ANALISIS STRUKTUR,PERILAKU DAN KINERJA...
-
Upload
phungtuyen -
Category
Documents
-
view
262 -
download
11
Transcript of ANALISIS STRUKTUR,PERILAKU DAN KINERJA...
ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI
LAMPUNG DAN JAWA BARAT
ANNA FITRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
saya yang berjudul
ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT
Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 8 Agustus 2006
Anna Fitriani Nrp. A.151020021
ABSTRAK
ANNA FITRIANI. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak Ayam di Propinsi Lampung dan Jawa Barat (HERMANTO SIREGAR sebagai ketua, dan ARIEF DARYANTO sebagai anggota Komisi Pembimbing).
Industri pakan ternak ayam sebagai penyedia pakan jadi bagi perusahaan
peternakan ayam memiliki posisi strategis di dalam pembangunan peternakan. Namun di dalam perkembangannya mengalami berbagai hambatan diantaranya sulitnya memperoleh bahan baku (raw material) di dalam negeri sehingga dibutuhkan impor. Perilaku seperti ini tentunya akan berdampak kepada kinerja industri pakan. Selain itu, adanya indikasi struktur industri pakan sekarang ini dikuasai oleh beberapa perusahaan besar dan membentuk oligopoli. Di sisi lain, ada keterkaitan yang kuat antara struktur, perilaku dan kinerja, dimana kinerja nantinya akan menentukan struktur industri selanjutnya. Akan tetapi, secara empiris belum ada data yang menginformasikan keterkaitan dari ketiga komponen tersebut, sehingga perlu dilakukan kajian secara komprehensif.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji perilaku bisnis industri pakan ternak ayam melalui analisis keterkaitan Structure – Conduct – Performance (Struktur – Perilaku – Kinerja), (2) menganalisis arah perkembangan industri pakan ternak ayam dan (3) merumuskan kebijakan bagi pemerintah dalam mendorong perkembangan industri pakan. Penelitian ini menggunakan data pooling yaitu gabungan time series dari tahun 1999 – 2003 dan cross section pada sembilan industri pakan di propinsi Lampung dan Jawa Barat, yang dianalisis melalui pendekatan ekonometrika. Model terdiri dari 17 persamaan struktural dan 3 persamaan identitas dan pendugaan parameter dilakukan dengan metode 2 SLS (Two Stage Least Squares).
Hasil pendugaan menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan erat antara struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak ayam dimana masuknya pesaing baru ke dalam industri mendorong perusahaan menekan biaya produksi melalui pengurangan penggunaan input bahan baku yang harganya relatif mahal dan susah didapat yaitu bungkil kedele. Perilaku biaya ini selanjutnya berdampak kepada efisiensi biaya dan harga output pakan. Selanjutnya harga pakan akan menarik perusahaan untuk masuk atau keluar dari industri. Apabila dilihat dari indikator rasio konsentrasi, struktur pasar pakan di propinsi Lampung cenderung mengarah ke pasar oligopoli, sementara di Jawa Barat mengarah ke persaingan monopolistik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario peningkatan permintaan lebih besar dampaknya terhadap industri pakan dibanding skenario peningkatan penawaran dan kenaikan harga input, terutama terkait efisiensi industri.
Perkembangan industri pakan ternak harus didukung dengan meningkatnya permintaan akan produk peternakan melalui peningkatan daya beli dan kesadaran masyarakat akan pentingnya protein asal ternak. Selain itu, penyediaan input berupa bahan baku penyusun pakan terutama bahan baku sumber protein alternatif pengganti bungkil kedele melalui kegiatan penelitian menjadi prioritas utama dalam mendorong perkembangan industri pakan ternak. Kata kunci : Industri pakan ternak, structure-conduct-performance, simultan.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI
LAMPUNG DAN JAWA BARAT
Oleh : ANNA FITRIANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
Judul Penelitian : Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak Ayam di Propinsi Lampung dan Jawa Barat
Nama Mahasiswa : ANNA FITRIANI
Nomor Pokok : A151020021
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, M.A. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 31 Juli 2006 Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Jambi pada tanggal 28 Oktober 1973, sebagai
anak ketiga dari enam bersaudara pasangan HM. Noer Mong, BE dan Hj. Kartini.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 15 Jambi pada tahun 1986. Pada
tahun 1989 lulus dari sekolah menengah SMPN 2 Jambi dan di tahun 1992
menamatkan sekolah menengah atas dari SMAN 1 Jambi.
Pada tahun itu juga penulis melanjutkan ke jenjang Sarjana di Program
Studi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Jambi dan
menamatkannya pada tahun 1998. Kemudian tahun 2002 penulis mendapat
beasiswa dari BPPS untuk meneruskan pendidikan Pascasarjana pada Program
Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 1999 penulis diangkat sebagai staf pengajar di Fakultas
Peternakan Universitas Jambi untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi dan
Tataniaga Pertanian pada Laboratorium Ekonomi dan Bisnis.
Penulis menikah dengan Ir. Saiful Helmi Pohan pada tahun 2001 dan telah
dikaruniai tiga orang putra, M. Imam Aqillah Pohan (4.5 tahun), Aulia Zuhdi
Makarim Pohan (2 tahun) dan Fajar Adhirajasa Pohan (7 bulan).
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
rahmat dan hidayahnya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini menyajikan
hasil penelitian penulis mengenai Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja
Industri Pakan Ternak Ayam di Propinsi Lampung dan Jawa Barat.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar,
MEc., sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Arief Daryanto, MEc.,
sebagai anggota, yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikirannya, serta
saran-saran dalam membimbing penulis mulai dari mempersiapkan proposal
sampai penyelesaian tesis ini.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS yang telah bersedia sebagai dosen
penguji luar komisi dan telah banyak memberikan saran dan masukan untuk
mempertajam tesis ini.
2. Rektor Universitas Jambi yang telah mengizinkan dan merekomendasikan
penulis untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian
Bogor.
3. Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi yang telah mengizinkan penulis
untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua
Program Studi serta segenap dosen pada program studi Ilmu Ekonomi
Pertanian Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan pengalaman.
5. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa
selama penulis kuliah di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
6. Rekan-rekan EPN 2002, khususnya kepada Ima Aisyah, Mimi, Dwi, Andre,
Bedi, Ardi, Adam, Aneng, Ujay, Endang, dan Elis yang telah banyak
memberikan semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan
tesis ini.
7. Ungkapan rasa sayang dan terima kasih yang mendalam kepada Papa, Mama,
Kakak Nita Sahara, Adik Neni Urfiani dan Chairunnisa serta Abang dan
Kakak Ipar, atas dorongan dan doanya bagi penulis.
8. Teristimewa kepada Suamiku tersayang, Saiful Helmi Pohan dan Anak-
anakku tercinta, yang telah setia dan sabar menemani penulis dan terus
memberikan dorongan dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan,
namun demikian penulis tetap berharap semoga dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2006
Anna Fitriani
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... vii
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 6
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. 11
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ............................. 12
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 14
2.1. Perkembangan Kebijakan Agribisnis Ayam Ras ........................ 14
2.2. Keterkaitan Agroindustri Pakan Ternak dengan Budidaya Ayam Ras .................................................................................... 18
2.3. Perkembangan Industri Pakan Ternak ……………................... 21
2.4. Permasalahan dan Tantangan Industri Pakan Ternak .................. 25
2.5. Kebijaksanaan Integrasi Vertikal ……………………………... 33
2.6. Pendekatan Ekonomi Kelembagaan Terhadap Perilaku Industri . . 37
2.7. Tinjauan Studi Terdahulu ........................................................... 40
2.7.1. Industri Pakan Ternak ...................................................... 40
2.7.2. Structure-Conduct-Performance ………........................... 43
III. KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................... 49
3.1. Kerangka Teoritis ......................................................................... 49
3.1.1. Permintaan Jagung dan Penawaran Pakan Ternak ........... 49
3.1.2. Analisa Perilaku Usaha ………….................................... 50
3.2. Kerangka Konseptual ................................................ 67
IV. METODE PENELITIAN ........................................................ 70
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 70
4.2. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 70
4.3. Spesifikasi Model ...................................................................... 71
4.3.1. Blok Struktur Industri …………………........................ 72
4.3.2. Blok Perilaku Industri ………….................................... 75
4.3.3. Blok Kinerja Industri ……….................................... 81
4.3.4. Elastisitas ………………………………………………. 88
4.4. Identifikasi Model ...................................................................... 89
4.5. Metode Estimasi ………………………………………………. 90
4.6. Validasi Model ………………………………………………… 90
4.7. Simulasi Dampak Kebijakan …………………………………. 91
V. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN INDUSTRI PAKAN TERNAK DI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ……………….... 93
5.1. Karakteristik Penggunaan Bahan Baku Pakan …......................... 93
5.2. Perkembangan Industri Pakan Ternak di Lampung dan Jawa Barat ......................................................................................... 98
5.3. Dampak Perkembangan Industri Pakan Ternak Ayam Terhadap Perkembangan Industri Perunggasan Nasional ………….. 105
VI. STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK ………………………………........................................... 108
6.1. Struktur Industri Pakan Ternak ................................................. 109
6.2. Perilaku Industri Pakan Ternak ................................................. 113
6.3. Kinerja Industri Pakan Ternak ...................................................... 122
6.4. Hubungan Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan …………………………….…………………………….. 128
VII. DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA ………………………. 132
7.1. Hasil Validasi Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak …………………………………………………. 132
7.2. Simulasi Dampak Perubahan Permintaan dan Penawaran Terhadap Industri Pakan Ternak ……………………………. 134
7.2.1. Dampak Peningkatan Permintaan Pakan Ternak ………. 134
7.2.2. Dampak Peningkatan Penawaran Pakan Ternak ……… 136
7.3. Simulasi Dampak Perubahan Harga Input Terhadap Industri Pakan Ternak …………………………………………………. 138
ii
7.3.1. Dampak Peningkatan Harga Bungkil Kedele …………… 138
7.3.2. Dampak Peningkatan Harga Jagung ………………….. 140
7.3.3. Dampak Peningkatan Upah …………………………… 142
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ………………… 145
8.1. Kesimpulan ……………………............................................... 145
8.2. Implikasi Kebijakan ................................................................. 146
8.3. Saran Penelitian Lanjutan ......................................................... 147
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 148
LAMPIRAN ……………………………………………………….. 152
iii
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Perkembangan Jumlah dan Kapasitas Pabrik Pakan di Indonesia Tahun 1990-2001 ............................................................................. 22 2 Perkembangan Produksi Pakan dan Penggunaannya di Indonesia Tahun 1992-2003 ................................................................................. 23 3 Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia ........................................................................................ 27 4 Perkembangan Penggunaan Jagung di Indonesia, Tahun 1993-2003 …. 28 5 Komposisi Penggunaan Jagung Impor dan Domestik dalam Pembuatan Pakan Ternak di Indonesia, Tahun 1993-2003 ……………………… 30 6 Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Kedelai di Indonesia ............................................................................................ 31 7 Jenis dan Pengelompokkan Variabel dalam Penelitian ……………….. 87 8 Perbandingan Nilai Gizi Jagung dengan Biji-bijian Lain dan Dedak
Padi …………………………………………………………………… 94
9 Perbedaan Perilaku Penggunaan Bahan Baku pada Industri Pakan Ternak di Lampung dan Jawa Barat …………………………………. 96 10 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Industri
Pakan Ternak …………………………………………………………. 110 11 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Industri Pakan Ternak ……………………………………………………….. 114 12 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Industri Pakan Ternak ………………………………………………………… 123 13 Hasil Validasi Model Ekonometrika Menggunakan Kriteria RMSE, R-Square dan U-Theil ………………………………………………. 132 14 Implikasi Kebijakan Pemerintah di dalam memperbaiki SCP Industri,
Sehubungan dengan Simulasi ……………………………………….. 144
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Sistem Agribisnis Ayam Ras .............................................................. 19 2 Urutan Segmen Produksi Terintegrasi ..................................................... 36 3 Unsur dan Keterkaitan Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri ............. 53 4 Penetapan Harga pada Pasar Bersaing Sempurna …………………. 56 5 Penetapan Harga pada Monopoli Murni dan Persaingan Monopolistik .. 58 6 Penetapan Harga oleh Perusahaan Monopoli dan Bersaing ………….. 59 7 Kurva Permintaan yang Patah (Kinked-Demand Curve) dan Kurva
Penerimaan Marjinal yang Terputus pada Pasar Oligopolistik ……. 62 8 Mekanisme tidak Tercapainya Keuntungan Maksimum dalam Kartel … 65 9 Kerangka Pemikiran Struktur dan Keragaan Industri Pakan Ternak Ayam .................................................................................................. 69 10 Diagram Keterkaitan Variabel-variabel dalam SCP Industri Pakan Ternak .................................................................................................. 86 11 Indeks Rasio Konsentrasi Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung Dan Jawa Barat, 1999-2003 ………………………………………… 102 12 Pangsa Pasar Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003 …………………..……………………………….. 102 13 Market Power Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003 ……………………………………………………. 103 14 Harga Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999- 2003 …………………………………………………………………. 104 15 Hubungan Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan …… 131 16 Dampak Peningkatan Permintaan Terhadap Struktur, Perilaku dan
Kinerja Industri Pakan Ternak ……………………………………….. 135
17 Dampak Peningkatan Penawaran Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak ………………………………………. 137
18 Dampak Peningkatan Harga Bungkil Kedele Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak ………………………. 139
19 Dampak Peningkatan Harga Jagung Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak ………………………………….. 141
20 Dampak Peningkatan Upah Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak ……………………………………………… 142
vi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Data Aktual Peubah Model Analisis SCP Industri Pakan Ternak ...... 152 2 Hasil Pengolahan Data Model Analisis Struktur Produksi dan
Keragaan Industri Pakan Ternak Ayam ............................................ 163
3 Hasil Validasi Model Analisis SCP Industri Pakan Ternak Ayam di Lampung dan Jawa Barat ................................................................... 180
4 Hasil Simulasi Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap SCP Industri Pakan Ternak Ayam ................................................................. 183
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, pembangunan
peternakan mengalami pergeseran paradigma. Titik berat kepada sistem budidaya
(on farm) mengalami pergeseran ke arah yang lebih terintegrasi dan
komprehensif, yaitu agribisnis. Agribisnis perunggasan nasional berupa
peternakan ayam ras, secara nasional telah menunjukkan perkembangan yang
sangat mengesankan selama Pembangunan Jangka Panjang I (PJP I). Hampir
tidak ada komoditi pertanian lainnya yang mampu menyamai prestasi
perunggasan nasional, yang hanya dalam kurun waktu kurang dari 25 tahun,
perunggasan nasional telah berhasil melakukan pendalaman struktur baik ke hulu
(subsistem agribisnis hulu) maupun ke hilir (subsistem agribisnis hilir)
sedemikian rupa sehingga dewasa ini perunggasan nasional telah menjadi suatu
agribisnis modern.
Serangkaian kebijakan yang dilakukan pemerintah baik berupa regulasi
maupun deregulasi pada awalnya telah berhasil mendorong perkembangan
agribisnis perunggasan yang antara lain ditunjukkan oleh peningkatan investasi
pada industri hulu (breeding farm, feed mill) maupun industri pengolahan,
berkembangnya perunggasan rakyat, berkembangnya poultry shop, Rumah
Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Ayam/Tempat Pemotongan Ayam
(RPA/TPA), yang dalam batas-batas tertentu telah berhasil menembus pasar
ekspor. Hal ini menunjukkan apabila target yang ingin dicapai adalah masalah
pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri maka kebijakan pemerintah
1
2
paling tidak sampai dengan pertengahan 1997 dapat dikatakan berhasil. Namun
apabila ditinjau dari aspek pemerataan maka kebijakan regulasi dan deregulasi di
sub sektor perunggasan sampai dewasa ini dapat dikatakan belum berhasil dalam
menjadikan usaha ternak ayam ras sebagai basis peternakan rakyat (Saptana et al,
2002).
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa usaha ternak skala kecil
berkembang baik apabila rasio (bandingan) harga produk ayam ras dan harga
pakan cukup besar. Hal ini tidak lain karena biaya pakan merupakan bagian
terbesar, antara 65 sampai 85 persen dari biaya produksi. Dengan demikian, kunci
penyelesaian kemelut yang dialami peternakan rakyat dewasa ini adalah
bagaimana memperbesar rasio harga produk dan harga pakan ayam ras.
Untuk memperbesar rasio harga produk dan harga pakan ayam ras, tersedia
tiga alternatif pemecahan : (1) mempertahankan harga produk ayam ras pada
tingkat harga sekarang dan menurunkan harga pakan sampai tercapai rasio yang
menguntungkan bagi kedua belah pihak, (2) mempertahankan harga pakan ayam
ras pada harga sekarang dan meningkatkan harga produk ayam ras sampai pada
rasio yang diinginkan, dan (3) bila harga produk dan harga pakan sama-sama naik,
maka kenaikan harga produk ayam ras harus lebih tinggi dari kenaikan harga
pakannya.
Perkembangan harga produk ayam ras berada di luar kekuasaan dunia
usaha perunggasan yang berwawasan agribisnis. Sedangkan harga pakan ayam ras
berada didalam kekuasaan dunia usaha perunggasan yang berwawasan agribisnis.
Dengan demikian, harga pakan dapat digunakan sebagai alat kendali. Agar alat
kendali ini dapat berfungsi baik, industri pakan ayam ras harus berada dalam
3
suatu posisi skala usaha tertentu, yang dapat berproduksi secara efisien (Alim,
1996).
Industri pakan ayam ras memerlukan bahan baku untuk penyusunan
ransum (pakan) lebih dari 15 jenis. Untuk itu harga dan suplai dari bahan baku
tersebut baik yang diproduksi di dalam negeri atau di impor akan mempengaruhi
industri pakan.
Salah satu kesalahan kita pada masa lalu adalah mendorong pertumbuhan
investasi pabrik pakan dan pembibitan, baik PMDN maupun PMA dengan
mengambil lokasi Jawa Barat. Kebijakan ini telah mendorong pertumbuhan usaha
rakyat di Jawa Barat pula. Padahal Jawa Barat bukanlah wilayah penghasil
tanaman butir-butiran untuk ternak yang utama seperti jagung, kedelai, kacang
tanah dan sebagainya. Namun diakui bahwa Jawa Barat sangat dekat dengan
wilayah konsumsi utama yakni kota Jakarta.
Sejarah membuktikan, bahwa peternakan rakyat menghadapi masalah
dalam mendapatkan bahan baku pakan. Sebagian besar pabrik pakan tradisional
dan skala menengah yang sejak semula melayani usaha rakyat berguguran satu
persatu dan akhirnya punah semuanya. Sebagai gantinya muncul pabrik pakan
skala besar yang menguasai seluruh persediaan bahan baku pakan dalam negeri,
sehingga peternak dipaksa hidup dengan membeli pakan pada harga yang tidak
rasional. Kesulitan dan persaingan di dalam mendapatkan bahan baku di Jawa
Barat telah mendorong perusahaan-perusahaan membangun lebih banyak armada
untuk memperkuat diri sendiri dan akhirnya membentuk kekuatan monopoli.
Terkait dengan kebutuhan industri pakan akan hasil-hasil pertanian berupa
butir-butiran, maka akan lebih menghemat biaya apabila industri pakan tersebut
4
berlokasi dekat dengan sentra produksi butir-butiran. Hal inilah yang menjadi
pertimbangan pemerintah sekarang ini sehubungan dengan pengembangan
wilayah peternakan. Salah satunya di wilayah Lampung. Propinsi ini merupakan
wilayah sentra produksi bahan baku pakan (butir-butiran) dan sudah sejak lama
menjadi daerah pengekspor bahan baku pakan ternak terutama ke Jepang dan
Eropa (Disnakkeswan-Lampung, 2004). Data tahun 1994, di Lampung terdapat 20
buah industri bahan baku pakan ternak dari total 35 industri bahan baku pakan
ternak di wilayah Sumatera, dengan kapasitas produksi 1 216 580 per tahun
(Ekamasni Consulting,1995).
Sejak tahun 1993/1994 propinsi Lampung telah menjadi salah satu
pemasok ternak potong ke pasar raksasa DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sekarang
ini Lampung merupakan salah satu propinsi terkemuka dalam industri
perunggasan di Indonesia, dan mempunyai peluang pengembangan yang besar
dengan didukung adanya industri pakan (6 perusahaan), breeder (2 perusahaan),
perusahaan yang melaksanakan kemitraan (4 perusahaan), perusahaan
pemotongan ayam (1 perusahaan).
Populasi ayam ras pedaging di Lampung sampai dengan tahun 2003
mencapai 23 juta ekor, sementara konsumsi lokal hanya mencapai 16-17 juta
ekor, ekspor ke Jepang 1 juta ekor dan 5 juta ekor untuk pasar luar propinsi
(Disnakkeswan-Lampung, 2004).
Fenomena krisis moneter di propinsi Lampung ditandai dengan bangkrut
atau tutupnya beberapa usaha ternak. Informasi dari Dinas Peternakan setempat
menyatakan bahwa usaha ternak yang paling parah terkena dampak krisis moneter
adalah yang berstatus mandiri, yaitu dengan perkiraan sekitar 50-60 persen
5
mengalami kebangkrutan. Sementara itu untuk usaha ternak pola kemitraan
cenderung lebih bertahan dengan perkiraan persentase kebangkrutan lebih
kurang 30 persen. Kondisi demikian mengisyaratkan bahwa pola kemitraan
sedikit banyaknya dapat dianggap sebagai faktor kunci dalam menopang
eksistensi usaha ternak ditengah terpaan krisis moneter.
Beberapa usaha ternak di luar pola kemitraan yang masih sempat bertahan
terhadap dampak krisis moneter, lebih disebabkan karena relatif kuatnya modal
dan manajemen, serta adanya substitusi pemberian pakan alternatif yang
diistilahkan dengan ”pakan oplosan”. Khusus untuk pakan alternatif, pihak Dinas
Peternakan Lampung Selatan mengemukakan bahwa sebagian peternak telah
mengupayakan oplosan antara jagung, dedak, ikan asin, C2CO3 dengan sebagian
pakan pabrik. Bahan-bahan tersebut tersedia secara lokal baik di pasar maupun di
toko ternak (poultry shop), namun terkadang langka diperoleh dengan harga yang
cenderung mahal.
Adanya kelangkaan bahan baku yang dialami peternak Lampung
merupakan suatu ironi, mengingat propinsi ini memiliki potensi sumberdaya
produksi, misalnya dalam penyediaan jagung, dedak, atau bahkan tepung ikan.
Salah satu contoh yang dikemukakan aparat Dinas terkait setempat menyatakan
bahwa produksi jagung Lampung mencapai 1.3 juta ton per tahun. Tingkat
kebutuhan lokal hanya berkisar antara 600–800 ribu ton per tahun, tapi tetap saja
tidak terpenuhi. Bahkan untuk tepung ikan, propinsi ini dikelilingi oleh laut yang
cukup luas, namun tidak bisa memenuhi pasokan lokal setempat.
Bila ditelusuri, menurut aparat Dinas tersebut, di propinsi Lampung
terdapat beberapa perusahaan besar seperti PT Charoen Pokphand Indonesia, PT
6
Comfeed, dan PT Anwar Sierad yang memiliki silo-silo untuk menampung dan
menyimpan jagung. Artinya, bahan baku pakan tersebut diindikasikan telah diraup
pabrik pakan tersebut untuk diolah menjadi pakan ternak atau didistribusikan ke
cabang perusahaan di wilayah lain. Sementara untuk tepung ikan, disinyalir di
wilayah setempat terdapat industri produk terkait dengan orientasi ekspor. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika kondisi ironi seperti dikemukakan di atas
menjadi kenyataan (Yusdja et al, 2000).
Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan industri pakan
ternak ayam yang ada di Indonesia sekarang ini, yang diwakili oleh daerah/
propinsi Lampung dan Jawa Barat dengan gambaran yang berbeda seperti yang
telah diungkapkan di atas.
1.2. Perumusan Masalah
Pada tahun 1961 terdapat sekitar 200 pabrik pakan tradisional di Indonesia,
namun pada tahun 1994 hanya terdapat 68 pabrik dan tidak ada pabrik berskala
tradisional. Selanjutnya dilaporkan bahwa jumlah pabrik pakan di Indonesia tahun
1998 sebanyak 67 buah dan di tahun 2000 jumlah perusahaan pakan ternak sedikit
mengalami penurunan menjadi 61 perusahaan (Ditjen Peternakan, 2000).
Walau jumlah pabrik pakan lebih banyak pada tahun 1998 dan 1999,
namun demikian ternyata total kapasitas terpasang justru terbesar berada pada
tahun 2000 dan 2001. Fenomena ini menunjukkan bahwa selama tahun tersebut
banyak pabrik pakan skala kecil yang tidak mampu bertahan (bangkrut),
sebaliknya muncul beberapa pabrik pakan dengan skala yang relatif besar
(Kariyasa, 2003).
7
Keragaman perkembangan industri dicerminkan oleh kondisi internalnya,
terutama dalam kaitannya dengan berbagai indikator kinerja. Keragaman
perkembangan tersebut kemudian mempengaruhi respon industri terhadap
masukan dan fasilitas, baik yang datang dari pihak luar industri maupun strategi
usaha yang dilakukan industri itu sendiri. Beberapa industri memiliki kemampuan
untuk memberi respon yang lebih baik dibandingkan yang lain, dan industri yang
berada pada kelompok ini dapat diidentifikasi sebagai industri yang memiliki
kemampuan usaha yang tinggi. Di lain pihak tantangan terbesar yang saat ini
masih dihadapi oleh industri di Indonesia adalah untuk dapat mewujudkan industri
sebagai badan usaha yang tangguh, yang mampu berusaha secara efisien dan ikut
dalam misi memberdayakan ekonomi rakyat. Hal tersebut dapat diartikan sebagai
tantangan untuk meningkatkan kinerja industri.
Melihat keragaman perkembangan industri dapat diduga bahwa diantara
industri ada yang mampu menjawab tantangan tersebut, tetapi juga ada yang tidak
mampu. Dalam kerangka pemikiran ekonomi kelembagaan, perilaku usaha
(business conduct / business behavior / business strategy) berinteraksi dengan
struktur usaha (business structure) yang kemudian akan mempengaruhi kinerja
(business performance). Kinerja itu sendiri pada gilirannya akan membangun
struktur usaha pada tahap selanjutnya (Rumelt, 1986 dalam Krisnamurthi, 1998).
Dalam pandangan ini, perilaku usaha dapat diartikan sebagai pengambilan
keputusan usaha yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi struktur usaha
menuju pencapaian tujuan usaha tertentu. Perilaku usaha sendiri merupakan hasil
dari pemikiran dasar - bahkan teori - yang memandu pengambil keputusan dalam
mengelola sumberdaya yang dimilikinya guna mencapai tujuan yang diinginkan
8
dan tingkat perkembangan usaha yang telah dicapai (Kohls and Uhl, 1990 dalam
Krisnamurthi, 1998).
Kenyataan sekarang memperlihatkan bahwa struktur industri unggas
nasional yang ada selama ini tidak berakar pada kekuatan sendiri, tidak
terintegrasi dan tidak jelas apakah untuk elemen budidaya pengembangan usaha
rakyat atau usaha skala besar. Disisi lain, profil industri unggas nasional
mempunyai masalah pada hampir seluruh simpul-simpul agribisnis, mulai dari
pengadaan sarana produksi, budidaya, pengolahan, sampai pada simpul
pemasaran. Simpul-simpul agribisnis tersebut bekerja tidak saling menunjang dan
tidak saling seimbang sehingga strategi dan kebijakan pemerintah menjadi serba
salah. Perlu juga diperhatikan bahwa pemerintah mempunyai komitmen bahwa
budidaya peternakan merupakan sumber lapangan kerja dan mata pencaharian
rakyat terutama di pedesaan. Namun, komitmen ini mendukung adanya intervensi
pemerintah dalam industri unggas nasional. Atas dasar itu usaha-usaha dalam
merancang strategi dan program pembangunan industri unggas yang efektif
menjadi lebih penting (Yusdja, 2000).
Adapun kajian yang dilakukan pada industri perunggasan dipandang
sangat relevan, karena kegiatan pada bidang ini patut diduga telah terjadi praktek
monopoli dalam bentuk kartel, atau paling tidak peternak rakyat menghadapi
masalah ganda yaitu struktur pasar yang oligopolistik pada pasar input dan
struktur yang oligopsonistik pada pasar output. Disamping itu isu adanya integrasi
vertikal yang disertai adanya integrasi horisontal telah menyebabkan peternak
rakyat berada pada posisi rebut tawar yang lemah.
9
Peternak rakyat banyak yang mengeluh dengan adanya integrasi vertikal
ini. Dalam hal ini peternak akan menghadapi masalah ganda yaitu masalah pada
pasar input dan sekaligus masalah pada pasar output. Peternak akan sebagai price
taker pada pasar input dan terpaksa harus membayar harga input yang terkadang
tidak rasional. Hal ini antara lain disebabkan oleh : (1) integrasi vertikal yang
dijalankan adalah integrasi vertikal yang semu, sehingga tujuan utama integrasi
vertikal adalah mencapai efisiensi tertinggi tidak tercapai. Hal ini disebabkan
perusahaan peternakan terbagi dalam unit-unit industri yang terpisah yang pada
masing-masing unit perusahaan terdapat margin pemasaran, sehingga peternak
rakyat menghadapi margin ganda dan (2) struktur perusahaan peternakan yang
melakukan integrasi vertikal adalah perusahaan yang oligopolistik, yang bagi
perusahaan akan lebih menguntungkan melakukan kesepakatan-kesepakatan
bisnis dari pada melakukan perang harga. Sementara itu pada sisi pasar output
peternak unggas rakyat menghadapi masalah : (1) pangsa produksi yang dikuasai
baik secara individu maupun kelompok sangatlah kecil dibandingkan pangsa
produksi perusahaan peternakan, (2) tidak ada perbedaan segmentasi dan tujuan
pasar, dan (3) peternak unggas rakyat juga menghadapi struktur pasar yang
oligopsonistik terutama dalam berhadapan dengan inti.
Selama periode 2001-2005, jumlah produksi daging dan populasi ayam ras
di Indonesia rata-rata mengalami peningkatan sebesar 9.9 persen dan 9.8 persen
per tahun (Statistik Peternakan, 2005). Meningkatnya produksi daging dan
populasi ayam ras selanjutnya berdampak terhadap kenaikan permintaan pakan
ayam ras. Permintaan pakan yang meningkat tersebut harus diikuti oleh adanya
peningkatan produksi pakan. Produksi pakan pada tahun 1996 sebesar 4.3 juta ton
10
dan menurun menjadi 2.7 juta ton pada tahun 1999, kemudian kembali meningkat
berturut-turut menjadi 4.5 juta ton pada tahun 2000 dan mencapai 10 juta ton pada
tahun 2003 (Deptan, 2004).
Meningkatnya produksi pakan tentu semakin meningkatkan kebutuhan
pabrik pakan akan bahan baku pakan. Di dalam komposisi pakan ayam ras, jagung
memiliki proporsi terbesar yaitu berkisar 51.4 persen, disusul bungkil kedelai 18.0
persen, dedak 15.0 persen, pollard 10.0 persen, tepung ikan 5.0 dan feed
supplement 0.6 persen (Tangendjaja et al, 2002 dan Deptan, 2002). Terlihat
bahwa jagung mempunyai peranan yang sangat besar dalam produksi daging
ayam. Jagung sudah lama merupakan bahan baku populer di seluruh dunia. Selain
harganya relatif murah, juga mengandung kadar kalori yang relatif tinggi,
mempunyai protein dan kandungan asam amino yang lengkap, mudah diproduksi
dalam jumlah yang besar dan sangat digemari oleh ternak. Telah banyak usaha
dilakukan dalam upaya mencari alternatif substitusi jagung, tapi tampaknya belum
ada yang bisa menggantikannya secara sempurna.
Sementara untuk bahan baku bungkil kedele, yang merupakan by product
dari kedelai, produksinya di dalam negeri sangat sedikit sehingga dibutuhkan
impor. Sulitnya memproduksi kedelai terkait dengan kesesuaian lahan di
Indonesia. Setiap tahunnya dibutuhkan impor kedelai lebih dari dua juta ton.
Pada pasar pakan ternak ayam ras, fenomena yang terjadi selama ini adalah
laju kenaikan harga pakan jauh melebihi laju kenaikan harga jagung dan kedelai.
Hal ini dapat dilihat semakin melebarnya rasio harga jagung terhadap pakan
ternak yaitu dari 0.78 pada tahun 1980 menjadi 0.22 pada tahun 1996 (Purba,
1999). Selain itu, penyediaan pakan yang belum sesuai harapan juga menjadi
11
masalah dalam pasar ini, karena ketergantungan pabrik pakan terhadap bahan
baku impor masih tinggi, terutama jagung dan bungkil kedelai. Pada tahun 1990,
pangsa penggunaan jagung impor hanya 3.63 persen dari jumlah total kebutuhan
jagung yang dibutuhkan dalam pembuatan pakan. Mulai tahun 1994 pangsa
jagung impor sudah lebih dari 30 persen, bahkan tahun 2000 pangsa penggunaan
jagung impor dan domestik hampir berimbang (47.04 persen berbanding 52.96
persen) (Kariyasa, 2003).
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, terlihat jelas bahwa pentingnya
peranan industri pakan dalam menunjang industri perunggasan. Namun untuk
melihat perkembangan ke depan ada beberapa pertanyaan pokok berkaitan dengan
peningkatan kinerja industri pakan yaitu pertama, bagaimana perilaku bisnis
perusahaan pakan ternak yang ada sekarang dan pengaruhnya terhadap kinerja
perusahaan ? kedua, bagaimana arah perkembangan industri pakan ? serta ketiga,
bentuk kebijakan pemerintah seperti apa yang perlu dilakukan agar perkembangan
tersebut dapat mengarah kepada peningkatan kinerja industri pakan dalam rangka
pengembangan peternakan rakyat.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur,
perilaku dan kinerja industri pakan ternak ayam di Lampung dan Jawa Barat,
sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengkaji perilaku bisnis industri pakan ternak ayam melalui analisis
keterkaitan hubungan antara Structure - Conduct - Performance (Struktur -
Perilaku - Kinerja)
12
2. Menganalisis arah perkembangan industri pakan ternak ayam
3. Merumuskan kebijakan bagi pemerintah untuk mendorong perkembangan
industri pakan.
Dengan mengetahui struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak
ayam ras di Lampung dan Jawa Barat, diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi para pengambil keputusan untuk program pengembangan
industri pakan ternak ayam ras, khususnya di dalam periode mendatang.
Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi informasi bagi peneliti
lainnya, khususnya peneliti di bidang peternakan.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Kegiatan penelitian ini diawali oleh suatu diskusi mengenai perkembangan
dan perilaku usaha industri pakan ternak ayam di Lampung dan Jawa Barat.
Kemudian disusun model analisa empirik mengenai struktur, perilaku dan kinerja
usaha industri. Dalam hal ini dianalisa sembilan perusahaan (pabrik) pakan ternak
yang ada di wilayah Lampung dan Jawa Barat. Unit analisis yaitu pabrik pakan
yang menghasilkan sepenuhnya atau sebagian besar pakan untuk ternak ayam.
Kebijakan-kebijakan pemerintah lebih difokuskan pada kebijakan yang berkenaan
dengan industri pakan dan impor bahan baku pakan.
Namun demikian, studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Dilihat dari
ruang lingkup, studi ini terbatas pada :
1. Data-data yang tersedia dari berbagai aspek ekonomi di industri pakan ternak
dan tidak secara langsung membahas berbagai aspek non ekonomi yang juga
menjadi komponen dan yang mempengaruhi perilaku dan kinerja industri
13
2. Analisis dibatasi hanya pada aspek produksi pada industri pakan ayam ras,
tanpa membahas lebih lanjut secara mendalam tentang aspek pasar atau
tataniaga bahan baku dan produk akhir pakan ternak ayam ras tersebut
3. Tidak menganalisis aspek perdagangan internasional, walaupun aspek ini
sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan industri pakan ternak ayam
ras dan performance agribisnis ayam ras di Indonesia
4. Harga pakan, volume, biaya produksi untuk masing-masing jenis produk tidak
dapat di disagregasi sesuai dengan diferensiasi produk yang dihasilkan. Harga
pasar pakan merupakan harga rata-rata dari harga pakan perusahaan sampel.
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Kebijakan Agribisnis Ayam Ras
Perkembangan perunggasan Indonesia dari tahun 1965 hingga sekarang
berjalan dengan tingkat pertumbuhan yang cukup berhasil. Misi penyediaan
pangannya telah mampu ikut menyumbang dan membangun sumber daya
manusia. Tidak kurang dari 200 juta penduduk Indonesia telah mampu
mengkonsumsi rata-rata 11 kg/kapita/tahun hasil unggas dari hasil sebesar 2.5
trilyun kg/tahun. Berarti pula, di bidang ekonomi, tidak kurang dari 20 trilyun
rupiah uang masyarakat beredar untuk membelanjakan hasil-hasil unggas dan ini
semua berarti hasil dari investasi, teknologi, kesepakatan kerja/kesempatan
berusaha yang tumbuh di dalam masyarakat (Oetoro, 2002).
Program pemerintah dalam mengembangkan peternakan ayam ras terlihat
dari adanya program Bimbingan Massal (Bimas) ayam yang dimulai pada 1976.
Program ini dilakukan mirip dengan Bimas padi yang ditujukan untuk
swasembada beras. Program dimulai dengan membangun paket proyek di Bogor
dan Yogyakarta. Mengingat proyek percontohan ini dinilai berhasil, maka
program ini dilanjutkan untuk daerah-daerah lain. Sampai dengan 1977/1978,
program Bimas ini telah meluas ke 18 lokasi dengan jumlah proyek mencapai
2 325 paket dengan nilai kredit sebesar Rp. 813.75 milyar.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa program pemberian kredit Bimas
ayam ras tersebut ternyata menguntungkan bagi petani. Oleh karena itu, program
tersebut kemudian dilanjutkan dengan program Bimas broiler (ayam ras pedaging)
sejak tahun 1980. Pada program Bimas ayam broiler ini para peternak kecil yang
14
15
dinilai layak, mendapatkan kredit dan diberi jatah paket berupa 500 ekor ayam/
periode atau 2 500 ekor ayam/tahun (tiap periode terdiri dari 7- 8 minggu).
Program Bimas ayam ras broiler maupun ayam ras petelur ini ternyata
berkembang dengan baik karena dapat mendatangkan keuntungan dengan baik
yang menarik bagi peternak peserta Bimas. Walaupun demikian, dalam perjalanan
lebih lanjut, program ini mulai menemui sejumlah masalah di lapangan, terutama
mulai memasuki pelita III (1979-1984), seiring dengan munculnya masalah
pemasaran daging dan telur ayam. Masalah mulai timbul karena dalam kurun
waktu tersebut peternak yang mengelola ayam ras ternyata bukan hanya peserta
Bimas, tetapi meluas ke peternak mandiri yang lahir dari unsur wiraswasta murni
tanpa bantuan kredit dan fasilitas lainnya dari pemerintah.
Banyak di antara peternak mandiri ini memelihara ayam ras dalam jumlah
besar yang mencapai puluhan hingga ratusan ribu dan jutaan ekor. Masalah utama
yang timbul adalah kurangnya bahan baku pakan ternak, terutama pada saat
musim kemarau tiba. Pada saat itu harga pakan ternak menjadi mahal sementara
harga jual daging dan telur ayam relatif stagnan. Dilain pihak, karena
manajemennya yang lebih baik, peternak skala besar mampu menjual produk
daging dan telur ayam dengan harga yang lebih murah dibanding peternak kecil.
Akibatnya, mulai timbul kemelut berupa pertentangan antara peternak kecil
dengan peternak besar.
Sebagai respon terhadap kemelut tersebut, maka pemerintah kemudian
menetapkan sebuah Keputusan Presiden, yakni Keppres No. 50/1981 tanggal
2 November 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras dengan inti
materi sebagai berikut:
16
1. Perorangan atau badan hukum yang menjalankan usaha peternakan ayam
petelur hanya diperkenankan mengelola jumlah ayam dewasa sebanyak-
banyaknya 5 ribu ekor, sedangkan untuk ayam pedaging maksimum 750 ekor
per minggu
2. Perorangan atau badan hukum yang mengelola ayam petelur atau pedaging
melebihi jumlah yang telah ditentukan, harus mengurangi secara bertahap
sampai dengan batas jumlah yang ditentukan
3. Untuk menjamin tersedianya produksi telur dan daging ayam ras, maka
dilakukan usaha-usaha sebagai berikut:
a. Meningkatkan usaha peternakan ayam ras yang sudah ada untuk mencapai
skala usaha peternakan kecil yang maksimal
b. Mendorong terbentuknya peternakan-peternakan ayam ras baru, baik
melalui Bimas maupun non Bimas.
Keppres No 50/1981 ini pada hakekatnya merupakan upaya restrukturisasi
dan stabilisasi di bidang perunggasan setelah terjadinya ketimpangan struktur
usaha dan munculnya pertentangan antara peternak kecil dengan peternak besar.
Namun demikian, pelaksanaan Keppres ini tenyata tidak terlalu sesuai dengan
yang diharapkan. Akibat banyaknya pelanggaran yang terjadi, maka Menteri
Pertanian RI kemudian menerbitkan SK Mentan No. TN 406/Kpts/5/1984
tertanggal 28 Mei 1984. SK Mentan tersebut pada intinya mengatur pola
kerjasama tertutup yang saling menguntungkan antara perusahaan peternakan
sebagai inti dengan peternak sebagai plasma, yang kemudian dikenal sebagai pola
Perusahaan Inti Rakyat (PIR).
17
Dalam perkembangannnya, pola PIR ini ternyata belum juga mampu
meredam gejolak di lapangan sehingga dengan berbagai upaya konsolidasi dengan
masyarakat perunggasan, pada tahun 1990, Keppres No 50/1981 dicabut dan
diganti dengan Keppres No 22/1990, yang berisi tentang Kebijakan Pembinaan
Usaha Peternakan Ayam Ras. Untuk mendukung pelaksanaannya, diterbitkan pula
SK Menteri Pertanian No 362/Kpts/TN/120/1990 tentang Ketentuan dan Tatacara
Pelaksanaan Pemberian Izin dan Pendaftaran Usaha Peternakan.
Keppres No 22/1990 pada hakekatnya merupakan upaya deregulasi
tentang bidang perunggasan. Skala usaha yang pada Keppres sebelumnya dibatasi
maka pada Keppres yang baru tersebut tidak lagi diatur. Pengaturan skala usaha
hanya dilakukan pada SK Mentan No 362/1990, yang berisi tentang tatacara
perizinan, bukan pembatasan. Dalam SK Mentan tersebut dinyatakan bahwa
untuk usaha peternakan yang jumlahnya 10 ribu ekor petelur dewasa atau
dibawahnya, maka dimasukkan sebagai kategori peternakan rakyat, yang
pendiriannya tidak memerlukan izin, melainkan hanya cukup dengan
mendaftarkannya saja. Sedangkan untuk ayam pedaging, jumlah maksimum 15
ribu ekor per siklus, dikategorikan sebagai peternakan rakyat, dan bila melebihi
jumlah tersebut, maka dikategorikan sebagai perusahaan peternakan.
Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi
berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama ayam ras karena
pada saat itulah siapapun boleh mengusahakan peternakan ayam ras, asal
memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dengan diberlakukannya Keppres No.
22/1990, maka muncul banyak peternakan ayam ras dalam skala besar yang
dikelola dengan cara-cara modern, baik dalam hal budidaya maupun dalam
pemasarannya.
18
2.2. Keterkaitan Agroindustri Pakan Ternak dengan Budidaya Ayam Ras
Industri pakan ayam ras mempunyai keterkaitan ke belakang (backward
linkage) dan kaitan ke depan (forward linkage) yang cukup panjang. Kaitan ke
belakang dari industri pakan ayam ras adalah kebutuhan akan hasil-hasil pertanian
tanaman pangan sebagai masukan (input), baik yang sudah terolah maupun belum.
Selain daripada itu, industri pakan ayam ras juga memerlukan hasil-hasil industri
lain sebagai pelengkap (supplement) bagi pakan ayam ras. Sedangkan kaitan ke
depan berhubungan dengan penggunaan hasil produksi pakan bagi institusi
berikutnya. Dalam hal ini hasil olahan industri pakan digunakan oleh institusi
budidaya ayam ras yang dikelola secara komersial. Selanjutnya hasil budidaya
ayam ras digunakan sebagai masukan bagi industri lain atau dikonsumsi langsung
oleh konsumen. Dengan demikian apabila industri pakan ayam ras didudukkan
dalam sistem agribisnis tanaman pangan ia berada pada posisi sebagai sub-sistem
agroindustri dan bila didudukkan dalam sistem agribisnis ayam ras ia berada pada
posisi sebagai sub-sistem penyediaan sarana produksi ternak (sapronak).
Keterkaitan ini secara sederhana dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada
Gambar 1.
Dari Gambar 1 nampak bahwa industri pakan ayam ras sangat tergantung
pada beberapa hasil pertanian tanaman pangan. Sedangkan hasil pertanian
tanaman pangan tergantung pada tingkat kesuburan dan kecocokan lahan serta
musim. Apabila produksi tanaman pangan terganggu oleh musim atau oleh hama,
maka harga dari tanaman pangan tersebut akan bergejolak. Gejolak harga bahan
baku pakan akan berpengaruh terhadap harga pakan ayam ras dan pada gilirannya
akan mempengaruhi biaya produksi budidaya ayam ras. Apabila harga pakan
19
Jagung Kuning
Bungkil Kc. Kedele
Bungkil Kc.Tanah
Dedak Tepung Ikan
Wheat Pollard
RapeseedMeal
Industri Pakan A. Ras
Industri Peralatan Kandang
Dedak DOC
Poultry Shop
Agroindustri Hasil Budidaya
Ayam Ras
Usaha Ternak Ayam Ras
Industri Obat2 an
P a s a r
Gambar 1. Sistem Agribisnis Ayam Ras
Sumber : Alim, 1996
20
bergejolak naik dan tidak diikuti oleh kenaikan harga hasil ternak ayam ras, maka
para peternak akan menderita rugi.
Selain daripada itu, Gambar 1 memperlihatkan pula bahwa ada empat pola
usaha ternak (budidaya) ayam ras, yakni : (1) usaha ternak ayam ras menyediakan
sendiri seluruh sapronaknya baik langsung maupun melalui perusahaan afiliasi,
(2) usaha ternak ayam menyediakan sendiri sebagian sapronaknya, misalnya
usaha ternak menghasilkan sendiri pakan ayam ras tetapi tidak menyediakan DOC
atau sebaliknya, (3) usaha ternak yang membeli sendiri seluruh sapronaknya
langsung dari pabrik, dan (4) usaha ternak ayam ras yang membeli
seluruh sapronaknya melalui poultry shop. Dari empat pola usaha ini, pola satu
dan dua mempunyai peluang yang lebih baik dalam berbagai kondisi pasar.
Sedangkan usaha ternak pola empat berada pada posisi bersaing yang lemah dan
sangat peka terhadap perubahan harga sapronak. Dalam keadaan harga sapronak
naik, sedangkan harga produk ayam ras tidak naik, maka usaha ternak pola
keempat ini akan sangat menderita.
Peternakan Rakyat (usaha ternak ayam ras skala kecil) pada umumnya
termasuk dalam kategori usaha ternak pola keempat. Dengan demikian,
sesungguhnya Peternakan Rakyat pada umumnya berada pada kondisi pasar yang
rentan terhadap perubahan harga.
Kerumitan-kerumitan yang dialami oleh dunia usaha ayam ras bersumber
dari dua arah, yakni dari luar dan dari dalam dunia usaha ayam ras sendiri. Yang
bersumber dari luar setidak-tidaknya ada tiga sumber yang dominan, yaitu :
(1) berasal dari goncangan harga bahan baku utama pakan ayam ras, (2) berasal
dari goncangan harga produk (daging dan telur) ayam ras, dan (3) berasal dari
21
pola konsumsi masyarakat (selera konsumen). Sedangkan yang bersumber dari
dalam dunia usaha ayam ras sendiri, sekurang-kurangnya ada tiga . yaitu: (1) mutu
sarana produksi budidaya ayam ras, (2) pola tataniaga ayam ras, dan (3) kemitraan
secara padu antara semua sub-sistem dalam sistem agribisnis ayam ras.
2.3. Perkembangan Industri Pakan Ternak
Perkembangan industri pakan ternak, khususnya pakan ayam ras, tidak
terlepas dari budidaya ayam ras itu sendiri. Korelasi antara keduanya sangat kuat,
sebab output dari industri pakan dikonsumsi oleh ayam ras sebagai sumber utama
kebutuhan gizi. Disisi lain kemampuan produksi ayam ras tergantung pula pada
unsur-unsur gizi yang dikonsumsinya. Ketika ayam ras mulai memasyarakat di
Indonesia dirasakan perlu untuk mendirikan pabrik pakan. Tahun 1972 dipandang
sebagai titik awal berdirinya usaha ternak ayam ras secara serius, dan pada tahun
ini didirikanlah pabrik-pabrik pakan skala menengah di Jakarta. Pabrik-pabrik
pakan kala itu memasarkan hasil produksinya pada kalangan peternak ayam ras
yang masih terbatas. Namun demikian, tahun 1976 peranan pabrik-pabrik pakan
semakin jelas dan mencapai puncaknya pada tahun 1980-1981 dengan berdirinya
puluhan pabrik pakan, diantaranya banyak yang berskala besar.
Salah satu faktor penyebab berhentinya banyak usaha dalam industri
unggas nasional adalah karena ketergantungan bahan baku pakan dan bibit serta
pinjaman modal pada impor. Dalam krisis moneter dan ekonomi, harga bahan
baku impor melambung, pengembalian utang membengkak, dan pengadaan impor
terpaksa dihentikan. Setelah krisis, ternyata pabrik pakan belum pulih ke posisi
semula. Produksi pakan terpaksa diturunkan sebesar 60 persen, dan akibat lebih
22
jauh harga pakan melambung sehingga banyak perusahaan yang terpaksa
menghentikan usahanya.
Perkembangan jumlah pabrik pakan, kapasitas terpasang dan kapasitas
terpakai pabrik pakan di Indonesia periode 1990-2001 disajikan pada Tabel 1.
Dalam periode tersebut, rata-rata jumlah pabrik pakan ternak di Indonesia
sebanyak 61 buah, dengan rata-rata total kapasitas 6.3 juta ton atau 102.1 ribu ton
per pabrik.
Tabel 1. Perkembangan Jumlah dan Kapasitas Pabrik Pakan Indonesia Tahun 1990-2001
Kapasitas
Tahun
Jumlah Pabrik (unit)
Terpasang (000 ton)
Rataan Terpasang (000 ton/pabrik)
Terpakai ( % )
1990 59 2 945 49.9 54.26
1991 59 2 945 49.9 64.07
1992 68 2 949 43.4 61.07
1993 56 3 305 59.0 76.73
1994 56 4 785 85.4 69.80
1995 58 5 278 91.0 63.47
1996 59 6 839 115.9 62.82
1997 63 8 250 131.0 53.88
1998 67 9 089 135.7 22.95
1999 67 9 089 135.7 30.52
2000 61 10 019 164.2 44.88
2001 61 10 019 164.2 44.84 Rataan r (%/th)
61.20 0.63
6 293 12.52
102.1 11.91
54.12 -5.22
Sumber: Statistik Peternakan (diolah) dalam Kariyasa, 2003
Walau jumlah pabrik pakan terbanyak berada pada tahun 1998 dan 1999
(67 buah), namun demikian ternyata total kapasitas terpasang justru terbesar
berada pada tahun 2000 dan 2001, dimana jumlah pabrik pada tahun tersebut
hanya sebanyak 61 buah. Kalau dilihat dari perkembangannya, baik jumlahnya,
23
total kapasitas maupun rata-rata kapasitas per pabrik pakan periode 1990-2001
mengalami peningkatan berturut-turut 0.63 persen, 12.52 persen dan 11.91 persen
per tahun (Kariyasa, 2003).
Sementara itu, rata-rata kapasitas terpakai dari pabrik pakan selama
periode 1990-2001 hanya sekitar 54.12 persen, itu pun terjadi kecenderungan
menurun sebesar 5.22 persen per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa hampir
sekitar 45.88 persen terjadi idle capacity, sehingga hal ini diduga sebagai salah
satu kenapa biaya produksi pakan di Indonesia relatif masih tinggi.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Pakan dan Penggunaannya di Indonesia, Tahun 1992-2003
Kebutuhan Ternak ayam ras Tahun
Produksi (000 ton) Jumlah (000 ton) Pangsa (%) Lainnyaa (%)
1992 1 806 1 774 98.23 1.77
1993 2 536 2 409 94.99 5.01
1994 3 340 2 841 85.06 14.94
1995 3 350 3 145 93.88 6.12
1996 4 296 3 448 80.26 19.74
1997 4 445 3 017 67.87 32.13
1998 2 086 1 665 79.82 20.18
1999 2 774 1 526 55.01 44.99
2000 4 497 2 497 55.53 44.47
2001 4 991 3 598 72.10 27.90
2002 5 511 2 577 46.80 53.20
2003 10 026 5 382 53.70 46.30 Rataan r (%/th)
4 138 41.40
2 823 18.50
73.60 -4.10
26.40 228.70
Keterangan: a termasuk untuk kebutuhan selain ternak ayam ras dan stok Sumber : Statistik Peternakan (2004)
Perkembangan produksi pakan dan penggunaannya di Indonesia periode
1992-2003 menunjukkan bahwa selama periode tersebut rata-rata produksi pakan
24
di Indonesia mencapai 4.1 juta ton, dimana setiap tahunnya cenderung mengalami
peningkatan sebesar 41.40 persen (Tabel 2.). Dari segi penggunaannya, tampak
bahwa pada tahun 1992-1995 lebih dari 93 persen dari total produksi pakan
digunakan untuk memenuhi permintaan peternak ayam ras, sisanya sekitar
6 persen untuk memenuhi permintaan lainnya. Dalam periode 1992-2003 rata-rata
penggunaan pakan untuk ternak ayam ras 2.8 juta ton atau sekitar 73.60 persen.
Walaupun dari segi jumlah permintaan pakan dari peternak ayam ras
mengalami peningkatan sebesar 18.50 persen per tahun, namun dari sisi
pangsanya terhadap total penawaran mengalami penurunan sebesar 4.10 persen
per tahun. Sementara itu, pangsa permintaan lainnya (peternakan lainnya dan
stok) mengalami peningkatan tajam sekitar 228.70 persen pertahun.
Kecenderungan pertumbuhan industri pakan menuju bentuk monopoli
dapat pula dilihat dari porsi produksi pakan dari sekelompok pabrik pakan dalam
industri. Porsi produksi pakan dari pabrik pakan yang hanya berjumlah 12 persen
atau secara absolut berjumlah 8 pabrik pakan memiliki pangsa pasar sebesar 65
sampai 83 persen. Dengan demikian, ke delapan pabrik pakan tersebut dapat
dikatakan sebagai pengendali pasar pakan. Pada kenyataannya ke delapan pabrik
pakan tersebut bergabung dalam organisasi GPMT yang mempertegas adanya
kartel diantara mereka.
Hasil kajian Yusdja dan Saptana (1995) mengungkapkan bahwa ada
kecenderungan pertumbuhan pabrik pakan ke arah bentuk monopoli, yang sampai
saat ini sudah dalam bentuk oligopoli. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh :
(1) proporsi produksi pakan dari pabrik pakan berskala besar yang berjumlah 8
buah (12 persen) memiliki pangsa pasar sebesar 65-83 persen, (2) hasil estimasi
25
keuntungan pabrik pakan (1993) Rp. 265/kg pakan petelur dan Rp. 287/kg pakan
broiler atau sekitar 42-44 persen dari harga jual pakan, (3) bahkan beberapa
perusahaan peternakan skala besar melakukan integrasi vertikal, seperti
perusahaan PT. Japfa Comfeed, PT. Charoen Phokphand, PT. Cargill, PT. Anwar
Sierad, Group Subur, PT. Multi Breeder, dll, dan (4) pada kenyataannya ke
delapan pabrik pakan skala besar ini berada dalam satu organisasi GPMT
(Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) yang mempertegas adanya kartel di
antara mereka.
GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) dikenal sebagai media
yang memperjuangkan nasib pabrik pakan dan mengadakan persekutuan dalam
mengatur harga pakan. Menurut analisis pasar Warta Pertanian (1996) terdapat
dua perusahaan besar yang menguasai lebih setengah pangsa pasar pakan unggas
yang tersedia. Diperkirakan mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam
menentukan harga pakan selama ini. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2000 terdapat
61 perusahaan pakan ternak seluruh Indonesia dengan kapasitas produksi
10 018 791 ton. Semakin dominannya perusahaan skala besar dapat ditunjukkan
bahwa ditahun 1999 PT. Charoen Pokphand Indonesia (CPI) mempunyai
kapasitas produksi pakan sebesar 2 410 000 ton pertahun. Selanjutnya
dikemukakan oleh pihak PT. CPI bahwa pangsa pasarnya saat ini mencapai 38
persen untuk pakan unggas. Suatu pangsa pasar yang sangat potensial untuk
menjadi leader dalam perusahaan oligopoli.
2.4. Permasalahan dan Tantangan Industri Pakan Ternak
Tingkat keuntungan pabrik pakan ditentukan oleh biaya bahan baku
makanan ternak yang digunakan (dan bagaimana meramunya menjadi pakan yang
26
memenuhi syarat), biaya produksi pakan, dan biaya pemasaran. Keberhasilan
pabrik pakan memperoleh keuntungan yang maksimum ditentukan oleh banyak
faktor. Yusdja dan Pasandaran (1996) memperlihatkan bahwa biaya bahan baku
makanan ternak merupakan biaya terbesar bagi pabrik pakan, yakni 78.8 persen
dari total biaya. Sedangkan biaya memproduksi adalah 7.8 persen dan pemasaran
4.4 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa biaya produksi pakan sangat
rendah. Dengan kata lain, biaya investasi relatif kecil sehingga sebenarnya
perusahaan baru tidak akan menghadapi kesulitan jika ingin mendirikan pabrik
pakan. Masalahnya adalah kemampuan dalam menguasai bahan baku.
Sekitar 85-90 persen produksi pakan di Indonesia ditujukan untuk
membuat pakan unggas, yaitu ayam ras pedaging (broiler) dan ayam ras petelur
(layer). Dengan meningkatnya produksi unggas maka produksi pakan juga terus
meningkat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya produksi pakan di awal
tahun 1970an ketika ayam ras pertama kali dimasukkan ke Indonesia.
Industri pakan ayam ras memerlukan bahan baku lebih dari 15 jenis. Dari
sekian banyak jenis bahan baku yang diperlukan, yang paling sering menimbulkan
gejolak harga pakan adalah jagung kuning, bungkil kacang kedele dan tepung
ikan. Dalam komposisi pakan ayam ras, pihak pabrik memperkirakan kontribusi
jagung kuning berkisar antara 30-55 persen, bungkil kedele antara 10-18 persen
dan tepung ikan sebesar 5 persen.
Melihat komposisi pakan sebagaimana diperkirakan oleh pihak pabrik,
jelaslah bahwa jagung kuning mengambil porsi terbesar dalam formula pakan
ayam ras, kemudian disusul dengan bungkil kedele. Hal ini jelas dikarenakan
pakan ayam membutuhkan sumber energi yang diperoleh dari jagung. Memang
27
sumber energi bisa diperoleh dari bahan lain seperti sorgum, singkong maupun
minyak. Akan tetapi dengan keterbatasan jumlah, harga dan nilai gizi, maka
jagung masih merupakan bahan baku utama untuk membuat ransum ayam.
Dengan demikian tidak mengherankan apabila terjadi guncangan harga dari kedua
bahan baku utama ini harga pakan ayam ras pun ikut terguncang. Oleh karena itu
produksi dan tataniaga kedua bahan baku ini perlu dicermati.
Kebutuhan bahan baku jagung kuning dari sisi kuantitas belum dapat
dipenuhi dari dalam negeri dan kekurangan ini seringkali cukup besar.
Pengalaman menunjukkan bahwa untuk mengatasi kekurangan pasokan jagung
dari dalam negeri dilakukan impor, yang kadang-kadang jumlahnya cukup besar
dan dengan harga yang relatif tinggi dibanding harga jagung domestik.
Tabel 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia
(ton)
Tahun Produksi Jagung
Ekspor Jagung
Impor Jagung
Net Impor
Permintaan Jagung
1993 6 459 737 52 090 494 446 442 356 6 902 093
1994 6 868 885 28 880 1 109 253 1 080 373 7 949 258
1995 8 245 902 74 879 969 145 894 266 9 140 168
1996 9 307 423 17 505 587 603 570 098 9 877 521
1997 9 161 362 18 956 1 098 353 1 087 397 10 248 759
1998 10 169 488 632 515 313 463 -319 052 9 850 436
1999 9 204 036 90 647 618 060 527 413 9 731 449
2000 9 677 000 28 066 1 264 575 1 236 509 10 913 509
2001 9 347 192 90 474 1 035 797 945 323 10 292 515
2002 9 654 105 14 285 1 149 844 1 135 559 10 789 664
2003 10 886 442 34 172 1 371 126 1 336 954 12 223 396
2004 11 225 243 51 479 1 115 093 1 063 614 12 288 857 Sumber : Statistik Pertanian (2005)
28
Tabel 3 menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan jagung ini dalam
beberapa tahun terakhir tidak sejalan dengan laju peningkatan produksi di dalam
negeri, sehingga mengakibatkan diperlukannya impor jagung yang makin besar.
Hal yang menjadi kendala untuk meningkatkan produksi jagung Indonesia adalah
produktivitas yang masih rendah, yaitu sekitar 2.4 – 2.9 ton/ha.
Secara umum penggunaan jagung di Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi empat yaitu : (1) konsumsi langsung, (2) bahan baku pakan ternak, (3)
bahan baku industri pangan dan (4) kebutuhan lainnya. Perkembangan
penggunaan jagung di Indonesia periode 1993-2003 disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Penggunaan Jagung di Indonesia, Tahun 1993-2003
Konsumsia Pakanb Industri Pangan dan lainnya Tahun Volume
(000 ton) Pangsa
(%) Volume (000 ton)
Pangsa (%)
Volume (000 ton)
Pangsa (%)
1993 864 13.45 2 298 35.77 3 261 50.78
1994 723 9.67 2 359 31.56 4 392 58.76
1995 567 6.60 2 420 28.18 5 601 65.22
1996 416 4.47 3 315 35.61 5 578 59.92
1997 460 4.96 3 075 33.16 5 738 61.88
1998 516 5.57 1 294 13.96 7 461 80.47
1999 563 6.15 1 717 18.77 6 868 75.07
2000 573 5.57 2 285 22.23 7 421 72.20
2001 582 6.12 2 518 26.47 6 414 67.41
2002 823 7.63 6 538 60.60 3 428 31.77
2003 718 5.88 6 942 56.80 4 562 37.32
Rataan 619 6.91 3 160 33.01 5 520 60.07
r (%/th) -1.69 -5.63 20.20 5.88 3.99 -2.65
Sumber : a SUSENAS (diolah) b Statistik Peternakan berbagai series (diolah)
29
Rata-rata penggunaan jagung untuk konsumsi langsung relatif sedikit yaitu
619 ribu ton per tahun atau hanya 6.91 persen dari total penggunaan jagung,
bahkan cenderung mengalami penurunan masing-masing 1.69 persen dan 5.63
persen per tahun menurut volume dan pangsa. Seperti dikutip dalam Kariyasa
(2003), sampai dengan tahun 2001, penggunaan jagung terbesar adalah untuk
kebutuhan industri pangan. Namun setelah tahun 2001, penggunaan jagung
terbesar beralih untuk kebutuhan industri pakan. Sementara itu, rata-rata
penggunaan jagung untuk industri pakan periode 1993-2003 sekitar 3.1 juta ton
atau 33.01 persen dari total penggunaan jagung. Baik dari segi volume maupun
pangsa, penggunaan jagung untuk bahan baku pakan mengalami peningkatan
masing-masing 20.20 persen dan 5.88 persen per tahun.
Tujuan utama dilakukan impor jagung adalah dalam upaya untuk
memenuhi kekurangan kebutuhan jagung dalam negeri khususnya untuk bahan
baku pakan. Sementara itu, penggunaan jagung impor untuk bahan baku industri
makanan dan non makanan masih relatif terbatas, diperkirakan hanya sekitar 15
persen. Pada Tabel 5 disajikan perkembangan komposisi penggunaan jagung
impor dan produksi domestik periode 1993-2003. Pada tahun 1993 dari total
jagung yang digunakan dalam pembuatan pakan ternak, pangsa penggunaan
jagung impor masih sangat kecil yaitu hanya 18.29 persen. Artinya hampir sekitar
81.71 persen masih menggunakan jagung domestik sehingga dapat dikatakan
bahwa jagung impor hanya sebagai pelengkap saja.
Mulai tahun 1994, ketergantungan pabrik pakan Indonesia terhadap jagung
impor sangat tinggi, dimana pada tahun tersebut sekitar 40.29 persen dipenuhi
dari jagung impor, bahkan tahun 2000 penggunaan jagung impor dan jagung
30
domestik dalam pembuatan pakan ternak hampir berimbang (47.04 persen dan
52.96 persen). Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan pabrik pakan yang
semakin tinggi terhadap jagung impor kurang menguntungkan bagi perkembangan
industri pakan dan peternakan di Indonesia, apalagi dalam sepuluh tahun terakhir
volume jagung yang diperdagangkan dalam pasar dunia sangat kecil (Kasryno,
2002).
Tabel 5. Komposisi Penggunaan Jagung Impor dan Domestik dalam Pembuatan Pakan Ternak di Indonesia, Tahun 1993-2003
(%)
Komposisi Jagung Tahun
Impor Domestik
1993 18.29 81.71
1994 40.29 59.71
1995 34.04 65.96
1996 15.82 84.18
1997 30.36 69.64
1998 20.59 79.41
1999 30.60 69.40
2000 47.04 52.96
2001 34.97 65.03
2002 7.60 92.40
2003 11.60 88.40
Rataan 26.47 73.53
r (%/th) -3.66 0.82 Sumber : Tabel 3 dan 4, dimana penggunaan jagung impor untuk non pakan sebesar 15% (diolah)
Namun mulai tahun 2002 penggunaan jagung impor dalam pakan
mengalami penurunan yang signifikan. Pada Tabel 5 juga terlihat bahwa selama
periode 1993-2003 pangsa penggunaan jagung impor mengalami penurunan yaitu
3.66 persen per tahun, sebaliknya pangsa penggunaan jagung produksi domestik
cenderung mengalami peningkatan sebesar 0.82 persen per tahun. Keadaan ini
31
memperlihatkan bahwa produksi jagung Indonesia mulai meningkat dengan
gencarnya penanaman jagung hibrida varietas unggul, karena dari data luas panen
jagung sampai dengan tahun 2005 tidak ada peningkatan signifikan pada luas
panen tanaman jagung. Jagung hibrida varietas unggul sendiri diperkirakan
produktivitasnya berkisar 6 – 8 ton per hektar, yang jika dibandingkan dengan
produktivitas jagung varietas biasa yang hanya berkisar 3 ton per hektar.
Lain halnya dengan kedelai. Indonesia hanya menghasilkan sedikit
tanaman keluarga kacang-kacangan yang satu ini. Buktinya, produksi kedelai
Indonesia, bahkan Asia secara keseluruhan, tergolong rendah dan hampir semua
negara Asia mengandalkan pasokan impor untuk kebutuhan kedelainya. Impor
kedelai Indonesia mencapai lebih dari dua juta ton per tahunnya. Belum lagi
bungkil kedelai yang merupakan by product kedelai dan komponen penting kedua
dalam penyusunan ransum pakan ternak. Sejak tahun 2000, impor bungkil kedelai
tercatat diatas 1 juta ton per tahun. Perkembangan produksi, ekspor dan impor
kedelai Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia
(ton)
Tahun Produksi Kedelai
Ekspor Kedelai
Impor Kedelai
Net Impor
Permintaan Kedelai
1998 1 305 640 0 343 124 343 124 1 648 764
1999 1 382 848 16 1 301 755 1 301 739 2 684 587
2000 1 018 000 521 1 277 685 1 277 164 2 295 164
2001 826 932 1 188 1 136 419 1 135 231 1 962 163
2002 673 056 0 1 325 833 1 325 833 1 998 889
2003 672 000 13 624 2 773 667 2 760 043 3 432 043
2004 723 000 18 381 2 881 735 2 863 354 3 586 354 Sumber: Statistik Pertanian (2005)
32
Sementara itu, Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Makanan Ternak
(GPMT) Fenni Firman Gunadi mengatakan bahwa kenaikan harga pakan dari
Rp. 2 300/kg menjadi Rp. 2 750/kg disebabkan naiknya harga bahan baku pakan
ternak selama periode Januari hingga Maret 20041. Misalnya jagung dari
Rp. 1 100/kg menjadi Rp. 1 200/kg, bungkil kedelai dari 310 menjadi 390 dollar
AS/ton, meat bone meal (MBM) dari 300 menjadi 405 dollar AS/ton. Kenaikan
harga MBM lebih banyak disebabkan berhentinya impor dari AS dan Kanada
karena wabah Mad Cow, sehingga pasokan terbatas dan impor hanya dari
Australia dan Selandia Baru. Selama semester I 2004 produksi pakan ternak
mengalami penurunan sekitar 20 persen hanya 3.6 juta ton dibandingkan semester
I (satu) 2003 sebanyak 3.8 juta ton. Penurunan tersebut karena turunnya konsumsi
pakan ternak akibat wabah Avian Influenza (AI).
Selanjutnya diakui bahwa industri pakan ternak kesulitan mencari bahan
baku pakan ternak, terutama jagung, setelah Cina menghentikan ekspor jagung
mereka. Saat ini negara yang menjadi tujuan impor lainnya adalah Thailand dan
India. Sebenarnya industri pakan lebih menyukai jagung lokal karena mutunya
lebih baik yaitu kadar betakaroten dan proteinnya lebih tinggi. Namun, meski
produksi jagung nasional mencapai 9.8 juta ton masih sulit untuk memenuhi
kebutuhan industri pakan ternak yang mencapai 300 ribu ton/bulan. Alasannya,
panen yang tidak berlangsung kontinu dalam setahun dan daerah sentra produksi
jagung tidak berdekatan dengan industri pakan ternak sehingga harga jagung
impor lebih murah dibandingkan jagung lokal karena mahalnya transportasi.
________________
1 Bali Post (2004). Harga Pakan Melonjak, Peternak Demo : Dikaji Dewan Peternakan Ayam. Kamis, 29 April 2004.
33
2.5. Kebijaksanaan Integrasi Vertikal
Industri unggas nasional terdiri atas beberapa segmen kegiatan yang satu
sama lain memiliki ketergantungan yang sangat besar karena menyangkut
kebutuhan biologis. Segmen pertama adalah budidaya, kemudian segmen pabrik
pakan, pembibitan, farmasi, industri rumah potong, dan selanjutnya pengemasan.
Menurut Nesheim (1979), urutan segmen produksi terintegrasi berada dalam satu
unit perusahaan, bahkan juga berada dalam satu lokasi perusahaan. Transfer
output intermediate sangat hemat dalam biaya angkutan, kemasan, resiko
kematian/ kerusakan dalam perjalanan, resiko penghematan tenaga kerja, dan
tidak ada margin keuntungan pada setiap segmen. Dengan demikian struktur
produksi vertikal semacam itu memberikan hasil akhir yang lebih efisien
dibandingkan jika segmen tersebut berserakan, baik menurut perusahaan maupun
berdasarkan lokasi perusahaan.
Indonesia memiliki corak perkembangan industri unggas yang banyak
didorong oleh pengaruh kebijaksanaan pemerintah. Sebelum tahun 1970, seluruh
rangkaian produksi berada dalam satu unit usaha tetapi dalam ukuran skala kecil
yakni usaha rakyat. Tetapi kemudian perkembangan industri unggas tumbuh
menurut segmen-segmen tersendiri, maka kita mengenal adanya perusahaan
pabrik pakan yang menghasilkan pakan untuk perusahaan pembibitan dan
perusahaan budidaya. Demikian juga kita memiliki perusahaan pembibitan untuk
menghasilkan bibit untuk perusahaan peternakan. Sehingga apa yang dimaksud
dengan peternakan adalah terbatas pada budidaya itu sendiri. Akibatnya
konsumen hasil akhir harus membayar mahal biaya-biaya ekonomi yang
ditimbulkannya.
34
Kemudian setelah tahun 1990 ada kecenderungan industri nasional
membentuk integrasi vertikal, tetapi baru dalam bentuk kesatuan finansial yang
terdiri atas beberapa perusahaan yang tidak terintegrasi baik dalam satu
perusahaan, apalagi dalam satu lokasi. Saat ini kita mengenal beberapa grup yang
memiliki 5 sampai 7 perusahaan yang keseluruhannya merupakan segmen-segmen
agribisnis unggas. Berbagai sumber informasi melaporkan antara lain Bisnis
Indonesia (1994), Business Survey and Report (1995), dan Poultry Indonesia
(1994) serta didukung oleh data statistik Direktorat Peternakan (1993, 1994 dan
1995) bahwa beberapa perusahaan pabrik pakan skala besar melakukan integrasi
secara vertikal dalam satu kesatuan finansial meskipun dalam bentuk anak-anak
perusahaan. Bahkan beberapa diantaranya melakukan integrasi secara sempurna
dari hulu sampai ke hilir. Contoh perusahaan yang melakukan integrasi sempurna
ini adalah Charoen Pokphand grup, Cargill, Sierad dan terakhir Grup Subur yang
cikal bakalnya adalah perusahaan pakan, pada tahun 1997 meresmikan perusahaan
ketujuh yang bergerak dalam bidang industri peternakan (Poultry Indonesia, 1997)
Secara nasional usaha semacam ini tidak efisien karena hanya
menguntungkan bagi pemilik modal tetapi biaya produksi menjadi lebih tinggi
dan menjadi beban bagi konsumen. Dalam sistem peternakan yang terintegrasi,
semestinya keuntungan perusahaan diperoleh dari pengolahan lebih lanjut (further
processing), bukan dari pemeliharaan ayam. Ukuran pemeliharaan ayam per
peternaknya menjadi semakin besar. Djarsanto (1997) menyatakan bahwa masing-
masing sub-sistem dalam industri peternakan mau menang sendiri, tidak mau
berpadu. Keadaan ini sama sekali tidak memberikan dampak positif
terhadap penurunan biaya, malah meningkat. Dengan kata lain harga output tidak
35
berubah antara sebelum dan sesudah integrasi. Seharusnya, dengan integrasi,
harga output akan lebih rendah.
Integrasi seperti ini telah memberikan keuntungan secara akumulasi dari
setiap sub-sistem, sehingga memberi keuntungan yang besar bagi pemilik modal.
Apalagi, dengan menguasai pangsa pasar yang besar, maka perusahaan induk
finansial dapat mengatur pasar sehingga menimbulkan suatu integrasi yang
merugikan peternak yang berada diluar integrasi tersebut.
Kini ada masalah pokok yang timbul kepermukaan yakni integrasi vertikal
semu. Integrasi vertikal yang terjadi saat ini masih jauh dari sempurna. Pada
sisi lain integrasi semu ini cenderung tumbuh membentuk monopoli atau
oligopoli. Thailand negara Asia yang sudah maju dalam industri broilernya, telah
sejak semula membangun secara terintegrasi, tetapi terjerumus kedalam bentuk
monopoli (Panayotou, 1989 dalam Yusdja et al, 2000). Sekalipun integrasi tidak
saja merupakan suatu keharusan, tetapi memang harus begitu, namun tidak harus
disertai watak monopoli.
Salah satu faktor pendorong terjadinya integrasi yang ada saat ini adalah
karena struktur perizinan. Struktur perizinan usaha yang ada saat ini tidak
menguntungkan sektor pertanian. Sebagai contoh, jika seorang pengusaha
bermaksud mendirikan usaha peternakan ayam, pabrik pakan untuk kebutuhan
sendiri, dan pembibitan, maka dia harus memiliki tiga buah surat izin. Hasilnya
adalah terciptanya tiga buah perusahaan yang terintegrasi secara semu.
Sebagaimana telah diperlihatkan bahwa integrasi semu ternyata mendorong
terjadinya peningkatan biaya. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya segera
melakukan deregulasi dalam bidang perizinan usaha peternakan. Sistem perizinan
36
per sektor dan per komoditas yang berlaku saat ini tidak sesuai bagi membangun
industri ayam ras yang efisien.
Pasar Eceran Modern
Pasar Eceran Tradisional Ekspor
Koperasi Pemasaran
Pasar RT, Hotel, Rumah Makan, Konsumen Khusus
Peternak Skala Menengah
Koperasi Produksi
Pabrik Pakan Pembibitan Pabrik Obat Lainnya
Sumber Bahan Baku Pertanian
Gambar 2. Urutan Segmen Produksi Terintegrasi
Sumber : Yusdja et al, 2000
37
2.6. Pendekatan Ekonomi Kelembagaan Terhadap Perilaku Industri
Kajian terhadap perilaku suatu lembaga ekonomi sangat tergantung pada
konsep pemikiran ekonomi yang mendasarinya. Saat ini terdapat dua aliran
pemikiran besar yang mewarnai hampir setiap kajian ekonomi mikro modern
(Spechler, 1990), yaitu pendekatan neo-klasik dan pendekatan ekonomi
kelembagaan (institusional). Pendekatan neo-klasik menekankan pada asumsi-
asumsi dasar yang telah mapan dan berbagai perangkat teori yang telah lengkap
dan mantap, terutama dalam menjelaskan berbagai perilaku perusahaan, perilaku
konsumen, perilaku pasar, dan hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakat; sebagai hasil dari proses berbagai kajian yang panjang. Neo-klasik
mendasari pemikiran tentang perilaku ekonomi pada beberapa perspektif dasar
yaitu : (a) adanya keseimbangan pasar bersaing sempurna dan ketidaksempurnaan
pasar hanya merupakan pengecualian, (b) faktor (produksi) mendapat imbalan
sesuai dengan nilai dan kontribusi marjinalnya terhadap produksi, hal yang dapat
mempengaruhi kondisi tersebut umumnya diabaikan, (c) selera diasumsikan tetap
dan universal, (d) faktor organisasi dan manajemen diabaikan, (e) pengaruh politis
dan sosial dianggap minimal, dan (f) masalah pemerataan ditangani secara
terpisah dari efisiensi.
Dilain pihak pendekatan ekonomi kelembagaan justru berusaha untuk
mendalami hal-hal yang dinilai sebagai kelemahan dalam pendekatan neo-klasik.
Berangkat dari pemikiran Thorstein Veblen (1857-1929), dan dalam pengaruh
pemikiran beberapa guru ekonomi dan sosiolog Eropa, seperti Gustav Schmoller
(1839-1917), Max Weber (1864-1920) dan Werner Sombart (1883-1941);
pemikiran ekonomi kelembagaan justru berkembang di Amerika, walaupun salah
38
satu penulis kelembagaan terkemuka, yaitu John Kenneth Galbraith (1908-....)
menolak untuk dikatakan sebagai “orang kelembagaan”. Walaupun beberapa
bentuk mekanisme kajian yang dilakukan mungkin juga menggunakan teknik
yang dikembangkan oleh neo-klasik, perspektif ekonomi kelembagaan yang
dikembangkan para pemikir di atas menegaskan pentingnya beberapa hal yang
tidak terdapat pada pendekatan neo-klasik (Spechler, 1990).
Pertama, fokus kajian ekonomi kelembagaan ditujukan pada lembaga atau
organisasi sebagai unit analisa. Dalam hal ini yang dimaksud kelembagaan adalah
pengaturan-pengaturan sosial tentang hubungan antar individu dan kelompok.
Ekonomi kelembagaan menempatkan norma, peraturan, kesepakatan dan berbagai
bentuk serupa; yang kemudian tercermin dalam bentuk struktur hak (property
rights) dan hal-hal yang diakui bersama (common denominator), sebagai faktor
penentu dalam pengambilan keputusan ekonomi. Perbedaan unsur kelembagaan
tersebut akan membedakan kriteria pencapaian tujuan suatu kegiatan ekonomi.
Hal berbeda dengan pendekatan neo-klasik yang umumnya memandang
rasionalitas dari pencapaian keuntungan maksimum dan kriteria hedonistik
lainnya. Kedua, kegiatan ekonomi dipandang sebagai suatu proses evolusi yang
berkelanjutan menuju pencapaian tujuan tertentu (bukan sekedar hanya mencari
keseimbangan), dan tujuan tersebut bukan hanya keuntungan maksimum. Proses
evolusi dari lembaga ekonomi tersebut mirip dengan proses evolusi berdasarkan
teori Darwin. Kondisi lembaga pada tahap berikut ditentukan oleh kemampuan
lembaga yang bersangkutan beradaptasi dengan perkembangan kondisi
lingkungan. Ketiga, setiap lembaga dan aktivitas ekonomi dapat memiliki tujuan
yang berbeda atau memiliki beberapa tujuan. Dan keempat, ekonomi
39
kelembagaan menekankan pentingnya memperhatikan berbagai orientasi normatif
(sosial, politik, dan sebagainya) yang dapat mempengaruhi tujuan atau perilaku
suatu kegiatan ekonomi.
Salah satu pendekatan yang dikembangkan oleh pendekatan ekonomi
kelembagaan adalah bahwa kelembagaan memandang perilaku sebagai bagian
dari rangkaian Struktur – Perilaku - Kinerja (Structure – Conduct - Performance).
Struktur dianggap akan menentukan pola perilaku, dan pola perilaku akan
mempengaruhi kinerja, serta pada akhirnya kinerja akan mempengaruhi kondisi
struktur kelembagaan ekonomi yang bersangkutan (Cook, 1995; Schmid, 1987
dalam Krisnamurthi, 1998). Oleh sebab itu kajian terhadap perilaku usaha perlu
dimulai dengan memahami struktur kelembagaan atau dapat pula diartikan
sebagai berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku; yang kemudian
dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola perilaku lembaga serta berbagai
penjelasan mengapa perilaku tersebut terbentuk; serta dilanjutkan dengan usaha
untuk memahami keterkaitan perilaku dengan keragaan yang ditimbulkannya.
Dalam satu sistem yang berkelanjutan (proses), kinerja pada gilirannya kemudian
akan mempengaruhi struktur kelembagaan karena unsur-unsur dari struktur
berkembang sebagai akibat tingkat kinerja yang diperoleh. Jika seluruh proses
tersebut mengarah kepada tujuan yang telah disepakati oleh unsur-unsur dalam
lembaga maka kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dinilai menunjukkan
kemajuan.
Dalam konteks struktur, terdapat satu aspek yang dinilai oleh para pemikir
ekonomi kelembagaan memiliki pengaruh yang besar, yaitu aspek hak (rights atau
property rights). Perbedaan atau perubahan struktur hak-hak pelaku dalam setiap
40
kelembagaan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku,
dengan memperhatikan karakteristik interdepedensi dan karakteristik sumberdaya
(Schmid, 1987 dalam Krisnamurthi, 1998).
2.7. Tinjauan Studi Terdahulu
2.7.1. Studi Mengenai Industri Pakan Ternak
Hasil penelitian Rusastra et al (1990) tentang keunggulan komparatif
produksi pakan ternak di Lampung dan Jawa Barat menemukan bahwa dinamika
harga pakan ternak sangat dipengaruhi oleh gejolak harga bahan baku, bahkan
pakan mempunyai pangsa antara 70-80 persen dari biaya produksi, sehingga
pembenahan dalam industri perunggasan maupun peternakan akan sangat
dipengaruhi oleh keberhasilan dalam pembenahan sub-sektor tanaman pangan.
Temuan serupa juga diperoleh dari hasil kajian Hutabarat et al (1993) di
empat propinsi (DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan) dan Sajuti
(2001), dimana jagung merupakan bahan baku utama, dengan pangsa 40-60
persen dari bahan baku pabrik pakan ternak. Besarnya komponen jagung dalam
bahan baku pakan ternak disebabkan karena harganya relatif murah, mudah
diproduksi dalam jumlah banyak, mengandung kalori yang tinggi dan sangat
disukai ternak. Oleh sebab itu upaya untuk mengganti jagung dengan bahan lain
belum berhasil hingga saat ini. Temuan ini juga diperkuat oleh hasil kajian
Tangendjaja et al (2002) yang menunjukkan bahwa peranan jagung dalam
produksi pakan ternak sangat penting dan posisinya belum bisa digantikan secara
sempurna oleh bahan baku lainnya.
41
Pada tahun 1996, Alim meneliti tentang efisiensi skala usaha pabrik pakan
dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dan pendugaan laba dengan
metode SUR (Seemingly Unrelated Regression). Penelitian ini memanfaatkan
pool data, yang terdiri dari data penampang lintang dari tiga pabrik yang berlokasi
di wilayah Bogor dan Bekasi, serta data bulanan selama tiga tahun (1992-1994),
sehingga jumlah pengamatan adalah 108 titik data. Kesimpulan dari penelitian ini
menyatakan bahwa harga jagung kuning sangat dominan dalam mempengaruhi
tingkat 1aba dan efisiensi usaha. Hal ini disebabkan jagung kuning mempunyai
pangsa yang relatif tinggi dalam penyusunan pangsa pakan ternak dan belum
tersedia bahan substitusi yang mempunyai kandungan gizi yang setara.
Penelitian Yusdja dan Pasandaran (1996) dengan menggunakan metode
linear programming menghasilkan temuan yang sangat mendukung hasil-hasil
penelitian di atas. Penelitian ini menyimpulkan bahwa jagung merupakan bahan
baku utama dari industri pakan ternak. Pangsa jagung sebagai bahan baku utama
pakan ternak mencapai 56-62 persen dari keseluruhan bahan baku pakan ternak.
Sementara biaya pakan mencapai 87.8 persen dari keseluruhan biaya produksi
daging ayam.
Hasil penelitian Purba (1999) tentang keterkaitan pasar jagung dan pakan
ternak ayam ras di Indonesia : suatu analisis simulasi dengan menggunakan data
deret waktu periode 1969-1996 dengan sistem persamaan simultan dengan
menggunakan metode 2SLS menunjukkan bahwa produksi pakan ternak sesuai
dengan teori ekonomi secara nyata dipengaruhi oleh peubah selisih harga pakan
dan jagung, tingkat suku bunga dan populasi ayam ras. Akan tetapi, baik jangka
pendek maupun jangka panjang produksi pakan ternak kurang respon terhadap
42
perubahan dari peubah-peubah tersebut. Sementara itu, peubah-peubah yang
berpengaruh nyata terhadap permintaan pakan ternak adalah rasio harga pakan
terhadap harga ayam ras dan populasi ayam ras.
Selain itu, Yusdja et al (2000) meneliti struktur industri unggas nasional
yang meliputi produksi, peternak dan struktur industri pakan. Adapun responden
yang diteliti selain peternak adalah pedagang, pabrik pakan, pengolahan,
kelembagaan dan instansi pemerintah terkait di tiga propinsi yaitu Jawa Barat,
Jawa Timur dan Lampung. Pengkajian ilmiah teoritis dilakukan untuk melihat
perubahan struktur industri sebelum dan sesudah krisis moneter. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran struktur produksi dari waktu ke
waktu. Dikemukakan bahwa pada periode 1970-an, usaha peternakan ayam ras
100 persen dikuasai oleh peternakan rakyat dengan dukungan kebijakan PMA.
Namun pada periode 1990-an sebagian besar pangsa produksi dikuasai oleh
perusahaan peternakan skala besar (60 persen), skala menengah (20 persen) dan
skala kecil tinggal menguasai 20 persen.
Sejalan dengan Purba, Kariyasa (2003) meneliti perilaku dan keterkaitan
pasar jagung, pakan dan daging ayam ras di Indonesia, mengevaluasi dampak
kebijakan domestik dan faktor eksternal terhadap kesejahteraan para pelaku pasar
serta melakukan proyeksi produksi dan permintaan domestik terhadap ketiga
komoditi tersebut. Penelitian ini menggunakan data sekunder deret waktu 1980-
2001 dan dianalisis melalui pendekatan ekonometrika. Hasil pendugaan
menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara pasar jagung, pakan dan daging ayam
domestik, serta antara pasar domestik dan dunia lewat harga jagung (domestik,
impor dan dunia), harga pakan domestik, harga daging ayam (domestik, impor
43
dan dunia). Kebijakan subsidi suku bunga kredit usahatani dan harga pupuk
disarankan sebagai alternatif utama dalam pengembangan pasar jagung, pakan dan
daging ayam domestik.
2.7.2. Studi Mengenai Structure-Conduct-Performance
Salah satu penelitian mengenai kinerja ekonomi dengan menggunakan
pendekatan Structure Conduct Performance (SCP) dilakukan oleh Acharya (1998)
pada pasar produk-produk pertanian di India. Penekanan dalam penelitian ini
adalah keterkaitan antara sektor on farm dan off farm yang dihubungkan oleh
sebuah sistem pemasaran produk pertanian. Sistem pemasaran diyakini
memegang peranan penting dalam menentukan harga yang merupakan sinyal bagi
produsen dan konsumen, dan kemudian kinerja sistem ini sangat ditentukan oleh
perilaku dan struktur pasar itu sendiri. Variabel-variabel yang diteliti adalah
pengukuran regulasi, infrastruktur sistem pemasaran, harga yang ditetapkan oleh
pemerintah, agen-agen dalam pasar, ekspor-impor dan kebijakan ekonomi makro.
Hasil yang didapatkan adalah keseluruhan variabel yang diteliti berpengaruh
nyata terhadap dinamika pasar produk pertanian. Karakteristik struktural pasar
produk pertanian menunjukkan dominasi lembaga-lembaga yang terorganisasi
atas lembaga-lembaga yang tidak terorganisasi dengan konsekuensi timbulnya
potensi terciptanya praktek monopoli atau oligopoli. Saran sebagai hasil dari
penelitian ini adalah perlunya meningkatkan linkages antara petani dengan sektor
ritel, pembangunan infrastruktur di pedesaan dan perlunya perhatian pada proses
grading dan pengontrolan kualitas untuk meningkatkan kinerja pasar.
44
Viaenne and Gellynck (1995) menggunakan SCP untuk mengevaluasi
pertumbuhan dan situasi terkini industri makanan di Eropa, terutama perusahaan-
perusahaan yang berada di Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis. Penelitian ini
menggunakan variabel konsentrasi industri dan intensitas penggunaan tenaga
kerja sebagai indikator struktur, nilai tambah dan investasi sebagai indikator
perilaku, serta produktivitas, tingkat pertumbuhan dan profitabilitas sebagai
indikator kinerja. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan variabel-variabel
didalam structure, conduct, performance. Hasil penelitian menunjukkan Perancis
memiliki struktur industri yang paling terintegrasi dibandingkan dengan negara
yang lain, sementara Inggris dan Jerman mengalami pertumbuhan yang negatif.
Namun Belanda dan Jerman memiliki tingkat profitabilitas yang tertinggi di
antara negara yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pasar makanan Eropa
sangat ditentukan oleh keterkaitan struktur usaha, perilaku dan kinerja dalam
industri tersebut.
Vlachvei and Oustapassidis (1998) melakukan penelitian untuk membuat
hipotesis mengenai hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja pada industri
makanan di Yunani. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi parameter
tingkat profitabilitas yang dipengaruhi oleh konsentrasi industri dan iklan pada 38
manufaktur dalam industri pangan dengan menggunakan metode estimasi 3SLS.
Indikator struktur diwakili oleh indeks konsentrasi perusahaan, indikator perilaku
diwakili oleh rasio antara pengiklanan dengan total penjualan, dan tingkat
profitabilitas sebagai indikator kinerja. Hasil yang didapatkan adalah bahwa
intensitas pemasangan iklan dan ekspor berpengaruh nyata dalam meningkatkan
tingkat profitabilitas. Selanjutnya kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh tingkat
45
konsentrasi perusahaan, dan pada sebelumnya konsentrasi tersebut sangat
dipengaruhi oleh economies of scale perusahaan yang bersangkutan. Rekomendasi
yang dinyatakan oleh peneliti adalah bahwa pengiklanan dan diferensiasi produk
merupakan variabel utama yang sangat mempengaruhi profitabilitas. Hubungan
antara pemasangan iklan dan tingkat konsentrasi menunjukan bahwa perusahaan
yang memiliki pangsa produk yang besar lebih efektif untuk menggunakan media
periklanan dibandingkan dengan perusahaan dengan pangsa yang kecil.
Krisnamurthi (1998) menggunakan SCP untuk mengetahui perilaku usaha
KUD pada setiap tingkat perkembangan kelembagaan KUD. Analisis hubungan
struktur, perilaku dan kinerja koperasi menggunakan pendekatan ekonometrika
dengan persamaan simultan. Penelitian ini menggunakan variabel modal dan
volume usaha sebagai indikator struktur, orientasi usaha dan kegiatan usaha utama
serta penggunaan modal luar sebagai indikator perilaku serta produktivitas, SHU
dan volume usaha total sebagai indikator kinerja. Disimpulkan bahwa tingkat
perkembangan koperasi sangat ditentukan oleh orientasi usaha, pengembangan
usaha utama yang berbasis agribisnis pada subsistem produksi dan pemasaran
terutama yang non program dan mampu menciptakan integrasi usaha serta dengan
mencapai tingkat jumlah anggota yang optimal.
Sayaka (2003) menganalisis struktur pasar, perilaku dan kinerja industri
benih jagung di provinsi Jawa Timur, menggunakan data primer dan sekunder.
Data primer dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan milik pemerintah dan
swasta serta distributor benih jagung. Dimensi dari struktur pasar adalah derajat
konsentrasi penjual dan pembeli, diferensiasi produk, barriers to entry and exit
serta pengetahuan pasar. Perilaku pasar dievaluasi menggunakan pendekatan
46
kelembagaan dan fungsional. Kinerja pasar mencakup efisiensi teknis, efisiensi
harga dan progressiveness. Analisis deskriptif dan statistik digunakan untuk
menentukan struktur, perilaku dan kinerja dari industri. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa struktur industri benih jagung di Jawa Timur adalah
sangat oligopolistik. Tiga perusahaan multinasional mendominasi industri.
Investasi yang besar dan terus menerus penemuan varietas baru merupakan
hambatan masuk yang dominan di industri benih jagung meskipun laba tinggi
mencegah produsen meninggalkan industri. Iklan dan jasa servis konsumen
merupakan faktor utama pilihan konsumen terhadap benih. Produsen benih
mendapat laba tinggi disamping resiko dari produk yang banyak tidak terjual. Di
tingkat pedagang besar, pasar benih jagung adalah sangat oligopolistik yang
ditandai dengan konsentrasi lebih dari 40 persen. Disisi lain pedagang pengecer
relatif kompetitif. Pedagang besar membeli dan menjual benih pada harga yang
lebih rendah dan mendapat laba yang lebih tinggi dibanding pedagang pengecer.
Secara umum, pasar benih jagung tidak efisien.
Selanjutnya Hakobyan (2004) meneliti jaringan pemasaran susu sapi di
Armenia, menggunakan analisis structure-conduct-performance. Analisis
sebagian besar terkonsentrasi pada rantai pemasaran yaitu koperasi dan pengolah
(pabrik susu). SCP digunakan untuk mengidentifikasi faktor yang menentukan
daya saing dari suatu pasar, meneliti perilaku dari perusahaan dan menaksir
sukses dari suatu industri dalam pencapaian tujuan. Penelitian menggunakan data
dan informasi dari dokumen internal USDA Marketing Assistance Project
(USDA-MAP), wawancara personal dan data publikasi. Indikator structure
diwakili oleh struktur kepemilikan, ukuran distribusi dan konsentrasi, serta
47
integrasi dan kerjasama. Conduct diwakili oleh aktivitas pemasaran, kebijakan
harga dan kebijakan produk. Sementara performance dilihat dari pendapatan
peternak, pencapaian dan problem yang dihadapi. Adapun masing-masing
komponen di dalam SCP dibahas secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa masalah utama yang menghalangi peningkatan lebih lanjut
dari pabrik susu adalah ketiadaan modal untuk modernisasi dari peralatan yang
ketinggalan zaman dan mutu dari susu mentah. Problem banyak terdapat di area
pemasaran, diantaranya yang utama menghambat kemajuan dari susu yang
dipasarkan koperasi adalah rendahnya harga susu mentah serta ketiadaan ransum
dan bibit berkualitas tinggi.
Resende (2005) meneliti keterkaitan hubungan SCP dalam konteks
industri manufaktur di Brazil tahun 1996. Untuk tujuan itu, dipertimbangkan suatu
sistem dengan empat persamaan yaitu konsentrasi, iklan, R&D, dan tingkat
keuntungan yang diestimasi menggunakan model persamaan simultan. Sebagai
tambahan untuk explanatory variabel, diproksi dari barriers to entry dan kondisi-
kondisi permintaan, juga memasukkan variabel skema insentif dan praktek
organisatoris. Dari hasil penelitian mengindikasikan suatu peran penting untuk
variabel yang berhubungan dengan barriers to entry dalam mempengaruhi
struktur pasar, suatu efek non linear dan penting dari konsentrasi periklanan, suatu
dampak relevan dari firm-size terhadap penggunaan R&D dan akhirnya suatu
dampak positif yang signifikan dari konsentrasi terhadap tingkat keuntungan dan
hasil yang sama dengan sebelumnya pada negara maju. Sebagai tambahan, tidak
ada peran penting yang terdeteksi untuk praktek organisatoris dan skema insentif
pada hubungan SCP.
48
Penelitian yang dilakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, karena variabel-variabel yang ada di dalam masing-masing
komponen struktur, perilaku dan kinerja dari industri pakan ternak ayam
dianalisis secara simultan untuk melihat keterkaitan antar komponen tersebut.
Selain itu dilakukan analisis simulasi untuk melihat perkembangan industri pakan
serta merumuskan kebijakan bagi pemerintah untuk mendorong perkembangan
industri pakan di Indonesia.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis
3.1.1. Permintaan Jagung dan Penawaran Pakan Ternak
Perusahaan adalah satu unit teknis dimana output dihasilkan, karena itu
perusahaan adalah suatu bentuk kelembagaan, bisa perorangan atau dalam bentuk
sekumpulan orang sebagai pemiliknya (Henderson and Quant, 1972). Perusahaan
melakukan proses produksi, yakni melakukan pengaturan penggunaan input
dalam rangka menghasilkan output. Pengelola perusahaan membuat keputusan
tentang berapa seharusnya dan bagaimana output dihasilkan sehubungan dengan
tingkat keuntungan yang akan diperoleh.
Industri merupakan kumpulan perusahaan yang menghasilkan output
sejenis. Kumpulan usaha pakan ternak merupakan suatu industri dan output yang
dihasilkan adalah pakan. Faktor produksi utama dari pabrik pakan ternak adalah
jagung yaitu khususnya jagung kuning yang banyak mengandung vitamin A dan
zat karoten pemberi warna kuning pada kulit kaki dan kuning telur unggas.
Karena di satu sisi jagung merupakan input bagi pabrik pakan ternak dan di sisi
lain jagung merupakan output dari produsen (petani jagung), maka permintaan
input jagung merupakan permintaan turunan (derived demand) dari pabrik pakan
ternak. Oleh sebab itu fungsi permintaan jagung dapat didefinisikan sebagai
fungsi dari harga jagung, input lain dan harga pakan ternak. Penurunannya akan
dijelaskan pada bagian berikut ini.
Fungsi permintaan input termasuk jagung dan penawaran pakan ternak,
dapat diturunkan dari fungsi produksi pabrik pakan ternak, yang dirumuskan
49
50
sebagai berikut :
QSP = QS
P (QJ,QF)............................................................................... (1)
dimana QSP = produksi pakan ternak, QJ = volume penggunaan jagung dan QF =
jumlah penggunaan input lainnya. Bila PP = harga per unit pakan ternak, PJ =
harga per unit jagung dan PF = harga per unit input lainnya, maka keuntungan
pabrik pakan ternak dapat dirumuskan sebagai berikut :
π = PP* QSP (QJ,QF) – (PJ*QJ + PF* QF ) ............................................. (2)
Dengan memaksimumkan fungsi keuntungan di atas dan bila second order
condition dapat dipenuhi, maka keadaan keseimbangan pada pabrik pakan ternak
adalah sebagai berikut :
PJ = PP * QJ' .................................................................................... (3)
PF = PP * QF' .................................................................................... (4)
dimana PP, PJ dan PF merupakan peubah eksogen, QJ dan QF merupakan peubah
endogen. Dengan demikian fungsi permintaan input pabrik pakan ternak adalah:
Permintaan jagung : QDJP = QD
JP (PP, PJ, PF) ............................................... (5)
Permintaan input lain QDFP = QD
FP (PP,PJ,PF) ............................................. (6)
Dengan mensubstitusi persamaan (5) dan (6) ke dalam persamaan (1), maka
fungsi penawaran pakan ternak dari pabrik pakan ternak dapat dirumuskan
sebagai berikut :
QSP = QS
P (PP, PJ, PF )....................................................................... (7)
3.1.2. Analisa Perilaku Usaha
Dalam kerangka pemikiran ekonomi kelembagaan, kita mengenal apa yang
dinamakan Paradigma SCP (Structure-Conduct-Performance) atau Struktur-
51
Perilaku-Kinerja. Struktur mempengaruhi Perilaku yang pada gilirannya
mempengaruhi Kinerja dan feedback-mechanism membuat Kinerja mempengaruhi
Struktur. Sementara komponen struktur di dalam industri tergantung pada kondisi
dasar, seperti teknologi, skala ekonomis, penawaran dan permintaan akan produk.
Yang dimaksud Struktur adalah mengacu pada struktur pasar yang digambarkan
sebagian besar oleh konsentrasi penguasaan pasar didalam pasar tersebut. Dalam
konteks industri, yang termasuk dalam Structure antara lain jumlah dan ukuran
perusahaan dalam industri tersebut, tingkat konsentrasi, hambatan masuk bagi
perusahaan baru, diferensiasi produk, diversifikasi atau konglomerasi, dan
integrasi vertikal (Carlton and Perloff, 2000).
Conduct merupakan perilaku perusahaan, dengan bersaing atau kolusi.
Yang termasuk dalam Conduct antara lain perilaku harga, kapasitas produksi,
advertensi, pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan (R&D), strategi
produk dan non harga, investasi dan kelakuan terhadap pesaing.
Conduct ini mempengaruhi Performance perusahaan dalam industri
tersebut yang tercermin dalam harga produk, efisiensi produktif dan alokatifnya,
pemerataan (equity), kemajuan teknis, laba dan pertumbuhannya (Carlton and
Perloff, 2000). Perubahan kinerja tersebut tentu logisnya dalam kerangka pikir
SCP harus bermula dari perilaku yang juga logisnya harus didahului perubahan
struktur. Perubahan itu bisa berasal dari luar sebagai external forces atau
exogenous variable dan dari dalam sebagai audit internal (endogenous variable).
Struktur mempengaruhi perilaku, dimana semakin rendah konsentrasi
maka semakin kompetitif perilaku perusahaan. Perilaku mempengaruhi kinerja,
dimana semakin kompetitif perilaku maka market power (kekuatan pasar)
52
semakin kecil (artinya semakin besar efisiensi sosial). Struktur mempengaruhi
kinerja, dimana penurunan konsentrasi pasar kearah penguasaan pasar yang lebih
rendah. Hal ini menyiratkan bahwa secara langsung dan tidak langsung struktur
mempengaruhi kinerja (Gambar 3).
S = f1 (C,P) dimana S = Structure
C = f2 (S,P) C = Conduct
P = f3 (S,C) P = Performance
Secara empirik, ketika membandingkan industri, kita perlu mengamati
bahwa industri dengan konsentrasi yang lebih rendah memiliki kekuatan pasar
(market power) yang kecil. Struktur (konsentrasi) adalah eksogenus, variabel yang
menjelaskan. Kinerja, contohnya market power sebagai variabel dependen.
Mengukur Tingkat Konsentrasi :
Jika beberapa perusahaan memiliki penguasaan pasar yang berbeda, jumlah
perusahaan tidaklah mencerminkan tingkat konsentrasi.
Contoh :
Industri I : dua perusahaan masing-masing memilki 50 persen market share.
Industri II : tiga perusahaan – satu dengan 90 persen dan dua lainnya dengan
5 persen market share.
Sesungguhnya, industri II yang lebih terkonsentrasi jika dikaitkan dengan
penguasaan pasar, meskipun jumlah perusahaan lebih banyak dibandingkan
industri I. Konsentrasi pasar dapat dihitung dengan menggunakan Indeks
Herfindahl-Hirschman (HHI), yaitu :
53
Struktur 1. Jumlah dan ukuran Perusahaan 2. Tingkat konsentrasi 3. Hambatan masuk bagi
perusahaan baru 4. Diferensiasi produk 5. Diversifikasi 6. Integrasi Vertikal
Perilaku 1. Pricing 2. Taktik legal 3. Advertensi 4. Pengeluaran untuk R & D 5. Strategi Produk 6. Investasi
Kinerja 1. Efisiensi 2. Profit 3. Produktivitas 4. Pertumbuhan 5. Harga produk
Gambar 3. Unsur dan Keterkaitan Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri (diadopsi dari Carlton and Perloff, 2000)
Kondisi Dasar 1. Permintaan konsumen 2. Penawaran 3. Teknologi 4. Skala ekonomis
Kebijakan Pemerintah 1. Regulasi 2. Antitrust 3. Hambatan masuk 4. Pajak dan subsidi 5. Insentif investasi 6. Kebijakan makroekonomi
54
Misalkan terdapat n perusahaan di sebuah industri. Untuk masing-masing
perusahaan i, qi merupakan output dari perusahaan i.
Total output dari industri : q = q1 + q2 + ... + qn
Market share dari perusahaan i dinyatakan dengan si = qi/q
Indeks Herfindahl-Hirschman :
HHI = s12+ s2
2+ ...sn2
Untuk contoh di atas :
Industri I: n = 2, s1 = s2 = ½, HHI = ¼ + ¼ = 0.5
Industri II: n = 3, s1 = 0.9, s2 = s3 = 0.05, HHI = (0.9)2 + (0.05)2 + (0.05)2 = 0.815
Jadi, dari nilai Herfindahl-Hirschman Index menunjukkan bahwa industri II lebih
terkonsentrasi.
Struktur Industri
Struktur disini mengacu pada struktur pasar yang digambarkan sebagian
besar oleh konsentrasi penguasaan pasar didalam pasar tersebut. Istilah
konsentrasi atau derajat tingkat konsentrasi mengacu pada kepemilikan atau
kontrol proporsi yang besar dari beberapa kumpulan atau aktivitas sumber daya
ekonomi. Secara kuantitatif, kita mengukur struktur industri berdasarkan rasio
konsentrasi. CR diduga dipengaruhi oleh faktor teknis, variabel perilaku dan
kinerja. Yang termasuk faktor teknis adalah skala ekonomis, yang diproksi dari
biaya produksi (Strickland & Weises, 1976).
Penguasaan pasar (market share) adalah indikator utama dari posisi suatu
perusahaan dalam pasar. Semakin kecil market share, semakin besar tekanan
bersaing perusahaan tersebut. Rasio konsentrasi dari beberapa perusahaan besar
menentukan horisontalnya market power dari perusahaan besar di dalam pasar.
55
Rasio konsentrasi adalah penguasaan pasar dari perusahaan besar yang
umumnya didasarkan pada empat perusahaan besar. Ini juga merupakan indikator
langsung dari derajat tingkat oligopoli (Sheperd, 1997). Jika banyaknya penjual di
pasar hanya satu, maka disebut monopoli. Jika banyaknya penjual ada beberapa,
maka disebut oligopoli. Secara teori atau prakteknya, karakter, intensitas dan
efektivitas dari kompetisi antar perusahaan akan dipengaruhi secara signifikan
oleh CR (Bain, 1968).
Konsentrasi menyiratkan derajat tingkat dari market power
(Suvanichwong, 1977 dalam Sayaka, 2003). Kekuatan pasar (market power)
adalah kemampuan suatu perusahaan untuk mempengaruhi dengan kuat kuantitas
dan harga di pasar. Ini juga merupakan share perusahaan dari total penerimaan
output industri yang bervariasi dari 0 sampai 100 persen. Suatu perusahaan
dengan market share kurang dari 10 persen dapat dikatakan tidak memiliki market
power. Market power muncul jika share perusahaan mencapai 15 persen dan dapat
dikatakan monopoli jika mencapai 25 sampai 30 persen (Sheperd, 1997). Untuk
market share lebih dari 40 sampai 50 persen, maka market power secara relatif
kuat. Dari waktu ke waktu market power suatu perusahaan dapat berubah-ubah
tergantung market sharenya. Sementara itu, Market share mempunyai hubungan
yang positif dengan profitabilitas, dimana market share yang semakin meningkat,
juga akan meningkatkan profitabilitas (Sheperd, 1997).
Perilaku Industri
Conduct mengacu pada cara dimana perusahaan sebagai individu atau
grup bertindak dengan cara bersaing untuk memaksimumkan keuntungan dalam
56
industri tersebut. Menurut Bain (1968), conduct mengacu pada pola perilaku dari
perusahaan dalam mengadopsi atau menyesuaikan diri dalam pasar dimana
mereka menjual produk. Perilaku pasar mencerminkan perilaku dari penjual dan
pembeli di pasar yang mencakup kebijakan penetapan harga dan prakteknya,
strategi periklanan, riset dan pengembangan, investasi dan taktik legal (Scherer
and Ross, 1990). Format lain dari conduct meliputi kolusi dengan pesaing dan
strategi melawan pesaing, sebagai contoh adanya koordinasi dan penyesuaian
harga dari perusahaan yang bersaing dan taktik saling menghancurkan (Sheperd,
1997 and Bain, 1959).
O X2 X1
P2
P1
Harga
Output
C1
G
ATCMC
4a. Firm 4b. Industri
P2
P1
O Z1 Z2 Output
D
S2
S1
Harga
Gambar 4. Penetapan Harga Pada Pasar Bersaing Sempurna (diadopsi dari Scherer and Ross, 1990)
Seperti terlihat pada Gambar 4, dalam pasar yang kompetitif, kurva
permintaan jangka pendek dari perusahaan adalah suatu garis mendatar di OP1
dan kurva penawaran jangka pendek, S1 (Scherer and Ross, 1990). Perusahaan
memaksimumkan laba sampai biaya marjinal (MC) sama dengan harga OP1.
57
Perusahaan menghasilkan output di OX1 dan mendapatkan profit diatas normal
(GC1 sampai OX1). Kondisi ini menarik perusahaan baru untuk masuk industri,
dan menambahkan fungsi biaya marjinal baru mereka ke dalam kurva penawaran
industri yang membuat kurva penawaran bergeser ke kanan. Entry dan ekspansi
akan meningkatkan output dan akan menekan harga sampai MC sama dengan
biaya rata-rata total (ATC). Kondisi zero-profit dicapai dengan kurva penawaran
jangka pendek, S2, ketika jumlah penawaran sama dengan Z2 dan harga pasar
bergeser ke bawah ke OP2. Perusahaan di industri memaksimumkan keuntungan
mereka dengan menyamakan biaya marjinal mereka, dengan harga baru di OP2
dan level output mereka di OX2.
Pada sisi lain, harga di pasar monopoli ditentukan dengan menyamakan
biaya marjinal jangka pendek (SRMC) dan pendapatan marjinal (MR) di OP3.
Level output yang diproduksi oleh perusahaan adalah OX3. Dengan demikian,
perusahaan mendapat keuntungan sebesar P3C3 sampai OX3. Jika hambatan
masuk (barriers to entry) industri ada, keseimbangan tingkat keuntungan akan
terus berlanjut (Gambar 5a). Penetapan harga output berbeda jika pasar adalah
monopolistik. Bagaimanapun, asumsi dirasa rumit untuk persaingan monopolistik
termasuk penguasaan yang kecil sehubungan dengan pasar, produk diferensiasi,
dan bebas masuk pasar. Laba ekonomi yang didapat oleh perusahaan yang ada
menarik peminat yang baru ke dalam industri dan pergeseran kurva permintaan ke
kiri sampai pada tangen fungsi biaya untuk jangka panjang (LRATC). Level
output menjadi OX4 dan tingkat harga di OP4, dimana LRMC sama dengan MR.
Penetapan harga ini tidak akan memberi laba ekonomi bagi perusahaan di industri
(Gambar 5b).
58
Harga
O X3 Output
MR
D
SRATCSRMC
C3
P3
5a. Monopoli murni
Harga
5b. Persaingan monopolistik
X4 Output
D MR
LRATC
LRMC
P4
Gambar 5. Penetapan Harga pada Monopoli Murni dan Persaingan Monopolistik (diadopsi dari Scherer and Ross, 1990)
O
Perbandingan antara penetapan harga dibawah pasar monopoli dengan
pasar bersaing, dengan baik diterangkan oleh Nicholson (2000). Diasumsikan
bahwa biaya rata-rata total (AC) adalah tetap untuk suatu periode tertentu.
Gambar 6 menunjukkan bahwa pasar bersaing menentukan harga keseimbangan
dengan menyamakan biaya rata-rata total dengan kurva permintaan (D),
perpotongan di titik E. Di sisi lain, monopoli menetapkan harga di titik B. Harga
monopoli (P**) lebih tinggi dibanding harga dari pasar bersaing (P*) dan
perbedaan ini sama dengan BA. Output dari monopolis adalah OQ**, yang mana
lebih rendah dari pasar bersaing (OQ*). Pengeluaran konsumen dan input
produktif senilai AEQ*Q** dialokasikan kedalam produksi barang lain. Surplus
konsumen yang sama dengan P**BAP* ditransfer menjadi laba monopoli.
Segitiga ABE merupakan welfare loss dari konsumen sehubungan dengan
monopoli.
59
B
MR
P**
P*
0
A
E
Q**
MC (=AC)
Q*
D
Harga
Gambar 6. Penetapan Harga oleh Perusahaan Monopoli dan Bersaing (diadopsi dari Nicholson (2000)
Kinerja Industri
Pada hipotesis awal menyatakan bahwa struktur pasar merupakan
exogenous explanatory variabel. Namun kenyataannya, struktur pasar
(konsentrasi) itu sendiri mempengaruhi perilaku perusahaan (dan selanjutnya
kinerja perusahaan). Karena itu entry dan exit dari perusahaan di industri
mencerminkan bagaimana kolusi atau kompetitifnya perusahaan, jenis hambatan
yang mereka ciptakan, bagaimana perusahaan besar menghancurkan perusahaan
kecil, dan seterusnya. Entry dan exit, pada gilirannya, mempengaruhi konsentrasi
pasar. Di pihak lain, baik konsentrasi maupun penguasaan pasar ditentukan secara
endogen, masing-masing mempengaruhi yang lain. Korelasi antara konsentrasi
dan market power tidaklah selalu positif. Sebagai contoh, semakin kolusif suatu
60
industri, harga dan market power semakin tinggi. Namun pada waktu yang sama,
tingginya harga dan tingkat keuntungan dapat menarik pemain baru sehingga
tingkat konsentrasi dapat menurun.
Market power (kekuatan pasar) biasanya diukur oleh kenaikan harga
relatif di atas biaya marjinal, yang disebut Lerner Index. Jika semua perusahaan
mempunyai biaya marjinal dari produksi yang sama, lalu,
L = p – MC p Bagaimana jika perusahaan mempunyai MC produksi yang berbeda-beda?
Selanjutnya, Lerner indeks melihat rata-rata tertimbang dari tiap kenaikan harga
di atas biaya marjinal di mana yang tertimbang di sini adalah market share dari
tiap perusahaan. Jika terdapat n perusahaan dan si adalah pangsa perusahaan i,
L = s1 ( p – MC1 ) + s2 (p – MC2) + …. + sn (p – MCn) p p p
Paradigma SCP percaya bahwa Herfindahl-Hirschman index menjelaskan Lerner
index, perbedaan pada H menjelaskan perbedaan pada L.
Hasil penelitian empiris dengan cross section di industri, biasanya
memiliki hubungan statistik yang lemah. Hal yang menjadi problem adalah data.
Lerner index memerlukan informasi biaya marjinal dari produksi, sementara data
tersebut sulit didapat oleh pihak di luar bisnis. Peneliti dapat menggunakan rata-
rata tertimbang dari tingkat keuntungan (rasio keuntungan terhadap pendapatan)
sebagai proksi dari Lerner index. Mengapa? Karena jika perusahaan-perusahaan
memiliki biaya marjinal yang tetap untuk setiap level output, ci untuk perusahaan
i, maka,
61
p – ci = p.qi - ci.qi p p.qi
= Profit perusahaan i
Revenue perusahaan i
Namun data perhitungan laba yang dilaporkan industri biasanya tidak
mencerminkan konsep ekonomi tentang laba.
Konsep Pasar Oligopolistik dan Kartel
Dalam sistematika struktur pasar, kartel masuk dalam struktur pasar
oligopoli yang kolusif (Koutsoyiannis, 1979). Pasar Oligopoli dapat didefinisikan
sebagai suatu pasar di mana terdapat beberapa produsen yang menghasilkan
barang dan atau jasa yang saling bersaingan (Sukirno, 1985). Selanjutnya
dikemukakan bahwa ciri-ciri pasar oligopoli adalah : (1) jumlah perusahaan
sangat sedikit, (2) barang yang dihasilkan dapat merupakan produk yang standar
dan berbeda corak, sehingga saling bersaing di pasar, (3) kemampuannya
mempengaruhi harga ada kalanya lemah dan ada kalanya kuat, (4) hambatan
untuk memasuki industri atau pasar (barriers to entry) cukup tangguh, dan (5)
pada umumnya perusahaan oligopoli perlu melakukan promosi melalui iklan,
secara gencar.
Sebagai akibat dari perkaitan dan hubungan yang saling mempengaruhi,
perusahaan oligopoli harus membuat perhitungan yang cermat mengenai reaksi
dari perusahaan pesaing lainnya apabila ia mengambil kebijakan menurunkan atau
menaikkan harga. Secara umum, reaksi dari perusahaan oligopoli saingan adalah
sebagai berikut : (1) apabila salah satu perusahaan oligopoli menaikkan harga,
sementara perusahaan oligopoli saingan tetap mempertahankan harga, sehingga
62
perusahaan oligopoli tersebut akan kehilangan langganannya dan perusahaan
pesaingnya dapat merebut pangsa pasar, (2) apabila salah satu perusahaan
oligopoli menurunkan harga, maka perusahaan saingan akan mengikuti
menurunkan harga, kondisi ini dapat menimbulkan perang harga di antara
perusahaan oligopoli sehingga akan dapat mengancam kesinambungan usahanya.
Sebagai ilustrasi struktur pasar oligopoli yang ada di Indonesia adalah
industri pembibitan DOC, industri pakan ternak, industri mie instan, industri
pupuk, industri pengolahan susu, dan dalam batas-batas tertentu Poultry shop-
Poultry shop adalah contoh perusahaan oligopoli. Sementara itu, contoh struktur
pasar yang oligopsonistik adalah industri tepung tapioka di Lampung Tengah,
pedagang jeruk antar pulau asal Pontianak, Kalimantan Barat.
Oleh karena reaksi perusahaan lain adalah seperti dijelaskan di atas, maka
kurva permintaan yang dihadapi oleh perusahaan oligopolistik adalah kurva
permintaan yang patah (kinked demand curve) dan kurva penerimaan marginal
(marginal revenue MR) adalah terputus (MR1 dan MR2) seperti pada Gambar 7
berikut:
7a. Kurva Permintaan yang Patah 7b. Kurva Penerimaan Marjinal Yang Terputus
Gambar 7. Kurva Permintaan yang Patah (Kinked-Demand Curve) dan Kurva
Penerimaan Marjinal yang Terputus pada Pasar Oligopolistik (diadopsi dari Koutsoyiannis, 1979)
63
Dalam kondisi demikian, maka keuntungan maksimal dicapai pada saat
MC=MR. Pada Gambar 7b menunjukkan bahwa pada perusahaan yang
mempunyai struktur biaya antara MC1 hingga MC2 (Titik B1 hingga titik B2) maka
tingkat keuntungan maksimum yang dicapai perusahaan akan tetap sama dengan
tingkat harga Po dan jumlah Qo. Atau dengan kata lain selama kurva biaya
marginal (MC) memotong MR antara titik B1 dan B2, harga dan jumlah produksi
yang dihasilkan perusahaan oligopolis tidak mengalami perubahan.
Berdasarkan pada analisis diatas dapatlah disimpulkan bahwa dalam pasar
oligopoli dimana perusahaan-perusahaan tidak melakukan kesepakatan diantara
mereka, tingkat harga bersifat rigit (sukar berubah). Dalam pasar oligopolistik
akan sangat menguntungkan bagi semua perusahaan jika mereka bekerjasama
melakukan kesepakatan-kesepakatan, inilah yang disebut kartel. Dengan
terjadinya kartel pada industri perunggasan di satu sisi menyebabkan
pertumbuhan yang cepat pada semua subsistem agribisnis termasuk subsistem
budidaya, namun terbatas pada anggota kartel, dan di sisi yang lain telah
menyebabkan banyak pengusaha dan peternak rakyat yang tidak tergabung dalam
kartel mengalami kerugian dan gulung tikar.
Secara umum ada 2 bentuk kartel, yaitu : (1) kartel yang bertujuan
memaksimumkan keuntungan bersama (joint profit maximization), dan (2) kartel
yang bertujuan melakukan pembagian pasar (Sharing of the market). Pada kartel
bentuk yang pertama, perusahaan-perusahaan anggota kartel menyatukan struktur
biayanya dan memaksimumkan keuntungan bersama. Sementara bentuk yang
kedua, dibedakan menjadi 2, yaitu : (1) persetujuan persaingan non harga (non
price competition agreement), sebagai contoh pada perusahaan maskapai
64
penerbangan di Indonesia, dan (2) persetujuan kuota (Quota agreement), sebagai
contoh adalah OPEC.
Biasanya struktur industri dari pasar oligopoli adalah terdapat beberapa
perusahaan besar yang mendominasi industri dan beberapa perusahaan kecil.
Beberapa perusahaan golongan pertama (yang menguasai pasar) saling
mempengaruhi satu sama lain, karena keputusan dan tindakan oleh salah satu
perusahaan dapat mempengaruhi perusahaan-perusahaan lainnya. Dominasi
perusahaan tersebut dapat disebabkan oleh pangsa produksinya yang besar atau
disebabkan oleh struktur biaya produksinya yang rendah atau kombinasi
keduanya. Adanya kondisi yang saling mempengaruhi, penguasaan pangsa pasar
dan perbedaan dalam struktur biaya maka maksimisasi keuntungan pada kartel
hampir tidak dimungkinkan.
Kondisi tidak tercapainya keuntungan maksimum pada masing-masing
perusahaan dalam kartel dapat diilustrasikan melalui gambar 8. Dimana gambar
8a menunjukkan perusahaan dengan struktur biaya lebih tinggi dan gambar 8c
adalah gabungan perusahaan 1 dan 2 membentuk struktur pasar monopoli (kartel).
Kondisi tidak tercapainya keuntungan maksimum pada masing-masing
perusahaan tersebut, menyebabkan kerugian ganda yaitu: (1) tidak tercapainya
efisiensi atau tidak tercapainya pertumbuhan yang optimal, dan (2) tidak
tercapainya pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan.
Keuntungan maksimum kartel dicapai pada titik perpotongan antara kurva
MC dan MR (di titik e, gambar ketiga), dengan menarik titik tersebut ke kurva
permintaan (D) dan kemudian dengan menarik ke sumbu vertikal diperoleh
tingkat harga P. Pada tingkat harga tersebut besarnya keuntungan perusahaan 1
Gambar 8. Mekanisme Tidak Tercapainya Keuntungan Maksimum dalam Kartel
Sumber : Koutsoyiannis, 1979.
65
8a. Struktur Biaya Perusahaan 1 8b. Struktur Biaya Perusahaan 2 8c. Gabungan Struktur Biaya Perusahaan 1 & 2
c f
62
66
adalah sebesar persegi panjang a,b,c,P, sedangkan perusahaan 2 sebesar persegi
panjang q,f,h,P. Besarnya keuntungan perusahaan 1 lebih besar dibandingkan
perusahaan 2, dan tingkat keuntungan yang dicapai masing-masing perusahaan
bukanlah keuntungan maksimalnya.
Permasalahan Pokok Kartel
Suatu faktor penting yang mempengaruhi struktur pasar dalam bentuk
kartel adalah tingkat kerja sama antar perusahaan yang tergabung dalam kartel.
Artinya mereka mengadakan kesepakatan-kesepakatan (kolusi) baik dalam
penetapan harga, besarnya output, membagi pasar, dan membuat keputusan-
keputusan bisnis lainya, untuk menghindarkan terjadinya perang harga, sehingga
kesinambungan usaha mereka terjamin.
Untuk menciptakan kondisi tersebut tidaklah mudah, permasalahan pokok
yang dihadapi kartel, misalnya pada joint profit maximization antara lain adalah :
(1) adanya kecenderungan kesalahan dalam menduga permintaan pasar,
(2) kecenderungan akan menimbulkan kesalahan dalam menduga marginal cost
(MC) masing-masing, (3) proses negosiasi yang berjalan lambat, (4) tingkat harga
yang dihasilkan dari negosiasi bersifat rigit (kaku), (5) sifat yang kurang
menunjang dari para anggota yang tergabung dalam kartel tersebut, (6)
perusahaan-perusahaan mempunyai struktur biaya tinggi, (7) campur tangan
pemerintah, sebagai contoh di Amerika Serikat keberadaan kartel dilarang oleh
undang-undang Anti Trust, di Indonesia ada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, (8) keinginan untuk
memperoleh citra yang baik di hadapan masyarakat masing-masing perusahaan,
(9) ketakutan terhadap masuknya perusahaan baru dalam industri dengan struktur
67
biaya yang lebih rendah, dan (10) bebas dalam mendesain produk, sehingga
konsumen cenderung lebih menyukai produk dari perusahaan oligopoli tertentu.
3.2. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual ini pertama-tama dilandasi oleh tiga dasar pemikiran
yaitu: Pertama, adalah komitmen bahwa pengembangan usaha ternak unggas
diutamakan bagi usaha rakyat. Pemerintah berniat mempertahankan komitmen
tersebut sejak awal usaha ternak unggas mulai berkembang pada tahun 1976
sehingga sampai sekarang. Namun setelah krisis ekonomi membuat semuanya
serba salah. Pemerintah dalam kurun waktu 30 tahun telah menerapkan berbagai
kebijaksanaan untuk menegakkan komitmen tersebut, namun yang terjadi adalah
sebaliknya, yakni industri usaha unggas justru menjadi ladang bagi usaha swasta
(Yusdja dan Effendi, 1999).
Kedua, adalah Keppres 22/1990 dan SK Menteri Pertanian No.
314/Mentan/1996. Kedua peraturan ini merupakan fondasi kebijaksanaan
pemerintah dalam membangun model-model pengembangan usaha rakyat dan
usaha swasta sejak tahun 1990. Dua hal utama yang dicantumkan dalam kedua
peraturan tersebut adalah bahwa batasan skala usaha rakyat ditingkatkan dari 5
ribu ekor menjadi 15 ribu ekor, dan pengusaha swasta diizinkan masuk ke dalam
sektor budidaya dengan skala usaha yang bebas tetapi ia harus memenuhi dua hal
yakni pertama tujuan produksi untuk ekspor dan kedua harus melibatkan peternak
rakyat dalam bentuk kemitraan.
Ketiga, adalah bahwa Indonesia cepat atau lambat akan menghadapi pasar
bebas dunia. Pasar bebas mempunyai arti bahwa Indonesia harus membuka diri
68
bagi masuknya produksi dunia, demikian juga sebaliknya. Kebijakan penetapan
tarif dan non-tarif bagi produk impor tidak bisa dilakukan untuk memproteksi
produksi dalam negeri. Salah satu cara yang legal bagi menghambat masuknya
produk dunia dan mendorong produksi dalam memasuki pasar dunia adalah
dengan meningkatkan daya saing dengan memanfaatkan keunggulan komparatif
sebesar-besarnya.
Ketiga dasar diatas yakni Komitmen Usaha Rakyat, Keppres 22/1990, dan
Pasar Bebas akan sulit berjalan seiring, karena pertentangan-pertentangan yang
ada di dalam ketiga dasar tersebut. Suatu kajian yang menyeluruh pada semua
elemen struktur industri unggas sangat diperlukan untuk menjawab bagaimana
sebenarnya struktur industri unggas itu sendiri (Gambar 4). Sebagaimana
dikatakan oleh Nesheim (1979), bahwa apa yang dikatakan usaha ternak adalah
usaha yang mengandung tiga unsur terpadu yakni pemeliharaan, pembuatan
pakan, dan pembibitan. Pada kenyataannya struktur terpadu itu tidak kita temukan
di Indonesia, karena struktur industri unggas nasional yang ada mempunyai unsur-
unsur yang berdiri sendiri-sendiri.
69
Keppres No. 20/1990 Pasar Bebas
Perkembangan Industri Unggas
Nasional
Analisis perilaku Industri pakan
Struktur - Jumlah perusahaan - Rasio konsentrasi - Diferensiasi produk - Struktur tenaga
kerja
Kinerja - Efisiensi usaha - Penetapan harga - Tk. Keuntungan - Market share - Market power
Perilaku - Perilaku biaya - Perilaku
Produksi
Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Idaman
Peternak Mandiri Terintegrasi
Terorganisasi
Komitmen Pemerintah
Gambar 9. Kerangka Pemikiran Struktur dan Keragaan Industri Pakan Ternak
Ayam.
70
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian berlangsung selama 6 bulan mulai April sampai Oktober 2005
dengan lokasi penelitian pada dua propinsi yaitu Lampung dan Jawa Barat.
Pemilihan propinsi berdasarkan pusat kawasan industri pakan untuk wilayah Jawa
dan Sumatera sedangkan populasi sasaran berdasarkan kriteria industri pakan
ternak yang konsisten menghasilkan sebagian besar (lebih dari 50%) pakan atau
ransum untuk ternak ayam ras mulai dari tahun 1999 – 2003. Di propinsi
Lampung terdapat 5 perusahaan pakan ternak dan yang sesuai kriteria ada 3
perusahaan pakan. Sementara di propinsi Jawa Barat terdapat 22 perusahaan
pakan ternak dan yang sesuai kriteria di atas ada 6 perusahaan pakan, sehingga
keseluruhan industri pakan yang diambil berjumlah sembilan perusahaan pakan
ternak ayam.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang
merupakan data pooling yaitu gabungan time series dari tahun 1999 sampai 2003
dan cross section pada sembilan industri pakan. Di Propinsi Lampung terdapat
perusahaan seperti PT. Japfa Comfeed, PT. Vista Grain Corp (Charoen Pokphand
Group), PT. Sentraprofeed Intermitra dan PT. Sierad Grain. Di Propinsi Jawa
Barat terdapat perusahaan seperti PT. Anwar Sierad, PT. Cargill Indonesia, PT.
Charoen Pokphand Indonesia, PT. Gold Coin Indonesia, PT. Japfa Comfeed
Indonesia dan PT. Cheil Jedang Superfeed. Data yang dikumpulkan mencakup
70
71
perkembangan jumlah perusahaan dan produksi pakan, penggunaan bahan baku
dan tenaga kerja, integrasi produk, harga output dan input, volume dan nilai
penjualan serta produksi bahan baku (jagung dan bungkil kedele) dan output
pakan ternak ayam masing-masing kawasan dan industri. Sumber data sekunder
diperoleh dari Badan Pusat Statistik berdasarkan kode ISIC versi 3 serta berbagai
sumber lainnya seperti FAO, Ditjen Peternakan, Ditjen Tanaman Pangan dan
Hortikultura, dan Poultry Indonesia.
4.3. Spesifikasi Model
Model ekonometrika dalam penelitian ini dikembangkan untuk
membangun model keterkaitan struktur, perilaku dan kinerja industri pakan
ternak. Oleh karena itu, dengan memadukan kerangka teoritis pada Bab III dan
kenyataan yang ada yang menggambarkan bahwa ada keterkaitan diantara
komponen struktur, perilaku dan kinerja industri pakan yang sedang dikaji, seperti
ditunjukkan oleh peubah endogenous pada suatu komponen relevan sebagai
peubah explanatory pada komponen lainnya, sehingga model keterkaitan struktur,
perilaku dan kinerja industri pakan ternak ayam di Lampung dan Jawa Barat
merupakan sebuah sistem persamaan simultan.
Model ekonometrika adalah suatu model statistika yang menghubungkan
peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena ekonomi yang mencakup unsur
stokastik (Intriligator, 1978). Selanjutnya suatu model yang baik harus dapat
memenuhi kriteria ekonomi, statistika dan ekonometrika (Koutsoyiannis, 1977).
Model dibagi dalam 3 blok yaitu blok struktur industri, blok perilaku industri dan
blok kinerja industri dengan persamaan masing-masing blok sebagai berikut:
72
4.3.1. Blok Struktur Industri
Blok struktur mencakup jumlah perusahaan dalam industri pakan, tingkat
konsentrasi dan intensitas penggunaan tenaga kerja (Viaenne and Gellynck
(1995). Selanjutnya Carlton and Perloff (2000) menyatakan bahwa struktur
industri tergantung pada kondisi dasar yang ada. Kondisi dasar di sini diistilahkan
sebagai faktor eksternal yang turut menentukan struktur industri. Yang termasuk
faktor eksternal di dalam model SCP industri pakan diantaranya permintaan
pakan, volume pengeluaran pakan ke luar daerah, produksi pakan regional, harga
input jagung, harga input bungkil kedele dan skala produksi.
Jumlah Perusahaan dalam Industri Pakan (JIPK)
Jumlah perusahaan dalam industri merupakan fungsi dari harga output,
tingkat keuntungan, investasi awal, permintaan pakan dan volume ekspor pakan
ke luar daerah. Peningkatan harga pakan dan tingkat keuntungan akan menarik
investor baru membuka pabrik pakan, sementara nilai investasi awal yang kecil
akan menarik minat investor baru untuk memasuki industri. Selain itu, Nicholson
(2000) menyatakan bahwa jumlah perusahaan ditentukan oleh permintaan pasar,
sehingga persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
JIPK = a1.0 + a1.1RHPKN + a1.2PROF + a1.3INVEA + a1.4DEMDR + a1.5VEXSP +
a1.6DSCL + a1.7DDAE + a1.8YEAR + e1 ................................................. (1)
Hipotesis : a1.1, a1.2, a1.4, a1.5 >0; a1.3, a1.6 <0
dimana: JIPK = Jumlah perusahaan dalam industri (unit)
RHPKN = Rataan harga pakan (Rp/kg)
PROF = Tingkat keuntungan (%)
INVEA = Investasi awal (milyar rp)
DEMDR = Permintaan pakan (juta ton)
VEXSP = Pengeluaran pakan (juta ton)
73
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Efisiensi Teknis Industri Pakan (EFITR)
Keinginan perusahaan untuk memaksimalkan laba akan menghasilkan
pilihan alokasi sumber daya ekonomi pada batas kemungkinan produksi, yang
efisien secara ekonomi (Nicholson, 2000). Efisiensi teknis industri diduga
dipengaruhi permintaan pakan, tingkat keuntungan, penambahan investasi,
struktur tenaga kerja, kapasitas produksi pakan wilayah dan efisiensi teknis
perusahaan. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
EFITR = a2.0 + a2.1DEMDR + a2.2PROF + a2.3DINVE + a2.4LABS + a2.5KPRDR +
a2.6EFITF + a2.7DSCL + a2.8DDAE + a2.9YEAR + e2 …………………. (2)
Hipotesis : a2.1, a2.2, a2.5, a2.6, a2.7 >0; a2.3, a2.4 <0
dimana: EFITR = Efisiensi teknis industri (%)
DEMDR = Permintaan pakan (juta ton)
PROF = Tingkat keuntungan (%)
DINVE = Penambahan investasi (milyar rp)
LABS = Struktur tenaga kerja produksi
KPRDR = Kapasitas produksi kawasan (juta ton)
EFITF = Efisiensi teknis Perusahaan (%)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Rasio Konsentrasi Industri Pakan (RCON)
Rasio konsentrasi diduga dipengaruhi oleh faktor teknis, variabel perilaku
dan kinerja. Yang termasuk faktor teknis adalah skala ekonomis, yang dapat di
proksi dari biaya produksi (Strickland and Weises, 1976). Selain itu, entry dan
74
exit, pada gilirannya akan mempengaruhi konsentrasi pasar. Persamaannya dapat
dirumuskan sebagai berikut :
RCON = a3.0 + a3.1JIPK + a3.2PRODR + a3.3MSHA + a3.4EFITR + a3.5DEMDR+
a3.6COSU+ a3.7DSCL+ a3.8DDAE+ a3.9YEAR+ e3 ………………... (3)
Hipotesis : a3.3, a3.5, a3.7 >0; a3.1, a3.2, a3.4, a3.6 <0
dimana: RCON = Rasio konsentrasi (0 sampai 1)
JIPK = Jumlah perusahaan dalam industri (unit)
PRODR = Volume produksi kawasan (juta ton)
PROPS = Produksi pesaing (juta ton)
MSHA = Market share atau pangsa pasar (%)
EFITR = Efisiensi teknis industri (%)
DEMDR = Permintaan pakan (juta ton)
COSU = Biaya produksi per unit (Rp/kg)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Struktur Tenaga Kerja (LABS)
Struktur tenaga kerja diduga dipengaruhi oleh upah, penggunaan tenaga
kerja non produksi, diferensiasi produk, produksi perusahaan dan kapasitas
produksi perusahaan. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
LABS = a4.0 + a4.1WAGR + a4.2NLABP + a4.3DIPR + a4.4PRODF + a4.5KPRDF +
a4.6DSCL + a4.7DDAE + a4.8YEAR + e4 ............................................ (4)
Hipotesis : a4.3, a4.4, a4.5, a4.6 >0; a4.1, a4.2 <0
dimana: LABS = Struktur tenaga kerja
WAGR = Upah rata-rata (juta rp)
NLABP = Tenaga kerja non produksi (orang)
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
PRODF = Volume produksi perusahaan (juta ton)
KPRDF = Kapasitas produksi perusahaan (juta ton)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
75
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Diferensiasi Produk (DIPR)
Diferensiasi produk merupakan komponen struktur dimana rintangan
paling besar bagi para pesaing potensial adalah makin berkembangnya
diferensiasi produk (Samuelson and Nordhaus, 1995). Diferensiasi produk diduga
dipengaruhi oleh investasi awal, harga input, skala usaha, efisiensi perusahaan,
struktur tenaga kerja, jumlah industri pesaing dan permintaan pakan.
Persamaannya adalah:
DIPR = b1.0 + b1.1INVEA + b1.2HBKD + b1.3HJGG + b1.4DSCL + b1.5EFITF +
b1.6LABS + b1.7JPES + b1.8DEMDR + b1.9DDAE + b1.10YEAR + e5 ..... (5)
Hipotesis : b1.1, b1.3, b1.4, b1.5, b1.6, b1.7 >0; b1.2, b1.8 <0
dimana: DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
INVEA = Investasi awal (milyar rp)
HBKD = Harga bungkil kedele (Rp/kg)
HJGG = Harga jagung (Rp/kg)
EFITF = Efisiensi teknis perusahaan (%)
LABS = Struktur tenaga kerja
DEMDR = Permintaan pakan (juta ton)
JPES = Jumlah perusahaan pakan pesaing (unit)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
4.3.2. Blok Perilaku Industri
Perilaku industri berkaitan dengan alokasi penggunaan kapital sebagai
dampak dari struktur industri. Conduct (perilaku) mengacu pada pola perilaku dari
perusahaan dalam mengadopsi atau menyesuaikan diri dalam pasar dimana
76
mereka menjual produk (Bain, 1968). Perilaku merupakan strategi perusahaan
dalam menghadapi persaingan yang mencakup strategi produk, alokasi biaya
tenaga kerja dan biaya produksi serta penggunaan input bahan baku. Penggunaan
bahan baku dapat mengindikasikan formulasi pakan, yang nantinya akan
menunjukkan kualitas pakan yang dihasilkan oleh perusahaan. Namun yang
ditekankan dalam penelitian ini hanya terbatas pada bahan baku utama yaitu
jagung sebagai sumber energi dan bungkil kedele sebagai sumber protein.
Pangsa Penggunaan Jagung (SPJG)
Persamaan pertama di dalam blok perilaku adalah pangsa (share)
penggunaan jagung. Pangsa penggunaan jagung diduga dipengaruhi oleh harga
output, harga input, pangsa penggunaan bahan baku lainnya, diferensiasi produk,
produksi perusahaan dan tingkat persaingan. Persamaannya dapat dirumuskan
sebagai berikut :
SPJG = b2.0 + b2.1HPKN + b2.2HJGG + b2.3HBKD + b2.4SRWL + b2.5DIPR + b2.6PRODF
+ b2.7DSCL + b2.8PROPS + b2.9JPES + b2.10DDAE + b2.11YEAR + e6 .... (6)
Hipotesis : b2.1, b2.3, b2.6, b2.7 >0; b2.2, b2.4, b2.5, b2.8, b2.9 <0
dimana: SPJG = Pangsa penggunaan jagung (%)
HPKN = Harga pakan (Rp/kg)
HJGG = Harga jagung (Rp/kg)
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
PRODF = Produksi pakan perusahaan (juta ton/th)
SRWL = Pangsa penggunaan bahan baku lainnya (%)
HBKD = Harga bungkil kedele (Rp/kg)
PROPS = Produksi pesaing (juta ton/th)
JPES = Jumlah perusahaan pakan pesaing (unit)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
77
Pangsa Penggunaan Bungkil Kedele (SPBK)
Pangsa penggunaan bungkil kedele diduga dipengaruhi oleh harga output,
harga input, pangsa bahan baku lainnya, diferensiasi produk, produksi perusahaan
dan tingkat persaingan. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
SPBK = b3.0 + b3.1HPKN + b3.2HBKD + b3.3HJGG+ b3.4SRWL + b3.5DIPR + b3.6PRODF
+ b3.7DSCL + b3.8PROPS + b3.9JPES + b3.10DDAE + b3.11YEAR + e7 … (7)
Hipotesis : b3.1, b3.3, b3.5, b3.6, b3.7 >0; b3.2, b3.4, b3.8, b3.9 <0
dimana: SPBK = Pangsa penggunaan bungkil kedele (%)
HPKN = Harga pakan (Rp/kg)
HJGG = Harga jagung (Rp/kg)
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
PRODF = Produksi pakan perusahaan (juta ton/th)
SRWL = Pangsa penggunaan bahan baku lainnya (%)
HBKD = Harga bungkil kedele (Rp/kg)
PROPS = Produksi pesaing (juta ton/th)
JPES = Jumlah perusahaan pakan pesaing (unit)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Pangsa Penggunaan Bahan Baku lainnya (SRWL)
Pangsa bahan baku lainnya merupakan persentase total penggunaan bahan
baku setelah dikurangi pangsa penggunaan jagung dan bungkil kedele, sehingga
merupakan persamaan identitas. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai
berikut :
SRWL = 100 - SPJG - SPBK .............................................................................. (8)
Sementara itu, keluar masuknya perusahaan memiliki pengaruh pada
kurva biaya perusahaan. Di sini diasumsikan bahwa masuknya perusahaan baru
78
akan memberi pengaruh terhadap harga input dimana permintaan input akan naik
sehingga harga input juga ikut naik (Nicholson, 2000).
Pangsa Biaya Bahan Baku Jagung (SCJG)
Pangsa biaya bahan baku jagung diduga dipengaruhi volume dan harga
input itu sendiri, pangsa penggunaan jagung lokal, pangsa biaya lainnya, volume
bungkil kedele, jumlah perusahaan dalam industri, produksi perusahaan, dan
diferensiasi produk. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
SCJG = b4.0 + b4.1VJGG + b4.2HJGG + b4.3SJGL + b4.4SCOT + b4.5VBKD + b4.6JIPK +
b4.7PRODF + b4.8DIPR + b4.9DSCL + b4.10DDAE + b4.11YEAR + e8 ... (9)
Hipotesis : b4.1, b4.2, b4.6, b4.7 >0; b4.3, b4.4, b4.5, b4.8, b4.9 <0
dimana: SCJG = Pangsa biaya bahan baku jagung (%)
VJGG = Volume penggunaan jagung (ribu ton)
HJGG = Harga jagung (Rp/kg)
SJGL = Pangsa penggunaan jagung lokal (%)
VBKD = Volume penggunaan bungkil kedele (ribu ton)
JIPK = Jumlah perusahaan dalam industri (unit)
SCOT = Pangsa biaya lainnya (%)
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
PRODF = Produksi pakan perusahaan (juta ton/th)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Pangsa Biaya Bahan Baku Bungkil Kedele (SCBK)
Pangsa biaya bahan baku bungkil kedele diduga dipengaruhi oleh volume
dan harga input sendiri, pangsa penggunaan bungkil kedele lokal, pangsa biaya
lainnya, volume jagung, jumlah industri pakan, produksi perusahaan dan
diferensiasi produk. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
79
SCBK = b5.0 + b5.1VBKD + b5.2HBKD + b5.3SBKL + b5.4SCOT + b5.5VJGG + b5.6JIPK
+ b5.7PRODF + b5.8DIPR + b5.9DSCL + b5.10DDAE + b5.11YEAR + e9 .. (10)
Hipotesis : b5.1, b5.2, b5.6, b5.7, b5.8 >0; b5.3, b5.4, b5.5, b5.9 <0
dimana: SCBK = Pangsa biaya bahan baku bungkil kedele (%)
VJGG = Volume penggunaan jagung (ribu ton)
HJGG = Harga jagung (Rp/kg)
SBKL = Pangsa penggunaan bungkil kedele lokal (%)
VBKD = Volume penggunaan bungkil kedele (ribu ton)
JIPK = Jumlah perusahaan dalam industri (unit)
SCOT = Pangsa biaya lainnya (%)
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
PRODF = Produksi pakan perusahaan (juta ton/th)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Pangsa Biaya Tenaga Kerja (SCLB)
Pangsa biaya tenaga kerja diduga dipengaruhi oleh upah, struktur tenaga
kerja, pangsa biaya bungkil kedele, pangsa biaya jagung, biaya per unit, produksi
perusahaan, jumlah perusahaan pakan dan diferensiasi produk. Persamaannya
dapat dirumuskan sebagai berikut :
SCLB = b6.0 + b6.1WAGR + b6.2LABS + b6.3SCBK + b6.4SCJG + b6.5COSU+
b6.6PRODF+ b6.7JIPK + b6.8DIPR + b6.9DSCL + b6.10DDAE + b6.11YEAR +
e10 ........................................................................................................ (11)
Hipotesis : b6.1, b6.2, b6.6, b6.7, b6.8 >0; b6.3, b6.4, b6.5, b6.9 <0
dimana: SCLB = Pangsa biaya tenaga kerja (%)
WAGR = Upah rata-rata (juta Rp)
LABS = Struktur tenaga kerja
SCBK = Pangsa biaya bahan baku bungkil kedele (%)
SCJG = Pangsa biaya bahan baku jagung (%)
COSU = Biaya per unit (Rp/kg)
PRODF = Produksi pakan perusahaan (juta ton/th)
80
JIPK = Jumlah perusahaan dalam industri (unit)
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Pangsa Biaya Produksi (SCPR)
Pangsa biaya produksi merupakan penjumlahan pangsa biaya jagung,
pangsa biaya bungkil kedele dan pangsa biaya tenaga kerja. Persamaannya adalah
sebagai berikut :
SCPR = SCJG + SCBK + SCLB ........................................................................... (12)
Pangsa Biaya Lainnya (SCOT)
Pangsa biaya lainnya didapat dengan mengurangi pangsa biaya total
terhadap pangsa biaya produksi. Persamaannya adalah sebagai berikut :
SCOT = 100 – SCPR ............................................................................................ (13)
Produksi pakan perusahaan (PRODF)
Produksi pakan perusahaan diduga dipengaruhi oleh harga output, harga
input, kapasitas produksi, efisiensi teknis, struktur tenaga kerja, skala usaha,
diferensiasi produk dan tingkat persaingan. Adapun peningkatan harga output
akan memberikan sinyal bagi perusahaan untuk meningkatkan produksinya
(Nicholson, 2000). Selain itu sesuai teori ekonomi dan hasil penelitian Purba
(1999), bahwa produksi pakan ternak secara nyata dipengaruhi oleh peubah
selisih harga pakan dan jagung.
PRODF = b7.0 + b7.1RHPJG + b7.2RHPBK + b7.3KPRDF + b7.4EFITF + b7.5LABS +
b7.6DSCL + b7.7DIPR + b7.8PROPS + b7.9JPES + b7.10DDAE + b7.11YEAR +
e11 ........................................................................................................ (14)
81
Hipotesis : b7.1, b7.2, b7.3, b7.4, b7.5, b7.6 >0; b7.7, b7.8, b7.9 <0
dimana: PRODF = Produksi pakan perusahaan (juta ton/th)
RHPJG = Rasio harga pakan terhadap jagung
RHPBK = Rasio harga pakan terhadap bungkil kedele
KPRDF = Kapasitas produksi perusahaan (juta ton/th)
EFITF = Efisiensi produksi perusahaan (%)
LABS = Struktur tenaga kerja
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
PROPS = Produksi pesaing (juta ton/th)
JPES = Jumlah perusahaan pakan pesaing (unit)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
4.3.3. Blok Kinerja Industri
Kinerja industri pakan mencakup efisiensi biaya perusahaan yang dapat
dilihat dari biaya per unit produksi. Biaya ini selanjutnya akan berpengaruh
terhadap harga jual output di pasaran dan perusahaan yang mampu berproduksi
dengan biaya lebih rendah akan memiliki daya bersaing lebih tinggi sehingga
kemampuan penguasaan pasar akan lebih besar (Sheperd, 1997). Efisiensi dalam
biaya akan memberikan nilai tambah lebih tinggi tetapi juga akan terkait dengan
harga output. Persamaan struktural pada blok kinerja sebagai berikut:
Biaya Per Unit (COSU)
COSU = c1.0 + c1.1HJGG + c1.2HBKD + c1.3SPJG + c1.4SPBK + c1.5SCLB + c1.6PRODF
+ c1.7DSCL + c1.8DIPR + c1.9DDAE + c1.10YEAR + e12 ....................... (15)
Hipotesis : c1.1, c1.2, c1.4, c1.5, c1.8 >0; c1.3, c1.6, c1.7,c1.9 <0
dimana: COSU = Biaya per unit (Rp/kg)
SPJG = Pangsa penggunaan jagung (%)
SPBK = Pangsa penggunaan bungkil kedele (%)
82
HBKD = Harga bungkil kedele (Rp/kg)
HJGG = Harga jagung (Rp/kg)
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
PRODF = Produksi pakan perusahaan (juta ton/th)
SCLB = Pangsa biaya tenaga kerja (%)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Harga Pakan (HPKN)
Harga pakan ternak sangat dipengaruhi oleh gejolak harga bahan baku
(Rusastra et al, 1990). Harga output diduga dipengaruhi oleh permintaan dan
penawaran output, biaya per unit, harga-harga input, pangsa pasar, struktur tenaga
kerja, rasio konsentrasi dan skala usaha. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai
berikut :
HPKN = c2.0 + c2.1DEMDR + c2.2PRODR + c2.3COSU + c2.4HJGG + c2.5HBKD +
c2.6MSHA + c2.7LABS + c2.8RCON + c2.9DSCL + c2.10DDAE + c2.11YEAR +
e13 ......................................................................................................... (16)
Hipotesis : c2.1, c2.3, c2.4, c2.5, c2.6, c2.7, c2.8 >0; c2.2, c2.9 <0
dimana: HPKN = Harga pakan (Rp/kg)
DEMDR = Permintaan pakan (juta ton)
PRODR = Volume produksi kawasan (juta ton)
COSU = Biaya per unit (Rp/kg)
HBKD = Harga bungkil kedele (Rp/kg)
HJGG = Harga jagung (Rp/kg)
MSHA = Pangsa pasar (%)
LABS = Struktur tenaga kerja
RCON = Rasio konsentrasi (0 sampai 1)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
83
Pangsa Pasar (MSHA)
Pangsa pasar diduga dipengaruhi oleh biaya per unit, harga output, tingkat
keuntungan, diferensiasi produk, tingkat persaingan, permintaan pakan, rasio
konsentrasi dan skala usaha. Pangsa pasar mempunyai hubungan yang positif
dengan tingkat keuntungan (Sheperd, 1997). Persamaannya dapat dirumuskan
sebagai berikut :
MSHA = c3.0 + c3.1COSU + c3.2HPKN + c3.3PROF + c3.4DIPR + c3.5PROPS + c3.6JPES
+ c3.7DEMDR + c3.8RCON + c3.9DSCL + c3.10DDAE + c3.11YEAR +
e14 ........................................................................................................ (17)
Hipotesis : c3.3, c3.4, c3.7, c3.8, c3.9 >0; c3.1, c3.2, c3.5, c3.6, <0
dimana: MSHA = Pangsa pasar (%)
HPKN = Harga pakan (Rp/kg)
COSU = Biaya per unit (Rp/kg)
PROF = Tingkat keuntungan (%)
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
PROPS = Produksi perusahaan saingan (juta ton/th)
JPES = Jumlah perusahaan saingan (unit)
DEMDR = Permintaan pakan (juta ton/th)
RCON = Rasio konsentrasi (0 sampai 1)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Market Power/Lerner Index (MPWR)
Market power diduga dipengaruhi oleh biaya per unit, efisiensi teknis,
pangsa pasar, tingkat persaingan, skala usaha, rasio konsentrasi dan harga output.
Industri dengan konsentrasi yang lebih rendah memiliki kekuatan pasar yang kecil
(Suvanichwong, 1977 dalam Sayaka, 2003). Namun dari waktu ke waktu market
84
power suatu perusahaan dapat berubah-ubah tergantung pangsa pasarnya
(Sheperd, 1997)
MPWR = c4.0 + c4.1COSU + c4.2EFITF + c4.3MSHA + c4.4PROPS + c4.5JPES +
c4.6DSCL + c4.7RCON + c4.8HPKN + c4.9DDAE + c4.10YEAR + e15 … (18)
Hipotesis : c4.2, c4.3, c4.6, c4.7, c4.8 >0; c4.1, c4.4, c4.5, <0
dimana: MPWR = Market power atau kekuatan pasar (indeks)
MSHA = Pangsa pasar (%)
HPKN = Harga pakan (Rp/kg)
COSU = Biaya per unit (Rp/kg)
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
PROPS = Produksi perusahaan saingan (juta ton/th)
JPES = Jumlah perusahaan saingan (unit)
RCON = Rasio konsentrasi (0 sampai 1)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Efisiensi Teknis Perusahaan (EFITF)
Efisiensi teknis atau kapasitas terpakai merupakan persentase jumlah
output yang dihasilkan dari kemampuan industri sebenarnya untuk menghasilkan
output. Efisiensi teknis perusahaan diduga dipengaruhi oleh permintaan pakan,
harga-harga input, kapasitas produksi perusahaan, skala usaha, tingkat persaingan
dan diferensiasi produk. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
EFITF = c5.0 + c5.1DEMDR + c5.2HBKD + c5.3HJGG + c5.4WAGR + c5.5KPRDF +
c5.6DSCL + c5.7PROPS + c5.8JPES + c5.9DIPR + c5.10DDAE + c5.11YEAR +
e16 ……………………………………………………..……….…….. (19)
Hipotesis : c5.1, c5.6, c5.9 >0; c5.2, c5.3, c5.4, c5.5, c5.7, c5.8 <0
dimana: EFITF = Efisiensi teknis perusahaan (%)
DEMDR = Permintaan pakan (juta ton/th)
HBKD = Harga bungkil kedele (Rp/kg)
85
HJGG = Harga jagung (Rp/kg)
WAGR = Upah rata-rata (juta rp)
KPRDF = Kapasitas produksi perusahaan (juta ton/th)
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
PROPS = Produksi perusahaan saingan (juta ton/th)
JPES = Jumlah perusahaan saingan (unit)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
Tingkat keuntungan (PROF)
Salah satu indikator kinerja adalah tingkat keuntungan (profitabilitas),
dimana keuntungan dipengaruhi oleh persentase nilai tambah, pangsa pasar,
diferensiasi produk, jumlah perusahaan saingan, rasio konsentrasi dan skala
usaha. Menurut hasil penelitian Vlachvei and Oustapassidis (1998), diferensiasi
produk merupakan variabel utama yang sangat mempengaruhi profitabilitas.
Sementara berdasarkan penelitian Resende (2005), tingkat konsentrasi
mempengaruhi profitabilitas.
PROF = c6.0 + c6.1PVADD + c6.2MSHA + c6.3DIPR + c6.4JPES + c6.5RCON +
c6.6DSCL + c6.7DDAE + c6.8YEAR + e17 …..…………………….…. (20)
Hipotesis : c6.1, c6.2, c6.3, c6.5, c6.6 >0; c6.4 <0
dimana: PROF = Tingkat keuntungan (%)
PVADD = Nilai tambah output pakan (Rupiah/kg)
MSHA = Tingkat penguasaan pasar (%)
DIPR = Diferensiasi produk (jumlah jenis)
JPES = Jumlah perusahaan saingan (unit)
RCON = Rasio konsentrasi (0 sampai 1)
DSCL = Variabel skala usaha (1 Besar dan 0 kecil)
DDAE = Variabel dummy kawasan (1 Lampung dan 0 Jabar)
YEAR = Tahun
86
Hubungan antara berbagai variabel endogen dan eksogen baik dalam satu
blok maupun antara blok seperti Gambar 10.
JIPK
RCON
DIPR
EFITR
LABS
COSU
HPKN
MPWR
MSHA
VEXSP
WAGR
PRODR KPRDR DINVE
LABP
INVEA
HJGG
HBKD
VJGG
VBKD
SBKL
SJGL
Gambar 10. Diagram Keterkaitan Variabel-variabel dalam SCP Industri Pakan Ternak
Blok Struktur Blok Perilaku Blok Kinerja
DDAE
Keterangan:
= Endogen = Eksogen
PRODF
SPJG
SPBK
SRWL
SCJG
SCLB
SCBK
YEAR
EFITF
PROF
DEMDR
DSCL
KPRDF
SCPR SCOT PVADD
87
Tabel 7. Jenis dan Pengelompokkan Variabel dalam Penelitian
No Variabel Keterangan Satuan Kelompok* 1 JIPK = Jumlah perusahaan pakan Buah Struktur 2 RCON = Rasio Konsentrasi Rasio Struktur 3 EFITR = Efisiensi Teknis Kawasan % Struktur 4 LABP = Penggunaan tenaga kerja produksi Orang Struktur 5 LABT = Penggunaan Tenaga Kerja Total Orang Struktur 6 LABS = Struktur Tenaga Kerja Struktur 7 KPRDR = Kapasitas Produksi Kawasan Juta ton/tahun Struktur 8 PRODR = Produksi Kawasan Juta ton/tahun Struktur 9 WAGR = Upah Rata-rata Industri Rp. Juta Struktur
10 DIPR Diferensiasi Produk Jenis Struktur 11 INVEA = Nilai Investasi Awal Rp. Milyar Perilaku 12 INVET = Nilai Total Investasi Rp. Milyar Perilaku 13 DINVE = Penambahan Investasi Rp. Milyar Perilaku 14 KPRDF = Kapasitas Produksi Perusahaan Juta ton/tahun Perilaku 15 SJGL = Pangsa Penggunaan Jagung Lokal % Perilaku 16 SRWL = Pangsa Penggunaan Bahan Baku lainnya % Perilaku 17 SPBK = Pangsa Penggunaan Bungkil Kedele % Perilaku 18 SPJG = Pangsa Penggunaan Jagung % Perilaku 19 PRODF = Volume produksi perusahaan Juta ton/tahun Perilaku 20 PRODF1 = Volume produksi tahun sebelumnya Juta ton/tahun Perilaku 21 SBKL = Pangsa penggunaan bungkil kedele lokal % Perilaku 22 VBKD = Volume penggunaan bungkil kedele Ribu ton/tahun Perilaku 23 VJGG = Volume penggunaan jagung Ribu ton/tahun Perilaku 24 SCJG = Pangsa Biaya Bahan Baku Jagung % Perilaku 25 SCBK = Pangsa Biaya Bahan Baku B.Kedele % Perilaku 26 SCLB = Pangsa Biaya Tenaga Kerja % Perilaku 27 SCOT = Pangsa Biaya Lainnya % Perilaku 28 PVADD = Persentase Nilai Tambah % Perilaku 29 HPKN = Harga Pakan Rp/kg Perilaku 30 MSHA = Pangsa Pasar (Market Share) % Kinerja 31 COSU = Biaya Per Unit Rp/kg Kinerja 32 EFITF = Efisiensi Teknis Perusahaan % Kinerja 33 MPWR = Market Power (Lerner Indeks) Indeks Kinerja 34 PROF = Tingkat Keuntungan % Kinerja 35 DEMDR = Permintaan Pakan Juta ton/tahun Eksternal 36 VEXSP = Volume Pengeluaran Pakan Juta ton/tahun Eksternal 37 HBKD = Harga bungkil kedele Rp/kg Eksternal 38 HJGG = Harga jagung Rp/kg Eksternal 39 DSCL = Dummy Skala Produksi 1/0 Eksternal 40 DDAE = Dummy Kawasan 1/0 Eksternal 41 YEAR = Tahun -
*Keterangan : komponen eksternal merupakan kondisi dasar yang mempengaruhi struktur industri
88
4.3.4 Elastisitas
Konsep elastisitas digunakan untuk mendapatkan ukuran kuantitatif respon
suatu fungsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk model yang
dinamis, dapat dihitung elastisitas jangka pendek dan jangka panjang (Gujarati,
1995). Dikarenakan model persamaan dalam penelitian ini bukan model yang
dinamis (tidak melibatkan peubah tenggang waktu/lagged variable sebagai
peubah penjelas/explanatory variable), elastisitas yang dapat diukur hanya
elastisitas jangka pendek, sehingga hanya mampu menginformasikan respon
dalam jangka pendek.
Elastisitas jangka pendek (E-SR) dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
E-SR = δYt/ δXt * Xt/Yt ............................................................ (21)
dimana :
X = rata-rata peubah eksogen
Y = rata-rata peubah endogen
Ukuran-ukuran elastisitas populer digunakan pada analisis permintaan
yang mengacu pada teori tingkah laku konsumen. Menurut Koutsoyiannis (1977),
ada tiga elastisitas yang penting dalam teori tersebut, yaitu : (a) elastisitas harga
(ep), (b) elastisitas pendapatan (ey), dan (c) elastisitas silang (exy).
Nilai elastisitas tersebut dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
ep = δQx/δPx * P/Q ................................................................ (22)
ey = δQx/δY * Y/Q ................................................................ (23)
exy = δQx/δPy * Py/Qx ......................................................... (24)
dimana :
Qx = rata-rata jumlah barang X yang diminta
89
Y = rata-rata jumlah pendapatan konsumen
Px = rata-rata harga barang X
Py = rata-rata harga barang Y
Nilai elastisitas harga diantara 0 – 1 (inelastis) merupakan barang-barang
kebutuhan pokok, sedangkan yang bernilai antara 1 - ∞ merupakan barang
mewah. Barang-barang yang mempunyai barang substitusi biasanya lebih elastis.
Nilai elastisitas pendapatan yang bernilai positif untuk barang normal,
bernilai nol untuk barang netral dan bernilai negatif untuk barang inferior.
Sementara dari nilai elastisitas silang dapat diklasifikasikan apakah suatu barang
berhubungan sebagai substitusi atau komplemen. Jika tanda elastisitas silang
positif maka barang X merupakan barang substitusi terhadap barang Y dan jika
bertanda negatif maka barang X bersifat komplemen terhadap barang Y.
4.4. Identifikasi Model
Indentifikasi model ditentukan atas dasar “order condition” sebagai syarat
keharusan berdasarkan Koutsoyiannis (1977) dengan rumusan identifikasi model
persamaan struktural sebagai berikut: (K – M) ≥ (G – 1),
dimana :
K = total peubah dalam model (peubah endogen dan predetermine)
M = jumlah peubah endogen dan eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi
G = total persamaan dalam model (jumlah peubah endogen dalam model
Jika suatu persamaan menunjukkan kondisi (K-M)>(G-1), maka
persamaan teridentifikasi berlebih (over identified), apabila persamaan
menunjukkan kondisi (K-M) = (G-1) maka persamaan teridentifikasi secara tepat
90
(exactly identified) dan bila persamaan menunjukkan kondisi (K-M)<(G-1) maka
persamaan tidak teridentifikasi (unidentified). Hasil identifikasi setiap persamaan
struktural harus exactly identified atau over identified agar dapat diduga
parameternya.
Model analisis struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ayam di
propinsi Lampung dan Jawa Barat terdiri dari 17 persamaan struktural dan 3
persamaan identitas. Model terdiri dari 20 peubah endogenous dan 25 peubah
exogenous (predetermine). Hasil identifikasi model menunjukkan persamaan
teridentifikasi berlebih (K = 45, M = 12 dan G = 20).
4.5. Metode Estimasi
Metode estimasi yang digunakan dalam penelitian adalah 2SLS (Two
Stage Least Square) dan untuk mengetahui apakah variabel penjelas secara
bersama-sama berpengaruh terhadap variabel endogen pada setiap persamaan
digunakan uji F dan untuk masing-masing variabel penjelas digunakan uji t.
Analisis model dilanjutkan dengan simulasi kebijakan dengan menggunakan paket
program komputer yang meliputi Excel 2003 dan SAS/ETS 9.0.
4.6. Validasi Model
Validasi dilakukan untuk mengetahui kevalidan model yang akan
digunakan untuk simulasi kebijakan. Validasi model berdasarkan Pindyck dan
Rubinfeld (1998) menggunakan kriteria Root Mean Square Error (RMSE) dan
Theil’s Inequality Coefficient (U). Makin kecil nilai RMSE dan U maka model
91
semakin valid untuk disimulasi. Nilai U berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0, maka
pendugaan model sempurna. Sebaliknya U = 1, maka pendugaan model naif.
Indikator lain yang digunakan adalah nilai koefisien determinasi (R2)
dimana semakin tinggi nilai R2 maka semakin besar variasi perubahan peubah
endogen aktual mampu dijelaskan oleh peubah endogen simulasi dasar yang
menunjukkan model semakin baik.
4.7. Simulasi Dampak Kebijakan
Simulasi dampak kebijakan bertujuan untuk mengetahui dampak suatu
perubahan faktor eksternal terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri. Ada 5
perubahan faktor eksternal yang disimulasikan dalam kajian ini yaitu:
(1) perubahan potensi pasar melalui perubahan peningkatan permintaan (demand)
pakan kawasan (DEMDR) 10 persen, (2) meningkatnya penawaran (supply)
pakan kawasan (PREG) 10 persen, peningkatan harga bungkil kedele (HBKD) 10
persen, peningkatan harga jagung (HJGG) 10 persen dan peningkatan upah
(WAGR) 20 persen.
Peningkatan permintaan dan penawaran pakan 10 persen. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan beberapa tahun terakhir ini jumlah produksi daging
dan populasi ayam ras rata-rata mengalami peningkatan sebesar 9.9 persen dan
9.8 persen per tahun.
Peningkatan harga jagung dan bungkil kedele 10 persen. Dalam paket
Deregulasi tahun 1994, Pemerintah membebaskan bea masuk impor jagung,
bungkil kedele, tepung ikan, bungkil kacang tanah dan bibit doc. Namun menurut
wacana terakhir, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk menetapkan bea
92
masuk impor bahan baku. Jika jadi diterapkan, kemungkinan besar hanya berkisar
5-10 persen.
Peningkatan upah 20 persen. Akhir-akhir ini banyak tuntutan dari para
buruh, meminta kenaikan upah. Seandainya pemerintah menyetujui, hal ini
biasanya disesuaikan dengan tingkat inflasi. Adapun tingkat inflasi beberapa
tahun terakhir ini rata-rata berkisar 17 persen.
93
V. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN INDUSTRI PAKAN TERNAK DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT
5.1. Karakteristik Penggunaan Bahan Baku Pakan
Salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia adalah
kemampuan menghasilkan sendiri bahan baku pakan. Hampir seluruh bahan baku
pakan dapat dihasilkan di Indonesia. Selama ini pemanfaatan bahan baku
tergantung pada impor, sehingga fungsinya sebagai industri biologis dalam
meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dalam negeri sangat rendah.
Pemanfaatan jagung untuk pakan dibagi dalam dua kelompok, yaitu untuk
ruminansia dan bukan ruminansia. Umumnya ternak ruminansia memanfaatkan
limbah jagung berupa jerami jagung atau tanaman jagung muda (umur 60 hari)
sebagai hijauan. Jagung biji hampir seluruhnya dimanfaatkan untuk pakan ternak
bukan ruminansia (ayam, babi dan itik) dan sedikit untuk pakan sapi perah. Dalam
ransum, jagung dimanfaatkan sebagai sumber energi yang diukur dengan istilah
energi metabolis. Walaupun jagung juga mengandung protein hampir 9 persen,
pertimbangan pemakaian jagung pada ransum adalah untuk sumber energi.
Apabila energi dalam jagung kurang mencukupi, misalnya untuk pakan broiler, ke
dalam ransum sering ditambahkan minyak agar energi ransum sesuai dengan
kebutuhan ternak. Kontribusi energi jagung adalah dari patinya yang mudah
dicerna.
Jagung mengandung lemak 3.5 persen terutama pada lembaga biji. Lemak
jagung mengandung asam lemak linoleat yang tinggi sehingga dapat memenuhi
kebutuhan ayam terutama petelur. Jagung mengandung kalsium dan fosfor relatif
rendah dan sebagian besar fosfor terikat dalam bentuk fitat yang tidak tersedia
93
94
bagi ternak berperut tunggal. Jagung mengandung lisin dan metionin lebih rendah
dibanding gandum atau dedak padi (Tabel 8) yang disebabkan oleh kandungan
protein yang relatif rendah.
Tabel 8. Perbandingan Nilai Gizi Jagung dengan Biji-bijian Lain dan Dedak Padi
Nilai gizi Jagung Sorgum Gandum Gaplek (hard)
Beras Dedak padi
Kadar air (%) 12 13 13 13 11 9Protein (%) 8.5 8.8 14.1 2.50 8.7 12.9Lemak (%) 3.8 2.9 2.5 0.50 0.7 13.0Serat kasar (%) 2.2 2.3 3.0 4.0 9.8 11.4Kalsium (%) 0.02 0.04 0.05 0.12 0.08 0.07Fosfor (%) 0.28 - 0.37 0.10 0.08 1.50Fosfor tersedia (%) 0.08 - 0.13 0.03 0.03 0.22Energi metabolis ayam (kkal/kg)
3 350 3 288 3 120 2 900 2 990 2 980
Asam amino Lisin (%) Metionin (%)
0.26 0.18
0.21 0.16
0.37 0.21
0.08 0.04
0.43 0.22
0.59 0.26
Metionin+sistin (%) Triptofan (%) Treonin (%)
0.36 0.06 0.29
0.33 0.02 0.29
0.51 0.16 0.39
0.07 0.02 0.08
0.43 0.10 0.36
0.53 0.12 0.48
Asam linoleat (%) 2.20 1.13 0.59 - - 3.57Xantofil (ppm) 17 - - - - -
Sumber : NRC (1994)
Salah satu kelebihan jagung untuk pakan unggas terutama ayam petelur
adalah kandungan xantofil yang berguna untuk menjadikan warna kuning telur
lebih cerah. Bahan ini tidak dijumpai pada biji-bijian lain, dedak, atau ubi kayu.
Oleh karena itu, apabila jagung tidak digunakan dalam ransum ayam petelur tetapi
diinginkan warna kuning telur yang lebih cerah, perlu ditambahkan sumber
xantofil lain seperti tepung daun lamtoro, corn gluten meal atau bahan xantofil
murni.
Pemakaian jagung dalam ransum ditentukan oleh berbagai faktor, antara
lain jenis ransum, kandungan gizi yang dikehendaki, alternatif bahan baku lain
yang tersedia, dan harga. Namun demikian, jagung di Indonesia merupakan bahan
baku utama ransum ayam, puyuh, itik, dan kadang-kadang babi. Pemakaian
95
jagung untuk pakan ikan, serta ayam kampung, itik, dan babi yang dipelihara
secara tradisional masih sangat sedikit. Pemakaian jagung dalam ransum broiler
biasanya lebih tinggi dibanding ayam petelur karena broiler membutuhkan energi
yang lebih tinggi.
Daya simpan untuk menghindari variasi suplai dan harga di kalangan
produsen masih rendah, sehubungan masih sedikitnya tersedia silo penyimpanan
dan pengeringan jagung di sentra-sentra produksi jagung. Penyimpanan sederhana
yang terlalu lama di tingkat petani atau pengumpul akan meningkatkan kandungan
aflatoksin pada jagung yang menurunkan kualitas komoditi tersebut. Setidaknya
24 jam setelah panen, jagung sudah bisa dikirim ke pabrik pakan.
Kebanyakan penanaman jagung dilakukan pada lahan kering yang
mengandalkan dukungan curah hujan sehingga biasanya saat musim tanam
dilakukan serempak pada saat musim hujan. Biasanya berlangsung pada bulan
Februari - Maret sehingga panen akan berlangsung hampir bersamaan.
Benih jagung lokal hanya mampu menghasilkan sekitar 2,9 ton per hektar,
sementara jagung varietas unggul mempunyai produktivitas 4,5 - 5,7 ton per
hektar. Belakangan ini mulai populer diperkenalkan jagung hibrida yang mampu
menghasilkan lebih dari 6 ton per hektar, dengan berbagai kelebihan karakteristik
seperti tahan terhadap kekeringan dan kebasahan, serta tahan serangan hama
penyakit yang biasa menyerang tanaman jagung. Perbedaan perilaku industri
dalam penggunaan input untuk kawasan Lampung dan Jawa Barat dapat dilihat
pada Tabel 9.
96
Tabel 9. Perbedaan Perilaku Penggunaan Bahan Baku pada Industri Pakan Ternak di Lampung dan Jawa Barat
Indikator Propinsi
HJGG SPJG SJGL HBKD SPBK SBKL
Lampung 1 081.71 48.086 93.6 2 108.31 11.964 56.7
Jawa Barat 1 029.36 38.004 82.5 1 097.78 16.528 41.2 Keterangan : HJGG = Harga jagung (Rp/kg) SPJG = Pangsa penggunaan jagung (%) SJGL = Pangsa penggunaan jagung lokal (%) HBKD = Harga bungkil kedele (Rp/kg) SPBK = Pangsa penggunaan bungkil kedele (%) SBKL = Pangsa penggunaan bungkil kedele lokal (%)
Pangsa pemakaian jagung di dalam komposisi pakan pada industri pakan
di Lampung berkisar 48.086 persen, dimana pangsa penggunaan jagung lokalnya
adalah 93.6 persen. Pemakaian jagung ini lebih tinggi dibandingkan Jawa Barat
yang hanya 38.004 persen dengan pangsa penggunaan jagung lokalnya sedikit
lebih rendah yaitu 82.5 persen. Hal ini mengingat Lampung merupakan sentra
produksi jagung sehingga pabrik pakan tidak banyak menemukan kesulitan di
dalam mendapatkan jagung dengan harga berkisar Rp. 1 081.71 per kg. Namun
harga jagung di Jawa Barat sedikit lebih rendah yaitu Rp. 1 029.36 per kg. Hal ini
dikarenakan harga jagung impor yang biasanya lebih murah dibandingkan jagung
lokal.
Pangsa pemakaian bungkil kedele di dalam komposisi ransum pada
industri pakan di Lampung berkisar 11.964 persen, dimana pangsa penggunaan
bungkil kedele lokalnya adalah 56.7 persen. Pemakaian bungkil kedele ini lebih
rendah dibandingkan Jawa Barat yang berkisar 16.528 persen, namun pangsa
penggunaan bungkil kedele lokalnya lebih rendah yaitu 41.2 persen. Diakui
bahwa industri pakan di Jawa Barat kesulitan mendapatkan kedelai di dalam
negeri dikarenakan produksinya yang rendah sehingga dibutuhkan impor. Industri
97
pakan di Jawa Barat sebenarnya lebih senang mengimpor bahan baku selain
karena harganya lebih murah, kualitasnya lebih baik dan kontinuitas bahan baku
terjamin. Jawa Barat juga secara geografis dekat dengan pelabuhan masuknya
barang impor di kota Jakarta sehingga dibutuhkan biaya transportasi yang kecil di
dalam mendapatkan bahan baku bungkil kedele. Hal ini terlihat dari perbedaan
harga bungkil kedele yang besar, yang dibeli oleh industri pakan di Lampung dan
Jawa Barat. Di Lampung harga bungkil kedele rata-rata berkisar Rp. 2 108.31 per
kg, sementara di Jawa Barat Rp. 1 097.78 per kg.
Kenyataan bahwa akhir-akhir ini perusahaan lebih banyak membeli bahan
baku pakan (raw material) didalam negeri, tidak terlepas dari peran pemerintah
yang telah mengeluarkan kebijakan bagi industri pakan untuk lebih banyak
membeli jagung dan bungkil kedele di dalam negeri. Pemerintah mewajibkan
importir membeli bungkil kedele dalam negeri dengan rasio impor 40 dibanding
60 persen.
Pada tahun 2000, industri pakan mulai menunjukkan pertumbuhan setelah
produksi pakan turun hingga 60 persen akibat krisis ekonomi. Industri pakan
memfokuskan pengadaan jagung dari dalam negeri meskipun impor jagung masih
dilakukan untuk menutupi kekurangan pasokan. Upaya industri pakan untuk
memperoleh jagung dalam negeri antara lain dilakukan dengan membuka ladang
jagung sendiri dengan menggunakan benih hibrida, membuka pabrik pakan baru
di daerah sentra produksi jagung sehingga memungkinkan berhubungan langsung
dengan petani, dan membuka serta membangun fasilitas pengeringan dan
pergudangan (silo) skala besar di daerah sentra produksi.
98
Sebagaimana diinginkan kemandirian pangan atau swasembada, begitu
pula dalam penyediaan pakan, juga tengah diupayakan dengan keras kemandirian
pakan. Ketergantungan pakan ternak terhadap komoditi impor perlahan-lahan
turun. Disamping itu, sedang digali potensi bahan baku pakan ternak yang
menjadi unggulan. Misalnya, sekarang ini terbukti dari data yang ada,
ketersediaan bahan baku pakan lokal seperti jagung, semakin meringankan beban
produksi pakan ternak. Selain itu, salah satu industri pakan terkemuka di
Lampung, beberapa tahun terakhir ini mengganti bungkil kedele sebagai sumber
protein dengan minyak kasar (mentah) kelapa atau kopra (coconut oil) dan
minyak kasar (mentah) kelapa sawit (crude palm oil). Kandungan energi CPO
mencapai 7 800 kkal, namun, persentasenya pada ransum paling tinggi hanya
4 persen karena pemakaian yang lebih tinggi akan menyulitkan dalam mencampur
pakan atau dapat menurunkan kualitas pellet yang dihasilkan. Mungkin dalam
waktu yang tidak terlalu lama, limbah sawit yang melimpah akan termanfaatkan
dengan baik sebagai bahan baku pakan ternak.
5.2. Perkembangan Industri Pakan Ternak di Lampung dan Jawa Barat
Meningkatnya permintaan daging ayam ras menyebabkan meningkatnya
produksi daging dan populasi ayam ras di Indonesia. Selama periode 2001-2005,
jumlah produksi daging dan populasi ayam ras di Indonesia rata-rata mengalami
peningkatan sebesar 9.9 persen dan 9.8 persen per tahun (Statistik Peternakan,
2005). Meningkatnya produksi daging dan populasi ayam ras selanjutnya
berdampak terhadap kenaikan permintaan pakan ayam ras. Permintaan pakan
yang meningkat tersebut harus diikuti oleh adanya peningkatan produksi pakan.
99
Produksi pakan pada tahun 1996 sebesar 4.3 juta ton dan menurun menjadi 2.7
juta ton pada tahun 1999, kemudian kembali meningkat berturut-turut menjadi 4.5
juta ton pada tahun 2000 dan mencapai 10 juta ton pada tahun 2003 (Deptan,
2004).
Indonesia telah mempunyai pengalaman 25 tahun dalam membina usaha
ternak rakyat, namun perkembangannya mengalami stagnasi dan tetap
bermasalah. Peternak ayam rakyat dalam 20 tahun terakhir telah berkembang silih
berganti. Peternak rakyat yang kemarin telah jatuh pailit, sedangkan yang ada
sekarang sedang megap-megap. Maka salah jika ada dugaan peternak rakyat yang
ada sekarang sudah berpengalaman 25 tahun dan mereka sekarang sudah mapan.
Peternak rakyat yang ada sekarang adalah peternak baru. Peternak rakyat, karena
mereka memiliki kemampuan modal yang rendah, tidak akan pernah menjadi
mapan secara sendiri-sendiri. Mereka hanya bisa menjadi mapan, jika mereka
bersatu dalam suatu organisasi yang mampu menghilangkan semua titik lemah
usaha kecil.
Salah satu kesalahan kita pada masa lalu adalah mendorong pertumbuhan
investasi pabrik pakan, baik PMDN maupun PMA dengan mengambil lokasi Jawa
Barat. Kebijaksanaan ini telah mendorong pertumbuhan usaha rakyat di Jawa
Barat pula. Padahal Jawa Barat bukanlah wilayah penghasil butir-butiran pakan
ternak yang utama seperti jagung, kedele, kacang tanah, dan sebagainya. Namun
diakui bahwa Jawa Barat sangat dekat dengan wilayah konsumsi utama yaitu
Jakarta. Kota ini memang menjadi andalan bagi semua produsen hasil pertanian
sampai sekarang.
100
Pengalaman dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan, bahwa
peternak ayam rakyat yang berlokasi di wilayah sentra produksi bahan baku pakan
tidak begitu terusik dengan masalah harga pakan dibandingkan dengan peternak
rakyat di Jawa Barat.
Pergeseran usaha rakyat ke wilayah produksi butir-butiran tidak hanya
terjadi dalam wilayah propinsi tetapi juga antar propinsi. Hasil penelitian dan data
BPS memperlihatkan dalam periode 1976 sampai tahun 1985, usaha rakyat
terkonsentrasi di wilayah Jabotabek. Namun setelah tahun 1986 sampai sekarang,
sebagian besar usaha rakyat bergeser ke wilayah sentra produksi butir-butiran.
Pergeseran usaha rakyat antar propinsi terjadi dari Jawa Barat ke Jawa Timur,
Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan terakhir ke Lampung. Menurut sensus BPS
(2003), usaha broiler dalam bentuk usaha rakyat hanya berkembang di delapan
propinsi, diantaranya Jawa Barat (35 persen), Jawa Timur (22 persen), Jawa
Tengah (8 persen), Sumatera Utara (6 persen), serta sisanya di Riau, Bali,
Lampung dan Sulawesi Selatan (masing-masing 3 persen). Hal ini juga terjadi
untuk ayam ras petelur. Sebagian besar populasi ayam ras petelur berada pada
propinsi yang sama dengan ayam broiler. Sementara dari data produksi jagung
BPS (2004), produksi jagung terpusat di Jawa Timur (37 persen), Jawa Tengah
(16 persen), Lampung (11 persen), Sumatera Utara (6 persen) dan Sulawesi
Selatan (6 persen). Dari informasi ini terlihat bahwa dari 30 propinsi di Indonesia,
usaha rakyat hanya terdapat pada delapan propinsi dimana seluruhnya berada
dalam wilayah penghasil butir-butiran pakan ternak.
Di propinsi Lampung, pada tahun 1999 terdapat enam pabrik pakan,
sementara di tahun 2003 terdapat lima pabrik pakan. Ini artinya ada perusahaan
101
yang bangkrut dan menutup usahanya, namun digantikan oleh perusahaan baru
dengan kapasitas produksi lebih besar. Di tahun 2001 sebuah perusahaan bernama
PT. Jaka Utama Kraftfutther telah menutup usahanya di Lampung. Kemudian di
tahun 2003 masuk perusahaan baru, yang merupakan anak perusahaan PT. Anwar
Sierad di Jakarta, dengan nama PT. Sierad Grain. Sementara di Jawa Barat pada
tahun 1999 terdapat 23 pabrik pakan dan diakhir tahun 2003 jumlahnya turun
menjadi 21 pabrik pakan.
Bila dilihat dari kapasitas produksi pakan ternak di kawasan Lampung
rata-rata 648.43 ribu ton per tahun dengan lima industri pakan, didapat rataan
efisiensi teknis kawasan 31.54 persen per tahun. Bandingkan dengan Jawa Barat
dimana kapasitas produksi pabrik pakan rata-rata 3 577.88 ribu ton per tahun,
didapat rataan efisiensi teknis kawasan sebesar 51.32 persen per tahun. Hal ini
mengindikasikan bahwa dengan tingkat persaingan yang tinggi mendorong
perusahaan berusaha dengan lebih efisien. Namun bila dilihat dari rataan efisiensi
teknis tiap perusahaan, pabrik pakan di Lampung ternyata lebih efisien
dibandingkan Jawa Barat, dengan masing-masing 68.40 persen dan 59.17 persen.
Hal ini diduga karena di Lampung, penjualan pakan lebih didominasi oleh dua
perusahaan besar, sehingga secara keseluruhan efisiensi teknisnya kecil.
Selain itu bila dilihat dari indikator pasar seperti rasio konsentrasi, maka di
Lampung menunjukkan rataan yang lebih besar. Rasio konsentrasi dihitung
menggunakan Herfindahl-Hirschman Index, dan hasilnya di kawasan Lampung
didapat rataan 0.2792, sementara di Jawa Barat rata-rata rasio konsentrasi yaitu
0.1458. Gambar 11 memperlihatkan rasio konsentrasi industri di dua propinsi
mulai tahun 1999-2003.
102
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
LampungJabar
Gambar 11. Indeks Rasio Konsentrasi Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003
Sementara itu rata-rata pangsa pasar di Lampung adalah 29.35 persen dan
di Jawa Barat 4.982 persen. Gambar 12 memperlihatkan pangsa pasar di dua
propinsi mulai tahun 1999-2003.
0
5
10
15
20
25
30
35
1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
LampungJabar
Gambar 12. Pangsa pasar Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003
103
Sementara itu rata-rata market power di Lampung adalah 0.31 dan di
Jawa Barat 0.20. Market power dihitung menggunakan Lerner Index dan secara
teori, semakin terkonsentrasi suatu industri maka market power semakin besar.
Gambar 13 memperlihatkan market power di dua propinsi mulai tahun 1999-
2003.
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
LampungJabar
Gambar 13. Market Power Industri Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003
Bila dilihat dari rata-rata rasio konsentrasi, pangsa pasar dan market power
di propinsi Lampung, maka dapat disimpulkan bahwa struktur pasar pakan di
Lampung cenderung mengarah ke pasar oligopoli atau monopoli (Sheperd, 1997).
Selain itu lanjut Sheperd, Market power muncul jika pangsa perusahaan mencapai
15 persen dan dapat dikatakan monopoli jika mencapai 25 sampai 30 persen.
Dengan menggunakan indikator yang sama, untuk Jawa Barat dapat
disimpulkan bahwa struktur pasar pakan di Jawa Barat mengarah kepada pasar
bersaing. Namun harga pakan di kawasan Jawa Barat yang berkisar Rp. 1 791.8
per kg, lebih tinggi dibandingkan Lampung yang rata-rata berkisar Rp. 1 710 per
104
kg, padahal harga input lebih rendah di Jawa Barat. Semestinya harga pakan di
kawasan Jawa Barat lebih rendah. Gambar 14 memperlihatkan harga pakan di dua
propinsi mulai tahun 1999-2003.
0200400600800
100012001400160018002000
1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
LampungJabar
Gambar 14. Harga Pakan Ternak di Propinsi Lampung dan Jawa Barat, 1999-2003
Bila dilihat dari pangsa biaya produksi di Jawa Barat yang berkisar 53.97
persen dan Lampung berkisar 75.18 persen memperlihatkan bahwa di Jawa Barat
pangsa biaya yang cukup besar ada di pangsa biaya lainnya. Biasanya biaya-biaya
lain yang dikeluarkan perusahaan pakan adalah biaya iklan atau promosi dan
biaya riset dan pengembangan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa struktur pasar
pakan di Jawa Barat merupakan pasar persaingan monopolistik, dimana ciri-
cirinya yaitu jumlah industri pakan yang banyak, tidak terdapat hambatan masuk
(barriers to entry), produk didiferensiasikan, tingkat konsentrasi yang rendah,
harga output ditetapkan tinggi, sementara perusahaan gencar melakukan promosi
(Samuelson and Nordhaus, 1995).
105
5.3. Dampak Perkembangan Industri Pakan Ternak Ayam terhadap Perkembangan Industri Perunggasan Nasional
Peran dan posisi peternakan memang terbukti sangat strategis, namun
banyak menghadapi berbagai permasalahan pelik serta tantangan yang berat.
Salah satu permasalahan pelik itu adalah ketergantungan industri pakan ternak
terhadap bahan baku asal impor. Padahal biaya terbesar dari produksi pangan asal
ternak berada pada pakan. Yang memprihatinkan, bahan baku yang diimpor
tersebut justru merupakan hasil pertanian yang sebenarnya mudah diproduksi di
dalam negeri, umpamanya jagung dan tepung ikan. Sediaan premix feed additive
dan feed supplement masih banyak yang harus didatangkan dari luar negeri.
Peternakan akhir-akhir ini kembali mengalami krisis, setelah sempat pulih
akibat krisis moneter 1998 lalu. Tahun 2004 diawali dengan adanya wabah flu
burung (Avian Influenza) yang langsung mengguncang dunia perunggasan.
Berdasarkan data yang ada, dari 87 juta populasi ayam petelur di tahun 2003,
pada saat itu tinggal 30-40 persen saja. Harga ayam potong di tingkat peternak
yang biasanya berkisar Rp 8 400 per kg, telah tertekan menjadi Rp 3 900 sampai
Rp 4 000 per kg. Daya serap di tingkat konsumsi mengalami stagnasi sampai
50-60 persen.
Di samping peternak, yang juga paling menderita akibat isu flu burung
adalah industri pembibitan. Akibat terjadinya stagnasi konsumsi daging ayam,
harga Day Old Chick (DOC) jatuh sampai ke titik terendah, yakni Rp 400 per
ekor. Dengan produksi bibit ayam mencapai 20 juta ekor per minggu, maka terjadi
kelebihan penawaran sekitar separuhnya. Jatuhnya harga DOC sebagai dampak
terlambatnya serapan daging ayam oleh masyarakat. Penumpukan ayam siap
106
panen di kandang-kandang peternak telah menyebabkan terhentinya siklus
produksi lanjutan2.
Wabah flu burung belum mereda, di pertengahan 2004 perunggasan
kembali diguncang dengan melambungnya harga pakan. Harga pakan ternak terus
melonjak seiring dengan naiknya harga bahan baku pakan di pasar internasional
dan biaya pengapalan. Akibatnya produsen pakan ternak secara bertahap
menaikkan harga pakan rata-rata Rp 200 per kg dan akhirnya mencapai Rp 2 700
per kg. Kenaikan harga itu tidak bisa dielakkan, soalnya, bahan baku pakan ternak
umumnya masih impor. Selain harga impor naik akibat kenaikan harga
internasional bahan baku pakan sekitar 50 persen, biaya pengapalan juga naik 40
persen. Di pasar internasional harga jagung mencapai US$ 200/ton dari harga
sebelumnya sebesar US$ 120/ton. Lonjakan yang sama juga terjadi pada harga
bungkil kedele yang mencapai US$ 400/ton dari harga sebelumnya US$ 185/ton.
Tepung tulang yang seluruhnya impor dari US$ 300/ton menjadi US$ 405/ton.
Biaya pengapalan semula hanya US$ 22/ton menjadi US$ 85/ton.
Bagi pengusaha ternak rakyat tentunya kenaikan itu sangat memberatkan.
Di lain pihak untuk meningkatkan harga jual ayam tidaklah mudah. Poduksi ayam
merosot tajam, harga jual turun drastis hingga Rp 1 100/kg dari sebelumnya
Rp 7 300/kg karena masyarakat enggan mengkonsumsi daging ayam dan telur3.
Apabila mengikuti tren kenaikan harga pakan, resikonya adalah masyarakat
mengurangi konsumsi daging atau telur terlebih kemampuan daya beli masih
rendah.
______________________ 2 Pikiran Rakyat (2004). Harga Pakan ”Meroket”, Bahan Baku Berkurang Karena Diduga Tersedot
ke Cina. Jum’at, 30 April 2004. 3 Http/www.sinarharapan.co.id. 2003
107
Di tingkat petani, pakan berkualitas bagus harganya Rp 2 700/kg. Bila
menggunakan FCR (Food Convertion Ratio) ideal sebesar 1.5-1.6 yakni untuk
mendapatkan bobot ayam hidup satu kilogram diperlukan konsumsi pakan
sebanyak 1.6 kilogram, maka itu berarti biaya pembelian pakan untuk FCR 1.6
adalah paling sedikit Rp 4 320 dengan bobot ayam hidup satu kilogram.
Kenyataannya, peternak sulit mendapatkan FCR ideal dan seringkali melonjak
hingga 1.8-2.0 (Rasyaf, 1994). Sementara itu maraknya penyelundupan,
khususnya telur ditengarai ikut merusak harga pasar. Telur produksi peternak sulit
bersaing dengan telur selundupan dari Malaysia yang dijual dengan harga Rp 4
000/kg. Padahal harga telur ayam di peternak sudah mencapai Rp 6 200/kg.
Untuk itu industri peternakan ayam perlu dibenahi agar produksinya bisa
maksimal dan bersaing, di samping meningkatkan kesejahteraan peternak ayam,
dan menaikkan daya beli masyarakat. Penanganan jangka panjang ketersediaan
bahan baku sangat penting agar peternak rakyat bisa berkompetisi. Kondisi
peternak saat ini sangat sulit, dimana di satu sisi harus berhadapan dengan
perusahaan besar yang menguasai peternakan unggas dari hulu sampai hilir
(integrasi vertikal dan horisontal) sehingga bisa mengendalikan harga, sementara
di sisi lain harus bersiap dengan serbuan produk selundupan.
VI. STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM
Secara umum hasil pendugaan model Analisis Struktur, Perilaku dan
Kinerja Industri Pakan Ternak Ayam di Lampung dan Jawa Barat cukup baik
dilihat dari kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika. Hasil pendugaan model
menunjukkan bahwa sebanyak 70 persen (12 persamaan) dari 17 persamaan
struktural mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) berkisar 0.67583 – 0.99840.
Artinya secara umum kemampuan peubah-peubah penjelas untuk menjelaskan
variasi nilai peubah endogennya cukup tinggi. Sebaliknya peubah-peubah penjelas
pada persamaan diferensiasi produk, share biaya tenaga kerja, efisiensi teknis
perusahaan, biaya perunit dan harga pakan belum mampu menjelaskan keragaman
nilai peubah endogennya secara baik, yaitu masih dibawah 60.0 persen. Arah dan
besaran nilai parameter dugaan semua peubah penjelas sesuai harapan, meskipun
hasil uji t-statistik menunjukkan masih ada beberapa peubah penjelas yang
berpengaruh tidak nyata pada taraf uji 15 persen.
Hasil pendugaan juga menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara
komponen struktur (structure), perilaku (conduct) dan kinerja (performance) di
industri pakan ternak ayam. Perilaku biaya (share biaya bahan baku) di industri
pakan ternak ayam dipengaruhi oleh jumlah industri pakan (indikator struktur).
Sementara diferensiasi produk (indikator struktur) merupakan faktor yang
mempengaruhi efisiensi teknis perusahaan dan profitabilitas (indikator kinerja).
Sebaliknya perubahan dalam kinerja secara langsung atau tidak langsung akan
merubah struktur industri pakan ternak (jumlah industri pakan dipengaruhi oleh
harga pakan, sebagai indikator kinerja).
108
109
Hasil pengolahan data analisis struktur, perilaku dan kinerja industri pakan
ternak ayam di Lampung dan Jawa Barat dengan metode 2SLS secara lengkap
disajikan pada Tabel Lampiran 2.
6.1. Struktur Industri Pakan Ternak Ayam
Struktur mengacu pada struktur pasar yang digambarkan sebagian besar
oleh konsentrasi penguasaan pasar di dalam pasar tersebut. Struktur industri pakan
ternak ayam di sini dapat dilihat dari jumlah perusahaan dalam industri, tingkat
konsentrasi, pemanfaatan kapital, intensitas penggunaan tenaga kerja dan
diferensiasi produk. Struktur industri pakan selanjutnya akan mempengaruhi
perilaku dan kinerja industri. Faktor-faktor yang mempengaruhi struktur industri
pakan ternak ayam terlihat pada Tabel 10.
Jumlah perusahaan dalam industri mengindikasikan tingkat persaingan dan
dipengaruhi secara signifikan oleh harga output, volume permintaan dan
pengeluaran pakan. Peningkatan harga output pakan akan signifikan
meningkatkan jumlah perusahaan dalam industri. Hal ini mengindikasikan
adanya kemudahan dalam ”entry and exit” suatu perusahaan dalam industri
pakan dimana adanya keuntungan normal akibat kenaikan harga akan menarik
adanya investasi baru dalam industri. Namun dari hasil estimasi ternyata peubah
tingkat keuntungan tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah industri pakan,
meskipun tandanya sesuai harapan. Peningkatan permintaan pakan akan
meningkatkan jumlah perusahaan dalam industri yang diindikasikan melalui
peningkatan signifikan jumlah perusahaan akibat peningkatan permintaan pakan
kawasan (DEMDR) dan luar kawasan (VEXSP). Jumlah perusahaan dalam
110
Tabel 10. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Struktur Industri Pakan Ternak Ayam
No Variabel Lambang Koefisien Pr > |t| Elastisitas
Jumlah Industri Pakan Ternak (JIPK) 1 Konstanta Intercept 634.4795 0.0001 - 2 Rataan Harga Pakan RHPKN 0.002708 0.0001 0.3072 3 Tingkat Keuntungan PROF 0.000982 0.4229 0.0027 4 Investasi Awal INVEA 0.000702 0.7498 0.0012 5 Permintaan Pakan DEMDR 0.000352 0.1113 0.0245 6 Volume Pengeluaran VEXSP 0.007736 0.0001 0.0818 7 Dummy Skala Perusahaan DSCL -0.02719 0.8327 - 8 Dummy Daerah DDAE -13.1577 0.0001 - 9 Tahun YEAR -0.31020 0.0001 - R2 0.99840 F hit 2801.04
Efisiensi Teknis Industri (EFITR) 1 Konstanta Intercept 8671.183 0.0086 - 2 Permintaan Pakan DEMDR 0.026656 0.0001 0.6666 3 Tingkat Keuntungan PROF -0.03548 0.2165 -0.0348 4 Penambahan Investasi DINVE 0.101635 0.7009 0.0057 5 Struktur Tenaga Kerja LABS 19.02983 0.1514 0.2412 6 Kapasitas Terpasang Industri KPRDR -0.00872 0.1129 -0.5072 7 Efisiensi Teknis Perusahaan EFITF 0.050851 0.5195 0.0708 8 Dummy Skala Perusahaan DSCL 1.897522 0.4439 - 9 Dummy Daerah DDAE -6.59009 0.6257 - 10 Tahun YEAR -4.32039 0.0090 - R2 0.83333 F hit 19.44
Rasio Konsentrasi Industri (RCON) 1 Konstanta Intercept -32.0624 0.2352 - 2 Jumlah Industri Pakan JIPK -0.04572 0.0104 -3.8607 3 Produksi Industri PRODR 0.000060 0.6641 0.4062 4 Pangsa Pasar MSHA 0.000507 0.6837 0.0360 5 Efisiensi Teknis Industri EFITR 0.002293 0.4062 0.5391 6 Permintaan Pakan DEMDR -0.00014 0.1365 -0.8229 7 Biaya Per Unit COSU -9.22E-6 0.4377 -0.0698 8 Dummy Skala Perusahaan DSCL -0.00292 0.8714 - 9 Dummy Daerah DDAE -0.65661 0.0517 - 10 Tahun YEAR 0.016586 0.2204 - R2 0.78116 F hit 13.88
Struktur Tenaga Kerja (LABS) 1 Konstanta Intercept 2.395162 0.8993 - 2 Upah rata-rata WAGR -0.00337 0.0438 -0.0819 3 Tenaga Kerja Non-Produksi NLABP -0.00268 0.0001 -0.3735 4 Diferensiasi Produk DIPR -0.00200 0.7330 -0.0087 5 Produksi Perusahaan PRODF -0.00003 0.9324 -0.0045 6 Kapasitas Produksi Perusahaan KPRDF 0.001803 0.0001 0.4532 7 Dummy Skala Perusahaan DSCL -0.08711 0.0235 - 8 Dummy Daerah DDAE -0.05002 0.1629 - 9 Tahun YEAR -0.00088 0.9262 - R2 0.71455 F hit 11.26
Keterangan: Angka dicetak “TEBAL” menunjukkan signifikan pada tingkat kepercayaan 85% (P ≤ 0.15)
111
Tabel 10. Lanjutan
No Variabel Lambang Koefisien Pr > |t| Elastisitas Diferensiasi Produk (DIPR)
1 Konstanta Intercept -1957.08 0.1672 - 2 Investasi Awal INVEA 0.048034 0.0046 0.5361 3 Harga Bungkil Kedele HBKD 0.001325 0.2721 1.0607 4 Harga Jagung HJGG -0.00045 0.5993 -0.1867 5 Dummy Skala Perusahaan DSCL -0.05503 0.9600 - 6 Efisiensi Teknis Perusahaan EFITF -0.06464 0.0202 -1.6313 7 Struktur Tenaga Kerja LABS -0.20274 0.9574 -0.0466 8 Jumlah Pesaing JPES 1.418724 0.1918 8.6657 9 Permintaan Pakan DEMDR 0.000476 0.6709 0.2158 10 Dummy Daerah DDAE 25.41112 0.1525 - 11 Tahun YEAR 0.964456 0.1670 - R2 0.53942 F hit 3.98
Keterangan: Angka dicetak “TEBAL” menunjukkan signifikan pada tingkat kepercayaan 85% (P ≤ 0.15) industri pakan pada kawasan Jawa Barat signifikan lebih banyak dibanding
dengan kawasan Lampung tetapi secara umum jumlahnya mengalami penurunan
signifikan selama periode 1999 sampai 2003.
Efisiensi teknis industri akan mengalami peningkatan signifikan akibat
kenaikan permintaan pakan dan sebaliknya semakin tinggi kapasitas terpasang
industri akan signifikan menurunkan efisiensi teknis industri. Hal ini
mengindikasikan bahwa produksi pada perusahaan dengan kemampuan produksi
sebenarnya lebih besar lebih kecil dibanding perusahaan kecil. Struktur tenaga
kerja berpengaruh signifikan terhadap efisiensi dimana rasio penggunaan tenaga
kerja produksi yang lebih besar dibandingkan tenaga kerja non produksi akan
meningkatkan efisiensi teknis. Menurunnya permintaan pakan akhir-akhir ini
disamping menurunkan jumlah industri pakan juga secara signifikan
menyebabkan penurunan kapasitas terpakai atau efisiensi teknis industri pakan
dari tahun ke tahun.
Semakin banyak jumlah perusahaan dalam industri maka penyebaran
produksi akan semakin luas sehingga secara signifikan akan menurunkan rasio
112
konsentrasi. Peningkatan jumlah perusahaan dalam industri disebabkan oleh
meningkatnya permintaan sehingga peningkatan permintaan juga signifikan
menurunkan rasio konsentrasi. Jumlah industri pakan pada kawasan Jawa Barat
yang lebih banyak menyebabkan rasio konsentrasi pada kawasan ini signifikan
lebih rendah dibanding kawasan Lampung.
Struktur tenaga kerja perusahaan menunjukkan porsi tenaga kerja produksi
terhadap total tenaga kerja yang digunakan dan perubahannya relatif lebih
fleksibel dibanding perubahan tenaga kerja non-produksi. Porsi tenaga kerja
produksi akan mengalami peningkatan signifikan jika kapasitas produksi
perusahaan meningkat dan jumlah tenaga kerja non-produksi menurun. Sementara
itu apabila tingkat upah turun maka permintaan tenaga kerja akan meningkat,
sesuai teori ekonomi, turunnya harga input akan meningkatkan permintaan akan
input tersebut, ceteris paribus. Pada perusahaan pakan ternak dengan skala kecil
maka penggunaan tenaga kerja hampir seluruhnya merupakan tenaga kerja
produksi sehingga terdapat perbedaan signifikan antar skala perusahaan. Porsi
tenaga kerja produksi pada perusahaan skala kecil signifikan lebih besar
dibanding dengan perusahaan skala besar.
Dilihat dari nilai elastisitas, dalam jangka pendek, peubah-peubah endogen
yang merupakan komponen struktur, kurang respon terhadap perubahan peubah-
peubah penjelasnya. Hanya peubah rasio konsentrasi yang sangat respon terhadap
perubahan peubah jumlah perusahaan. Hal ini mengingat perlu waktu yang cukup
lama bagi industri pakan untuk merespon perubahan kinerja dan lingkungan usaha
yang ada.
113
Diferensiasi produk membutuhkan kapital yang lebih besar dan
teridentifikasi dari dampak signifikan besarnya investasi awal terhadap variasi
output yang dihasilkan. Untuk meningkatkan volume penjualan maka suatu
perusahaan akan mencari peluang pasar baru dengan memproduksi produk yang
bervariasi atau terdiferensiasi. Variasi produk perusahaan pakan biasanya berupa
konsentrat dimana kandungan protein konsentrat lebih tinggi dari ransum biasa,
berkisar 30-45 persen. Bahan baku yang biasa dipakai untuk konsentrat adalah
bungkil kedele, bungkil kacang tanah atau dedak padi. Namun ternyata efisiensi
teknis semakin kecil dengan meningkatnya diferensiasi produk. Hal ini mengingat
bahwa bahan baku yang digunakan pada produk konsentrat tidak sebanyak dan
tidak kompleks seperti bahan baku pembuatan ransum. Pada kawasan Lampung,
produk pakan lebih terdiferensiasi dibanding kawasan Jawa Barat.
Sementara bila dilihat dari nilai elastisitas, dalam jangka pendek
diferensiasi produk sangat respon terhadap perubahan harga bungkil kedele,
efisiensi teknis perusahaan dan jumlah pesaing.
6.2. Perilaku Industri Pakan Ternak
Perubahan dalam struktur industri pakan ternak selanjutnya akan
mempengaruhi perilaku perusahaan terutama berkaitan dengan penggunaan bahan
baku dan alokasi biaya produksi. Semakin tinggi tingkat persaingan, semakin
kompetitif perilaku. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perusahaan pakan
ternak dalam produksi terlihat pada Tabel 11.
Produksi pakan perusahaan lebih dipengaruhi oleh kapasitas dan efisiensi
teknis dibanding dengan perubahan harga output dan input. Produksi pakan akan
114
Tabel 11. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Perusahaan Pakan Ternak Ayam
No Variabel Lambang Koefisien Pr > |t| Elastisitas
Produksi pakan perusahaan (PRODF) 1 Konstanta Intercept 1145.772 0.9210 - 2 Rasio Harga Pakan-B.kedele RHPJG -0.00034 0.7046 0.0001 3 Rasio Harga Pakan-Jagung RHPBK 6.362304 0.6980 0.0716 4 Kapasitas Produksi Perusahaan KPRDF 0.541176 0.0001 0.9131 5 Efisiensi Teknis Perusahaan EFITF 2.283659 0.0001 1.6833 6 Struktur Tenaga Kerja LABS 35.44822 0.3130 0.2379 7 Dummy Skala Perusahaan DSCL 6.931893 0.5163 - 8 Diferensiasi Produk DIPR 4.720900 0.0069 0.1379 9 Produksi Pesaing PROPS 7.289E-6 0.9995 0.0001 10 Jumlah Pesaing JPES -1.25626 0.8800 -0.2241 11 Dummy Daerah DDAE -47.1938 0.7401 - 12 Tahun YEAR -0.64330 0.9103 -
R2 0.93965 F hit 46.71
Pangsa Penggunaan Bungkil Kedele (SPBK) 1 Konstanta Intercept 12800.42 0.0003 - 2 Harga Pakan HPKN 0.002235 0.3992 0.2628 3 Harga Bungkil Kedele HBKD -0.01273 0.0001 -1.6750 4 Harga Jagung HJGG 0.004723 0.0429 0.3221 5 Pangsa Bahan Baku Lain SRWL -0.12654 0.0335 -0.3679 6 Diferensiasi Produk DIPR 1.227155 0.0009 0.2017 7 Produksi Perusahaan PRODF 0.004666 0.7814 0.0263 8 Dummy Skala Perusahaan DSCL -1.24103 0.6265 - 9 Produksi Pesaing PROPS 0.000722 0.7927 0.0579 10 Jumlah Pesaing JPES -8.31962 0.0008 -8.3528 11 Dummy Daerah DDAE -136.539 0.0008 - 12 Tahun YEAR -6.29505 0.0003 -
R2 0.67583 F hit 6.25
Pangsa Penggunaan Jagung (SPJG) 1 Konstanta Intercept -12700.4 0.0003 - 2 Harga Pakan HPKN -0.00224 0.3992 -0.0956 3 Harga Jagung HJGG -0.00472 0.0429 -0.1168 4 Harga Bungkil Kedele HBKD 0.012725 0.0001 0.6074 5 Pangsa Bahan Baku Lain SRWL -0.87346 0.0001 -0.9213 6 Diferensiasi Produk DIPR -1.22716 0.0009 -0.0732 7 Produksi Perusahaan PRODF -0.00467 0.7814 -0.0095 8 Dummy Skala Perusahaan DSCL 1.241032 0.6265 - 9 Produksi Pesaing PROPS -0.00072 0.7927 -0.0209 10 Jumlah Pesaing JPES 8.319624 0.0008 3.0303 11 Dummy Daerah DDAE 136.5387 0.0008 - 12 Tahun YEAR 6.295048 0.0003 -
R2 0.92684 F hit 38.01
Keterangan: Angka dicetak “TEBAL” menunjukkan signifikan pada tingkat kepercayaan 85% (P ≤ 0.15)
115
Tabel 11. Lanjutan
No Variabel Lambang Koefisien Pr > |t| Elastisitas Pangsa Biaya Bahan Baku Jagung (SCJG)
1 Konstanta Intercept -9398.56 0.0001 - 2 Volume Penggunaan Jagung VJGG 0.599809 0.0001 0.5962 3 Harga Jagung HJGG 0.004734 0.0822 0.1328 4 Pangsa Penggunaan Jagung Lokal SJGL 0.064261 0.0716 0.1518 5 Pangsa Biaya Lainnya SCOT -0.51003 0.0001 -0.5713 6 Volume Penggunaan Bungkil Kedele VBKD -1.08634 0.0001 -0.3954 7 Jumlah perusahaan pakan JIPK 6.063830 0.0001 2.6699 8 Produksi Perusahaan PRODF -0.08399 0.0423 -0.1944 9 Diferensiasi Produk DIPR -1.66229 0.0005 -0.1124 10 Dummy Skala Perusahaan DSCL 2.857070 0.1995 - 11 Dummy Daerah DDAE 104.0350 0.0001 - 12 Tahun YEAR 4.655455 0.0001 -
R2 0.96492 F hit 82.53
Pangsa Biaya Bahan Baku Bungkil Kedele (SCBK) 1 Konstanta Intercept 10825.00 0.0001 - 2 Volume Penggunaan Bungkil Kedele VBKD 1.102486 0.0001 0.7343 3 Harga Bungkil Kedele HBKD -0.00075 0.7508 -0.0743 4 Pangsa Penggunaan B. Kedele Lokal SBKL -0.00783 0.6446 -0.0182 5 Pangsa Biaya Lainnya SCOT -0.27936 0.0005 -0.5726 6 Volume Penggunaan Jagung VJGG -0.50024 0.0001 -0.9100 7 Jumlah perusahaan pakan JIPK -6.05026 0.0034 -4.8749 8 Produksi Perusahaan PRODF 0.072657 0.0520 0.3077 9 Diferensiasi Produk DIPR 0.602855 0.1573 0.0745 10 Dummy Skala Perusahaan DSCL -3.60573 0.0853 - 11 Dummy Daerah DDAE -97.5390 0.0041 - 12 Tahun YEAR -5.32943 0.0001 -
R2 0.86135 F hit 18.64
Pangsa Biaya Tenaga Kerja (SCLB) 1 Konstanta Intercept 985.7463 0.3275 - 2 Upah Rata-Rata WAGR 0.050531 0.1742 0.2557 3 Struktur Tenaga Kerja LABS -4.58600 0.1411 -0.9545 4 Pangsa Biaya Jagung SCJG 0.043858 0.0517 0.5877 5 Pangsa Biaya Bungkil Kedele SCBK -0.05948 0.2521 -0.4355 6 Biaya per unit COSU -0.00069 0.3183 -0.3648 7 Produksi Perusahaan PRODF -0.01746 0.0268 -0.5414 8 Jumlah perusahaan pakan JIPK -0.83906 0.1883 -4.9504 9 Diferensiasi produk DIPR 0.612026 0.0022 0.5543 10 Dummy Skala Perusahaan DSCL -0.56806 0.6037 - 11 Dummy Daerah DDAE -17.7003 0.0927 - 12 Tahun YEAR -0.48020 0.3343 -
R2 0.51956 F hit 3.24
Keterangan: Angka dicetak “TEBAL” menunjukkan signifikan pada tingkat kepercayaan 85% (P ≤ 0.15)
116
meningkat signifikan pada perusahaan dengan kapasitas produksi lebih besar dan
meningkatnya efisiensi teknis. Ini artinya perusahaan lebih respon meningkatkan
produksi apabila terjadinya peningkatan permintaan pakan dibandingkan dengan
turunnya harga-harga input. Hal ini dikarenakan produk pakan bukan termasuk
produk tahan lama sehingga produk pakan tersebut harus sesegera mungkin
terpakai/terjual. Produksi juga akan mengalami peningkatan signifikan pada
perusahaan yang memiliki variasi produk (produk terdiferensiasi) lebih banyak.
Produksi pakan perusahaan dalam jangka pendek sangat respon terhadap
perubahan efisiensi teknis perusahaan dan kurang respon terhadap peubah
penjelas lainnya, diantaranya harga output dan input serta perubahan faktor
eksternal seperti produksi pesaing. Kuat dugaan bahwa pabrik pakan berperilaku
demikian hanya bertujuan meningkatkan pangsa pasar dengan menjual produk
sebanyak-banyaknya, bukan bertujuan memaksimisasi tingkat keuntungan.
Pada perusahaan pakan ternak, bahan baku utama dengan fungsi berbeda
adalah bungkil kedele dan jagung. Bungkil kedele merupakan bahan baku sumber
protein sedangkan jagung merupakan sumber energi sehingga perubahan dalam
penggunaan tidak hanya mempengaruhi biaya produksi tetapi juga kualitas pakan
yang dihasilkan.
Pangsa penggunaan bungkil kedele akan menurun signifikan akibat
kenaikan harga bungkil kedele dan sebaliknya akan mengalami penurunan
signifikan akibat penurunan harga jagung dan peningkatan penggunaan bahan
baku penyusun pakan lainnya. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan
substitusi dalam penggunaan input bahan baku penyusun pakan ternak dan ini
dilakukan perusahaan untuk menjaga kualitas pakan terutama menyangkut
117
kandungan zat-zat makanan dalam ransum. Pada perusahaan pakan ternak dengan
produk terdiferensiasi atau beragam, pangsa penggunaan bungkil kedele lebih
tinggi terutama untuk perusahaan yang juga menghasilkan pakan konsentrat
sebagai pakan sumber protein.
Dari hasil estimasi di atas kiranya sesuai dengan kenyataan yang ada
bahwa bungkil kedele dapat bersubstitusi dengan jagung. Bila komposisinya
dalam pakan bersamaan dengan jagung, maka penggunaan bungkil kedele
berkisar 10-15 persen. Namun bila harga jagung mahal dan langka di pasaran,
kedelai dapat dicampur dengan gaplek atau ubi kayu dengan komposisi 22-28
persen kedelai dan 75-78 persen gaplek atau ubi kayu. Campuran ini perlu diolah
lebih lanjut, terutama kedelai, agar tidak beracun bagi unggas, karena biji kedelai
mengandung racun yang dapat menekan produktivitas unggas.
Peningkatan persaingan akan mendorong perusahaan untuk menekan biaya
produksi dan salah satu cara adalah mengurangi penggunaan input bahan baku
yang harganya relatif mahal dan susah didapat. Hal ini diduga menjadi penyebab
peningkatan jumlah pesaing dalam industri akan menurunkan pangsa penggunaan
bungkil kedele dalam pakan. Seperti diketahui, di dalam negeri produksi kedelai
sangat sedikit, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kita
mengimpor kedelai dalam jumlah besar, lebih dari dua juta ton per tahun.
Penggunaan bungkil kedele signifikan lebih tinggi pada perusahaan yang berada
pada kawasan Jawa Barat dibanding Lampung dan ini akan mengindikasikan
perbedaan dalam kualitas pakan yang dapat dilihat pada harga pakan masing-
masing perusahaan. Untuk wilayah Jawa Barat memang lebih mudah bagi
perusahaan dengan mengimpor bungkil kedele dan biaya yang dikeluarkan juga
118
relatif kecil apabila mengimpor dalam jumlah besar. Hal ini dikarenakan wilayah
Jawa Barat yang dekat pelabuhan masuknya barang impor di Jakarta.
Ketergantungan terhadap impor serta tersedianya berbagai bahan baku pakan
sumber protein pengganti diduga menjadi penyebab penurunan signifikan pangsa
penggunaan bungkil kedele dalam pakan ternak dari tahun ke tahun. Sementara
dalam jangka pendek, pangsa penggunaan bungkil kedele sangat respon terhadap
perubahan harga bungkil kedele dan jumlah pesaing.
Hal yang sama terjadi pada bahan baku penyusun pakan utama lain
dimana peningkatan harga jagung akan menyebabkan penurunan signifikan
pangsa penggunaan jagung. Sebaliknya pangsa penggunaan jagung akan
meningkat signifikan jika terjadi penurunan pangsa penggunaan bungkil kedele
akibat kenaikan harga bungkil kedele dan penurunan pangsa penggunaan bahan
baku lainnya. Kebalikan dengan bungkil kedele, maka dengan semakin
terdiferensiasi atau bervariasi output perusahaan maka penggunaan jagung akan
semakin kecil. Sementara itu, peningkatan pangsa penggunaan jagung dapat
menurunkan biaya produksi sehingga untuk meningkatkan daya saing maka
perusahaan akan meningkatkan penggunaan jagung. Hal ini diduga menjadi
penyebab meningkatnya jumlah pesaing akan mendorong peningkatan
penggunaan jagung sebagai bahan baku penyusun ransum. Penggunaan jagung
signifikan lebih tinggi pada perusahaan pakan di kawasan Lampung dibanding
Jawa Barat. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa di Lampung, produksi
jagung cukup besar dan Lampung termasuk daerah sentra produksi jagung di
Indonesia. Penurunan signifikan pangsa penggunaan bungkil kedele akan diikuti
dengan peningkatan signfikan pangsa penggunaan jagung dari tahun ke tahun.
119
Pangsa penggunaan jagung ternyata juga sangat respon terhadap
perubahan jumlah pesaing. Namun kurang respon terhadap perubahan harganya
sendiri. Hal ini mengindikasikan tingkat persaingan industri pakan di dalam
mendapatkan bahan baku pakan.
Apabila dilihat dari komposisi ransum ayam, baik untuk broiler maupun
petelur, maka kandungan jagung yang terdapat didalamnya rata-rata mencapai 41
persen dari total ransum. Hal ini jelas dikarenakan pakan ayam membutuhkan
sumber energi yang diperoleh dari jagung. Memang sumber energi bisa diperoleh
dari bahan lain seperti sorgum, singkong maupun minyak. Akan tetapi dengan
keterbatasan jumlah, harga dan nilai gizi, maka jagung masih merupakan bahan
baku utama untuk membuat ransum ayam.
Dari data statistik yang ada menunjukkan bahwa produksi jagung akan
meningkat pada tahun-tahun mendatang seiring dengan konsumsinya. Hal ini
didasarkan atas perkembangan industri pakan yang terus meningkat di masa
mendatang dan juga terjadinya peningkatan produksi jagung. Peningkatan
produksi dapat terjadi apabila usaha ekstensifikasi dan intensifikasi tanaman
jagung juga ditingkatkan. Penanaman jagung hibrida yang mempunyai produksi
yang lebih tinggi masih bisa ditingkatkan. Saat ini diperkirakan penanaman
jagung hibrida masih kurang dari 30 persen dari total penanaman jagung. Kondisi
ini masih jauh tertinggal dibanding Thailand, bahkan China. Rendahnya
penanaman jagung hibrida di Indonesia bisa ditunjukkan dari rataan produktivitas
jagung yang masih di bawah 3 ton per hektar.
Selain itu produksi jagung saat ini diperoleh dari luas areal tanaman
sebesar 3.5 juta ton (Statistik pertanian, 2005). Apabila dilihat dari data lima
120
tahun terakhir ini, luas areal penanaman jagung tidak banyak berubah. Apabila
menginginkan peningkatan produksi jagung dalam negeri maka perluasan areal
tanaman jagung perlu ditingkatkan. Lahan tidak berfungsi di Indonesia masih luas
dan ini bisa dimanfaatkan untuk perkebunan jagung.
Perilaku produksi seperti di atas akan berpengaruh terhadap alokasi
sumber daya finansial terutama berkaitan dengan biaya produksi seperti pada
Tabel 11. Peningkatan harga dan volume penggunaan jagung akan meningkatkan
secara signifikan pangsa biaya jagung tetapi sebaliknya jika pangsa biaya lainnya
dan penggunaan bungkil kedele meningkat maka pangsa biaya bahan jagung akan
mengalami penurunan signifikan. Pangsa biaya jagung akan meningkat signifikan
apabila pangsa penggunaan jagung lokal meningkat. Peningkatan jumlah
perusahaan pakan mendorong peningkatan permintaan terhadap input sehingga
harga-harga input akan naik, sehingga pangsa biaya input mengalami
peningkatan. Selanjutnya perusahaan akan mengurangi penggunaan input jagung
di dalam produksi apabila harganya naik sehingga pangsa biaya jagung ikut turun.
Sejalan dengan penggunaan jagung yang relatif kecil apabila produk
terdiferensiasi, maka pangsa biaya jagung juga mengalami penurunan signifikan
apabila produk terdiferensiasi. Dikarenakan penggunaan jagung lebih tinggi di
kawasan Lampung maka pangsa biaya jagung juga lebih besar dibandingkan Jawa
Barat. Meningkatnya penggunaan jagung akibat meningkatnya produksi jagung
dalam negeri menyebabkan pangsa biaya jagung dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan signifikan.
Hal yang sama terjadi pada pangsa biaya bahan baku bungkil kedele
dimana terjadi peningkatan signifikan akibat kenaikan volume penggunaan
121
bungkil kedele. Penurunan signifikan pangsa biaya bahan baku bungkil kedele
terjadi jika harga dan penggunaan bahan baku lainnya seperti jagung mengalami
peningkatan. Faktor lain yang menyebabkan penurunan pangsa biaya bahan baku
bungkil kedele adalah dengan meningkatnya biaya lain-lain seperti biaya iklan
dan promosi. Meningkatnya jumlah perusahaan pakan akan meningkatkan
persaingan industri di dalam mendapatkan bahan baku sehingga menurunkan
pangsa biaya bungkil kedele, akibat turunnya penggunaan bungkil kedele di
dalam ransum. Sementara bila produksi perusahaan naik, maka pangsa biaya
bungkil kedele juga ikut naik. Berbeda dengan perusahaan besar yang mampu
mengimpor bungkil kedele dalam jumlah besar sehingga menghemat biaya,
kesulitan dalam memperoleh bahan baku bungkil kedele ini terindikasi juga
dengan semakin kecil skala perusahaan maka semakin besar pangsa biaya bahan
baku bungkil kedele. Hubungan yang erat antara penggunaan jagung dan bungkil
kedele sebagai bahan baku penyusun ransum menyebabkan kenaikan pangsa
biaya bahan baku jagung dari tahun ke tahun mendorong penurunan biaya bahan
baku bungkil kedele dari tahun ke tahun.
Biaya lain yang cukup signifikan mempengaruhi perilaku perusahaan
pakan ternak adalah biaya tenaga kerja. Pangsa biaya tenaga kerja akan meningkat
signifikan dengan menurunnya struktur tenaga kerja yang artinya perusahaan
dengan porsi tenaga kerja non produksi yang lebih besar akan mengeluarkan biaya
lebih besar dibandingkan perusahaan dengan porsi tenaga kerja produksi yang
lebih besar. Pangsa biaya jagung yang meningkat akibat meningkatnya
penggunaan jagung, juga signifikan meningkatkan pangsa biaya tenaga kerja.
Selanjutnya pangsa biaya tenaga kerja akan meningkat signifikan apabila produksi
122
pakan perusahaan turun. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan tenaga
kerja dalam perusahaan masih belum optimal dalam kapasitas sebenarnya untuk
berproduksi. Diferensiasi produk akan membutuhkan tenaga kerja produksi yang
lebih besar sehingga apabila diferensiasi produk meningkat maka pangsa biaya
tenaga kerja juga akan meningkat. Pangsa biaya tenaga kerja signifikan lebih
tinggi pada perusahaan pakan di kawasan Jawa Barat dibanding Lampung.
Bila dilihat dari nilai elastisitas, baik pangsa biaya bahan baku jagung,
bungkil kedele maupun pangsa biaya tenaga kerja sangat respon terhadap
perubahan jumlah perusahaan pakan.
6.3. Kinerja Industri Pakan Ternak
Selanjutnya struktur dan perilaku industri pakan akan mempengaruhi
kinerja industri tersebut dan sebaliknya dengan kinerja yang ada maka akan
berdampak terhadap perubahan struktur industri pakan ternak nantinya. Kinerja
industri dapat berupa efisiensi baik teknis maupun efisiensi biaya yang terindikasi
melalui biaya per unit pakan, harga output pakan, pangsa pasar (market share) dan
kekuatan pasar (market power) serta tingkat keuntungan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja industri pakan ternak dapat dilihat pada Tabel 12.
Peningkatan permintaan akan mendorong perusahaan untuk meningkatkan
produksi sehingga efisiensi teknis akan mengalami peningkatan signifikan.
Perusahaan dengan kapasitas produksi lebih kecil ternyata memiliki efisiensi
teknis yang signifikan dibanding perusahaan besar. Rata-rata kapasitas terpakai
perusahaan pakan ternak yaitu 62.25 persen, yang artinya sekitar 37.75 persen
terjadi idle capacity. Sementara itu dengan meningkatnya produksi pesaing juga
123
Tabel 12. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Industri Pakan Ternak
No Variabel Lambang Koefisien Pr > |t| Elastisitas
Efisiensi Teknis Perusahaan (EFITF) 1 Konstanta Intercept 11089.16 0.2010 - 2 Permintaan pakan DEMDR 0.106035 0.0003 1.9052 3 Harga bungkil kedele HBKD -0.00327 0.6642 -0.1037 4 Harga jagung HJGG 0.004566 0.4442 0.0751 5 Upah rata-rata WAGR -0.06123 0.8533 -0.0136 6 Kapasistas produksi firma KPRDF -0.08376 0.0397 -0.1917 7 Produksi pesaing PROPS -0.11486 0.0007 -2.2214 8 Jumlah pesaing JPES 3.685788 0.5991 0.8921 9 Diferensiasi produk DIPR -2.33015 0.0489 -0.0923
10 Dummy Skala Perusahaan DSCL 7.700891 0.3265 - 11 Dummy daerah DDAE 29.04059 0.7988 - 12 Tahun YEAR -5.52550 0.1958 - R2 0.51075 F hit 3.13
Biaya Per Unit (COSU) 1 Konstanta Intercept -260761 0.1417 - 2 Harga jagung HJGG 0.192552 0.5013 0.1369 3 Harga bungkil kedele HBKD -0.10747 0.6754 -0.1474 4 Pangsa penggunaan jagung SPJG -3.40953 0.6950 -0.0979 5 Pangsa penggunaan bk.kedele SPBK 36.07647 0.0910 0.3760 6 Pangsa Biaya Tenaga Kerja SCLB -15.5752 0.8607 -0.0294 7 Produksi Perusahaan PRODF -4.17100 0.1319 -0.2446 8 Diferensiasi Produk DIPR 129.8673 0.0628 0.2225 9 Dummy Skala Perusahaan DSCL 475.3955 0.1609 -
12 Dummy daerah DDAE -237.426 0.5924 - 13 Tahun YEAR 130.7847 0.1400 - R2 0.47639 F hit 3.09
Harga Pakan (HPKN) 1 Konstanta Intercept -85385.8 0.6284 - 2 Permintaan Pakan DEMDR 0.636434 0.3784 0.4034 3 Produksi Kawasan PRODR -0.72825 0.3883 -0.4968 4 Biaya Per Unit COSU 0.273542 0.0098 0.2232 5 Harga Jagung HJGG 0.156283 0.1962 0.0906 6 Harga Bungkil Kedele HBKD 0.410419 0.0099 0.4593 7 Pangsa Pasar MSHA 10.56811 0.3155 0.0809 8 Rasio Konsentrasi RCON -598.223 0.8148 -0.0645 9 Struktur Tenaga Kerja LABS 1309.103 0.0184 0.4205
10 Dummy Skala Perusahaan DSCL -96.5735 0.5464 - 11 Dummy Daerah DDAE -508.000 0.3842 - 12 Tahun YEAR 42.70911 0.6283 - R2 0.51660 F hit 3.21
Keterangan: Angka dicetak “TEBAL” menunjukkan signifikan pada tingkat kepercayaan 85% (P ≤ 0.15)
124
Tabel 12. Lanjutan
No Variabel Lambang Koefisien t-hitung Elastisitas Tingkat keuntungan (PROF)
1 Konstanta Intercept -3843.90 0.1460 - 2 Persentase nilai tambah PVADD 0.833992 0.0001 1.1791 3 Pangsa pasar perusahaan MSHA 0.508704 0.0142 0.1568 4 Diferensiasi produk DIPR -1.46822 0.0031 -0.0826 5 Jumlah pesaing JPES 0.487137 0.8349 0.1674 6 Dummy skala perusahaan DSCL -6.26121 0.0340 - 7 Rasio konsentrasi RCON -2.53758 0.9589 -0.0110 8 Dummy daerah DDAE 0.266681 0.9939 - 9 Tahun YEAR 1.915402 0.1427 - R2 0.99004 F hit 447.35
Pangsa Pasar (MSHA) 1 Konstanta Intercept -2343.97 0.5810 - 2 Harga pakan HPKN 0.007297 0.1341 0.9529 3 Biaya per unit COSU -0.01086 0.0491 -1.1572 4 Permintaan pakan DEMDR -0.00887 0.6406 -0.7342 5 Produksi Pesaing PROPS 0.003517 0.8606 0.3133 6 Jumlah Pesaing JPES -2.86506 0.4783 -3.1947 7 Rasio konsentrasi RCON -65.2515 0.5166 -0.9188 8 Tingkat keuntungan PROF -0.04351 0.3295 -0.1412 9 Diferensiasi Produk DIPR 1.670857 0.0474 0.3050
10 Dummy Skala Perusahaan DSCL 8.037048 0.0135 - 11 Dummy daerah DDAE -22.4723 0.6866 - 12 Tahun YEAR -1.210558 0.5701 - R2 0.78846 F hit 11.18
Market Power (MPWR) 1 Konstanta Intercept -27.0772 0.2030 - 2 Biaya Per Unit COSU -0.00061 0.0001 -4.9535 3 Efisiensi Teknis Perusahaan EFITF -0.00019 0.8311 -0.0667 4 Pangsa Pasar Perusahaan MSHA -0.00194 0.3147 -0.1478 5 Produksi Pesaing PROPS 0.000011 0.7318 0.0749 6 Jumlah Pesaing JPES 0.011164 0.5918 0.9486 7 Dummy Skala Perusahaan DSCL 0.053153 0.0289 - 8 Rasio Konsentrasi RCON 0.273299 0.5298 0.2933 9 Harga Pakan HPKN 0.000409 0.0001 4.0703
10 Dummy Daerah DDAE 0.204876 0.5323 - 11 Tahun YEAR 0.013551 0.1986 - R2 0.98494 F hit 222.29
Keterangan: Angka dicetak “TEBAL” menunjukkan signifikan pada tingkat kepercayaan 85% (P ≤ 0.15) akan mengurangi produksi sehingga efisiensi teknis juga menurun signifikan.
Selain itu dalam jangka pendek terlihat bahwa efisiensi teknis sangat respon
125
terhadap perubahan permintaan pakan dan produksi pesaing. Keputusan
perusahaan melakukan diferensiasi produk ternyata menurunkan efisiensi teknis.
Biaya per unit menunjukkan efisiensi biaya dan sangat signifikan
dipengaruhi oleh struktur bahan penyusun pakan. Hal ini terlihat dengan
peningkatan signifikan biaya per unit akibat peningkatan penggunaan bungkil
kedele dalam ransum. Bungkil kedele merupakan bahan penyusun ransum utama
sebagai sumber protein dan harganya relatif mahal sehingga perubahan dalam
penggunaannya merupakan upaya perusahaan untuk melakukan penyesuaian
dalam biaya.
Permintaan pakan yang turun akhir-akhir ini, diantaranya disebabkan
wabah Avian Influenza (flu burung), memaksa pebisnis melakukan strategi
diantaranya diferensiasi produk yang menyebabkan biaya per unit pakan
mengalami peningkatan. Namun dalam jangka pendek, biaya per unit kurang
respon terhadap perubahan semua peubah penjelasnya. Rendahnya permintaan
pakan dan masih besarnya ketergantungan pabrik pakan terhadap bahan baku
impor, diduga menjadi penyebab biaya produksi pakan dari tahun ke tahun
meningkat signifikan.
Dengan melihat hasil estimasi pada efisiensi usaha, dalam hal ini efisiensi
teknis dan efisiensi biaya, harga jagung tidak berpengaruh signifikan pada
keduanya. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Alim (1996) yang
menyatakan bahwa harga jagung kuning sangat dominan dalam mempengaruhi
tingkat laba dan efisiensi usaha. Hal ini dikarenakan pada saat ini, perusahaan
tidak terlalu kesulitan mendapatkan jagung dikarenakan produksinya yang
meningkat. Ternyata yang lebih sering menimbulkan gejolak harga pakan adalah
126
harga bungkil kedele, dimana sebagian besar masih impor dan malah akhir-akhir
ini Indonesia kesulitan mendapatkan bahan baku bungkil kedele akibat tersedot
semua ke negara Cina4.
Dengan peluang pasar (budidaya) yang sempit dan jumlah produsen pakan
ternak yang cukup banyak, memaksa pebisnis pakan ternak melakukan persaingan
yang sangat ketat. Setiap pabrik pakan mengeluarkan beberapa merk pakan
dengan harga yang bervariasi, bahkan berbeda-beda harga untuk setiap pembeli.
Penetapan harga dalam pasar pakan ternak menggunakan pendekatan
biaya produksi dimana harga pakan ditentukan oleh biaya ditambah margin untuk
perusahaan. Peningkatan biaya per unit akan meningkatkan secara signifikan
harga pakan ternak. Dampak peningkatan permintaan yang tidak signifikan dan
adanya kemudahan dalam ”entry and exit” mengindikasikan suatu bentuk pasar
persaingan tidak sempurna dengan banyak pelaku usaha. Ciri-ciri ini
menunjukkan bahwa pasar industri pakan merupakan suatu bentuk pasar
persaingan monopolistik. Harga bungkil kedele secara signifikan mempengaruhi
harga pakan dimana peningkatan harga input bungkil kedele akan meningkatkan
pula harga pakan. Hal ini mengindikasikan bahwa di antara jagung dan bungkil
kedele, yang paling berperan mempengaruhi harga pakan adalah bungkil kedele.
Namun jika dilihat dari elastisitasnya, harga pakan kurang respon terhadap
perubahan semua peubah penjelasnya.
Profitabilitas menunjukkan tingkat keuntungan per unit dan merupakan
persentase selisih harga dan biaya per unit produksi terhadap biaya. Tingkat
keuntungan akan meningkat signifikan jika nilai tambah bahan baku yang
___________________ 4 Pikiran Rakyat. 2004. Harga Pakan ”Meroket”, Bahan Baku Berkurang karena Diduga Tersedot
ke Cina. Jum’at, 30 April 2004
127
dihasilkan dan penguasaan pasar perusahaan semakin besar. Di sini terlihat bahwa
terdapat hubungan yang positif antara profitabilitas dengan market share
(Sheperd, 1997). Jika produk yang dihasilkan perusahaan semakin terdiferensiasi
maka peningkatan variasi output akan menurunkan secara signifikan tingkat
keuntungan. Hal ini sejalan dengan penelitian Vlachvei and Oustapassidis (1998),
dimana diferensiasi produk merupakan variabel utama yang sangat mempengaruhi
tingkat keuntungan. Jika dibandingkan antar skala perusahaan maka keuntungan
per unit pada perusahaan skala besar signifikan lebih kecil dibanding dengan
perusahaan skala kecil. Perbedaan ini belum mengindikasikan keuntungan riil
perusahaan karena jika dilihat juga dari sisi volume produksi maka keuntungan
total perusahaan skala besar akan lebih tinggi. Hal ini diduga karena perusahaan
skala besar dengan kemampuan modal lebih kuat dalam menghadapi persaingan
akan cenderung untuk mengejar keuntungan total dengan menjual ouput dengan
harga lebih rendah untuk mendorong peningkatan volume penjualan. Berdasarkan
hasil penelitian Resende (2005), bahwa terdapat hubungan positif dari konsentrasi
terhadap keuntungan, tidak terbukti dalam penelitian ini. Jika dilihat dari
elastisitasnya, dalam jangka pendek, tingkat keuntungan sangat respon terhadap
perubahan persentase nilai tambah, namun kurang respon terhadap perubahan
pangsa pasar dan diferensiasi produk. Sementara itu tingkat keuntungan
perusahaan pakan signifikan meningkat dari tahun ke tahun.
Kecenderungan perusahaan besar untuk mendorong peningkatan volume
penjualan ini menyebabkan penguasaan pasar perusahaan besar akan lebih tinggi
dibanding perusahaan kecil. Penguasaan pasar dapat dilihat dari porsi volume
produksi perusahaan terhadap produksi suatu kawasan atau yang lebih dikenal
128
dengan market share. Pangsa pasar akan meningkat signifikan dengan
menurunnya biaya per unit produksi perusahaan dan secara umum perusahaan
skala besar dengan volume produksi lebih besar, pangsa pasar juga lebih besar.
Permintaan pakan yang meningkat akan meningkatkan harga pakan dan
perusahaan tertarik memproduksi lebih banyak sehingga pangsa pasar ikut naik.
Diferensiasi produk akan meningkatkan volume penjualan sehingga pangsa pasar
juga ikut meningkat. Dalam jangka pendek, pangsa pasar ternyata cukup respon
terhadap perubahan biaya per unit dan jumlah pesaing.
Kinerja perusahaan dalam industri pakan juga dapat dilihat dari kekuatan
pasar (market power) dengan menghitung Lerner Index. Market power suatu
perusahaan akan meningkat signifikan dengan menurunnya biaya per unit pakan.
Ini artinya perusahaan yang mampu meminimalisasi biaya produksi akan mampu
bersaing dan menguasai pasar. Kekuatan pasar ternyata memiliki hubungan positif
dengan harga pasar dimana semakin besar kekuatan pasar, harga pakan semakin
tinggi. Hal yang diduga selama ini bahwa terjadi kolusif di dalam menetapkan
harga pakan ada benarnya. Seiring dengan pangsa pasar maka market power pada
perusahaan skala besar signifikan lebih tinggi dibanding perusahaan skala kecil.
Sementara itu market power dalam jangka pendek sangat respon terhadap
perubahan biaya per unit dan harga pakan.
6.4. Hubungan Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan
Berdasarkan arah dan besaran pengaruh antara berbagai variabel pada
masing-masing persamaan maka secara umum dapat dinyatakan bahwa terdapat
keterkaitan erat antara struktur, perilaku dan kinerja. Perilaku dan kinerja industri
129
pakan dipengaruhi oleh struktur industri dan sebaliknya perubahan struktur
industri meskipun secara tidak langsung dipengaruhi oleh strategi dan kinerja
industri seperti terlihat pada Gambar 15.
Gambar 15 menunjukkan bahwa struktur industri berupa jumlah
perusahaan dalam industri pakan yang mengindikasikan tingkat persaingan akan
mempengaruhi penggunaan kapital (efisiensi teknis) perusahaan pakan ternak dan
sebaliknya efisiensi pada level perusahaan akan mempengaruhi efisiensi teknis
industri. Jumlah perusahaan dalam industri ini juga akan mempengaruhi strategi
perusahaan dalam bersaing dengan memproduksi output yang bervariasi sehingga
berpengaruh dalam penggunaan input bahan baku yang harga dan sharenya dalam
biaya produksi relatif tinggi seperti penggunaan bungkil kedele dan jagung.
Formulasi penggunaan bahan baku penyusun pakan ini akan menyebabkan
perubahan dalam struktur biaya produksi dan efisiensi biaya (biaya per unit) serta
harga jual pakan ternak.
Hipotesis awal yang menyatakan bahwa struktur industri pakan ternak
sekarang ini cenderung mengarah pada struktur pasar yang oligopolistik kolusif
ada benarnya. Hal ini terlihat pada hubungan positif yang signifikan antara market
power dan harga pakan. Karena semakin kolusif suatu industri, harga dan market
power semakin tinggi. Namun pada waktu yang sama, tingginya harga dan tingkat
keuntungan dapat menarik pemain baru sehingga tingkat konsentrasi dapat
menurun.
Harga jual pakan pada suatu industri yang bersaing akan mempengaruhi
kemampuan perusahaan dalam penguasaan pasar (market share) dan pada
perusahaan dengan tingkat efisiensi biaya lebih tinggi akan memiliki kekuatan
130
pasar (market power) lebih tinggi sehingga produksi meningkat dan market share
juga lebih tinggi. Hasil menunjukkan bahwa harga pakan sangat dipengaruhi oleh
gejolak harga bahan baku terutama bungkil kedele. Perusahaan dengan
kemampuan menguasai bahan baku yang tinggi yang akan dapat bertahan. Rasio
harga jual pakan terhadap biaya yang lebih tinggi akan mendorong peningkatan
keuntungan sehingga peningkatan harga pakan akan mendorong masuknya pelaku
baru dalam industri dan jumlah perusahaan dalam industri pakan akan meningkat.
Hal ini terlihat dengan adanya hubungan positif antara tingkat keuntungan dengan
jumlah perusahaan pakan meskipun tidak signifikan. Kinerja industri selanjutnya
akan mempengaruhi struktur industri terlihat dari hubungan antara efisiensi teknis
perusahaan yang merupakan indikator kinerja terhadap diferensiasi produk, yang
merupakan indikator struktur. Produk semakin terdiferensiasi apabila efisiensi
teknis semakin kecil. Selanjutnya jumlah perusahaan pakan akan mempengaruhi
rasio konsentrasi industri tersebut. Hasil ini mengindikasikan bahwa dalam
industri pakan model lebih mengarah pada bentuk siklus dimana struktur industri
akan mempengaruhi strategi dan kinerja industri pakan ternak, dan sebaliknya
kinerja industri pakan ternak akan mempengaruhi keluar atau masuknya (entry
and exit) suatu perusahaan dalam industri. Artinya jika menginginkan perubahan
dalam kinerja industri agar lebih efisien, maka mutlak diperlukan perubahan
dalam struktur industri, agar didapat struktur industri yang lebih bersaing sehat.
EFITR
RCON
JIPK EFITF HPKN PRODF
SCBK
SCJG SCPR
SCOT
SCLB
PROF COSU
MSHA MPWR
Gambar 15. Hubungan Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan
LABS
SPBK SPJG
SRWL
+ (s)
+ (ts)
- (s)
- (s) +( s)
- (s)
- (s) - (s)
- (s)
+ (s) + (s)
+ (ts)
- (s)
- (s) - (s)
- (s)
- (s)
+ (s)
- (ts)
- (s)
+ (s)
+ (s)
- (s)
+ (s)
Keterangan : = Struktur = Perilaku = Kinerja
+ (s)
+ (s)
- (s)
+ (s)
+ (s)
- (s)
DIPR
131
95
VII. DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA
7.1. Hasil Validasi Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak
Hasil validasi model ekonometrika struktur, perilaku dan kinerja
perusahaan pakan ternak menggunakan kriteria Root Mean Square Error (RMSE),
R-Square (R2) dan U-theil secara umum menunjukkan bahwa model layak
digunakan untuk simulasi seperti pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Validasi Model Ekonometrika Menggunakan Kriteria RMSE, R-Square dan U-Theil
Indikator No. Peubah RMSE R-Square U-Theil
1. JIPK 0.3182 0.9983 0.0092
2. EFITR 6.5643 0.8113 0.0710
3. RCON 0.0480 0.6649 0.1146
4. SPJG 4.8359 0.8773 0.0512
5. SPBK 4.8354 0.5896 0.1427
6. LABS 0.0705 0.6464 0.0634
7. DIPR 2.0845 0.4761 0.2868
8. SCJG 5.8309 0.9215 0.0656
9. SCBK 4.6152 0.7666 0.1029
10. SCLB 1.8138 0.3426 0.2647
11. SCPR 3.2851 0.9729 0.0249
12. PRODF 26.7974 0.8799 0.1173
13. EFITF 13.2963 0.4666 0.1022
14. COSU 753.6 0.2529 0.2307
15. HPKN 314.3 0.3250 0.0872
16. MSHA 8.0433 0.7067 0.1985
17. PROF 8.3574 0.9639 0.0757
18 MPWR 0.4303 0.2955 0.4931
132
133
Validasi model dilakukan untuk melihat daya prediksi model yang akan
digunakan dalam simulasi kebijakan dengan menggunakan kriteria Root Mean
Square Error (RMSE), R-Square dan U-Theil. Hasil validasi menunjukkan bahwa
sebagian besar (88.89 persen) persamaan memiliki nilai RMSE kecil dari 30
persen dan hanya sebagian kecil (11.11 persen) memiliki RMSE yang lebih besar
dari 30 persen. Distribusi nilai kriteria yang lebih bervariasi terdapat pada nilai R-
Square, tetapi sebagian besar (61.11 persen) masih di atas 0.6 dan sisanya
memiliki nilai kecil dari 0.6 (38.89 persen). Kedua indikator ini menunjukkan
bahwa model cukup valid untuk digunakan dalam simulasi karena secara umum
memiliki daya prediksi yang bagus.
Kelayakan model juga didukung dengan nilai U-theil yang sebagian besar
mendekati nilai 0 dimana sebagian besar (77.78 persen) memiliki nilai kecil dari
0.2 dan hanya 4 persamaan (22.22 persen) yang memiliki nilai besar dari 0.2
dengan nilai U-theil terbesar adalah 0.4931 pada persamaan market power
(MPWR). Nilai U-theil yang besar pada persamaan market power diduga karena
keterkaitan yang tinggi antara market power dan market share (saling beriringan),
dimana market power suatu perusahaan dapat berubah-ubah tergantung market
sharenya. Nilai U-theil yang berkisar antara 0 dan 1 menunjukkan bahwa model
mendekati sempurna jika mendekati 0 dan semakin tidak sempurna jika mendekati
1. Kelayakan model juga diperkuat dengan hasil dekomposisi U-Theil (Lampiran)
dimana bias proporsi (UM), bias varian (UR) dan bias kovarian (US) sebagian
besar mendekati 0 dan sebaliknya nilai kovarian (UD) dan nilai kovarian (UC)
mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa bias model akan semakin kecil dan
nilai hasil prediksi mendekati nilai yang sebenarnya.
134
Berdasarkan hasil validasi model dengan menggunakan berbagai indikator
di atas maka secara umum dapat dinyatakan bahwa model struktur, perilaku dan
kinerja industri pakan ternak ini layak digunakan dalam simulasi. Pada penelitian
ini, simulasi yang dilakukan adalah perubahan variabel makro dan mikro yang
akan mempengaruhi struktur, perilaku dan kinerja industri pakan, yaitu:
1. Peningkatan sebesar 10 persen permintaan (demand) pakan ternak
2. Peningkatan sebesar 10 persen penawaran (supply) pakan ternak
3. Peningkatan sebesar 10 persen harga input bahan baku bungkil kedele
4. Peningkatan sebesar 10 persen harga input bahan baku jagung
5. Peningkatan sebesar 20 persen upah tenaga kerja.
7.2. Simulasi Dampak Perubahan Permintaan dan Penawaran Terhadap Industri Pakan Ternak
Peningkatan permintaan (demand) dan penawaran (supply) akan
mempengaruhi harga dan output keseimbangan pasar sehingga untuk
mempertahankan kinerjanya perusahaan pakan ternak akan melakukan perubahan
dalam struktur dan strategi usaha.
7.2.1. Dampak Peningkatan Permintaan Pakan Ternak
Dampak peningkatan permintaan akan menggeser harga dan output
keseimbangan sehingga akan berpengaruh terhadap struktur, perilaku dan kinerja
industri pakan ternak seperti terlihat pada Gambar 16.
135
81.74
5.85
-5.35
1.807.860.25
-32.65
0.93
-31.89
-3.24
0.15
-15.99
-1.59-0.59
30.4220.80
4.58 4.55
-40
-20
0
20
40
60
80
100
JIPK
EFIT
R
RCON
SPJG
SPBK
LABS
DIPR
SCJG
SCBK
SCLB
SCPR
PROD
F
EFIT
F
COSU
HPKN
MSHA
PROF
MPW
R
Variabel
Perubahan (%)
Gambar 16. Dampak Peningkatan Permintaan (dalam %) Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak
Peningkatan permintaan akan menggeser kurva permintaan ke kanan atas
sehingga terjadi peningkatan harga dan output keseimbangan. Peningkatan harga
pakan (HPKN) dan output ini akan meningkatkan permintaan terhadap input
termasuk bahan baku dan input lain sehingga harga input akan mengalami
peningkatan. Peningkatan produksi perusahaan (PRODF) akibat meningkatnya
permintaan akan mendorong perusahaan untuk meningkatkan penggunaan kapital
(efisiensi teknis/EFITF meningkat). Peningkatan produksi akan menaikkan pangsa
pasar perusahaan (MSHA) dan untuk mempertahankan pangsa pasar maka
perusahaan akan melakukan perubahan dalam formulasi bahan baku penyusun
pakan. Untuk bersaing dalam harga maka perusahaan akan mengurangi
penggunaan bahan baku bungkil kedele (SPBK) dan sebaliknya akan
meningkatkan penggunaan jagung (SPJG) yang harganya relatif lebih murah.
Namun dikarenakan harganya yang mahal membuat pangsa biaya bungkil kedele
tetap naik.
136
Dalam merespon permintaan, perusahaan lebih berkonsentrasi kepada
produk yang diminta sehingga produk lebih terspesialisasi sehingga pemakaian
tenaga kerja lebih intensif. Hal ini akan menurunkan biaya produksi perusahaan
(COSU), sehingga dengan harga pakan yang bersaing perusahaan mendapatkan
keuntungan (PROF) yang cukup tinggi. Pangsa pasar dan tingkat keuntungan
yang tinggi akan semakin meningkatkan market power (MPWR). Namun
peningkatan keuntungan akan memancing masuknya pesaing baru dan hal ini
menjadi penyebab turunnya rasio konsentrasi industri pakan ternak.
7.2.2. Dampak Peningkatan Penawaran Pakan Ternak
Perubahan penawaran pasar sebagaimana halnya dengan perubahan
permintaan akan menyebabkan terjadinya pergeseran dalam harga dan output
keseimbangan sehingga juga akan berpengaruh terhadap struktur, perilaku dan
kinerja industri pakan ternak seperti pada Gambar 17. Peningkatan penawaran
dapat terjadi akibat meningkatnya jumlah perusahaan dalam industri atau salah
satu pesaing meningkatkan produksinya dan akan menggeser kurva penawaran ke
kanan. Pergeseran kurva ini akan menyebabkan turunnya harga keseimbangan dan
akan diikuti dengan turunnya harga pakan (HPKN) perusahaan. Pada sisi lain
peningkatan penawaran akan meningkatkan rasio konsentrasi (RCON) dan di
pasar input terjadi peningkatan permintaan input sehingga terjadi peningkatan
harga input seperti bahan baku jagung dan bungkil kedele. Untuk bersaing dalam
harga maka perusahaan akan mengurangi penggunaan bahan baku bungkil kedele
(SPBK) dan sebaliknya akan meningkatkan penggunaan jagung (SPJG) yang
harganya relatif lebih murah.
137
-1.71
3.55
0.53
-1.57 -0.67
-6.07
-7.31
-19.59
0.00
0.05
0.00 0.00 -0.01
0.02
0.24 0.01 0.00 0.00
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
JIPK
EFIT
R
RCON
SPJG
SPBK
LABS
DIPR
SCJG
SCBK
SCLB
SCPR
PROD
F
EFIT
F
COSU
HPKN
MSH
A
PROF
MPW
R
Variabel
Perubahan (% )
Gambar 17. Dampak Peningkatan Penawaran Pasar (dalam %) Terhadap
Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak Persentase penurunan harga output yang lebih besar dibandingkan biaya
akan menyebabkan turunnya keuntungan (PROF) perusahaan pakan ternak.
Tingkat keuntungan mempunyai hubungan yang positif dengan pangsa pasar
(MSHA), sehingga bila keuntungan turun, pangsa pasar akan turun. Pangsa pasar
turun, market power juga akan turun.
Peningkatan permintaan yang diikuti dengan peningkatan penawaran atau
permintaan akan menciptakan penawaran (demand creates supply) merupakan
faktor positif pendorong perkembangan industri pakan ternak. Hal ini
mengindikasikan bahwa kebijakan untuk mengembangkan industri pakan ternak
oleh pemerintah akan lebih efektif dengan mendorong terjadinya peningkatan
permintaan dibanding hanya dengan mendorong peningkatan produksi atau
industri. Permintaan pakan ternak akan meningkat dengan meningkatnya jumlah
usaha peternakan dan perkembangan usaha peternakan didorong oleh
meningkatnya permintaan akan daging ternak unggas. Kondisi ini dapat tercapai
138
jika daya beli dan kesejahteraan masyarakat serta kesadaran akan pentingnya
protein hewani di tingkat masyarakat meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor konsumen produk hasil ternak menjadi faktor penting dalam
pengembangan industri pakan ternak karena permintaan pakan yang tinggi akan
mendorong masuknya pelaku baru dalam industri pakan ternak.
Namun yang perlu diperhatikan bahwa peningkatan permintaan ini akan
semakin meningkatkan market power, sehingga disamping perlunya upaya
mendorong konsumsi produk pangan hewani ini, pemerintah juga harus
menciptakan iklim usaha bersaing yang sehat dan kondusif. Program kemitraan
antara perusahaan dengan peternak merupakan salah satu upaya yang harus terus
dikembangkan selain mengembangkan usaha peternakan yang terintegrasi
(business integration).
7.3. Simulasi Dampak Perubahan Harga Input Terhadap Industri Pakan Ternak
Perubahan dalam struktur, perilaku dan kinerja industri pakan ternak juga
dapat terjadi jika terjadi perubahan dalam pasar input seperti kenaikan harga
bahan baku dan upah tenaga kerja. Peningkatan harga input terutama bahan baku
utama penyusun pakan seperti bungkil kedele sebagai sumber protein dan jagung
sebagai sumber energi.
7.3.1. Dampak Peningkatan Harga Bungkil Kedele
Peningkatan harga bungkil kedele akan mendorong perubahan dalam
struktur produksi perusahaan terutama komposisi bahan baku penyusun pakan
ternak (Gambar 18). Peningkatan harga bungkil kedele akan mendorong
139
terjadinya penurunan penggunaan bungkil kedele (SPBK) dan sebaliknya akan
mendorong peningkatan penggunaan bahan baku jagung (SPJG). Perubahan
dalam struktur produksi ini merupakan strategi perusahaan untuk menghemat
biaya produksi agar tidak mengalami kerugian dan ini terlihat dengan menurunnya
pangsa biaya bahan baku dan sebaliknya pangsa biaya tenaga kerja dan lainnya
meningkat. Peningkatan share biaya ini merupakan implikasi dari tidak
berkurangnya biaya tenaga kerja non-produksi dan biaya lainnya seperti biaya
iklan dan promosi.
14.60
-12.65
-0.30
9.68
-0.39
-2.03 -2.40 -3.30
4.8511.05
0.92
35.43
4.240.00 -0.23 0.51 -0.13
-1.14
-20
-10
0
10
20
30
40
JIPK
EFIT
R
RCON
SPJG
SPBK
LABS
DIPR
SCJG
SCBK
SCLB
SCPR
PROD
F
EFIT
F
COSU
HPKN
MSHA
PROF
MPW
R
Variabel
Perubahan (% )
Gambar 18. Dampak Peningkatan Harga Bungkil Kedele (dalam %) Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak
Dampak peningkatan harga input bahan baku bungkil kedele ini akan
mendorong meningkatnya harga jual output (HPKN) dan secara umum akan
menurunkan produksi industri (PRODF) yang terindikasi dengan menurunnya
efisiensi teknis (EFITF) pada level perusahaan dan regional. Penurunan produksi
ini terutama terjadi pada perusahaan skala kecil yang merupakan konsekuensi dari
140
menurunnya tingkat keuntungan (PROF) meskipun secara umum biaya per unit
(COSU) menurun dan harga jual output meningkat.
Peningkatan harga bungkil kedele memberikan dampak meningkatnya
diferensiasi produk (DIPR). Strategi ini dilakukan perusahaan untuk
meningkatkan penjualan meskipun konsekuensinya keuntungan (PROF) turun.
Pada sisi lain penurunan efisiensi teknis atau produksi industri tidak diikuti
dengan menurunnya produksi pada beberapa perusahaan besar. Hal ini diduga
karena kenaikan harga bungkil kedele hanya berpengaruh signifikan pada
perusahaan pakan ternak skala kecil tetapi pada perusahaan skala besar dengan
kemampuan modal tinggi masih dapat diatasi dengan melakukan impor. Indikasi
ini juga terlihat dengan dampak kenaikan harga input bungkil kedele yang diikuti
dengan meningkatnya rasio konsentrasi (RCON) dan pangsa pasar (MSHA)
perusahaan skala besar dalam industri karena faktor menurunnya produksi
perusahaan skala kecil.
7.3.2. Dampak Peningkatan Harga Jagung
Peningkatan harga jagung sebagaimana harga bungkil kedele akan
mendorong perubahan dalam strategi produksi perusahaan terutama komposisi
bahan baku penyusun pakan ternak (Gambar 19).
Peningkatan harga jagung akan mendorong perusahaan pakan ternak
melakukan penyesuaian dalam biaya produksi dengan menurunkan penggunaan
bahan baku jagung (SPJG). Komposisi jagung sebagai bahan penyusun pakan
mencapai 45.737 persen dan merupakan yang terbesar dibanding bahan baku
lainnya sehingga penurunan porsi penggunaannya tetap menyebabkan terjadinya
141
kenaikan pangsa biaya jagung, pangsa biaya produksi dan bahkan biaya produksi
per unit pakan ternak.
0.000.09
-0.15-1.03
3.06
-3.98
0.02
1.49
0.15
-2.67
0.87 1.45 1.19 1.62 1.240.07
-2.94
-1.62
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
JIPK
EFIT
R
RCON
SPJG
SPBK
LABS
DIPR
SCJG
SCBK
SCLB
SCPR
PROD
F
EFIT
F
COSU
HPKN
MSHA
PROF
MPW
R
Variabel
Perubahan (% )
Gambar 19. Dampak Peningkatan Harga Jagung (dalam %) Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak
Peningkatan biaya per unit (COSU) mendorong terjadinya kenaikan harga
output (HPKN), meskipun dengan persentase yang lebih rendah. Peningkatan
harga pakan inilah yang diduga akan memancing perusahaan untuk meningkatkan
produksinya dan hal ini terindikasi dari meningkatnya produksi perusahaan
(PRODF). Meningkatnya produksi akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja
produksi, terjadi perubahan struktur tenaga kerja (LABS) dimana terjadi
peningkatan penggunaan tenaga kerja produksi sehingga porsi biaya tenaga kerja
menurun. Peningkatan produksi yang bersamaan akan meningkatkan persaingan
dan mengakibatkan turunnya keuntungan (PROF) sehingga penguasaan pasar
(MSHA) perusahaan turun.
142
7.3.3. Dampak Peningkatan Upah
Peningkatan upah sebesar 20 persen akan mendorong perubahan dalam
struktur industri terutama intensitas penggunaan tenaga kerja (Gambar 20).
Peningkatan upah akan mendorong terjadinya perubahan struktur tenaga kerja
dimana terjadi penurunan penggunaan tenaga kerja produksi.
0.00
-0.45 -0.26
0.03 -0.08
-1.83
0.640.09
-0.23
7.76
0.33
-0.89 -0.34
0.10
-0.72 -0.31 -0.14
-3.51-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
JIPK
EFIT
R
RCON
SPJG
SPBK
LABS
DIPR
SCJG
SCBK
SCLB
SCPR
PROD
F
EFIT
F
COSU
HPKN
MSHA
PROF
MPW
R
Variabel
Perubahan (% )
Gambar 20. Dampak Peningkatan Upah (dalam %) Terhadap Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak
Secara keseluruhan peningkatan upah sebesar 20 persen tidak terlalu besar
dampaknya terhadap industri pakan, hanya terjadi kenaikan pangsa biaya tenaga
kerja (SCLB) sebesar 7.78 persen. Produksi pakan (PRODF) dan harga pakan
(HPKN) hanya mengalami penurunan masing-masing 0.89 persen dan 0.72
persen. Variabel cukup besar pengaruhnya terhadap peningkatan upah adalah
market power (MPWR), terjadi penurunan sebesar 3.51 persen.
Dampak kenaikan harga bahan baku kedua input ini mengindikasikan
bahwa respon perusahaan untuk meningkatkan efisiensi biaya dilakukan dengan
cara berbeda. Peningkatan harga bungkil kedele karena faktor harga menyebabkan
143
penurunan penggunaan yang lebih besar dibanding dengan penurunan penggunaan
jagung akibat kenaikan harga jagung. Peningkatan harga bungkil kedele akan
menyebabkan penurunan produksi dan efisiensi teknis industri tetapi sebaliknya
peningkatan harga jagung akan meningkatkan produksi dan efisiensi industri.
Selain itu, peningkatan harga jagung akan berdampak menurunkan pangsa pasar
dan market power, sehingga industri dapat lebih bersaing. Dampak terhadap
industri yang berbeda ini sangat terkait dengan perubahan dalam tingkat
keuntungan meskipun kenaikan biaya produksi akan diikuti dengan kenaikan
harga output tetapi dengan besaran yang berbeda.
Dampak peningkatan harga input ini juga dapat dijadikan sebagai acuan
bagi pemerintah dalam pengembangan industri pakan ternak. Peningkatan harga
bungkil kedele yang relatif lebih banyak negatifnya dibanding peningkatan harga
jagung terutama bagi perusahaan skala kecil dan perkembangan industri pakan
ternak. Harga bungkil kedele yang relatif mahal dan sangat tergantung pada impor
karena ketidaksesuaian lahan seharusnya mendorong pemerintah untuk
mendorong kegiatan riset dan pengembangan bahan baku penyusun pakan
alternatif. Bahan baku alternatif ini sebaiknya berasal dari bahan baku lokal tetapi
memiliki ketersediaan yang berkelanjutan sehingga mampu mendorong
peningkatan efisiensi biaya dan harga jual pakan dapat lebih bersaing. Kondisi ini
tidak hanya akan mendorong peningkatan produksi industri tetapi juga mampu
meningkatkan permintaan pakan oleh usaha peternakan dan permintaan produk
asal ternak oleh masyarakat.
Pada sisi lain, industri perunggasan menghadapi berbagai tantangan baru
di depan, antara lain pasar bebas baik regional maupun pasar dunia. Mejelang
144
tahun pasar bebas tersebut akan terjadi berbagai perubahan-perubahan lingkungan
strategis. Semua tantangan yang ada didepan dan permasalahan yang ada saat ini,
menjadi bahan pertimbangan utama dalam menciptakan industri perunggasan
yang tangguh, mandiri dan efisien. Untuk itu diperlukan strategi dan program
yang pas.
Pemerintah dalam menyusun strategi dan program pembangunan industri
unggas nasional perlu adanya kesamaan persepsi tentang dasar pemikiran dan
konsepsi tentang perunggasan. Pembenahan dalam industri perunggasan akan
sangat dipengaruhi oleh keberhasilan dalam pembenahan sub-sektor tanaman
pangan.
Tabel 14. Implikasi Kebijakan Pemerintah di dalam memperbaiki SCP Industri, Sehubungan dengan Simulasi
Simulasi Implikasi Kebijakan Pemerintah
Kenaikan permintaan
- Mendorong perkembangan usaha peternakan
- Menciptakan iklim usaha bersaing yang sehat dan kondusif
Kenaikan penawaran
- Meningkatkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat
- Mengkampanyekan pentingnya pangan asal protein hewani di masyarakat
Kenaikan harga b.kedele
- Mendorong kegiatan riset dan pengembangan bahan baku penyusun pakan alternatif sumber protein
Kenaikan harga jagung
- Memberikan insentif kepada petani didalam budidaya jagung
- Mendorong pengembangan dan penanaman jagung varietas unggul
- Memperbaiki infrastruktur pemasaran jagung
Kenaikan upah
- Meningkatkan kemampuan tenaga kerja melalui bimbingan dan pelatihan kerja
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang struktur, perilaku dan
kinerja perusahaan pakan ternak maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat keterkaitan erat antara struktur, perilaku dan kinerja industri pakan
ternak. Peningkatan persaingan akan mendorong perusahaan untuk menekan
biaya produksi dengan mengurangi penggunaan input bahan baku yang
harganya relatif mahal dan susah didapat, yaitu bungkil kedele.
2. Perilaku biaya selanjutnya berdampak kepada efisiensi biaya dan harga output
pakan. Selanjutnya harga pakan akan menarik perusahaan untuk masuk atau
keluar dari industri.
3. Model industri pakan lebih mengarah pada bentuk siklus dimana struktur
industri akan mempengaruhi strategi dan kinerja perusahaan pakan ternak, dan
sebaliknya kinerja perusahaan pakan ternak akan mempengaruhi keluar atau
masuknya (entry and exit) suatu perusahaan dalam industri.
4. Jumlah perusahaan dalam industri pakan yang banyak dengan hambatan untuk
”entry and exit” yang relatif kecil, produk didiferensiasi serta penentuan harga
lebih pada pendekatan biaya produksi (cost plus approach) mengindikasikan
bahwa bentuk pasar adalah persaingan monopolistis (monopolistic
competition).
5. Perubahan faktor eksternal berdampak terhadap perubahan perilaku dan
kinerja perusahaan pakan. Peningkatan permintaan yang diikuti dengan
peningkatan penawaran atau permintaan akan menciptakan penawaran
145
146
(demand creates supply) merupakan faktor positif pendorong perkembangan
industri pakan ternak. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan untuk
mengembangkan industri pakan ternak oleh pemerintah akan lebih efektif
dengan mendorong terjadinya peningkatan permintaan dibanding hanya
dengan mendorong peningkatan produksi atau industri.
6. Perubahan faktor eksternal melalui peningkatan biaya input berdampak
terhadap perubahan perilaku dan kinerja perusahaan. Peningkatan harga
bungkil kedele yang relatif lebih banyak negatifnya dibanding peningkatan
harga jagung terutama bagi perusahaan skala kecil dan perkembangan industri
pakan ternak.
8.2. Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil pembahasan struktur, strategi dan kinerja industri dan
perusahaan pakan ternak dan dilanjutkan dengan simulasi kebijakan maka
beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mendorong perkembangan industri pakan
ternak adalah:
1. Perkembangan industri pakan ternak harus didukung dengan meningkatnya
permintaan akan produk peternakan melalui peningkatan daya beli dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya protein asal ternak.
2. Penyediaan input berupa bahan baku penyusun pakan terutama bahan baku
sumber protein alternatif pengganti bungkil kedele melalui kegiatan penelitian
menjadi prioritas utama dalam mendorong perkembangan industri pakan
ternak.
147
3. Terkait efisiensi biaya, perkembangan industri pakan seharusnya lebih
diarahkan ke wilayah sentra butir-butiran pakan.
4. Pemerintah dalam mendorong masuknya investasi baru dalam industri pakan
perlu menyediakan berbagai regulasi untuk mendorong perubahan struktur
industri menuju pasar persaingan yang lebih bersaing.
5. Pengembangan pasar input bahan baku penyusun pakan, lembaga penunjang
(perbankan dan koperasi), pengembangan industri pakan dan DOC serta sarana
dan prasarana serta budidaya unggas dan pengolahan hasil ternak harus
dilakukan secara terintegrasi dalam kerangka pengembangan agribisnis
peternakan unggas.
8.3 Saran Penelitian Lanjutan
Penelitian yang sudah dilakukan peneliti masih jauh dari harapan dan
masih banyak terdapat kekurangan disana-sini. Adapun penelitian lanjutan sangat
diharapkan untuk dapat melihat perkembangan industri pakan ternak yang ada di
Indonesia secara lebih komprehensif, diantaranya :
1. Ditelitinya kelembagaan dalam struktur pasar pakan diantaranya koperasi,
poultry shop-poultry shop melalui analisis SCP.
2. Ditelitinya juga kinerja peternak ayam baik itu peternak mandiri atau
kemitraan, untuk dapat melihat langsung kondisi peternakan yang ada
sekarang.
3. Data industri pakan sebaiknya menggunakan data primer bulanan/triwulanan
sehingga dapat lebih akurat dan dapat menangkap fenomena yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, S.S. 1998. Agricultural Marketing in India : Some Facts and Emerging Issues. Indian Journal of Agricultural Economics, 53 (3) : 311 – 332.
Alim, M.R. 1996. Keragaan Pakan Ayam Ras di Wilayah Bogor dan Bekasi :
Suatu Analisis Efisiensi dan Skala Ekonomi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
_______. 2004. Http/www. disnakkeswan-Lampung.co.id. Mei 2004 Bain, J.S. 1968. Industrial Organization. Second Edition. John Wiley & Sons, Inc.
New York. Barney, J.B. and W.G. Ouchi. 1986. Organizational Economics. Toward a New
Paradigm For Understanding and Studying Organization. Jossey — Bass Inc. California.
BPS. 2004. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Carlton, D.W. and J.M. Perloff. 2000. Modern Industrial Organization. Third Edition. Addison Wesley Longman, Inc. New York.
DEPTAN. 2005. Statistik Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Ditjen Peternakan. 1997. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan.
Departemen Pertanian, Jakarta. _______. 1998. Data Monitoring Pasar. Direktorat Jenderal Peternakan.
Departemen Pertanian, Jakarta. _______. 2004. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. FAO. 2002. Production and Trade Year Book. Food And Agricultural
Organization, Roma. Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Penerbit Erlangga, Jakarta. Hakobyan, A. 2004. Evolving Marketing Channels in Armenia : A Structure-
Conduct-Performance Analysis. Diperoleh dari world wide web : http://www.usda.am/
Henderson, J.M. and R.E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory: A Mathematical
Approach. Mc Graw-Hill International Book Company, London.
148
149
Kariyasa, I. K. 2003. Keterkaitan Pasar Jagung, Pakan dan Daging Ayam Ras di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan untuk rakyat : Memadukan Pertumbuhan
dan Pemerataan. Center for Information and Development Studies, Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. Second edition. The Macmillan
Press Ltd, London. ________. 1979. Modern Microeconomics. Halsted Press Book Water 100,
Ontario. Krisnamurthi, B. 1998. Perkembangan Kelembagaan dan Perilaku Usaha Koperasi
Unit Desa di Jawa Barat : Suatu Kajian Cross Section. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nesheim, M .C., R. E. Austia and L. E. Lesly. 1979. Poultry Production. Twelfth
Edition. Lea and Febiger, Philadelphia. Nicholson, W. 2000. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi
Kedelapan. Terjemahan. Penerbit Erlangga, Jakarta. National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Domestic Animals.
Nutrient Requirement of Poultry. Ninth Rev. Edition. Natl. Acad. Sci, Washington, DC.
Oetoro. 2002. Paradigma, Misi dan Manajemen Perunggasan Nasional. Tulisan
Disampaikan dalam Rangka Ulang Tahun Poultry Indonesia ke 23. Majalah Poultry Indonesia, Jakarta.
Poultry Indonesia. 1997. Laporan Perkembangan Perusahaan Grup Subur,
Pembangunan Perusahaan yang ke Tujuh. Majalah Poultry Indonesia, Jakarta.
Purba, H.J. 1999. Keterkaitan Pasar Jagung dan Pasar Pakan Ternak Ayam Ras di
Indonesia: Suatu Analisis Simulasi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pyndick, R.S. and D.L. Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic
Forecast. Third Edition. McGraw-Hill International, Singapura. Rasyaf, M. 1994. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta. Resende, M. 2005. Structure, Conduct and Performance : a Simultaneous
Equations Investigation for the Brazilian Manufacturing Industry. Instituto de Economia, Universidade Federal do Rio de Janeiro, Rio de Janeiro.
150
Rusastra, I.W., Sumaryanto dan Arti Djatiharti. 1990. Analisis Keunggulan Komparatif Produksi Pakan Ternak di Jawa Barat dan Lampung. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Sajuti, R. 2001. Analisis Agribisnis Ayam Buras Melalui Pendekatan Fungsi
Keuntungan Multi Output Kasus Jawa Timur. Jurnal Agro Ekonomi, 19 (2): 56 – 74.
Saptana., R. Sajuti dan K.M Noekman. 2002. Industri Perunggasan : Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Saragih, B. 2001, Kumpulan Pemikiran Agribisnis. Paradigma Baru
Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Yayasan Mulia Persada Indonesia dan PT. Surveyor Indonesia.
Sayaka, B. 2003. Market Structure, Conduct, and Performance of The Corn Seed
Industry in East Java, Indonesia. Ph.D Dissertation. University of the Philippines, Los Banos.
Scherer, F. and D. Ross. 1990. Industrial Market Structure and Economic
Performance. Third Edition. Houghton Mifflin Company, Boston. Sheperd, W.G. 1997. The Economics of Industrial Organization : Analysis,
Markets and Policies. Fourth Edition. Prentice Hall Intl, Inc. New Jersey. Spechler, M.C. 1990. Perspectives in Economic Thought. Mc Graw-Hill
Publishing Company, New York. Strickland, A.D. and L.W. Weiss. 1976. Advertising, Concentration and Price-
Cost Margins. Journal of Political Economy, 84 : 1109-21 Tangendjaja, B., Y. Yusdja dan N. Ilham. 2002. Analisis Ekonomi Permintaan
Jagung untuk Pakan. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Jagung tanggal 4 Juni 2002 di Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Yusdja, Y. dan E. Pasandaran. 1996. Analisis Harga Pokok dan Bentuk Pasar
Pakan dan Kaitannya Dengan Pengembangan Agribisnis Ayam Ras Rakyat. Jurnal Agro Ekonomi 15 (1) : 13 – 25.
Yusdja, Y dan Saptana. 1995. Disintegrasi Pola Kemitraan dan Inefisiensi dalam
Industri Ayam Ras. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kemitraan Menuju Industrialisasi Usaha Ternak Rakyat, diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) dan Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
151
Yusdja, Y., R. Sajuti., M. Iqbal dan M.S.M Tambunan. 2000. Perumusan Kebijaksanaan dan model Restrukturisasi Industri Ternak Unggas Nasional. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Viaene, J. and X. Gellynck. 1995. Structure, Conduct and Performance of the
European Food Sector. European Review of Agricultural Economics, 22 (3) : 282 – 295.
Vlachvei, A. and K. Oustapassidis. 1998. Advertising, Concentration and
Profitability in Greek Food Manufacturing Industries. Journal Agricultural Economics 18 (2) : 191 – 198.
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 2. Hasil Pengolahan Data Model Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pakan Ternak Ayam di Lampung dan Jabar The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model JIPK Dependent Variable JIPK Label Jumlah perusahaan dalam industri Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 8 2590.696 323.8370 2801.04 <.0001 Error 36 4.162077 0.115613 Corrected Total 44 2594.800 Root MSE 0.34002 R-Square 0.99840 Dependent Mean 16.06667 Adj R-Sq 0.99804 Coeff Var 2.11630 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 634.4795 101.7484 6.24 <.0001 Intercept RHPKN 1 0.002708 0.000433 6.26 <.0001 Rataan harga pakan PROF 1 0.000982 0.001212 0.81 0.4229 Tingkat keuntungan INVEA 1 0.000702 0.002184 0.32 0.7498 Nilai investasi awal DEMDR 1 0.000352 0.000216 1.63 0.1113 Permintaan pakan regional VEXSP 1 0.007736 0.001177 6.57 <.0001 Volume pengeluaran pakan regional DSCL 1 -0.02719 0.127761 -0.21 0.8327 Dummy skala produksi DDAE 1 -13.1577 0.607596 -21.66 <.0001 Dummy daerah YEAR 1 -0.31020 0.050752 -6.11 <.0001 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model EFITR Dependent Variable EFITR Label Efisiensi teknis kawasan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 9 8247.038 916.3375 19.44 <.0001 Error 35 1649.400 47.12572 Corrected Total 44 9795.104 Root MSE 6.86482 R-Square 0.83333 Dependent Mean 44.72538 Adj R-Sq 0.79048 Coeff Var 15.34882 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 8671.183 3116.375 2.78 0.0086 Intercept DEMDR 1 0.026656 0.003650 7.30 <.0001 Permintaan pakan regional PROF 1 -0.03548 0.028188 -1.26 0.2165 Tingkat keuntungan DINVE 1 0.101635 0.262405 0.39 0.7009 Penambahan investasi LABS 1 19.02983 12.97463 1.47 0.1514 Struktur tenaga kerja KPRDR 1 -0.00872 0.005363 -1.63 0.1129 Kapasitas produksi kawasan EFITF 1 0.050851 0.078157 0.65 0.5195 Efisiensi teknis perusahaan DSCL 1 1.897522 2.450295 0.77 0.4439 Dummy skala produksi DDAE 1 -6.59009 13.39160 -0.49 0.6257 Dummy daerah YEAR 1 -4.32039 1.562557 -2.76 0.0090 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model RCON Dependent Variable RCON Label Rasio konsentrasi industri Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 9 0.217066 0.024118 13.88 <.0001 Error 35 0.060811 0.001737 Corrected Total 44 0.295965 Root MSE 0.04168 R-Square 0.78116 Dependent Mean 0.19027 Adj R-Sq 0.72488 Coeff Var 21.90761 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -32.0624 26.54370 -1.21 0.2352 Intercept JIPK 1 -0.04572 0.016888 -2.71 0.0104 Jumlah perusahaan dalam industri PRODR 1 0.000060 0.000136 0.44 0.6641 Produksi pakan kawasan MSHA 1 0.000507 0.001234 0.41 0.6837 Penguasaan pasar EFITR 1 0.002293 0.002728 0.84 0.4062 Efisiensi teknis kawasan DEMDR 1 -0.00014 0.000090 -1.52 0.1365 Permintaan pakan regional COSU 1 -9.22E-6 0.000012 -0.79 0.4377 Biaya perunit DSCL 1 -0.00292 0.017924 -0.16 0.8714 Dummy skala produksi DDAE 1 -0.65661 0.325909 -2.01 0.0517 Dummy daerah YEAR 1 0.016586 0.013292 1.25 0.2204 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model LABS Dependent Variable LABS Label Struktur tenaga kerja Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 8 0.594842 0.074355 11.26 <.0001 Error 36 0.237629 0.006601 Corrected Total 44 0.833355 Root MSE 0.08125 R-Square 0.71455 Dependent Mean 0.56682 Adj R-Sq 0.65112 Coeff Var 14.33362 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 2.395162 18.79178 0.13 0.8993 Intercept WAGR 1 -0.00337 0.001610 -2.09 0.0438 Upah rata-rata NLABP 1 -0.00268 0.000370 -7.25 <.0001 Tenaga kerja non-produksi DIPR 1 -0.00200 0.005818 -0.34 0.7330 Diferensiasi produk PRODF 1 -0.00003 0.000396 -0.09 0.9324 Produksi pakan perusahaan KPRDF 1 0.001803 0.000347 5.20 <.0001 Kapasitas produksi perusahaan DSCL 1 -0.08711 0.036815 -2.37 0.0235 Dummy skala produksi DDAE 1 -0.05002 0.035118 -1.42 0.1629 Dummy daerah YEAR 1 -0.00088 0.009394 -0.09 0.9262 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model SPBK Dependent Variable SPBK Label Share penggunaan bkl kedele Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 11 1799.122 163.5565 6.25 <.0001 Error 33 862.9887 26.15117 Corrected Total 44 2798.559 Root MSE 5.11382 R-Square 0.67583 Dependent Mean 15.00686 Adj R-Sq 0.56777 Coeff Var 34.07656 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 12800.42 3156.458 4.06 0.0003 Intercept HPKN 1 0.002235 0.002617 0.85 0.3992 Harga pakan HBKD 1 -0.01273 0.002835 -4.49 <.0001 Harga bungkil kedele HJGG 1 0.004723 0.002243 2.11 0.0429 Harga jagung SRWL 1 -0.12654 0.057043 -2.22 0.0335 Share bahan baku lain-lain DIPR 1 1.227155 0.336320 3.65 0.0009 Diferensiasi produk PRODF 1 0.004666 0.016681 0.28 0.7814 Produksi pakan perusahaan DSCL 1 -1.24103 2.526510 -0.49 0.6265 Dummy skala produksi PROPS 1 0.000722 0.002727 0.26 0.7927 Produksi pesaing JPES 1 -8.31962 2.242633 -3.71 0.0008 Jumlah industri pakan pesaing DDAE 1 -136.539 36.93285 -3.70 0.0008 Dummy daerah YEAR 1 -6.29505 1.557322 -4.04 0.0003 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model SPJG Dependent Variable SPJG Label Share penggunaan jagung Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 11 10933.20 993.9270 38.01 <.0001 Error 33 862.9887 26.15117 Corrected Total 44 13760.79 Root MSE 5.11382 R-Square 0.92684 Dependent Mean 41.36502 Adj R-Sq 0.90246 Coeff Var 12.36267 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -12700.4 3156.458 -4.02 0.0003 Intercept HPKN 1 -0.00224 0.002617 -0.85 0.3992 Harga pakan HJGG 1 -0.00472 0.002243 -2.11 0.0429 Harga jagung HBKD 1 0.012725 0.002835 4.49 <.0001 Harga bungkil kedele SRWL 1 -0.87346 0.057043 -15.31 <.0001 Share bahan baku lain-lain DIPR 1 -1.22716 0.336320 -3.65 0.0009 Diferensiasi produk PRODF 1 -0.00467 0.016681 -0.28 0.7814 Produksi pakan perusahaan DSCL 1 1.241032 2.526510 0.49 0.6265 Dummy skala produksi PROPS 1 -0.00072 0.002727 -0.26 0.7927 Produksi pesaing JPES 1 8.319624 2.242633 3.71 0.0008 Jumlah industri pakan pesaing DDAE 1 136.5387 36.93285 3.70 0.0008 Dummy daerah YEAR 1 6.295048 1.557322 4.04 0.0003 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model DIPR Dependent Variable DIPR Label Diferensiasi produk Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 10 213.3024 21.33024 3.98 0.0012 Error 34 182.1280 5.356707 Corrected Total 44 343.2000 Root MSE 2.31446 R-Square 0.53942 Dependent Mean 2.46667 Adj R-Sq 0.40395 Coeff Var 93.82930 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -1957.08 1386.643 -1.41 0.1672 Intercept INVEA 1 0.048034 0.015812 3.04 0.0046 Nilai investasi awal HBKD 1 0.001325 0.001187 1.12 0.2721 Harga bungkil kedele HJGG 1 -0.00045 0.000858 -0.53 0.5993 Harga jagung DSCL 1 -0.05503 1.088318 -0.05 0.9600 Dummy skala produksi EFITF 1 -0.06464 0.026531 -2.44 0.0202 Efisiensi teknis perusahaan LABS 1 -0.20274 3.770057 -0.05 0.9574 Struktur tenaga kerja JPES 1 1.418724 1.065223 1.33 0.1918 Jumlah industri pakan pesaing DEMDR 1 0.000476 0.001111 0.43 0.6709 Permintaan pakan regional DDAE 1 25.41112 17.36354 1.46 0.1525 Dummy daerah YEAR 1 0.964456 0.682978 1.41 0.1670 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PRODF Dependent Variable PRODF Label Produksi pakan perusahaan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 11 230065.6 20915.05 46.71 <.0001 Error 33 14776.38 447.7692 Corrected Total 44 243953.9 Root MSE 21.16056 R-Square 0.93965 Dependent Mean 84.44687 Adj R-Sq 0.91953 Coeff Var 25.05784 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1145.772 11469.08 0.10 0.9210 Intercept RHPJG 1 -0.00034 0.000893 -0.38 0.7046 Rasio harga pakan thd jagung RHPBK 1 6.362304 16.25551 0.39 0.6980 Rasio harga pakan thd b.kedele KPRDF 1 0.541176 0.046948 11.53 <.0001 Kapasitas produksi perusahaan EFITF 1 2.283659 0.255864 8.93 <.0001 Efisiensi teknis perusahaan LABS 1 35.44822 34.60013 1.02 0.3130 Struktur tenaga kerja DSCL 1 6.931893 10.56560 0.66 0.5163 Dummy skala produksi DIPR 1 4.720900 1.637363 2.88 0.0069 Diferensiasi produk PROPS 1 7.289E-6 0.011685 0.00 0.9995 Produksi pesaing JPES 1 -1.25626 8.259734 -0.15 0.8800 Jumlah industri pakan pesaing DDAE 1 -47.1938 141.0715 -0.33 0.7401 Dummy daerah YEAR 1 -0.64330 5.665301 -0.11 0.9103 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model SCJG Dependent Variable SCJG Label Share biaya bahan baku jagung Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 11 19059.33 1732.666 82.53 <.0001 Error 33 692.8459 20.99533 Corrected Total 44 22114.74 Root MSE 4.58207 R-Square 0.96492 Dependent Mean 36.48991 Adj R-Sq 0.95323 Coeff Var 12.55708 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -9398.56 1880.845 -5.00 <.0001 Intercept VJGG 1 0.599809 0.116615 5.14 <.0001 Volume penggunaan jagung HJGG 1 0.004734 0.002641 1.79 0.0822 Harga jagung SJGL 1 0.064261 0.034521 1.86 0.0716 Share penggunaan jagung lokal SCOT 1 -0.51003 0.109500 -4.66 <.0001 Share biaya lain-lain VBKD 1 -1.08634 0.155098 -7.00 <.0001 Volume penggunaan bkl kedele JIPK 1 6.063830 1.343380 4.51 <.0001 Jumlah perusahaan dalam industri PRODF 1 -0.08399 0.039760 -2.11 0.0423 Produksi pakan perusahaan DIPR 1 -1.66229 0.429184 -3.87 0.0005 Diferensiasi produk DSCL 1 2.857070 2.182337 1.31 0.1995 Dummy skala produksi DDAE 1 104.0350 21.70957 4.79 <.0001 Dummy daerah YEAR 1 4.655455 0.929763 5.01 <.0001 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model SCBK Dependent Variable SCBK Label Share biaya bahan baku bkl kedele Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 11 3391.282 308.2984 18.64 <.0001 Error 33 545.8697 16.54151 Corrected Total 44 4134.496 Root MSE 4.06712 R-Square 0.86135 Dependent Mean 19.94042 Adj R-Sq 0.81514 Coeff Var 20.39639 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 10825.00 2468.761 4.38 0.0001 Intercept VBKD 1 1.102486 0.157178 7.01 <.0001 Volume penggunaan bkl kedele HBKD 1 -0.00075 0.002356 -0.32 0.7508 Harga bungkil kedele SBKL 1 -0.00783 0.016817 -0.47 0.6446 Share penggunaan bkl kedele lokal SCOT 1 -0.27936 0.072312 -3.86 0.0005 Share biaya lain-lain VJGG 1 -0.50024 0.090996 -5.50 <.0001 Volume penggunaan jagung JIPK 1 -6.05026 1.919308 -3.15 0.0034 Jumlah perusahaan dalam industri PRODF 1 0.072657 0.036047 2.02 0.0520 Produksi pakan perusahaan DIPR 1 0.602855 0.416637 1.45 0.1573 Diferensiasi produk DSCL 1 -3.60573 2.032890 -1.77 0.0853 Dummy skala produksi DDAE 1 -97.5390 31.58831 -3.09 0.0041 Dummy daerah YEAR 1 -5.32943 1.212580 -4.40 0.0001 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model SCLB Dependent Variable SCLB Label Share biaya tenaga kerja Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 11 115.9843 10.54403 3.24 0.0043 Error 33 107.2504 3.250013 Corrected Total 44 225.5787 Root MSE 1.80278 R-Square 0.51956 Dependent Mean 2.72320 Adj R-Sq 0.35942 Coeff Var 66.20071 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 985.7463 991.6943 0.99 0.3275 Intercept WAGR 1 0.050531 0.036383 1.39 0.1742 Upah rata-rata LABS 1 -4.58600 3.041239 -1.51 0.1411 Struktur tenaga kerja SCJG 1 0.043858 0.021727 2.02 0.0517 Share biaya bahan baku jagung SCBK 1 -0.05948 0.051019 -1.17 0.2521 Share biaya bahan baku bkl kedele COSU 1 -0.00069 0.000683 -1.01 0.3183 Biaya perunit PRODF 1 -0.01746 0.007530 -2.32 0.0268 Produksi pakan perusahaan JIPK 1 -0.83906 0.624624 -1.34 0.1883 Jumlah perusahaan dalam industri DIPR 1 0.612026 0.184508 3.32 0.0022 Diferensiasi produk DSCL 1 -0.56806 1.083852 -0.52 0.6037 Dummy skala produksi DDAE 1 -17.7003 10.22276 -1.73 0.0927 Dummy daerah YEAR 1 -0.48020 0.490036 -0.98 0.3343 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model EFITF Dependent Variable EFITF Label Efisiensi teknis perusahaan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 11 7976.128 725.1025 3.13 0.0054 Error 33 7640.227 231.5220 Corrected Total 44 15616.36 Root MSE 15.21585 R-Square 0.51075 Dependent Mean 62.24584 Adj R-Sq 0.34767 Coeff Var 24.44476 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 11089.16 8499.202 1.30 0.2010 Intercept DEMDR 1 0.106035 0.026220 4.04 0.0003 Permintaan pakan regional HBKD 1 -0.00327 0.007462 -0.44 0.6642 Harga bungkil kedele HJGG 1 0.004566 0.005895 0.77 0.4442 Harga jagung WAGR 1 -0.06123 0.328578 -0.19 0.8533 Upah rata-rata KPRDF 1 -0.08376 0.039104 -2.14 0.0397 Kapasitas produksi perusahaan PROPS 1 -0.11486 0.030636 -3.75 0.0007 Produksi pesaing JPES 1 3.685788 6.942798 0.53 0.5991 Jumlah industri pakan pesaing DIPR 1 -2.33015 1.139395 -2.05 0.0489 Diferensiasi produk DSCL 1 7.700891 7.731163 1.00 0.3265 Dummy skala produksi DDAE 1 29.04059 113.0269 0.26 0.7988 Dummy daerah YEAR 1 -5.52550 4.184646 -1.32 0.1958 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model COSU Dependent Variable COSU Label Biaya perunit Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 10 14559669 1455967 3.09 0.0067 Error 34 16002872 470672.7 Corrected Total 44 33198789 Root MSE 686.05590 R-Square 0.47639 Dependent Mean 1439.84577 Adj R-Sq 0.32239 Coeff Var 47.64787 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -260761 173316.0 -1.50 0.1417 Intercept HJGG 1 0.192552 0.283315 0.68 0.5013 Harga jagung HBKD 1 -0.10747 0.254453 -0.42 0.6754 Harga bungkil kedele SPJG 1 -3.40953 8.623695 -0.40 0.6950 Share penggunaan jagung SPBK 1 36.07647 20.74172 1.74 0.0910 Share penggunaan bkl kedele SCLB 1 -15.5752 88.05835 -0.18 0.8607 Share biaya tenaga kerja PRODF 1 -4.17100 2.701615 -1.54 0.1319 Produksi pakan perusahaan DIPR 1 129.8673 67.51528 1.92 0.0628 Diferensiasi produk DSCL 1 475.3955 331.6877 1.43 0.1609 Dummy skala produksi DDAE 1 -237.426 439.3169 -0.54 0.5924 Dummy daerah YEAR 1 130.7847 86.54524 1.51 0.1400 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model HPKN Dependent Variable HPKN Label Harga pakan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 11 4021622 365602.0 3.21 0.0046 Error 33 3763164 114035.3 Corrected Total 44 6574943 Root MSE 337.69110 R-Square 0.51660 Dependent Mean 1764.57778 Adj R-Sq 0.35547 Coeff Var 19.13722 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -85385.8 174787.3 -0.49 0.6284 Intercept DEMDR 1 0.636434 0.712737 0.89 0.3784 Permintaan pakan regional PRODR 1 -0.72825 0.832959 -0.87 0.3883 Produksi pakan kawasan COSU 1 0.273542 0.099829 2.74 0.0098 Biaya perunit HJGG 1 0.156283 0.118484 1.32 0.1962 Harga jagung HBKD 1 0.410419 0.149902 2.74 0.0099 Harga bungkil kedele MSHA 1 10.56811 10.36871 1.02 0.3155 Penguasaan pasar RCON 1 -598.223 2533.929 -0.24 0.8148 Rasio konsentrasi industri LABS 1 1309.103 527.5530 2.48 0.0184 Struktur tenaga kerja DSCL 1 -96.5735 158.4615 -0.61 0.5464 Dummy skala produksi DDAE 1 -508.000 576.0560 -0.88 0.3842 Dummy daerah YEAR 1 42.70911 87.40459 0.49 0.6283 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model PROF Dependent Variable PROF Label Tingkat keuntungan Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 8 165559.9 20694.99 447.35 <.0001 Error 36 1665.395 46.26097 Corrected Total 44 167697.1 Root MSE 6.80154 R-Square 0.99004 Dependent Mean 43.84770 Adj R-Sq 0.98783 Coeff Var 15.51174 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -3843.90 2586.603 -1.49 0.1460 Intercept PVADD 1 0.833992 0.015415 54.10 <.0001 Persen nilai tambah bahan baku MSHA 1 0.508704 0.197342 2.58 0.0142 Penguasaan pasar DIPR 1 -1.46822 0.462335 -3.18 0.0031 Diferensiasi produk JPES 1 0.487137 2.320389 0.21 0.8349 Jumlah industri pakan pesaing DSCL 1 -6.26121 2.840680 -2.20 0.0340 Dummy skala produksi RCON 1 -2.53758 48.88823 -0.05 0.9589 Rasio konsentrasi industri DDAE 1 0.266681 34.74161 0.01 0.9939 Dummy daerah YEAR 1 1.915402 1.278299 1.50 0.1427 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model MSHA Dependent Variable MSHA Label Penguasaan pasar Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 11 7295.388 663.2171 11.18 <.0001 Error 33 1957.373 59.31435 Corrected Total 44 9341.672 Root MSE 7.70158 R-Square 0.78846 Dependent Mean 13.51198 Adj R-Sq 0.71794 Coeff Var 56.99817 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -2343.97 4204.794 -0.56 0.5810 Intercept HPKN 1 0.007297 0.004751 1.54 0.1341 Harga pakan COSU 1 -0.01086 0.005317 -2.04 0.0491 Biaya perunit DEMDR 1 -0.00887 0.018830 -0.47 0.6406 Permintaan pakan regional PROPS 1 0.003517 0.019875 0.18 0.8606 Produksi pesaing JPES 1 -2.86506 3.994359 -0.72 0.4783 Jumlah industri pakan pesaing RCON 1 -65.2515 99.52824 -0.66 0.5166 Rasio konsentrasi industri PROF 1 -0.04351 0.043963 -0.99 0.3295 Tingkat keuntungan DIPR 1 1.670857 0.811097 2.06 0.0474 Diferensiasi produk DSCL 1 8.037048 3.077571 2.61 0.0135 Dummy skala produksi DDAE 1 -22.4723 55.21577 -0.41 0.6866 Dummy daerah YEAR 1 1.210558 2.110469 0.57 0.5701 Tahun
Lampiran 2. Lanjutan The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model MPWR Dependent Variable MPWR Label Market power Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 10 6.135704 0.613570 222.29 <.0001 Error 34 0.093846 0.002760 Corrected Total 44 11.27194 Root MSE 0.05254 R-Square 0.98494 Dependent Mean 0.17731 Adj R-Sq 0.98050 Coeff Var 29.63012 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -27.0772 20.85832 -1.30 0.2030 Intercept COSU 1 -0.00061 0.000020 -29.84 <.0001 Biaya perunit EFITF 1 -0.00019 0.000898 -0.21 0.8311 Efisiensi teknis perusahaan MSHA 1 -0.00194 0.001898 -1.02 0.3147 Penguasaan pasar PROPS 1 0.000011 0.000032 0.35 0.7318 Produksi pesaing JPES 1 0.011164 0.020624 0.54 0.5918 Jumlah industri pakan pesaing DSCL 1 0.053153 0.023292 2.28 0.0289 Dummy skala produksi RCON 1 0.273299 0.430566 0.63 0.5298 Rasio konsentrasi industri HPKN 1 0.000409 0.000025 16.55 <.0001 Harga pakan DDAE 1 0.204876 0.324706 0.63 0.5323 Dummy daerah YEAR 1 0.013551 0.010336 1.31 0.1986 Tahun
Tabel Lampiran 3. Hasil Validasi Model Analisis SCP Industri Pakan Ternak Ayam di Lampung dan Jawa Barat ANALISIS ANALISIS INDUSTRI PAKAN TERNAK The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Range NO = 1 To 40 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label
JIPK 40 40 15.4000 7.8929 15.3959 7.8781 JIPK EFITR 40 40 43.9010 15.3019 43.9584 13.9482 EFITR RCON 40 40 0.1958 0.0840 0.1943 0.0710 RCON SPJG 40 40 45.1632 13.9826 45.5902 12.7102 SPJG SPBK 40 40 15.7127 7.6439 15.2880 6.1279 SPBK LABS 40 40 0.5477 0.1201 0.5417 0.1055 LABS DIPR 40 40 2.5750 2.9167 2.4986 2.3407 DIPR SCJG 40 40 39.7165 21.0741 40.1705 18.4306 SCJG SCBK 40 40 20.5388 9.6742 20.3022 9.1084 SCBK SCLB 40 40 2.8288 2.2656 2.8206 1.6280 SCLB SCPR 40 40 63.0841 20.1930 63.2933 18.5692 SCPR PRODF 40 40 86.5201 78.3261 86.1096 73.0895 PRODF EFITF 40 40 63.0432 18.4376 62.9938 13.7790 EFITF COSU 40 40 1508.5 882.9 1442.7 499.2 COSU HPKN 40 40 1773.1 387.5 1767.4 291.2 HPKN MSHA 40 40 14.6874 15.0404 15.1292 12.6671 MSHA PROF 40 40 32.9151 44.5283 33.8243 44.4447 PROF MPWR 40 40 0.1386 0.5192 0.1736 0.2978 MPWR
Lampiran 3. Lanjutan Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square JIPK 40 -0.00411 0.1770 0.2549 3.4777 0.3182 5.5070 0.9983 EFITR 40 0.0574 3.1799 4.4527 11.7536 6.5643 16.7473 0.8113 RCON 40 -0.00157 4.6867 0.0363 19.7425 0.0480 26.2287 0.6649 SPJG 40 0.4270 . 3.9709 . 4.8359 . 0.8773 SPBK 40 -0.4247 60.8608 3.9706 87.1698 4.8354 244.0 0.5896 LABS 40 -0.00602 1.8004 0.0505 12.0744 0.0705 22.6794 0.6464 DIPR 40 -0.0764 32.2127 1.5910 99.7582 2.0845 148.2 0.4761 SCJG 40 0.4540 114113 4.7404 114122 5.8309 721684 0.9215 SCBK 40 -0.2365 6.9285 3.6238 37.8353 4.6152 88.5357 0.7666 SCLB 40 -0.00821 23.9372 1.4212 78.0793 1.8138 113.8 0.3426 SCPR 40 0.2093 2.7621 2.4753 5.8703 3.2851 10.7075 0.9729 PRODF 40 -0.4104 11.6496 21.4144 65.5756 26.7974 121.1 0.8799 EFITF 40 -0.0494 9.3094 11.1448 24.6607 13.2963 42.9090 0.4666 COSU 40 -65.8236 5.2265 435.2 28.8894 753.6 41.9097 0.2529 HPKN 40 -5.7304 1.6556 226.7 12.7152 314.3 15.7918 0.3250 MSHA 40 0.4417 28.7544 5.3166 136.5 8.0433 323.6 0.7067 PROF 40 0.9093 -16.3574 6.1207 101.2 8.3574 251.5 0.9639 MPWR 40 0.0350 -370.8 0.2524 560.7 0.4303 2115.2 0.2955
Lampiran 3. Lanjutan Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U JIPK 40 0.1012 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0184 0.0092 EFITR 40 43.0904 0.90 0.00 0.00 1.00 0.04 0.96 0.1414 0.0710 RCON 40 0.00231 0.82 0.00 0.00 1.00 0.07 0.93 0.2258 0.1146 SPJG 40 23.3863 0.94 0.01 0.01 0.99 0.07 0.92 0.1024 0.0512 SPBK 40 23.3811 0.77 0.01 0.00 0.99 0.10 0.90 0.2774 0.1427 LABS 40 0.00497 0.81 0.01 0.01 0.98 0.04 0.95 0.1258 0.0634 DIPR 40 4.3452 0.70 0.00 0.02 0.98 0.07 0.92 0.5396 0.2868 SCJG 40 33.9999 0.96 0.01 0.10 0.89 0.20 0.79 0.1300 0.0656 SCBK 40 21.2998 0.88 0.00 0.02 0.98 0.01 0.98 0.2037 0.1029 SCLB 40 3.2898 0.60 0.00 0.02 0.98 0.12 0.88 0.5029 0.2647 SCPR 40 10.7916 0.99 0.00 0.18 0.82 0.24 0.76 0.0497 0.0249 PRODF 40 718.1 0.94 0.00 0.00 1.00 0.04 0.96 0.2309 0.1173 EFITF 40 176.8 0.69 0.00 0.01 0.99 0.12 0.88 0.2026 0.1022 COSU 40 567881 0.51 0.01 0.00 0.99 0.25 0.74 0.4325 0.2307 HPKN 40 98806.9 0.59 0.00 0.04 0.96 0.09 0.91 0.1733 0.0872 MSHA 40 64.6952 0.84 0.00 0.00 1.00 0.08 0.91 0.3851 0.1985 PROF 40 69.8462 0.98 0.01 0.01 0.98 0.00 0.99 0.1522 0.0757 MPWR 40 0.1852 0.55 0.01 0.00 0.99 0.26 0.74 0.8102 0.4931
Tabel Lampiran 4. Hasil Simulasi Dampak Perubahan Faktor Eksternal terhadap SCP Industri Pakan Ternak Ayam
Error! Not a valid link.