ANALISIS YURIDIS TERHADAP HILANGNYA BARANG DALAM …
Transcript of ANALISIS YURIDIS TERHADAP HILANGNYA BARANG DALAM …
ANALISIS YURIDIS TERHADAP HILANGNYA BARANG DALAM PROSES PENGIRIMAN OLEH
PERUSAHAAN PENYELENGGARA JASA PENGIRIMAN
Annisa Lucky Ariastuti dan Abdul Salam
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini membahas tentang salah satu masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan jasa pengiriman barang atau jasa kurir di Indonesia. Kasus yang dianalisis adalah sengketa antara Syamsir Agus melawan PT. Birotika Semesta. Dalam kasus ini, barang milik Syamsir Agus dalam proses pengiriman barang yang dilakukan oleh PT. Birotika Semesta. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa pihak PT. Birotika Semesta telah melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan kegiatan pengiriman barang yang berakhir dengan hilangnya barang milik pengguna jasa mereka. Sebagai pengguna jasa yang dirugikan, maka Syamsir Agus berhak mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum tuntutan ganti rugi terhadap PT. Birotika Semesta.
ANALYSIS OF THE LOST PACKAGE ON SHIPMENT PROCESS CAUSED BY COURRIER SERVICE COMPANY
Abstract
This thesis discusses one of problems that might be arises on the performance of courier services in Indonesia. This study analyzes a case about dispute between Syamsir Agus and PT. Birotika Semesta. In this case, Syamsir Agus’ belonging was lost in the shipment process after he used the services by PT. Birotika Semesta. Based on the results obtained that PT. Birotika Semesta has made a mistake in accomplished their service in delivery of goods that ended with the loss of the service user’s goods. As a user that had been harmed, Syamsir Agus has the right to file a lawsuit for tort and demand for a compensation towards PT. Birotika Semesta. Keywords: Courier Services ; Tort ; Compensation Pendahuluan
Usaha jasa pengiriman barang yang jumlahnya kian banyak tentunya dirasakan
manfaatnya oleh banyak orang karena memudahkan mereka untuk memberikan barang
kepada orang lain, terutama apabila tempat tujuan pengiriman barang tersebut terbilang jauh
dari tempat si pengirim berada. Setidaknya terdapat 167 perusahaan swasta yang bergerak di
bidang jasa pengiriman ekspres di Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Jasa
Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (ASPERINDO) dan tentunya sudah
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
memperoleh izin operasional.1 Berdasarkan data yang diperoleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), tercatat kurang lebih 945 perusahaan jasa kurir yang beroperasi di Indonesia,
dimana sekitar 121 perusahaan beroperasi di wilayah Jabodetabek. Ditambah lagi ternyata
masih banyak perusahaan jasa pengiriman yang belum mengantungi Surat Izin
Penyelenggaraan Jasa Titipan.
Namun, kegiatan usaha pengiriman barang yang dilakukan oleh perusahaan jasa
pengiriman barang atau jasa kurir ini bukannya tidak mengandung risiko. Tak jarang ditemui
barang-barang yang hendak dikirim ke alamat tujuan ternyata mengalami kerusakan atau
bahkan hilang sebelum barang tersebut tiba di alamat si penerima. Salah satu kasus
kehilangan barang dalam kegiatan pengiriman barang oleh jasa kurir yang diperkarakan
sampai ke pengadilan adalah kasus Syamsir Agus melawan PT. Birotika Semesta atau DHL.
Hal tersebut tentunya mengundang permasalahan karena adanya kerugian yang disebabkan
oleh hilangnya barang tersebut sehingga tentunya harus ada pertanggungjawaban dari pihak
yang telah melakukan kesalahan.
Memang, di zaman yang modern ini manusia tidak perlu bersusah payah lagi dalam
mengirim suatu barang. Di samping menghemat tenaga, juga dapat menghemat waktu karena
perusahaan jasa pengiriman dapat mengirim barang dalam waktu yang singkat walau jarak
antara alamat pengirim dan alamat penerima yang terbilang jauh. Hubungan hukum yang
terjadi antara konsumen dengan penyelenggara jasa pengiriman tersebut diikat dalam suatu
perjanjian yaitu perjanjian pengangkutan barang.
Menurut Subekti, perjanjian pengangkutan barang adalah suatu perjanjian dimana satu
pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke
tempat lain sedangkan pihak lain menyanggupi untuk membayar ongkosnya.2 Perjanjian
pengangkutan tersebut pada dasarnya bersifat konsensual, yaitu cukup dengan adanya
kesepakatan dari para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian
pengangkutan, pengangkut memiliki kewajiban untuk menyerahkan barang kepada penerima.
Pihak penerima dalam perjanjian ini pada dasarnya merupakan pihak ketiga yang
berkepentingan dalam pengangkutan barang tersebut seperti yang dimaksud dalam Pasal 1317
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Biasanya ongkos pengangkutan dibayar oleh si
pengirim barang, tetapi ada kalanya juga ongkos itu dibayar oleh orang yang dialamatkan.3
1 http://asperindo.org/data-anggota diakses pada tanggal 6 Mei 2014.
2 R. Subekti (a), Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1979), hal. 69.
3 R. Subekti (b), Aneka Perjanjian, Ed. Rev. Cet. 10, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 70.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
Dalam praktiknya di Indonesia ongkos pengangkutan lazimnya dibebankan kepada pihak
pengirim barang.
Selain memudahkan konsumen, sifat manusia yang cenderung ingin melakukan segala
sesuatunya secara praktis di era globalisasi ini ternyata juga mendorong sebagian orang untuk
menjalankan usaha jasa pengiriman barang atau biasa disebut juga dengan jasa kurir. Proses
globalisasi yang semakin lama dan semakin intens ini dapat memberikan implikasi bahwa
setiap negara dituntut untuk lebih mengantisipasi dan beradaptasi dengan kecenderungan
globalisasi dan bisa menuju peradaban manusia (compression of the world) yang semakin
tanpa batas.4 Jika dahulu penyeleggara jasa titipan hanya terbatas oleh Negara saja, sekarang
usaha jasa titipan dapat diselenggarakan badan hukum yang dibentuk berdasarkan hukum
Indonesia melalui Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor KM
38/PT.102/MPPT/2004 tentang Pengusahaan Jasa Titipan, Salah satu dari sekian banyak
badan hukum berbentuk perseroan terbatas yang menyelenggarakan jasa pengiriman barang
adalah DHL, yang di Indonesia dijalankan oleh PT. Birotika Semesta.
Adapun peraturan-peraturan mengenai jasa kurir ini dapat dilihat dalam Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor KM 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Jasa Titipan.
Pengaturan mengenai jasa titipan ini juga tak bisa dilepaskan dari ketentuan hukum
keperdataan yang juga diatur dalam Pasal 1694 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang
menjelaskan bahwa seorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia
akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asal. Dari usaha jasa titipan
tersebut, maka dapat lahir perjanjian pengangkutan yang memberi amanah dari pengirim
barang kepada pengangkut untuk mengirim barang sampai dengan alamat yang ingin dituju si
pengirim.
Namun, tidak dapat dipungkiri usaha jasa kurir ini juga memiliki beberapa risiko.
Risiko yang dimaksud seperti apabila barang yang dititipkan oleh pihak pengirim barang
dalam perjalanannya menuju ke tempat penerima barang mengalami kerusakan seluruhnya
atau sebagian, terlambat dalam penyerahannya, atau bahkan barang tersebut hilang. Risiko
seperti inilah yang harus diwaspadai baik oleh konsumen maupun perusahaan penyelenggara
jasa kurir. Jika hal tersebut terjadi tentunya dapat menimbulkan kerugian bagi berbagai pihak,
baik bagi penyedia jasa pengiriman tersebut serta bagi pihak pengirim maupun penerima
barang selaku konsumen. Dengan kelalaian dalam menyerahkan barang sesuai perjanjian,
4 Latif Adam dan Maxensius Tri Sambodo, Infestasi dan Perdagangan Luar Negeri: Dinamika
Globalisasi dan Perannya dalam Pertumbuhan Ekonomi, diambil dari Jurnal Ekonomi dan Pembangunan VOL XVI (2) 2008, (Jakarta: LIPI Pres, 2008), hal. 15-16.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
pihak penyedia jasa pengiriman harus bersedia menerima konsekuensi apabila tidak dipercaya
lagi oleh konsumennya dalam mengantar barang ke alamat tujuan. Terlebih lagi bagi
konsumen sebagai pengguna jasa pengiriman barang atau jasa kurir, tentunya juga mengalami
kerugian karena barang yang diharapkan diterima dengan utuh dan selamat ternyata tidak
dapat dinikmati secara penuh akibat barang yang diterimanya rusak atau hilang.
Apabila pihak pengangkut lalai dalam penyelenggaraan pengangkutan sehingga
menimbulkan kerugian bagi pihak pengirim, maa pihak pengangkut bertanggung jawab untuk
membayar kerugian tersebut.5 Maka, dalam melakukan kegiatan usahanya, diperlukan tingkat
kehati-hatian yang lebih tinggi. Salah satu kelompok orang-orang dengan tingkat
kewaspadaan yang lebih tinggi dari orang biasanya adalah pengangkut publik, seperti pilot,
nahkoda, masinis, dan termasuk juga ke dalamnya adalah pengangkut barang.6
Hukum perdata mengenal adanya dua bentuk tanggung jawab, yaitu
pertanggungjawaban kontraktual dan pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum.7
Sebagaimana diketahui bahwa ada 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu
perbuatan hukum karena kesengajaan, perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan, perbuatan
melawan hukum karena kelalaian.8 Perbuatan melawan hukum dengan unsur kelalaian
berbeda dengan perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan. Dengan kesengajaan,
ada niat dalam hati dari pihak pelaku untuk menimbulkan kerugian tertentu bagi korban, atau
paling tidak dapat mengetahui secara pasti bahwa akibat dari perbuatannya tersebut akan
terjadi. Akan tetapi, dalam kelalaian tidak ada niat dalam hati dari pihak pelaku untuk
menimbulka kerugian, bahkan mungkin ada keinginannya untuk mencegah terjadinya
kerugian tersebut. Dengan demikian, dalam perbuatan melawan hukum dengan unsur
kesengajaan, niat atau sikap mental menjadi faktor dominan, tapi dalam kelalaian, niat atau
sikap mental tersebut tidak menjadi penting, yang penting dalam kelalaian adalah sikap
lahiriah dan perbuatan yang dilakukan, tanpa terlalu mepertimbangkan apa yang ada dalam
pikirannya.9
5 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1991), hal. 76.
6 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Cet. 2, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 84
7 Rosa Agustina, dkk (a), Hukum Perikatan (Law of Obligations), (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), hal. 4.
8 Munir Fuady, op. cit., hal. 71.
9 Ibid., hal. 72-73.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
Berdasarkan kemungkinan risiko yang terjadi dalam proses pengiriman barang
tersebut, dalam penelitian ini akan dianalisis suatu kasus yang berkaitan dengan hilangnya
barang dalam proses pengiriman barang oleh perusahaan jasa kurir yang terjadi antara
Syamsir Agus melawan PT. Birotika Semesta. Hilang diartikan dengan tidak ada lagi, lenyap,
atau tidak kelihatan.10 Dalam kasus ini Syamsir Agus memilih untuk menggugat PT. Birotika
Semesta dengan dasar gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Barang milik Syamsir Agus yang hilang berupa
satu set PlayStation 3 tipe 160 b warna hitam atau biasa disebut dengan PS3 beserta 1 unit tas
PS 3. Barang tersebut dikirim atas nama Erfan yang merupakan teman dari Syamsir Agus dari
Batam menggunakan jasa pelayanan pengiriman PT. Birotika Semesta atau DHL Indonesia ke
Jakarta. Namun, setelah bungkusan paket yang dikirim dari Batam tersebut diterima dan
dibuka oleh anak Syamsir Agus yang bernama Yasin Ibnu, ternyata yang ada hanya kabel PS3
saja sedangkan PS3 tersebut sendiri hilang. Ternyata peristiwa yang menimpa Syamsir Agus
ini tidak hanya sekali terjadi. Sebelumnya Syamsir Agus dengan menggunakan jasa
pengiriman barang yang sama pernah mengirim sebuah arloji, namun barang tesebut tak
kunjung sampai di alamat penerima barang. Berangkat dari hal tersebut, maka Syamsir Agus
kemudian mengajukan gugatan kepada PT. Birotika Semesta dengan dasar gugatan perbuatan
melawan hukum.
Salah satu hal yang menarik dalam kasus ini adalah jumlah tuntutan ganti kerugian
yang diminta oleh Syamsir Agus kepada PT. Birotika Semesta. Dalam kasus ini, PT. Birotika
Semesta sendiri telah menetapkan suatu peraturan atas kerusakan atau hilangnya barang
konsumen dalam proses pengiriman hanya akan diganti sebesar 10 kali lipat biaya pengiriman
atau paling besar senilai US$ 100. Undang-undang tidak secara lengkap mengatur mengenai
ganti rugi yang timbul dari perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu aturan yang dipakai
untuk ganti rugi ini adalah dengan secara analogis menggunakan pengaturan ganti rugi akibat
wanprestasi dalam pasal 1243-1252 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.11 Si penderita
yang mengajukan gugatan untuk menuntut ganti kerugian harus membuktikan besarnya
kerugian yang telah dideritanya. Sehubungan dengan hal tersebut, berlaku pula suatu sendi
bahwa si penderita berkewajiban selama secara wajar dapat diharapkan padanya, untuk
10 Departemen Pendidikan Nasional (a), Kamus Besar Bahsa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka,
2003), hal. 401.
11 Rosa Agustina (b), Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 20.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
membatasi tuntutan kerugian.12 Maka dalam hukum perdata pun tetap diterapkan ajaran
kausalitas, yang berguna untuk meneliti adakah hubungan kausal antara perbuatan melawan
hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku dapat dipertanggungjawabkan.13
Untuk itu penelitiab ini memiliki pokok permasalahan: 1) Bagaimanakah suatu
kehilangan barang dalam proses pengiriman oleh perusahaan jasa pengiriman dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum? ; 2)Bagaimanakah pengaturan tentang
ganti rugi yang sesuai apabila suatu barang hilang dalam proses pengiriman? ; serta 3)
Apakah tepat pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 2285/K/Pdt/2011?
Tinjauan Teoritis
Dalam tulisan ini, Penulis memberikan pengertian terhadap istilah-istilah yang
digunakan sebagai berikut:
1. Barang
Barang seperti yang diartikan dalam UU No. 8 Tahun 1999 adalah setiap benda baik
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupu tidak bergerak, dapat
dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
deipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.14
2. Angkutan
Angkutan dalam hal ini adalah pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke
tempat lain menggunakan kendaraan.15
3. Penyelenggaraan Jasa Titipan
Penyelenggaraan jasa titipan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menerima,
membawa, menyampaikan paket, uang, dan suratpos jenis tertentu dalam bentuk
12 Ibid, 82.
13 Ibid, 91.
14 Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999: LN. th. 1999 No. 42. TLN. No. 3821, Pasal 1 angka 2.
15Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-undang No. 14 Tahun 1992. LN. th. 1992 No. 49. TLN. No. 3480, Pasal 1 angka 2.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
barang cetakan, surat kabar, sekogram, bungkusan kecil dari pengirim kepada
penerima dengan memungut biaya.16
4. Biaya Angkut
Biaya angkut artinya di sini adalah ongkos pengiriman barang keluar yang dibebankan
kepada pengirim.17
5. Airbill
Airbill disini diartikan sebagai bukti penerimaan barang dan perjanjian untuk
mengantarkan barang melalui udara.18
6. Pengangkutan
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim
dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang
dan atau orang lain dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat,
sedangkan pengirim mengikatkan diri atau membayar angkutan.19
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif20, yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, atau disebut juga dengan
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, atau disebut juga dengan
penelitian kepustakaan, yaitu tata cara pengumpulan data yang berasal dari bahan-bahan
literatur atau kepustakaan, peraturan perundang-undangan terkait, tulisan, atau riset dari
penelitian hukum.21 Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, yaitu:
16 Indonesia (c), Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Jasa
Titipan, Pasal 2.
17 Departemen Pendidikan Nasional (b), Kamus Besar Bahsa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1990), hal. 113.
18 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, seventh edition, (United States of America: West Publishing CO, 1999), hal. 70.
19 H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5. Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 1.
20 Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 2.
21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada), hal. 23-25.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mempunyai kekuatan mengikat, dan
terdiri dari norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-
undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, dan
bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Dalam
penulisan ini bahan hukum primer yang digunakan adalah Ordonansi
Pengangkutan Udara Stb. 1939:100, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 5
Tahun 2005 tentang Jasa Titipan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab
Undang-undang Hukum Dagang, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan
Pemerintah RI Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan Perairan, dan Peraturan
Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan
bahan hukum primer, yang anyara lain erupa buku, artikel dari majalah ilmiah, dan
artikel dari internet. Dalam penulisan ini bahan hukum sekunder yang digunakan
adalah artikel-artikel makalah, buku-buku, jurnal-jurnal, skripsi, dan data dari
internet.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan atau bahan hukum primer dan sekunder, seperti ensiklopedia atau
kamus. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam pnelitian ini antara lain adalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Black’s Law Dictionary, Kamus Istilah Hukum
Belanda-Indonesia.
Jika dilihat dari sifatnya, penulisan skripsi ini termasuk dalam penelitian eksplanatoris.
Penelitian eksplanatoris adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan atau
menjelaskan lebih dalam suatu gejala.22 Menurut ilmu yang digunakan penelitian ini
merupakan penelitian monodisipliner yang hanya didasarkan pada satu disiplin ilmu, yaitu
ilmu hukum. Sedangkan dalam hal analisis data, maka penulis menggunakan metode
kualitatif yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, apa yang
dinyatakan oleh sasara penelitian yang bersangkutan dinyatakan secara tertulis atau lisan dan
22 Mamudji, op. cit., hal. 4.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
perilaku nyata.23 Alat pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini
adalah studi dokumen yang ada seperti peraturan perundang-undangan, buku, makalah,
artikel, jurnal, internet serta kamus hukum, dan kamus bahasa Indonesia.
Hasil Penelitian
Hubungan hukum di antara pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan pengiriman
barang lahir jika ada suatu perjanjian di antara para pihak. Perjanjian tersebut dibuat di suatu
akta misalnya dokumen pengangkutan atau pengiriman barang. Hubungan hukum yang terjadi
antara pengangkut dengan pihak pengirim dimulai dengan adanya suatu perjanjian
pengangkutan. Dalam membuat suatu perjanjian tentu harus memenuhi syarat sah perjanjian
seperti dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, agar para pihak
tunduk pada klausula-klausula yang ada dalam perjanjian tersebut. Dipenuhinya klausula-
klausula perjanjian berdasarkan kesepakatan para pihak ini juga sesuai dengan asas
konsensual dalam perjanjian. Dengan persetujuan atau kesepakatan para pihak untuk tunduk
pada pokok-pokok perjanjian tersebut, maka di saat itulah perjanjian pengangkutan itu lahir.
Pengangkut memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan, menjaga
barang yang diangkut sampai barang tersebut sampai kepada penerima dengan dalam keadaan
sebaik-baiknya. Hal tersebut sesuai pula dengan Pasal 1235 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang berbunyi:
“Dalam perikatan untuk memberikan sesuau, termaktub kewajiban untuk
menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai
seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan.”
Dari perjanjian pengangkutan yang telah lahir dari kesepakatan para pihak, maka
selanjutnya perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat
perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Perdata.
Kewajiban perusahaan pengangkutan dengan jasa kurir tersebut juga diimbangi dengan
hak atas biaya pengangkutan yang diterima dari pengirim atau penerima. Dalam perjanjian
23 Ibid., hal. 67.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
pengangkutan dapat diperjanjikan biaya akan dibayar sebelum barang dikirim oleh pengirim
atau pada saat barang-barang diterima yang biayanya nanti akan dibayar oleh penerima.
Selanjutnya mengenai risiko kerugian yang akan timbul, sistem pertanggungjawaban
yang digunakan dalam bidang hukum pengangkutan adalah tanggung jawab berdasarkan
kesalahan (based on fault liability). Pada prinsip ini pengangkut yang melakukan kesalahan
dalam pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat
kerugiannya. Adapun dalam prinsip ini pihak yang harus membuktikan bahwa ada kesalahan
dari si pengangkut adalah pihak yang dirugikan sehingga beban pembuktian bukanlah pada
pengangkut. Pengaturan mengenai tanggung jawab berdasarkan kesalahan ini secara umum
terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan
hukum. Sedangkan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tersendiri mengenai
kegiatan pengangkutan dan pengiriman barang ini.
Prinsip tanggung jawab yang terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata menekankan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum
terhadap orang lain wajib mengganti kerugian kepada orang yang dirugikan tersebut.
Seseorang tidak dapat dikatakan serta-merta telah melakukan perbuatan melawan hukum,
kecuali jika perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum seperti
yang dimaksud dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagai berikut:
1. Adanya suatu perbuatan, baik itu bersifat aktif maupun pasif.
2. Perbuatan tersebut melawan hukum.
3. Adanya kesalahan yang timbul dari perbuatan pelaku.
4. Adanya kerugian yang diderita oleh korban.
5. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dari pelaku dengan kerugian
yang diderita korban.
Untuk dapat menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan melawan hukum,
unsur-unsur tersebut di atas harus dipenuhi. Dalam pembuktian dengan tanggung jawab
berdasarkan kesalahan sendiri sangat penting untuk membuktikan unsur kesalahan. Maka dari
itu yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa pengangkut telah melakukan kesalahan
sehingga menimbulkan kerugian adalah pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah penggugat.
Bila penggugat gagal membuktikan salah satu dari elemen-elemen tersebut, maka tuntutannya
akan menjadi gagal.24
24 Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara
Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1989), hal. 26.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
Jika telah terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum, maka sudah
sepatutnya bagi pelaku untuk mengganti kerugian kepada si korban. Dalam hal ganti
kerugian, sistem tanggung jawab dalam hal pengiriman barang mengkombinasikan sistem
tanggung jawab Based on Fault Liability dengan Limitation of Liability. Karena perusahaan
pengangkut dianggap bersalah, maka sebagai imbalan perusahaan pengangkut tersebut berhak
menikmati batas maksimum ganti kerugian yang telah ditetapkan dalam konvensi atau
peraturan perundang-undangan, artinya berapa pun kerugian yang diderita oleh penumpang
dan/atau barang, perusahaan tidak akan bertanggung jawab membayar semua kerugian yang
diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang, melainkan ganya membayar sejumlah
yang ditetapkan di dalam konvensi atau peraturan perundang-undangan. Prinsip Limitation of
Liability membuat tanggung jawab pengangkut dibatasi sampai limit tertentu.
Kerugian yang dialami oleh korban akibat adanya suatu perbuatan melawan hukum
selain dapat berupa kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui keberadaan kerugian
immaterial yang dinilai dengan uang. Kerugian immaterial yang dimaksud itu seperti
kehilangan kesenangan hidup, ketakutan, dan sebagainya. Dengan demikian, hal-hal yang
dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah:25
1. Pengrusakan barang (menimbulkan kerugian materiil). 2. Gangguan (hinder), menimbulkan kerugian immaterial yaitu mengurangi
kenikmatan atas sesuatu. 3. Menyalahgunakan hak orang, menggunakan barang miliknya sendiri tanpa
kepentingan yang patut, tujuannya untuk kepentingan orang lain.
Dengan mengetahui ganti kerugian apa saja yang dapat digugat oleh korban dari
perbuatan melawan hukum, maka kerugian harus diambil dalam arti yang luas, tidak hanya
mengenai kekayaan harta benda seseorang, melainkan juga mengenai kepentingan-
kepentingan lain daripada seorang manusia, yaitu tubuh, jiwa, dan kehormatan seseorang.26
Dalam menentukan seberapa besar ganti kerugian yang pantas bagi korban, hakim
berpedoman pada yurisprudensi yang telah tetap melalui keputusan yang dibuat oleh
Mahkamah Agung No. 23 Mei 1970 No. 610 K/Sip/1968 pada tanggal 23 Mei 1970, yang di
antaranya memuat pertimbangan sebagai berikut:27
25 Munir Fuady, op. cit., hal. 62.
26 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum (Bandung: Sumur Bandung, 1976), hal. 22.
27 Yurisprudensi Indonesia diterbitkan Mahkaah Agung terbitan II/1970 Chidir Ali, Yurisprudensi
Indonesia tentang perbuatan melawan hukum, hal. 21, dikutip oleh M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan
Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita), 1982, hal. 74.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
“Meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas, sedang penggugat mutlak menuntut sejumlah itu, hakim berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus dibayar, hal ini tidak melanggar pasal 173 (3) H.I.R (ex aqueo et bono)”.
Pembahasan
Kasus posisi dari kasus yang dianalisis adalah mengenai barang yang hilang oleh
perusahaan jasa kurir. Adapun para pihak dalam perkara ini yaitu Syamsir Agus yang
selanjutnya disebut sebagai Penggugat. Dalam perkara ini ia mengajukan gugatan perkara
perdata biasa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sedangkan di pihak Tergugat sendiri
adalah PT. Birotika Semesta / DHL Indonesia. Penggugat merupakan pemilik barang berupa
PlayStation 3 yang ingin mengirimkan barangnya ke alamat rumahnya di Jakarta dengan
meminta bantuan temannya untuk mengirimkan barang tersebut menggunakan jasa kurir.
Sesampainya di alamat tujuan ternyata tasnya ternyata tidak diterima dalam keadaan utuh oleh
penerima karena Playstation 3 tersebut telah hilang dan yang tersisa hanya tasnya saja. Atas
kejadian tersebut akhirnya Penggugat mengajukan gugatan perkara perdata biasa dengan
dasar gugatan perbuatan melawan hukum kepada PT. Birotika Semesta selaku perusahaan
operator jasa pengiriman DHL di Indonesia.
Pada pengadilan tingkat pertama, Majelis Hakim melalui putusan nomor
1405/Pdt.G/2009/Jkt.Sel menjatuhkan putusan untuk mengabulkan gugatan dari Penggugat
sebagian. Adapun gugatan yang dikabulkan oleh Majelis Hakim adalah menyatakan
Tergugat/PT. Birotika Semesta telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum
Tergugat untuk membayar sejumlah ganti rugi yang ditetapkan oleh Majelis Hakim serta
membayar biaya perkara. Sedangkan gugatan dari Syamsir Agus yang ditolak oleh Majelis
Hakim adalah tuntutan ganti rugi kepada PT. Birotika Semesta Rp 1.056.589.000,00 (satu
miliyar lima puluh enam juta lima ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah), yang akhirnya
hanya dikabulkan oleh Majelis Hakim sebesar Rp 6.589.000,00 (enam juta lima ratus delapan
puluh sembilan ribu rupiah). Selanjutnya Syamsir Agus mengajukan upaya banding ke
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menguatkan putusan pengadilan negeri melalui putusan
nomor 292/Pdt/2010/PT.DKI. Kemudian Syamsir Agus mengajukan upaya hukum kasasi
yang berakhir dengan ditolaknya permohonan kasasi oleh Syamsir Agus sehingga
menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor
2285 K/Pdt/2011 tertanggal 23 Februari 2012.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
Menurut analisis Penulis unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam perbuatan
Tergugat sudah terpenuhi, maka sudah tentu ada kerugian yang harus dibayarkan oleh
Tergugat kepada Penggugat. Sesuai dengan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang menentukan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum wajib membayar ganti rugi
kepada pihak yang dirugikan. Selanjutnya sebagai pedoman mengenai ganti kerugian dalam
perbuatan melawan hukum, Pasal 1371 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menyebutkan bahwa penggantian kerugian dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua
belah pihak dan menurut keadaan. Di samping itu Hakim juga harus memperhatikan berat
ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak,
dan pada keadaan.
Karena dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak pernah diatur mengenai
besaran kerugian yang dapat diminta, maka dalam perkembangannya di Indonesia
Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan No. 610K/Sip/1968 tanggal 23 Mei 1970 yang
selanjutnya menjadi yurisprudensi yang tetap. Salah satu pertimbangannya mengenai tuntutan
ganti rugi itu adalah sebagai berikut:28
“Meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas, sedang penggugat mutlah menggugat sejumlah itu, hakim berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus dibayar, hal ini tidak melanggar Pasal 178 ayat (3) HIR (ex aqueo et bono).”
Dalam hal timbulnya kerugian yang disebabkan oleh hilangnya barang dalam proses
pengiriman, maka pertanyaan yang tak luput dari perhatian adalah siapa pihak yang harus
bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut. Dalam kasus ini, tidak disebutkan atau
dijelaskan bagaimana barang milik Syamsir Agus dapat hilang saat proses pengiriman yang
dilakukan oleh PT. Birotika Semesta sebegai penyelenggara jasa pengiriman. Walau tidak
dijelaskan bagaimana dan di mana tepatnya barang milik Syamsir Agus hilang, namun di
beberapa peraturan perundang-undangan mengenai angkutan disebutkan bahwa kerugian yang
dialami atas hilangnya suatu barang menjadi tanggung jawab penyelenggara pengangkutan
barang.
Di samping itu, untuk menilai jumlah ganti rugi terhadap barang yang hilang dalam
proses pengangkutan maka juga harus melihat nilai barang tersebut. Pada umumnya setiap
barang yang diangkut tercantum mengenai jenis barang dan cirri-cirinya dalam dokumen
28 Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia tentang Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Mahkamah
Agung, 1971), hal. 21.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
pengangkutan. Namun, untuk kargo biasanya tidak disertai dengan dokumen pengangkutan
karena barang tersebut merupakan barang yang dibawa oleh penumpang angkutan. Dalam hal
kargo yang hilang, maka nilai ganti kerugian dapat didasarkan pada perkiraan terhadap jenis-
jenis barang yang mungkin diangkut sebagai kargo.
Dalam kasus ini, Majelis Hakim dalam poin ke-14 pertimbangannya menyatakan
bahwa Syamsir Agus berhak mendapat ganti rugi dari PT. Birotika Semesta sebesar Rp
6.589.000,00 (enam juta lima ratus delapan puluh sembilan ribu rupiah). Jumlah tuntutan
ganti rugi yang dikabulkan oleh Majelis Hakim tersebut merupakan jumlah ganti rugi yang
harus dibayar oleh PT. Birotika Semesta atas harga barang PlayStation 3 yang hilang dan
ongkos pengirimannya. Sedangkan, jumlah ganti rugi yang dituntut oleh Syamsir Agus
selebihnya ditolak oleh Majelis Hakim dengan alasan tuntutan ganti rugi immateriil sebesar
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidaklah rasional.
Dalam pertimbangannya lebih lanjut lagi yaitu pada poin 12, Majelis Hakim
menyatakan bahwa mengenai biaya pihak ketiga (kuasa hukum Syamsir Agus) tidak
dibenarkan dihitung dalam kerugian materiil Penggugat. Hal tersebut didasarkan pada putusan
Mahkamah Agung yang telah menjadi yuriprudensi melalui Putusan No. 983K/Sip/1973
tanggal 11 September 1975 yang pada intinya menyatakan bahwa:
“Karena HIR tidak mengharuskan adanya penguasaan kepada advokat, tuntutan tentang upah pengacara ditambah 10% incasso29 ditambah komisi ditambah 20% pajak penjualan incasso komisi tidak dapat dikabulkan”
Terhadap pertimbangan di atas, penulis sependapat bahwa seharusnya Syamsir Agus
tidak menuntut ganti rugi atas biaya yang ia keluarkan untuk menggunakan jasa pihak ketiga.
Karena di dalam HIR juga tidak menentukan untuk mengajukan gugatan perkara perdata
harus dengan bantuan jasa advokat. Penggunaan jasa advokat pada dasarnya berupa hak,
bukanlah suatu kewajiban. Sehingga konsekuensi penggunaan hak tersebut seharusnya
menjadi suatu risiko yang ditanggung oleh pengguna jasa itu sendiri. Sehingga tidak tepat
29N.E. Algra, dkk, Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia,(Jakarta: Binacipta, 1983), hal. 210.
Incasso adalah pemungutan suatu tagihan uang. Sebelum beralih pada penuntutan di muka hakim, kreditur akan mencoba lebih dahulu memperoleh tagihannya dengan jalan damai. Biaya pemungutan tagihan (biasanya sekurang-kurangnya 10% dari jumlah yang dipungut) pada dasarnya menjadi tanggungan orang yang memberikan perintah untuk memungut. Tetapi ada kemungkinan untuk mengadakan persetujuan pada penutupan pada penutupan perjanjian dengan pihak lawan, bahwa semua biaya, yang timbul karena pembayaran yang tidak pada waktunya, harus dibayarkan oleh orang yang menanggung pembayaran itu.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
apabila Syamsir Agus menuntut PT. Birotika Semesta untuk mengganti biaya pihak ketiga
yang sudah dikeluarkan oleh Syamsir Agus.
Dalam tuntutan ganti rugi immateriil, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menolak
tuntutan ganti rugi immateriil yang diminta oleh Syamsir Agus sebesar Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dengan alasan jumlah tuntutan ganti rugi tersebut tidak rasional.
Menurut penulis, pertimbangan Majelis Hakim memang benar adanya. Walaupun Syamsir
Agus secara nyata mengalami kerugian atas hilangnya PlayStation 3 miliknya, namun terasa
berlebihan apabila Syamsir Agus menuntut ganti rugi sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah). Memang tuntutan atas kerugian immateriil didasarkan pada kerugian moriil yang
diderita korban yang salah satunya adalah kehilangan kesenangan hidup dan sulit dihitung
dengan satuan nilai uang. Namun, penulis merasa bahwa kerugian moriil yang diderita
Syamsir Agus tidak seimbang dengan besarnya tuntutan ganti rugi immateriil yang diminta
oleh Syamsir Agus. Sehingga dalam hal ini penulis sependapat dengan Majelis Hakim yang
menolak tuntutan ganti rugi immateriil yang diajukan oleh Syamsir Agus.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan dalam bab-bab sebelumnya,
penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kasus yang penulis analisis terjadi di antara Syamsir Agus melawan PT. Birotika
Semesta, dimana barang milik Syamsir Agus berupa PlayStation 3 hilang saat proses
pengiriman yang dilakukan oleh PT. Birotika Semesta. Hilangnya barang dalam proses
pengiriman oleh perusahaan penyelenggara jasa pengiriman sebagai suatu perbuatan
melawan hukum didasarkan pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
dimana setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang membawa
kerugian bagi orang lain, maka ia wajib mengganti kerugian terhadap orang yang
dirugikan tersebut. Baik itu dengan sengaja ataupun tidak sengaja, dengan hilangnya
barang milik pengguna jasa pegiriman barang menandakan bahwa penyelenggara jasa
pengiriman barang tersebut tidak melakukan kegiatannya dengan teliti dan hati-hati.
Maka sudah tentu ia telah melakukan kesalahan dan menimbulkan kerugian bagi orang
lain, terutama bagi pemilik barang tersebut. Dengan demikian, kehilangan barang dalam
proses pengiriman oleh perusahaan jasa pengiriman dapat dikatakan sebagai perbuatan
melawan hukum sekalipun itu tidak disertai dengan kesengajaan.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
2. Dengan terbuktinya Tergugat bahwa mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum,
maka tuntutan ganti rugi Penggugat pun sudah sepatutnya dikabulkan. Adapun
pengaturan ganti rugi terhadap barang yang hilang dalam proses pengiriman oleh
perusahaan jasa pengiriman barang umumnya memang sudah ditetapkan dalam aturan
atau klausula baku yang tercantum dalam perjanjian yang ada di bukti pengiriman (air
waybill) yang nantinya akan ditandatangani oleh pihak pengirim. Penyelenggara jasa
pengiriman barang biasanya membedakan ganti kerugian atas barang kiriman yang
diasuransikan dengan barang kiriman yang tidak diasuransikan. Namun, umumnya
klausula tersebut dibuat secara sepihak tanpa meminta kata sepakat dari pihak pengirim,
sehingga sifatnya menjadi baku karena tidak dapat diubah sesuai dengan kesepakatan
antara pihak pengirim dan penyelenggara jasa pengiriman tersebut. Mengenai klausula
baku itu sendiri sudah diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, tepatnya pada Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula
Baku. Khususnya padal Pasal 18 ayat (1) huruf g dinyatakan bahwa pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa dilarang mencantumkan klausula baku yang
menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Adapun akibat dari
dilanggarnya ketentuan tersebut menurut Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah klausula baku tersebut dinyatakan batal
demi hukum. Jika berpedoman pada ketentuan di atas tersebut, maka klausula-klausula
yang terdapat dalam bukti pengiriman tersebut menjadi batal demi hukum dan tidak dapat
digunakan dalam hal terjadi masalah saat proses pengiriman barang.
3. Oleh karena hilangnya barang dalam proses pengiriman oleh perusahaan jasa pengiriman
barang telah dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, maka pengaturan
tentang ganti ruginya didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sendiri
walau menentukan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum wajib mengganti kerugian
pada orang lain yang dirugikan, namun tidak diatur secara lengkap mengenai tuntutan
ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum. Selanjutnya hanya disebutkan dalam Pasal
1371 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa ganti kerugian dinilai
menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan. Mengenai
ganti kerugian atas barang yang hilang tersebut, maka dapat didasarkan pada nilai harga
barang yang hilang tersebut disertai dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan
sehubungan dengan pengiriman barang tersebut. Tuntutan ganti rugi immateriil
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
dimungkinkan, dengan syarat bahwa jumlah tuntutan tersebut masih dalam taraf yang
wajar dan seimbang dengan kerugian moriil yang diderita korban. Seperti yang tertuang
dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 610K/Sip/1968 tanggal 23 Mei 1970 yang
intinya menyatakan bahwa hakim berwenang untuk menetapkan jumlah ganti rugi yang
sepantasnya harus dibayar, apabila pihak penggugat menuntut ganti rugi yang jumlahnya
dianggap tidak pantas. Mengenai besaran ganti rugi yang dibayar, memang tidak ada
jumlah yang rigid yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Namun, dalam
beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang baik itu melalui
darat, air, ataupun udara menyebutkan bahwa ganti rugi atas barang yang musnah, rusak,
atau hilang besarnya dinilai dengan harga barang tersebut.
4. Pertimbangan Hakim dalam kasus ini menurut penulis memang sudah tepat. Hakim
dengan cermat tetap menyatakan bahwa Syamsir Agus merupakan pihak yang berhak
untuk mengajukan gugatan kepada PT. Birotika Semesta meskipun dalam air waybill
tertulis bahwa yang bertindak sebagai pengguna jasa PT. Birotika Semesta adalah M.
Erfan. Hakim sudah mempertimbangkan dengan cukup jelas mengenai hal tidak dapat
berlakunya ketentuan ganti rugi yang ditentukan secara sepihak oleh pihak PT. Birotika
Semesta dalam perjanjian pengiriman sehingga Syamsir Agus dapat menuntut ganti rugi
di luar dari yang ada dalam perjanjian pengiriman tersebut. Walaupun telah dinyatakan
bahwa PT. Birotika Semesta telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga harus
mengganti kerugian kepada Syamsir Agus, namun Hakim dalam pertimbangannya tetap
bersikap adil kepada kedua belah pihak. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah tuntutan
ganti rugi yang harus dibayarkan kepada Syamsir Agus hanya diterima sebagian dengan
alasan-alasan yang rasional juga disertai dengan dasar putusan Mahkamah Agung RI
yang telah menjadi yurisprudensi tetap. Sehingga tuntutan ganti rugi Syamsir Agus
sebagai Penggugat tetap terpenuhi namun tidak mengabaikan kepentingan PT. Birotika
Semesta pula untuk tidak membayarkan apa yang bukan merupakan kesalahan mereka.
Saran
Bagi pelaku usaha yang bergerak dalam jasa pengiriman barang, harus melaksanakan
kegiatannya dengan jujur dan transparan. Jika terdapat kehilangan barang milik konsumen,
agar melaksanakan prosedur pencarian barang tersebut dengan sungguh-sungguh. Kepada
pelaku usaha khususnya yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang hendaknya lebih
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
berhati-hati dan bertanggung jawab atas barang yang telah diamanahkan untuk dikirim ke
alamat tujuan, agar tercipta hubungan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak:
konsumen dapat merasa puas dengan pelayanan yang diberikan dan bagi pelaku usaha sendiri
juga mendapatkan kepercayaan dari konsumen sehingga jasanya akan terus digunakan.
Sebaliknya, untuk pengguna jasa pengiriman barang atau konsumen sebaiknya lebih teliti dan
hati-hati dalam memilih dan menggunakan jasa pengiriman barang, serta membaca terlebih
dahulu ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam perjanjian pengiriman agar tidak tertipu
dan mengakibatkan kerugian bagi konsumen sendiri. Terakhir untuk pihak pemerintah agar
mengawasi pelaku usaha baik perusahaan kecil maupun perusahaan yang sudah mempunyai
nama besar agar memberi pelayanan dengan standar yang baik dan sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
Daftar Referensi
Buku
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003.
Agustina, Rosa, dkk. Hukum Perikatan (Law of Obligations). Denpasar: Pustaka Larasan,
2012.
Ali, Chidir. Yurisprudensi Indonesia tentang Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Mahkamah
Agung, 1971. Djojodirdjo, M.A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1982.
Subekti, R. Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1979.
Subekti, R. Aneka Perjanjian. Ed. Rev. Cet. 10, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
Mamudji, Sri, et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1991.
Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer). Cet. 2. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2005.
Prodjodikoro, Wirjono. Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Sumur Bandung, 1976.
Purwosutjipto, H.M.N. Pengertian Pokok Hukum Dagang. Cet. 5. Jakarta: Djambatan, 1995.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014
Wiradipradja, Saefullah. Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara
Internasional dan Nasional. Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1989.
Artikel
Adam, Latif dan Maxensius Tri Sambodo. Infestasi dan Perdagangan Luar Negeri: Dinamika
Globalisasi dan Perannya dalam Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan VOL XVI (2) 2008. Jakarta: LIPI Pres, 2008.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UU No. 14 Tahun 1992,
Lembaran Negara Nomor 49, Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480.
Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, Lembaran
Negara Nomor 42, Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821.
Indonesia. Peraturan Menteri Perhubungan tentang Penyelenggaraan Jasa Titipan, Peraturan
Menteri Perhubungan No. KM 5 Tahun 2005.
Kamus
Algra, N.E., dkk. Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia. Jakarta: Binacipta, 1983.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai
Pustaka, 1990.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai
Pustaka, 2003.
Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary. Seventh Edition. United States of America: West
Publishing CO, 1999.
Internet
http://asperindo.org/data-anggota. Diakses tangal 6 Mei 2014.
Analisis yuridis…, Annisa Lucky Ariastuti, FH UI, 2014