ANALISIS TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI PAKAN LELE DI DESA …eprints.walisongo.ac.id/10246/1/skripsi...
Transcript of ANALISIS TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI PAKAN LELE DI DESA …eprints.walisongo.ac.id/10246/1/skripsi...
-
ANALISIS TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI PAKAN LELE
DI DESA TEGALARUM KECAMATAN MRANGGEN
KABUPATEN DEMAK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S. 1)
Dalam Ilmu Syari‟ah
Disusun Oleh:
NILA LUTFIANA
1 2 2 3 1 1 0 8 7
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
-
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Nila Lutfiana
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Walisongo
di Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudara:
Nama : Nila Lutfiana
NIM : 122311087
Jurusan : Muamalah
Judul Skripsi : Analisis Terhadap Praktek Jual Beli Pakan
Lele di Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen
Kabupaten Demak.
Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian atas perhatiannya, harap menjadi maklum adanya dan kami
ucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semarang, 25 Juli 2019
Pembimbing
Supangat, M.Ag
NIP: 197109022005011004
-
iii
KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM PRODI
MUAMALAH Jl. Prof. Dr. Hamka Kampus III Telp/ Fax. (024) 7601291 Ngaliyan Semarang 50185
PENGESAHAN
Nama : Nila Lutfiana
NIM : 122311087
Jurusan : Muamalah
Judul : Analisis Terhadap Praktek Jual Beli Pakan Lele di Desa
Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus pada
tanggal:
31 juli 2019
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1)
tahun akademik 2018/2019.
Semarang, 31 Juli 2019
Dewan Penguji
Ketua Sidang,
Dr. Mahsun, M.Ag.
NIP. 196711132005011001
Sekretaris Sidang,
Supangat, M.Ag. NIP. 197104022005011004
Penguji I,
Prof. Dr. H. Abdul Fatah Idris, M.Si
NIP. 195208051983031002
Penguji II,
Drs. H. Muhyiddin, M.Ag
NIP. 195502281983031003
Pembimbing,
Supangat, M.Ag.
NIP. 197104022005011004
-
iv
MOTTO
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.
Al-Baqoroh: 275).
-
v
PERSEMBAHAN
Alhamdu Lillahi Rabbil’alamin, berkat doa dan segenap asa nan suci teruntuk
mereka yang arif , maka skripsi ini penulis persembahkan sebagai ungkapan
syukur kepada Allah dan tali kasih kepada hambanya, kepada:
Ibu Istiqomah dan Bapak Mustain serta adik Linda Zulfa yang selalu
melimpahkan kasih sayangnya dan tidak bosan untuk terus mendoakan anak-
anaknya. Terima kasih, kasih sayangmu telah membawa anakmu pada
pembelajaran arti hidup.
Keluarga besar Muamalah 2012 senasib seperjuangan khususnya MUC yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang selalu membangkitkan,
memberikan semangat dan motivasi, thankyu atas waktu dan
kebersamaannya. Kesini ku datang disinipun berpisah nanti ku hadir kembali.
Sahabat-sahabatku (Oneng, Rina, Afif) thankyu kawan kalian telah
memberikan banyak kenangan yang tidak akan pernah terlupakan.
Rekan-rekan satu atapku Green House Amalia 2 berkat kalian aku mengerti
arti sebuah kebersamaan.
Keluarga kkn posko 39, terima kasih 45 hari yang memberi warna setiap
harinya.
Ahmad Mufid dan Ika Wulan, terima kasih semangat, motivasi, omelan,
keluh kesah yang kalian berikan.
-
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
menyatatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah
ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi
ini tidak berisi satupun pemikiran-pemikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan
bahan rujukan.
Semarang, 25 Juli 2019
Deklarator
Nila Lutfiana
NIM: 122311087
-
vii
ABSTRAK
Pada perkembangan peradaban kehidupan manusia merealisasikan
bentuk perdagangan yang berbeda dalam rangka memenuhi kebutuhan yang
berkembang dalam masyarakatnya. Seperti yang terjadi pada masyarakat
Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak, sebagai
masyarakat peternak lele yang membutuhkan bahan pokok dalam
membudidayakan lele. Akan tetapi untuk mendapatkan kebutuhan itu, mereka
tidak selamanya bisa membayar secara langsung karena mereka masih
menunggu hasil penjualan lele untuk membayar pembelian tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan itu warga Desa Tegalarum Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak membentuk suatu bentuk jual beli yang dikenal
dengan jual beli tangguhan, yaitu bentuk jual beli kebutuhan peternak lele,
misalnya seperti membeli pakan lele dengan cara harga ditangguhkan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana Tanggapan Desa
Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak tentang praktek jual beli
dengan sistem dua harga?. 2) faktor apa saja yang mendorong praktek jual
beli pakan lele dengan sistem dua harga di Desa Tegalarum Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak?.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), jenis
penelitian hukum yang digunakan oleh penulis adalah jenis penelitian hukum
normatif empiris atau sosiologi hukum, yakni penelitian dengan pendekatan
yang melihat suatu kenyataan hukum di masyarakat serta aspek-aspek hukum
dalam interaksi sosial di dalam masyarakat, dengan sumber data dari pihak
penjual pakan lele dan peternak lele. Data di peroleh dengan menggunakan
teknik wawancara, observasi, dokumentasi. Data yang telah terkumpul
kemudian dianalisis data dengan tahapan reduksi data, penyajian data dan
penyimpulan data.
Hasil penelitian menunjukkan: 1) Praktek jual beli dua harga dengan
syarat tambahan di awal yang terjadi di Desa Tegalarum Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak menurut tanggapan masyarakat Desa
Tegalarum tidak boleh karena adanya pengambilan manfaat ketika membeli,
sebab hal semacam ini mengandung riba, dan Islam sangat menentang adanya
praktek jual beli yang mengandung riba. 2) Faktor yang menyebabkan
terjadinya jual beli dua harga di Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen
Kabupaten Demak adalah faktor ekonomi yang menjadikan kebiasaan
masyarakat.
Kata kunci: Hukum Islam, Praktek Jual Beli dua harga
-
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah wa syukurillah, senantiasa penulis panjatkan kehadirat
Rabbul Izzati Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada
semua hamba-Nya, sehingga sampai saat ini masih mendapat ketetapan Iman,
Islam dan Ihsan. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan nabi besar Muhammad SAW pembawa risalah dan pemberi contoh
teladan dalam menjalankan syari‟at Islam.
Berkat rahmat dan hidayah yang diberikan oleh Allah SWT, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “analisis terhadap praktek
jual beli pakan lele di desa tegalarum kecamatan mranggen kabupaten demak”,
skripsi ini disusun guna memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh gelar
sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang. Dalam
penyusunan skripsi ini penulis tidak lepas dari bimbingan dan saran-saran dari
berbagai pihak, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan.
Berdasarkan hal tersebut dengan selesainya skripsi ini penulis mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Imam Taufiq, M.Ag., selaku Rektor UIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Dr. H. A. Arif Junaidi, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah UIN
Walisongo Semarang beserta wakil Dekan I, II, dan III.
3. Bapak Afif Noor, S.Ag., S.H., M.Hum., dan bapak Supangat, M.Ag., selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Muamalah.
4. Bapak Supangat, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing, yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan pengarahan dan
bimbingan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang yang telah
membimbing dan mengajar penulis selama belajar di bangku kuliah.
Semoga kebaikan dan keikhlasan semua pihak yang terlibat dalam
penulisan skripsi ini mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.
-
ix
Akhirnya, penulis berharap semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa
bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para pembaca pada umumnya.
Semarang, 25 Juli 2016
Penulis
Nila Lutfiana
-
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
HALAMAN DEKLARASI ......................................................................... vi
HALAMAN ABSTRAK .............................................................................. vii
HALAMAN PENGANTAR ........................................................................ viii
HALAMAN DAFTAR ISI .......................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 5
D. Tinjauan Pustaka ............................................................... 5
E. Metode Penelitian .............................................................. 8
F. Sistematika Penulisan ........................................................ 12
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG JUAL BELI DAN
‘URF
A. Ketentuan Jual Beli ........................................................... 13
1. Pengertian Jual Beli ...................................................... 13
2. Akad Jual Beli............................................................... 16
3. Dasar Hukum Jual Beli ................................................. 17
4. Rukun dan Syarat Jual Beli........................................... 22
5. Macam-macam Jual Beli .............................................. 29
6. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam ............................ 31
7. Hikmah dan Tujuan Jual Beli ....................................... 35
B. Ketentuan „urf .................................................................... 37
1. Pengertian „Urf ............................................................. 37
2. Dasar Hukum „Urf ........................................................ 38
3. Macam-Macam „Urf ..................................................... 40
-
xi
4. Syarat-Syarat „Urf ......................................................... 42
5. Kehujjahan „Urf ............................................................ 44
C. Ketentuan Harga Dalam Jual Beli ..................................... 45
1. Penetapan Harga .......................................................... 45
2. Sistem Pembayaran ..................................................... 47
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG DESA TEGALARUM
KECAMATAN MRANGGEN KABUPATEN DEMAK
A. Gambaran Umum Masyarakat Desa Tegalarum
Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak ......................... 49
1. Keadaan Geografis ....................................................... 49
2. Keadaan Demografis .................................................... 50
3. Kondisi Sosial Budaya ................................................. 50
4. Kehidupan Keagamaan ................................................ 51
5. Kondisi Pendidikan ...................................................... 52
B. Praktek Jual Beli di Desa Tegalarum Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak ............................................ 54
1. Praktek jual beli di Desa Tegalarum Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak ...................................... 54
2. Akad ............................................................................. 56
3. Manfaat dan Kerugian Praktek Jual Beli Bagi
Kehidupan Masyarakat Desa Tegalarum ..................... 57
C. Faktor Terjadinya Jual Beli dengan Sistem Dua Harga ..... 58
D. Jangka Waktu Terjadinya Penambahan Harga .................. 59
E. Tanggapan Masyarakat Desa Tegalarum Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak ............................................ 60
BAB IV ANALISIS TERHADAP JUAL BELI PAKAN LELE DI
DESA TEGALARUM KECAMATAN MRANGGEN
KABUPATEN DEMAK
A. Analisis terhadap praktek jual beli pakan lele dengan
sistem dua harga di desa tegalarum ..................................... 63
-
xii
B. Analisis tanggapan masyarakat tentang praktek jual beli
dengan sistem dua harga di desa tegalarum ......................... 65
C. Analisis faktor terjadinya jual beli dengan sistem dua
harga di desa tegalarum ....................................................... 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 73
B. Saran ................................................................................... 74
C. Penutup ............................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain. Setiap hari manusia bergantung pada orang
lain untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa terkecuali kehidupan dunia
akhirat. Sistem Islam ini berusaha menggabungkan nilai-nilai ekonomi yang
dilakukan oleh manusia dengan akidah. Artinya kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh manusia dibangun dengan nilai materalisme dan
spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai
materi, akan tetapi terdapat sandaran spiritual sehingga akan bernilai ibadah.
Manusia dalam mempertahankan hidupnya diberi kebebasan dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebebasan merupakan unsur dasar
manusia dalam mengatur dirinya dalam memenuhi kebutuhan yang ada.
Namun kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan manusia lain. Bila antar
manusia melanggar batas kebutuhan antara sesamanya, maka akan terjadi
konflik. Bila terjadi hal ini maka manusia akan kehilangan peluang untuk
mendapatkan kebutuhan yang diharapkan. Keterbatasan kebebasan manusia
ini menyebabkan bertemunya antara kebutuhan satu dengan kebutuhan lain,
yang akhirnya menimbulkan pemikiran batas kerugian seminimal mungkin
untuk mendapatkan keinginan semaksimal mungkin dari segala aktivitas
yang berkaitan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.1
Setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat memiliki kepentingan
terhadap orang lain, sehingga menimbulkan hubungan antara hak dan
kewajiban. Setiap orang mempunyai hak yang wajib diperhatikan oleh
orang lain dan dalam waktu yang sama juga menuntut kewajiban yang wajib
ditunaikan. Hubungan hak dan kewajiban itu diatur dalam kaidah-kaidah
hukum yang bertujuan untuk menghindari terjadinya bentrokan berbagai
1 Heri sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta:
ekonisia, 2002, hlm.1.
-
2
kepentingan. Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hak dan
kewajiban dalam kehidupan baermasyarakat itu disebut dengan muamalah.2
Islam menentukan aturan-aturan seperti rukun, syarat, batal dan sahnya
jual beli yang harus di penuhi dalam mengadakan jual beli. Semua itu dapat
ditemukan dalam kajian kitab-kitab fiqih. Oleh karena itu dalam prakteknya
harus dikerjakan secara benar, konsisten dan dapat memberi manfaat pada
yang bersangkutan.
Prinsip Islam dalam pengaturan transaksi ekonomi sangat tegas seperti
melarang praktek penipuan, eksploitasi dalam berbagai bentuk bidang
usaha, termasuk usaha jual beli. Juga melarang sikap ketidakjujuran,
pemerasan dan semua bentuk usaha maupun perbuatan yang merugikan
orang lain. Ketentuan dimaksudkan agar perilaku ekonomi pada setiap
aktivitasnya selalu dalam bingkai syari‟at, sehingga setiap pihak akan
merasakan kepuasan dalam berusaha terjalin kemaslahatan umum. Pada
dasarnya segala kegiatan muamalah itu diperbolehkan hingga ada dalil yang
melarangnya, hal ini selaras dengan kaidah fiqih:
َد لىياٌلَاَ َي ُدلى ب اح ُةَح َّتى َالاُمع ام ل ةىَا ْلاى ع ل ىََت ارىْياىه اْلا صاُلَِفى Artinya: “hukum asal dalam muamalah adalah kebolehan sampai ada
dalil yang menunjukkan keharamannya”.3
Masalah muamalah senantiasa berkembang di dalam kehidupan
masyarakat. Salah satu bidang muamalah yang disyariatkan oleh Allah Swt
adalah jual beli. Jual beli merupakan salah satu kegiatan yang telah
memasyarakat di kalangan umat manusia. Agama Islam telah memberi
peraturan dan dasar yang cukup jelas dan tegas. Seperti yang telah di
ungkapkan para ulama‟ baik mengenai rukun, syarat maupun bentuk jual
beli yang diperbolehkan maupun yang tidak diperbolehkan.
Jual beli merupakan salah satu cabang dari muamalah, yang definisinya
menurut Sayyid Sabiq ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling
merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.4
2 Ahmad Azhar Basir, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press,
2004, hlm.11. 3 A. Djazuli, kaidah-kaidah Fikih, Jakarta: Prenada Media Group, 2007, hlm.10.
-
3
Transaksi bisnis merupakan hal yang amat diperhatikan dan dimuliakan
Islam. Perdagangan yang jujur amat disukai oleh Allah dan Allah akan
memberikan rahmat-Nya kepada orang yang berbuat demikian. Segala
bentuk perdagangan dan bisnis haruslah dilakukan dengan penuh kejujuran
dan saling menghormati tidak boleh ada yang menipu.5
Salah satu fenomena yang terjadi di Desa Tegalarum Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak, adalah para peternak lele melakukan
transaksi jual beli pakan lele dengan dengan penentuan harga yang berbeda
pada barang yang sama. Penentuan perbedaan harga tersebut di pengaruhi
oleh waktu pembayaran, yakni cash dan menggunakan tempo. Ketika pakan
tersebut dibeli dengan sistem cash maka harganya sebagaimana harga pasar
pada umumnya ialah Rp. 200.000 per karung, akan tetapi berbeda harganya
ketika dibayar pada saat peternak tersebut memanen ikan lele, maka harga
pakan tersebut akan lebih mahal dari harga pasar pada umumnya, yaitu Rp.
250.000 sampai Rp. 300.000.
Model jual beli dengan menggunakan tempo masa panen yang harganya
lebih mahal dari harga cash seperti ini dilakukan oleh orang yang
kekurangan modal. Mereka memandang bahwa jual beli dengan
menggunakn tempo panen meringankan beban mereka dari pada secara
cash. Jual beli semacam ini termasuk jual beli fasid, salah satunya
dikarenakan bergantung pada syarat, sebagaimana ungkapan:”jika cash
maka harga perkarung adalah Rp. 200.000 sedangkan jika pembayaran
ditangguhkan sampai masa panen maka harganya mencapai Rp.250.000
sampai Rp. 300.000.
Praktek jual beli ini pernah di singgung Nabi Saw, sebagaimana sabda
Rasulullah berikut:
4 Sayid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Jilid 3, Kairo: Dar al Fath, 1995, hlm.147.
5 Hammudah Abdalati, Islam Suatu Kepastian, ter. Nasmay lafita Anas, Jakarta:
Media Dakwah, cet. 1, hlm. 281-282.
-
4
َاأ ََنَاعَ َوَ َرَامَ عََُنَابىََدَامَ ُمَ َنَااَعَ ي َرَىك َز ََنَابىََيَ ي َاَنَاعَ َاأ ََنَاعَ َةَامَ لَ سَ َبى َيَ ضَىرَ َة َرَ ي اَرَ ىََُبىَىت َ عَ ي َاب َ َاغَ ب ََنَا:َمَ مَالَ سَ َوَ َوَىياَلَ عَ َاللَُىَلَ صَ َاللَىَلَُوَاسَُرَ َالَ :َقَ الَ قَ َوَُناَعَ َاللَُ َاَيا َفى
ا.َ)رواهَأبَداود(ربَ الَىَوَااَأَ مَ هَُسَُكَ واَأ ََوَُلَ ف َ َةَ عَ ي َاب َ Artinya: “Dari yahya bin zakariya, dari muhammad bin umar, dari abi
salamah, dari abu hurairah r.a ia berkata: Rasulullah Saw
bersabda: barang siapa yang melakukan dua transaksi jual
beli dalam satu transaksi maka baginya kerugian atau riba.
(HR. Abu Dawud)
Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat, pendapat pertama, bahwa
jual beli yang bayarnya tidak secara kontan atau menggunakan tempo dan
lebih mahal dari harga pasaran pada hari penjualan hukumya haram karena
di dalamnya terdapat unsur riba Nasi‟ah (memperlambat bayaran dengan
harga tinggi sebagai imbalan waktu). Ulama Syafi‟iyah, Hanafiyah, Zaid bin
Ali dan jumhur ulama membolehkan. Alasan mereka adalah makna dari
hadis yang menunjukkan kebolehan seseorang memilih yang paling ringan
antara membayar secara kontan dengan harga pasar atau membayar secara
tempo dengan bayaran lebih.6
Jual beli pakan lele yang ada di Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen
Kabupaten Demak dengan sistem dua harga merupakan adat budaya
setempat, yang sudah berlangsung sejak lama. Fenomena ini menunjukkan,
interaksi sosial dalam masyarakat, baik yang berkaitan dengan kegiatan
religius atau aktifitas sosial akan selalu dilingkupi oleh tradisi dan doktrin
agama yang satu sama lain saling mengisi.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengetahui lebih jelas
dan mendalam mengenai praktek jual beli pakan lele sebagai bahan dalam
sebuah karya tulis ilmiah yang berjudul”Analisis Terhadap Praktek Jual Beli
Pakan Lele di Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak”.
6 Nasrudin Rusli, Konsep Ijtihad al Syaukani, Jakarta: Logos, cet. 1, 1999, hlm.
188-189.
-
5
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tanggapan masyarakat di Desa Tegalarum Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak tentang praktek jual beli pakan lele
dengan sistem dua harga?
2. Faktor apa saja yang mendorong praktek jual beli pakan lele dengan
sistem dua harga di Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten
Demak?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Adapun tujuan dari penulisan ini antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat di Desa tegalarum Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak tentang praktek jual beli pakan lele dengan
dua harga.
2. Untuk mengetahui faktor yang mendorong praktek jual beli pakan lele
dengan dua harga di Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten
Demak.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:
a. Hasil penelitian ini akan menambah khazanah wacana keilmuan dalam
bidang muamalah khususnya yang berhubungan dengan jual beli.
b. Melalui penelitian ini akan dapat diketahui kedudukan dan status hukum
jual beli pakan lele dengan sistem dua harga di Desa Tegalarum
kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.
c. Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan pengembangan penelitian lain
yang memusatkan kajian muamalah khususnya tentang jual beli.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian-penelitian tentang jual beli telah ada dan dilaksanakan
sebelum penelitian ini. Untuk menghindari adanya kesamaan (plagiasi) dan
sebagai penegasan perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya,
berikut ini akan dipaparkan hasil-hasil penelitian terdahulu, antara lain:
-
6
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Durrotun Nafisah
(102311024) Jurusan Muamalah Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang (2014) dengan judul “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Jual Beli Sistem Tebasan (Studi Kasus Jual Beli Cengkeh di Desa
Sidoharjo Kecamatan Bawang Kabupaten Batang)”. Hasil penelitian ini
adalah praktek jual beli cengkeh sistem tebasan yang ada di Desa Sidoharjo
ada dua macam, yaitu tebasan pangkasan dan tebasan wohan. Tebasan
pangkasan adalah sistem tebasan dimana akad jual beli terjadi saat pohon
cengkeh sudah menunjukkan gatra. Tebasan wohan yaitu akad jual beli
dimana pohon cengkeh ditebaskan untuk beberapa kali wohan dengan
ketentuan apabila pohon cengkehnya berbuah sedikit maka penebas
diperbolehkan untuk tidak memanennya dan akan mendapat konpensasi
untuk memanen pada musim selanjutnya. Dalam jual beli sistem tebasan
yang ada di Desa Sidoharjo ini tidak mengandung unsur gharar yang ada
hanyalah resiko kerugian kecil. Resiko merupakan hal yang lumrah dalam
jual beli karena resiko datang di luar kehendak manusia. Dalam jual beli
tersebut penebas maupun pemilik pohon juga mengaku saling ridha.
Penebas merupakan orang yang ahli, sehingga perkiraan mereka selalu
benar dan jarang sekali salah. Praktek jual beli juga sudah menjadi
kebiasaan penduduk Desa Sidoharjo yang selalu berjalan setiap tahunnya
dan tidak pernah ada masalah baik sebelum dilakukannya kesepakatan atau
sesudah terjadinya kesepakatan. Jual beli cengkeh dengan sistem tebasan
yang terjadi di Desa Sukoharjo sah menurut Hukum Islam karena sudah
sesuai dengan rukun dan syarat jual beli.7
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Durrotun Na‟mah (102311021)
Jurusan Mu‟amalah Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang (2014) dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek
Jual Beli Ikan di dalam Blung (Studi Kasus di TPI Desa Ujung Batu, Kec.
Jepara, kab. Jepara)”. Berdasarkan hasil penelitian bahwa praktek jual beli
7 Durrotun Nafisah dengan judul, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli
Sistem Tebasan (Studi Kasus Jual Beli Cengkeh di Desa Sidoharjo Kecamatan Bawang
Kabupaten Batang”, (Skripsi: Syari‟ah UIN Walisongo Semarang, 2014).
-
7
ikan di dalam blung tersebut meski menghandalkan perkiraan saja dalam
menaksir ikannya, pembeli merupakan orang yang sudah ahli dan
berpengalaman dalam hal itu sehingga perkiraan mereka selalu benar dan
jarang sekali salah. Walaupun terkadang perkiraannya meleset, melesetnya
merupakan resiko yang ada dalam jual beli. Jadi dapat disimpulkan bahwa
praktek jual beli ikan di dalam blung yang terjadi di TPI di Desa Ujung
Batu, Kec Jepara, Kab Jepara diperbolehkan menurut hukum Islam karena
sudah memenuhi syarat dan rukun dalam jual beli. Dan jual beli ini tidak
termasuk jual beli yang mengandung unsur gharar yang ada hanya resiko
dan kerugian yang kecil. Jual beli ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat
setempat dan yang terpenting dari itu adalah dalam jual beli ikan di dalam
blung sudah saling ridha antara penjual dan pembeli.8
Ketiga, penelitian yang dilalkukan Milatul Habibah (052311103)
Jurusan Mu‟amalah Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang (2011) dengan judul “Studi Analisis Hukum Islam
Terhadap Jual Beli Padi yang Ditangguhkan pada Tingkat Harga Tertinggi
(Studi Kasus di Desa Ringin Kidul Gubug Grobogan)”. Hasil penelitian ini
berkesimpulan bahwa dalam pelaksanaan jual beli dengan sistem
penangguhan harga nyatanya sudah menjadi al-„adah masyarakat Desa
Ringin Kidul Kec. Gubug, Kab. Grobogan. Penangguhan waktu
pembayaran sebenarnya di perbolehkan dalam hukum islam, Imam Syafi‟i
dalam kitabnya al Umm jilid IV menjelaskan diperbolehkan penangguhan
waktu akan tetapi waktu dalam batasan yang jelas. Sedang dalam perjanjian
jual beli padi yang dilakukan antara penjual dan pembeli terdapat rukun
yang tidak terpenuhi, yaitu batalnya akad karena ketidak ridhaan dari
pembeli. Kemudian dalam hal pembayaran yang harus ditangguhkan pada
tingkat harga tertinggi, yang belum diketahui besarannya. Jual beli semacam
itu menimbulkan kerugian pada pihak pembeli, serta mengandung unsur
gharar, yaitu tidak adanya kepastian yang berakibat pada resiko penipuan.
8 Durrotun Na‟mah dengan Judul,”Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Jual
Beli Ikan di dalam Blung, (Studi Kasus di TPI Desa Ujung Batu, Kec. Jepara, Kab.
Jepara)”, (Skripsi: Syari‟ah UIN Walisongo Semarang 2014).
-
8
Dalam bermu‟amalah, hukum Islam tidak memperbolehkan jual beli yang
mengandung gharar, karena hal itu berarti merugikan salah satu pihak.9
E. METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian adalah usaha untuk menemukan, menggambarkan,
dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Yang mana dilakukan dengan
menggunakan metode ilmiah.10
Adapun mengenai metode penelitian yang
akan digunakan penulis dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu
penelitian yang objeknya mengenai gejala-gejala atau peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada kelompok masyarakat. Sehingga penelitian
ini juga bisa disebut penelitian kasus atau studi kasus dengan
pendekatan deskriptif –kualitatif.11
Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang
diselidiki.12
Sedangkan pendekatan kualitatif bertujuan untuk
menghasilkan data deskriptif pada data yang disajikan berupa kata-
kata.13
2. Sumber data
Data adalah sekumpulan informasi yang akan digunakan dan dilakukan
analisa agar tercapai tujuan penelitian.14
Sumber data dalam penelitian
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Data primer
Data primer yaitu sumber utama yang berkaitan langsung dengan
obyek penelitian atau sumber data yang langsung memberikan data
9 Milatul Habibah dengan Judul,”Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli
Padi yang Ditangguhkan pada Tingkat Harga Tertinggi, (Studi Kasus di Desa Ringin Kidul
Grobogan)”, (Skripsi: IAIN Walisongo Semarang, 2011). 10
Cholid Narbuko, Metodologi Research, Semarang: Toha Putra, 1986, hlm.2. 11
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 1998, hlm.115. 12
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, hlm.63. 13
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004,hlm.3. 14
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian..., hlm.115.
-
9
kepada peneliti.15
Adapun sumber data primer dalam penelitian ini
adalah hasil wawancara dari pihak yang melakukan jual beli pakan
lele di Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang dijadikan sebagai pendukung data
primer yang harus diterima apa adanya oleh peneliti.16
Data ini
berfungsi sebagai pelengkap data primer. Data sekunder dalam
penulisan ini adalah data-data dan dokumen untuk memberikan
penjelasan-penjelasan terkait dengan pokok permasalahan yang
penulis bahas.
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar
untuk memperoleh data yang di perlukan. Metode yang digunakan
harus sesuai dengan obyek yang akan diteliti. Dalam penelitian
lapangan ini, penulis menggunakan beberapa metode:
a. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data dengan mengamati
kondisi yang ada di lapangan atau melihat langsung fakta yang ada
di lapangan.17
Observasi di lakukan untuk mencari data tentang
praktek jual beli pakan lele di Desa Tegalarum Kecamatan
Mranggen Kabupaten Demak.
b. Interview
Interview adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan
menggunakan percakapan langsung dengan sumber informasi
untuk memperoleh keterangan terkait praktek jual beli pakan lele di
Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.18
15
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung:
alfabeta, 2009, hlm. 225. 16
Sumadi suryabrata, Metode Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 1992, hlm. 20. 17
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2012, hlm.
65-66. 18
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1981,
hlm. 162.
-
10
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal yang ada
hubungannya dengan masalah yang hendak penulis kaji, berupa
catatan, notulen rapat, agenda dan data lain yang bersifat
dokumenter.19
Studi dokumentasi merupakan salah satu cara yang
dapat dilakukan peneliti kualitatif untuk mendapatkan gambaran dari
sudut pandang subyek melalui suatu media tertulis dan dokumen
lainnya yang ditulis atau dibuat langsung oleh subyek terkait.20
Dokumentasi yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu
bersumber dari data monografi Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen
Kabupaten Demak.
4. Analisis data.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan
dan bahan-bahan lain sehingga dapat dipahami dengan mudah dan
temuannya dapat di informasikan kepada orang lain.21
Metode dalam menganalisis data peneliti menggunakan metode
deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang digunakan untuk
menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat
penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala-
gejala tertentu.22
Data yang diperoleh akan di analisis dan dijabarkan
secara menyeluruh mengenai praktek jual beli sehingga mendapatkan
kesimpulan yang jelas.
Penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian normatif
empiris, yaitu penggabungan antara pendekatan hukum normatif
dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian
normatif empiris mengkaji mengenai pelaksanaan atau implementasi
19
Suharsimi Arikunto, prosedur penelitian..., hlm. 206. 20
Haris herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu sosial,
Jakarta: salemba humanika, 2012, hlm. 334. 21
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),
hlm. 91. 22
Conseula G. Sevilla, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press, 1993,
hlm.71
-
11
ketentuan hukum positif secara faktual pada setiap peristiwa hukum
tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Penelitian ini merupakan
penelitian lapangan.
Langkah – langkah untuk menganalisis data adalah sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Reduksi data dilakukan dengan cara memisahkan catatan antara data
yang sesuai dengan data yang tidak, berarti data itu dipilih pilih.
Data yang peneliti pilih-pilih adalah data dari hasil pengumpulan
data lewat metode observasi, metode wawancara dan metode
dokumenter.
b. Display Data
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa
dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar
kategori, dan sejenisnya. Menurut Miles and Huberman dalam
Sugiyono. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data
dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.
Data yang peneliti sajikan adalah data dari hasil pemilihan data,
maka data itu dapat disajikan seperti data bentuk transaksi jual beli
dengan dua harga.
c. Verifikasi Data
Verifikasi Data adalah upaya untuk mengartikan data yang
ditampilkan dengan melibatkan pemahaman peneliti. Kesimpulan
yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang
valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan
data, maka kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan yang
kredibel.
Data yang didapat merupakan kesimpulan dari berbagai proses
pengumpulan data kemudian dipilih-pilih data yang sesuai, disajikan,
setelah disajikan ada proses menyimpulkan, setelah menyimpulkan
data, ada hasil penelitian yaitu temuan baru berupa deskripsi yang
sebelumnya masih remang-remang tapi setelah diadakan penelitian
-
12
masalah tersebut menjadi jelas. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif
adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.23
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan skripsi ini pembahasannya terdiri dari lima bab dan
secara rinci sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab II berisi landasan teori tentang jual beli dan „urf. Pertama tentang
jual beli, meliputi pengertian, dasar hukum, syarat dan rukun, macam-
macam jual beli, dan jual beli yang dilarang. Kedua tentang „urf, meliputi
pengertian, dasar hukum, macam-macam, syarat-syarat dan kehujjahan „urf.
Bab III berisi tentang praktek jual beli pakan lele dengan sistem dua
harga di Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.
Meliputi profil Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak,
praktek jual beli pakan lele dengan sistem dua harga, pendapat ulama Desa
Tegalarum Tentang jual beli pakan lele dengan sistem dua harga, dan faktor
yang mendorong praktek jual beli pakan lele dengan sistem dua harga.
Bab IV berisi analisis terhadap praktek jual beli pakan lele dengan
sistem dua harga di Desa Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten
Demak. Meliputi analisis pendapat ulama di Desa Tegalarum tentang jual
beli pakan lele dengan sistem dua harga dan analisis faktor-faktor yang
mendorong praktek jual beli pakan lele dengan sistem dua harga di Desa
Tegalarum Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.
Bab V penutup berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
23
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif dilengkapi dengan Contoh
Proposal dan Laporan Penelitian, Bandung: Alfabeta, 2005, hlm.29.
-
13
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG JUAL BELI DAN ‘URF
A. Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata yaitu jual dan beli.
Sebenarnya kata jual dan beli mempunyai arti yang satu sama lainnya
bertolak belakang. Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan
menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli. Dengan
demikian, perkataan jual beli menunjukkan adanya dua perbuatan
dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak lain membeli.
Maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli.1
Secara bahasa al bai‟ (menjual berarti mepertukarkan sesuatu
dengan sesuatu). Ia merupakan sebuah nama yang mencakup pengertian
terhadap kebalikannya yakni al syira‟ (membeli). Demikian al bai‟
sering diterjemahkan dengan jual beli.2
Pengertian jual beli menurut bahasa adalah menukarkan sesuatu
dengan sesuatu.3 Dari sumber yang lain menyebutkan bahwa pengertian
penjual adalah memberikan sesuatu karena ada pemberian (imbalan
yang tertentu).
Menurut Imam Taqiyuddin, jual beli adalah tukar menukar harta,
saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab kabul, dengan
cara yang sesuai dengan syara‟.4
Menurut Hendi Suhendi jual beli adalah suatu perjanjian tukar
menukar barang atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela
diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak
1 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000,
hlm.128 2 Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Mu‟amalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm.119 3 Idris Ahmad, Fiqih Menurut Mazhab Syafi‟i, Jakarta: Widjaya, 1969, hlm. 5.
4 Imam Taqiyuddin, Kifayat Al-Ahyar, Indonesia: Daar Ihyak Al-Kutub al-
Arabiyah, t.th, hlm. 239.
-
14
lain yang menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang
telah dibenarkan syara‟ dan disepakati.5
Menurut Hasbi as-Shiddiqy, jual beli adalah akad yang tegak atas
dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak milik
secara tetap.6
Ayyub Ahmad, Jual beli adalah menukar suaru barang dengan
barang yang lain atau penukaran barang dengan uang dengan cara
tertentu.7
Rahmat Syafei, mendefinisikan bahwa secara etimologi jual beli
diartikan :
ْيئ ْيئ بِالشَّ ُمَقابَ َلُة الشَّArtinya: Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain).
8
Kata lain dari al bai‟ adalah al syira‟, al mubadalah dan al tijarah.
Adapun jual beli menurut terminologi para ulama berbeda dalam
mendefinisikannya antara lain:
Menurut ulama Hanafiyah
ُمَقابَ َلُة َماٍل ِبَاٍل َعَلى َوْجٍو ََمُْصوصٍ Artinya: Pertukaran harta (benda) dengan harta dengan aturan
khusus (yang diperbolehkan oleh syara‟).9
Imam nawawi dalam al majmu‟ menyampaikan definisi sebagai
berikut:
اَْلبَ ْيُع ُمَقابَ َلٌة َماٍل ِبَاٍل ََتِْلْيًكا Artinya: Al bai‟ adalah mempertukarkan harta dengan harta
dengan tujuan kepemilikan.
5 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo persada, 2002, hlm.
68. 6 Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang,
1974, hlm. 85. 7 Aiyub Ahmad, Fiqih Lelang, Jakarta: Kiswah. 2004, hlm. 37.
8 Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm.73
9 Ibid, hlm. 74
-
15
Ibn Qudamah menyampaikan definisi sebagai berikut:
اَْلبَ ْيُع ُمَقابَ َلٌة َماٍل ِبَاٍل ََتِْلْيًكا َو ََتَلًُّكاArtinya: Mempertukarkan harta dengan harta dengan tujuan
pemilikan dan penyerahan milik.10
Sedangkan jual beli menurut KUH Perdata adalah suatu perjanjian
dengan pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu
kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan, dan jual beli itu telah terjadi antara kedua belah pihak,
seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang
kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan ini belum
diserahkan, maupun harganya belum dibayar.11
Lebih sederhana lagi
didefinisikan oleh Nazar Bakry, dimana jual beli merupakan suatu
proses tukar menukar dengan orang lain yang memiliki alat tukar
(uang) secara langsung maupun tidak langsung atas dasar suka sama
suka.12
Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud jual beli adalah
sebagai berikut:
1. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan
jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas
dasar saling merelakan.
2. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai
dengan aturan syara‟.
3. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharuf)
dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara‟.
4. Tukar menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus
(diperbolehkan).
10
Ghufron A. Mas‟adi, op.cit., hlm.120 11
R. Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Edisi
Revisi, Jakarta: Pradnya Paramita, cet.ke 27, 2008, hlm.366. 12
Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994, hlm.58.
-
16
5. Penukaranbenda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan
atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara
yang dibolehkan.
6. Akad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka
jadilah penukaran hak milik secara tetap.13
2. Akad Jual Beli
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa yang
dimaksud dengan akad jual beli adalah perikatan ijab dan qabul antara
dua pihak atau lebih dalam aktifitas pertukaran barang yang menjadi
haknya dari salah satu pihak kepada pihak lainnya berdasarkan
ketentuan syara‟ yang berlaku. Secara jenisnya, akad jual beli termasuk
akad musamma karena jual beli termasuk salah satu kegiatan yang
disebutkan dalam syara‟.
Istilah akad jual beli terdiri dari tiga kata dengan dua istilah yang
dapat dijabarkan pengertiannya yakni akad dan jual beli. Akad secara
bahasa berasal dari bahasa arab dari kata al aqd yang berarti ikatan,
mengikat. Secara terminologi akad adalah pertalian antara ijab dan
qabul yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum
terhadap obyeknya. Ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau
pernyataan kehendak melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak,
biasanya pihak pertama. Sedangkan qabul ialah pernyataan atau
ungkapan yang menggambarkan kehendak pihak lain, biasanya
dilakukan pihak kedua. Menerima atau menyetujui pernyataan ijab.14
Akad secara etimologi adalah ikatan antara dua perkara, baik ikatan
secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari
dua segi.15
Menurut terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari
dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus. Secara umum
pengertian akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang
13
Syekh Abdurrahmas as Sa‟di, et al, Fiqih Jual Beli: Panduan Praktis Bisnis
Syari‟ah, Jakarta: Senayan Publishing, 2008, hlm. 143. 14
Ghufron A. Masadi, op. cit., hlm. 77 15
Rahmad Syafe‟i, op.cit., hlm. 43-44.
-
17
berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, thalak, pembebasan
atau sesuatu yang wujudnya membutuhkan keinginan dua orang, seperti
jual beli, perwakilan dan gadai. Secara khusus pengertian akad adalah
perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan
syara‟ yang berdampak pada obyeknya.
Akad menurut bahasa yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan
mengikat salah satunya dengan yang lain hingga bersambung, lalu
keduanya menjadi satu benda. Menurut istilah akad yaitu perikatan
antara ijab dan qabul yang dibenarkan syara‟ dan menetapkan
persetujuan kedua belah pihak.16
3. Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli pada dasarnya merupakan aktifitas muamalah yang
diperbolehkan oleh Allah. Legalitas jual beli ditegaskan Allah dalam
Q.S. Al-Baqarah ayat 275 berikut ini:
Artinya : “Orang-orang yang makan(mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orangyang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat). Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba). Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
16
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1998, hlm.26
-
18
urusannya (terserah) kepada Allah orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-
Baqarah:275).17
Ayat diatas jelas sekali bahwa Allah menghalalkan jual beli
diantara manusia namun tidak diperbolehkan jika terkandung riba
dalam jual beli tersebut. Selain larangan riba, jual beli yang
diperbolehkan oleh Allah adalah jual beli yang didasarkan pada aspek
suka sama suka antara pihak-pihak yang terlibat dalam jual beli.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman lainnya
yakni Q.S. An-Nisa‟ ayat 29 :
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”. (QS.An-Nisa‟:29)18
Ayat ini melarang manusia untuk melakukan perbuatan tercela
dalam mendapatkan harta. Allah melarang manusia untuk tidak
melakukan penipuan, kebohongan, perampasan, pencurian atau
perbuatan lain secara bathil untuk mendapatkan harta benda. Tetapi
diperbolehkan mencari harta dengan cara jual beli yang baik yaitu
didasari atas suka sama suka. Hal itu juga sesuai dengan hadis
Rasulullah SAW:
17
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an Depag RI, Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, Semarang: Al Waah, 1993, hlm.69. 18
Ibid., hlm.122
-
19
َوقُ تَ ْيَبُة َواْبُن ُحْجٍر قال ََيَْي ْبُن ََيَْي ْبُن اَيُّوَب َحَدثَ َنا ََيَْي ْبُن ََيَْي َاْحبَ َرنَا, وقال ااَلِحُروَن: َحَدثَ َنا ِاْْثَاِعُل ْبُن َجْعَفْر, َعْن َعْبِد اهلِل ْبِن
َُيْدَُع انَّوُ .م.ِديْ َناٍر اَنَُّو ََسََع اْبُن ُعَمَر يَ ُقوُل: ذََكَر َرُجٌل لَِرُسوِل اهلِل صَََكاَن ِف َلَبٌة ِِ ََ ََ ُقْل: اَل اْلبُ ُيِع, ََ َقَل رسول اهلل ص.م. مَمْن بَ يَ ْع
َيابَُة مروه مسلم ِِ ِاَذابَا َيَع يَ ُقوُل: اَل
Artinya: Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayub, Qutaibah, dan Ibnu
Hujr menyampaikan kepada kami, Yahya bin Yahya menggunakan
lafadz akhbarand, sedangkan para perawi lainnya menggunakan lafadz
haddatsana, dari ismail bin Ja‟far, dari Abdullah bin Dinar yang
mendengar Ibnu Umar berkata,”ada seorang laki-laki mengadu kepada
Rasulullah SAW. Karena dia telah dicurangi ketika melakukan jual
beli. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ucapkanlah Kepada
rekanmu dalam jual beli, “Tidak boleh ada penipuan”. Sejak saat itu,
apabila lelaki itu melakukan jual beli, dia selalu mengatakan “tidak
boleh ada kecurangan”. (HR. Muslim).19
Penjelasan yang dapat dipetik dari Hadist diatas adalah larangan
menyembunyikan aib atau cacat dan penipuan dalam jual beli
hukumnya haram walaupun bentuk dan caranya.
Keharusan saling meridhai dalam jual beli juga diterangkan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam salah satu haditsnya berikut ini:
رََج اْبُن ِحَباْن َواْبُن َماَجْو َعْنُو َصلَى اللَُّو َعَليْ ِْ َا اْلبَ ْيعُ َوَأ ِو َوَسَلَم ِإَّنَّ َعْن تَ َراٍض مرواه البيهقى وابن ماجو
Artinya : “Dan dikeluarkan dari Ibnu Hibban dan Ibnu Majah
bahwa Nabi SAW, sesungguhnya jual beli harus
dipastikan harus saling meridhai”. (HR. Baihaqi dan Ibnu
Majjah)20
19
Muslim bin al-hajj al-Qasyairini an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadist 4: Sahih
Muslim 2, Jakarta, 2012, hlm.10. 20
Muhammad bin Ismail Al-Kahlani As-San‟ani, Subul As-Salam, juz 3, Kairo:
Syirkah Maktabah Mustafa Al-Babi Al-Halabi,1950, hlm.4
-
20
Untuk menghindari adanya kedzaliman dalam perniaagaan antar
manusia, Allah juga memberikan anjuran kepada umat manusia untuk
melakukan pencatatan pada saat transaksi jual beli. Hal ini sebagaimana
diterangkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 282 :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
-
21
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua
oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (Qs. Al-
Baqoroh:282).21
Ayat di atas menjelaskan secara teknis bagaimana melakukan jual
beli yang benar. Sebagaimana diketahui jual beli merupakan transaksi
yang dilakukan oleh dua belah pihak untuk saling menukarkan barang.
Ada baiknya dalam melakukan perjanjian jual beli hendaknya perlu
menunjuk saksi atau bukti lain, dengan tujuan untuk memberikan saksi
atau pembuktian bahwa kedua belah pihak tersebut betul-betul telah
melakukan jual beli. Hal ini sangat penting dalam perbuatan muamalah
lainnya.
Jual beli walaupun merupakan akad, tetapi dalam pelaksanaanya,
para pihak yang melanggarnya dikenakan hukum-hukum agama karena
kegiatannya. Dan ketentuan hukum yang dapat dikenakan kepada para
pihak yang melakukan jual beli, yaitu:
21
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: Intermasa,
1986, hlm. 69.
-
22
1) Mubah (boleh), mubah merupakan hukum asal dari jual beli.
Artinya dapat dilakukan setiap orang yang memenuhi syarat.
2) Wajib, kalau seorang wali menjual harta anak yatim dalam keadaan
terpaksa. Hal ini wajib juga bagi seorang qadhi yang menjual harta
muhlis (orang yang banyak hutang dan melebihi harta miliknya).
3) Haram bagi jual beli barang yang dilarang oleh agama, melakukan
jual beli yang dapat membahayakan manusia. Misalnya menjual
minuman keras, narkoba dan lain-lain.
4) Sunnah kalau jual beli itu dilakukan kepada teman/ kenalan atau
anak keluarga yang dikasihi dan juga kepada orang yang sangat
memerlukan barang itu.22
Hukum dasar dalam muamalah ini, bahwa Allah mengharamkan
dalam kitabnya memakan harta batil. Aturan ini berlaku secara umum
untuk seluruh harta yang dimakan secara bathil dalam segala bentuk
transaksi seperti sumbangan atau harta yang diambil tanpa kerelaan
hati.
4. Rukun dan Syarat Jual Beli
Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun
adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,23
sedangkan
syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan
dilakukan.24
Menurut Satria Effendi M Zein, bahwa menurut bahasa
syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau
sebagai tanda,25
melazimkan sesuatu.26
Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala
sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut,
dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum,
22
Abdul Djamali, Hukum-Hukum Islam, Bandung: Bandar Maju, 1997, hlm.
158. 23
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, ed.ke-3, 2005, hlm. 966. 24
Ibid, hlm. 1114. 25
Satria Effendi M.Zein, Ushul Fiqh, Jakarta:Prenada Media,2005, hlm.64. 26
Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf,
1995, hlm.34
-
23
namun dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.27
Hal
ini sebagaimana dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf,28
bahwa syarat
adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada
keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh
ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah
keberadaan sacara syara‟ yang menimbulkan efeknya.
Hal senada dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, asy-syarth
(syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya
hukum. Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi
wujudnya syarath tidak pasti wujudnya hukum.29 Sedangkan rukun,
dalam terminologi fikih, adalah sesuatu yang dianggap menentukan
suatu disiplin tertentu, dimana ia merupakan bagian integral dari disiplin
itu sendiri atau dengan kata lain rukun adalah penyempurnaan sesuatu,
dimana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.30
Sebagai contoh, rukuk dan sujud adalah rukun shalat. Ia merupakan
bagian dari shalat itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam
shalat, maka shalat itu batal, tidak sah. Syarat shalat salah satunya
adalah wudhu. Wudhu merupakan bagian diluar shalat, tetapi dengan
tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak sah.
Perjanjian jual beli merupakan perbuatan hukum yang mempunyai
konsekuensi peralihan hak atas suatu barang dan pihak penjual kepada
pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum
haruslah dipenuhi rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli. Dengan
demikian adapun jenis dan obyek jual beli harus memenuhi rukun syarat
menurut syara‟.
27 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004, hlm. 50 28
Abd al Wahhab Khalaf, „Ilm Usul al Fiqh, Kuwait: Dar Al-Qalam, 1978, hlm.
118 29
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al Fikr al-„Arabi, 1958,
hlm. 59 30
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia,
Yogyakarta: Pilar Media, 2006, hlm. 25
-
24
Rukun jual beli ada tiga, yaitu:
1. aqid (penjual dan pembeli),
2. ma‟qud alaih (obyek akad),
3. shigat (lafadz ijab qabul).
a) Rukun jual beli yang pertama, yaitu adanya aqid (penjual dan
pembeli) yang dalam hal ini ada dua atau beberapa orang melakukan
akad, adapun syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad ialah:
1. Baligh dan berakal agar tidak mudah ditipu orang maka batal akad
anak kecil, orang gila dan orang bodoh, sebab mereka tidak pandai
mengendalikan harta, oleh karena itu anak kecil, orang gila dan
orang bodoh tidak boleh menjual harta sekalipun miliknya. „Illat
larangan tersebut ialah karena orang bodoh tidak cakap dalam
mengendalikan harta, orang gila dan anak kecil juga tidak cakap
dalam mengelola harta, maka orang gila dan anak kecil juga tidak
sah melakukan ijab dan qabul.31
2. Beragama islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-
benda tertentu, seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang
beragama islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan
merendahkan hamba yang beragama islam.32
3. Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa) dan disarari atas suka
sama suka.
4. Keadaannya tidak mubadzir (pemboros) karena harta orang yang
mubadzir itu ditangan walinya.
b). Rukun jual beli yang kedua yaitu ma‟qud alaih (obyek akad). yang
dimaksud ma‟qud alaih adalah obyek atau benda yang menjadi sebab
terjadinya jual beli.
Adapun Syarat-syarat benda yang menjadi obyek akad ialah:
1. Suci atau mungkin untuk disucikan, maka tidak sah penjualan
bukan benda-benda yang dikualifikasikan sebagai benda najis atau
31
Rachmat Syafei, fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm.75 32
Ibid, hlm. 76
-
25
sebagai benda yang digolongkan sebagai benda haram, seperti
anjing, babi dan yang lainnya tidak sah diperjualbelikan.
2. Memberi manfaat untuk syara‟, maka dilarang jual beli benda-benda
yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara‟, seperti
menjual babi, kala, cecak dan lainnya. Pengertian barang yang dapat
dimanfaatkan tentunya sangat relative. Sebab pada hakikatnya
semua barang yang dijadikan obyek jual beli merupakan barang
yang dapat dimanfaatkan. Seperti untuk dikonsumsi (beras, buah-
buahan, ikan, sayur mayor dan lain-lain). Dinikmati keindahannya
(hiasan rumah, bunga-bunga, dan lain-lain), dinikmati suaranya
(radio, televisi, dan lain-lain) serta dipergunakan untuk keperluan
yang bermanfaat seperti membeli anjing yang baru.
3. Jangan dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain, seperti: jika
ayahku pergi kujual motor ini padamu.
4. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan saya jual motor ini
kepada tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah,
sebab jual beli adalah salah satu sebab pemilikan secara penuh yang
tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara‟.
5. Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat, tidak sah menjual
binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi, barang-
barang yang sudah hilang atau barang yang sulit diperoleh kembali
karena samar, seperti seekor ikan jatuh ke kolam, maka tidak
diketahui secara pasti sebab dalam kolam tersebut terdapat ikan-
ikan yang sama.33
6. Milik sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak
seizin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi
miliknya.
7. Diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan harus dapat
diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran-ukuran
33
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002, hlm.72-73.
-
26
yang lainnya, maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan
keraguan salah satu pihak.
8. Jelas kadar dan wujudnya
Barang yang sedang dijualbelikan harus diketahui banyak, berat,
atau jenisnya. Demikian pula harganya harus diketahui sifat, jumlah
maupun masanya. Jika barang dan harga tidak diketahui atau salah
satu dari keduanya tidak diketahui, maka jual beli tidak sah karena
mengandung unsur penipuan.
c). Rukun jual beli yang ketiga, yaitu shigat (lafadz ijab qabul). Ijab dan
qabul terdiri dari qaulun (perkataan) dan fi‟lun (perbuatan). Qaulun
dapat dilakukan dengan lafal sharih (kata-kata yang jelas) dan lafal
kinayah (kata kiasan/sindiran).
Lafal sharih ialah jual beli yang tidak mengandung makna selain
dari jual beli. Misalnya: saya menjual kepadamu ini barang dengan
harga sekian, dan kemudian dijawab saya membelinya dari kamu
dengan harga sekian.34
Lafal kinayah ialah lafal yang disamping menunjukkan makna jual
beli juga dapat menunjukkan kepada arti selain jual beli. Misalnya
perkataan penjual saya memberi kamu baju ini dengan baju itu atau saya
memberi kamu itu dengan itu. Lafal memberi tersebut dapat
mengandung makna jual beli dan makna pinjam meminjam. Apabila
lafal tersebut dimakasudkan jual beli, niat kinayah sah.
Apabila kinayah tersebut disertai penyebutan harga, maka lafal
kinayah tersebut menjadi lafal sharih. Misalnya saya beri kamu rumah
ini dengan uang pengganti seratus dinar. Lafal memberi tersebut apabila
tidak disertai penyebutan harga, maka menunjukkan makna hibah, tetapi
jika disertai penyebutan harga seperti diatas maka menunjukkan makna
jual beli. Demikian juga setiap kata yang mempunyai makna tamlik
apabila disertai penyebutan harga, maka lafal tersebut menjadi lafal
sharih.35
34
Abd al-Rahman al –Jaziri, op.cit, hlm.325 35
Ibid, hlm. 326
-
27
Adapun ungkapan berupa perbuatan adalah berwujud serah terima
yaitu menerima dan menyerahkan dengan tanpa disertai sesuatu
perkataanpun. Misalnya: seseorang membeli sesuatu barang yang
harganya sudah dia ketahui, kemudian pembeli menerimanya dari
penjual dan pembeli menyerahkan harganya kepada penjual, maka dia
pembeli sudah dinyatakan memiliki barang tersebut karena pembeli
telah menerimanya. Sama saja barang itu sedikit (barang kecil) seperti
roti, telur dan yang sejenisnya menurut adat dibelinya dengan sendiri-
sendiri, maupun berupa barang yang banyak (besar) seperti baju yang
berharga.36
Ungkapan berupa perbuatan merupakan cara lain untuk membentuk
akad dan paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya,
seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang; kemudian penjual
menyerahkan barang kepada pembeli. Cara ini disebut jual beli dengan
saling menyerahkan harga dan barang atau disebut juga mu‟athah.
Demikian pula ketika seseorang naik bus menuju ke suatu tempat,
tanpa kata-kata atau ucapan penumpang tersebut langsung menyerahkan
uang seharga karcis sesuai dengan jarak yang ditempuh. Selanjutnya,
dalam dunia modern sekarang ini, „aqad jual beli dapat terjadi secara
otomatis dengan menggunakan mesin. Dengan memasukkan uang ke
mesin, maka akan keluar barang sesuai dengan uang yang dimasukkan.
Demikian juga, pembelian barang dengan menggunakan credit card
(kartu kredit), transaksi dengan pihak bank melalui mesin otomatis, dan
sebagainya.
Perlu dicatat bahwa yang terpenting dalam cara mu‟athah ini, untuk
menumbuhkan akad maka jangan sampai terjadi pengecohan atau
penipuan. Segala sesuatu harus diketahui secara jelas; atau transparan.
Suatu „aqad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam
akad jual beli, misalnya akad dipandang telah berakhir apabila barang
telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik
36
Ibid, hlm. 319
-
28
penjual. Sedangkan akad dalam pegadaian dan kafalah (pertanggungan)
dianggap telah berakhir apabila utang telah dibayar.37
Dalam literatur fiqih mu‟amalah terdapat pengertian ijab dan qabul
dengan berbagai rumus yang bervariasi namun intinya sama. Misalnya
dalam buku fiqih muamalah susunan Hendi Suhendi dijelaskan bahwa
ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang
berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad,
sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula,
yang diucapkan setelah adanya ijab.38
Menurut Madzhab Hanafi, ialah
sesuatu yang keluaar pertama kali dari salah satu dari dua orang yang
mengadakan akad. Baik dari penjual, seperti ucapan: saya membeli
barang ini dengan harga seribu, kemudian penjual menjawab: barang itu
aku jual kepadamu. Sedangkan qabul ialah sesuatu yang keluar kedua
(sesudah ijab).39
Ungkapan dalam akad jual beli, adalah ijab dan qabul, ijab adalah
ucapan yang diucapkan oleh penjual, sedangkan kabul adalah ucapan
setuju dan rela yang berasal dari pembeli.40
Sedangkan dalam pengertian
lain, ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan
keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan
maupun yang menerima, sedangkan kabul adalah orang yang berkata
setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas
ucapan orang pertama.41
Dari rumusan-rumusan diatas dapat disimpulkan bahwa ijab adalah
suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan
37
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),
Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm. 65 38
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002,
hlm. 47. 39
Abdul Rahman al Jaziri, Al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, juz 2, Kairo:
Muassasah al Mukhtar, 2000, hlm. 120. 40
Muhammad, Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi
Islam, Yogyakarta: BPFE, 2004, hlm. 155 41
Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, bandung: Pustaka setia, 2004, hlm. 45.
-
29
menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak
pertama.
Dari sekian syarat dan rukun jual beli, baik dari segi orang yang
menjalankan akad (aqidain), maupun barang yang dijadikan obyek akad
harus terpenuhi, sehingga transaksi jual beli itu sah sebagaimana
ketentuan yang digariskan oleh syari‟at islam. Demikian pula sebaliknya
akan dianggap sebagai transaksi yang fasid apabila jual beli tersebut
tidak terpenuhi syarat dan rukunnya.
5. Macam-macam Jual Beli
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat dibagi
menjadi tiga bentuk sebagai berikut :
1) Jual beli benda yang kelihatan
2) Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji
3) Jual beli benda yang tidak ada.42
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad
barang yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli, hal ini
lazim dilakukan masyarakat, seperti membeli beras di pasar.
Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual
beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan pedagang, salam adalah untuk
jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti
meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga
tertentu, maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyerahan barang-
barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga
yang telah ditetapkan ketika akad.
Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli
yang dilarang dalam agama islam, karena barangnya tidak tentu atau
masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari
curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian
salah satu pihak.
42
Abu Bakar Ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayat Al Akhyar fii Halli Ghayatil
Ikhtishar Juz 2, Beirut-Libanon:Dar al Kutub al-Ilmiah, 1995, hlm. 329.
-
30
Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu:
1. Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan, yaitu akad yang
dilakukan oleh kebanyakan orang, bagi orang bisu diganti dengan
syarat yang merupakan pembawaan alami dalam menampakkan
kehendak, dan yang dipandang dalam akad adalah maksud atau
kehendak dan pengertian bukan pembicaraan atau pernyataan.
2. Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan atau
surat menyurat. Jual beli seperti ini sama dengan ijab qabul dengan
ucapan, misalnya via pos dan giro. Jual beli ini dilakukan antara
penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majlis akad, tetapi
melalui pos dan giro. Jual beli seperti ini diperbolehkan oleh syara‟.
Dalam pemahaman sebagian ulama, bentuk ini hampir sama dengan
bentuk jual beli salam, hanya saja jual beli salam antara penjual dan
pembeli saling berhadapan dalam satu majlis akad. Sedangkan dalam
jual beli via pos dan giro antara penjual dan pembeli tidak berada
dalam satu majlis.
3. Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan
istilah mu‟athah, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa
ijab dan qabul, seperti seseorang mengambil rokok yang sudah
dituliskan label harganya, dibandol oleh penjual dan kemudian
memberikan uang pembayaran kepada penjual dan pembeli, menurut
sebagian ulama‟ Syafi‟iyah tentu hal ini dilarang, tetapi sebagian
lainnya seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli barang
kebutuhan sehari-hari dengan cara demikian, yaitu tanpa ijab qabul
terlebih dahulu.
Dari segi obyeknya jual beli dibedakan menjadi empat macam:
1. Jual beli barang dengan barang atau barter, barang yang ditukarkan
senilai dengan harganya.
2. Jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual
barang dengan tsaman (alat pembayaran secara mutlaq.
-
31
3. Jual beli mata uang (tsaman) atau pembayaran dengan alat
pembayaran yang lain, misal rupiah dengan dolar.
4. Jual beli salam, barang yang diakadkan bukan berfungsi sebagai
mabi‟ (barang yang dijual langsung) melainkan merupakan da‟in
(tanggungan) sedangkan uang yang dibayarkan sebagai tsaman, bisa
berupa „ain dan bisa berupa da‟in namun harus diserahkan sebelum
keduanya berpisah.
Jual beli semacam ini termasuk jual beli gharar, tidak
diperbolehkan karena barang yang dijual masih belum jelas dan belum
ada. Seperti menjual anak unta yang masih didalam kandungan.
6. Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam
Islam tidak mengahramakan perdagangan kecuali perdagangan
yang mengandung unsur kedzaliman, penipuan, eksploitasi, atau
mempromosikan hal-hal yang dilarang. Perdagangan khamr, ganja, babi,
patung dan barang-barang sejenis yang dikonsumsi, distribusi atau
pemanfaatannya diharamkan, perdagangannya juga diharamkan Islam.
Setiap penghasilan yang didapat melalui praktik itu adalah haram
dan kotor.43
Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya sebagai berikut:
1. Jual beli yang dilarang dan tidak sah
a. Barang yang dihukumi najis oleh agama, seperti anjing, babi,
berhala, bangkai dan khamar
b. Jual beli sesuatu yang tidak ada. Para ulama fiqh sepakat
menyatakan jual beli seperti ini tidak sah/batil. Misalnya
memperjual belikan buah-buahan yang putiknyapun belum muncul
di pohonnya atau anak sapi yang belum ada, sekalipun di perut
ibunya telah ada.44
c. Jual beli anak binatang yang masih dalam perut induknya, jual beli
seperti ini dilarang, karena barangnya belum ada dan tidak tampak.
43
Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam Islam, Solo, Era Intermedia, 2000, hlm.
204. 44
Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm. 122
-
32
d. Jual beli dengan muhaqalah, haqalah mempunyai arti tanah, sawah
dan kebun, maksud muhaqalah disini ialah menjual tanam-tanaman
yang masih di ladang atau di sawah, hal ini dilarang agama, sebab
ada persangkaan riba didalamnya.
e. Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang
belum pantas untuk dipanen, seperti menujual rambutan yang
masih hijau, mangga yang masih keci-kecil dan yang lainnya. Hal
ini dilarang karena barang tersebut masih samar, dalam artian
mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup angin kencang atau yang
lainnya, sebelum diambil oleh si pembeli.
f. Jual beli dengan mulamasah, yaitu jual beli secara sentuh
menyentuh, misalkan seseorang menyentuh sehelai kain dengan
tangannya diwaktu malam atau siang hari, maka orang yang
menyentu berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarang
karena mengandung tipuan dan kemungkinan akan menimbulkan
kerugian bagi salah satu pihak.
g. Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar
melempar, seperti seseorang berkata; “lemparkanlah kepadaku apa
yang ada padamu, nanti kulemparkan pula padamu apa yang ada
padaku”, setelah terjadi lempar-melempar, maka terjadilah jual
beli, hal ini dilarang karena mengandung tipuan adan tidak ada ijab
dan kabul.
h. Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah
dengan buah yang kering, seperti menjual kering denga bayaran
padi basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo, maka akan
merugikan pemilik padi kering. Hal ini dilarang oleh Rasulullah
SAW.
i. Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan,
menurut Syafi‟i penjualan seperti ini mengandung dua arti, yang
pertama seperti seseorang berkata; “kujual buku ini seharga Rp
2000,- dengan tunai atau Rp 5000,- dengan cara hutang”. Arti
-
33
kedua ialah seperti seseorang berkata; “aku jual buku ini padamu
dengan syarat kamu harus menjual tasmu padaku”
j. Jual beli degan syarat (iwadh majhul), jual beli seperti ini hampir
sama dengan jual beli dengan menentukan dua harga, hanya saja
disini dianggap sebagai syarat, seperti seseorang berkata; “aku jual
rumahku yang butut ini kepadamu dengan syarat kamu mau
menjual mobilmu padaku”.
k. Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga kemungkinan
adanya penipuan, seperti penjualan ikan yang masih dalam kolam
atau menjual kacang tanah yang atasnya kelihatan bagus tapi
dibawahnya jelek. Penjualan seperti ini dilarang.
l. Jual beli secara najasy (propaganda palsu), yaitu menaikkan harga
bukan karena tuntutan semestinya, melainkan hanya semata-mata
untuk mengelabuhi orang lain (agar mau membeli dengan harga
tersebut).
m. Jual beli secara „arbun, yaitu membeli barang dengan membayar
sejumlah harga terlebih dahulu , sendirian sebagai uang muka.
Kalau tidak jadi diteruskan pembelian, maka uang itu hilang,
dihibahkan kepada penjual.45
n. Jual beli yang tidak transparan, setiap transaksi yang memberi
peluang terjadinya persengketaan, karena barang yang yang dijual
tidak transparan, atau ada unsur penipuan yang dapat
membangkitkan permusuhan antara dua belah pihak yang
bertransaksi.
o. Mejual kepada seseorang yang masih menawar penjualan orang
lainnya, atau membeli sesuatu yang masih ditawar orang lain.
Misalnya. “tolaklah harga penawaran itu, nanti aku membeli
dengan harga yang mahal” hal ini dilarang karena akan
menyakitkan orang lain.
45
Moch Anwar, Terjemah Fathul Mu‟in Jilid 1, Bandung: Sinar Algosindo,
1994, hlm. 792-793
-
34
p. Membeli dengan tawaran harga sangat tinggi, tetapi sebetulnya dia
tidak menginginkan benda tersebut, melainkan hanya bertujuan
supaya orang lain tidak berani membelinya.
q. Membeli sewaktu harganya sedang naik dan sangat dibutuhkan
oleh masyarakat, kemudian barang tersebut disimpan dan kemudian
dijual setelah harganya melambung tinggi.
r. Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat
maksiat oleh yang membelinya. Misalnya menjual buah anggur
kepada orang yang biasa membuat khamr dengan anggur tersebut.
s. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam
masa khiyar.
t. Menjual sesuatu yang haram adalah haram. Misalnya, jual beli
babi, khamr, makanan dan minuman yang diharamkan secara
umum, juga patung, lambing salib, berhala dan sejenisnya.
Pembolehan dalam menjual dan memperdagangkan berarti
mendukung praktik maksiat, merangsang orang yang
melakukannya, sekaligus mendekatka mereka kepadanya.
2. Jual beli yang dilarang tetapi sah
Ada beberapa macam jual beli yang dilarang oleh agama tetapi
sah hukumnya, cuma orang yang melakukannya mendapat dosa, jual
beli tersebut antara lain:
a. Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar, untuk
membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya,
sebelum mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga
setinggi-tingginya, perbuatan ini sering terjadi di pasar-pasar yang
berlokasi di daerah perbatasan antara kota dan kampung. Tapi bila
orang kampung sudah mengetahui harga pasaran, jual beli seperti
ini tidak apa-apa.
b. Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain. Seperti
seseorang berkata, tolaklah harga tawaran itu, nanti aku yang
membeli dengan harga yang lebih mahal. Hal ini di larang karena
akan menyakitkan orang lain.
-
35
c. Jual beli dengan najasyi, ialah seseorang menambah atau melebihi
harga temannya, dengan maksud memancing-mancing orang agar
orang itu mau membeli barang kawannya, hal ini dilarang agama.
d. Menjual di atas penjualan orang lain, umpamanya seseorang
berkata: kembalikan saja barang itu kepada penjualnya, nanti
barangku saja kau beli dengan harga yang lebih murah dari itu.46
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi
hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut
hukum dan batal menurut hukum, dari segi obyeknya dan dari segi
pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi tiga
bagian, dengan lisan, dengan perantara dan dengan perbuatan. Akad
jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang dilakukan oleh
kebanyakan orang, bagi orang yang bisu diganti dengan isyarat,
isyarat merupakan pembawaan alami dalam menampakkan kehendak,
yang di pandang dalam akad adalah maksud atau kehendak dan
pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.47
7. Hikmah dan Tujuan Jual Beli
Setiap hukum yang diatur oleh Allah Swt dan rasulnya mempunyai
rahasia-rahasia tersendiri. Rahasia itu bisa disebut dengan hikmah, yang
ada kalanya dapat dianalisis oleh manusia. Dan sebaliknya ada beberapa
ketentuan syari‟at yang tidak dapat dikaji dengan hikmah secara rasional.
Demikian pula hikmah yang terkandung dalam pengaturan dan
disyari‟atkan jual beli. Diantara hikmah-hikmah yang terkandung dalam
pelaksanaan jual beli adalah:
1. Dapat memenuhi kebutuhan manusia karena sesungguhnya manusia itu
membutuhkan apa yang dimiliki oleh kelompok lain atau kawannya.
Kadang-kadang transaksi itu tidak diberikannya tanpa di imbangi
dengan harga. Dengan demikian, disyari‟atkannya jual beli itu adalah
46
Hendi Suhendi, op. cit, hlm. 82. 47
Sayyid Sabiq, op. cit, hlm. 127
.
-
36
dapat melahirkan kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia sehingga
manusia terhindar dari perbuatan dosa.
2. Dapat mencegah manusia dari perbuatan saling menguasai dan
mengeksplotasi hak orang lain termasuk perbuatan yang diharamkan
oleh Allah Swt.
3. Dapat memperoleh harta secara halal.
4. Untuk melapangkan kehidupan manusia, karena setiap manusia
membutuhkan makanan, pakaian, dan sebagainya, namun kebutuhan itu
pada