Andik Kurniawan _Pola Tanam_Kelapa Sawit

61
TUGAS SISTEM POLA TANAM BUDIDAYA DAN PENGEMBANGAN POLA TANAM INTERCROPPING KELAPA SAWIT (Elaeis Guineensis Jacq.) DAN JATI (Tectona Grandis) Disusun Oleh : NAMA : ANDIK KURNIAWAN NIM : 122833800690 JURUSAN : AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG 2015

description

dsa

Transcript of Andik Kurniawan _Pola Tanam_Kelapa Sawit

  • TUGAS SISTEM POLA TANAM

    BUDIDAYA DAN PENGEMBANGAN POLA TANAM

    INTERCROPPING KELAPA SAWIT (Elaeis Guineensis Jacq.)

    DAN JATI (Tectona Grandis)

    Disusun Oleh :

    NAMA : ANDIK KURNIAWAN

    NIM : 122833800690

    JURUSAN : AGROTEKNOLOGI

    FAKULTAS PERTANIAN

    UNIVERSITAS WIDYAGAMA

    MALANG

    2015

  • PROSES BUDIDAYA DAN PRODUKSI KELAPA SAWIT

    1. Teknik Budidaya Tanaman Kelapa Sawit

    A. Nama lain dari tanaman kelapa sawit

    Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman

    penghasil minyak nabati yang sangat penting. Perkebunan kelapa sawit di

    Indonesia di pelopori oleh Adrien Hallet, berkebangsaan Belgia, yang telah

    mempunyai pengalaman menanam kelapa sawit di Afrika. Penanaman kelapa

    sawit yang pertama di Indonesia dilakukan oleh beberapa perusahaan

    perkebunan kelapa sawit seperti pembukaan kebun di Tanah Itam Ulu oleh

    Maskapai Oliepalmen Cultuur, di Pulau Raja oleh Maskapai Huilleries de

    Sumatra RCMA, dan di sungai Liput oleh Palmbomen Cultuur Mij.

    B. Gambaran Umum Kelapa Sawit

    Morfologi Kelapa Sawit

    a. Akar

    Kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil yang tidak memiliki

    akar tunggang. Radikula (bakar akar) pada bibit terus tumbuh memanjang ke

    arah bawah selama enam bulan terus-menerus dan panjang akarnya mencapai

    15 cm. Akar primer kelapa sawit terus berkembang.

    Susunan akar kelapa sawit terdiri dari serabut primer yang tumbuh

    vertikal ke dalam tanah dan horizontal ke samping. Serabut primer ini akan

    bercabang manjadi akar sekunder ke atas dan ke bawah. Akhirnya, cabang-

    cabang ini juga akan bercabang lagi menjadi akar tersier, begitu seterusnya.

    Kedalaman perakaran tanaman kelapa sawit bisa mencapai 8 meter dan 16

    meter secara horizontal.

    b. Batang

    Tanaman kelapa sawit umumnya memiliki batang yang tidak

    bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah fase muda (seedling) terjadi

    pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi pemanjangan internodia

  • (ruas). Titik tumbuh batang kelapa sawit terletak di pucuk batang, terbenam di

    dalam tajuk daun, berbentuk seperti kubis dan enak dimakan.

    Di batang tanaman kelapa sawit terdapat pangkal pelepah-pelepah

    daun yang melekat kukuh dan sukar terlepas walaupun daun telah kering dan

    mati. Pada tanaman tua, pangkal-pangkal pelepah yang masih tertinggal di

    batang akan terkelupas, sehingga batang kelapa sawit tampak berwarna hitam

    beruas.

    c. Daun

    Tanaman kelapa sawit memiliki daun (frond) yang menyerupai bulu

    burung atau ayam. Di bagian pangkal pelepah daun terbentuk dua baris duri

    yang sangat tajam dan keras di kedua sisisnya. Anak-anak daun (foliage

    leaflet) tersusun berbaris dua sampai ke ujung daun. Di tengah-tengah setiap

    anak daun terbentuk lidi sebagai tulang daun

    d. Bunga dan buah

    Tanaman kelapa sawit yang berumur tiga tahun sudah mulai dewasa

    dan mulai mengeluarkan bunga jantan atau bunga betina. Bunga jantan

    berbentuk lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak bulat. Tanaman

    kelapa sawit mengadakan penyrbukan silang (cross pollination). Artinya,

    bunga betina dari pohon yang satu dibuahi oleh bunga jantan dari pohon yang

    lainnya dengan perantaraan angin dan atau serangga penyerbuk.

    Buah kelapa sawit tersusun dari kulit buah yang licin dan keras

    (epicrap), daging buah (mesocrap) dari susunan serabut (fibre) dan

    mengandung minyak, kulit biji (endocrap) atau cangkang atau tempurung

    yang berwarna hitam dan keras, daging biji (endosperm) yang berwarna putih

    dan mengandung minyak, serta lembaga (embryo).

    Lembaga (embryo) yang keluar dari kulit biji akan berkembang ke dua

    arah.

    1. Arah tegak lurus ke atas (fototropy), disebut dengan plumula yang

    selanjutnya akan menjadi batang dan daun

    2. Arah tegak lurus ke bawah (geotrophy) disebut dengan radicula yang

    selanjutnya akan menjadi akar.

  • Plumula tidak keluar sebelum radikulanya tumbuh sekitar 1 cm. Akar-

    akar adventif pertama muncul di sebuah ring di atas sambungan radikula-

    hipokotil dan seterusnya membentuk akar-akar sekunder sebelum daun

    pertama muncul. Bibit kelapa sawit memerlukan waktu 3 bulan untuk

    memantapkan dirinya sebagai organisme yang mampu melakukan fotosintesis

    dan menyerap makanan dari dalam tanah.

    Buah yang sangat muda berwarna hijau pucat. Semakin tua warnanya

    berubah menjadi hijau kehitaman, kemudian menjadi kuning muda, dan

    setelah matang menjadi merah kuning (oranye). Jika sudah berwarna oranye,

    buah mulai rontok dan berjatuhan (buah leles).

    e. Biji

    Setiap jenis kelapa sawit memiliki ukuran dan bobot biji yang berbeda.

    Biji dura afrika panjangnya 2-3 cm dan bobot rata-rata mencapai 4 gram,

    sehingga dalam 1 kg terdapat 250 biji. Biji dura deli memiliki bobot 13 gram

    per biji, dan biji tenera afrika rata-rata memiliki bobot 2 gram per biji.

    Biji kelapa sawit umumnya memiliki periode dorman (masa non-

    aktif). Perkecambahannya dapat berlangsung lebih dari 6 bulan dengan

    keberhasilan sekitar 50%. Agar perkecambahan dapat berlangsung lebih cepat

    dan tingkat keberhasilannya lebih tinggi, biji kelapa sawit memerlukan pre-

    treatment.

    Jenis Kelapa Sawit.

    Berdasarkan ketebalan cangkang dan daging buah, kelapa sawit

    dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut :

    1. Dura memiliki cangkang tebal (3-5 mm), daging buah tipis, dan rendemen

    minyak 15-17%.

    2. Tenera memiliki cangkang agak tipis (2-3 mm), daging buah tebal, dan

    rendemen minyak 21-23%.

    3. Pisifera memiliki cangkang yang sangat tipis, tetapi daging buahnya tebal

    dan bijinya kecil. Rendemen minyaknya tinggi (lebih dari 23%). Tandan

    buahnyahampir selalu gugur sebelum masak, sehingga jumlah minyak

    yang dihasilkan sedikit.

  • C. Klasifikasi dan Morfologi

    Tanaman kelapa sawit (palm oil) dalam sistematika (taksonomi)

    tumbuhan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

    Ordo : Palmales

    Famili : Palmae

    Sub Famili : Cocoidae Spesies : 1. Elaeis guineensis Jacq (Kelapa sawit Afrika)

    2. Elaeis melanococca atau Corozo oleifera (kelapasawit

    Amerika Latin)

    Varietas/Tipe : Digolongkan berdasarkan :

    1. Tebal tipisnya cangkang (endocarp) : dikenal ada tiga

    varietas/tipe, yaitu Dura, Pisifera, dan Tenera.

    2. Warna buah : dikenal tiga tipe yaitu Nigrescens,

    Virescens, dan Albescens

    D. Syarat Tumbuh

    Kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan

    hutan, lalu dibudidayakan. Tanaman kelapa sawit memerlukan kondisi

    lingkungan yang baik agar mampu tumbuh dan berproduksi secara optimal.

    Keadaan iklim dan tanah merupakan faktor utama bagi pertumbuhan kelapa

    sawit, di samping faktor faktor lainnya seperti sifat genetika, perlakuan

    budidaya, dan penerapan teknologi lainnya.

    Iklim

    Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang tumbuh baik antara

    garis lintang 130 Lintang Utara dan 12

    0 Lintang Selatan, terutama di kawasan

    Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Keadaan iklim yang dikehendaki oleh kelapa

    sawit secara umum adalah sebagai berikut :

    1. Curah Hujan

    Tanaman Kelapa sawit menghendaki curah hujan 1.500 4.000 mm per

    tahun, tetapi curah hujan optimal 2.000 3.000 mm per tahun, dengan jumlah

    hari hujan tidak lebih dari 180 hari per tahun. Pembagian hujan yang merata

    dalam satu tahunnya berpengaruh kurang baik karena pertumbuhan vegetatif

    lebih dominan daripada pertumbuhan generatif, sehingga bunga atau buah

    yang terbentuk relatif lebih sedikit. Namun curah hujan yang terlalu tinggi

  • kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan kebun karena mengganggu

    kegiatan di kebun seperti pemeliharaan tanaman, kelancaran transportasi,

    pembakaran sisa-sisa tanaman pada pembukaan kebun, dan terjadinya erosi.

    Contoh Keadaan curah hujan yang baik adalah di kawasan Sumatera

    utara, yakni berkisar antara 2.000 4.000 mm per tahun, dengan musim

    kemarau jatuh pada bulan juni sampai september, tetapi masih ada hujan turun

    yang menyediakan kebutuhan air bagi tanaman. Keadaan iklim yang demikian

    mendorong kelapa sawit membentuk bunga dan buah secara terus menerus,

    sehingga diperoleh hasil buah yang tinggi.

    Di jawa, tanaman kelapa sawit berkembang di daerah Banten Selatan

    yang iklimnya relatif cukup basah. Sedangkan di Indonesia bagian timur,

    misalnya di Kalimantan Timur, yang musim kemaraunya tegas dan

    berlangsung selama 4-5 bulan seringkali menyebabkan kerusakan bahkan

    kematian pada tanaman kelapa sawit.

    Keadaan curah hujan yang kurang dari 2.000 mm per tahun tidak berarti

    kurang baik bagi pertumbuhan kelapa sawit, asal tidak terjadi defisit air yaitu

    tidak tercapainya jumlah curah hujan minimum yang

    2. Suhu dan Tinggi Tempat

    3. Kelembapan dan Penyinaran Matahari

    Sifat Kimia Tanah

    Tanaman Kelapa sawit membutuhkan unsur hara dalam jumlah besar

    untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif. Karena itu, untuk mendapatkan

    produksi yang tinggi dibutuhkan kandungan unsur hara yang tinggi juga.

    Selain itu, pH tanah sebaiknya bereaksi asam dengan kisaran nilai 4,0 6,0

    dan ber pH optimum 5,0 5,5.

    E. Teknologi perbanyakan Tanaman

    Teknologi perbanyakan tanaman yang dapat dilakukan pada tanaman

    kelapa sawit adalah dengan kultur jaringan dan pembibitan untuk perbanyakan

    secara konvensional.

  • Pembiakan Secara Kultur Jaringan

    Pada pembiakan secara kultur jaringan, bahan tanaman kelapa sawit dapat

    diperoleh dalam bentuk bibit atu klon hasil pembiakan secara kultur jaringan

    (tissue culture). Pengembangan kelapa sawit sistem kultur jaringan dimaksudkan

    untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada bahan tanaman kelapa sawit yang

    berasal dari biji yang umumnya memiliki keragaman dalam produksi, kualitas

    minyak, pertumbuhan vegatatif, dan ketahanan terhadap hama penyakit. Bibit

    kelapa sawit yang diperoleh dengan sistem kultur jaringan ini disebut dengan klon

    kelapa sawit.

    Pembuatan bibit klon dengan sistem kultur jaringan menggunakan bahan

    pembiakan yang berasal dari tanaman hasil persilangan antara Deli Dura dan

    Pisifera yang memiliki sifat sifat unggul, yakni produksinya tinggi,

    pertumbuhan vegetatif seragam, kualitas minyak baik, dan toleran terhadap hama

    dan penyakit.

    Keuntungan pembiakan kelapa sawit dengan sistem kultur jaringan di

    antaranya adalah sebagai berikut :

    Pembiakan suatu varietas unggul melalui sistem kultur jaringan berjalan

    dengan cepat, tidak terlalu tergantung pada musim dan dapat dilaksanakan

    dengan sistem produksi bibit yang terkendali.

    Pengendalian sistem produk (bibit klon) secara menyeluruh sehingga produk

    (bibit) yang dihasilkan seragam.

    Penyimpanan plasma nutfah untuk tujuan produksi dan bank gen dapat

    dilakukan secara efektif dan efisien.

    Perbanyakan pohon yang toleran terhadap beberapa penyakit yang bersifat

    genetis dapat dilakukan secara mudah, misalnya penyakit crown disease,

    genetic orange spotting, dsb.

    Program pemuliaan dapat dipersingkat karena pohon terpilih dari hasil

    pemuliaan langsung dapat diperbanyak secara vegetatif.

    Proses atau langkah langkah pembiakan kelapa sawit dengan sistem

    kultur jaringan secara garis besarnya adalah sebagai berikut :

  • a. Bahan Kultur jaringan

    Bahan kultur jaringan menggunakan pohon induk yang dipilih dari hasil

    persilangan pohon ibu dan pohon bapak tebaik dari varietas Deli Dura X Pisifera.

    Kriteria pemilihan pohon induk yang akan digunakan sebagai sel-sel pembiakan

    atau ortet adalah sebagai berikut :

    1). Persilangan terpilih harus berproduksi 7 -9 ton minyak sawit/hektar/tahun dan

    pohon yang dipilih memiliki potensi produksi 9 11 ton minyak/hektar/tahun.

    2). Kandungan asam lemak tidak jenuh di atas 54%

    3). Bebas penyakit tajuk (crown disease).

    4). Peninggian pohon berkisar antara 40 55 cm per tahun.

    b. Media

    Media untuk tempat menumbuhkan sel sel pembiak adalah komponen

    yang tersusun dari senyawa kimia yang mampu mendukung perkembangan dan

    pertumbuhan jaringan. Media tumbuh ini terdiri atas unsur unsur hara makro,

    mikro, protein, vitamin, mineral, dan hormon pada dosis tertentu sehingga

    memberikan hasil optimum bagi perkembangan jaringan.

    c. Metode

    Seperti telah dikemukakan di atas, perbanyakan bahan tanaman melalui

    kultur jaringan dapat menggunakan teknologi Inggris (Unilever) atau teknologi

    perancis (CIRAD CP). Metode pembiakan kultur jaringan yang dilaksanakan

    oleh PPKS Medan adalah metode CIRAD CP yang dilaksanakan melalui lima

    tahap kegiatan sebagai berikut.

    1. Induksi Kalus

    Bahan biakan adalah daun kelapa sawit yang manis muda (daun ke 4, ke 5,

    ke 6 atau ke 7) dan masih aktif. Daun Kelapa sawit tersebut diiris

    melintang berukuran 1 cm. Dari satu pohon induk dapat diperoleh sebanyak

    1.200 bahan biakan atau eksplan.

    2. Pembentukan Embrio

    Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan embrio dari kalus berbeda - beda,

    tergantung pada klon yang digunakan.

    3. Pembiakan Embrio

  • Embrio muda dipindahkan ke media baru untuk pematangan sekaligus

    perbanyakannnya. Embrio tersebut dipelihara di dalam ruang pembiakan

    dengan intensitas cahaya 1.000 gross lux suhu 270C dan kelembaban udara

    50% - 60%. Pematangan embrio membutuhkan waktu 2 4 bulan.

    Kemampuan pembiakan embrio dari setiap klon berbeda, tetapi tidak ada

    hubungannya dengan jenis persilangan. Pada embrio yang sudah matang

    (mature) dapat ditumbuhi pupus, embrio juga didapat sebagai stock atau

    koleksi dalam tabung penyimpanan dengan teknik krioperservasi.

    4. Penumbuhan Pupus

    Embrio yang terpilih untuk penumbuhan pupus dipindahkan ke dalam media

    baru, dikulturkan di dalam ruang pembiakan dengan intensitas cahaya 1.000

    gross lux, suhu 300C, dan kelembaban 50 - 60%. Penumbuhan pupus

    membutuhkan waktu 2 - 4 bulan.

    5. Penumbuhan Akar

    Pupus yang tumbuh dalam satu kelompok diseleksi untuk penumbuhan akar.

    Pupus yang mempunyai ukuran lebih dari 6 cm disapih dari kelompoknya dan

    dimasukkan ke dalam media induksi akar. Pupus yang masih berukuran kecil

    dipelihara kembali dalam media penumbuhan pupus

    Pembiakan Secara Pembibitan

    Pembibitan klon meliputi pembibitan awal (pre nursery) selama 3 bulan

    dan pembibitan utama (main nursery) selama 9 bulan. Sebelum pembibitan awal

    dilakukan, planlet (tanaman baru) perlu melewati fase aklimatisasi, yaitu proses

    adaptasi planlet dari kondisi laboratorium menjadi kondisi lingkungan alami di

    luar.

    Gambar 23. Pembibitan Kelapa Sawit.

  • F. Persemaian dan Pembibitan

    Pembibitan

    Benih kelapa sawit untuk calon bibit harus dihasilkan dan

    dikecambahkan oleh lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah. Proses

    pengecambahan umumnya dilakukan sebagai berikut.

    a. Tangkai tandan buah dilepaskan dari spikeletnya.

    b. Tandan buah diperam selama 3 hari dan sekali-kali disiram air. Pisahkan

    buah dari tandannya dan peram lagi selama 3 hari.

    c. Masukkan buah ke mesin pengaduk untuk memisahkan daging buah dari

    biji. Cuci biji dengan air, lalu rendam dalam air selama 6-7 hari. Ganti air

    rendaman setiap hari. Selanjutnya rendam biji tadi dalam Dithane M-45

    konsentrasi 0,2 % selama 2 menit, lalu keringanginkan.

    d. Masukkan biji kelapa sawit tersebut ke dalam kaleng pengecambahan dan

    simpan di dalam ruangan bertemperatur 39oC dengan kelembaban 60-70%

    selama 60 hari. Setiap 7 hari, benih dikeringanginkan selama 3 menit.

    e. Setelah 60 hari, rendam benih dalam air sampai kadar air 20-30% dan

    dikeringanginkan lagi. Masukkan benih ke dalam larutan Dithane M-45

    0,2% selama 1-2 menit. Simpan benih di ruangan bertemperatur 270

    C.

    Setelah 10 hari, benih berkecambah pada hari ke-30 tidak digunakan lagi.

    G. Persiapan Lahan

    Tanaman Kelapa sawit sering ditanam pada berbagai kondisi areal

    sesuai dengan ketersediaan lahan yang akan dibuka menjadi lahan kelapa

    sawit. Cara membuka untuk tanaman kelapa sawit disesuaikan dengan kondisi

    lahan yang tersedia.

    1. Bukaan baru (new planting) pada hutan primer, hutan sekunder, semak

    belukar atau areal yang ditumbuhi lalang.

    2. Konversi, yaitu penanaman pada areal yang sebelumnya ditanami

    dengan tanaman perkebunan seperti karet, kelapa atau komoditas

    tanaman perkebunan lainnya.

    3. Bukaan ulangan (replanting), yaitu areal yang sebelumnya juga

    ditanami kelapa sawit.

  • Persiapan lahan merupakan kegiatan yang sangat penting dan harus

    dilaksanakan berdasarkan jadwal kegiatan yang sudah ditetapkan. Mengingat

    areal kebun kelapa sawit yang cukup luas, pembukaan lahan dapat dilakukan

    sekaligus atau secara bertahap. Namun, yang terpenting adalah keadaan kebun

    sudah siap dipanen dan dapat memasok buah yang akan diolah ketika pabrik

    sudah siap berproduksi.

    Pembukaan Lahan Secara Mekanis

    Pembukaan lahan secara mekanis dilakukan pada areal hutan dan konversi

    yang ditumbuhi oleh pohon pohon besar. Pembukaan lahan secara mekanis

    ini terdiri dari beberapa pekerjaan sebagai berikut : Babad pendahuluan, yaitu

    membabad dan memotong pohon kecil atau semak semak yang tumbuh

    dibawah pohon besar, Menumbang, memotong pohon pohon besar yang

    berdiameter di atas 10 cm dengan menggunakan gergaji mesin atau kapak,

    Merencek, memotong motong cabang cabang dan ranting ranting kayu

    yang sudah tumbang untuk memudahkan perumpukan, Merumpuk yaitu

    mengumpulkan dan menumpuk hasil tebangan dan rencekan biasanya

    memanjang arah utara-selatan agar dapat sinar matahari secukupnya dan cepat

    kering, dan Membakar yaitu membakar rumpukan agar area bersih dari bahan

    bahan yang tidak diperlukan.

    H. Penanaman dan Penyulaman

    Jenis jenis pekerjaan utama dalam proses penanaman adalah : (a) Pembuatan

    larikan tanaman atau penempatan pancang, atau ajir tanam, (b). Penanaman

    tanaman penutup tanah kacangan, dan (c). Penanaman Kelapa sawit.

    1. Pengajiran

    Pada tahap pertama dibuat rancangan larikan (barisan) tanaman

    serta pancang sebagai titik tanam, dimana bibit kelapa sawit akan ditanam.

    Pengajiran atau memancang adalah menentukan tempat tempat yang

    akan ditanam bibit kelapa sawit. Letak ajir (pancang) harus tepat, sehingga

    terbentuk barisan ajir yang lurus dilihat dari segala arah, dan kelak setiap

    individu tanaman pun akan lurus teratur serta memperoleh tempat tumbuh

  • yang sama luasnya. Dalam keadaan yang demikian, tanaman mempunyai

    peluang utnuk tumbuh dan berkembang dalam kondisi yang tidak berbeda.

    Sistem jarak tanaman yang digunakan umumnya adalah segitiga

    sama sisi dengan jarak 9 m X 9 m X 9 m. Dengan sisitem segitiga sama

    sisi ini, Jarak Utara-Selatan tanaman adalah 7,82 m dan jarak antara setiap

    tanaman adalah 9 m. Populasi (kerapatan) tanaman per hektar adalah 143

    pohon. Penanaman kelapa sawit dapat juga menggunakan jarak tanam 9,5

    m X 9,5 m X 9,5 m dengan jarak tegak lurusnya (U-S) 8,2 m dan populasi

    128 pohon per hektar. Untuk mencapai ketepatan pengajiran, pekerjaan

    pengajiran harus dilaksanakan oleh pekerja yang terlatih.

    2. Pembuatan Lubang Tanam

    Lubang tanam harus dibuat beberapa minggu sebelum penanaman

    agar tanah yang digali dan lubang tanam mengalami pengaruh iklim

    sehingga terjadi perbaikan tanah secara fisika ataupun kimia dan dapat

    dilakukan pemeriksaan lubang baik ukurannya maupun jumlah per

    hektarnya. Pembuatan lubang yang dilakukan pada saat tanam atau hanya

    1-2 hari sebelum tanam tidak dianjurkan.

    Lubang tanam kelapa sawit biasanya dibuat dengan ukuran 60 cm

    x 60 cm x 60 cm, tetapi ada juga yang hanya berukuran 50 cm x 40 cm x

    40 cm. Pada saat menggali, tanah atas ditaruh di sebelah dan tanah bawah

    di sebelah selatan lubang. Ajir ditancapkan di samping lubang dan bila

    lubang telah selesai dibuat, ajir ditancapkan kembali di tengah tengah

    lubang. Apabila tanaman akan ditanam menurut garis tinggi (kontur) atau

    dibuat teras melingkari bukit, letak lubang tanaman harus berada paling

    dekat 1,5 m dari sisi lereng. Untuk penanaman kelapa sawit yang

    melingkari bukit, biasanya dibuat teras teras terlebih dahulu, baik teras

    individual maupun teras kolektif.

    3. Menanam

    Kegiatan menanam terdiri dari kegiatan mempersiapkan bibit di

    Pembibitan utama, Pengangkutan bibit ke lapangan, Menaruh bibit di

    setiap lubang, persiapan lubang, menanam bibit pada lubang, dan

    pemeriksaan areal yang sudah ditanami.

  • Intercropping kelapa sawit dan jati

    Intercropping merupakan sistem kultur teknis dari suatu tanaman

    utama dan tanaman pendamping (companion) yang dilakukan secara

    simultan atau sekuensial pada satu unit lahan yang sama. Dengan demikian

    baik tanaman utama maupun tanaman pendamping harus mempunyai

    preferensi yang sama terhadap tanah dan iklim namun harus komplementer

    dilihat dari segi pertumbuhan maupun sisi ekonomis. Kelapa sawit dan jati

    keduanya adalah sun-loving plant yang dapat tumbuh di berbagai tipe

    tanah dan iklim. Tabel 1 menggambarkan tipe tanah dan iklim yang

    disukai oleh kedua tanaman tersebut.

    Tabel 1 memperlihatkan bahwa ada kesamaan preferensi terhadap

    faktor agroklimat dari kelapa sawit dan jati. Hanya saja untuk kebutuhan

    air kedua tanaman tersebut secara umum menunjukkan preferensi yang

    berbeda. Apabila ditanam di daerah beriklim monsoon maka jati akan

    tumbuh dengan baik sementara kelapa sawit berkurang produktivitasnya

    karena kekeringan mendorong terbentuknya bunga jantan dan

    menyebabkan aborsi bunga atau bakal bunga. Apabila terjadi kekeringan

    selama 3-6 bulan maka produksi TBS akan menurun sebesar 823%

    (Harahap dan Latif, 1998). Penerapan pola intercropping di daerah

    beriklim basah tampaknya lebih memungkinkan mengingat jati tumbuh

    dan menghasilkan kayu jati berkualitas baik di Johore (Malaysia) yang

    mempunyai curah hujan rata-rata lebih besar dari 2500 mm per tahun (Tee

    et al., 1995).

    Ditinjau dari segi biologi dan pertumbuhan, baik kelapa sawit

    maupun jati memiliki beberapa sifat komplementer yang tidak akan

    menyulitkan intercropping keduanya. Sistem perakaran, kecepatan

    pertumbuhan meninggi, kerapatan tajuk menunjukkan bahwa kedua

    tanaman tidak akan berkompetisi terhadap hara, air dan sinar matahari

    apabila desain pertanaman dilakukan dengan baik (Tabel 2).

  • Tabel 2 memperlihatkan bahwa kelapa sawit dan jati memiliki pola perakaran

    yang berbeda. Dengan demikian kompetisi di permukaan tanah relatif kecil karena

    jati dapat menggunakan hara dan air di lapisan yang lebih dalam. Sebaliknya,

    kelapa sawit dapat memanfaatkan daun jati yang gugur sebagai serasah di

    permukaan tanah. Pertumbuhan meningginya yang lebih cepat membuat

    percabangan jati dapat jauh berada di atas kanopi kelapa sawit, sehingga

    memungkinkan kelapa sawit dapat mengeksploitasi secara baik sinar matahari

    langsung maupun lateral.

    Tabel 1. Preferensi kelapa sawit dan jati terhadap berbagai faktor tumbuh

    Faktor

    Kelapa sawit

    Jati

    agroklimat

    Tanah

    Tanah mineral dari berbagai jenis dan

    berdrainase baik Tanah Alluvial berdrainase baik

    dengan pH netral (5-7)

    Curah hujan

    2000 sampai 3000 mm/tahun tanpa bulan

    kering 1200

    Samp

    ai 2500 mm/tahun

    dengan 3-5 bulan kering (ch <

    50

    mm)

    Tinggi tempat

    Dataran rendah hingga 500 m di atas

    permukaan laut Hingga 500-600 m di atas

    permukaan laut

    Tabel 2. Biologi dan pertumbuhan kelapa sawit dan jati

    Karakter Kelapa sawit Jati

    Sistem

    perakaran

    Akar serabut akar menyebar

    di Akar tunggangpenyebaran akar

    lapisan atas di lapisan lebih dalam

    Kecepatan meninggi (cm/tahun) 60 80 1 180 190 2

    Tajuk Kanopi padat Kanopi ringan

    Pengguguran

    daun Menggugurkan daun Tidak menggugurkan daun

    1 Diukur pada umur 6 dan 8 tahun (PURBA et al., 1993)

    2 Rerata pertumbuhan diukur berdasarkan tinggi tanaman umur 10 tahun (TEE

    et al., 1995)

  • POLA TANAM INTERCROPPING KELAPA SAWIT JATI

    (Balung River Plantation, Tawau, Sabah, Malaysia)

    Kelapa sawit umumnya ditanam dengan pola segitiga sama sisi dengan

    kerapatan 120 - 143 pohon per hektar, sedangkan jati ditanam berbaris dengan

    kerapatan sampai 1500 pohon per hektar. Di Balung River Plantation, kelapa

    sawit ditanam dengan kerapatan 128 pohon per hektar dan jati ditanam di antara

    dua tanaman kelapa sawit sehingga kerapatannya juga 128 pohon per hektar

    (Gambar 1). Jati ditanam 18 bulan setelah kelapa sawit. Pola tanam seperti ini

    ternyata mengakibatkan pelepah kelapa sawit yang berumur 6-7 tahun tumbuh

    membentuk sudut yang lebih sempit (erect), sehingga tandan buah sulit

    berkembang (Gambar 2).

    Mengingat kedua tanaman adalah sun-loving plant yang tidak mentoleransi

    penaungan berat, maka kerapatan tanam dapat dikurangi hingga hanya 120 pohon

    atau kurang per hektar, baik kelapa sawit maupun jati. Pengurangan populasi

    kelapa sawit ditengarai tidak akan menurunkan kemampuan tanaman ini sebagai

    sumber pendapatan bagi pekebun.

    Penanaman jati yang 18 bulan lebih lambat dari penanaman kelapa sawit

    dinilai sudah cukup tepat. Pada saat kunjungan dilakukan pada September 2002,

    tinggi kanopi jati yang berumur 4 dan 6 tahun (ditanam pada tahun 1996 dan

    1998) telah berada di atas kanopi kelapa sawit yang ditanam pada tahun 1994 dan

    1996 (Gambar 3). Pola tanam seperti ini juga mengakibatkan cabang pertama dan

    kedua jati tidak berkembang, akibat kalah bersaing dengan kelapa sawit, sehingga

    tidak perlu dilakukan pemangkasan. Namun demikian untuk memperoleh batang

    tunggal pemangkasan perlu dilakukan apabila ditemui tunas yang berlebihan,

    terutama pada saat jati berumur 6 bulan. Pemangkasan dapat dilakukan dengan

    kekerasan 30%, yaitu 30% cabang dipangkas dan sisanya dibiarkan. Penyulaman

    dilakukan 2 kali setahun sampai tanaman berumur 2 tahun dengan mengganti

    tanaman yang mati dan yang pertumbuhannya jelek (kerdil, bengkok, pangkal

    batang berlubang, luka terbakar, benjol, patah atau gundul). Penjarangan

  • tampaknya tidak perlu dilakukan dalam pola intercropping.

    Pemupukan jati dapat dimulai pada saat sebelum tanam dengan memberi

    pupuk organik (kompos) sebanyak 1-2 kg yang dicampur dengan 50 gram pupuk

    NPK dan 50-100 gram dolomit untuk setiap lubang tanam. Pemupukan lanjutan

    diberikan 2 kali setahun. Pemupukan pertama dilakukan 1-3 bulan setelah tanam

    dengan NPK sebanyak 30-100 gram per pohon. Pemupukan kedua dilakukan pada

    saat jati berumur 6-12 bulan setelah tanam dengan NPK sebanyak 60-200 gram

    per pohon.

    Hama dan penyakit pada jati berbeda dengan yang menyerang kelapa sawit.

    Untuk menghindarkan infestasi silang dari hama/penyakit maka tanaman yang di-

    intercropping-kan haruslah dari taksa botani yang berbeda (SHANKER and

    SOLANKI, 2000). Adapun hama yang menyerang jati antara lain:

    hama yang menyerang akar yaitu uret (Lepidiota stigma) dan uter (Phasus

    damor),

    hama yang menyerang batang yaitu rayap (Neotermes tectonae), bubuk kayu

    basah (Xyloborus destruens) dan oleng-oleng (Duomitus ceramicus),

    hama yang menyerang daun yaitu hama daun jati (Phyrausta machaeralis) dan

    belalang (Valanga nigricornis).

  • Gambar 1. Jati ditanam di antara dua tanaman Gambar 2. Pelepah kelapa

    sawit tumbuh lebih erect kelapa sawit dengan kerapatan 128 ph/ha

    Gambar 3. Intercropping pada saat jati umur 4 tahun dan kelapa sawit umur 6

    tahun (kiri) dan jati umur 6 tahun dan kelapa sawit umur 8 tahun

    (kanan)

    Penyakit-penyakit yang menyerang jati antara lain (ZAKARIA dan LEE,

    1999):

    penyakit layu bibit yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas solanacearum,

    penyakit karat daun yang diakibatkan serangan spora Olivea tectonae,

    penyakit bintik daun oleh Colletotrichum gleosporioides,

  • penyakit akar putih yang disebabkan oleh Corticium salmonicolor,

    penyakit kanker batang yang diakibatkan oleh Fusarium.

    PROSPEK DAN KETERBATASAN INTERCROPPING KELAPA

    SAWIT - JATI

    Areal perkebunan rakyat yang luasnya mencapai 35% dari total pertanaman

    kelapa sawit Indonesia merupakan generasi pertama dan sebagian sudah

    memasuki masa peremajaan. Dalam pelaksanaan peremajaan para pekebun

    dihadapkan pada kesulitan biaya. Sebenarnya biaya peremajaan ini dapat

    disediakan oleh para pekebun dengan menyisihkan sebagian dari pendapatannya

    selama tanaman masih produktif. Akan tetapi karena pendapatan yang terbatas hal

    tersebut tidak dapat dilakukan. Berbeda dengan di Sri Lanka di mana peremajaan

    karet rakyat disubsidi oleh pemerintah dalam bentuk seluruh biaya bahan tanaman

    dan sebagian biaya pekerja (RODRIGO et al., 2001). Namun biaya peremajaan

    kelapa sawit tidak akan menjadi masalah bila intercropping dengan jati berjalan

    dengan baik. Dengan harga per log kayu jati berumur 20-25 tahun yang dapat

    mencapai RM 5.000 (tahun 1995), maka dari 120 pohon yang ditanam dan

    dipanen akan diperoleh suatu nilai yang substantial (TEE et al., 1995).

    Silvikultur jati umumnya memerlukan tenaga kerja dan input lainnya yang

    lebih sedikit dibandingkan kelapa sawit. Introduksi jati dan tanaman hutan lainnya

    ke dalam sistem pertanaman kelapa sawit secara teknis tidak menambah beban

    pekebun. Hal ini khususnya untuk pekebun kecil (smallholder) maupun pekebun

    rakyat. Pola intercropping jarang diterapkan di perkebunan besar terutama karena

    kurangnya insentif, resiko pemasaran dan keamanan serta tidak cukupnya

    pengetahuan mengenai pola pertanaman ini (RODRIGO et al., 2001).

    Pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat mungkin dapat lebih diarahkan

    pada pola pertanaman intercropping ini.

    Pengembangan pola intercropping ini memerlukan pemahaman terhadap

    pertumbuhan pohon dan korelasinya dengan pemanenan hasil akhir. Untuk

    sekedar tumbuh, pohon jati jenis pionir yang mampu tumbuh pada berbagai jenis

  • tanah dan kondisi iklim. Namun, produktivitasnya (pertambahan pertumbuhan per

    satuan waktu/tempat) akan sangat dibatasi oleh berbagai faktor tumbuh. Hasil

    kayu pohon jati secara kuantitas (volume) lebih mudah dicapai, namun

    kualitasnya (kekuatan kayu, keawetan dan sifat anatomi, fisik, kimia dan lainnya)

    akan sangat dipengaruhi oleh umur panen, tanah dan iklim. Pola adaptasi dan

    pertumbuhan awal pohon kehutanan berbeda untuk setiap jenis. Hal yang sering

    terjadi adalah pertumbuhan pohon yang menjanjikan pada saat awal, namun

    berubah menurun dengan cepat dan kemudian stagnan pada fase pertumbuhan

    lanjut. Dengan daur hidup yang panjang, reaksi tanaman hutan terhadap kondisi

    tumbuh seringkali baru tampak beberapa tahun setelah penanaman. Kegagalan

    tersembunyi ini akan sering terjadi pada kegiatan introduksi jenis baru ke dalam

    sistem pertanaman yang telah mapan, seperti halnya intercropping kelapa sawit

    dan jati.

    Pemahaman terhadap aspek teknis dan ekologis pola pertanaman

    intercropping perlu diikuti dengan memperhatikan juga aspek sosial, ekonomi dan

    pasar. Pemahaman yang didominasi oleh aspek teknis semata tidak akan mampu

    menjawab berbagai permasalahan yang timbul dalam pengembangan penanaman

    jenis kayu tertentu. Diperlukan pembaruan kerangka pikir dari yang bersifat teknis

    semata kepada pelibatan aspek ekonomi dan kelembagaan (KARTODIHARDJO,

    2000).

    4. Tanaman Penutup Tanah

    Penanaman tanaman penutup tanah biasa dilaksanakan pada

    perkebunan kelapa sawit. Tanaman penutup tanah adalah tanaman

    kacangan (Legume cover crops, LCC) yang ditanam untuk menutup tanah

    yang terbuka di antara kelapa sawit karena belum terbentuk tajuk yang

    dapat menutup permukaan tanah. Penanaman tanaman kacangan penutup

    tanah bertujuan untuk memperbaiki sifat sifat fisika, kimia dan biologi

    tanah, mencegah terjadinya erosi, mempertahankan kelembaban tanah, dan

    menekan tumbuhan pengganggu (gulma). Penanaman kacangan penutup

    tanah sebaiknya dilaksanakan segera setelah pembukaan lahan selesai

    dilaksanakan.

  • Jenis jenis tanaman kacangan penutup tanah yang umum ditanam

    di perkebunan kelapa sawit adalah Calopogonium caeruleum,

    Calopogonium mucunoides, Pueraria javanica, Pueraria phaseoloides,

    Centrocema pubescens, Psophocarphus palustries, dan Mucuna

    cochinchinensis.

    I. Penyiangan (pengendalian gulma)

    Upaya pengendalian gulma telah dilaksanakan dengan menanami tanah

    di antara tanaman kelapa sawit (gawangan) dengan tanaman kacang penutup

    tanah dan membuat piringan di sekeliling tiap individu tanaman. Bila

    pertumbuhan gulma tidak dikendalikan dengan baik, maka berbagai macam

    gulma dapat tumbuh dengan subur dan mengganggu (menyaingi)

    pertumbuhan tanaman pokok, menyebabkan keadaan kebun menjadi kotor dan

    lembab. Pengendalian gulma pada tanaman menghasilkan dimaksudkan untuk

    mengurangi terjadinya saingan terhadap tanaman pokok, memudahkan

    pelaksanaan pemeliharaan, dan mencegah berkembangnya hama dan penyakit

    tertentu.

    Secara garis besar jenis jenis gulma yang dijumpai pada perkebunan

    kelapa sawit dapat digolongkan menjadi :

    1. Gulma berbahaya, yaitu gulma yang memiliki daya saing tinggi

    terhadap tanaman pokok, misalanya lalang (Imperata cylindrica),

    sembung rambat (Mikania cordata dan M. Micrantha), lempuyangan

    (Panicum repens), teki (Cyperus rotundus), serta beberapa tumbuhan

    berkayu diantaranya.putihani/krinyuh (Eupathorium odoratum syn.

    Chromolaena odorata), harendong (Melastoma malabtrichum), dan

    tembelekan (Lantana camara)

    2. Gulma lunak, yaitu gulma yang keberadaannya dalam budi daya

    tanaman kelapa sawit dapat di toleransi, sebab jenis gulma ini dapat

    menahan erosi tanah, kendati demikian pertumbuhannya harus

    dikendalikan. Yang termasuk gulma lunak misalnya

    babadotan/wedusan (Ageratum conyzoides), rumput kipahit (Paspalum

    conjugatum), pakis (Nephrolepis biserata), dan sebagainya.

  • Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain

    sebagai berikut :

    1. Pengendalian gulma secara manual, yaitu pengendalian gulma dengan

    menggunakan peralatan dan upaya pengendalian secara konvensional,

    misalnya dibabad, dibongkar dengan cangkul, digarpu dan sebagainya.

    2. Pengendalian gulma secara kimia, yaitu pengendalian gulma dengan

    menggunakan herbisida, baik yang bersifat kontak maupun sistemik.

    3. Pengendalian Secara kultur teknis,yaitu pengendalian gulma dengan

    menggunakan tanaman penutup tanah jenis kacangan.

    Gambar 24. Tanaman Kelapa Sawit setelah Pengendalian Gulma

    J. Pemupukan

    Pemupukan tanaman bertujuan untuk menyediakan unsur unsur hara

    yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan generatif, sehingga diperoleh

    hasil yang optimal. Untuk menentukan dosis pupuk yang tepat, sebaiknya

    dilaksanakan analisis tanah dan daun terlebih dahulu. Dengan analisis tanah

    dan daun, maka ketersediaan unsur unsur hara di dalam tanah pada saat itu

    dapat diketahui dan keadaan hara terakhir yang ada pada tanaman dapat

    diketahui juga. Berdasarkan hasil analisis dapat ditentukan kebutuhan tanaman

    terhadap jenis jenis unsur hara secara lebih tepat, sehingga dapat ditetapkan

    dosis pemupukan yang harus diaplikasikan.

    Tabel 25. Dosis Pemupukan Kelapa Sawit Berdasarkan Unsur Tanaman.

    Jenis Pupuk Dosis (Kg/Pokok/Tahun) *)

  • Umur Tanaman 5 5 6 12 >12

    Sulphate of Amonia (ZA) 1,0 2,0 2,0 3,0 1,5 3,0

    Rock Phosphate (RP) 0,5 1,0 1,0 2,0 0,5 1,0

    Muriate of Potash (KCl) 0,4 1,0 1,5 3,0 1,5 2,0

    Kieserite (MgSO4) 0,5 1,0 1,0 2,0 0,5 1,5

    *) Keterangan :

    Pupuk N, K, dan Mg diberikan dua kali aplikasi, pupuk P diberikan satu kali aplikasi,

    dan pupuk B (bila diperlukan) diberikan dua kali aplikasi per tahun (salah satu contoh

    dosis B adalah 0,05 0,1 Kg per pohon per tahun)

    Cara pemberian pupuk diperhatikan secara seksama agar pemupukan

    dapat terlaksana secara efisien. Untuk mencapai maksud tersebut, pemberian

    pupuk pada Tanaman Menghasilkan (TM) harus dilaksanakan dengan cara

    sebagai berikut :

    Pupuk N ditaburkan secara merata pada piringan mulai jarak 50 cm sampia

    dipinggir luar piringan.

    Pupuk P, K, dan Mg ditabur secara merata dari jari jari 1,0 m hingga

    jarak 3,0 m dari pangkal pokok (0,75 1,0 m di luar piringan)

    Pupuk B ditaburkan secara merata pada jarak 30 50 cm dari tanaman

    pokok

    Pemberian pupuk pada kelapa sawit diatur dua kali dalam setahun.

    Pemberian pupuk yang pertama dilakukan pada akhir musim hujan yaitu bulan

    Maret April dan pemberian pupuk kedua dilakukan pada awal musim hujan

    yaitu bulan September Oktober.

    K. Pemangkasan

    Pemangkasan atau disebut juga penunasan adalah pembuangan daun

    daun tua atau yang tidak produktif pada tanaman kelapa sawit, pada tanaman

    muda sebaiknya tidak dilakukan pemangkasan, kecuali dengan maksud

    mengurangi penguapan oleh daun pada saat tanaman akan dipindahkan dari

    pembibitan ke areal perkebunan. Adapu tujuan pemangkasan adalah sebagai

    berikut :

  • Memperbaiki sirkulasi udara di sekitar tanaman sehingga dapat membantu

    proses penyerbukan secara alami

    Mengurangi penghalangan pembesaran buah dan kehilangan brondolan

    buah terjepit pada pelepah daun.

    Membantu dan memudahkan pada waktu panen

    Mengurangi perkembangan epifir

    Agar proses metabolisme tanaman berjalan lancar, terutama proses

    fotosintesis dan respirasi.

    -

    L. Pengendalian Hama dan Penyakit

    Tanaman kelapa sawit dapat diserang oleh berbagai hama dan penyakit

    tanaman sejak di pembibitan hingga di kebun pertanaman. Hama dan penyakit

    dapat merusak bibit, tanaman muda yang belum menghasilkan (TBM) maupun

    tanaman yang sudah menghasilkan (TM).

    Beberapa jenis hama dan penyakit dapat menimbulkan kerugian yang

    besar pada bibit, tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman

    menghasilkan (TM). Oleh karena itu, pengendalian terhadap hama dan

    penyakit perlu dilaksanakan secara baik dan benar.

    Pengendalian hama dan penyakit dapat dilaksanakan secara manual,

    kimia, atau biologis sesuai dengan hama dan penyakit yang menyerang. Selain

    serangan hama yang tergolong jenis serangga, bibit dan tanaman muda juga

    sering diserang oleh hewan besar jenis mamalia terutama bila kebun kelapa

    sawit dibuka pada lahan yang sebelumnya berupa hutan, baik hutan primer

    maupun hutan sekunder.

    a. Hama

    Hama yang biasa menyerang tanaman kelapa sawit biasanya terbagi

    menjadi hama perusak akar, hama perusak daun, hama perusak tandan buah.

    a.1. Hama Perusak Akar.

    Hama yang sering merusak akar kelapa sawit adalah nematoda

    Rhadinaphelenchus cocophilus. Gangguan nematoda ini dijuluki red ring

    disease. Hama ini menyerang akar tanaman kelapa sawit. Gejala gejala

    umum dari kelapa sawit yang terserang adalah pusat mahkota mengerdil dan

  • daun daun baru yang akan membuka menjadi tergulung dan tumbuh tegak.

    Daun berubah warna menjadi kuning kemudian mengering. Tandan bunga

    membusuk dan tidak membuka sehingga tidak menghasilkan buah.

    a.2. Hama Perusak Daun

    Ada beberapa jenis hama yang merusak daun tanaman kelapa sawit, di

    antaranya adalah sebagai berikut :

    a. Kumbang Tanduk (Oryctes rhynoceros)

    Kumbang tanduk banyak menimbulkan kerusakan pada tanaman

    muda yang baru ditanam hingga berumur 2-3 tahun. Kumbang dewasa

    (imago) masuk kedaerah titik tumbuh ( pupus ) dengan membuat lubang

    pada pangkal pelepah daun muda yang masih lunak.

    Pengendalian hama kumbang tanduk lebih diutamakan pada upaya

    pencegahan (preventif), yaitu menghambat perkembangan larva dengan

    mengurangi kemungkinan kumbang bertelur pada medium yang tersedia,

    yakni dengan cara sebagai berikut :

    membakar sampah sampah dan bagian pohon yang mati, agar larva

    hama terbakar dan mati

    mempercepat tertutupnya tanah dengan tanaman penutup tanah dengan

    tanaman penutup tanah agar dapat menutup bagian bagian batang

    hasil tebangan pada saat pembukan lahan yang membusuk di lokasi

    kebun

    Pemberian bahan pengusir, misalnya kapur barus yang diletakkan pada

    batang kelapa sawit yang mulai membusuk (pada pembukaan ulangan)

    b. Ulat Setora (Setora nitens)

    Ulat setora muda memakan anak anak daun dari tanaman muda

    dan tanaman sudah menghasilkan yang berumur antara 2-8 tahun. Hama

    ini kadang kadang memakan daun kelapa sawit hingga ke lidinya.

    Pengendalian Hama ulat setora dapat dilakukan secara hayati dan

    secara kimia. Pengendalian secara hayati dapat dilakukan dengan

    memanfaatkan musuh alami seperti parasit telur yaitu lebah

    Trichogrammatidae I dan lebah Ichneumonidae, serta perusak kokoh yaitu

    lalat Tachinidae

  • c. Ulat Siput (Darna trima Mooore)

    Ulat Darna trima menyerang daun kelapa sawit, terutama pada

    tanaman muda, meskipun sering pula menyerang daun pada tanaman

    dewasa. Serangan yang hebat dapat menimbulkan kerusakan berat dan

    dapat dijumpai jumlah ulat yang tinggi pada setiap pelepah kelapa sawit.

    Pengendalian ulat Darma trima dapat dilaksanakan secara kimia

    dan hayati. Pengendalian secara kimia dilakukan dengan menyemprot

    tanaman yang terserang dengan insektisida. Pengendalian secara hayati

    dapat menggunakan musuh alami seperti parasit ulat yaitu lebah

    Broconidae, meskipun hasilnya tidak seefektif cara kimia.

    d. Serangga Asinga (Sethothosea Asigna)

    Ulat dari hama ini menyerang daun kelapa sawit terutama daun

    yang menyerang dalam keadaan aktif, yaitu daun nomor 9 25. Hama ini

    merupakan salah satu hama utama yang menyerang tanaman kelapa sawit

    di sentra perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara. Pengendalian hama ini

    dapat dilakukan secara kimia dan secara hayati. Pengendalian secara kimia

    dapat menggunakan insektisida, pengendalian secara hayati dapat

    dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami.

    b. Penyakit

    a. Penyakit Tajuk (Crown disease)

    Biasanya menyerang tanaman kelapa sawit yang berumur 2-3

    tahun. Bagian yang diserang adalah pucuk yang belum membuka.

    Penyakit ini tidak bisa diberantas, tetapi hanya bisa dilakukan pembuangan

    bagian yang terserang untuk memperbaiki bentuk tajuk dan mencegah

    infeksi dari jamur Fusarium sp.

    b. Basal Steam Rot

    Penyebabnya adalah Ganoderma sp. Gejala pada tingkat serangan

    pertama secara visual sukar diamati. Pada tingkat yang lebih lanjut, cabang

  • daun bagian atas terkulai, selanjutnya pohon akan mati. Pemberantasan

    yang efektif sampai sekarang belum ada.

    c. Marasmius

    Penyakit marasmius dapat menggagalkan atau merusak

    pembentukan buah. Pemberantasan dilakukan dengan membersihkan

    pohon.

    M. Panen dan Pengolahan Hasil Panen

    Panen

    Tanaman kelapa sawit mulai berbunga dan membentuk buah setelah

    umur 2-3 tahun. Buah akan menjadi masak sekitar 5-6 bulan setelah

    penyerbukan. Proses pemasakan buah kelapa sawit dapat dilihat dari

    perubahan warna kulitnya. Buah akan berubah menjadi merah jingga ketika

    masak. Pada saat buah masak, kandungan minyak pada daging buah telah

    maksimal. Jika terlalu matang, buah kelapa sawit akan lepas dan jatuh dari

    tangkai tandannya. Buah yang jatuh tersebut disebut membrondol.

    Proses pemanenan pada tanaman kelapa sawit meliputi pekerjaan

    memotong tandan buah masak, memungut brondolan, dan mengangkutnya

    dari pohon ke tempat pengumpulan hasil (TPH) serta ke pabrik. Kriteria panen

    yang perlu diperhatikan adalah matang panen, cara panen, alat panen, rotasi

    dan sistem panen serta mutu panen.

    Proses pemanenan pada tanaman kelapa sawit meliputi pekerjaan

    memotong tandan buah masak, memungut brondolan dan mengangkutnya dari

    pohon ke tempat pengumpulan hasil (TPH) serta ke pabrik. Kriteria panen yang

    perlu diperhatikan adalah matang panen, cara panen, alat panen, rotasi dan sistem

    panen, serta mutu panen.

    1. Kriteria matang Panen

    Kriteria matang panen merupakan indikasi yang dapat membantu pemanen

    agar memotong buah pada saat yang tepat. Kriteria matang panen ditentukan pada

    saat kandungan minyak maksimal dan kandungan asam lemak bebas atau free

    fatty acid (ALB atau FFA) minimal. Pada saat ini, kriteria umum yang banyak

  • dipakai adalah berdasarkan jumlah brondolan, yaitu tanaman dengan umur kurang

    dari 10 tahun, jumlah brondolan kurang lebih 10 butir dan tanaman dengan umur

    lebih dari 10 tahun, jumlah brondolan sekitar 15 20 butir. Namun, secara praktis

    digunakan kriteria umum yaitu pada setiap 1 kg tandan buah segar (TBS) terdapat

    dua brondolan.

    2. Cara panen

    Berdasarkan tinggi tanaman, ada tiga cara panen yang umum dilakukan

    oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Untuk tanaman yang tingginya 2-5 m

    digunakan cara panen jongkok dengan alat dodos, sedangkan tanaman dengan

    ketinggian 5-10 m dipanen dengan cara berdiri dan menggunakan alat kampak

    siam. Cara egrek digunakan untuk tanaman yang tingginya lebih dari 10 m dengan

    menggunakan alat arit bergagang panjang. Untuk memudahkan pemanenan,

    sebaiknya pelepah daun yang menyangga buah dipotong terlebih dahulu dan

    diatur rapi di tengah gawangan.

    Gambar 25. Cara panen pada tanaman kelapa sawit dengan metode dodos

    3. Persiapan Panen

    Untuk menghadapi masa panen dan agar proses dapat berjalan dengan

    lancar, tempat pengumpulan hasil (TPH) harus disiapkan dan jalan untuk

    pengangkutan hasil harus diperbaiki. Para pemanen harus disiapkan peralatan

    yang akan digunakan.

  • Gambar 26. Berbagai jenis asam-asam lemak

    2. Teknik Poduksi Biofuel Kelapa Sawit

    A. Komposisi dan Sifat Fisiko Kimia Minyak Kasar (Crude Oil)

    Minyak-lemak kasar adalah minyak-lemak yang diperoleh dari pemerahan

    atau pengempaan biji atau bagian lain dari sumber minyak (oil source) tanpa

    mengalami pengolahan lanjut apapun kecuali penyaringan dan pengeringan (untuk

    menurunkan kadar air). Komposisi asam-asam lemak minyak nabati berbeda-beda

    tergantung dari jenis tanamannya. Zat-zat penyusun utama minyak-lemak (nabati

    maupun hewani) adalah trigliserida, yaitu triester gliserol dengan asam-asam

    lemak (C8C24). Gambar 26 dan Gambar 27 di bawah ini menunjukkan contoh-

    contoh berbagai jenis asam-asam lemak dan struktur molekulnya. Sifat fisiko

    kimia dari beberapa minyak-lemak nabati disajikan pada Tabel 26.

  • Gambar 27. Contoh-contoh struktur molekul berbagai asam-asam lemak

  • Tabel 26. Sifat-sifat beberapa minyak-lemak nabati

    Minyak

    Massa

    jenis,

    kg/liter

    Viskositas

    kinematika

    (38 0

    C), cSt

    Hc,

    MJ/kg

    Angka

    setana

    Titik

    awan/

    kabut, oC.

    Titik

    tuang, oC.

    Jarak kaliki 0,9537 297 37,27 ? Tak ada -31,7

    Jagung 0,9095 34,9 39,50 37,6 -1,1 -40,0

    Kapas 0,9148 33,5 39,47 41,8 +1,7 -15,0

    Crambe 0,9044 53,6 40,48 44,6 10,0 -12,2

    Biji rami 0,9236 27,2 39,31 34,6 +1,7 -15,0

    Kacang tanah 0,9026 39,6 39,78 41,8 12,8 -6,7

    Kanola 0,9115 37,0 39,71 37,6 -3,9 -31,7

    Kasumba 0,9144 31,3 39,52 41,3 18,3 -6,7

    Kasumba

    OT*) 0,9021 41,2 39,52 49,1 -12,2 -20,6

    Wijen 0,9133 35,5 39,35 40,2 -3,9 -9,4

    Kedelai 0,9138 32,6 39,62 37,9 -3,9 -12,2

    Bunga

    matahari 0,9161 33,9 39,58 37,1 7,2 -15,0

    Diesel No. 2 0,8400 2,7 45,34 47,0 -15,0 -33,0

    Sumber : Goering, C.E., A.W. Schwab, M.J. Daugherty, E.H. Pryde, dan A.J.

    Heakin, Fuel Properties of Eleven Vegetable Oils, Trans. ASAE 25, 1472

    1477 (1982). *) OT = (berkadar) Oleat Tinggi

  • Minyak Massa jenis

    (20 oC),

    kg/liter

    Viskositas

    kinematika

    (20 0C), cSt

    Hc,

    MJ/kg

    Angka

    setana

    Titik

    awan/

    kabut, oC.

    Titik

    tuang, oC.

    Kelapa 0,915 30 37,10 40 42 28 23 26

    Sawit 0,915 60 36,90 38 40 31 23 40

    Kapas 0,921 73 36,80 35 50 -1 2

    Jarak pagar 0,920 77 38,00 23 41 2 -3

    Kacang tanah 0,914 85 39,30 30 41 9 -3

    Kanola 0,916 78 37,40 30 36 -11 -2

    Kedelai 0,920 61 37,30 30 38 -4 -20

    Bunga

    matahari 0,925 58 37,75 29 37 -5 -16

    Diesel 0,830 6 43,80 50 -9 -16

    Ester Metil

    Kanola 0,880 7 37,70 49 -4 -12

    Sumber : Vaitilingom, G. dan A. Liennard, Various Vegetable Oils as Fuel for

    Diesel and Burners: J. curcas Particularities, hal. 98 109 dalam G.M. Gbitz,

    M. Mittelbach dan M. Trabi (ed), Biofuels and Industrial Products from

    Jatropha curcas, Dbv-Verlag fr die Technische Universitt Graz, Graz,

    Austria, 1997.

    Minyak Sawit Kasar -Crude Palm Oil

    Crude Palm Oil (CPO) merupakan hasil olahan daging buah kelapa sawit

    melalui proses perebusan Tandan Buah Segar (TBS), perontokan, dan

    pengepresan. CPO ini diperoleh dari bagian mesokarp buah kelapa sawit yang

    telah mengalami beberapa proses, yaitu sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi.

    Minyak ini merupakan produk level pertama yang dapat memberikan nilai tambah

    sekitar 30% dari nilai tandan buah segar.

    Tabel 26. Sifat-sifat beberapa minyak-lemak nabati (lanjutan)

  • CPO dapat digunakan sebagai bahan baku industri minyak goreng, industri

    sabun, dan industri margarin. Dilihat dari proporsinya, industri yang selama ini

    menyerap CPO paling besar adalah industri minyak goreng (79%), kemudian

    industri oleokimia (14%), industri sabun (4%), dan sisanya industri margarin

    (3%). Pemisahan CPO dan PKO dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri

    atas asam lemak dan gliserol. Secara keseluruhan proses produksi minyak sawit

    tersebut dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid

    Distillate (PFAD), dan 0.5% buangan. Komponen asam lemak yang terdapat

    dalam CPO disajikan pada Tabel 27 sedangkan sifat fisiko kimianya dapat dilihat

    pada Tabel 28.

    Tabel 27. Komposisi asam lemak dari CPO

    Asam Lemak Rantai C Komposisi (% b/b)

    Asam Laurat 12:0 0,2

    Asam Miristat 14:0 1,1

    Asam Palmitat 16:0 44,0

    Asam Stearat 18:0 4,5

    Asam Oleat 18:1 39,2

    Asam Linoleat 18:2 10,1 Sumber: Hui (1996

    Tabel 28. Sifat fisiko kimia CPO

    Sifat Fisiko Kimia Nilai

    Trigliserida 95 %

    Asam lemak bebas (FFA) 2 5 %

    Warna (5 Lovibond Cell) Merah orange

    Kelembaban & Impurities 0.15 3.0 %

    Bilangan Peroksida 1 -5.0 (meq/kg)

    Bilangan Anisidin 2 6 (meq/kg)

    Kadar -carotene 500-700 ppm

    Kadar fosfor 10-20 ppm

    Kadar besi (Fe) 4-10 ppm

    Kadar Tokoferols 600-1000 ppm

    Digliserida 2-6 %

    Bilangan Asam 6,9 mg KOH/g minyak

    Bilangan Penyabunan 224-249 mg KOH/g minyak

    Bilangan iod (wijs) 44-54

    Titik leleh 21-24C

    Indeks refraksi (40C) 36,0-37,5

  • Palm Kernel Oil (PKO)

    Palm Kernel Oil (PKO) diperoleh dari bagian kernel buah kelapa sawit (Gambar

    28) dengan cara ekstraksi pelarut atau dengan cara pengepresan. Komponen asam

    lemak terbesar penyusun PKO adalah asam laurat (Tabel 29). Hal ini menjadikan

    PKO memiliki karakteristik yang mirip dengan minyak kelapa. Sifat fisiko kimia

    PKO disajikan pada Tabel 30.

    Gambar 28. Bagian bagian buah kelapa sawit

    Tabel 29. Komposisi asam lemak dari PKO

    Asam Lemak Rantai C Komposisi (% b/b)

    Asam Laurat 12:0 47-53

    Asam Miristat 14:0 15-19

    Asam Palmitat 16:0 8-11

    Asam Stearat 18:0 1-3

    Asam Oleat 18:1 12-19

    Asam Linoleat 18:2 2-4

    Sumber: Hui (1996)

    Tabel 30. Sifat fisiko kimia PKO

    Sifat Fisiko Kimia Nilai

    Kadar Asam lemak bebas (FFA) 25 % (m/m)

    Bilangan Asam 225 mg KOH/g minyak

    Bilangan Penyabunan 256 mg KOH/g minyak

    Bilangan iod (wijs) 14 - 23

    Titik leleh 48C

  • B. Pengolahan Kelapa Sawit

    Tandan buah sawit dari kebun akan langsung diolah. Proses yang

    dilakukan meliputi proses sterilisasi, perontokan, pencacahan, dan pengepresan

    untuk mendapatkan minyak sawit. Dari proses pengepresan akan dihasilkan fase

    cair (minyak) dan fase padat berupa ampas. Fase cair merupakan fase minyak

    yang masih banyak mengandung pengotor seperti serat-serat maupun pasir

    sehingga perlu dilakukan penyaringan dan klarifikasi untuk memisahkan

    pengotor-pengotor tersebut. Diagram alir pengolahan kelapa sawit disajikan pada

    Gambar 29 di bawah ini.

    Gambar 29. Diagram alir pengolahan kelapa sawit

    TBS Setelah Ditimbang

    Loading Ramp

    Sterilizer

    Thresher

    Digester

    Empty Bunch Press

    Bahan Bakar Boiler/

    Lapangan Screw Press

    Press Cake

    Ampas Kempa Press Fluid

    Cairan Kempa

    Air Panas

    Pengencer 95OC

    TBS Dalam Lori

    Brondolan Buah Tandan Kosong

    B A

  • Gambar 29. Diagram alir pengolahan kelapa sawit (lanjutan)

    A

    Clarification Tank

    Sand Cyclone

    Sludge Separator

    Sludge Pit

    Effluent Pond

    PAL Kawasan

    Oil Purifier

    Vaccum Oil Dryer

    CPO Storage

    Tank

    Sludge

    Sludge

    Air Limbah

    Air Limbah

    Sand Trap

    Sludge Tank Oil Tank

    Minyak

    CPO

    Air Cucian

    Berminyak

    Pasir

    Berminyak

    Oil Trap

    Minyak

    Air Limbah

    Minyak Mutu

    Rendah

    Vibrating Screen

    Crude Oil Tank

  • Pemulusan/Pemurnian Minyak

    Proses pemulusan/pemurnian merupakan langkah yang perlu dilakukan

    dalam produksi edible oil dan produk berbasis lemak. Tujuan dari proses ini

    adalah untuk mengilangkan pengotor dan komponen lain yang akan

    mempengaruhi kualitas dari produk akhir/jadi. Kualitas produk akhir yang perlu

    diawasi adalah bau, stabilitas daya simpan, dan warna produk (Leong, 1992).

    Dalam sudut pandang industri, tujuan utama dari pemulusan/pemurnian

    adalah untuk merubah minyak kasar/mentah menjadi edible oil yang berkualitas

    dengan cara menghilangkan pengotor yang tidak diinginkan sampai level yang

    diinginkan dengan cara yang paling efisien. Bahan yang tidak diinginkan atau

    pengotor dalam minyak mungkin biogenic misalnya disintesis oleh tanaman itu

    sendiri tapi bahan tersebut bisa jadi pengotor yang diambil oleh tanaman dari

    lingkungannya (Borner et al., 1999). Pengotor tersebut mungkin diperoleh selama

    proses hulu, yaitu ekstraksi, penyimpanan atau transportasi dari minyak

    kasar/mentah dari lapang ke pabrik.

    Proses pemurnian yang tepat sangat penting dilakukan dalam rangka untuk

    memproduksi produk akhir yang berkualitas tinggi dalam rentang spesifikasi yang

    telah ditentukan dan sesuai keinginan pelanggan. Ada 2 tipe dasar teknologi

    pembersihan yang tersedia untuk minyak:

    (i) Pembersihan secara kimia (alkali)

    (ii) Pembersihan secara fisik

    Perbedaan diantara kedua tipe tersebut didasarkan pada jenis bahan kimia yang

    digunakan dan cara penghilangan FFA. Pembersihan secara fisik tampaknya pada

    prakteknya menggantikan penggunakan teknik pembersihan menggunakan bahan

    kimia (alkali) karena tingginya asam lemak bebas (FFA) pada minyak yang

    dibersihkan dengan cara kimia. Proses deasidifikasi (deodorisasi) pada proses

    pembersihan secara fisik mampu mengatasi masalah tersebut. Terpisah dari hal

    tersebut, menurut literatur, metode ini disarankan karena diketahui cocok untuk

    minyak tumbuhan dengan kadar fosfat yang rendah seperti minyak sawit. Dengan

    demikian, Pembersihan secara fisik terbukti memiliki efisiensi yang lebih tinggi,

    kehilangan yang lebih sedikit (refining factor (RF) < 1.3), biaya operasi yang

  • lebih rendah, modal yang lebih rendah dan lebih sedikit bahan untuk ditangani

    (Yusoff dan Thiagarajan, 1993).

    Refining Factor (RF) adalah parameter yang digunakan untuk

    memperkirakan berbagai tahap pada proses pemurnian. Faktor ini tergantung

    pada hasil produk dan kualitas dari input dan dihitung yaitu :

    %FFA

    %lossoilRF

    RF biasanya dikuantifikasi untuk berbagai tahap dalam proses pemurnian secara

    sendiri-sendiri dan pengawasan RF dalam pemurnian biasanya berdasarkan berat

    yang dihitung dari pengukuran volumetrik yang disesuaikan dengan temperatur

    atau menggunakan accurate cross-checked flow meters (Leong, 1992).

    Gambar 30. Proses pemurnian CPO

  • Scara umum, pemurnian secara kimia memerlukan tahap proses, peralatan

    dan bahan kimia yang lebih banyak bila dibandingkan dengan pemurnian secara

    fisik. Diagram proses untuk proses pemurnian secara kimia dan secara fisik

    digambarkan pada Gambar 30.

    Pemulusan/Pemurnian (Refining) Kimia

    Pemulusan/pemurnian secara kimia atau pemulusan/pemurnian basa

    adalah metode konvensional yang digunakan untuk memurnikan CPO. Ada tiga

    tahap pada proses refining secara kimia, yaitu 1. Degumming dan Netralisasi, 2.

    Penjernihan dan Filtrasi, 3. Penghilangan bau

    1) Degumming dan Netralisasi

    Pada tahap ini, bagian fosfatida dari minyak dihilangkan dengan

    menambahkan additive di bawah kondisi reaksi yang spesifik. Additive yang

    paling umum digunakan adalah asam fosfat dan asam sitrat. Setelah itu,

    dilakukan proses netralisasi dengan menggunakan basa untuk menghilangkan

    asam lemak bebas. Larutan kemudian dimasukkan kedalam labu pemisah

    sehingga akan terpisah antara bagian minyak dengan sabun hasil reaksi antara

    basa dengan asam lemak bebas. Untuk menghilangkan kelebihan basa, minyak

    tersebut dicuci dengan air panas. Reaksi kimia yang terjadi pada tahap ini

    adalah sebagai berikut:

    R-COOH + NaOH RCOONa + H2O

    2) Penjernihan dan Filtrasi

    Minyak yang telah dicuci kemudian dilakukan tahap kedua, yaitu

    penjernihan. Pada tahap ini, minyak dimasukkan ke dalam bejana silindris

    dengan pengaduk yang dinamakan Bleacher. Minyak tersebut kemudian

    dipanaskan pada suhu 90C di bawah kondisi vakum. Minyak tersebut di

    evaporasi hingga kering. Minyak yang kering kemudian ditambahkan karbon

    sehingga karbon tersebut akan mengadsorpsi warna dari minyak. Campuran

    minyak dan agen pemutih di lakukan tahap filtrasi untuk memisahkan

    adsorben dari minyak. Minyak yang diperoleh lebih jernih dari awal.

  • 3) Penghilangan Bau

    Minyak setelah dilakukan tahap penjernihan masih mengandung beberapa

    bahan yang menyebabkan bau, sehingga perlu dilakukan tahap deodorisasi.

    Minyak yang jernih dimasukkan ke dalam bejana silindris yang dinamakan

    Deodoriser. Deodoriser dijaga pada kondisi vakum yang tinggi kemudian

    dipanaskan pada suhu 200C dengan tekanan yang tinggi. Senyawa yang

    volatil akan menguap dengan beberapa pembawa. Minyak ini kemudian

    didinginkan dan dijernihkan melewati mesin penyaring untuk mendapatkan

    minyak yang bening.

    Pemulusan/Pemurnian (Refining) Fisika

    Pemulusan secara fisika adalah metode alternatif dimana cara

    penghilangan asam lemak bebas dilakukan dengan destilasi pada temperatur yang

    tinggi dan vakum yang rendah. Cara ini menggantikan penambahan basa pada

    metode pemulusan/pemurnian kimia. Penjernihan secara fisika juga dapat

    dikatakan sebagai deasidifikasi dengan destilasi uap dimana asam lemak bebas

    dan senyawa volatile lainnya di pisahkan dari minyak menggunakan agen

    stripping yang efektif. Pada tahap pemulusan/pemurnian fisika, FFA di hilangkan

    pada tahap akhir. Proses pemulusan/pemurnian secara fisika disajikan pada

    Gambar 31. Kelebihan pemulusan/pemurnian fisika dibanding kimia adalah:

    Mendapatkan hasil yang baik

    Asam lemak yang dihasilkan sebagai produk samping memiliki kualitas

    yang tinggi

    Stabilitas minyak baik

    Peralatan yang digunakan murah

    Operasinya sederhana

  • Gambar 31. Proses pemurnian CPO secara fisika

    Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO)

    Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) adalah minyak

    sawit yang telah mengalami proses penyulingan untuk menghilangkan asam

    lemak bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan penghilangan bau.

    Minyak ini dikenal khalayak ramai sebagai minyak goreng. Sifat fisiko kimia dari

    RBDPO dapat dilihat pada Tabel 31.

    Tabel 31. Sifat fisiko kimia dari RBDPO

    Parameter Nilai

    Kadar Asam Lemak Bebas (FFA) 0.05

    Moisture & Impurities (M&I) 0.02

    Bilangan Anisidin 2.0

    Kadar fosfor 3 ppm

    Kadar besi (Fe) 0.15 ppm

    Kadar tembaga (Cu) 0.05 ppm

  • Palm Fatty Acid Distillate (PFAD)

    Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) merupakan hasil samping pemurnian

    CPO secara fisika, yaitu setelah tahap deguming, deasidifikasi, dan pengeringan

    sistem vakum. Komponen terbesar dalam PFAD aadalah asam lemak bebas,

    komponen karotenoid, dan senyawa volatil lainnya. Secara umum proses

    pengolahan (pemurnian) minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21%

    stearin, 5% Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan 0,5% bahan lainnya. Pada

    umumnya PFAD digunakan industri sebagai bahan baku sabun ataupun pakan

    ternak. PFAD memiliki kandungan Free Fatty Acid (FFA) sekitar 81,7%,

    gliserol 14,4%, squalane 0,8%, Vitamin E 0,5%, sterol 0,4% dan lain-lain 2,2%.

    RBD Olein

    RBD Olein merupakan minyak yang diperoleh dari fraksinasi CPO dalam

    fase cair. Komponen asam lemak terbesar dari RBD Olein adalah asam oleat

    (Tabel 32).

    Tabel 32. Komponen asam lemak pada RBD Olein

    Asam Lemak Perbandingan Komposisi (% b/b)

    Asam Laurat 12:0 0,1-0,5

    Asam Miristat 14:0 0,9-1,5

    Asam Palmitat 16:0 37,9-41,7

    Asam Stearat 18:0 4,0-4,8

    Asam Palmitoleat 16:1 0,1-0,4

    Asam Oleat 18:1 40,7-43,9

    Asam Linoleat 18:2 10,4-13,4

    RBD Stearin

    RBD Stearin merupakan minyak yang diperoleh dari fraksinasi CPO dalam fase

    padat. Komponen asam lemak terbesar dari RBD stearin adalah asam palmitat

    (Tabel 33).

  • Tabel 33. Komponen asam lemak pada RBD Stearin

    Asam Lemak Perbandingan Komposisi (% b/b)

    Asam Laurat 12:0 0,1-0,6

    Asam Miristat 14:0 1,1-1,9

    Asam Palmitat 16:0 47,2-73,8

    Asam Stearat 18:0 4,4-5,6

    Asam Palmitoleat 16:1 0,05-0,2

    Asam Oleat 18:1 15,6-37,0

    Asam Linoleat 18:2 3,2-9,8

    C. Pengolahan Biodiesel Kelapa Sawit

    Biodiesel adalah bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari

    minyak nabati yang baru maupun dari minyak nabati bekas penggorengan melalui

    proses transesterifikasi, esterifikasi, maupun proses esterifikasitransesterifikasi.

    Dengan memanfaatkan kelapa sawit sebagai bahan bakunya, dapat dihasilkan

    biodiesel CPO, biodiesel PFAD, Biodiesel Olein maupun biodiesel stearin.

    Biodiesel sebagai bioenergi digunakan sebagai bahan bakar alternatif

    pengganti BBM pada motor diesel. Biodiesel dapat digunakan baik dalam bentuk

    100 % (B100) atau campuran dengan minyak solar pada tingkat konsentrasi

    tertentu (BXX) seperti 10 persen biodiesel dicampur dengan 90 persen solar

    dikenal dengan nama B10. Campuran biodiesel dengan solar yang ada di pasaran

    dikenal dengan biosolar.

    Biosolar merupakan campuran antara 95% solar produksi kilang Balongan

    dan 5% Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Biosolar ini merupakan nama dagang

    pertamina untuk bahan bakar motor (mesin) diesel yang merupakan campuran

    biodiesel di dalam solar. Biosolar merupakan salah satu bahan bakar alternatif

    yang ramah lingkungan. Secara umum, biosolar lebih baik karena ramah

    lingkungan, pembakarannya bersih, biodegradable, mudah dikemas dan disimpan,

    serta merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui. Selain itu, mesin atau alat

    yang menggunakan biosolar tidak perlu dimodifikasi. Biosolar juga dapat

  • memperpanjang umur mesin dan menjamin keandalan mesin dengan lubrisitas

    atau pelumas maksimum 400 mikron.

    Bahan bakar yang berbentuk cair ini memiliki sifat menyerupai solar

    sehingga sangat prospektif untuk dikembangkan. Disamping sifatnya yang

    menyerupai solar, biodiesel memiliki kelebihan dibandingkan dengan solar.

    Kelebihan biodiesel dibanding solar adalah sebagai berikut: merupakan bahan

    bakar yang ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang jauh lebih baik

    (free sulphur, smoke number rendah) sesuai dengan isu-isu global, setana number

    lebih tinggi (> 57) sehingga efisiensi pembakaran lebih baik dibandingkan dengan

    minyak kasar, memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin; biodegradable

    (dapat terurai), merupakan renewable energy karena terbuat dari bahan alam yang

    dapat diperbarui, dan meningkatkan independensi suplai bahan bakar karena dapat

    diproduksi secara lokal.

    Deskripsi Proses Biodiesel

    Dalam pengertian populer dewasa ini, yang dimaksud dengan biodiesel

    adalah bahan bakar mesin diesel yang terdiri atas ester-ester metil (atau etil) asam-

    asam lemak. Dibuat dari minyak-lemak nabati dengan proses metanolisis atau

    etanolisis, produk sampingnya berupa gliserol. Atau dari asam lemak (bebas)

    dengan proses esterifikasi dengan metanol atau etanol, produk sampingnya berupa

    air.

    Produk biodiesel mentah (kasar) yang dihasilkan proses metanolisis

    biasanya harus dimurnikan dari pengotor-pengotor seperti sisa-sisa metanol,

    katalis, dan gliserol. Fase gliserol-metanol bebas-air maupun fase gliserol-

    metanol-air dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan gliserol dan metanol

    (untuk didaur ulang). Proses pembuatan biodiesel dilakukan melalui proses-proses

    berikut ini.

    a. Alkoholisis (atau transesterifikasi) trigliserida dengan metanol atau etanol.

    Trigliserida adalah triester dari gliserol dengan asam-asam lemak, yaitu

    asam-asam karboksilat beratom karbon 6 s/d 30. Persamaan stoikiometri generik

    reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol adalah sebagai berikut :

  • Gambar 32. Stoikiometri generik reaksi transesterifikasi trigliserida dengan

    metanol

    Transesterifikasi dengan alkohol juga dikenal dengan nama alkoholisis

    sehingga reaksi di atas disebut juga metanolisis. Tanpa adanya katalis, sebenarnya

    reaksi berlangsung amat lambat. Katalis bisa berupa zat yang bersifat basa, asam,

    atau enzim [Schuchardt dkk. (1998), Lotero dkk. (2005), Fukuda dkk. (2001)].

    Efek pelancaran reaksi dari katalis basa adalah yang paling besar, sehingga katalis

    inilah yang sekarang lazim diterapkan dalam praktek. Reaksi metanolisisnya

    sendiri sebenarnya berlangsung dalam tiga tahap sebagai berikut :

    Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah

    natrium hidroksida, kalium hidroksida, natrium metilat (metoksida), dan kalium

    metilat. Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida) yang

    jika pun katalis yang ditambahkan adalah hidroksida, akan terbentuk melalui

    reaksi kesetimbangan :

    OH

    + CH3OH H2O + CH3O

    Mekanisme reaksi pembentukan produk ester metil asam lemak pada tiap siklus

    katalitiknya adalah sebagai berikut (mekanisme serupa berlangsung pada konversi

    digliserida menjadi monogliserida dan monogliserida menjadi gliserol) :

  • Gambar 33. Mekanisme reaksi pembentukan produk ester metil asam lemak

    Dengan katalis basa, reaksi metanolisis dapat berlangsung cepat pada

    temperatur-temperatur relatif rendah (temperatur kamar sampai titik didih normal

    metanol, yaitu 65oC) [Formo (1954)]. Karena ini, kebanyakan proses

    industrial/komersial beroperasi pada rentang temperatur ini dan tekanan

    atmosferik; katalis yang ditambahkan biasanya sebanyak 0.51.5 persen dari berat

    minyak yang diolah.

    Wright dkk. (1944) dan Freedman dkk. (1984), yang menyelidiki ulang

    (atau memverifikasi) kondisi proses yang diklaim Bardshaw and Meuly (1942,

    1944), menyatakan bahwa untuk mendapatkan perolehan ester yang maksimum,

    bahan mentah yang digunakan dalam proses metanolisis trigliserida berkatalis

    basa harus memenuhi persyaratan sebagai minyak yang betul-betul mulus (murni)

    (fully refined) seperti minyak goreng, yaitu angka asam < 1 dan kadar air < 0,3 %.

    Jika bahan mentah (kasar) memenuhi syarat ini, maka dengan katalis basa

    (natrium metilat ataupun hidroksida) dan pada temperatur 6065 oC, nisbah molar

  • (metanol/minyak) paling sedikitnya 6 : 1 (yaitu minimum 2 kali nisbah

    stoikiometrik), konversi ke ester metil sudah praktis sempurna dalam waktu 1

    jam. Pada suatu temperatur yang lebih rendah, yakni 32 oC, derajat metanolisis

    sudah mencapai 99 % dalam tempo sekitar 4 jam.

    Standardisasi Biodiesel Indonesia SNI-04-7182-2006 menunjukkan bahwa

    biodiesel komersial di Indonesia harus berkadar ester metil paling sedikitnya 96,5

    %-berat dan berkadar gliserol total (yaitu yang bebas maupun terikat dalam

    bentuk sisa-sisa trigliserida, digliserida, dan monogliserida) tak lebih dari 0,24 %-

    berat. Perlu pula dicatat bahwa konversi minyak ke ester metil disertai penurunan

    drastis viskositas dan nilai viskositas biodiesel yang di atas persyaratan biasanya

    menunjukkan kadar sisa-sisa gliserida dan gliserol yang masih agak tinggi. Karena

    penyingkiran sisa-sisa trigliserida, digliserida, dan monogliserida dari produk

    reaksi merupakan operasi yang sulit (atau mahal), persyaratan kadar ester metil

    dan kadar gliserol total (+ nilai viskositas) tersebut berarti bahwa transesterifikasi

    harus dilakukan sampai konversi gliserida-gliserida ke ester metil praktis

    sempurna. Ini dapat dicapai dengan menerapkan kondisi-kondisi reaksi yang

    sudah disebutkan di atas. Untuk menurunkan lagi jumlah metanol yang

    dibutuhkan untuk mencapai konversi sempurna tersebut, misalnya sampai kira-

    kira 1,5 x nisbah stoikiometrik, transesterifikasi dapat juga dilaksanakan dalam 2

    tahap atau lebih, yang masing-masingnya bisa dilakukan pada temperatur maupun

    jumlah metanol yang sama maupun berbeda.

    Transesterifikasi sebenarnya adalah reaksi kesetimbangan, sekalipun posisi

    kesetimbangannya sangat berat ke pihak pembentukan produk. Pengamatan-

    pengamatan terhadap data literatur menunjukkan bahwa konversi

    kesetimbangannya makin besar (mendekati 100 %) jika temperatur lebih rendah.

    Oleh karena itu, mendekati akhir dari pelaksanaan proses transesterifikasi,

    temperatur reaksi sebaiknya diupayakan serendah mungkin.

    Campuran reaksi di dalam proses-proses transesterifikasi yang diulas di

    atas adalah sistem dua fase (yaitu terdiri atas fase minyak dan fase alkohol).

    Untuk lebih mempercepat lagi reaksi metanolisis (sehingga transesterifikasinya

    bisa selesai, misalnya saja, hanya dalam beberapa menit), beberapa pengembang

    proses telah menambahkan pelarut, misalnya saja tetrahidrofuran, yang mampu

  • membuat campuran reaksi menjadi suatu fase tunggal (cosolvent). Akan tetapi,

    penambahan pelarut biasanya sangat memperbesar nilai minimum nisbah molar

    alkohol : minyak dan juga mengubah parameter-parameter lainnya. Tambahan

    pula, tahap-tahap pengolahan pasca transesterifikasi menjadi lebih rumit, karena

    adanya kebutuhan untuk menjumput (to recover) dan mendaur-ulang pelarut

    tersebut.

    b. Esterifikasi asam-asam lemak (bebas) dengan metanol atau etanol.

    Berlawanan dengan reaksi transesterifikasi trigliserida, esterifikasi asam-

    asam lemak, seperti ditunjukkan persamaan berikut (Gambar 34).

    Gambar 34. Reaksi esterifikasi asam lemak

    Reaksi ini merupakan reaksi kesetimbangan yang lambat, sekalipun sudah

    dipercepat dengan kehadiran katalis yang baik dan berjumlah cukup. Katalis-

    katalis yang cocok adalah zat berkarakter asam kuat, sehingga asam sulfat, asam

    sulfonat organik (dalam jumlah 1 sampai 3 % dari asam lemak yang diolah), atau

    resin penukar kation asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih

    dalam praktek industrial.

    Posisi kesetimbangan reaksi esterifikasi juga tidak sangat berpihak kepada

    pembentukan ester metil, sehingga untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung

    sampai ke konversi sempurna pada temperatur relatif rendah (misalnya paling

    tinggi 120 oC), reaktan metanol harus ada/dipasok dalam jumlah sangat berlebih

    (biasanya lebih besar dari 10 x nisbah stoikiometrik) dan air produk ikutan reaksi

    harus disingkirkan dari fase reaksi, yaitu fase minyak. Penyingkiran air ini dapat

    ditempuh dengan berbagai cara alternatif :

  • menguapkan fase akuatik atau alkohol, mengadsorpsi uap air, serta

    kemudian mengembunkan uap metanol kering untuk dikembalikan ke

    dalam bejana reaksi [Harrison dkk. (1968)];

    mengabsorpsi air yang terbentuk dengan garam-garam anhidrat yang

    membentuk padatan berhidrat (misalnya CaCl2 or CaSO4); atau

    mengekstrak air yang terbentuk dengan suatu cairan penyeret (entraining

    agent) seperti gliserol, etilen glikol, atau propilen glikol [Lepper dkk.

    (1986)].

    Biodiesel mentah (kasar) yang dihasilkan proses transesterifikasi minyak

    (atau esterifikasi asam-asam lemak) biasanya masih mengandung sisa-sisa katalis,

    metanol, dan gliserol (atau air). Untuk memurnikannya, biodiesel mentah (kasar)

    tersebut bisa dicuci dengan air, sehingga pengotor-pengotor tersebut larut ke

    dalam dan terbawa oleh fase air pencuci yang selanjutnya dipisahkan. Porsi

    pertama dari air yang dipakai mencuci disarankan mengandung sedikit asam/basa

    untuk menetralkan sisa-sisa katalis. Biodiesel yang sudah dicuci kemudian

    dikeringkan pada kondisi vakum untuk menghasilkan produk yang jernih

    (pertanda bebas air) dan bertitik nyala 100 oC (pertanda bebas metanol).

    Melalui kombinasi-kombinasi yang jitu dari kondisi-kondisi reaksi dan

    metode penyingkiran air, dan barangkali juga dengan pelaksanaan reaksi secara

    bertahap, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat

    dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam.

    Proses transesterifikasi dan esterifikasi dapat digabungkan untuk

    mengolah bahan baku dengan kandungan asam lemak bebas sedang sampai tinggi

    seperti CPO low grade, maupun PFAD.

    Pembuatan Bio oil berbasis limbah pengolahan kelapa sawit

    Bio oil adalah bahan bakar cair dari biomassa seperti kayu, kulit kayu,

    kertas, atau biomassa lainnya, yang diproduksi melalui teknologi pyrolysis

    (pirolisa) atau fast pyrolysis (pirolisa cepat), berwarna gelap dan memiliki aroma

    seperti asap. Fast pyrolysis adalah dekomposisi termal dari komponen organik

  • tanpa kehadiran oksigen dalam prosesnya untuk menghasilkan cairan, gas, dan

    arang. Cairan yang dihasilkan ini lebih lanjut kita kenal sebagai bio oil.

    Proses produksi bio oil dimulai dengan mempersiapkan bahan baku

    lignoselulosa seperti kayu atau limbah agroindustri menjadi partikelpartikel yang

    lebih kecil hingga diameter kurang dari 1 mm. Pengecilan ukuran dimaksudkan

    untuk mempercepat reaksi pirolisis. Bahan kemudian dimasukan ke dalam reaktor

    yang dipanaskan pada suhu 450 500C tanpa kehadiran oksigen. Bahan baku

    akan terbakar dan akan menguap seperti droplet yang dilemparkan air ke dalam

    permukaan wajan panas. Di dalam reaktor pirolisis, partikel akan dikonversi

    menjadi uap yang dapat dikondensasi, gas yang tidak dapat dikondensasi, dan

    padatan arang. Produk kemudian ditransportasikan ke dalam cyclone. Di dalam

    cyclone gas yang dapat dikondensasi akan dikondensasikan dan selanjutnya

    disebut sebagai bio oil, dan arang yang terbentuk dipisahkan. Sementara itu, gas

    yang tidak dapat terkondensasi (termasuk di dalamnya CO2, H2, dan CH4) akan

    dibakar dan dikembalikan ke reaktor untuk menjaga panas dari proses.

    Dalam reaksi produksi bio oil tidak dihasilkan limbah atau zero waste

    (Gambar 35). 100 % bahan baku dikonversi menjadi bio oil dan arang, sedangkan

    gas yang tidak dapat dikondensasi dikembalikan ke dalam proses sebagai sumber

    energi. Tiga produk akhir yang dihasilkan dalam proses pirolisis yaitu : bio oil (60

    75 wt %), arang (15 20 wt %), dan gas tidak terkondensasi (10 20 wt %).

    Panas Biomassa (Arang + Gas) + Bio oil

  • Gambar 35. Proses pembuatan bio oil

    Deskripsi Proses Green Diesel

    Green diesel merupakan cairan menyerupai bahan bakar solar yang sangat

    bersih, yang dihasilkan melalui kombinasi antara gasifikasi biomasa (GB) dan

    sintesis Fischer-Tropsch (FT). Pada proses ini biomasa digasifikasi untuk

    menghasilkan gas atau biosyngas yang kaya akan H2 dan CO. Setelah

    pembersihan, biosyngas bisa digunakan sebagai gas umpan pada reaktor sistesis

    FT dimana H2 dan CO dirubah menjadi hidrokarbon rantai panjang yang

    kemudian dirubah menjadi green diesel pada proses berikutnya. Pada sintesis FT

    satu mol CO bereaksi dengan dua mol H2 membentuk hidrokarbon rantai lurus

    alifatik (CxHy). Katalis FT biasanya berbasis besi atau kobalt. Sekitar 20% dari

    energi kimia dilepaskan sebagai panas pada reaksi eksotermik ini:

  • CO + 2H2 - (CH2) - + H2O

    (1)

    Mengikuti persamaan 1, reaksi FT mengkonsumsi hidrogen dan karbon

    monoksida dengan perbandingan H2/CO = 2. Jika rasio dalam gas umpan lebih

    rendah, bisa disesuaikan dengan reaksi Water-Gas Shift (WGS).

    CO + H2O CO2 + H2

    (2)

    Katalis FT berbasis besi menunjukkan aktivitas WGS dan perbandingan

    H2/CO disesuaikan di dalam reaktor sintesis. Pada kasus katalis berbasis kobalt,

    perbandingan perlu disesuaikan sebelum sintesis FT. Kondisi umum operasi untuk

    sintesis FT adalah temperatur 200-250C dan tekanan 25-60 bar. Polimerisasi

    menghasilkan produk dalam beberapa fraksi, terdiri atas fraksi hidrokarbon-

    hidrokarbon ringan (C1 dan C2), LPG (C3-C4), nafta (C5-C11), diesel (C9-C20), dan

    lilin (>C20). Distribusi produk tergantung dari katalis dan kondisi operasi proses.

    Dalam kaitan dengan produksi green diesel, kondisi proses bisa dipilih untuk

    menghasilkan jumlah maksimum dari produk pada rentang diesel. Bagaimanapun

    juga, hasil diesel yang lebih tinggi bisa dicapai ketika sintesis FT dioptimasikan

    melalui produksi lilin. Lilin ini bisa dipecah untuk menghasilkan predominan

    diesel. Untuk proses ini diperlukan hidrogen tambahan, yang bisa diproduksi dari

    produk samping syngas yang dirubah secara sempurna menjadi hidrogen melalui

    reaksi Water-Gas Shift WGS (2).

  • 3. Analisis Ekonomi Investasi Bioenergi dari Kelapa Sawit

    A. Analisis finansial budidaya kelapa sawit

    Budidaya kelapa sawit merupakan salah satu usaha pertanian yang banyak

    diminati investor. Tingginya produktivitas lahan serta aspek pasar yang sangat

    prospektif menjadi pendorong tingginya investasi di bidang ini. Budidaya kelapa

    sawit sangat identik dengan skala budidaya yang besar, meskipun demikian tidak

    menutup kemungkinan usaha pada skala yang lebih kecil. Pada umumnya skala

    budidaya kelapa sawit yang besar dilakukan jika pihak pengusaha bermaksud

    mendirikan juga unit pengolahannya, sedangkan untuk skala yang lebih kecil

    dilakukan dengan memproduksi TBS yang dijual kepada pengumpul. Jika ingin

    mendirikan pabrik pengolahan sendiri, hingga diperoleh CPO, luas areal

    perkebunan kelapa sawit minimal adalah 6.000 ha. Berikut ini adalah analisis

    usaha budidaya kelapa sawit skala 6.000 ha.

    Pada analisis ini, asumsi-asumsi yang digunakan antara lain :

    Luas lahan budidaya adalah 6.000 ha, dengan tingkat kesesuaian lahan

    untuk perkebunan sawit kelas 3 (S3).

    Populasi kebun 143 pohon/ha

    Jumlah bibit cadangan 10% dari total kebutuhan bibit

    Produktivitas lahan sesuai dengan tingkat kesesuaian lahan (S3)

    Umur Produktivitas (ton/ha/thn) Umur Produktivitas (ton/ha/thn)

    3 6 15 24

    4 10 16 23

    5 14 17 22

    6 18 18 22

    7 23 19 21

    8 25 20 20

    9 25 21 19

    10 25 22 18

    11 25 23 17

    12 25 24 16

    13 25 25 15

    14 24

  • Kelapa mulai berproduksi pada tahun ke 3 dan dapat berproduksi hingga

    tahun ke 25.

    Hasil dari kebun dijual kepada pengumpul dengan harga TBS adalah Rp.

    600/kg.

    BIAYA

    Pendirian kebun kelapa sawit seluas 6.000 ha memerlukan biaya investasi

    dan biaya operasional yang dikeluarkan selama umur proyek (25 tahun). Biaya

    investasi terdiri dari biaya pembelian peralatan sebesar Rp. 2,178,000,000,- dan

    biaya pengadaan sarana penunjang sebesar Rp.7,736,850,000,- termasuk di

    dalamnya lahan, bangunan, peralatan kantor serta sarana transportasi. Investasi

    untuk peralatan dilakukan setiap tahun dengan nilai investasi yang berbeda-beda.

    Komponen biaya investasi pendirian kebun budidaya kelapa sawit 6.000 ha untuk

    tahun pertama disajikan pada Tabel 34. Secara rinci, biaya investasi disajikan

    pada Lampiran 1.

    Tabel 34. Kebutuhan investasi kebun budidaya kelapa sawit 6.000 ha

    Uraian Investasi Total Biaya (Rp)

    A Fasilitas penunjang

    1. Kantor 200,000,000

    2. Kendaraan, infrastruktur kebun 7,520,000,000

    3. Fasilitas penunjang kantor 16,850,000

    B Peralatan budidaya 2,178,000,000

    Total Investasi 9,914,850,000

    Biaya operasional untuk penanaman dan persiapan lahan adalah sebesar Rp.

    8,760,000,000 untuk biaya tenaga kerja dan Rp. 11,068,200,000,- untuk

    pembelian bahan. Rincian biaya operasional tersebut disajikan pada Tabel 35.

  • Tabel 35 . Rincian biaya operasional kebun budidaya kelapa sawit tahun pertama

    Tenaga Kerja Jumlah Satuan Harga/satuan Total Biaya (Rp)

    1 Pembukaan lahan 168000 HOK 20,000 3,360,000,000

    2 Pembuatan jalan dan drainase 96000 HOK 20,000 1,920,000,000

    3 Pembuatan lubang tanam 48000 HOK 20,000 960,000,000

    4 Pemupukan pada lubang tanam 18000 HOK 20,000 360,000,000

    5 Penanaman bibit 108000 HOK 20,000 2,160,000,000

    Total Biaya TK 8,760,000,000

    Bahan

    1 bibit sawit 858000 batang 12,000 10,296,000,000

    2 Pupuk

    SA 0 kg 2,600 0

    TSP 429000 kg 1,800 772,200,000

    KCl 0 kg 3,500 0

    Kieserite 0 kg 1,200 0

    Borium 0 kg 2,000 0

    ZA 0 kg 1,200 0

    MOP 0 kg 3,000 0

    3 Pestisida 0 L 50,000 0

    Total biaya Bahan 11,068,200,000

    Biaya operasional untuk tahun pertama dan seterusnya disajikan pada Tabel 36

    dan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.

    Tabel 36. Biaya operasional budidaya kelapa sawit selama umur ekonomi proyek

    Tahun Biaya operasional

    Tenaga kerja (Rp) Bahan (Rp)

    Tahun 1 17,040,000,000 8,510,160,000

    Tahun 2 14,640,000,000 10,732,380,000

    Tahun 3 12,006,400,000 11,109,900,000

    Tahun 4 12,006,400,000 7,377,600,000

    Tahun 5 12,006,400,000 7,377,600,000

    Tahun 6 12,006,400,000 15,099,600,000

    Tahun 7 12,006,400,000 15,099,600,000

    Tahun 8 12,006,400,000 15,099,600,000

    Tahun 9 12,006,400,000 15,099,600,000

    Tahun 10 12,006,400,000 15,099,600,000

    Tahun 11 12,006,400,000 15,099,600,000

    Tahun 12 12,006,400,000 15,099,600,000

    Tahun 13 12,006,400,000 14,070,000,000

    Tahun 14 12,006,400,000 14,070,000,000

    Tahun 15 12,006,400,000 14,070,000,000

    Tahun 16 12,006,400,000 14,070,000,000

    Tahun 17 12,006,400,000 14,070,000,000

    Tahun 18 12,006,400,000 14,070,000,000

  • Tahun 19 12,006,400,000 14,070,000,000

    Tahun 20 12,006,400,000 14,070,000,000

    Tahun 21 12,006,400,000 14,070,000,000

    Tahun 22 12,006,400,000 14,070,000,000

    Tahun 23 12,006,400,000 14,070,000,000

    Tahun 24 12,006,400,000 14,070,000,000

    Tahun 25 12,006,400,000 14,070,000,000

    PENDAPATAN

    Pendapatan kebun kelapa sawit dihasilkan dari penjualan Tandan Buah

    Sawit (TBS). Harga yang digunakan yaitu Rp.600.000,- per ton. Pada tahun ketiga

    (pertama kali panen), asumsi produktivitas yang digunakan adalah 6 ton/ha/tahun.

    Dengan produktivitas tersebut pada tahun ke 3 akan dihasilkan 36.000 ton TBS

    dan mendatangkan pendapatan sebesar Rp. 21,600,000,000,-. Sedangkan pada

    tahun ke 8-13, produktivitas lahan maksimal yaitu 25 ton/ha/tahun, maka pada

    tahun 8 akan diperoleh pendapatan sebesar Rp. 90,000,000,000,-.

    PROYEKSI ARUS KAS DAN KRITERIA KELAYAKAN USAHA

    Kelayakan usaha budidaya kelapa sawit dianalisis menggunakan proyeksi

    arus kas dan perhitungan kriteria kelayakan yang terdiri dari NPV, IRR, Net B/C

    serta PBP. Usaha dikatakan layak jika dapat memenuhi kewajiban finansial serta

    dapat mendatangkan keuntun