Analisis Struktural Levi Strauss

58
13 BAB II CERITA RAKYAT, STRUKTUR DAN NILAI MORAL SERTA MODEL PELESTARIANNYA DI MADRASAH TSANAWIYAH 1. Ihwal Cerita Rakyat 1.1. Pengertian Cerita Rakyat Cerita rakyat merupakan tradisi lisan yang secara turun temurun diwariskan dalam kehidupan masyarakat, seperti dongeng Sangkuriang, Si Kancil, Si Kabayan dan sebagainya. Cerita rakyat biasanya berbentuk tuturan yang berfungsi sebagai media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat di dalam kehidupan masyarakat. Dalam sastra Indonesia, cerita rakyat adalah salah satu bentuk folklor lisan (Bunanta, 1998:21). Kata folklor adalah pengindonesiaan dari kata bahasa Inggris folklore. Kata itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Dandles menyatakan bahwa, Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting adalah mereka telah memiliki suatu tradisi yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi turun temurun, sedikitnya ada dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersamanya. Di samping itu, yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Sedangkan lore adalah tradisi folk yaitu

description

File ini berisikan hasil analisis struktural yang dilakukan oleh dosen IAIN palangka Bpk. Siminto, M. Hum

Transcript of Analisis Struktural Levi Strauss

Page 1: Analisis Struktural Levi Strauss

13

BAB II

CERITA RAKYAT, STRUKTUR DAN NILAI MORAL SERTA MODEL

PELESTARIANNYA DI MADRASAH TSANAWIYAH

1. Ihwal Cerita Rakyat

1.1. Pengertian Cerita Rakyat

Cerita rakyat merupakan tradisi lisan yang secara turun temurun diwariskan

dalam kehidupan masyarakat, seperti dongeng Sangkuriang, Si Kancil, Si Kabayan

dan sebagainya. Cerita rakyat biasanya berbentuk tuturan yang berfungsi sebagai

media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat di dalam

kehidupan masyarakat. Dalam sastra Indonesia, cerita rakyat adalah salah satu bentuk

folklor lisan (Bunanta, 1998:21).

Kata folklor adalah pengindonesiaan dari kata bahasa Inggris folklore. Kata

itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Dandles

menyatakan bahwa, Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal

fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok

lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama,

bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf

pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting adalah

mereka telah memiliki suatu tradisi yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi turun

temurun, sedikitnya ada dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik

bersamanya. Di samping itu, yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan

identitas kelompok mereka sendiri. Sedangkan lore adalah tradisi folk yaitu

Page 2: Analisis Struktural Levi Strauss

14

kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun, secara lisan atau melalui contoh

yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memoric device).

Definisi folklor secara keseluruhan menurut Danandjaya (2007:2) adalah

sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun di

antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik

dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak dan isyarat atau alat pembantu

pengingat (memoric device).

Dorson,(Endraswara,2009:108) mengatakan folklor maupun folklife dapat

diklasifikasikan menjadi empat : (1) oral literature, kadang-kadang disebut juga seni

verbal atau sastra ekspresif. Sastra lisan adalah bagaian folklor yang menjadi ruh

folklor. Sastra lisan pula yang menguatkan folklor hingga lekat dihati pendukungnya;

(2) budaya material, yaitu folklor dan folklife yang kontras dengan dengan sastra

lisan. Budaya folklor adalah kehidupan fisik. Folklor semacam ini terkait dengan

karya, seperti pakaian, desain, candi, dan seterusnya; (3) social folk costum, artinya

kebiasaan sosial rakyat. Kebiasaan ini menyangkut tradisi rakyat. Hal-hal yang

berhubungan dengan rites de passage, seperti kelahiran, inisiasi, ekmatin dan ritual

lainnya adalah folklor ; (4) performaing folk arts, artinya seni pertunjukan rakyat

seperti jatilan, ketoprak, srandul, dan sebagainya.

Berdasarkan pengklasifikasian folklor menurut Dorson ini, maka cerita

PAL termasuk didalam kategori yang pertama, yaitu oral literature. Kategori yang

dikatakan sebagai ruhnya folklor, sehingga penelitian berkenaan dengan cerita PAL

Page 3: Analisis Struktural Levi Strauss

15

ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian yang penting atau esensial bagi

perkembangan folklor.

Pengklasifikasian folklor juga dilakukan oleh Brunvand, yang membagi

folklor berdasarkan tipenya. Brunvand (Danandjaja,2007:21) mengatakan bahwa

berdasarkan tipenya folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar : (1)

folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore, dan

(3) folklore bukan lisan (non verbal folklore),atau masing-masing dengan istilah

mentifacts, sociofact,dan artifacts.

Tiga kelompok folklor tersebut selanjutnya dapat diperjelas sebagai

berikut. Pertama, folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni.

Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk kedalam kelompok besar ini antara

lain; (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan

title kebangsawanan, (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan

pemeo, (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki, (d) puisi rakyat seperti pantun,

gurindam dan syair, (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng, dan

(f) nyanyian rakyat.

Kedua, folklor sebagian lisan, folklor sebagian lisan adalah folklor yang

bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan

rakyat, misalnya, yang oleh orang modern sering sekali disebut tahayul itu, terdiri

dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap

mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap

dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda

Page 4: Analisis Struktural Levi Strauss

16

material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki,

seperti batu-batu permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam

kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, juga permainan rakyat, teater rakyat,

tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.

Ketiga, folklor bukan lisan. Folklor bukan lisan adalah folklor yang

bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.

Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan

yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong yang material antara lain;

arsitektur rakyat ( bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya),

kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman

rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material

antara lain; gerak isyarat tradisioanal (gesture) bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat

(kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti

yang dilakukan di Afrika), dan musik rakyat. Berdasar pada pengelompokan menurut

Brunvand ini maka cerita PAL dapat digolongkan ke dalam folklor lisan yaitu cerita

prosa rakyat.

Folklor dapat digunakan sebagai alat untuk mewariskan adat-istiadat,

norma-norma masyarakat pemiliknya khususnya untuk sastra lisan. Hal ini tercermin

dari pernyataan Yanagita, (Endraswara,2009:109) yang mengatakan folklor

merupakan “ajaran untuk hari esok”, yang berarti sebuah disiplin ilmu yang dapat

membantu orang Jepang untuk mengerti jati diri mereka sendiri serta sejarah mereka

secara lebih mendalam.

Page 5: Analisis Struktural Levi Strauss

17

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita

rakyat merupakan karya sastra yang berbentuk lisan, yang merupakan hasil tuturan

dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan merupakan warisan kebudayaan yang

hidup ditengah-tengah masyarakat serta bagian dari folklor. Berdasarkan definisi ini

maka, cerita PAL dikategorikan sebagai bagian dari folklor, dan merupakan karya

sastra yang berbentuk lisan.

1.2. Ciri-Ciri Cerita Rakyat

Cerita rakyat merupakan genre dari folklor yang hidup tersebar dalam bentuk

lisan dan kisahnya bersifat anonim yang tidak terikat pada ruang dan waktu serta

nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Oleh karena itu, cerita rakyat yang

merupakan bagian dari folklor menurut Danandjaya (2007:3). memiliki ciri-ciri

sebagai berikut.

(1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni tutur kata

yang disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu

contoh yang disertai gerakan isyarat dan alat pembantu pengingat) dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Namun, kini penyebaran folklor dapat kita

temukan dengan bantuan mesin cetak dan elektronik.

(2) Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam

bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup

lama (paling sedikit dua generasi).

(3) Ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda, karena cara

penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau

Page 6: Analisis Struktural Levi Strauss

18

rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi

(interpolation) muncul varian-varian tersebut.

(4) Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.

(5) Biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola.

(6) Mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita

rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara,

protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam.

(7) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan

logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi floklor lisan dan sebagian

lisan.

(8) Menjadi milik lisan bersama (collective) dari kolektif tertentu.

(9) Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatanya kasar,

terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak

folklor merupakan proyeksi manusia yang paling jujur manifestasinya.

Berdasarkan ciri-ciri folklor tersebut, ada sebagian orang yang

berpandangan bahwa cerita rakyat atau dongeng tidak berarti apa-apa, atau dongeng

hanyalah sebuah sarana untuk menidurkan anak saja. Hal ini menurut penulis tidak

dapat dibenarkan begitu saja sekaligus juga tidak dapat disalahkan begitu saja. Jika

mencermati ciri folklor yang ke tujuh yang disampaikan Dananjaja di atas, yaitu

bahwa ciri folklor lisan dan sebagian lisan adalah bersifat pralogis maka anggapan

masyarakat tersebut dapat dibenarkan. Namun demikian jika melihat ciri yang ke

Page 7: Analisis Struktural Levi Strauss

19

enam yaitu folklor juga berguna atau memiliki fungsi maka anggapan ini tidak dapat

dikatakan benar.

Anggapan masyarakat yang berkaitan dengan cerita rakyat ini sesuai

dengan apa yang diungkapkan oleh Bunanta (1998:25) yang menyatakan

kekhawatirannya tentang cerita rakyat. Ia mengatakan bahwa :

bagi sementara orang paling tidaknya ada tiga hal yang dicela atau dikhawatirkan oleh cerita rakyat, yaitu yang berkaitan dengan masalah moral, kebenaran dan fantasi. Masalah moral berkaitan dengan adanya kejadian-kejadian dalam cerita yang dianggap tak manusiawi, misalnya pencungkilan mata (ibu Panji Laras dicungkil matanya sebagai imbalan supaya dia tidak dibunuh). Masalah kebenaran berkaitan dengan penggambaran kehidupan yang tidak seperti apa adanya sehingga dianggap tidak sehat. Masalah fantasi berkaitan dengan kekhawatiran bahwa anak akan mempercayai keajaiban yang ada dalam cerita.

Berkenaan dengan pendapat Bunanta ini, penulis berasumsi bahwa

permasalahan tiga hal yang dicela dalam cerita rakyat terkait dengan masalah moral,

kebenaran, dan fantasi perlu mendapat perhatian yang cukup dalam. Perlu sikap arif

untuk melihat dari berbagai sisi. Kekhawatiran sebagian orang yang diungkap oleh

Bunanta ini juga terkait dengan ciri ke sembilan yang disampaikan Danandjaja di atas

sehingga diperlukan adanya analisis yang dapat memberikan gambaran kepada

masyarakat bahwa cerita rakyat tidak hanya menyampaikan hal-hal yang pralogis

saja, tetapi lebih dari itu menyimpan hal-hal yang penuh makna yang perlu diungkap.

Ratri (2008:3) mengatakan bahwa, salah satu pisau analisis untuk membedah makna-

makna yang ada dalam cerita rakyat adalah melalui analisis struktural model Levi

Strauss.

Page 8: Analisis Struktural Levi Strauss

20

1.3. Fungsi Cerita Rakyat

Secara umum fungsi sastra termasuk cerita rakyat, hampir sama dengan

karya sastra lainnya. Kosasih (2003:222) menyatakan bahwa fungsi sastra dapat

digolongkan dalam lima kelompok besar, yaitu: (1) fungsi rekreatif, yaitu

memberikan rasa senang, gembira, serta menghibur, (2) fungsi didaktif, yaitu

mendidik para pembaca karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang ada

didalamnya, (3) fungsi estetis, yaitu memberikan nilai-nilai keindahan, (4) fungsi

moralitas, yaitu mengandung nilai moral yang tinggi sehingga para pembaca dapat

mengetahui moral yang baik dan buruk, (5) fungsi religiuditas, yaitu mengandung

ajaran yang dapat dijadikan teladan bagi para pembacanya.

Selain fungsi secara umum yang hampir sama dengan fungsi karya sastra di

atas, Bascom, menyampaikan fungsi cerita rakyat yang lebih spesifik. Menurut

Bascom (Danandjaya, 2007:19), folklor termasuk juga di dalamnya cerita rakyat

memiliki empat fungsi, yakni: (1) sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai alat

pencermin angan-angan kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan

lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidik anak, (4) sebagai alat

pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota

kolektifnya.

Melalui ciri-ciri yang disampaikan baik secara umum maupun lebih

spesifik di atas maka cerita PAL sebagai sebuah cerita rakyat sangat besar

kemungkinannya mengandung fungsi-fungsi tersebut. Fungsi-fungsi yang akan

penulis kaji dari cerita ini adalah memfokuskan pada fungsi moralitas sekaligus

Page 9: Analisis Struktural Levi Strauss

21

mengkaji fungsi folklor sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma

masyarakat dipatuhi oleh anggota kolektifnya.

1.4. Macam-Macam Cerita Rakyat

Menurut Bascom (Danandjaya, 2007:50) menyatakan bahwa cerita prosa

rakyat dapat dibagi ke dalam tiga bentuk atau genre, yakni (1) mite (myth), (2)

legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Ketiga cerita rakyat tersebut dapat

penulis jelaskan sebagai berikut.

(1) Mite

Mite (mitos) berasal dari bahasa Yunani yang berarti cerita tentang

dewa-dewa dan pahlawan yang dipuja-puja. Mitos adalah cerita suci yang

mendukung sistem kepercayaan atau religi. Menurut Bascom, mite isinya

merupakan penjelasan suci atau sakral. Mite adalah cerita rakyat yang dianggap

benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mite ditokohi

oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain,

atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang ini, dan terjadi pada masa

lampau. Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia,

manusia pertama, bentuk fotografi, gejala alam, bentuk khas binatang, terjadinya

maut, dan sebagainya. Mite mengisahkan petualangan percintaan, hubungan

kekerabatan dan kisah perang para dewa (Danandjaya, 2007:51).

Pengertian mitos dalam kamus Bahasa Indonesia dibedakan dari mite.

Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan jaman dulu, yang

mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu

Page 10: Analisis Struktural Levi Strauss

22

sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.

Mite adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercaya oleh

masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak

mengandung hal-hal ajaib, umumnya ditokohi oleh dewa. Sudjiman

(Lantini,1996:224) mengartikan kata mitos dalam dua pengertian, yaitu (1) cerita

rakyat legendaris atau tradisional, biasanya bertokoh makhluk yang luar biasa

dan mengisahkan peristiwa-peristiwa yang tidak dijelaskan secara rasional,

seperti terjadinya sesuatu; (2) kepercayaan atau keyakinan yang tidak terbukti

tetapi diterima mentah-mentah.

Sejalan dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa dongeng mite

adalah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supranatural dengan latar suci

dan waktu masa purba. Mitos merupakan salah satu genre cerita rakyat yang

dianggap suci dan diyakini betul-betul terjadi oleh masyarakat pendukungnya,

bersifat religius karena memberi rasio pada kepercayaan. Selain itu, mitos

berfungsi untuk menyatakan, memperteguh dan mengkondifikasi kepercayaan,

melindungi dan melaksanakan moralitas, dan sebagai alat pemaksa berlakunya

norma-norma serta pengendali masyarakat. Mite menceritakan tentang cerita-

cerita yang berbau supranatural dan ditokohi oleh makhluk-makhluk dunia lain.

(2) Legenda

Bascom (Danandjaya, 2007:50) mengatakan bahwa seperti halnya mite,

legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak

dianggap suci. Namun, legenda berlainan dengan mite. Legenda ditokohi

Page 11: Analisis Struktural Levi Strauss

23

manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering kali

dibantu oleh makhluk-makhluk gaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti

yang kita kenal ini, karena waktu terjadinya belum terlalu lampau. Legenda

dianggap oleh yang punya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh

terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler dan keduniawian. Legenda

bersifat migratoris sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.

Legenda juga dinyatakan sebagai cerita tradisional yang pelakunya

dibayangkan seolah-olah terjadi dalam sejarah. Biasanya dalam peristiwanya

terdapat juga hal-hal yang luar biasa. Dengan demikian, pada dasarnya legenda

merupakan peristiwa sejarah yang bersifat kolektif dan biasanya ditokohi oleh

manusia, bahkan seringkali muncul tokoh-tokoh makhluk gaib.

Legenda merupakan salah satu genre cerita rakyat yang mencangkup

hal-hal luar biasa dan terjadi dalam dunia nyata. Legenda dipandang sebagai

sejarah masyarakat sehingga diyakini kebenarannya. Legenda berfungsi

mendidik dan membekali manusia agar terhindar dari ancaman marabahaya.

Legenda dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai cerita dari

zaman dahulu yang bertalian dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Sudjiman

(Lantini,1996:226) mendefinisikan legenda sebagai cerita rakyat tentang tokoh,

peristiwa, atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis dan mitos.

Darusuprata (Lantini,1996:227) menunjukan adanya unsur legenda yang terdapat

dalam sastra sejarah di Indonesia, biasanya merupakan cerita yang bertalian

dengan unsur-unsur air, unsur tanah, termasuk tumbuh-tumbuhan; unsur api,dan

Page 12: Analisis Struktural Levi Strauss

24

udara. Unsur legenda inilah yang disebut sebagai unsur kosmogonis atau

kosmologis.

(3) Dongeng

Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi

oleh empunya cerita dan tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Bila legenda

dianggap sebagai sejarah kolektif (folk history), maka dongeng adalah cerita

pendek kolektif kesusasteraan lisan serta cerita prosa rakyat yang tidak dianggap

benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun

banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan moral atau bahkan sindiran

(Danandjaya, 2007:50-86).

Bagi orang awam, dongeng seringkali dianggap meliputi seluruh cerita

rakyat yang disebutkan di atas (legenda dan mite). Tetapi, menurut beberapa ahli,

dongeng adalah cerita yang khusus yaitu mengenai manusia atau binatang.

Penulis menganggap bahwa pembedaan-pembedaan antara konsep-konsep

cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng tidak terlalu penting untuk

diperhatikan dalam penelitian ini, dan untuk selanjutnya istilah mitos,

legenda dan dongeng dapat dipakai secara bergantian.

Pendapat penulis ini sesuai dengan pendapat Putra (2006:77) yang

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mitos dalam pandangan

strukturalisme Levi Strauss tidak lain adalah dongeng. Dongeng merupakan

sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari

khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari apa

Page 13: Analisis Struktural Levi Strauss

25

yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi Putra memperlakukan

cerita-cerita sastra yang ditulis oleh Umar Kayam sebagai dongeng atau

mitos. Hal ini bertolak dari pandangan Levi Strauss bahwa legenda atau

cerita rakyat mengandung mitos, karena ide dasar, konflik, dan penyelesaian

cerita, mencerminkan kesepakatan yang ada dalam kolektifnya pada masa itu.

Berdasarkan pendapat Putra tersebut, penulis mengambil kesimpulan

bahwa baik mite, legenda maupun dongeng pada intinya merupakan hasil

dari imajinasi-imajinasi manusia berdasarkan apa yang mereka lihat dan

rasakan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian tertuang dalam sebuah

karya sastra lisan.

2. Teori Struktur

2.1. Strukturalisme dalam karya sastra

Sebuah benda tersusun atas unsur-unsur yang membangunnya. Unsur-

unsur tersebut bersinergi menjadi sebuah kesatuan. Perpaduan unsur-unsur tersebut

biasanya membentuk sebuah pola. Pola-pola inilah yang akhirnya membentuk sebuah

benda. Dengan demikian unsur-unsur tidak ada artinya jika tidak ada jalinan atau

hubungan dengan unsur-unsur yang lain. Makna sebuah benda tidak dapat dilihat dari

satu unsur saja tetapi dilihat dari jalinan unsur-unsur tersebut.

Hal tersebut sesuai dengan pengertian struktur yang disampaikan oleh

Foley (Siswantoro,2010:13) bahwa struktur berarti bentuk keseluruhan yang

kompleks (complex whole). Setiap objek atau peristiwa adalah pasti sebuah struktur,

yang terdiri dari berbagai unsure, yang setiap unsur tersebut menjalin hubungan.

Page 14: Analisis Struktural Levi Strauss

26

Doktrin pokok strukturalisme adalah bahwa hakikat benda tidaklah terletak pada

benda itu sendiri, tetapi terletak pada hubungan-hubungan di dalam benda itu. Tidak

ada unsur yang mempunyai makna pada dirinya secara otonom, kecuali terkait

dengan makna semua unsur di dalam sistem struktur yang bersangkutan.

Sebagai sebuah analogi sebuah bangunan gedung beton tersusun atas

unsur-unsur material yang membangunnya, seperti; air, batu, pasir, semen, dan unsur

lainnya yang menyatu menjadi sebuah kesatuan melalui pencampuran material-

material tersebut. Air saja tidak dapat dikatakan sebagai sebuah beton, demikian juga

batu, pasir, dan material yang lainnya, sehingga relasi antara material inilah yang

membentuk sebuah pola dan akhirnya membentuk beton.

Dari analogi tersebut, cerita rakyat sebagai sebuah karya sastra pada

hakikatnya adalah sebuah benda. Sebagai sebuah benda tentu saja karya sastra juga

tersusun atas material-material yang menyusunnya. Unsur-unsur yang membangun

sebuah karya sastra biasanya dibedakan atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Unsur intrinsik membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti

alur, tema, tokoh, seting, gaya bahasa, sudut pandang dan lain sebagainya. Sedangkan

unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada diluar karya sastra tersebut, tetapi masih ada

hubungan dengan karya tersebut. Unsur ini seperti biografi pengarang, situasi

penciptaan karya dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan struktur karya sastra, Teeuw (1988:135) mengemukakan

bahwa kajian struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat,

Page 15: Analisis Struktural Levi Strauss

27

seteliti, semendetil dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua

anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.

Makna menyeluruh seperti yang disampaikan A Teeuw di atas karena

karya sastra tersusun atas unsur-unsur dalam sebuah sistem. Hal ini sesuai dengan

pendapat Pradopo ( 2009:188-119) bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-

unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal

balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya

berupa kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-

sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung.

Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan

yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang

bersangkutan (Nurgiyantoro, 2002:36). Analisis struktural karya sastra, yang dalam

hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan

mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan

(Nurgiyantoro, 2002:37).

Konsep fungsi dalam strukturalisme memegang peranan penting. Artinya,

unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperan secara maksimal semata-

mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukan antarhubungan unsur-

unsur yang terlibat (Ratna, 2008:76). Strukturalisme sebagai aliran sastra yang

tumbuh kemudian, hadir dengan menunjukan adanya berbagai keragaman meskipun

prinsip dasarnya sama, yakni “sastra merupakan struktur verbal yang bersifat otonom

Page 16: Analisis Struktural Levi Strauss

28

dan dapat dipisahkan dari unsur-unsur lain yang menyertainya” (Aminuddin,

2009:52).

Paradigma strukturalisme membatasi analisis dan pemahaman terhadap

karya sastra semata-mata pada tataran instrinsik (Ratna, 2010:74). Pendapat ini

didasarkan atas argumentasi yang dikemukakan oleh Tynjanov, dan dipertegas oleh

Mukarovsky, yang menyatakan bahwa karya sastra memiliki dua ciri yang selalu

hadir bersama-sama, yaitu: ciri otonom dan komunikatif. Ciri otonom diperoleh

melalui hubungan unsur-unsur dengan totalitas, sedangkan ciri komunikatif diperoleh

melalui hubungan karya dengan sistem kultural.

Strukturalisme, dengan menolak relevansi penulis, pada gilirannya secara

keseluruhan memusatkan pehatiannya pada kekayaan unsur-unsur karya, yang pada

umumnya disebut sebagai unsur-unsur instrinsik. Cara pemahaman yang dianjurkan

adalah model mikroskopis, pusat perhatian yang semata-mata didasarkan atas unsur-

unsur yang terkandung didalamnya (Ratna, 2010:77).

Permasalahan penting dalam memahami karya sastra dalam kaitannya

dengan kebudayaan adalah sudut pandang, paradigma terhadap hakikat objek. Dalam

hubungan ini perlu dikemukakan dua sudut pandang yang berbeda, yaitu: 1) sebagai

aktivitas kreatif karya sastra penuh dengan makna, 2) karya sastra merupakan entitas

kosong, karya sastra sebagai manifestasi bahasa biasa, bahkan disusun secara

gramatikal. Pendapat pertama cenderung menganggap karya sastra penuh dengan

makna, diwujudkan melalui bentuk dan isi. Jadi untuk menganalisis sebuah karya

Page 17: Analisis Struktural Levi Strauss

29

sastra peneliti tidak perlu keluar dari karya tersebut sebab segala sesuatu yang

diperlukan sudah terkandung di dalamnya.

Penganalisisan karya sastra yang menganggap bahwa tidak perlu keluar

dari karya sastra untuk mencari ha-hal yang diperlukan, sejalan dengan teori kritik

objektif (objective criticism) yang disampaikan oleh M.H. Abrams dalam bukunya

The Mirror and The Lamp. Kritik objektif (objective criticism) memandang karya

sastra sebagai sesuatu yang mandiri (otonom), bebas dari pengaruh sekitarnya, bebas

dari pengarangnya, pembaca, atau dunia sekitarnya. Karya sastra adalah sebuah dunia

yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya dan lingkungan sosial

budayanya. Karya harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan struktur

verbal yang otonom dengan koherensi interen. Oleh sebab itu, karya sastra

merupakan sebuah keseluruhan yang mencukupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian

yang saling terjalin erat dan padu, serta menghendaki pertimbangan analisis intrinsik

berdasarkan keberadaan karya sastra itu sendiri, seperti kompleksitas, koherensi,

keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antara unsur-unsur pembentuknya.

2.2. Struktur Cerita Rakyat

Konsep struktur pada karya sastra di atas tidak jauh berbeda pada konsep

struktur dongeng di dalam kajian folklor. Perbedaan ini tidak begitu nyata, hanya

pada istilah-istilah yang dipakai dalam analisisnya. Prop, (Endraswara,2009:112)

mengatakan bahwa konsep struktur dalam folklor adalah “ as the internal

relationship through which constituents of a whole are organized”. Berdasarkan

pikiran Prop ini, Dundes, menganalisis struktur dongeng Indian Amerika. Yang

Page 18: Analisis Struktural Levi Strauss

30

dimaksud dengan struktur dongeng dalam hal ini adalah satu unit kesatuan cerita

(dongeng) yang unsur-unsurnya saling berhubungan. Di dalam ilmu folklor unsur-

unsur sebuah cerita, atau bagian cerita yang dapat dipergunakan sebagai satuan

analisis, disebut motif. Di dalam dongeng unsur-unsur ini dapat berupa; gejala alam,

binatang, suatu konsep, suatu perbuatan, penipuan terhadap suatu tokoh, dan lain-

lain.

Berkaitan dengan struktur dalam dongeng ini Endraswara (2009:112)

mengatakan bahwa dongeng atau cerita rakyat dapat dipotong-potong menjadi

beberapa bagian dan dapat dibenarkan dalam analisis struktural. Setiap bagian

disebut motifem. Jadi, setiap dongeng atau cerita rakyat terdiri dari sederet motifem.

Namun demikian, tidak berarti setiap unsur-unsur motifem itu terpisah-pisah,

melainkan merujuk pada keutuhan makna.

Dundes (Endraswara,2009:112) menyatakan “ The motifemic slots may be

filled with varius motifs and the spiopic alternatir motifs for any given motifemic slot

may be labeled allomotifs” maksudnya, motifem ini ibarat kotak (petak) kosong yang

dapat diisi berbagai jenis motif, atau alomotif, yaitu suatu motif pengganti. Motifem-

motifem demikian yang menjadi satuan analisis dalam konstruksi penelitian folklor.

Dari pendapat-pendapat mengenai struktur baik karya sastra maupun

dongeng yang ada dalam foklor dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, struktur

tersusun atas unsur-unsur yang membangunnya dan unsur-unsur tersebut hanya akan

bermakna jika unsur-unsur tersebut saling berhubungan.

Page 19: Analisis Struktural Levi Strauss

31

Levi Staruss seorang ahli antropolog memandang cerita rakyat tidak

berbeda dengan mitos yang tersusun atas bagian-bagian yang menyusunnya. Bagian

terkecil dari sebuah mitos menurut Levi Strauss adalah miteme (mytheme)

(Putra,2006:85-86). Makna sebuah mitos terletak pada relasi antar miteme-miteme

tersebut. Berkaitan dengan pendapat Levi Strauss ini, pada bagian selanjutnya akan

penulis paparkan tentang pendekatan strukturalisme Levi Strauss .

2.3. Pendekatan Strukturalisme Levi Strauss

Tujuan utama teori strukturalisme Levi Strauss adalah mengungkapkan

struktur humand mind melalui relasi antar elemen penyusunannya. Humand mind

ini erat kaitannya dengan sistem proyeksi yang membangkitkan berbagai macam

pesan.

Titik tolak dari teori strukturalisme Levi Strauss adalah konsep-konsep

dalam linguistik. Terdapat kesamaan antara mitos dengan bahasa. Legenda PAL

selanjutnya dicirikan sebagaimana mitos. Mitos dalam konteks penelitian ini

sejalan dengan pemikiran Levi-Strauss yaitu tak lebih dari sebuah dongeng

(Endraswara, 2003: 110).

Dongeng dalam kerangka pemikiran Levi Strauss adalah kisah atau

cerita yang lahir dari imajinasi manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut

berasal dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Putra,2006: 77).

Berdasarkan definisi demikian, jelas kiranya penulis memperlakukan Legenda

PAL sebagai sebuah cerita rakyat, yang di dalamnya mengandung aspek mitos.

Page 20: Analisis Struktural Levi Strauss

32

Analisis struktural pada mitos PAL adalah dengan memperlakukan mitos

PAL dengan dua hal berikut. Pertama, seperti halnya bahasa, mitos merupakan

sebuah cerita (sistem simbol) yang menyampaikan pesan tertentu (Paz, 1997:

xxxii). Kedua, mengadopsi konsep linguistik, mitos tersusun atas oposisi binair

sebagaimana langue dan parole; sintagmatik dan paradigmatik; serta sinkronis dan

diakronis (Endraswara, 2005: 231).

Leach (Putra,2006:79) mengatakan bahwa pendekatan strukturalisme Levi

Strauss berfokus pada narasi teks, sebuah teks mitos diyakini sebagai ekspresi atau

perwujudan dari keinginan-keinginan yang tidak disadari, yang terkekang atau

sedikit banyak tidak konsisten, tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari.

Sejalan dengan pemikiran demikian, teks mitos dianggap mempunyai

analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara internal dalam sistem

oposisi binair. Fokus perhatian strukturalisme adalah sistem relasi dari struktur-

struktur yang mendasari sesuatu. Struktur-struktur semacam inilah yang oleh Levi

Strauss dianggap melatarbelakangi keanekaragaman fenomena kenyataan pada

kehidupan sehari-hari. (Putra,2006:79-86)

Mitos sebagai produk dari kebudayaan adalah hasil dari aktivitas nalar

manusia di mana ia memiliki kesejajaran dengan bahasa yang juga merupakan

produk dari nalar manusia. Kesejajaran tersebut terletak sumber yang sama yaitu

relasi, oposisi, dan korelasi (Syam, 2007: 68-69). Sementara itu Putra (2007: 23-

25) mengatakan bahwa ada tiga macam pandangan mengenai hubungan bahasa

dan kebudayaan. Tiga pandangan tersebut adalah pertama bahasa dianggap

Page 21: Analisis Struktural Levi Strauss

33

sebagai rerfleksi dari kebudayaan, kedua bahasa adalah salah satu unsur dari

kebudayaan, dan ketiga bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dari tiga

pandangan tersebut Levi Strauss menganut pandangan yang terakhir, yaitu

bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari

material pembentuknya bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai material yang

sama dan secara diakronis bahasa mendahului kebudayaan karena melalui

bahasalah manusia mengatahui kebudayaan.

Levi Strauss, menggangap bahwa oposisi binair adalah the essence of

sense making : struktur yang mengatur sistem pemaknaan terhadap budaya dan

kehidupan. Oposisi binair adalah produk dari budaya dari sistem penandaan yang

berfungsi menstrukturkan persepsi terhadap alam natural dan dunia sosial melalui

penggolongan-penggolongan. Konsep dasar dari oposisi binair yaitu the

secondstage of the sense making process: penggunaan kategori-kategori sesuatu

yang hanya eksis di dunia alamiah untuk menjelaskan kategori-kategori konsep

kultural yang abstrak. John Fiske mencontohkan konsep oposisi binair angin

badai dan angin tenang (konkret) misalnya, dapat disejajarkan dengan oposisi

binair alam yang kejam dan alam yang tenang (abstrak) (http: // kunci .or

.id/es ai /nws /04/ binair.htm, diakses tanggal 19 Agustus 2010). Proses

pensejajaran ini selanjutnya memunculkan konsep transformasi.

Levi Strauss beranggapan bahwa berbagai aktivitas dan hasil kebudayaan

seperti makanan, perkawinan, sistem kekerabatan, dan utamanya mitos merupakan

perwujudan dari logika dasar atau nalar manusia. Bagaimana kondisi nalar tersebut

Page 22: Analisis Struktural Levi Strauss

34

bekerja, perlu dilakukan analisis terhadap struktur dan relasi-relasi yang dibangun

di dalam sebuah mitos (Putra,2006:75-78).

Seperti untuk memahami bahasa, mitos pun harus dituturkan, tidak

hanya pada proses penceritaan, tetapi pada proses pengkomunikasian. Sistem

pengkomunikasian yang dimaksudkan dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai

berikut, legenda PAL yang mengandung mitos pada hakikatnya adalah karya sastra.

Korelasinya, antara sastra dan masyarakat menampilkan hubungan yang tidak

dapat dipisahkan. Cerita PAL sebagai karya sastra lama yang tidak diketahui

dengan jelas siapa pengarangnya menduduki salah satu fungsinya yaitu sebagai

sistem komunikasi. Hakikatnya fungsi karya sastra adalah dulce et utile (indah dan

berguna). Poe ( Wellek dan Warren, 1993: 25) menyatakan bahwa suatu karya sastra

hendaknya berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Fungsi

komunikasi adalah turunan dari fungsi dulce et utile.

Sistem komunikasi yang ditunjukkan, tidak hanya proses

penyampaian pesan secara linear dari masyarakat pendahulu kepada masyarakat

sekarang. Namun, lebih tepatnya sistem komunikasi sebagai proses pembangkitan

atau penciptaan makna. Karya sastra sebagai proses komunikasi dapat dilihat dari

gambar di berikut ini.

Page 23: Analisis Struktural Levi Strauss

35

Dimensi Horisontal seleksi

MM M

Dimensi Vertikal

M2

Gambar 1 Proses Penciptaan dan Pengkomunikasian Karya Sastra

diadaptasi dan dikembangkan dari Model Komunikasi Gerbner (Fiske, 2004) dan terdapat pada A Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra (1984: 66),

(Ratri,2008:12)

Keterangan: P : Peristiwa I : Isi E1 : Persepsi E2 : Persepsi atas Karya Sastra

M : Masyarakat M2 : Masyarakat Pembaca (tujuan)

K : Karya Sastra Ps : Pesan

S :Bentuk

Dimensi Horisontal

Proses diawali dari sebuah peristiwa (P), sesuatu di dalam realitas

eksternal yang diserap oleh manusia atau masyarakat (M). Penghayatan atau

persepsi masyarakat atas peristiwa yang terjadi adalah persepsi E1. Relasi antar P

dan E1 melibatkan seleksi, mengingat masyarakat tidak mungkin menyerap

keseluruhan kompleksitas suatu peristiwa. Salah satu hasil dari proses seleksi,

P

E1

K

S I

(Ps)

E2

Page 24: Analisis Struktural Levi Strauss

36

masyarakat kemudian menciptakan karya sastra. Di dalam karya sastra

terjadi proses pemahaman dan penghayatan atas peristiwa yang pernah terjadi.

Dimensi Vertikal

Karya sastra yang telah diciptakan melahirkan pesan (Ps). Pesan tersebut

dibagi menjadi 2 bagian, S mengacu pada bentuk dan I mengacu pada isi pesan.

Garis putus-putus di dalam pesan (Ps) menunjukkan bahwa meskipun dibagi

menjadi dua, pesan adalah konsep utuh bukan bidang yang terpisah.

Masyarakat pembaca (M2) menerima E2, yakni pesan yang terekam dalam

karya sastra, yang terlebih dahulu telah mengalami serangkaian seleksi dan

pemahaman atas sebuah peristiwa. Pada kondisi inilah terjadi proses intrepretasi

karya sastra, proses intrepretasi membawa masyarakat pembaca kepada

sekumpulan konsep yang bersumber pada budaya. Konsep budaya tersebut

berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. Akhirnya dapat dikatakan masyarakat

pembaca dapat menemukan makna dalam pesan (yang terkandung dalam karya

sastra). Pesan sendiri hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang berpotensi

memiliki banyak makna. Potensi ini tidak pernah terwujudkan secara utuh dan isi

pesan tersebut belum bisa ditentukan sampai terjadi interaksi, yaitu proses

intrepretasi masyarakat pembaca atas karya sastra yang telah dihasilkan (dari

suatu peristiwa).

Pesan yang dibangkitkan dari karya sastra seringkali berada secara

implisit dan berbentuk simbolik. Bentuk simbolik adalah sesuatu hal yang

dikaitkan dengan (1) penafsiran pemakaian, (2) kaidah pemakaian sesuatu dengan

Page 25: Analisis Struktural Levi Strauss

37

jenis wacananya, dan (3) kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya

(Sobur,2006: 156).

Claude Levi-Strauss mengembangkan analisis mitos dengan memanfaatkan

model-model linguistik. Menurutnya, ada kesamaan antara mitos dengan bahasa.

Persamaannya, yakni pertama, bahasa adalah sarana komunikasi untuk

menyampaikan pesan dari satu individu ke individu yang lain, atau kelompok satu

ke kelompok lain. Demikian halnya dengan mitos, ia disampaikan melalui bahasa

dan lewat proses penceritaan, pesan-pesan yang ada di dalamnya dapat

tersampaikan (Putra, 2006: 80-81).

Kedua, seperti halnya bahasa, mitos mengandung aspek langue dan

parole, sinkronis dan diakronis, sintagmatik dan paradigmatik. Aspek langue inilah

yang memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antar manusia

karena langue dimiliki bersama. Langue merupakan sebuah fenomena kolektif, ia

adalah sistem, fakta sosial atau aturan-aturan, norma-norma yang tidak disadari.

Pada tataran Langue-lah struktur tertentu dalam sebuah mitos dapat ditunjukkan.

Sedangkan parole adalah tuturan yang bersifat individual, ia merupakan cerminan

kebebasan seseorang. Penceritaan mitos yang berbeda-beda merupakan implikasi

dari parole (Putra, 2006: 44-45).

Selanjutnya, seperti dalam linguistik, diakronik adalah dimensi waktu

(bersifat historis, menyangkut perkembangan masa lalu, masa kini, dan yang akan

datang). Sedangkan sinkronik adalah aspek yang merepresentasikan bahasa pada

setiap kejadian pada waktu tertentu. Dimensi sinkronik yang ada dalam mitos

Page 26: Analisis Struktural Levi Strauss

38

adalah rangkaian mytheme-mytheme yang secara struktural terkait

(Badcock,2008:77).

Selain persamaan-persamaan antara mitos dan bahasa, juga terdapat

perbedaan diantara keduanya. Hal yang membedakan mitos dengan bahasa

adalah mitos mempunyai ciri khas dalam isi dan susunannya. Ciri khas ini

membuat mitos dapat diterjemahkan ke bahasa manapun tanpa kehilangan sifat-

sifat mistisnya, sedangkan bahasa, kata-kata penyusunannya tidak bisa diubah

secara semena-mena (Putra,2006:85). Penggantian suatu kata yang tidak hati-

hati dapat mengubah makna.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan di atas, Levi Strauss

mengemukakan implikasi penting dalam analisis mitos. Jika bahasa tersusun atas

unit terkecil seperti fonem dan morfem, maka mitos tersusun atas gross

constituent unit atau mythemes (Putra,2006:85-86). Mythemes merupakan bagian

atau unsur terkecil dari mitos yang biasanya berbentuk suatu kalimat singkat,

yaitu kalimat yang terdiri dari subjek dan predikat (Sasono,2001:25). Mytheme

inilah yang harus didapatkan apabila ingin mengetahui makna dari sebuah mitos.

Oleh karena itu, kajian strukturalisme Levi Strauss adalah kajian tentang

interelasi struktural tentang struktur-struktur dasar mitos.

Terdapat dua konsep yang perlu diketahui pada analisis struktural, yaitu

konsep struktur dan transformasi. Struktur adalah suatu model yang dibuat untuk

memahami gejala kebudayaan yang dianalisis. Levi Strauss membedakannya

menjadi dua macam yaitu struktur lahir sebagai struktur luar (surface structure)

Page 27: Analisis Struktural Levi Strauss

39

dan struktur dalam sebagai struktur batin (deep structure). Struktur luar adalah

relasi antar unsur yang dibangun berdasarkan ciri-ciri luar atau empiris dari relasi-

relasi tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun

berdasarkan struktur lahir yang tidak selalu tampak pada sisi empiris dari

fenomena yang dianalisis. Struktur dalam seringkali merupakan struktur tetap

yang sangat jarang (tidak) mengalami perubahan. (Ratri,2008:11-16).

Perbedaan struktur luar dan struktur dalam dapat dianalogikan dalam

kalimat yang disampaikan oleh Ratri (2008:16) di bawah ini.

(1). Saya berjalan di jalan (Indonesia)

(2) Aku lagi mlaku ing ndalan (Jawa-ngoko)

(3) Kula saweg mlampah wonten margi (Jawa-krama madya)

(4) Inyong lagi mlaku ning gili (Jawa-ngoko Banyumas)

S P KT

Secara empiris, kalimat-kalimat tersebut menunjukkan adanya perbedaan

dan perubahan. Struktur antara elemen-elemen dalam satu kalimat disebut struktur

permukaan. Meskipun ditulis dalam bahasa yang berbeda-beda tapi makna dan

pesan yang dikandung keempat kalimat tersebut sama, inilah yang disebut struktur

dalam.

Perubahan pada tataran permukaan (struktur luar) disebut transformasi

seperti yang ditunjukkan pada contoh kalimat di atas. Terjadi perubahan antara

kalimat (1), (2), (3), (4), transformasi di sini berada dalam tataran bahasa.

Page 28: Analisis Struktural Levi Strauss

40

Istilah transformasi juga dapat digunakan untuk menunjukkan pergantian seperti

pada kalimat yang disampaikan oleh Ratri (2008:16) di bawah ini.

(1) Saya berbelanja di pasar Kemang . ( S - P - KT)

(2) Di pasar Kemang saya berbelanja. (KT - S - P)

(3) Berbelanja saya di pasar Kemang . (P - S - KT)

Pergantian-pergantian pada kalimat di atas terdapat pada susunan dari

elemen-elemen kalimat tersebut. Elemen saya misalnya pada kalimat pertama

berada di depan, di kalimat kedua menduduki tingkat kedua di belakang keterangan

tempat, dan di kalimat terakhir menduduki tingkat kedua, tetapi berada di

belakang predikat. Meskipun elemen-elemen tersebut menduduki tempat yang

berbeda-beda, tetapi pesan yang dikandung dalam kalimat tersebut tetap sama.

Transformasi yang ditunjukkan pada kalimat di atas adalah transformasi berupa

pergantian susunan elemen-elemen yang membentuk struktur.

Jenis transformasi yang lain, yakni tidak hanya pergantian elemen

penyusunnya, tetapi hilangnya elemen-elemen tertentu, seperti pada contoh yang

disampaikan oleh Ratri (2008:17) di bawah ini.

(1) Saya mohon anda jangan pergi

(2) Mohon anda jangan pergi

(3) Jangan pergi

Perubahan di tiga kalimat di atas terjadi karena hilangnya elemen-elemen

tertentu, namun, perubahan tersebut tidak menimbulkan perbedaan makna.

Page 29: Analisis Struktural Levi Strauss

41

Berdasarkan konsep-konsep teoritis sebagaimana yang dijelaskan di atas,

Levi Strauss telah menganalisis berbagai dongeng hampir di seluruh dunia. Salah

satunya adalah dongeng tentang seorang Indian bernama Asdiwal. Menurutnya,

dongeng ini merupakan simbolisasi kegagalan dari upaya nalar dan masyarakat

Thimshian (kolektifnya) untuk mendamaikan, menyatukan, paradoks-paradoks

yang ada pada kehidupan mereka, termasuk di antaranya paradoks tentang

kehidupan sosial, yang muncul karena adanya pola matrinilinear yang berlawanan

dengan pola tempat tinggal patrilokal. Paradoks ini berusaha diselesaikan lewat

perkawinan matrilineal cross-coussin, tetapi ternyata tetap gagal. Kegagalan ini

sulit diakui dalam kenyataan, tetapi lewat mitos-mitos mereka, orang Thimshian

memberikan pengakuan atas kegagalan tersebut (Putra, 2006: 135).

3. Nilai Moral dalam Cerita Rakyat

3.1. Pengertian Nilai Moral

Sebelum membahas apa itu pengertian nilai moral maka ada baiknya penulis

menyampaikan terlebih dahulu tentang pengertian nilai. Secara etimologis, nilai

(value=velare) diartikan harga . Secara sederhana nilai dapat diartikan sebagai

sesuatu yang dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap

baik (Sumantri, 2008:4), sementara moral menurut Lillie (Budiningsih,2004:24)

berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau

adat istiadat.

Dari pendapat tersebut maka secara sederhana penulis menyimpulkan bahwa

pengertian nilai moral adalah tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat yang

Page 30: Analisis Struktural Levi Strauss

42

dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik.

Persoalan yang kemudian muncul adalah apa yang dianggap baik oleh sekelompok

orang belum tentu baik menurut kelompok lainnya.

Untuk menjawab persoalan di atas Poespoprojo menyampaikan tentang

keuniversalitasan moral dalam bukunya Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan

Praktik. Menurut Poespoprojo moral berarti bahwa hidup kita itu mempunyai arah

tertentu meskipun arah tersebut sekarang belum dapat kita tunjukan sepenuhnya.

Seseorang menangis atau menyesal dalam hatinya karena melihat bahwa

perbuatannya melanggar, menyeleweng, mengkhianati arah ini. Ia mengerjakan

sesuatu yang mestinya tidak ia kerjakan.

Lebih lanjut Puspoprojo menyampaikan bahwa berdasarkan penelitian para

ahli antropologi dan sosiologi seperti Lowie, Goldenwiser, Paul Radin, William

Schmidt, Westermarck, Boas, Evans Pritchard, dan Malinowski, terhadap suku-suku

bangsa dan masyarakat manusia, baik yang masih dalam taraf pramodern maupun

yang telah dalam taraf modern, berkesimpulan, …the fact of the universal existence

of a body of basic rules of morality present in all societies without distinction of

race and culture has been established beyond doubt.(Poespoprojo,1999:14).

Berkaitan dengan keuniversalan moral, Imanuel kant (Puspoprojo,1999:14)

menyampaikan bahwa “ No man is wholly destitute of moral feeling for if he were

totally ususceptible of this sensation he would be morally dead…then his humanity

would be dissolved (as if it were by chemical laws) into mere animality.”

Page 31: Analisis Struktural Levi Strauss

43

Dari pendapat ini Puspoprojo juga menyampaikan bahwa jika kita sekarang

disodori keberatan tentang hukum moral secara universal tidak ditaati, seperti yang

tampak pada praktik-praktik kanibalisme, pengayauan, pembunuhan bayi, dan

sebagainya pada suku-suku primitif dan tampak pada praktik-praktik penipuan,

korupsi, pengguguran kandungan pada orang-orang modern, maka ada jawaban yang

cukup terurai.

Terdapat dua cara pelanggaran suatu hukum moral, yakni secara sengaja atau

karena tidak tahu. Dalam hal sengaja, masih ada aspek hukum meskipun telah

dilanggar, kekuatan mengikat masih terasakan, dan membangkitkan rasa salah (sense

of guilt) atau rasa sesal (feeling of remorse, gewetenswroeging) pada diri orang yang

melanggarnya. Tidak sedikit suku-suku primitif yang setelah mengadakan

pembunuhan masal terhadap lawannya, kemudian mengadakan upacara pembersihan

diri, bahkan di antara mereka ada yang sangat menyesali perbuatan jahatnya dimasa

lalu, sampai-sampai mereka bunuh diri.

Mengenai soal tidak tahu, ini bisa terjadi mengenai prinsip moral yang

sekunder, yaitu mengenai penerapan dan kesimpulan dari prinsip-prinsip pertama

yang pasti diketahui. Kekurangmampuan menalar dengan akal budinya membuat

seseorang menyimpulkan secara salah, dan juga salah menerapkan prinsip pada

kejadian tertentu.

Apabila suatu suku primitif mempraktikan kanibalisme atau pembunuhan

bayi, mereka tidak pernah secara prinsip menganggap bahwa Licet (boleh)

membunuh setiap orang pada sembarang saat atau sembarang keadaan. Mereka

Page 32: Analisis Struktural Levi Strauss

44

berbuat demikian hanya bila ada prestise, keharusan, atau upacara keagamaan

menuntutnya. Selanjutnya, praktik-praktik tersebut, juga kekeliruan moral lainnya,

pada umumnya karena penyelesaian yang salah dalam menyelesaikan dua keputusan

moral yang nampaknya saling bertentangan (Puspoprojo,1999:16)

Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa meskipun nilai

baik dan buruk dikatakan berbeda pemaknaan dari satu kelompok masyarakat dengan

masyarakat pada kelompok lainnya, namun ternyata manusia dimanapun

kelompoknya akan merasa berbuat salah jika melakukan hal-hal yang tidak sesuai

dengan fitrah kemanusiannya.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Magnis

(Budiningsih,2004:24) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik

buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan

manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia .

Syahidin (2009:239) membedakan antara nilai, moral dan etika. Menurut dia

nilai merupakan perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai adalah suatu

perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang

memberikan corak khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan, dan

perilaku. Contoh nilai adalah ketuhanan, kemanusian, dan keadilan. Moral merupakan

penjabaran dari nilai, tetapi tidak seoperasional etika. Misalnya saja ke-36 butir P-4

disebut sebagai Moral Pancasila karena merupakan penjabaran dari nilai Pancasila.

Adapun etika merupakan penjabaran dari moral dalam bentuk formula, peraturan atau

ketentuan pelaksanaan. Misalnya etika belajar, etika mengajar, dan etika dokter.

Page 33: Analisis Struktural Levi Strauss

45

3.2. Nilai Moral dalam Cerita Rakyat

Cerita rakyat dan karya sastra pada umumnya menyampaikan nilai-nilai

moral untuk dipahami oleh penikmatnya. Hal ini senada dengan pendapat

Nurgiantoro ( 2007: 321) yang mengatakan bahwa moral merupakan sesuatu yang

ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang

terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna yang disarankan lewat cerita. Hal

itu berarti pengarang menyampaikan pesan-pesan moral kepada pembaca melalui

karya sastra baik penyampaian secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk

penyampaian langsung artinya moral yang disampaikan, atau diajarkan kepada

pembaca dilakukan secara langsung dan eksplisit. Sebaliknya bentuk penyampaian

secara tidak langsung maksudnya pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu

secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain.

Lebih lanjut Nurgiantoro juga mengatakan bahwa moral dalam karya sastra

yang diperoleh oleh pembaca selalu dalam pengertian baik. Dengan demikian, jika

dalam sebuah karya sastra ditampilkan hal-hal yang tidak terpuji, tidaklah berarti

bahwa pengarang menyarankan pembacanya untuk bertindak dan bertingkah laku

tidak terpuji. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari hal-hal yang tidak

baik tersebut. Karya sastra senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan

dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.

Senada dengan pendapat tersebut Semi (Jumani,2009:51) mengatakan bahwa

karya sastra yang hanya mementingkan nilai seni tanpa memperhatikan moral, dinilai

sebagai karya sastra yang tidak bermutu.

Page 34: Analisis Struktural Levi Strauss

46

Cerita rakyat seperti yang telah penulis sampaikan di awal berfungsi sebagai

media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat di dalam

kehidupan masyarakat. Dari fungsi ini maka cerita rakyat akan mengandung nilai

moral di dalamnya dan biasanya nilai ini cenderung disampaikan secara terselubung

melaui jalinan cerita yang ada. Untuk membedah pesan yang terselubung ini maka

dibutuhkan sebuah pisau analisis sehingga pesan ini dapat terkuak. Salah satu pisau

analisis yang akan digunakan untuk membedah cerita PAL dalam penelitian ini adalah

dengan model strukturalisme Levi Strauss.

Cerita PAL sebagai sebuah mitos merupakan cerminan angan-angan

pemiliknya yang tertuang dalam sebuah kisah, sehingga besar kemungkinan

mengandung nilai moral. Pengungkapan nilai moral dalam cerita PAL membutuhkan

sebuah analisis yang dapat mengungkapkan nilai tersebut. Untuk menganalisisnya

penulis mengambil analisis konten atau isi seperti yang disampaikan Endraswara

(2006:83) bahwa dalam kaitannya dengan nilai moral atau budi pekerti, peneliti dapat

membuat kategori budi pekerti sebagai berikut: 1) budi pekerti yang berhubungan

antara manusia dengan Tuhan, seperti semedi, menyembah, berkorban, slametan dan

lain sebagainnya, 2) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan manusia,

misalkan sikap gotong royong, rukun, membantu, kasih-mengasihi, dan sebagainya,

3) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan alam semesta, yaitu sikap

tidak semena-mena kepada benda mati (batu, air, sungai, gunung), 4) budi pekerti

yang berhubungan antara manusia dengan makhluk lain, misalkan jin,setan, hewan,

Page 35: Analisis Struktural Levi Strauss

47

tumbuhan dan lain-lain, 5) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan

dirinya sendiri.

Kategori yang dibuat untuk menganalisis nilai moral dalam cerita PAL ini,

selanjutnya dihubungkan dengan budaya Jawa. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa

cerita PAL hidup dan berkembang di daerah Jawa, sehingga mencerminkan budaya

yang ada pada masyarakatnya.

4. Model Pelestarian Cerita Rakyat Putri Ayu Limbasari di Madrasah Tsanawiyah.

Model adalah sesuatu yang menggambarkan adanya pola berpikir. Sebuah

model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang saling berkaitan. Model

juga dapat dipandang sebagai upaya untuk mengkonkretkan sebuah teori sekaligus

juga merupakan sebuah analogi dan representasi dari variabel-variabel yang terdapat

di dalam teori tersebut.

Morisson, Ross, dan Kemp (Pribadi, 2009:86) mengatakan bahwa model

atau desain pembelajaran adalah sebagai perancang program atau kegiatan

pembelajaran dalam memahami kerangka teori dengan lebih baik dan menerapkan

teori tersebut untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang lebih efektif dan

efisien. Selain itu juga model pembelajaran dapat berperan sebagai alat konseptual,

pengelolaan, komunikasi untuk menganalisis, merancang, menciptakan,

mengevaluasi program pembelajaran, dan program pelatihan.

Pada umumnya, setiap desain/model pembelajaran memiliki keunikan dan

perbedaan dalam langkah-langkah dan prosedur yang digunakan. Begitu juga

Page 36: Analisis Struktural Levi Strauss

48

perbedaan kerap sekali terdapat pada istilah-istilah yang digunakan. Namun

demikian, model tersebut memiliki dasar prinsip yang sama dalam upaya merancang

program pembelajaran yang berkualitas. Untuk mengatasi berbagai problematika

dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model pembelajaran yang mampu

mengatasi segala kesulitan.

Komarudin (Sagala, 2010:175), memahami model sebagai; (1) suatu tipe

atau desain; (2) suatu deskripsi atau analogi yang digunakan untuk membantu proses

visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati; (3) suatu sistem

asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan

secara matematis suatu objek atau peristiwa; (4) suatu desain yang disederhanakan

dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang disederhanakan; (5) suatu

deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner; dan (6) penyajian yang

diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya.

Model dirancang untuk mewakili realitas/kenyataan yang sesungguhnya,

walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia yang sebenarnya. Atas dasar

pengertian tersebut, maka model mengajar dapat dipahami sebagai kerangka

konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur secara sistematik dalam

mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan

suatu belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran

bagi para guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran.

Model pembelajaran menurut Joyce dan Weil (2000:13) adalah suatu

deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum,

Page 37: Analisis Struktural Levi Strauss

49

kursus-kursus, desain unit pelajaran dan pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-

buku pelajaran buku-buku kerja, program multimedia, dan bantuan belajar melalui

alat-alat elektronik berupa komputer.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas yang dimaksud dengan model

pelestarian cerita rakyat Putri Ayu Limbasari di Madrasah Tsanawiyah adalah upaya

yang dilakukan untuk melestarikan cerita PAL melalui pembelajaran di Madrasah

Tsanawiyah. Upaya ini dilakukan dengan membuat sebuah model atau desain

pembelajaran dengan cerita PAL sebagai bahan ajarnya. Model pembelajaran yang

akan diterapkan sebagai salah satu upaya pelestarian cerita rakyat PAL di Madrasah

Tsanawiyah adalah dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual (contextual

teaching and learning – CTL).

Penerapan model pembelajaran kontekstual pada cerita PAL di Madrasah

Tsanawiyah perlu memperhatikan beberapa aspek yang terkait dengan materi cerita

rakyat di Madrasah Tsanawiyah. Aspek-aspek tersebut antara lain kurikulum, prinsip-

prinsip pemilihan bahan ajar dalam pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran

kontekstual, dan rancangan pembelajaran cerita rakyat PAL.

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penerapan model

pembelajaran kontekstual pada cerita PAL di Madrasah Tsanawiyah, dapat dijelaskan

sebagai berikut..

4.1. Tinjauan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Madrasah Tsanawiyah.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 mengenai Standar Nasional

Pendidikan (SNP) merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 20 tahun

Page 38: Analisis Struktural Levi Strauss

50

2003 tentang Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan

gambaran dan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar

nasional pendidikan dan tenaga kependidikkan. Standar Nasional Pendidikan juga

digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga pendidikan, sarana dan

prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai salah satu produk

pengembangan kurikulum, mengandung bagian penting yang disebut dengan silabus.

Silabus didefinisikan sebagai rencana pembelajaran pada sutu dan/atau kelompok

mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar,

materi pokok/ pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi

untuk penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.

Pada KTSP pembelajaran sastra untuk tingkat SMP/Madrasah Tsanawiyah

masuk dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran sastra terintegrasi

dalam empat keterampilan berbahasa yaitu: mendengarkan, berbicara, membaca, dan

menulis. Hal ini berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang memisahkan

pembelajaran sastra dengan pembelajaran kebahasaan dalam materi Bahasa

Indonesia. Pada kurikulum-kurikulum sebelumnya materi pembelajaran Bahasa

Indonesia terdiri dari mendengarkan, berbicara, membaca, menulis dan apresiasi

sastra.

Pada pengembangan silabus Bahasa Indonesia untuk tingkat

SLTP/Madrasah Tsanawiyah terdapat materi yang berkaitan dengan cerita rakyat

yang tercantum dalam standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD). SK kelas

Page 39: Analisis Struktural Levi Strauss

51

VII semester 1, tercantum mengapresiasi dongeng yang diperdengarkan, dan pada

KD-nya tercantum menemukan hal-hal menarik dari dongeng yang diperdengarkan

dan menunjukkan relevansi isi dongeng yang diperdengarkan dengan situasi

sekarang. Materi cerita rakyat ini juga terdapat dalam SK dan KD kelas X semester 2

yaitu: mendengarkan (memahami cerita rakyat yang dituturkan) (SK) dan

menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat yang disampaikan

langsung atau melalui rekaman (KD).

Berdasarkan pedoman silabus tersebut, cerita rakyat PAL mempunyai

kesempatan yang baik untuk dijadikan sebagai salah satu materi pembelajaran

apresiasi sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kesempatan ini merupakan

wahana yang baik untuk memperkenalkan cerita PAL kepada siswa, sehingga cerita

PAL dapat lebih diketahui dan akhirnya dapat dijadikan model alternatif pelestarian

cerita tersebut.

Cerita PAL sebagai materi pembelajaran Bahasa Indonesia di

SMP/Madrasah Tsanawiyah memberikan pengalaman kepada siswa untuk memeroleh

pengalaman melihat, mengenali, serta dapat mengapresiasi tradisi daerahnya sendiri

sebagai kearifan lokal masyarakatnya. Hal inilah yang sering dibicarakan para

budayawan atau seniman mengenai keberadaan sekolah sebagai bagian terpenting

dalam pelestarian budaya daerah. Melalui sekolah, tradisi daerah dapat diestafetkan

kepada generasi sekarang dan generasi mendatang.

Kemungkinan cerita PAL sebagai bahan ajar materi mata pelajaran Bahasa

Indonesia di Madrasah Tsanawiyah tidak begitu saja dapat diterapkan, namun harus

Page 40: Analisis Struktural Levi Strauss

52

memperhatikan kriteria-kriteria pemilihan bahan ajar dalam pendidikan. Untuk

mengetahui kriteria-kriteria tersebut berikut ini penulis sampaikan uraian berkaitan

dengan pemilihan bahan ajar dalam pendidikan.

4.2. Pemilihan Bahan Ajar dalam Pendidikan

Masalah bahan ajar merupakan masalah yang sering dihadapi guru ketika

memilih atau menentukan materi karena dalam kurikulum (silabus) hanya dituliskan

secara garis besar dalam bentuk materi pokok. Bahan ajar ini diserahkan kepada guru

dengan tujuan agar pembelajaran lebih bermakna dan mengena pada subjek

pembelajaran, karena gurulah yang berada di lapangan sehingga lebih mengetahui

persoalan yang dihadapi. Namun demikian, kelonggaran pemilihan bahan ajar ini

bagi sebagian guru menjadi sebuah beban karena harus dipusingkan atau direpotkan

untuk mencari bahan ajar. Hal ini pulalah yang menjadi alasan penulis untuk

melakukan penelitian terhadap cerita PAL sebagai salah satu alternatif bahan ajar

dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat

membantu guru untuk menemukan bahan ajar pada materi cerita rakyat.

Bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari

pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka

mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis

materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur)

keterampilan, sikap atau nilai.

Pembelajaran prosa fiksi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) termasuk dalam standar kompetensi yang harus diajarkan oleh guru dalam

Page 41: Analisis Struktural Levi Strauss

53

materi pembelajaran sastra. Hal ini menunjukan bahwa materi prosa fiksi merupakan

materi yang dapat menunjang tujuan dalam pembelajaran sastra di sekolah.

Tujuan pembelajaran sastra pada tiap-tiap tingkatan sekolah pada dasarnya

sama, hanya saja ada perbedaan tekanan berkaitan dengan jenis dan tingkatan

sekolah, yaitu menumbuhkan keterampilan berbahasa, kepekaan sosial, kesadaran

sosial, mengembangkan daya imajinasi dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan yang

dikatakan Rahmanto (1993:16-24), bahwa pengajaran sastra dapat membantu

pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu

keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta

dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.

Pada dasarnya dalam memilih bahan pembelajaran, penentuan jenis dan

kandungan materi sepenuhnya terletak di tangan guru. Namun demikian, ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai dasar pegangan untuk memilih objek

bahan pelajaran yang berkaitan dengan pembinaan apresiasi siswa. Prinsip dasar

dalam pemilihan bahan pembelajaran adalah bahan pembelajaran yang disajikan

kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya pada suatu tahapan

pengajaran tertentu (Rahmanto, 1993:26).

Kemampuan siswa berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan

jiwanya. Oleh karena itu, karya sastra yang disajikan hendaknya diklasifikasikan

berdasarkan derajat kesukarannya disamping kriteria-kriteria lainnya. Tanpa ada

kesesuaian antara siswa dengan bahan yang diajarkan, proses pembelajaran yang

disampaikan akan mengalami kegagalan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Page 42: Analisis Struktural Levi Strauss

54

Agar dapat memilih bahan pembelajaran sastra dengan tepat, beberapa

aspek perlu dipertimbangkan. Menurut Rahmanto (1993: 27-31) ada tiga aspek

penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan pembelajaran

sastra, yaitu: 1) bahasa; 2) kematangan jiwa (psikologi); 3) latar belakang kebudayaan

siswa.

1) Aspek Bahasa

Penguasaan bahasa pada setiap individu biasanya tumbuh dan berkembang

melalui tahap-tahap yang mudah diidentifikasi. Sebaliknya, bahasa dalam sastra

sering tampak rumit karena permasalahan yang diungkapkan, teknik penulisan, serta

bahasa dalam karya sastra yang memiliki ciri tersendiri. Sehubungan dengan hal ini,

maka guru diharapkan dapat memilih karya sastra yang didalamnya menggunakan

kosa kata dan ungkapan-ungkapan yang dapat dimengerti siswa. Jika ada kosa kata

yang tidak dimengerti siswa, guru berkewajiban terlebih dahulu memberikan

penjelasan.

2) Aspek Psikologi

Perkembangan psikologi seseorang sejak kanak-kanak sampai dewasa

melalui berbagai tahapan. Pertama, tahap penghayal (8 – 9 th), pada tahap ini imaji

anak belum banyak diisi hal-hal nyata tapi masih penuh dengan berbagai macam

fantasi kekanakan. Kedua, tahap romantik (10-12 th) pada tahap ini anak mulai

meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meskipun pandangannya

tentang dunia masih sangat sederhana. Pada tahap ini anak menyenangi cerita-cerita

kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan.

Page 43: Analisis Struktural Levi Strauss

55

Ketiga, tahap realistik (13 – 16 th), sampai tahap ini anak sudah benar-

benar terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitas atau hal yang

benar-benar nyata. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan

teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata.

Keempat, tahap realistik ( 16 th ke atas), tahap ini anak sudah tidak hanya

berminat pada hal-hal yang bersifat praktis, tetapi juga sudah berminat untuk

menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena. Mereka

berusaha menemukan dan merumuskan penyebab fenomena tersebut yang kadang-

kadang mengarah kepada pemikiran filsafati untuk menentukan keputusan-keputusan

moral.

3) Aspek Latar Belakang Budaya

Latar belakang karya sastra meliputi hampir semua faktor kehidupan

manusia dan lingkungannya seperti geografi, sejarah, topografi, iklim, mitologi,

legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olah raga,

hiburan, moral, dan lain sebagainya.

Secara alami siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra berlatar

budaya yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka. Mungkin mereka tertarik

dengan peristiwa yang dikisahkan, tempat, atau kelompok masyarakat tertentu.

Sangat boleh jadi tokoh-tokoh cerita lebih menarik perhatian mereka karena ada

kencenderungan pada mereka untuk mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh

tersebut. Terlebih lagi jika tokoh tersebut berasal dari lingkungan yang memiliki

kesamaan dengan mereka atau orang-orang disekitar mereka.

Page 44: Analisis Struktural Levi Strauss

56

Selain kriteria yang disampaikan oleh Rahmanto tersebut, masih terdapat

hal-hal yang harus diperhatikan sebagai dasar pegangan dalam memilih objek bahan

pelajaran yang disampaikan oleh Suyitno. Hal-hal tersebut adalah bahwa bahan

pelajaran harus mampu menunjang dan membantu siswa pada hal-hal sebagai berikut.

1) Mampu membantu siswa mengenal dan memahami manusia secara lebih baik. 2)

Mampu membuat siswa memahami serta menghayati kehidupan secara lebih baik. 3)

Memungkinkan pekerjaan jiwa dan perasaan siswa berkembang dengan baik. 4)

Menunjang pemahaman yang lebih baik terhadap kebudayaan pada umumnya dan

kebudayaan nasional pada khususnya. 5) Sebaiknya dipilih karya sastra yang

menonjol dalam sejarah perkembangan sastra, Rahmanto (1993: 32).

Kriteria-kriteria di atas tentu saja tidak bersifat mutlak. Seorang pengajar

masih dapat menentukan skala prioritas tersendiri yang dirasakan lebih mengena bagi

kepentingan pengajaran. Hal ini disesuaikan dengan kondisi objektif siswa dan tenaga

pengajar demi tercapainya tujuan pengajaran.

4.3. Model Pembelajaran Kontekstual

Andriana (Sudarmono,2009:39) menjelaskan tentang pembelajaran dengan

metode kontekstual yaitu pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata

pelajaran dengan situasi dunia nyata, dan pembelajaran yang memotifasi siswa agar

menghubungkan pengetahuan dan menerapkannya dengan kehidupan sehari-hari

sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Page 45: Analisis Struktural Levi Strauss

57

Berdasarkan pengertian tersebut, maka metode kontekstual merupakan

strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran. Siswa

didorong untuk beraktivitas mempelajari materi pelajaran sesuai dengan topik yang

akan dipelajarinya. Belajar dalam konteks CTL bukan hanya sekedar mendengarkan

dan mencatat, tetapi belajar adalah proses berpengalaman secara langsung. Melalui

proses berpengalaman itu diharapkan perkembangan siswa terjadi secara utuh, yang

tidak hanya berkembang secara kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan juga

psikomotor.

Sanjaya ( 2010:255) menyampaikan bahwa Contextual Teaching and

Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses

keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan

menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa

untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep tersebut ada tiga

hal yang harus kita pahami.

Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk

menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman

secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa

hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi

pelajaran.

Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antar

materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk

dapat menangkap hubungan antar pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan

Page 46: Analisis Struktural Levi Strauss

58

nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang

ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan hanya bagi siswa materi itu akan

bermakna secara fungsional terhadap materi yang dipelajarinya tetapi juga akan

tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.

Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam

kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi

yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai

perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan

untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka

dalam mengarungi kehidupan nyata.

Pembelajaran kontekstual mempunyai tujuh komponen utama yaitu;

konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan

penilaian sebenarnya, Andriana (Sudarmono,2009:39). Suatu pembelajaran dikatakan

pembelajaran kontekstual jika dalam pembelajarannya menerapkan tujuh komponen

tersebut.

a. Konstruktivisme

Konstrukttivisme merupakan landasan berpikir bagi pendekatan

kontekstual. Landasan berpikir pada pendekatan ini memandang bahwa

pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks

yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong (Sudarmono,2009:40).

Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah

yang siap untuk diambil dan diingat. Pengetahuan harus dikontruksi dan diberi

Page 47: Analisis Struktural Levi Strauss

59

makna oleh siswa melalui pengalaman nyata. Berkaitan dengan hal ini, maka

siswa perlu dilatih untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang

berguna bagi dirinya, dan terbiasa dengan gagasan- gagasan. Pelatihan yang

dilakukan siswa juga untuk membantu guru dalam menyelesaikan tugas-tugasnya,

sebab, pada kenyataannya guru tidak akan mampu memberikan semua

pengetahuan kepada siswa.

Teori kontruktivisme dapat diartikan bahwa siswa harus

mengembangkan pemikirannya untuk melakukan kegiatan belajar agar lebih

bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan dan mengkontruksi sendiri

pengetahuan dan ketrampilan baru yang harus dimilikinya

b. Menemukan

Menemukan (inquiri) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran

kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan dari

hasil menemukan sendiri, bukan hasil mengingat seperangkat fakta. Guru dituntut

agar dalam merancang kegiatan pembelajaran, sejauh mungkin agar bersifat

inquiri untuk semua topik yang diajarkan.

Proses menemukan yang dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran

tidak begitu saja dapat dipahami oleh siswa. Peran guru ikut menentukan

keberhasilan siswa dalam proses menemukan ini. Guru perlu menyampaikan

beberapa langkah kepada siswa agar siswa dapat termotivasi untuk melakukan

proses menemukan. Langkah-langkah tersebut menurut Nurwanti

(Sudarmono,2009:41) antara lain; merumuskan masalah, mengamati dan

Page 48: Analisis Struktural Levi Strauss

60

melakukan observasi, menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan,

bagan, tabel, dan karya lainnya, dan mengkomunikasikan atau menyajikan hasil

karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiens yang lain.

c. Bertanya

Kegiatan pembelajaran yang bersifat kontekstual harus mengembangkan

sifat ingin tahu siswa dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Kegiatan

bertanya merupakan bagian penting bagi siswa untuk menggali informasi,

mengonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian

pada hal-hal yang belum diketahuinya.

Nurwanti (Sudarmono,2009:41) mengemukakan bahwa kegiatan

bertanya sangat berguna dalam pembelajaran. Kegunaan tersebut meliputi; (1)

menggali informasi, baik administrasi maupun akademik; (2) mengecek

pemahaman siswa; (3) membangkitkan respon siswa; (4) mengetahui sejauh mana

keinginan siswa; (5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa; (6)

memfokuskan perhatian siswa; (7) membangkitkan pertanyaan yang lebih banyak

dari siswa; dan (8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

d. Masyarakat belajar

Konsep masyarakat belajar memberi peluang untuk memperoleh hasil

pembelajaran melalui kerja sama dengan orang lain. Dalam hal ini guru berupaya

menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi,

tanya jawab dan lain sebagainya. Melalui kegiatan berkelompok terjadi kerja sama

antarsiswa dan kerja sama siswa dengan guru, yang bersifat terbuka.

Page 49: Analisis Struktural Levi Strauss

61

Pembelajaran dengan konsep masyarakat belajar dapat berlangsung apa

bila terjalin komunikasi. Siswa yang terlibat dalam kegiatan, memberikan

informasi yang diperlukan oleh teman belajarnya dan sekaligus juga meminta

informasi yang diperlukan kepada teman belajarnya tersebut. Kegiatan ini harus

menghindari pendominasian oleh siswa. Semua siswa harus terlibat aktif dalam

diskusi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya dan tidak ada pihak

yang menganggap paling tahu.

e. Pemodelan

Proses pembelajaran kontekstual membutuhkan suasana yang konkrit,

agar pembelajaran dapat cepat dikuasai siswa. Untuk memunculkan suasana yang

konkrit ini, guru dapat memunculkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa

melalui ilustrasi, atau bahkan melalui media yang sebenarnya.

f. Refleksi

Kegiatan refleksi diperlukan untuk mengetahui sejauh mana siswa

merespon kejadian, aktifitas, atau pengetahuan yang baru diterimanya. Refleksi

adalah cara berpikir tentang hal yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang

tentang hal-hal yang sudah dilakukan dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran

kontekstual guru sebisa mungkin membiasakan anak untuk melakukan refleksi

dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Hal ini dapat memberikan

umpan balik bagi guru, tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan. Sehingga

guru dapat menilai, memperbaiki, dan menyempurnakan strategi pembelajarannya.

Page 50: Analisis Struktural Levi Strauss

62

g. Penilaian yang Sebenarnya

Penilaian merupakan proses pengumpulan informasi yang bisa

memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa, dan sekaligus

memberikan umpan balik kepada guru terhadap pembelajaran yang telah

dilaksanakan.

Penilaian yang disusun guru harus dapat menilai proses dan hasil.

Keaktifan siswa dalam diskusi, mengemukakan ide-idenya, serta pencarian yang

serius merupakan penilaian tersendiri sebagai proses belajar siswa. Pada bagian

akhir pembelajaran guru melakukan evaluasi sebagai proses penilaian untuk

mengetahui tingkat pemahaman siswa. Pengumpulan tugas kelompok juga

merupakan proses penilaian yang dapat dilakukan oleh guru.

4.4. Rancangan Pembelajaran Cerita Rakyat PAL

Rancangan model pembelajaran cerita PAL yang akan diterapkan

mengadopsi dari model-model mengajar dan Komponennya yang disampaikan oleh

Joyce & Weil. Joyce & Weil (1980:9) membagi model mengajar ke dalam empat

rumpun, yaitu; (1) The Second Interaction Sources (Model Interaksi Sosial); (2) The

Information Processing Sources (Model Pemrosesan Informasi); (3) The Personal

sources (Model Personal/Pribadi); (4) Behaviour Modification as a Sources (Model

Prilaku). Setiap rumpun terdiri atas beberapa model mengajar berdasarkan teori yang

disusun para ahli sehingga nama model pada setiap rumpun bergantung pada teori

para ahli dan tujuan yang hendak dicapai.

Page 51: Analisis Struktural Levi Strauss

63

Penyusunan model pembelajaran cerita rakyat PAL yang akan disusun

didasarkan pada rumpun The Information Processing Sources (Model Pemrosesan

Informasi). Model ini menekankan pada bagaimana cara individu memberikan respon

yang datang dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data,

memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahkan masalah

serta penggunaan simbol-simbol verbal dan nonverbal. Selain itu, model ini juga

memberikan kepada siswa sejumlah konsep, pengujian hipotesis, dan memusatkan

perhatian pada pengembangan kemampuan kreatif.

Joyce & Weil (1980) mengemukakan bahwa sebuah model mengajar

memiliki empat komponen. Keempat komponen yang harus ada dalam setiap model

mengajar itu adalah: (1) orientation the model (orientasi model), (2) the model of

teaching (model mengajar), (3) application (penerapan), (4) instructional and

nurturant effect (dampak pengajaran dan penyerta). Pada komponen the model of

teaching (model mengajar), terbagi atas syntax (urutan kegiatan), social system

(sistem sosial), principal of rection (prinsip reaksi), dan support system (sistem

penunjang).

Penerapan model pembelajaran cerita PAL berdasarkan komponen-

komponen tersebut penulis mengurutkannya sebagai berikut, (1) orientasi model, (2)

sintaksis, (3) sistem sosial, (4) prinsip-prinsip reaksi, (5) sistem penunjang, (6)

penerapan dan (7) dampak instruksional.

Page 52: Analisis Struktural Levi Strauss

64

5. Penelitian yang Relevan

Penelitian berkaitan dengan cerita rakyat di Indonesia telah banyak

dilakukan oleh para peneliti. Beberapa yang penulis temukan akan disampaikan

dibawah ini.

1). Heddy Shri Ahimsa Putra, seorang dosen Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu

Budaya, dan staf pengajar pada program Pascasarjana UGM, dalam bukunya

Srukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra menyampaikan beberapa

hasil penelitiannya berkenaan dengan cerita rakyat yang disebut dengan mitos,

mite atau dongeng. Hasil penelitian tersebut antara lain berjudul Analisis

Struktural Dongeng Bajo yang menganalis sebuah cerita rakyat dari orang Bajo

(orang Laut) berjudul Pitoto’Si Muhamma’. Analisis cerita ini menggunakan

metode analisis dari Strukturalisme Levi Straus, namun demikian terdapat

beberapa perubahan yang dilakukan oleh Ahimsa Putra, yaitu pembuatan

episode-episode dalam cerita yang sebelumnya tidak dilakukan oleh Levi Strauss

dan penggunaan ciriteme untuk mengganti mhytheme. Ceriteme digunakan oleh

Ahimsa Putra untuk membedakan dengan miteme (mhytheme), jika ceriteme

berupa rangkaian kalimat- kalimat sedangkan miteme berupa kalimat-kalimat.

Cireteme sama halnya dengan miteme yang hanya dapat diketahui maknanya

atau pengertiannya setelah ditempatkan dengan ceriteme atau miteme yang lain.

Analisis cerita Pitoto’Si Muhamma’ ini menghasilkan beberapa

ceriteme yang kemudian dari ceriteme-ceriteme ini terbentuk episode-episode.

Episode-episode dalam cerita Pitoto’Si Muhamma’ adalah sebagai berikut; episode

Page 53: Analisis Struktural Levi Strauss

65

I: Daeng Manjakari, Hejira dan Muhamma dan Realitas Sosial-Ekonomis Orang

Bajo, episode II: DM Pergi Mengantar Hejira ke Sumur Toraja dan Realitas

Ekologi Orang Bajo; episode III: Hejira Jatuh Cinta Pada DM dan Realitas Sosial-

Budaya (I) Orang Bajo; episode IV: Perselisihan DM dengan M di Dalam Sumur

dan Realitas Sosial-Budaya (II) Orang Bajo; episode V: DM dibunuh oleh M dan

Realitas Sosial-Budaya (III) Orang Bajo; episode VI: Hejira Jatuh Cinta Pada M

dan Realitas Sosial-Budaya (IV) Orang Bajo; episode VII: M Meninggalkan H dan

Realitas Ruang dalam Budaya Orang Bajo. Selanjutnya episode-episode ini

dianalisis dengan metode Analisis Strukturalisme Levi Strauss dan ditafsirkan

dengan latar belakang budaya Orang Bajo.

Hasil analisis membuahkan kesimpulan yang diambil oleh Ahimsa

Putra yaitu bahwa cerita Orang Bajo berjudul Pitoto’Si Muhamma’ merupakan

sebuah upaya simbolisasi orang Bajo untuk memahami kontradiksi-kontradiksi

empiris yang mereka hadapi sebagai orang yang hidup dari pengumpulan hasil

laut. Kontradiksi-kontradiksi abadi yang mereka hadapi adalah kenyataan bahwa

mereka hidup di laut, namun juga masih tergantung pada hasil bumi dari darat;

bahwa untuk hidup di laut mereka membutuhkan bantuan bukan saja dari kerabat,

tetapi juga dari mereka yang bukan kerabat, yang berada di darat.

2). Penelitian berkaitan dengan cerita rakyat juga dilakukan oleh Heddy Shri Ahimsa

Putra, terhadap dongeng Umar Kayam yang berjudul Sri Sumarah, Bawuk, dan

Para Priyayi: Sebuah Analisis Struktural-Hermeneutik. Alasan yang mendasari

penulis untuk menyampaikan hasil penelitian ini sebagai bahan rujukan karena ada

Page 54: Analisis Struktural Levi Strauss

66

beberapa hal mendasar yang disampaikan oleh Ahimsa Putra berkaitan dengan

cerita Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi.

Hal mendasar tersebut adalah Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita

tersebut sebagai mitos atau dongeng. Jika melihat dari ciri-ciri cerita rakyat,

dongeng atau mite yang telah penulis sampaikan maka salah satu sifat cerita rakyat

adalah anonim. Berdasarkan sifat ini, maka cerita yang ditulis Umar Kayam

tersebut tidak dapat dikatakan sebagai dongeng atau mitos. Namun demikian,

Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita tersebut sebagai mitos karena ada dua

alasan.

Dua alasan yang mendasari Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita

Umar Kayam sebagai dongeng atau mitos yaitu; pertama, bahwa berbagai cerita

tersebut ditulis oleh Umar Kayam dalam upayanya memahami sebuah peristiwa

dahsyat yang secara pribadi sulit dipahaminya; kedua, Umar Kayam menulis cerita

tersebut bukan sebagai pengarang biasa ataupun sebagai pengamat dan penulis

reportase, tetapi sebagai individu yang telah melibatkan diri di tengah peristiwa itu

sebagai aktor yang membuat interpretasi. Posisi semacam ini pada dasarnya tidak

berbeda dengan posisi individu-individu yang telah melahirkan berbagai mitos

dalam masyarakat (Putra,2006:260).

Penulis beranggapan bahwa setuju atau tidak setuju terhadap pendapat

Ahimsa Putra tersebut tidak menjadi persoalan yang perlu dibahas dalam

penelitian ini. Hal yang terpenting yang dapat penulis ambil bahwa analisis

struktural model Strukturalisme Levi Strauss dapat diterapkan pada ketiga cerita

Page 55: Analisis Struktural Levi Strauss

67

Umar Kayam tersebut, meskipun Levi Strauss sendiri meragukan keampuhan

pisau analisis strukturalnya jika digunakan untuk membedah karya-karya sastra.

Namun tokoh strukturalisme lain, yakni Roland Barthes, malah menyarankan dan

mendukung cara analisis semacam itu (Putra,2006:261).

Berdasarkan analisis menggunakan model strukturalisem Levi Strauss

ini ternyata Ahimsa Putra berhasil menemukan makna dibalik peristiwa gestapu,

antara mana yang dianggap sebagai anggota PKI maupun mana yang dianggap

bukan angota PKI, melalui relasi-relasi dalam yang ada dalam ketiga cerita

tersebut.

Ahimsa Putra dalam manganalisis cerita Umar Kayam berjudul Sri

Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi mengaitkan munculnya cerita tersebut dengan

peristiwa Gestapu 1965. Karena ketiga cerita tersebut merupakan kebimbangan

pada diri Umar Kayam dalam memahami peristiwa tersebut dan pertanyaan yang

tidak dapat dijawab yaitu siapa yang harus dan tidak harus jadi korban. Seperti

apa yang ditulis Umar Kayam berikut “Dalam kebimbangan dan

ketidakmengertian saya, saya coba pertanyakan dalam cerita”(Putra,2006:256)

Hasil analisis dari ketiga cerita tersebut menghasilkan ceriteme-ceritime

yang kemudian membentuk episode-episode. Episode-episode ini merupakan

relasi-relasi dari ketiga cerita tersebut yang disusun oleh Ahimsa Putra. Episode-

episodenya adalah sebagai berikut; a. Episode Latar belakang Tokoh; b. Episode

Kehidupan Remaja; c. Episode Kehidupan Keluarga dan Politik; d. Episode

Pelarian; dan e. Episode Akhir Kisah. Selanjutnya berbagai episode yang dialami

Page 56: Analisis Struktural Levi Strauss

68

ditempatkan secara sinkronis (paradigmatis) dan diakronis (sintagmatis). Analisis

berlanjut sampai pada analisis nilai Jawa dan nalar Jawa yang merupakan latar

belakang penulis cerita dan melatar belakangi juga peristiwa Gestapu.

3) A. Totok Priyadi seorang mahasiswa program S-3 Universitas Pendidikan

Indonesia Bandung, melakukan penelitian terhadap cerita-cerita rakyat Dayak

Kanaytn dalam desertasinya. Desertasi yang dipertahankannya pada tahun 2010 ini

berjudul Analisis Struktur dan Makna Cerita Rakyat Dayak Kanaytn.

Priyadi dalam desertasinya ini menganalisis hampir 90 cerita rakyat

Dayak Kanaytn, yang diperoleh dengan cara observasi, wawancara terhadap 30

informan. Dari 90 cerita rakyat ini Priyadi mengambil 9 cerita yang mendapat

fokus lebih, dalam penelitiannya. Selanjutnya cerita-cerita tersebut dianalisis

dengan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama cerita-cerita tersebut dibuat

ringkasan ceritanya, kemudian dianalisis pada tingkat lingkungan penceritaan yang

meliputi daerah pakai dan situasi pakai. Langkah selanjutnya yaitu

mengklasifikasikan cerita-cerita tersebut pada genre dongeng, mitos ataupun

legenda. Setelah diketahui genre dari cerita tersebut kemudian analisis struktur

cerita dengan menggunakan teknik analisis struktur model Maranda.

Teori struktur naratif model Maranda ini berbeda dengan model

strukturalisme Levi Strauss. Model Levi Strauss terdapat miteme (mhytheme)

dalam sebuah mitos, sedangkan pada model Maranda ada terem (term) dan fungsi

dalam sastra lisan. Menurut Maranda (Priyadi,2010), terem yaitu simbol yang

dilengkapi dengan konteks kemasyarakatan dan kesejarahan, sedangkan fungsi

Page 57: Analisis Struktural Levi Strauss

69

adalah peranan yang dipegang oleh terem. Fungsi wujudnya dibatasi oleh terem,

sehingga terem dapat berubah-ubah sedangkan fungsi tetap.

Hasil dari analisis cerita-cerita ini ditemukannya lingkungan penceritaan,

klasifikasi, struktur, makna cerita, kearifan lokal, identitas Dayak Kanaytn dan

dimungkinkannya cerita-cerita tersebut sebagai bahan ajar pembelajaran sastra.

4). Penelitian berkaitan dengan cerita rakyat juga dilakukan oleh Maman Rukmana,

mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung

tahun 2006, yang menganalisis cerita rakyat Banten Selatan. Analisis cerita ini

disusun dalam sebuah tesis dengan judul Studi Deskriptif Terhadap Struktur,

Fungsi, dan Nilai Budaya Cerita Rakyat Banten Selatan: Penyusunan Bahan Ajar

Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Untuk Siswa SD di Kabupaten

Pandeglang.

Analisis yang dilakukan dalam cerita Banten Selatan ini, dilakukan

dengan menitikberatkan pada struktur intrinsik cerita yang meliputi alur,

penokohan, tema dan moral, latar, gaya penulisan, dan motif menurut genre cerita

rakyat. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data menggunakan teknik tes,

angket, wawancara. Teknik-teknik ini digunakan untuk mengetahui apakah cerita-

cerita rakyat Banten Selatan tersebut dapat digunakan sebagai bahan ajar di

Sekolah Dasar, sehingga penelitian yang dilakukan dikaitkan dengan pembuatan

bahan ajar dari cerita rakyat.

Cerita rakyat Banten Selatan yang menjadi kajian dalam penelitian ini

berjumlah tiga buah. Cerita-cerita tersebut berjudul Syekh Mansyur dan Harimau

Page 58: Analisis Struktural Levi Strauss

70

Ujung Kulon, Asal Mula Orang Badui, dan Pengeran Pande Gelang dan Putri

Cadasari. Selanjutnya cerita-cerita ini dianalisis struktur intrinsiknya berdasarkan

tanggapan dari para siswa melalui tes. Tes ini juga diterapkan kepada guru-guru

bahasa Indonesia. Untuk mengetahui fungsi dan nilai budaya dalam cerita

Rukmana menggunakan teknik wawancara yang deterapkan kepada para praktisi

pendidikan. Selanjutnya penggunaan angket diterapkan kepada guru-guru sekolah

dasar di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang, untuk menganalisis

variable penyusunan bahan ajar.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Rukmana menyimpulkan

bahwa cerita rakyat Banten Selatan berjudul Syekh Mansyur dan Harimau Ujung

Kulon, Asal Mula Orang Badui, dan Pengeran Pande Gelang dan Putri Cadasari,

dapat digunakan sebagai alternatif dan variasi bahan ajar mata pelajaran Bahasa

Indonesia di sekolah dasar. Alasan yang mendasari pengambilan kesimpulan ini,

menurut Rukmana adalah bahwa cerita-cerita tersebut telah memenuhi kriteria

yang memadai serta memperhatikan langkah-langkah dalam penyusunan bahan

ajar.

Berdasarkan beberapa penelitian berkenaan dengan cerita rakyat tersebut,

penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap cerita PAL dengan model

analisis strukturalisme Levi Strauss. Model ini penulis anggap sesuai dengan cerita

PAL sebagai sebuah mitos, karena mitos merupakan fokus analisis dalam

strukturalisme Levi Strauss.