperkenalkan. 32,33
Anemia penyakit kronik merupakan anemia terumum ke-dua yang sering dijumpai di
dunia, tetapi mungkin merupakan yang paling umum dijumpai pada pasien–pasien yang
sedang dirawat di rumah sakit. Anemia penyakit kronik bukanlah diagnosis primer tetapi
merupakan respons sekunder normal terhadap berbagai penyakit di bagian tubuh manapun. 34
Defenisi anemia penyakit kronik
Anemia penyakit kronik adalah anemia yang timbul setelah terjadinya proses infeksi
atau inflamasi kronik.35 Biasanya anemia akan muncul setelah penderita mengalami penyakit
tersebut selama 1–2 bulan. 15,32,36
Tumor dulunya memang merupakan salah satu penyebab anemia penyakit kronik, namun dari hasil studi yang terakhir tumor tidak lagi dimasukkan sebagai penyebab anemia penyakit kronik. 37-39
Etiologi anemia penyakit kronik
Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi seperti infeksi kronik misalnya infeksi paru, endokarditis bakterial; inflamasi kronik misalnya artritis reumatoid, demam reumatik; lain–lain misalnya penyakit hati alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik
Gambaran klinis anemia penyakit kronik
Anemia pada penyakit kronik biasanya ringan sampai dengan sedang dan munculnya
setelah 1–2 bulan menderita sakit. Biasanya anemianya tidak bertambah progresif atau
stabil,29,32,48,49 dan mengenai berat ringannya anemia pada seorang penderita tergantung
kepada berat dan lamanya menderita penyakit tersebut.19,29 Gambaran klinis dari anemianya
sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik).29,32,48,49
Tetapi pada pasien–pasien dengan gangguan paru yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah
sedang, yang mana ini nantinya akan mencetuskan gejala.32 Pada pasien–pasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif kemungkinan akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat
berupa palpitasi dan angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral.5,15,50 Tanda fisik
yang mungkin dapat dijumpai antara lain muka pucat, konjungtiva pucat dan takikardi.50
Anemia Akibat Penyakit Hati Kronik
Anemia pada sirosis hepatis disebabkan karena hipertensi portal yang mengakibatkan terjadinya splenomegali kongestif sehingga terjadi hipersplenisme. Gambaran morfologi eritrosit bisa bermacam-macam , anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.
2.3.5 Diagnosa anemia penyakit kronik
Diagnosis anemia penyakit kronik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan,
antara lain dari: 5,26,29,32,33,39,41,45,52
1. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai, misalnya muka pucat, konjungtiva pucat, cepat lelah, lemah, dan lain–lain.
2. Pemeriksaan laboratorium, antara lain:
a. Anemianya ringan sampai dengan sedang, dimana hemoglobinnya sekitar 7–11 gr/dL.
b. Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-normokromik atau mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan dapat dijumpai pada sepertiga pasien anemia penyakit kronik.
c. Volume korpuskuler rata–rata (MCV: Mean Corpuscular Volume): normal atau menurun sedikit (≤ 80 fl).
d. Besi serum (Serum Iron): menurun (< 60 mug / dL). e. Mampu ikat besi (MIB = TIBC: Total Iron Binding Capacity): menurun (< 250 mug /
dL). f. Jenuh transferin (Saturasi transferin): menurun (< 20%). g. Feritin serum: normal atau meninggi (> 100 ng/mL).
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang dan konsentrasi
protoporfirin eritrosit bebas (FEP: Free Erytrocyte Protophorphyrin), namun pemeriksaannya
jarang dilakukan. Menginterpretasi hasil pemeriksaan sumsum tulang kemungkinannya sulit,
oleh karena bentuk dan struktur sel–sel sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya.
Sedangkan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien
anemia penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien
anemia defisiensi besi. Peninggiannya juga sejalan dengan bertambah beratnya anemia. Oleh
karena itu pemeriksaan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas lebih sering dilakukan pada
pasien – pasien anemia defisiensi besi.5,29,32
2.3.6 Penatalaksanaan anemia penyakit kronik Tidak ada terapi spesifik yang dapat kita berikan untuk anemia penyakit kronik, kecuali pemberian
terapi untuk penyakit yang mendasarinya.5,19,20,26,29,31–33,37,50 Biasanya apabila penyakit yang mendasarinya telah diberikan pengobatan dengan baik, maka anemianya juga
akan membaik.31,43,53 Pemberian obat–obat hematinik seperti besi, asam folat, atau vitamin
B12 pada pasien anemia penyakit kronik, tidak ada manfaatnya.27
ASITES
Patofisiologi asites
Asites adalah penimbunan cairan yang abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, namun yang terutama adalah sirosis hati dan hipertensi porta. Patofisiologi asites belum sepenuhnya dipahami dan diduga melibatkan beberapa mekanisme sekaligus. Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer.
Sirosis (pembentukan jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang berujung kepada hipertensi porta. Hipertensi porta ini dibarengi dengan vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh darah splanknik) akibat adanya vasodilator endogen (seperti NO, calcitone gene related peptide, endotelin dll). Dengan adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan menyebabkan peningkatan aliran darah yang justru akan membuat hipertensi porta menjadi semakin menetap. Hipertensi porta tersebut akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di daerah sinusoid dan kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum dan selanjutnya menyebabkan asites.
Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic bed, vasodilator endogen juga akan mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan penurunan volume efektif darah
(underfilling relatif) arteri. Sebagai respons terhadap perubahan ini, tubuh akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan sumbu sistem renin-angiotensin-aldosteron serta arginin vasopressin. Semuanya itu akan meningkatkan reabsorbsi/penarikan garam (Na) dari ginjal dan diikuti dengan reabsorpsi air (H20) sehingga menyebabkan semakin banyak cairan yang terkumpul di rongga tubuh.
Penyakit yang mendasari asites
Asites dapat terjadi pada peritoneum yang normal atau peritoneum yang mengalami kelainan patologis. Jika peritoneum normal (tidak ada kelainan), maka penyebab asites adalah hipertensi porta
dan hipoalbuminemia. Sedangkan pada peritoneum yang mengalami kelainan patologis, penyebab asites antara lain infeksi (peritonitis bakterial/TBC/fungal, peritonitis terkait HIV dll), keganasan/karsinoma peritoneal dll.
Diagnosa asites
Dalam menegakkan suatu diagnosa selalu meliputi tiga hal yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat digali hal-hal sebagai berikut:
- Pasien mengeluh adanya pertambahan ukuran lingkar perut
- Konsumsi alkohol, adanya riwayat hepatitis, penggunaan obat intravena, lahir/hidup di lingkungan endemik hepatitis, riwayat keluarga, dll
- Obesitas, hiperkolesterolemia, diabetes melitus tipe 2, atau penyakit-penyakit yang dapat berkembang menjadi sirosis dll.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:
- Adanya kelainan/gangguan di hati dapat dilihat dari jaundice, eritema palmaris atau spider angioma
- Adanya hepatosplenomegali pada saat dipalpasi
- Shifting dullnes, pudle sign
- Peningkatan tekanan vena jugularis, dll.
Pada pemeriksaan penunjang, dapat digunakan metode pencitraan (USG) atau parasentesis (pengambilan cairan). Apabila dilakukan parasentesis, selain dapat mendiagnosa adanya asites, juga bermanfaat untuk melihat penyebab asites. Pada cairan yang diambil tersebut dapat dilakukan pemeriksaan sbb:
- Gambaran makroskopik: cairan yang hemoragik dihubungkan dengan keganasan, warna kemerahan dapat dijumpai pada ruptur kapiler peritoneum dll.
- Gradien nilai albumin serum dan asites: gradien tinggi (>1.1 gr/dl) terdapat pada hipertensi porta pada asites transudat, dan sebaliknya pada asites eksudat. Konsentrasi protein yang tinggi (>3 gr/dl) menunjukkan asites eksudat, sebaliknya (<3 gr/dl) menunjukkan asites transudat.
- Hitung sel: peningkatan jumlah lekosit menunjukkan adanya inflamasi. Untuk menilai asal infeksi dapat digunakan hitung jenis sel.
- Biakan kuman dan pemeriksaan sitologi.
Tatalaksana asites
Dalam menatalaksana asites transudat (akibat hipertensi porta) terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu:
- Tirah baring untuk memperbaiki efektifitas diuretika. Tirah baring akan menyebabkan aktivitas simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun. Pada tirah baring, pasien tidur telentang dengan kaki sedikit diangkat selama beberapa jam setelah minum diuretika
- Diet rendah garam ringan sampai sedang untuk membantu diuresis.
- Pemberian diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron, misalnya spironolakton. Dengan pemberian diuretika diharapkan berat badan dapat turun 400-800 gr/hari.
- Terapi parasentesis, yaitu mengeluarkan cairan asites secara mekanis. Untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin sebanyak 6-8 gram.
- Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari terjadinya asites seperti penyakit hati dll
Komplikasi
Asites yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak komplikasi yaitu peritonitis (mengancam nyawa), sindrom hepatorenal (vasokonstriksi renal akibat aktivitas penarikan garam dan cairan dari ginjal), malnutrisi, hepatik-ensefalopati, serta komplikasi lain yang dikaitkan dengan penyakit penyebab asites.
I. DEFINISI
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah keganasan pada hepatosit dimana stem sel
dari hati berkembang menjadi massa maligna yang dipicu oleh adanya proses fibrotik maupun proses
kronik dari hati (cirrhosis). Massa tumor ini berkembang di dalam hepar, di permukaan hepar maupun
ekstrahepatik seperti pada metastase jauh.1,3,4
Tumor dapat muncul sebagai massa tunggal atau sebagai suatu massa yang difus dan sulit
dibedakan dengan jaringan hati disekitarnya karena konsistensinya yang tidak dapat dibedakan
dengan jaringan hepar biasa. Massa ini dapat mengganggu jalan dari saluran empedu maupun
menyebabkan hipertensi portal sehingga gejala klinis baru akan terlihat setelah massa menjadi besar.
Tanpa pengobatan yang agresif, hepatoma dapat menyebabkan kematian dalam 6 – 20 bulan.1,3
II. ETIOLOGI
Dewasa ini hepatoma dianggap terjadi dari hasil interaksi sinergis multifaktor dan multifasik,
melalui inisiasi, akselerasi dan transformasi dan proses banyak tahapan, serta peran serta banyak
onkogen dan gen terkait, mutasi multigenetik. Etiologi hepatoma belum jelas, menurut data yang ada,
virus hepatitis, aflatoksin dan pencemaran air minum merupakan 3 faktor utama yang terkait dengan
timbulnya hepatoma.2-4
1. Virus hepatitis1-6
HBV
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat, baik
secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas HBV terhadap hati
mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit,
integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV
berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif
(quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati.
HCV
Infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis hepatoma pada pasien yang bukan
pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan anti-
HCV positif, interval antara saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat mencapai 29
tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktifitas nekroinfiamasi
kronik dan sirosis hati.
Gambar 1. Hepatocellular carcinoma in an individual that was hepatitis C positive. Autopsy
specimen.4
2. Aflatoksin
Aflatoksin Bl (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
Aspergillus. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu
mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB 1 menginduksi mutasi pada
kodon 249 dari gen supresor tumor p53.1-6
3. Pencemaran air minum
Dari hasil survei epidemiologi di China ditemukan pencemaran air minum dan kejadian
hepatoma berkaitan erat, di area insiden tinggi hepatoma seperti kecamatan Qidong dan Haimen
di propinsi Jiangshu, Fuhuan di Guangxi, Shunde di Guangdong dll. menunjukkan peminum air
saluran perumahan, air kolam memiliki mortalitas hepatoma secara jelas lebih tinggi dari peminum
air sumur dalam. Dengan beralih ke minum air sumur dalam, mortalitas hepatoma penduduk
cenderung menurun. Algae biru hijau dalam air saluran perumahan dan air kolam dianggap
sebagai salah satu karsinogen utama.3
III. FAKTOR RISIKO
Factor risiko terjadinya HCC adalah:2-4
1. Jenis kelamin
Dimana laki-laki lebih rentan dibandingkan perempuan. Hal ini diduga karena laki-laki
lebih sering terpajan oleh factor risiko HCC seperti virus hepatitis dan alkohol.
2. Sirosis Hati
Sirosis hati (SH) merupakan faktor risiko utama hepatoma di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Otopsi pada pasien SH mendapatkan 20-
80% diantaranya telah menderita HCC. Prediktor utama hepatoma pada SH adalah jenis
kelamin laki-laki, peningkatan kadar alfa feto protein (AFP) serum, beratnya penyakit dan
tingginya aktifitas proliferasi sel hati.
3. Obesitas
Seperti diketahui, obesitas merupakan faktor risiko utama untuk non-alcoholic fatty
liver disease (NAFLD), khususnya nonalcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat
berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut menjadi HCC.
4. Diabetes Melitus (DM)
DM merupakan faktor risiko baik untuk penyakit hati kronik maupun untuk HCC
melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Di samping
itu, DM dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factors
(IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker.
5. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol (>50-
70 g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC melalui sirosis hati alkoholik.
Efek hepatotoksik alkohol bersifat dose-dependent, sehingga asupan sedikit alkohol tidak
meningkatkan risiko terjadinya HCC.
6. Selain yang telah disebutkan di atas, bahan atau kondisi lain yang merupakan faktor risiko
HCC namun lebih jarang dibicarakan/ditemukan, antara lain : penyakit hati
autoimun( hepatitis autoimun, sirosis bilier primer), penyakit hati metabolik(hemokromatosis
genetik, defisiensi antitripsin-alfa 1, penyakit Wilson), kotrasepsi oral, senyawa
kimia( thorotrast, vinil klorida, nitrosamin, insektisida organoklorin, asam tanik), tembakau.2-4
IV. PATOLOGI
Secara makroskopis biasanya tumor berwarna putih, padat kadang nekrotik kehijauan atau
hemoragik. Acap kali ditemukan trombus tumor di dalam vena hepatika atau porta intrahepatik. 1-4
Pembagian atas tipe morfologisnya adalah:2
1. ekspansif, dengan batas yang jelas,
2. infilttratif, menyebar/menjalar;
3. multifokal.
Menurut WHO secara histologik HCC dapat diklasifikasikan berdasa organisasi struktural sel tumor
sebagai berikut:2
1). Trabekuli (sinusoidal),
2). Pseudoglandular (asiner),
3). Kompak (padat),
4. Sirous
Karakteristik terpenting untuk memastikan HCC pada tumor; diameternya lebih kecil dari 1,5
cm adalah bahwa sebagian besar tumor terdiri semata-mata dari karsinoma yang berdiferensiasi baik,
deng sedikit atipia selular atau struktural. Bila tumor ini berproliferasi, berbagai variasi histologik
beserta de-diferensiasinya dapat terlihat di dalam nodul yang sama. Nodul kanker yang berdiameter
kurang dari satu cm seluruhnya terdiri dari jaringan kanker yang berdiferensiasi baik. Bila diameter
tumor antara 1 dan 3 cm, 40% dari nodulnya terdiri atas lebih ; 1 dari 2 jaringan kanker dengan derajat
diferensiasi yang berbeda-beda.4
Gambar 3. Photomicrograph of a liver demonstrating hepatocellular carcinoma.1
V. PATOGENESIS2,4-6,8
Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi dari sel hati yang terus berlanjut merupaka proses
khas dari cirrhosis hepatic yang juga merupakan proses dari pembentukan hepatoma walaupun pada
pasien–pasien dengan hepatoma, kelainan cirrhosis tidak selalu ada. Hal ini mungkin berhubungan
dengan proses replikasi DNA virus dari virus hepatitis yang juga memproduksi HBV X protein yang
tidak dapat bergabung dengan DNA sel hati, yang merupakan host dari infeksi Virus hepatitis,
dikarenakan protein tersebut merupakan suatu RNA. RNA ini akan berkembang dan mereplikasi diri
di sitoplasma dari sel hati dan menyebabkan suatu perkembangan dari keganasan yang nantinya akan
mengahambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi sel hati. Para ahli genetika mencari gen–gen
yang berubah dalam perkembangan sel hepatoma ini dan didapatkan adanya mutasi dari gen p53,
PIKCA, dan β-Catenin.
Sementara pada proses cirrhosis terjadi pembentukan nodul–nodul di hepar, baik nodul
regeneratif maupun nodul diplastik. Penelitian prospektif menunjukan bahwa tidak ada progresi yang
khusus dari nodul–nodul diatas yang menuju kearah hepatoma tetapi, pada nodul displastik
didapatkan bahwa nodul yang terbentuk dari sel–sel yang kecil meningkatkan proses pembentukan
hepatoma. Sel sel kecil ini disebut sebagai stem cel dari hati.
Sel–sel ini meregenrasi sel–sel hati yang rusak tetapi sel–sel ini juga berkembang sendiri
menjadi nodul–nodul yang ganas sebagai respons dari adanya penyakit yang kronik yang disebabkan
oleh infeksi virus. Nodul–nodul inilah yang pada perkembangan lebih lanjut akan menjadi
hepatoma.2,4-6,8
Gambar 4. Patobiologi karsinoma hepatoseluler
VI. MANIFESTASI KLINIS
1. Hepatoma fase subklinis 3-6
Yang dimaksud hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah pasien yang tanpa
gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya ditemukan melalui pemeriksaan AFP dan
teknik pencitraan. Caranya adalah dengan gabungan pemeriksaan AFP dan pencitraan, teknik
pencitraan terutama dengan USG lebih dahulu, bila perlu dapat digunakan CT atau MRI.
Yang dimaksud kelompok risiko tinggi hepatoma umumnya adalah: masyarakat di daerah
insiden tinggi hepatoma; pasien dengan riwayat hepatitis atau HBsAg positif; pasien dengan
riwayat keluarga hepatoma; pasien pasca reseksi hepatoma primer.
2. Hepatoma fase klinis 3-6
Hepatoma fase klinis tergolong hepatoma stadium sedang, lanjut, manifestasi utama
yang sering ditemukan adalah:
(1) Nyeri abdomen kanan atas: hepatoma stadium sedang dan lanjut sering dating berobat
karena kembung dan tak nyaman atau nyeri samar di abdomen kanan atas. Nyeri
umumnya bersifat tumpul (dullache) atau menusuk intermiten atau kontinu, sebagian
merasa area hati terbebat kencang, disebabkan tumor tumbuh dengan cepat hingga
menambah regangan pada kapsul hati. Jika nyeri abdomen bertambah hebat atau timbul
akut abdomen harus pikirkan ruptur hepatoma.
(2) Massa abdomen atas: hepatoma lobus kanan dapat menyebabkan batas atas hati bergeser
ke atas, pemeriksaan fisik menemukan hepatomegali di bawah arkus kostae
berbenjol benjol; hepatoma segmen inferior lobus kanan sering dapat langsung
teraba massa di bawah arkus kostae kanan; hepatoma lobus kiri tampil sebagai massa di
bawah prosesus xifoideus atau massa di bawah arkus kostae kiri.
(3) Perut kembung: timbul karena massa tumor sangat besar, asites dan gangguan fungsi
hati.
(4) Anoreksia: timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak saluran
gastrointestinal, perut tidak bisa menerma makanan dalam jumlah banyak karena terasa
begah.
(5) Letih, mengurus: dapat disebabkan metabolit dari tumor ganas dan berkurangnya
masukan makanan dll, yang parah dapat sampai kakeksia.
(6) Demam: timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit tumor, jika tanpa
bukti infeksi disebut demam kanker, umumnya tidak disertai menggigil.
(7) Ikterus: tampil sebagai kuningnya sclera dan kulit, umumnya karena gangguan fungsi
hati, biasanya sudah stadium lanjut, juga dapat karena sumbat kanker di saluran empedu
atau tumor mendesak saluran empedu hingga timbul ikterus obstruktif.
(8) Asites: juga merupakan tanda stadium lanjut. Secara klinis ditemukan perut membuncit
dan pekak bergeser, sering disertai udem kedua tungkai.
(9) Lainnya: selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri bahu belakang
kanan, udem kedua tungkai bawah, kulit gatal dan lainnya, juga manifestasi sirosis hati
seperti splenomegali, palmar eritema, lingua hepatik, spider nevi, venodilatasi dinding
abdomen dll. Pada stadium akhir hepatoma sering timbul metastasis paru,
tulang dan banyak organ lain.3-6
VIII. DIAGNOSIS
A. Pemeriksaan laboratorium 1-6
1. Alfa-fetoprotein (AFP)
AFP adalah sejenis glikoprotein, disin-tesis oleh hepatosit dan sakus vitelinus, terdapat dalam
serum darah janin. Pasca partus 2 minggu, AFP dalam serum hampir lenyap, dalam serum orang
normal hanya terdapat sedikit sekali (< 25 ng/L). Ketika hepatosit berubah ganas, AFP kembali
muncul. Selain itu teratoma testes atau ovarium serta beberapa tumor lain (seperti karsinoma gaster,
paru dll.) dalam serum pasien juga dapat ditemukan AFP; wanita hamil dan sebagian pasien hepatitis
akut kandungan AFP dalam serum mereka juga dapat meningkat.
AFP memiliki spesifisitas tinggi dalam diagnosis karsinoma hepatoselular. Jika AFP > 500
ng/L bertahan 1 bulan atau > 200 ng/ L bertahan 2 bulan, tanpa bukti penyakit hati aktif, dapat
disingkirkan kehamilan dan kanker embrional kelenjar reproduksi, maka dapat dibuat diagnosis
hepatoma, diagnosis ini dapat lebih awal 6-12 bulan dari timbulnya gejala hepatoma. AFP sering
dapat dipakai untuk menilai hasil terapi. Pasca reseksi hepatoma, kadar AFP darah terus menurun
dengan waktu paruh 3-9,5 hari, umumnya pasca operasi dalam 2 bulan kadarnya turun hingga normal,
jika belum dapat turun hingga normal, atau setelah turun lalu naik lagi, maka pertanda terjadi residif
atau rekurensi tumor.
2. Petanda tumor lainnya
Zat petanda hepatoma sangat banyak, tapi semuanya tidak spesifik untuk diagnosis sifat
hepatoma primer. Penggunaan gabungan untuk diagnosis kasus dengan AFP negatif memiliki nilai
rujukan tertemu, yang relatif umum digunakan adalah: des-gama karboksi protrombin (DCP), alfa-L-
fukosidase (AFU), gama-glutamil transpeptidase (GGT-II), CA19-9, antitripsin, feritin, CEA, dll.
3. Fungsi had dan sistem antigen antibodi hepatitis B
Karena lebih dari 90% hepatoma disertai sirosis hati, hepatitis dan latar belakang penyakit
hati lain, maka jika ditemukan kelainan fungsi hati, petanda hepatitis B atau hepatitis C positif, artinya
terdapat dasar penyakit hati untuk hepatoma, itu dapat membantu dalam diagnosis.1-6
B. Pemeriksaan pencitraan 2,6,9
1. Ultrasonografi (USG) 9
USG merupakan metode paling sering digunakan dalam diagnosis hepatoma. Ke-gunaan dari
USG dapat dirangkum sebagai berikut: memastikan ada tidaknya lesi pe-nempat ruang dalam hati;
dapat dilakukan penapisan gabungan dengan USG dan AFP sebagai metode diagnosis penapisan awal
untuk hepatoma.
Secara umum pada USG tumor primer hati sering diketemukan adanya hepar yang membesar,
permukaan yang bergelombang, dan lesi-lesi fokal intrahepatik dengan struktur eko yang berbeda
dengan parenkim hati normal. Biasanya menunjukan struktur eko yang lebih tinggi disertai dengan
nekrosis sentral berupa gambaran hipoekoik sampai anekoik akibat adanya nekrosis, tepi ireguler.
Yang sangat sulit ialah menentukan hepatoma pada stadium awal dimana gambaran struktur eko yang
masih isoekoik dengan parenkim hati normal.
Gambar 5. Karsinoma hepatoselular 3
2. CT-Scan
CT telah menj adi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk diagnosis lokasi dan sifat
hepatoma. CT dapat membantu memperjelas diagnosis, menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran
tumor dalam hati hubungannya dengan pembuluh darah penting, dalam penentuan modalitas terapi
sangatlah penting. Terhadap lesi mikro dalam hati yang sulit ditentukan CT rutin dapat dilakukan CT
dipadukan dengan angiongrafi (CTA), atau ke dalam arteri hepatika disuntikkan lipiodol, sesudah 1-3
minggu dilakukan lagi pemeriksaan CT, pada waktu ini CT-lipiodol dapat menemukan hepatoma
sekecil 0,5 cm.3,4
Gambar 6. CT-Scan karsinoma hepatoselular 3,4
3. MRI
MRI merupakan teknik pemeriksaan nonradiasi, tidak memakai zat kontras berisi iodium,
dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh darah dan saluran empedu dalam hati, juga cukup
baik memperlihatkan struktur internal jaringan hati dan hepatoma, sangat membantu dalam menilai
efektivitas aneka terapi. Dengan zat kontras spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma kecil
kurang dari 1cm dengan angka keberhasilan 55%. 3,4
4. Angiografi arteri hepatika
Sejak tahun 1953 Seldinger merintis penggunaan metode kateterisasi arteri femoralis perkutan
untuk membuat angiografi organ dalam, kini angiografi arteri hepatika selektif atau supraselektif
sudah menjadi salah satu metode penting dalam diagnosis hepatoma. Namun karena metode ini
tergolong invasif, penampilan untuk hati kiri dan hepatoma tipe avaskular agak kurang baik, dewasa
ini indikasinya adalah: klinis suspek hepatoma atau AFP positif tapi hasil pencitraan lain negatif
hasilnya; berbagai teknik pencitraan noninvasif sulit menentukan sifat lesi penempat ruang tersebut.4
5. Tomografi emisi positron (PET)
Dewasa ini diagnosis terhadap hepatoma masih kurang ideal, namun karsinoma
kolangioselular dan karsinoma hepatoselular berdiferensiasi buruk memiliki daya ambil terhadap 18F-
FDG yang relatif kuat, maka pada pencitraan PET tampak sebagai lesi metabolisme tinggi.4
C. Pemeriksaan lainnya
Pungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi kelenjar limfe
supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam asites, perito-neoskopi dll. juga
mempunyai nilai tertentu pada diagnosis hepatoma primer.4
D. Prinsip diagnosis hepatoma
Untuk pasien yang dicurigai hepatoma atau lesi penempat ruang dalam hati yang tak dapat
menyingkirkan hepatoma, semua harus diupayakan kejelasan diagnosisnya dalam waktu sesingkat
mungkin. Teknik pemeriksaan pencitraan modern tidak dapat dilewatkan, biasanya dimulai dengan
pemeriksaan noninvasif, bila perlu barulah dilakukan pemeriksaan invasif. Untuk kasus yang dengan
berbagai pemeriksaan masih belum jelas diagnosisnya, harus dipantau ditindaklanjuti secaraketat, bila
perlu pertim-bangkan laparotomi eksploratif. 1,3,5,6
IX. SISTEM STAGING
Dalam staging klinis HCC terdapat pemilahan pasien atas kelompok-kelompok yang
prognosisnya berbeda, berdasarkan parameter klinis, biokimiawi dan radiologis pilihan yang tersedia.
Sistem staging yang ideal seharusnya juga mencantumkan penilaian ekstensi tumor, derajat gangguan
fungsi hati, keadaan umum pasien serta keefektifan terapi. Sebagian besar pasien HCC adalah pasien
sirosis yang juga mengurangi harapan hidup. Sistem yang banyak digunakan untuk menilai status
fungsional hati dan prediksi prognosis pasien sirosis adalah sistem klasifikasi Child-ltorcotte-Pugh,
tetapi sistem ini tidak ditujukan untuk penilaian staging HCC. Beberapa sistem yang dapat dipakai
untuk staging HCC adalah: 1-6
• Tumor-Node-Metastases (TNM) Staging System
• Okuda Staging System
• Cancer of the Liver Italian Program (CLIP) Scoring System
• Chinese University Prognostic Index (CUPI)
• Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) Staging System 1-6
Untuk lebih jelasnya perhatikan table berikut :1,3
STANDAR DIAGNOSIS
Pada tahun 2001 Komite Khusus Hepatoma Asosiasi Antitumor China telah menetapkan
standar diagnosis dan klasifikasi stadium klinis hepatoma primer.3-6
1. Standar diagnosis klinis hepatoma primer.3-6
(1) AFP > 400 ug/L, dapat menyingkirkan kehamilan, tumor embrional sistem repro-duksi,
penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu teraba hati mem-besar, keras dan bermassa
nodular besar atau pemeriksaan pencitraan menun-jukkan lesi penempat ruang karakteristik
hepatoma.
(2) AFP < 400 ug/L, dapat menyingldrkan kehamilan, tumor embrional sistem reproduksi,
penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu terdapat dua jenis pemeriksaan
pencitraan menunjukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma atau terdapat dua
petanda hepatoma (DCP, GGT-II, AFU, CA19-9, dll) positif serta satu pemeriksaan
pencitraan menunjukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.
(3) Menunjukkan manifestasi klinis hepatoma dan terdapat kepastian lesi metastatik
ekstrahepatik (termasuk asites hemoragis makroskopik atau di dalamnya ditemukan sel
ganas) serta dapat meny ing-kirkan hepatoma metastatik
2. Standar klasifikasi stadium klinis hepatoma primer3-6
Ia : tumor tunggal berdiameter < 3 cm, tanpa emboli rumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh; Child A.
Ib : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan <5cm, di separuh hati, tanpa emboli
tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.
IIa : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan < 10 cm, di separuh hati, atau dua
tumor dengan diameter gabungan < 5 cm, di kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa
emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.
IIb : tumor tunggal atau multipel dengan diameter gabungan > 10 cm, di separuh hati, atau tumor
multipel dengan diameter gabungan > 5 cm, di kedua belahan hati kiri dan kanan, tanpa
emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A. Terdapat
emboli tumor di percabangan vena portal, vena hepatik atau saluran empedu dan/atau Child
B.
IIIa : tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena porta atau vena
kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau jauh, salah satu daripadanya; Child
A atau B.
IIIb : tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis; Child C.
X. DIAGNOSIS BANDING
1. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP positif 6,10
Hepatoma dengan AFP positif harus dibedakan dari kehamilan, tumor embrional kelenjar
reproduktif, metastasis hati dari kanker saluran digestif dan hepatitis serta sirosis hati dengan
peninggian AFP. Pada tumor embrional kelenjar reproduktif, terdapat gejala klinis dan tanda fisik
tumor bersangkutan, umumnya tidak sulit dibedakan; kanker gaster, kanker pankreas dengan
metastasis hati. Kanker gaster, kanker pankreas kadang kala disertai peninggian AFP, tapi
konsentrasinya umumnya relatif; rendah, dan tanpa latar belakang penyakit : hati, USG dan CT serta
pemeriksaan minum barium dan pencitraan lain sering kali dapat memperjelas diagnosis. Pada
hepatitis, sirosis hati, jika disertai peninggian AFP agak sulit dibedakan dari hepatoma, harus
dilakukan pemeriksaan pencitraan hati secara cermat, dilihat apakah terdapat lesi penempat ruang
dalam hati, selain secara berkala harus diperiksa fungsi hati dan AFP, memonitor perubahan ALT dan
AFP.
2. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP negatif 6,10
Hemangioma hati. Hemangioma kecil paling sulit dibedakan dari hepatoma kecil dengan AFP
negatif, hemangioma umumnya pada wanita, riwayat penyakit yang panjang, progresi lambat, bisa
tanpa latar belakang hepatitis dan sirosis hati, zat petanda hepatitis negatif, CT tunda, MRI dapat
membantu diagnosis. Pada tumor metastasis hati, sering terdapat riwayat kanker primer, zat petanda
hepatitis umumnya negatif pencitraan tampak lesi multipel tersebar dengan ukuran bervariasi. Pada
abses hati, terdapat riwayat demam, takut dingin dan tanda radang lain, pencitraan menemukan di
dalam lesi terdapat likuidasi atau nekrosis. Pada hidatidosis hati, kista hati, riwayat penyakit panjang,
tanpa riwayat penyakit hati, umumnya kondisinya baik, massa besar dan fungsi hati umumnya baik,
zat petanda hepatitis negatif, pencitraan menemukan lesi bersifat cair penempat ruang, dinding kista
tipis, sering disertai ginjal polikistik. Adenoma hati, umumnya pada wanita, sering dengan riwayat
minum pil KB bertahun-tahun, tanpa latar belakang hepatitis, sirosis hati, petanda hepatitis negatif,
CT tunda dapat membedakan. Hiperplasia nodular fokal, pseudotumor inflamatorik dll. sering cukup
sulit dibedakan dari hepatoma primer
XI. PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip penting dalam terapi hepatoma adalah terapi dini efektif, terapi gabungan, dan
terapi berulang.2,7
1. Terapi dini efektif. Semakin dini diterapi, semakin baik hasil terapi terhadap rumor. Untuk
hepatoma kecil pasca reseksi 5 tahun survivalnya adalah 50-60%, sedangkan hepatoma besar
hanya sekitar 20%. Terapi efektif menuntut sedapat mungkin memilih cara terapi terbaik
sebagai terapi pertama.
2. Terapi gabungan: Dewasa ini reseksi bedah terbaik pun belum dapat mencapai hasil yang
memuaskan, berbagai metode terapi hepatoma memiliki kelebihan masing-masing, harus
digunakan secara fleksibel sesuai kondisi setiap pasien, dipadukan untuk saling mengisi
kekurangan, agar semaksimal mungkin membasmi dan mengendalikan tumor, tapi juga
semaksimal mungkin mempertahankan fisik, memper-panjang survival.
3. Terapi berulang. Terapi satu kali terhadap hepatoma sering kali tidak mencapai hasil ideal,
sering diperlukan terapi ulangan sampai berkali-kali. Misalnya berkali-kali dilakukan
kemoembolisasi perkutan arteri hepatika, injeksi alkohol absolut intratumor berulang kali,
reseksi ulangan pada rekurensi pasca operasi dll.
A. Terapi operasi 2,7
Indikasi operasi eksploratif: tumor mungkin resektabel atau masih ada kemung-kinan
tindakan operasi paliatif selain reseksi; fungsi hati baik, diperkirakan tahan operasi; tanpa
kontraindikasi operasi. Kontraindikasi operasi eksploratif: umumnya pasien dengan sirosis hati berat,
insufisiensi hati disertai ikterus, asites; pembuluh utama vena porta mengandung trombus kanker;
rudapaksa serius jantung, paru, ginjal dan organ vital lain, diperkirakan tak tahan operasi.
Metode-metode operasi yang sering digunakan:2,7
1. Metode hepatektomi.
2. Transplantasi hati
3. Terapi operatif nonreseksi
B. Terapi lokal
Terapi lokal terdiri atas dua jenis terapi, yaitu terapi ablatif lokal dan injeksi obat
intratumor.1,2,7
C. Kemoembolisasi arteri hepatik perkutan 7
Kemoembolisasi arteri hepatik transkateter (TAE, TACE) merupakan cara terapi yang sering
digunakan untuk hepatoma stadium sedang dan lanjut yang tidak sesuai dioperasi reseksi. Sesuai
digunakan untuk tumor sangat besar yang tak dapat direseksi; tumor dapat direseksi tapi diperkirakan
tak tahan operasi; hepatoma rekuren yang tak dapat direseksi; pasca reseksi hepatoma, suspek terdapat
residif, dll. Sedangkan bila volume tumor lebih dari 70% parenkim hati, fungsi hati terganggu berat,
kondisi umum buruk, diperkirakan tak tahan terapi, semua iru merupakan kontraindikasi
kemoembolisasi arteri hepatik.7
D. Radioterapi
Radioterapi eksternal sesuai untuk dengan lesi hepatoma yang relatif terlokalis medan radiasi
dapat mencakup seluruh tumor selain itu sirosis hati tidak parah, pasien mentolerir radioterapi.
Radioterapi umumnya digunakan bersama metode terapi lain seperti herba, ligasi arteri hepatik,
kemoterapi transarteri hepatik, kemoembolisasi arteri hepa dll. Sedangkan untuk kasus stadium Ianjut
dengan metastasis tulang, radiasi local dapat mengatasi nyeri. Komplikasi tersering dari radioterapi
adalah gangguan fungsi hati hingga timbul ikterus, asites hingga tak dapat menyelesaikan seluruh
dosis terapi. dapat juga memakai biji radioaktif untuk radioti internal terhadap hepatoma.2,7
E. Terapi biologis
Meliputi imunoterapi aktif nonspesifik, imunoterapi sekunder, terapi terpandu dll. tapi
efektivitasnya belun cukup meyakinkan.2,6,7
F. Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah-lanjut (intermediate-
advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan meta analisis, pada stadium ini hanya
TAE/TACE (transarterialembolization / chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan
pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan HCC yang tidak
resektabel. 2,6,7
XII. PROGNOSIS1
Hepatoma primer jika tidak diterapi, survival rata-rata alamiah adalah 4,3 bulan. Kausa
kematian umumnya adalah kegagalan sistemik, perdarahan saluran cerna atas, koma hepatik dan
ruptur hati. Faktor yang mempengaruhi prognosis terutama adalah ukuran dan jumlah tumor, ada
tidaknya trombus kanker dan kapsul, derajat sirosis yang menyertai, metode terapi, dll. 1,2
Studi yang dilakukan oleh Yeung dkk. (1996) mendapatkan nilai median angka harapan hidup
pasien hepatoma dengan meggunakan sistem Okuda yaitu:4
Okuda stadium I 5.1 bulan
Okuda stadium II 2.7 bulan
Okuda stadium III 1.0 bulan 4
DAFTAR PUSTAKA
1. Desen, Wan. “ Onkologi Klinik: Edisi 2”. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 408-23.
2. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati.
“Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid I, Edisi IV”. Jakarta: Pusat Penererbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2007. Hal: 455-59
3. Axelrod, David, MD,MBA. “Hepatocellular Carcinoma” diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/197319-overview last up date: 1 Mei 2010.
4. Anonym. “Hepatocllular Carsinoma” diunduh dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Hepatoma
last up date: 15 Mei 2010.
5. Mith CS, Paauw DS. Hepatocellular carcinoma identifying and screening populations at
increased risk. Postgrad. Med. 1993 ; 94 : 71-4
6. Sallie R, Di Bisceglie AM. Viral hepatitis and hepatocellular carcinoma. Gastroenterol. Clin.
N. Am.1994, 23 : 567-9
7. Schafer DF, Sorrell MF. Hepatocellular carcinoma. Lancet 1999; 353 : 1253-7
8. Khakko Salim I, Grellier Leonie FL et al. Etiology, screening and treatment of hepatocellular
carcinoma. Med. Clin. N. Am. 1996 ; 88 : 1121-45
9. Kusumawidjaja K. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan Ekayuda. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. 2009. hal 467-79.
10. Media Medika Muda . “Hubungan Kadar Alfa Fetoprotein Serum Dan Gambaran Usg Pada
Karsinoma Hepatoseluler” diunduh dari:
http://www.m3undip.org/ed2/artikel_09_full_text_01.htm last up date : 5 Januari 2011.