ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA … · analisis struktur musik dan fungsi sosio...
Transcript of ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA … · analisis struktur musik dan fungsi sosio...
ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASE DI BIARA TIMU JAMBO AYE ACEH UTARA
PROVINSI ACEH
TESIS
Oleh
ANGGA EKA KARINA NIM: 127037001
PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
i
ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASE DI BIARA TIMU JAMBO AYE ACEH UTARA
PROVINSI ACEH
T E S I S
Oleh
ANGGA EKA KARINA NIM: 127037001
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N 2 0 1 4
ii
ANALISIS STRUKTUR MUSIK
DAN FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASE DI BIARA TIMU JAMBO AYE ACEH UTARA
PROVINSI ACEH
T E S I S
Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh ANGGA EKA KARINA
NIM: 127037001
PROGRAM STUDI
MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2 0 1 4
iii
Judul Tesis ANALISIS STRUKTUR MUSIK DAN FUNGSI SOSIO
BUDAYA RAPA’I PASE DI BIARA TIMU JAMBO AYE ACEH UTARA PROVINSI ACEH
Nama : Angga Eka Karina Nomor Pokok : 127037001 Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Dr. Ridwan Hanafiah, SH., M.A. NIP 195607051989031002
Ketua
Drs. Irwansyah, M.A. NIP 19621221199703001
Anggota Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua, Drs. Irwansyah, M.A. NIP 196212211997031001
Fakultas Ilmu Budaya Dekan, Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001
Tanggal lulus:
iv
Telah diuji pada
Tanggal :
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. (……….………………..)
Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu., M.Hum. (..…..…….……………..)
Anggota I : Dr. Ridwan Hanafiah, SH., M.A. (….… ……….…………)
Anggota II : Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. (...……………….………)
Anggota III : Dra. Rithaony, M.A. (……………...…….……)
v
ABSTRACT This research is titled An Analysis of Music Structures and The Social-Culture Function of Rapa’i at Biara Timu, Jambo Aye, Aceh Utara, Aceh Province. It learned about the function of socio-cultural and music structures in art traditional performance of Rapa’i Pasee. The background of this research is Rapa’i in Aceh has been a media which used by the societies to give motivation of spirit live struggle and relegion messages. This research is important because Rapa’i Pasee has used by Aceh society for a long time continually until now. The purpose of this research is to know the function of social-culture and how are the music structure of Rapa’i Pasee art in Panton Labu, Aceh Utara. The research method is qualitative-descriptive method and explained with social science interdicipliner. The main problem of this research are the music traditional instrument of Rapa’i is the music structures, that was the kind of songs rhytme in Rapa’i Pasee that has social meaning and the spirit live in daily live. The social-culture’s function of Rapa’i Pasee toward the societies in Panton Labu, Aceh Utara which included emosional expression, estetis, entertaiment, communication and symbol related with social norms, culture, society integration and problem related with music structures such as rhytme of Rapa’i Pasee’s songs. The result of the research show that the music structures of Rapa’i Pasee is devided into some hit that has kind of sound (timbre) dum and teng, sound of dum was heard lower and sound of teng was heard higher. Kind of hit in Rapa’i pasee is devided into lagu sa that show the music performance was start. lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung, and lagu duablah. The kind of hit in Rapa’i Pasee show togetherness and spirit of struggle. Rapa’i Pasee has eight functions in field research result. Based on Merriam that has ten function of social-culture, not all of the functions suitable with Rapa’i Pasee it self, the functions are entertainment, communication, symbol, social norm, culture, society integration, and emotional function. Keywords : Rapa’i Pasee, Music structure and social-culture function.
vi
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Analisis Struktur Musik dan Fungsi Sosio Budaya Rapa’i Pasee di Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara Provinsi Aceh. Penelitian ini mengkaji struktur musik dan fungsi sosial budaya pada seni pertunjukan tradisional rapa’i pasee. Adapun latar belakang penelitian ini bahwa rapa’i di Aceh merupakan media dalam bentuk kesenian yang digunakan oleh masyarakat Aceh untuk menyampaikan pesan-pesan semangat perjuangan hidup dan menyampaikan pesan-pesan keagamaan melalui permainan rapa’i pasee. Penelitian ini merupakan sesuatu yang penting karena rapa’i pasee ini sejak dahulu secara terus menerus sampai sekarang ini masih digunakan oleh masyarakat Aceh khususnya daerah Aceh Utara untuk memberikan apresiasi pesan sosial, semangat perjuangan dan syiar agama Islam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur musik dan fungsi sosial budaya kesenian rapa’i pasee di Panton Labu Aceh Utara. Metode penelitian yang digunakan adalah untuk mendeskripsikan struktur musik dan fungsi sosial budaya dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan dibahas secara interdisipliner ilmu sosial. Pokok-pokok masalah yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah struktur musik yaitu bentuk ritem pada lagu-lagu didalam rapa’i pasee yang mempunyai makna sosial dan semangat perjuangan hidup dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi sosial budaya rapa’i pasee terhadap masyarakat di kota Panton Labu Aceh Utara yang meliputi fungsi pengungkapan emosional, estetika, hiburan, komunikasi, perlambangan, berkaitan dengan norma-norma sosial, kesinambungan kebudayaan, dan pengintegrasian masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: Struktur musik rapa’i pasee yang terdiri motif pukulan yang mempunyai warna suara (timbre) dum dan teng. Bunyi dum terdengar lebih rendah sedangkan bunyi teng terdengar tinggi. Bentuk pukulan rapa’i pasee terdiri dari lagu sa yang menunjukkan awal mulainya sebuah permainan musik, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung, dan lagu duablah. Motif pukulan-pukulan rapa’i pasee mencerminkan kebersamaan dan semangat perjuangan. Rapa’i pasee mempunyai delapan fungsi hasil penelitian lapangan. Dari sepuluh fungsi yang dikemukakan oleh Merriam, tidak semua fungsi sesuai dengan rapa’i pasee ini. Fungsi-fungsinya adalah fungsi penghayatan estetis, fungsi sebagai hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, sebagai fungsi kesinambungan budaya, fungsi pengintegrasian masyarakat, dan fungsi emosional. Kata kunci: Rapa’i Pasee, struktur musik dan fungsi sosial budaya.
vii
PRAKATA
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Dalam kesempatan ini izinkan penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM & H. M.Sc. (CTM), Sp. AK., selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A., sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya yang
telah memberikan fasilitas dan sarananya dalam proses pembelajaran bagi
penulis sehingga dapat menuntut ilmu di kampus Universitas Sumatera Utara
ini dalam kondisi yang nyaman.
3. Bapak Drs. Irwansyah, M. A., selaku ketua program studi Penciptaan dan
Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara
(USU), dan selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan
masukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. selaku sekretaris Program Studi
Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas
Sumatera Utara (USU).
5. Bapak Dr. Ridwan Hanafiah, M. A. selaku pembimbing I yang telah banyak
memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan hingga selesainya tesis ini
viii
tepat pada waktunya dan memberikan ilmu yang banyak bermanfaat bagi
penulis.
6. Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M. Si selaku penguji satu yang telah memberikan
masukan, saran, dan kritik sehingga tesis ini dapat disempurnakan.
7. Dra. Rithaony Hutajulu, M. A selaku penguji dua yang telah memberikan
masukan, saran, dan kritik sehingga tesis ini dapat disempurnakan.
8. Bapak Ponisan selaku bagian staf tata usaha Program Studi Penciptaan dan
Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara
(USU), atas bantuan dan informasi yang sangat bermanfaat dalam proses
perkuliahan maupun dalam penyusunan tesis ini.
9. Kepada para dosen Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas
Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sumatera Utara (USU), yang telah
memberikan wawasan dan ilmunya yang membuka cakrawala ilmu bagi
penulis dan menjadi bekal dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Kepada bapak Hasbullah, S. Pd selaku narasumber dan Zunuanis selaku
seniman Aceh serta bapak Razali penerus seniman Rapa’i Pasee Panton Labu
Aceh Utara.
11. Kepada Rektor Universitas Al-Muslim, dosen, Staf atas dukungan selama ini.
12. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan kuliah pada pascasarjana Program
Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
Universitas Sumatera Utara (USU).
13. Kepada yang tercinta, kedua orang tua peneliti, untuk Doa yang selalu
mengalir, nasehat, kepercayaan dan kasih sayang yang selalu menguatkan
ix
peneliti. Tesis ini adalah salah satu bentuk pembuktian bahwa ayah dan ibu
telah berhasil menjadi orangtua yang sukses untuk anak-anaknya.
Terima kasih buat semuanya dan buat orang-orang yang belum sempat
disebutkan. Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, untuk
itu peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
perbaikan tesis ini nantinya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juli 2014 Penulis,
ANGGA EKA KARINA NIM: 127037001
x
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. Nama Lengkap : Angga Eka Karina, S. Pd 2. NIDN : 01 130787 01 3. Pangkat/ Jabatan Fungsional : - 4. TTL : Batuphat Timur/ 13 juli 1987 5. Agama : Islam 6. Jenis Kelamin : Laki-laki 7. Pendidikan Terakhir : S1 Seni Musik 8. Alamat : Dusun Tengah Blang Pulo
Lhokseumawe, Provinsi Aceh. 9. No. HP : 081397175123 10. Golongan Darah : B 11. Jenjang Pendidikan :
No. Jenjang Pendidikan Tempat Tahun 1. Taman kanak-kanak Islam Fajar
Meutia Batuphat Barat 1992 – 1993
2. MIN Blang Mane II Batuphat Timur 1993 – 1999 3. SLTP Negeri I Lhokseumawe 1999 – 2002 4. SMA Negeri I Lhokseumawe 2002 – 2005 5. Universitas Negeri Medan (UNIMED) Medan 2005 – 2009 6. Magister (S-2) Penciptaan dan
Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Medan 2012 - 2014
12. Pengalaman Kerja
a. Tahun 2010 Dosen Tetap Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Al-Muslim
b. Tahun 2010 Kepala Laboratorium Sendratasik Universitas Al-Muslim
13. Prestasi a. The best Keyboard Rencong Festival Musik Se- Aceh 2011 b. Juara beberapa festival Seni Tari se- Kopertis Wilayah I Medan tahun
2012 c. Mewakili Muhibah Seni ke luar negeri ke Malaysia, Singapore, Thailand,
Jepang dan Korea Selatan 2013-2014.
xi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.
Medan, Juli 2014 Penulis,
Angga Eka Karina, S. Pd NIM. 127037001
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii ABSTRACT ............................................................................................... iv ABSTRAK ................................................................................................... v PRAKATA ................................................................................................. vii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................... x HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... xi DAFTAR ISI ............................................................................................... xii DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ........................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 1.2 Pokok Masalah ......................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................................. 7
1.3.1 Tujuan Penelitian ............................................................ 7 1.3.2 Manfaat Penelitian........................................................... 7
1.4 Konsep dan Landasan Teori ....................................................... 8 1.4.1 Konsep ........................................................................ 8 1.4.2 Landasan Teori ............................................................ 9 1.4.2.1 Teori Fungsionalisme ................................................... 9 1.4.2.2 Teori Analisis dan Transkripsi Musik ........................... . 15
1.5 Metode Penelitian ..................................................................... 15 1.5.1 Kajian pustaka ................................................................. 18 1.5.2 Penelitian lapangan ......................................................... 22 1.5.2.1 Observasi ..................................................................... 23 1.5.2.2 Wawancara ................................................................... 23 1.5.2.3 Kerja laboratorium ........................................................ 24
1.6 Lokasi Penelitian ...................................................................... 25 1.7 Alat yang digunakan ................................................................. 26 1.8 Sistematika Penulisan ............................................................... 27
BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT JAMBO AYE PANTON LABU ………………………………………………... 29
2.1 Sejarah Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ............................. 29 2.2 Tinjauan Geografis Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ........... 34 2.3 Sistem Pemerintahan Kota Panton Labu ................................... 36 2.4 Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu ....................... 37
2.4.1 Stratifikasi masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu .................................................................... 37 2.4.2 Agama ............................................................................. 38 2.4.3 Jumlah penduduk ............................................................. 38 2.4.4 Masyarakat kesenian desa Jambo Aye kota
Panton Labu .................................................................... 39
xiii
2.4.5 Unsur kesenian masyarakat desa Jambo Aye kota
Panton Labu ..................................................................... 39 2.4.6 Tari .................................................................................. 39 2.4.7 Musik ............................................................................... 43
BAB III STRUKTUR MUSIK KESENIAN RAPA’I PASEE : DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA …...................................................................... 45
3.1 Sejarah Rapa’i Di Aceh ......................................................... 45 3.2 Klasifikasi Jenis Musik Aceh ................................................. 49
3.3 Rapa’i Pasee .......................................................................... 53 3.3.1 Latar Belakang Rapa’i Pasee ......................................... 53
3.3.2 Organologi Rapa’i Pasee .............................................. 54 3.3.3 Bentuk Kesenian Rapa’i Pasee...................................... 59
3.4 Proses Penstranskripsian ........................................................ 61 3.5 Notasi Ritem (Motif Pukulan) Pada Struktur Musik Rapa’i Pasee ................................................................................... 67
3.5.1 Deskripsi Lagu Sa ......................................................... 67 3.5.2 Deskripsi Lagu Dua ....................................................... 68
3.5.3 Deskripsi Lagu Lhee ..................................................... 69 3.5.4 Deskripsi Lagu Limeung ................................................ 69 3.5.5 Deskripsi Lagu Tujoh .................................................... 70
3.5.6 Deskripsi Lagu Sikureung .............................................. 71 3.5.7 Deskripsi Lagu Duablah ................................................ 71 BAB IV DESKRIPSI FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASEE: DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA ………………………………………………... 73 4.1 Penggunaan dan Fungsi Rapa’i Pasee ..................................... 73
4.1.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi ............................. 73 4.1.1.1 Pengertian Fungsi ...................................................... 74 4.1.1.2 Penggunaan Rapa’i Pasee ......................................... 87
4.2 Fungsi Kesenian Rapa’i Pasee ................................................ 90 4.2.1 Fungsi Pengungkapan Emosional .................................. 91 4.2.2 Fungsi Pengungkapan Estetika ...................................... 92 4.2.3 Fungsi Hiburan .............................................................. . 95
4.2.4 Fungsi Komunikasi ........................................................ 95 4.2.5 Fungsi Perlambangan .................................................... 97 4.2.6 Fungsi Berkaitan Dengan Norma Sosial ........................ 99 4.2.7 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan ............................ 99 4.2.8 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat . ............................. 101
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………… 103
5.1 Kesimpulan............................................................................ 103 5.2 Saran ................................................................................... 106
xiv
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 107 LAMPIRAN:
LAMPIRAN FOTO …………………………………………………….. 110
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Aceh Utara ......................35
Tabel 3.1 Alat Musik Tradisional Aceh ........................................................50
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Kabupaten Aceh Utara ......................................................34
Gambar 3.1 Skema Ukuran Rapa’i Pase ......................................................55
Gambar 3.2 Baloh (Kayu) .............................................................................56
Gambar 3.3 Kulet (kulit) .............................................................................56
Gambar 3.4 Pengapet (seudak) .................................................................... 57
Gambar 3.5 Larik (garis) ..............................................................................58
Gambar 3.6 Format Posisi Pemain Rapa’i Pasee ..........................................59
Gambar 3.7 Lagu satu (lagu sa) .................................................................... 68
Gambar 3.8 Lagu dua (lagu dua) ................................................................... 68
Gambar 3.9 Lagu tiga (lagu lhee) .................................................................. 69
Gambar 3.10 Lagu lima (lagu limeung) ......................................................... 70
Gambar 3.11 Lagu tujuh (lagu tujoh) ........................................................... 70
Gambar 3.12 Lagu sembilan (lagu sikureung) .............................................. 71
Gambar 3.132 Lagu dua belas (lagu duablah)............................................... 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Aceh sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia merupakan salah
satu daerah yang kaya akan kebudayaan. Sejarah telah membuktikan semenjak
adanya kerajaan-kerajaan kecil di masa silam sampai Indonesia memproklamirkan
kemerdekaanya hingga dewasa ini. Aceh tetap menjunjung tinggi nilai-nilai
kebudayaannya bahkan nilai-nilai budaya ini menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat Aceh. Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan
langsung dengan dunia luar, contohnya Cina, India, Persia, Arab yang berdagang
di Aceh masuk melalui pelabuhan Peurlak, Samudra Pasai dan Lamuri, Hasbi
(2006:5). Kebudayaan di Aceh dipengaruhi oleh peradaban Islam termasuk
didalamnya tarian tradisional, musik tradisional, dan instrument tradisional.
Daerah Provinsi Aceh dihuni oleh beberapa sub etnik, dan masing-masing
sub etnik memiliki kekhasan sendiri di bidang kebudayaan. Melihat beragamnya
kebudayaan daerah Aceh, maka keadaan itu juga selaras dengan keberagaman
budaya suku-suku bangsa di Indonesia. Daerah provinsi Aceh merupakan salah
satu provinsi yang mempunyai beragam bentuk alat musik tradisional. Salah satu
bentuk alat musik tradisional tersebut adalah rapa’i.
Rapa’i adalah alat musik pukul (mebranophone) yang berasal dari
Bagdad/Irak. Setelah agama Islam masuk ke Aceh melalui Samudra Pasai, rapa’i
ini terus dikembangkan. Bentuk dan cara memainkannya telah disesuaikan dengan
budaya yang sesuai Islam. Nama rapa’i berasal dari seorang ahli tasawuf yang
2
bernama Ahmad Rifa’i. Beliau juga salah seorang penyiar agama Islam di Aceh.
Beliau mencetuskan rapa’i di Aceh Besar sekitar tahun 900 M dan mulai
dipertunjukkan pada masyarakat di Aceh hingga akhirnya rapa’i menjadi
permainan kesenian rakyat.
Rapa’i merupakan alat musik tradisional Aceh, sama halnya dengan
gendang. Rapa’i dibuat dari batang kayu yang keras, biasanya dari batang nangka,
batang pohon aren, batang kelapa yang sudah tua, atau batang tuwalang. Pertama
dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini
disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas daripada bagian bawah. Bagian
atas ditutup dengan kulit kambing atau kulit lembu sedangkan bawahnya
dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan
yang dibalut dengan kulit. Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut seudak. Rapa’i
berkembang dan digunakan sejak adanya kerajaan Aceh yaitu kerajaan Samudra
Pasai. Pada zaman kerajaan Samudra Pasai, rapa’i digunakan untuk
mengumpulkan masyarakat berperang melawan penjajah, mengumpulkan
masyarakat untuk bermusyawarah, memberi isyarat tanda bahaya, dan memberi
tanda bahwa waktu sholat telah tiba. Masyarakat pada saat itu menggunakan
Rapa’i sebagai Alat komunikasi1.
Rapa’i terus berkembang dan masyarakat menggunakan rapa’i untuk
acara kesenian rakyat dalam berbagai bentuk penampilan yang berbeda-beda.
Dilihat dari perangkat besar dan kecilnya ukuran, rapa’i dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, yaitu RAPA’I PASEE, rapa’i puloet, rapa’i geurimpheng, rapa’i
1Hasil wawancara dengan Hasbullah, mantan staf kebudayaan kota Lhokseumawe , tahun
2014.
3
daboh dan rapa’i geleng. Hampir semua bentuk rapa’i sama yang membedakan
adalah cara menampilkan permainannya. Salah satu contoh jenis kesenian RAPA’I
PASEE yang akan penulis angkat sebagai kajian dalam penulisan tesis ini.
Nama RAPA’I PASEE diambil dari nama kerajaan Samudra Pasai dan
sekarang sudah menjadi nama suatu daerah di kabupaten Aceh Utara. RAPA’I
PASEE hanya terdapat di wilayah Aceh Utara saja dan berkembang di desa-desa
pada Kota Lhokseumawe, Geudong, Alue ie Puteh, dan Panton Labu. Salah satu
desa yang melestarikan sampai sekarang yaitu desa Biara Timu Kecamatan Jambo
Aye kota Panton labu. Letak kota Panton Labu dari kabupaten Aceh Utara dapat
ditempuh dengan waktu satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor.
Pelestarian permainan kesenian RAPA’I PASEE di wilayah Aceh Utara dan
sekitarnya tergantung oleh masyarakat setempat yang tetap ingin menjaga
kelestariannya. Oleh karena itu, sampai saat ini Desa Biara Timu Kecamatan
Jambo Aye masih terus melestarikanya. Dalam kenyataannya dapat ditemui
sampai sekarang sanggar seni RAPA’I PASEE. Masyarakat desa masih membuat
acara pertandingan RAPA’I PASEE antardesa. Masih ditemui pemimpin kesenian
RAPA’I PASEE sekaligus narasumber untuk sejarah dalam bentuk lisan di desa
tersebut. Oleh karena itu, peneliti memilih Desa Biara Timu Kecamatan Jambo
Aye untuk melakukan penelitian dalam menyelesaikan tesis ini.
RAPA’I PASEE digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara
terutama yang berhubungan dengan keagamaan, hari-hari besar Islam, tamu
kehormatan, media kampanye politik dan permainan/perlombaan kesenian
tradisional. Memainkan rapa’i yaitu dengan cara memukulnya dan biasanya
4
dimainkan oleh kelompok. Di dalam satu grup ada seorang pemimpin permainan
rapa’i disebut syeh. Syeh mempunyai peran sebagai pemberi isyarat untuk
pergantian dari lagu pertama ke lagu selanjutnya. Ada sebutan canang yaitu orang
yang memainkan pukulan variasi dan rando yaitu orang yang memainkan pukulan
dasar.
RAPA’I PASEE berukuran besar (digantung) biasanya di bawah kolong
muenasah2. Beratnya 20-50 kg yang berfungsi sebagai induk dan mempunyai
gelar tersendiri sebagai kebangaan dari group tersebut, contohnya : rapa’i raja
kuning. Unit besar terdiri dari 30 buah rapa’i, unit sedang 15 buah, sedangkan
unit kecil terdiri dari 10 – 12 buah.
RAPA’I PASEE tidak mempunyai tangga nada. RAPA’I PASEE tidak ada
nyanyian suara vokal serta gerakan tarian yang berpola. RAPA’I PASEE hanya
sebagai ritme (tempo) oleh peunaboh3. Bentuk pukulan/ritem RAPA’I PASEE
terdiri dari lagu sa, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung
dan lagu duablah. Semua adalah sebutan untuk urutan permainan ritem pada
RAPA’I PASEE. RAPA’I PASEE mempunyai dua warna suara (timbre) yaitu dum
dan teng4. Bentuk penampilan RAPA’I PASEE pada sebuah pertunjukan terdiri
dari jenis pukulan yang berurutan. Pemain RAPA’I PASEE memainkannya sambil
berdiri. Penampilannya dalam sebuah ansambel (grup) biasanya satu grup terdiri
dari jumlah pemain terkecil 15 0rang dan terbesar sampai 60 orang.
RAPA’I PASEE mempunyai keunikan gema suaranya yang besar.
Suaranya dapat didengar dari satu desa sampai ke desa lainnya. RAPA’I PASEE
2Meunasah : tempat beribadah umat islam didesa biasanya terbuat dari kayu dan tinggi. 3Orang yang memukul alat musik Rapa’i pasee. 4Dum untuk suara rendah dan teng untuk suara sedang atau tinggi.
5
mempunyai ukiran di pinggiran kayunya yang disebut larik5. Setiap larik
mempunyai makna, larik satu bermakna siang dan malam, larik lima bermakna
rukun Islam ada lima perkara, larik tujuh bermakna seminggu ada tujuh hari dan
ada satu garis besar menandakan hari jumat dilarang untuk memukul rapa’i dan
larik delapan ada empat garis besar dan empat garis kecil bermakna yaitu Tuha
peut dan tuha lapan orang yang dituakan atau penasehat dalam sebuah desa
setempat6. Menurut pakar seni budaya wilayah Aceh utara, yaitu saudara
Hasbullah bahwa “RAPA’I PASEE adalah alat musik tradisional Aceh (uroh
deng). Maksudnya alat musik yang dimainkan secara berdiri dan masyarakat
menampilkan RAPA’I PASEE secara tunang yaitu lawan antara satu grup desa dan
satu grup desa lainnya”. Setiap satu grup atau lawan harus dapat bermain RAPA’I
PASEE ini dengan menghasilkan suara yang besar, membuat variasi pukulan dan
dapat bertahan selama waktu yang ditentukan.
Dalam masyarakat Aceh kesenian RAPA’I PASEE bukan saja sekedar
pertunjukan seni atau perlombaan tetapi RAPA’I PASEE sebuah ajang untuk
menguatkan tali persaudaraan antar masyarakat Aceh dan silaturahmi seperti
ajaran dalam agama Islam.
Banyak terdapat masalah dan keunikan dari penjelasan di atas. Inilah hal-
hal yang menarik hingga penulis sangat tertarik untuk mengajukan sebagai tesis.
Untuk menjaga kelestarian alat musik tradisional Aceh tersebut di
kemudian hari, akibat dari perkembangan zaman dan juga untuk menggalakkan
adanya usaha-usaha untuk penyesuaian dengan selera pasar dan keinginan para
5Larik garis melingkar dipinggiran baloh (kayu) yang jumlahnya berbeda –beda . 6Hasil wawancara dengan Hasbullah, S. Pd
6
pemusik untuk mengklaim permainan RAPA’I PASEE ini, maka perlu untuk
dilakukan studi terhadap alat musik tradisional Aceh RAPA’I PASEE seperti yang
penulis lakukan saat ini sehingga baik fungsi sosio budaya dan struktur musik
serta urutan-urutan penampilannya hendaknya mempunyai ketentuan yang jelas
dan baku. Penentuan RAPA’I PASEE ini untuk diangkat ke dalam satu topik
tulisan yang berjudul Analisis Struktur Musik dan Fungsi Sosio Budaya RAPA’I
PASEE di Biara timu, Jambo Aye Aceh Utara Provinsi Aceh merupakan salah
satu usaha pelestarian pertunjukan RAPA’I PASEE tersebut.
Demikian menariknya keberadaan RAPA’I PASEE di Biara Timu, Jambo
Aye Panton Labu Aceh Utara, baik ditinjau dari aspek sosial, budaya, estetika dan
filsafat yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, secara keilmuan khususnya
melalui kajian seni, RAPA’I PASEE ini sangat menarik untuk diteliti,
didokumentasi, dianalisis dan tentu saja dipublikasikan keberadaannya.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana bentuk struktur musik pertunjukan RAPA’I PASEE melalui
pendekatan metode deskriptif dan transkripsi. Khususnya dalam dasar
musiknya sebagai bahan dokumentasi dan referensi.
2. Bagaimana fungsi kesenian RAPA’I PASEE terhadap kehidupan sosial
budaya masyarakat Biara Timu, Kecamatan Jambo Aye Kota Panton
Labu Aceh Utara.
7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejauh mana eksistensi kesenian rapai pasee baik pada
masa lalu maupun pada masa perkembangan saat ini.
2. Untuk mengetahui struktur musik baik dimensi ruang maupun waktu
dalam pertunjukan RAPA’I PASEE.
3. Untuk mengetahui fungsi sosio budaya kesenian RAPA’I PASEE dalam
kebudayaan masyarakat pendukungnya.
1.3.2 Manfaat penelitian
Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam laporan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah referensi tentang kesenian khususnya RAPA’I PASEE bagi
lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) sehingga dapat digunakan oleh
guru kesenian sebagai bahan pembelajaran.
2. Sebagai bahan masukan bagi tim pengajar sendratasik (seni drama, tari,
dan musik) untuk menambah wawasasan seni dan kemudian
mengajarkannya kepada generasi muda Indonesia, khususnya Aceh.
3. Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni musik,
agar dapat mengetahui penyajian RAPA’I PASEE termasuk pada konteks
hiburan pada masyarakat Aceh.
8
4. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan
yang berkaitan dengan budaya daerah.
5. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain baik
mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian RAPA’I PASEE.
6. Penelitian ini akan bermanfaat untuk pengembangan seni-seni tradisional
yang dalam konteks dunia kepariwisataan di Provinsi Aceh pada
khususnya dan Indonesia secara umum.
7. Penelitian tentang RAPA’I PASEE ini akan dapat memberikan manfaat
tentang bagaimana masyarakat Aceh membumikan ajaran Islam dalam
konteks wilayah budaya etnik yang spesifik dan bijaksana (arif).
1.4 Konsep dan Landasan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep dari penelitian ini adalah mengkaji sejauh mana kesenian RAPA’I
PASEE yang mempunyai fungsi sosio budaya terhadap masyarakat di Desa Biara
Timu Kecamatan Jambo Aye Kota Panton Labu. Melalui pengkajian struktur
musik dan struktur pertunjukannya sehingga diharapkan dapat memberi
penjelasan seluas-luasnya bagi yang ingin mengetahui dan mempelajarinya.
Namun demikian oleh karena latar belakang penulis di bidang music, maka dalam
penulisan tesis ini lebih menitikberatkan pada kajian strukur musiknya saja dalam
pertunjukannya. Motif pukulan RAPA’I PASEE terdiri dari lagu sa, lagu dua, lagu
lhee, lagu limeung, lagu tujoh, lagu sikureung dan lagu duablah. Sebutan lagu
9
pada permainan RAPA’I PASEE bukanlah lagu yang mempunyai lirik atau teks
melainkan lagu tersebut adalah bentuk ritem atau motif pukulan.
1.4.2 Landasan teori
Berikut ini akan disajikan beberapa teori yang akan digunakan sebagai alat
untuk membedah berbagai masalah yang berkenaan dengan topik tulisan ini.
1.4.2.1 Teori fungsionalisme
Untuk mengkaji fungsi sosio budaya RAPA’I PASEE dalam kebudayaan
masyarakat Biara Timu Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara, khususnya di
kawasan penelitian, maka penulis menggunakan teori fungsionalisme. Teori
fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial yang
menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata)
dan kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana
susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti negara, agama,
keluarga, aliran dan pasar terwujud.
Teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi mulai dikembangkan oleh
seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu
Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia sebagai putera
keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra
Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan
yang kelak memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun 1908 ia lulus
Fakultas Ilmu Pasti dan Alam di Universitas Cracow. Yang menarik, selama
10
studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat
sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi
kepada Profesor W. Wundt di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).
Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk
menganalisis fungsi kebudayaan manusia yang disebutnya dengan teori
fungsionalisme kebudayaan atau a functional theory of culture. Ia kemudian
mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat ketika ia menjadi guru
besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang, tahun itu ia juga
meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya,
diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu
(Malinowski 1944).
Bagi Malinowski (T.O. Ihromi 2006) mengajukan sebuah orientasi teori
yang dinamakan fungsionalisme yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua
unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan
kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan
bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan
dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat
memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah
kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa
kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para
warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi
(melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan,
11
kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar tersebut
muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus
juga dipenuhi oleh kebudayaan.
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi
berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya
tentang metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya. Ketiga buku
etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya menyebabkan bahwa
konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-
pranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi
sosial dalam tiga tongkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu:
1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada
tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat,
tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada
tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan
suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang
dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan;
3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada
tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan
mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial yang
tertentu.
12
Contohnya unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan
menimbulkan kebutuhuan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerjasama dalam
pengumpulan makanan atau untuk produksi. Untuk itu masyarakat mengadakan
bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang menjamin
kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi, menurut pandangan
Malinowski tentang kebudayaan bahwa semua unsur kebudayaan akhirnya dapat
dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.
Seperti Malinowski, Arthur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955),
seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai perilaku
manusia pada konsep fungsionalisme. Tetapi berlainan dengan Malinowski,
Radcliffe-Brown (Ihromi, 2006) mengatakan bahwa berbagai aspek perilaku
sosial bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual tapi justru
timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari
suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang
ada.
Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1987:175) hanya membuat deskripsi
mengenai organisasi sosial secara umum, tidak mendetail dan agak banyak
membuat bahan mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan, dan
mitologi. Dalam mendekripsi etnografi The Andaman Islander merupakan contoh
lain dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional dimana berbagai upacara
agama dikaitkan dengan mitologi atau dongeng-dongeng suci yang bersangkutan,
pengaruh dan efeknya terhadap struktur hubungan antara warga dalam suatu
komunitas Desa Andaman yang kecil menjadi tampak jelas.
13
Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakannya
dan dapat dirumuskan mengenai upacara (Koentjaraningrat, 1987) sebagai
berikut:
1. Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung maka harus ada suatu sentimen
dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berperilaku sosial
dengan kebutuhan masyarakat;
2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan
demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat menjadi pokok
orientasi dari sentimen tersebut;
3. Sentimen itu dalam pikiran individu dalam pikiran individu warga masyarakat
sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat;
4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat
diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu;
5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa
warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam
generasi berikutnya (1922:233-234).
Radcliffe-Brown kemudian menyarankan untuk memakai istilah “fungsi
sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat atau pranata kepada
solidaritas sosial dalam masyarakat. Ia merumuskan bahwa “… the social function
of the ceremonial customs of the Andaman Islanders is to transmit from one
generation to another the emotional dispositions on which the society (as it
constituted) depends for its existence.”
14
Radcliffe-Brown juga memiliki teori yang sama dengan Malinowski, yaitu
teori fungsionalisme. Menurut beliau lebih menekankan teori fungsional
struktural. Ia mengatakan bahwa, “Berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah
berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual tapi justru timbul untuk
mempertahakan struktur sosial masyarakat dan struktur sosial masyarakat adalah
seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.”
Kedua teori fungsional ini memfokuskan fungsi-fungsi sosial budaya. Bagi
Malinowski penyebab fungsi itu adalah pada kebutuhan dasar manusia sebagai
individu-individu. Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi itu muncul untuk
memenuhi sistem sosial yang telah dibangun berdasarkan kesepakatan bersama.
Dalam konteks penelitian ini RAPA’I PASEE dalam kebudayaan
masyarakat Biara Timu Jambo Aye Aceh Utara jika dianalisis dari teori
fungsionalnya Malinowski bahwa setiap individu orang Aceh perlu
mengekspresikan perasaan keindahannya melalui seni RAPA’I PASEE. Berbagai
kegiatan dalam budaya Aceh seperti perayaan hari besar agama Islam, menyambut
para tamu, festival budaya menggunakan seni RAPA’I PASEE ini. Jadi faktor
individulah yang paling dominan menurut teori fungsionalnya Malinowski ini.
Kalau menurut teori fungsionalismenya Radcliffe-Brown, maka semua aktivitas
budaya yang melibatkan penggunaan seni RAPA’I PASEE adalah karena
memenuhi sistem-sistem sosial yang dikendalikan secara bersama oleh
masyarakat Aceh. Jadi menurut teori fungsionalisme Radcliffe-Brown, RAPA’I
PASEE timbul karena kebutuhan masyarakat secara bersama bukan karena
individu.
15
1.4.2.2 Teori analisis dan transkripsi musik
Teori analisis dan transkripsi musik digunakan sebagai sebuah proses
pentranskripsian yang merupakan langkah awal dalam kerja analisis yang
tujuannya adalah untuk mengubah bentuk bunyi musik kedalam suatu lambang
bunyi. Dalam hal ini lambang bunyi dari bentuk musik notasi RAPA’I PASEE
ditranskripsikan kedalam bentuk notasi musik barat hal ini bertujuan untuk
melihat dan memahami bunyi musik tersebut sebagai tingkah laku masyarakat
pemiliknya dalam bentuk visual. Transkripsi diperlukan untuk memvisualisasikan
apa yang didengar yang memungkinkan untuk membantu mempelajari musik
secara komparatif dan detail serta membantu untuk mengkomunikasikannya
kepada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengarnya itu7,
meskipun sesungguhnya mentranskripsikan bunyi musik kedalam bentuk
visualisasi tidak pernah bisa persis sama sebagaimana ketika musik itu disajikan.8
Demikian kira-kira gambaran umum teori yang akan penulis gunakan
nantinya dalam mengkaji fungsi sosio budaya, dan struktur musik yang
dipertunjukan dalam kesenian RAPA’I PASEE di Biara Timu Jambo Aye Aceh
Utara.
1.5 Metode Penelitian
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini berdasarkan prosedur
kualitatif. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data secara sistematis yang
7 Bruno Nettl, The study of Rthnomusicology. Twenty-nine Issues and concept (Chicago:
University Press, 1983,16) 8 pada umumnya transkripsi dipengaruhi oleh interpretasi transkriptor terhadap karakter
musik tersebut, hal ini dapat menimbulkan perbedaan pada suatu segmen musikal apabila penstrankripsian musik dilakukan oleh dua orang atau lebih. Seperti dalam artikel Torang Naiborhu: transkripsi dan analisis (Medan, Universitas Sumatra Utara, Fakultas Ilmu Budaya, 2013.)
16
didapat dari hasil pernyataan-pernyataan ataupun dalam bentuk hasil tulisan-
tulisan yang berasal dari kelompok maupun individu yang terlibat dalam kesenian
RAPA’I PASEE tersebut baik sebagai pelaku maupun pemerhati sebagai
masyarakat pendukungnya.9
Kemudian penulis menjelaskan hasil penelitian ini melalui metode
deskriptif yaitu dengan menggambarkan atau mengamati fakta-fakta yang sedang
berlangsung. Teknik pengumpulan data dan penelitian ini adalah observasi dan
wawancara. Teknik pengolahan dan analisa data digunakan metode deskripsi
kualitatif yaitu menguraikan fungsi sosio budaya dan struktur musik RAPA’I
PASEE ini sesuai dengan yang dikatakan Arikunto (2003:309-310), yaitu
penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk
mengumpulkan informasi mengenai status, satu gejala yang ada yaitu gejala
menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Adapun pengertian deskriptif
menurut Sukardi (2003:15) adalah metode yang berusaha menggambarkan objek
atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya adalah
menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang di teliti
secara tepat.
Dalam menganalisis struktur musik pada objek penelitian kesenian
RAPA’I PASEE ini, penulis melakukan metode transkripsi yang digunakan
sebagai bentuk pendokumentasian lagu-lagu yang ada dalam RAPA’I PASEE ini
kedalam bentuk notasi. Proses pentranskripsian merupakan langkah awal dalam
9Bogdan, Robert, et al, inroduction to Qualitati research metode, New york: John Wiley
and sons, inc: Hal 4.
17
kerja analisis yang tujuannya adalah untuk mengubah bentuk bunyi kedalam suatu
lambang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nettl bahwa:
Transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual atau kegiatan memvisualisasikan bunyi musik kedalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas.10
Maka dalam hal ini penulis mencoba mendapatkan transkripsi lagu-lagu
RAPA’I PASEE dengan beberapa langkah yang penulis lakukan, diantaranya
sebagai berikut:
1. Untuk mendapatkan rekaman lantunan lagu RAPA’I PASEE, penulis
merekam langsung bunyi dari pemain baik dalam proses penelitian
maupun dalam konteks pertunjukannya di berbagai even pertunjukan
kesenian lokal maupun nasional.
2. Rekaman tersebut didengarkan secara berulang-ulang agar mendapatkan
hasil yang maksimal dan kemudian ditranskripsikan ke dalam bentuk
notasi.
3. Pendekatan transkripsi yang dilakukan adalah pendekatan preskriptif, yaitu
menuliskan perjalanan melodi secara makro dan garis besar saja.
Tujuannya adalah untuk memperlihatkan bagaimana struktural umum
pukulan yang berbentuk melodi dari pola ritmis dari pertunjukan RAPA’I
PASEE tersebut.
4. Ritmis maupun melodi lagu dalam RAPA’I PASEE dituliskan dengan
notasi barat agar dapat lebih mudah dimengerti karena dalam notasi barat
tinggi dan rendahnya nada, pola ritme dan simbol-simbol terlihat lebih
10Bruno Nettl: The Study of Etnomusicology: Twenty-nines issues and Concepts
(Chicago: University Press,1983)
18
jelas ditransmisikan kepada para pembaca melalui tanda-tanda dalam garis
paranada.
Dalam proses pentranskripsian ini penulis menggunakan perangkat lunak
(software) Sibellius yang digunakan untuk membantu proses pentranskripsian agar
mengetahui bentuk ritmis pada lagu-lagu yang dimainkan dalam kesenian RAPA’I
PASEE tersebut.
Oleh karena itu, dalam hal penelitian lapangan untuk memperoleh data yang
akurat dan sistematis tersebut penulis melakukan beberapa tahapan-tahapan
sebagai langkah penyelesaian tesis ini dengan beberapa tahap yaitu melalui
pengumpulan data dan tulisan-tulisan kepustakaan sebagai sumber rujukan yang
berhubungan dengan pokok permasalahan pada topik penulisan tesis ini,
melakukan penelitian di lapangan, observasi, wawancara dan kerja laboratorium
dengan menganalisis melalui transkripsi lagu-lagu yang ada pada kesenian
RAPA’I PASEE.
1.5.1 Kajian Pustaka
Dalam rangka kerja studi kepustakaan yang berkaitan dengan penulisan
pertunjukan RAPA’I PASEE ini, maka sebagian besar digunakan buku-buku yang
secara saintifik dipandang relevan dan berkait dengan pokok masalah penelitian.
Diantara buku-buku tersebut adalah sebagai berikut.
1.5.1.1 Kajian sejarah
1. Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh yang berjudul
Budaya Aceh Provinsi Daerah istimewa Aceh tahun 2009 yang
19
didalamnya terdapat pembahasan tentang sejarah budaya Aceh dan alat
musik rapa’i. Sejarah rapa’i yang dibahas mencakup masa kesultanan
Aceh, masa penjajahan Belanda dan masa kemerdekaan yang
mempengaruhi perkembangan alat musik tradisional rapa’i di Aceh.
2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan
Daerah Istimewa Aceh yang berjudul Dampak Pengembangan Pariwisata
terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Istimewa Aceh yang berisikan
tentang budaya dan kesenian pariwisata Aceh.
3. Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, yang
berjudul “Bagaimana Islam Memandang Kesenian”(1972) yang berisikan
tentang bagaiman agama Islam memandang kesenian dari sudut
keagamaan.
4. Mohammad Said menulis buku yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (Jilid
I) yang diterbitkan tahun 2007. Buku ini berisikan tentang sejarah rakyat
Aceh sepanjang abad dan perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan
kemerdekaan rakyat Aceh. Pendekatan yang dilakukan Mohammad Said
adalah pendekatan sejarah.
5. Mohammad Said menulis buku yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (Jilid
II), buku ini berisikan tentang sejarah rakyat Aceh sepanjang abad dan
perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat
Aceh, diterbitkan tahun 2007.
6. Ali Hasymy menulis buku yang bertajuk Kebudayaan Aceh Dalam
Sejarah. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Benua di Jakarta tahun 1983.
20
Adapun isi buku ini secara umum adalah uraian mengenai kebudayaan
Aceh, filsafat-filsafatnya dan sejarah perkembangan kebudayaan Aceh.
1.5.1.2 Kajian teori
1. Alan P. Merriam menulis buku yang berjudul The Anthropology of Music,
yang berisikan tentang ilmu antropologi musik. Di dalam buku ini juga
dibahas secara mendalam bagaimana guna dan fungsi musik di dalam
kebudayaan manusia di dunia ini.
2. Bronislaw Malinowski yang berjudul “ Teori Fungsional dan Struktural”
yang berisikan tentang teori- teori fungsional dan struktural yang menjadi
acuan juga dalam merumuskan permasalahan pada pendekatan teoritis
dalam mendeskripsikan fungsi sosial budaya terhadap objek penelitian ini.
1.5.1.3 Kajian bentuk kesenian RAPA’I PASEE yang diantaranya :
1. Margaret kartomi, Musical Journey in Sumatra, 2013. Berisikan journal
tentang jenis musik yang ada di Sumatera termasuk Aceh yang
mendeskripsikan tentang bentuk seni tari dan musik di Aceh khusunya
pada beberapa bentuk kesenian yang menggunakan alat musik rapa’i.
2. Rita dewi, Rapai Pasee pada Masyarakat Aceh di Desa Lam Awe
Kecamatan Syamtalira Aron : Analisis Musik dalam Konteks Pertunjukan.
(skripsi sarjana), jurusan etnomusikologi, fakultas sastra, Universitas
Sumatera Utara, 1995 berisikan hasil penelitian tentang RAPA’I PASEE di
daerah Lam Awe, Aceh Utara sebagai masukan kajian sejarah rapa’i di
Aceh.
21
3. Dindin achmad nazmuddin, Analisis Fungsi Sosial Budaya dan Struktur
Musik Kesenian Rapa’i Geleng di Kota Banda Aceh. (tesis), jurusan
pencintaan dan pengkajian seni fakultas ilmu budaya, Universitas
Sumatera Utara, 2013. Sebagai masukan kajian sejarah rapa’i di Aceh.
1.5.1.4 Kajian Metode Penulisan
1. Arikunto, (2003:309-310), yaitu penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi
mengenai status, satu gejala yang ada yaitu gejala menurut apa adanya
pada saat penelitian dilakukan.
2. Sukardi (2003:15) adalah metode yang berusaha menggambarkan
objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya
adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek
yang diteliti secara tepat.
Inilah sebagian pustaka penting yang menjadi rujukan penulis dalam
rangka mengkaji keberadaan RAPA’I PASEE di Biara Timu, Jambo Aye Aceh
Utara. Keberadaan sumber tertulis ini menjadi dasar utama keilmuan penulis
dalam rangka meneliti dan kemudian menganalisisnya berdasarkan multidisiplin
dan interdisiplin ilmu, sebagaimana yang selama ini penulis peroleh dari kuliah di
Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Selanjutnya penulis melakukan
penelitian lapangan.
22
1.5.2 Penelitian lapangan
Penelitian lapangan (fieldwork) adalah menjadi fokus utama kegiatan
penulis dalam rangka penelitian RAPA’I PASEE di Biara Timu, Jambo Aye Aceh
Utara. Hal ini dilakukan mengacu kepada disiplin etnomusikologi dan antropologi
yang sangat mementingkan penelitian lapangan. Hal ini selaras dengan yang
dikemukakan Bandem dalam konteks kegiatan ilmuwan etnomusikologi di dunia
ini. Menurut I Made Bandem, etnomusikologi merupakan sebuah bidang
keilmuan yang topiknya menantang dan menyenangkan untuk diwacanakan.
Sebagai disiplin ilmu musik yang unik, etnomusikologi mempelajari musik dari
sudut pandang sosial dan budaya.
Sebagai disiplin yang amat populer saat ini, etnomusikologi merupakan
ilmu pengetahuan yang relatif muda umurnya. Kendati umurnya baru sekitar satu
abad namun dalam uraian tentang musik eksotik sudah dijumpai jauh sebelumnya.
Uraian-uraian tersebut ditulis oleh para penjelajah dunia, utusan-utusan agama,
orang-orang yang suka berziarah dan para ahli filologi.
Pengenalan musik Asia di dunia barat pada awal-awalnya dilakukan oleh
Marco Polo, pengenalan musik China oleh Jean-Babtise Halde tahun 1735 dan
Josep Amiot tahun 1779. Kemudian musik Arab oleh Guillaume-Andre Villoeau
hun 1809. Periode ini dipandang sebagai awal perkembangan etnomusikologi.
Masa ini pula diterbitkan ensiklopedi musik oleh Jean-Jaques Rousseau, tepatnya
tahun 1768 yang memberi semangat tumbuhnya etnomusikologi (Bandem,
2001:1-2).
23
Penelitian lapangan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah
observasi dan wawancara dengan para tokoh seniman tradisional (pelaku seni)
RAPA’I PASEE dan para pegawai pemerintah di lingkungan Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Aceh Utara. Observasi adalah pengamatan dengan cara sebagai
pengamat yang terlibat dalam kegiatan seni secara langsung. Kemudian
wawancara adalah dilakukan kepada terutama informan kunci untuk mengetahui
sejarah, fungsi sosio budaya RAPA’I PASEE dalam konteks kebudayaan Aceh.
1.5.2.1 Observasi
Observasi digunakan untuk mengetahui secara langsung bentuk penyajian
RAPA’I PASEE. RAPA’I PASEE merupakan suatu kegiatan yang dilihat langsung
dalam aspek penyajian yaitu, motif pukulan, tempo, pola ritme, variasi pukulan,
dan busana pemain RAPA’I PASEE. Dalam observasi ini penulis mempersaksikan
pertunjukan RAPA’I PASEE di beberapa peristiwa budaya terutama RAPA’I
PASEE (uroh doeng) pertandingan, di lokasi tempat tinggal pimpinan RAPA’I
PASEE desa Jambo Aye. Pentingnya melakukan observasi ini adalah untuk
melihat langsung pertunjukan dan kemudian melakukan wawancara. Selepas itu
penulis akan menganalisisnya dan melakukan penafsiran-penafsiran kultural
berdasarkan ilmu dan pengalaman yang penulis peroleh selama ini.
1.5.2.2 Wawancara
Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data atau
memperoleh informasi secara langsung bertatap muka dengan informan sehingga
24
mendapatkan gambaran lengkap tentang objek yang sedang diteliti. Wawancara
dilakukan dengan pemusik, pelatih, dan tokoh musik di Aceh maupun di luar
daerah Provinsi Aceh. Wawancara dilakukan sesuai dengan format yang telah
penulis siapkan dengan tujuan data-data yang diinginkan akan diuraikan sehingga
mendukung hasil penelitian. Hal-hal yang akan diwawancarai berkaitan dengan
dua pokok masalah, yaitu (1) fungsi sosial dan budaya RAPA’I PASEE dalam
kebudayaan masyarakatnya; dan (2) struktur musik RAPA’I PASEE.
1.5.2.3 Kerja laboratorium
Setelah pengumpulan data dilaksanakan, data penelitian ini diolah dengan
menggunakan pendekatan deskrptif kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan
sejarah, bentuk alat musik, busana pemusik, dan cara penyajian musik RAPA’I
PASEE. Seterusnya berdasarkan fakta sosial, penulis akan menganalisis guna dan
fungsi RAPA’I PASEE dalam kebudayaan masyarakat Aceh di Provinsi Aceh.
Seterusnya, sesuai dengan bidang keilmuan penulis yaitu pengkajian seni, maka
tidak lupa penulis akan mengkaji struktur musik RAPA’I PASEE.
Sebelum menganalisis pertunjukan RAPA’I PASEE terlebih dahulu penulis
mendeskripsikannya dengan menggunakan gambar dalam bentuk foto dan
dijelaskan dengan kalimat demi kalimat. Ini dilakukan untuk mempermudah para
pembaca mengerti gambaran visual yang terjadi. Demikian pula untuk mengkaji
struktur musik, penulis terlebih dahulu mentranskripsikannya dalam bentuk visual
yang merupakan pemindahan dimensi dengar ke dimensi penglihatan. Adapun
transkripsi dilakukan dengan pendekatan transkripsi preskriptif, yaitu menuliskan
25
ritem-ritem utama, tidak serinci mungkindengan demikian RAPA’I PASEE
termasuk budaya musik yang melogenic.11
1.6 Lokasi Penelitian
Dalam tulisan ini akan dibahas hasil penelitian tentang pertunjukan
RAPA’I PASEE yang dilaksanakan di daerah Biara Timu, Jambo Aye Aceh Utara.
Penetilian ini dilaksanakan di desa Biara Timu Jambo Aye Aceh Utara dengan
daftar observasi terlampir serta dilengkapi dengan foto-foto mengenai pertunjukan
RAPA’I PASEE hasil penelitian tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.
RAPA’I PASEE adalah kesenian tradisional Aceh. RAPA’I PASEE
berkembang hanya di daerah Aceh Utara saja, daerah Aceh lainnya saat ini hampir
tidak ada kesenian tersebut. Semua penduduknya beragama Islam. Masyarakat di
desa Biara Timu pada umumnya bermata pencahariannya sebagai petani,
pedagang, nelayan dan pegawai negeri.
Penelitian ini penulis lakukan di Biara Timu Kecamatan Jambo Aye,
Kabupaten Aceh Utara. Komunikasi antarpenduduk disini penulis perhatikan
menggunakan bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan
bahasa komunikasi antaretnis mereka. Masyarakat Biara Timu tidak mudah
menerima adat-adat baru dari pendatang luar karena pada umumnya mereka masih
berpijak kepada adat tradisional daerah mereka. Saat ini upacara-upacara
11Sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritme saja, bukan
menekankan kepada teks. Maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik. Musik seperti ini lebih menumpukan pertunjukan kepada aspek komunikasi, bukan lisan terutama menggunakan dimensi waktu dan ruang. Untuk mengkaji makna yang diungkapkan melalui ritme, melodi atau bunyi-bunyi lainnya diperlukan pemahaman dan penafsiran dengan cara menyelidikinya, terutama apa yang ingin dikomunikasikan pencipta musik atau senimannya, yang bisa ditelusuri melalui pikiran mereka. Melogenic (pengutamaan pada musik).
26
tradisional masih kuat melekat di kalangan mereka dalam acara adat seperti adat
perkawinan, sunat rasul, dan memperingati hari-hari besar.
Masyarakat Biara Timu tidak hanya menampilkan RAPA’I PASEE.
Namun berbagai bentuk kesenian lain seperti tari saman, rateb meuseukat, tari
rapa’i saman, tari laweut, tari ranup lampuan, tari likok puloh, tari pho, dan tari
lainnya. Alat musik RAPA’I PASEE di desa ini merupakan kesenian tradisional
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Biara Timu. Pertunjukan alat
musik musik ini berpatokan kepada tradisi karena pada umumnya masyarakat
Biara Timu menampilkan RAPA’I PASEE pada acara tertentu, seperti
memperingati hari-hari besar, kampanye politik, menyambut tamu kehormatan,
perlombaan rapa’i tunang dan acara hiburan lainnya.
Sumber data dalam penelitian ini adalah: (1) pemusik RAPA’I PASEE di
Biara Timu, Lhokseumawe, Banda Aceh, dan Medan; (2) pelatih RAPA’I PASEE
di Biara Timu, Lhokseumawe, Banda Aceh, dan Medan; (3) tokoh-tokoh pemusik
RAPA’I PASEE di Biara Timu, Lhokseumawe, Banda Aceh, dan Medan; dan (4)
para narasumber di Biara Timu, Banda Aceh, dan Medan. Dengan kerja yang
sedemikian rupa ini maka diharapkan tesis ini akan mengikuti standar penelitian
yang berlaku di Program Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara.
1.7 Alat Yang Digunakan
Alat yang digunakan untuk mendapatkan informasi yang dijadikan data
sebagai bahan dan sumber penelitian ini adalah sebagai berikut : handycam, merk
sony dan mini DV, cassette.
27
1.8 Sistematika Penulisan
Tesis ini ditulis dalam bentuk bab demi bab. Setiap bab secara saintifik
dianggap memiliki isi yang dekat. Setiap bab akan dibagi menjadi sub-sub bab.
Secara keseluruhan tesis ini dibagi ke dalam tujuh bab dengan perincian sebagai
berikut.
Pada bab I yang merupakan pendahuluan akan diisi oleh uraian mengenai
latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, (dirinci
menjadi tujuan penelitian serta manfaat penelitian), konsep dan landasan teori
dirinci menjadi konsep serta landasan teori).Teori diuraikan lagi yaitu dengan
menggunakan teori fungsi oleh Merriam dan Bruno Nettle untuk teori transkipsi
musik, metode penelitian (yang diperinci lagi menjadi studi kepustakaan dan
penelitian lapangan yang terdiri dari: observasi dan wawancara serta kerja
laboratorium), lokasi penelitian, gambaran umum lokasi penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II adalah etnografi masyarakat Jambo Aye Panton Labu, sejarah desa
Jambo Aye kota Panton Labu Aceh Utara, tinjauan geografis desa Jambo Aye
kota Panton Labu, sistem pemerintahan kota Panton Labu, masyarakat desa Jambo
Aye kota Panton Labu , stratifikasi masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu,
agama, jumlah penduduk, masyarakat kesenian desa Jambo Aye kota Panton
Labu, unsur kesenian masyarakat desa Jambo Aye kota Panton Labu, tari dan
musik.
Bab III struktur musik kesenian RAPA’I PASEE di Biara Timu Jambo Aye
Panton Labu Aceh Utara, sejarah rapa’i di Aceh, klasifikasi jenis alat musik
28
Aceh, RAPA’I PASEE diuraikan yaitu latar belakang RAPA’I PASEE, organologi
RAPA’I PASEE, bentuk kesenian RAPA’I PASEE, proses penstranskripsian, notasi
ritem (Motif pukulan) pada struktur musik RAPA’I PASEE diuraikan yaitu :
deskripsi ritem 1 (lagu sa), deskripsi ritem 2 (lagu dua), deskripsi ritem 3 (lagu
lhee), deskripsi ritem 5 (lagu limeung), deskripsi ritem 7 (lagu tujoh), deskripsi
ritem 9 (lagu sikureung), deskripsi ritem 12 (lagu duablah).
Bab IV deskripsi fungsi sosio budaya RAPA’I PASEE di Biara Timu Jambo
Aye Panton Labu Aceh Utara, bab ini dibangun oleh sub-sub bab yaitu
penggunaan dan fungsi RAPA’I PASEE, pengertian penggunaan dan fungsi
diuraikan menjadi pengertian fungsi dan pengertian penggunaan, fungsi kesenian
RAPA’I PASEE, fungsi penggungkapan emosional, fungsi penggungkapan
estetika, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi
berkaitan dengan norma sosial, fungsi kesinambungan kebudayaan dan fungsi
pengintegrasian masyarakat.
Bab V kesimpulan dan saran, menjadi kesimpulan dan beberapa saran dalam
konteks penelitian ini.
29
BAB II
ETNOGRAFI MASYARAKAT JAMBO AYE PANTON LABU
ACEH UTARA
2.1 Sejarah Desa Jambo Aye Kota Panton Labu Aceh Utara
Sejarah Aceh Utara tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan
Kerajaan Islam di pesisir Sumatera yaitu Samudera Pasai yang terletak di
Kecamatan Samudera Geudong yang merupakan tempat pertama kehadiran agama
Islam di kawasan Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh mengalami
pasang surut mulai dari zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kedatangan
Portugis ke Malaka pada tahun 1511 sehingga 10 tahun kemudian Samudera Pasai
turut diduduki hingga masa penjajahan Belanda. Secara de facto Belanda
menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menguasai benteng
pertahanan terakhir pejuang Aceh Kuta Glee di Batee Iliek Samalanga. Dengan
surat Keputusan Vander Geuvemement General Van Nederland Indie tanggal 7
September 1934. Pemerintah Hindia-Belanda membagi daerah Aceh atas 6
(enam) Afdeeling (Kabupaten) yang dipimpin seorang Asistent Resident, salah
satunya adalah Affleefing Noord Kust Van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang
meliputi Aceh Utara sekarang ditambah Kecamatan Bandar Dua yang kini telah
termasuk Kabupaten Pidie (Monografi Aceh Utara tahun 1986, BPS dan
BAPPEDA Aceh Utara).
Afdeeling Noord Kust Aceh dibagi dalam 3 (tiga) Onder Afdeeling
(Kewedanaan) yang dikepalai seorang Countroleur (Wedana) yaitu :
1. Onder Afdeeling Bireuen
30
2. Onder Afdeeling Lhokseumawe
3. Onder Afdeeling Lhoksukon.
Selain Onder Afdeeling tersebut terdapat juga beberapa daerah Ulee
Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap daerah dan
rakyatnya yaitu Wee Balang Keuretoe, Geurogok, Jeumpa dan Peusangan yang
diketuai oleh Ampon Chik. Pada masa pendudukan Jepang istilah Afdeeling
diganti dengan Bun, Onder Afdeeling disebut Gun, Zelf Bestuur disebut Sun,
Mukim disebut Kun dan Gampong disebut Kumi. Sesudah Indonesia
diproklamirkan sebagai negara merdeka, Aceh Utara disebut Luhak yang
dikepalai oleh seorang Kepala Luhak sampai dengan tahun 1949. Melalui
Konfrensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan
Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat yang terdiri dari
beberapa negara bagian. Salah satunya adalah negara bagian Sumatera Timur.
Tokoh-tokoh Aceh saat itu tidak mengakui dan tidak tunduk pada RIS tetapi tetap
tunduk pada Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus
1945. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia Serikat kembali ke
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berlaku undang-undang. Sementara
1950 seluruh negara bagian bergabung dan statusnya berubah menjadi provinsi.
Aceh yang pada saat itu bukan negara bagian, digabungkan dengan provinsi
Sumatera Utara. Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah Otonom Setingkat Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara,
terbentuklah daerah tingkat II Aceh Utara yang juga termasuk dalam wilayah
provinsi Sumatera Utara.
31
Keberadaan Aceh di bawah prvpinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa
tidak puas pada para tokoh Aceh yang menuntut agar Aceh tetap berdiri sendiri
sebagai provinsi dan tidak berada di bawah Sumatera Utara. Tetapi ide ini kurang
didukung oleh sebagian masyarakat Aceh terutama yang berada di luar Aceh.
Keadaan ini menimbulkan kemarahan tokoh Aceh dan memicu terjadinya
pemberontakan DIMI pada tahun 1953. Pemberontakan ini baru padam setelah
datang wakil perdana menteri Mr. Hardi ke Aceh yang dikenal dengan Missi
Hardi dan kemudian menghasilkan Daerah Istimewa Aceh. Dengan Keputusan
Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/ Missi / 1957 lahirlah Provinsi
Daerah Istimewa Aceh. Dengan sendirinya Kabupaten Aceh Utara masuk dalam
wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Undang Undang Nomor I
tahun 1957 dan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 1959.
Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara terbagi dalam 3 (tiga) kewedana-
an yaitu:
1. Kewedanan Bireuen terdiri atas 7 kecamatan
2. Kewedanan Lhokseumawe terdiri atas 8 Kecamatan
3. Kewedanan Lhoksukon terdiri atas 8 kecamatan
Dua tahun kemudian keluar Undang-Undang Nomor 18 tahun 1959
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU tersebut wilayah
kewedanaan dihapuskan dan wilayah kecamatan langsung di bawah Kabupaten
Daerah Tingkat II. Dengan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi
Daerah Istimewa Aceh Nomor: 07 / SK / 11 / Des/ 1969 tanggal 6 Juni 1969,
32
wilayah bekas kewedanaan Bireuen ditetapkan menjadi daerah perwakilan
Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Utara yang dikepalai seorang kepala
perwakilan yang kini sudah menjadi Kabupaten Bireuen.
Hampir dua dasawarsa kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, sebutan Kepala Perwakilan
diganti dengan Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II sehingga daerah
perwakilan Bireuen berubah menjadi Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Aceh Utara di Bireuen. Dengan berkembangnya Kabupaten Aceh Utara yang
makin pesat pada tahun 1986 dibentuklah Kotif (Kota Administratif)
Lhokseumawe dengan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1986 yang membawahi 5 kecamatan. Dan berdasarkan Kep Mendagri Nomor
136.21-526 tanggal 24 Juni 1988 tentang pembentukan wilayah kerja pembantu
Bupati Pidie dan Pembantu Bupati Aceh Utara dalam wilayah Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, maka terbentuklah Pembantu Bupati Aceh Utara di Lhoksukon,
sehingga pada saat ini Kabupaten Aceh Utara terdiri dari 2 Pembantu Bupati, 1
kota administratip, 26 wilayah kecamatan yaitu 23 kecamatan yang sudah ada
ditambah dengan 3 kecamatan pemekaran baru.
Sebagai penjabaran dari UU nomor 5 tahun 1974 pasal 11 yang
menegaskan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II
maka pernerintah melaksanakan proyek percontohan otonomi daerah. Aceh Utara
ditunjuk sebagai daerah tingkat II percontohan otonomi daerah.
Pada tahun 1999 Kabupaten Aceh Utara yang terdiri dari 26 Kecamatan
dimekarkan lagi menjadi 30 kecamatan dengan menambah empat kecamatan baru
33
berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1999. Seiring dengan
pemekaran kecamatan baru tersebut, Aceh Utara harus merelakan hampir
sepertiga wilayahnya untuk menjadi kabupaten baru, yaitu Kabupaten Bireuen
berdasarkan Undang-Undang nomor 48 tahun 1999. Wilayahnya mencakup bekas
wilayah Pembantu Bupati di Bireuen. Kemudian pada Oktober 2001, tiga
kecamatan dalam wilayah Aceh Utara, yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan
Muara Dua, dan Kecamatan Blang Mangat dijadikan Kota Lhokseumawe. Saat ini
Kabupaten Aceh Utara dengan luas wilayah sebesar 3.296,86 km2 dan
berpenduduk sebanyak 477.745 jiwa membawahi 27 kecamatan.
Aceh Utara hingga tahun 2006 memiliki 850 desa dan 2 kelurahan yang
terbagi ke dalam 56 buah mukim. Sebanyak 780 buah desa berada di kawasan
dataran dan 72 desa di kawasan berbukit. Desa yang terletak di daerah berbukit
dijumpai di 12 kecamatan. Yang paling banyak desanya di kawasan perbukitan
adalah di Kecamatan Sawang, Syamtalira Bayu, Nisam, Kuta Makmur dan Muara
Batu. Disamping itu, terdapat 40 buah desa yang berada di kawasan pesisir.
Aceh Utara yang beriklim tropis, musim kemarau berlangsung antara bulan
februari sampai agustus sedangkan musim penghujan antara bulan september
sampai Januari. Suhu dimusim kemarau rata-rata 32,8 C dan pada musim
penghujan rata-rata 28 C.
Flora dan fauna, flora yang terdapat di daerah ini terdiri dari berbagai jenis
tumbuh-tumbuhan antara lain: kayu merbau, damar, damar laut, semantok,
meranti, cemara, kayu bakau, rotan dan sebagainya. Semua jenis tumbuh-
tumbuhan hidup subur dikawasan hutan merupakan kekayaan dan potensi yang
34
dapat mendukung pembangunan ekonomi jika mampu dikelola dengan baik tanpa
merusak kelestarian alam dan lingkungan.
Sedangkan fauna Aceh Utara juga memiliki kekayaan dengan berbagai
jenis hewan liar seperti gajah, harimau, badak, rusa, indus kijang, orang hutan,
babi, ular dan lain-lain sebagainya.
2.2 Tinjauan geografis desa Jambo Aye kota Panton labu Aceh Utara
Gambar-2.1. Peta Kabupaten Aceh Utara
Kabupaten Aceh Utara merupakan bagian dari Provinsi Aceh yang berada
di sebelah utara. Berdasarkan peta bakosurtanal skala 1 : 50.000, maka secara
geografis Kabupaten Aceh Utara terletak pada posisi 960 47’ – 970 31’ Bujur
Timur dan 040 43’ – 050 16’ Lintang Utara. Batas wilayah Kabupaten Aceh Utara
dengan wilayah lainnya adalah:
35
- Sebelah utara
- Sebelah timur
- Sebelah selatan
- Sebelah barat
:
:
:
:
Kota Lhokseumawe
Kabupaten Aceh Timur
Kabupaten Bener Meuriah
Kabupaten Bireuen
Luas wilayah Kabupaten Aceh Utara yang tercatat adalah 3.296,86 km2, atau
329.686 Ha. Dengan panjang garis pantai 51 km, dan kewenangan kabupaten
adalah sampai 4 mil laut, maka luas wilayah laut kewenangan ini adalah 37.744
Ha atau 3.774,4 km2. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 2.1. Luas wilayah Kecamatan di Kabupaten Aceh Utara
No Kecamatan Luas Wilayah (Km2) Persentase
1 Sawang 384,65 11,67
2 Nisam 42,74 3,48
3 Nisam Antara 84,38 2,56
4 Bandar Baro 42,35 1,28
5 Kuta Makmur 151,32 4,59
6 Simpang Keramat 79,78 2,42
7 Syamtalira Bayu 77,53 2,35
8 Geurudong Pase 269,28 8,17
9 Meurah Mulia 202,57 6,14
10 Matang Kuli 56,94 1,73
11 Paya Bakong 418,32 12,69
12 Pirak Timu 67,70 2,05
13 Cot Girek 189,00 5,73
14 Tanah Jambo Aye 162,98 4,94
36
15 Langkahan 150,52 4,98
16 Seunuddon 100,63 3,05
17 Baktiya 158,67 4,81
18 Baktiya Barat 83,08 2,52
19 Lhoksukon 243,00 7,37
20 Tanah Luas 30,64 0,93
21 Nibong 44,91 1,36
22 Samudera 43,28 1,31
23 Syamtalira Aron 28,13 0,85
24 Tanah Pasir 20,38 0,62
25 Lapang 19,27 0,58
26 Muara Batu 33,34 1,01
27 Dewantara 39,47 1,20
Kabupaten 3.296,86 100,00
Sumber Data : Aceh Utara Dalam Angka 2012
2.3 Sistem Pemerintahan Kota Panton Labu
Kabupaten Aceh Utara dipimpin oleh seorang bupati dan mempunyai wakil
bupati, secara admisnistrasi pemerintahan Aceh Utara diatur oleh seorang
sekretatis daerah (Sekda) kota dengan sistim pemerintahan sesuai dengan undang-
undang pemerintah republik Indonesia.
37
2.4 Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu
2.4.1 Stratifikasi masyarakat desa jambo aye kota Panton Labu
Berdasarkan pendekatan historis baik pada sebelum maupun sesudah
kemerdekaan, stratifikasi masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat
dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan umara dan golongan ulama.
Pada zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia Umara dapat diartikan
sebagai pemerintahan atau pejabat pelaksana pemerintahan dalam satu unit
wilayah kekuasaan, contohnya seperti jabatan sultan yang merupakan pimpinan
atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, ulee balang sebagai
pimpinan unit pemerintah nanggro (negeri), panglima sago (Panglima Segi) yang
memimpin unit pemerintah segi, Kepala mukim yang menjadi pimpinan unit
pemerintah mukim dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit
pemerintah gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas,
dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagi lapisan
pimpinan adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler. Hal ini
berlaku juga di Kota Panton Labu. Namun dalam perkembangannya saat setelah
perang kemerdekaan usai dan Indonesia sebagi sebuah negara merdeka dan
berdaulat, mempunyai tata pemerintahannya sendiri dalam hal ini kedudukan
sultan, ulee balang maupun panglima sagoe ditiadakan karena Aceh termasuk
dalam wilayah negara kesultanan Republik Indonesia yang semuanya diatur oleh
sistem pemeritahan Republik Indonesia berdasarkan undang-undang 1945 melalui
Departemen Dalam Negeri sedangkan bentuk pimpinan unit pemerintah seperti
imeum, mukim, keuchik, kepala gampong dan sebagainya merujuk pada undang-
38
undang otonomi khusus dan keistimewaan daerah Aceh. Sementara kedudukan
geuchik, kepala mukim, tuha peut masih dipertahankan sebagai sistem
pemerintahan tradisional dilapisan bawah masyarakat yang setara dengan lurah,
kepala dusun, dan sebagainya.
2.4.2 Agama
Mayoritas penduduk kota Panton labu merupakan penganut agama Islam.
Meskipun yang dominan adalah pemeluk agama Islam, namun kita juga dapat
menjumpai beberapa tempat ibadah bagi agama-agama non-muslim sepeti Gereja
dan Klenteng di tempat tertentu dan terbatas.
2.4.3. Jumlah penduduk kota Panton Labu
Menurut data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berdasarkan
laporan kependudukan Kota Panton Labu, menurut jumlah kartu keluarga, jumlah
penduduk dan jumlah wajib KTP pada bulan April 2014 diperoleh data jumlah
penduduk kota Panton labu keseluruhan adalah berjumlah 41.032.
2.4.4. Masyarakat kesenian di desa Jambo Aye kota Panton Labu
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah sekumpulan manusia yang dalam
kehidupannya melakukan kerjasama secara kolektif karena saling ketergantungan
sosial diantara mereka12, kesenian merupakan hasil karya, karsa, dan cipta
manusia baik berupa wujud maupun gagasan atau ide yang mengandung unsur
12 M.takari,dkk, op.cit hal, 1
39
keindahan yang digunakan dalam kehidupan manusia. Maka masyarakat kesenian
di Kota Panton Labu adalah sekelompok masyarakat yang beraktifitas dibidang
kesenian baik sebagai pelaku maupun sebagai penontonnya yang ada di Kota
Panton Labu dan di kelompokkan menjadi dua kelompok masyarakat kesenian,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat kesenian yang ada pada masyarakat umum, di sekitar Kota
Panton Labu (gampong, desa, ataupun kecamatan) seperti sanggar-sanggar,
komunitas-komunitas seni dan sebagainya, misalnya Sanggar Jeumpa Aceh
dan Sanggar Pocut Meurah Insen.
2. Masyarakat kesenian yang ada di institusi sekolah (SD,SMP,SMA), dan
perguruan tinggi (seperti sanggar seni sekolah, atau unit kegiatan
mahasiswa).
2.4.5. Unsur Kesenian Masyarakat Desa Jambo Aye Kota Panton Labu
2.4.6 Tari
a. Tari Ranup Lampuan
Tari ranup lampuan adalah salah satu tarian tradisional Aceh yang
ditarikan oleh para wanita. Tarian ini biasanya ditarikan untuk penghormatan dan
penyambutan tamu secara resmi. Ranup dalam bahasa Aceh yaitu sirih,
sedangkan puan yaitu Tempat sirih khas Aceh. Ranup lampuan bisa diartikan
"Sirih dalam Puan". Sirih ini nantinya akan diberikan kepada para tamu sebagai
tanda penghormatan atas kedatangannya.
b. Tari Likok Pulo
40
Tarian likok pulo ini lahir sekitar tahun 1949 yang diciptakan oleh seorang
ulama berasal dari Arab yang tinggal di Pulo Aceh, yaitu salah satu kecamatan di
Kabupaten Aceh Besar. Tarian ini pada hakekatnya adalah zikir kepada Allah
SWT dan selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Gerakan tarian pada prinsipnya
ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman atau kesetaraan dengan
memfungsikan anggota tubuh bagian atas, tangan sama-sama ke depan, ke
samping kiri atau kanan, dari depan ke belakang, keatas dan kebawah, dengan
tempo yang lambat hingga cepat. Tarian ini membutuhkan energi yang tinggi.
c. Tari Tarek Pukat
Tarek Pukat ini menggambarkan aktifitas para nelayan yang menangkap
ikan di laut. Tarek yang berarti "Tarik", dan pukat adalah alat sejenis jaring yang
digunakan untuk menangkap ikan.
d. Tari Rapa’i Geleng
Rapa`i geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di pesisir
pantai selatan. Nama rapa`i diadopsi dari nama Syeik Ripa`i yaitu orang pertama
yang mengembangkan alat musik pukul ini. Permainan rapa`i geleng juga
disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman dalam hal
kerjasama, kebersamaan dan penuh kekompakan dalam lingkungan masyarakat.
Tarian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang
dinyanyikan. Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral
41
kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam
masyarakat sosial.
e. Tari Saman
Syair dalam tarian saman mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh
ataupun Gayo. Pada masa lalu, tari saman biasanya ditampilkan untuk merayakan
peristiwa - peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh. Selain itu biasanya
tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pada kenyataannya, nama "Saman" diperoleh dari salah satu ulama besar Aceh,
Syech Saman. Tari saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat
musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka
yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka
sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini
dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. Karena
keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam
menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi
yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini
khususnya ditarikan oleh para pria.
f. Tari Laweut
Sebelum sebutan Laweut dipakai, tarian ini mulanya disebut "Seudati
Inong", karena tarian ini khusus ditarikan oleh para wanita. Gerak tarian ini, yaitu
penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki
42
pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton,
memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada,
kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.
g. Tari Pho
Perkataan Pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau
meratap. Pho adalah panggilan atau sebutan penghormatan dari rakyat. Hamba
kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum
disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita. Dahulu biasa
dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja yang didasarkan atas
permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena
ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi
ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan
pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan
pada upacara-upacara adat.
h. Tari Seudati.
Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan
ratoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat
menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang syahi
berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan
group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan
tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang dibawakan pada
43
beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki
ke tanah.Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di
bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan
suara getar dan gema.
2.4.7 Musik
a. Serunee Kalee
Serune kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet
terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat
ini terbuat dari kayu nangka, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar
menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup
yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. Serune ini mempunyai 7 buah
lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari
tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari
kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan
bersama genderang dan rapa’i dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi
tarian-tarian tradisional.
b. Gendang (Geundrang)
Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi
sebagai alat musik tradisional yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune
kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara
lainnya.
44
Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan
gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder
sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan
lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing yang sebelumnya telah dibuat
ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya.
Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat
dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri.
Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada
ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.
c. Rapa’i
Rapa’i merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama
halnya dengan gendang. Rapa’i dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang
tuwalang) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang
telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas daripada
bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya
dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan
yang dibalut dengan kulit (penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut seudak). Rapa’i
digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang
berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan
tradisional yaitu debus. Memainkan rapa’i dengan cara memukulnya dengan
tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan
rapa’i disebut syeh atau kalifah.
45
BAB III
STRUKTUR MUSIK KESENIAN RAPA’I PASEE:
DI BIARA TIMU JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA
3.1 Sejarah Rapa’i di Aceh
Sejarah masuknya alat musik rapa’i ini telah ada sekitar abad XIII seiring
masuknya agama Islam di Aceh yang kemudian menjadi media dakwah dalam
penyebaran Agama Islam dimasa kerajaan Islam pertama di nusantara yaitu
Samudera Pasai yang dipimpin Raja Islam pertama yaitu Sultan Malikul Saleh di
daerah Pasai (Pase, Aceh Utara), yang kemudian berkembang menjadi suatu
kesenian yang mempunyai fungsi sosial budaya pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda. Alat musik rapa’i ini merupakan hasil akulturasi budaya Islam
yang masuk ke daerah Aceh sekitar abad XIII, yang dibawa oleh para ulama dan
saudagar Islam dari Timur Tengah melalui jalur perdagangan dunia yang melintasi
asia tengah dan selatan seperti Pakistan, India, dan sebagainya. Kemudian menjadi
alat penyebaran Agama Islam di seluruh Aceh dan Nusantara.
Pada awalnya budaya alat musik rapa’i dibawa oleh seorang ulama besar
Islam Syekh Abdul Qadir Zailani. Beliau meneruskan ajaran Islam dari seorang
ulama ahli tasawuf yang berasal dari Baghdad, Irak bernama Syekh Ahmad Rifa’i
yang kemudian ulama ini terkenal dengan aliran tasawuf ‘’rifaiyyah’’. Pada
zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda, alat musik ini sering digunakan untuk
keperluan penyambutan tamu kerajaan sehingga menjadi budaya masyarakat
Islam di Indonesia. Hal ini dapat kita lihat pada banyaknya ragam alat musik
perkusi sejenis rebana di nusantara ini yang bentuknya hampir menyerupai rapa’i.
46
Bahkan hampir semua instrumen tersebut digunakan untuk mengiringi
perayaan hari besar keagamaan agama Islam seperti Maulid Nabi (hari kelahiran
Nabi Muhammad), Isra Mi’raj (perjalanan nabi Muhammad dari mesjidil Haram
ke Masjidil Aqsa), hingga Sidratul Munthaha atau langit ke tujuh untuk menerima
perintah shalat dari Allah SWT) dalam hal tersebut selalu dilantunkan Shalawat
Nabi (memuliakan dan mendoa’kan) terhadap Nabi Muhammad beserta
keluarganya.
Nama rapa’i sendiri diambil dari seorang ulama besar di Arab yang
mensyiarkan Islam melalui dakwah yang cara berdakwahnya menggunakan alat
musik berbentuk frame drum (perkusi sejenis rebana dengan satu permukaan yang
dimainkan dengan cara dipukul atau ditepuk) yang kemudian disebarkan oleh para
pengikut aliran tasawuf rifa’iyyah (lihat Snouck Hugronje 1994:2:216-247).
Dalam sebuah pantun Aceh disebutkan bahwa rapa’i diperkenalkan oleh seorang
ulama besar Islam kelahiran Persia, yaitu Syekh Abdul Qadir Zailani atau lebih
dikenal dengan sebutan Bandar Khalifah (1077-1166). Beliau pertama kali datang
ke Aceh mendiami sebuah kampung yaitu Kampong Pande yang sekarang
letaknya berada sekitar kecamatan Mesjid Raya, wilayah kabupaten Aceh Besar.
Bentuk rapa’i di Aceh pada awalnya mirip seperti alat musik rebana dengan
satu permukaan yang terbuat dari kayu yang dilapisi oleh kulit kambing atau
lembu yang digunakan sebagai pengiring meu-dike (berdzikir) untuk
menyemangati para pengikut ajaran Islam agar selalu kepada Allah sebagai Tuhan
yang menguasai seluruh alam dan sebagai sosialisasi ajaran agama Islam pada
masa itu. Hal ini dapat terlihat pada penyebaran Islam di kerajaan Islam pertama
47
di Nusantara yaitu Samudera pasai yang berada di daerah Lhokseumawe Aceh
bagian Utara, dengan rajanya yang bernama Sultan Malik Al- Saleh.
Maka sebagai bentuk kebudayaan penyebaran Islam tersebut dinamailah
rapa’i tersebut dengan nama RAPA’I PASEE karena berada di sekitar daerah pase
(dahulu terkenal dengan nama Samudera Pasai, sebuah kerajaan Islam pertama di
Nusantara), sebagai media dakwah yang dianut oleh aliran tarekat sufi sebagai
jalan untuk mendekatkan diri terhadap Allah SWT Tuhan yang menguasai alam
semesta dalam masyarakat Islam dalam setiap lantunan dzikir dengan bentuk
nyanyian yang diiringi oleh tabuhan rapa’i tersebut.
Tentang rapa’i juga dituliskan dalam beberapa karya Sastra Aceh yang
dituliskan oleh beberapa ulama yang datang dan menetap di Aceh pada sekitar
abad 16 dan Abad 17, salah satunya adalah ulama dan sastrawan besar melayu
yaitu Hamzah Fansuri. Beliau mempelajari Islam dengan aliran Qadariyah yang
ada di Arab yang kemudian disebarkan di Aceh yang kemudian aliran ini diikuti
oleh ulama-ulama lain seperti Ahmad Qushashi dan Muhammad Saman yang
berdakwah sekitar tahun 1661 (Snouck Hugronje 1906,2 : 216). Kemudian
penyebaran Islam dilanjutkan oleh seorang ulama yang masih keluarganya yaitu
Syekh Abdurrauf Assingkili yang kemudian ulama ini terkenal di Aceh dengan
sebutan Syah Kuala (nama tersebut sampai sekarang dipakai sebagai nama sebuah
Universitas di Banda Aceh). Syekh Abdurrauf tidak saja menghasilkan suatu
ajaran yang memberikan suatu bentuk kebudayaan seni Islam di Aceh yang
dikenal dengan “dike” (dzikir). Dalam salah satu syair sastra Aceh tentang rapa’i
dijelaskan sebagai berikut :
48
Dilanget Manyang Bintang Meuble ble
Cahya ban kande leumah u bumoe
Asai rapai bak syekh abdul kade
Masa nyan lahe peutren u bumoe
Artinya:
(dilangit tinggi bintang berbinar-binar)
Cahaya seperti lilin memancar ke bumi
Asal Rapa’i dari syekh Abdul kadir
Inilah yang sah pencintanya lahir ke bumi)
Dalam syair teks ini mengandung makna bahwa rapa’i mempunyai peran
yang sangat penting sebagai kesenian yang saat itu popular di masyarakat sebagai
media dakwah syiar Islam yang menerangi masyarakat Aceh pada saat itu berada
pada masa kebodohan menjadi masyarakat yang cerdas dan menjadikan sebuah
bangsa yang gemilang dengan sinar Islam. Dijelaskan pula bahwa asal rapa’i
dibawa oleh ulama Syekh Abdul Qadir Zailani sebagai penciptanya dan
mengenalkannya kepada seluruh dunia.
Kata rapa’i sendiri mengandung beberapa pengertian yang dipahami oleh
masyarakat Aceh sebagai berikut:
a. Rapa’i diartikan sebagai alat musik pukul yang dibuat dari kayu nangka
atau kayu merbau, sedang kulitnya dari kulit kambing yang telah diolah.
Badan rapa’i sendiri disebut baloh. Dilihat dari perangkat besar kecilnya
ukuran, rapa’i ini dapat dibedakan menjadi beberapa jenis.
b. Rapa’i diartikan sebagai grup permainan yang terdiri dari antara 8 sampai
12 orang atau lebih yang disebut awak rapa’i.
c. Rapa’i diartikan sebagai bentuk permainan kesenian rapa’i itu sendiri.
49
Pada abad 17 para ulama memilih cara berdakwah dengan bentuk kesenian
dan menerapkan budaya Islam yang egaliter dan demokratis, hal ini menjadikan
Agama Islam lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat Islam di Aceh
pada masa itu. Salah satu ulama besar yaitu Syekh Muhammad Saman berdakwah
dengan memperkenalkan seni meu-rateb. Cara berdakwah ini mengajarkan pada
umatnya untuk selalu mengingat Allah. Dalam melakukan meu-rateb ini sambil
melakukan gerakan badan dan kepala dengan mengangguk-angguk sambil
berdzikir sebagai bentuk totalitas untuk mengingat Allah. Cara ini kemudian
berkembang menjadi suatu jenis tarian yang sangat dikenal seperti ratoh duek
(yang menyebar didaerah Aceh pesisir) dan saman (yang menyebar didataran
tinggi Gayo).
Pada awalnya kedua jenis tarian ini tidak menggunakan alat musik rapa’i
sebagai pengiring tariannya. Namun seiring perkembangannya mendapat
pengaruh iringan rapa’i di sekitar Aceh Barat dan Selatan sebagai pengaruh
RAPA’I PASEE dari Aceh Utara yang kemudian penyebaraannya di daerah Aceh
bagian Barat dan Selatan melahirkan jenis kesenian campuran antara seni tari dan
musik yang dikenal dengan seni rapa’i saman.
3.2 Klasifikasi Jenis Musik Aceh
Dalam jenis pengiring musiknya ada yang menggunakan tubuh yang
digunakan sebagai musik pengiringnya (body percussion) dan ada yang
menggunakan alat musik sebagai pengiringnya seperti vokal, rapa’i, geundrang
dan serune kalee. Alat musik tradisional Aceh apabila diklasifikasikan menurut
50
sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel adalah seperti terlihat pada tabel
berikut13:
Tabel-3.1. Alat Musik Tradisional Aceh
No Jenis klasifikasi Nama alat musik
Deskripsi keterangan
1.
Chodophone
a. Arbab
Sejenis lute berleher
panjang, terbuat dari
bahan tempurung
kelapa, kulit kambing
sebgai membran,kayu
sebagai badan dan
senar dari bahan ijuk.
Fungsi dalam
musik sebagai
pembawa
melodi
b. Biola
Aceh
Sejenis lute berleher
pendek, yang
dimainkan secara
digesek (seperti biola)
berasal dari Eropa
penamaan Aceh lebig
menitik beratkan
kepada gaya
permainannya saja.
Fungsi dalam
musik sebagai
pembawa
melodi
banyak
dijumpai
didaera pidie.
a. Bangsi
alas
Sejenis rekorder yang
terbuat dari bahan
bambu, dengan
panjang 40 cm
Berasal dari
daerah
pegunungan
alas
13Rita Dewi, rapa’i pasee pada masyarakat Aceh di Desa Lam Awe Kecamatan Syamtalira
Aron:analisis musik dalam konteks pertunjukan, skripsi sarjana,1995
51
2
Aerophone
b. Bebelen
Sejenis aerofon reed
tunggal, lima lubang
benada, dan ujungnya
memiliki bell.
Berasal dari
Aceh selatan
c. Bensi
Sejenis rekorder
terbuat dari bahan
bambu.
Berasal dari
aceh selatan
d. Bereguh
Sejenis terompet,
terbuat dari tanduk
kerbau
Dijumpai di
daerah Aceh
Besar, Pidie,
Aceh Utara.
e. Buloh
perindu
Sejenis aerophone
dengan lida
tunggal,terbuat dari
bambu.
f. Lole Sejenis aerophone
berlidah ganda, dari
bahan batang padi
Berasal dari
Aceh selatan
g. Serune
kalee
Sejenis sarunai
(shawm), sejenis
terompet berlidah
ganda bahan dari kayu
dengan 6 lubang nada.
Terdapat di
Aceh pesisir
utara, timur
dan barat.
a. Canang
Kayu
Sejenis xylophone,
terbuat dari bahan
kayu,berbentuk bilah.
52
3
Idiophone
b. Canang
trieng
Sejenis xylophone,
terbuat dari bahan
bambu
Alat ini sangat
terkenal
diseluruh
Aceh.
4
Membranophone
a. geun-
derang
Sejenis gendang barrel
dengan dua sisi yang
dipukul dengan satu
stik untuk bagian
bawah dan satu tangan
bagian atas.
Berasal dari
dataran tinggi
Gayo
biasanya
untuk
mengiringi
tari guwel di
Gayo.
b. Rapa’i Sejenis perkusi
(Rebana) satu sisi
Biasanya
ditampilkan
untuk
mengiringi
tari
persembahan
(ranuo
lampuan),
likok
pulo,geleng
dan daboh.
Banyak
dijumpai di
hampir
seluruh Aceh.
53
3.3 RAPA’I PASEE
3.3.1 Latar Belakang RAPA’I PASEE
Nama RAPA’I PASEE diambil dari nama kerajaan Samudra Pasai dan
sekarang sudah menjadi nama suatu daerah dikabupaten Aceh Utara. RAPA’I
PASEE hanya ada di wilayah Aceh Utara saja berkembang di desa-desa pada Kota
Lhokseumawe, Geudong, Alue Ie Puteh, dan Panton Labu. Salah satu desa yang
melestarikan sampai sekarang yaitu Desa Biara Timu Kecamatan Jambo Aye Kota
Panton Labu. RAPA’I PASEE berukuran besar (digantung) biasanya di bawah
kolong muenasah14 beratnya 20-50 kg yang berfungsi sebagai induk dan
mempunyai gelar tersendiri sebagai kebangaan dari group tersebut contohnya :
rapa’i raja kuning. Unit besar terdiri dari 30 buah rapai, unit sedang 15 buah,
sedangkan unit kecil terdiri dari 10-12 buah.
RAPA’I PASEE digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara
terutama yang berhubungan dengan keagamaan, hari-hari besar Islam, tamu
kehormatan, kampanye politik dan permainan/perlombaan kesenian tradisional.
Memainkan rapa’i dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya
dimainkan oleh kelompok (group). Didalam satu grup ada seorang pemimpin
permainan rapa’i disebut syeh. RAPA’I PASEE tidak mempunyai tangga nada dan
tidak ada nyanyian suara vokal serta gerakan tarian yang berpola. RAPA’I PASEE
hanya sebagai ritme (tempo) oleh Penaboh15. RAPA’I PASEE mempunyai
keunikan gema suaranya yang besar. Suaranya dapat didengar dari satu desa
14Meunasah : tempat beribadah umat islam didesa biasanya terbuat dari kayu dan tinggi. 15Orang yang memukul alat musik Rapa’i pasee.
54
sampai kedesa lainnya. RAPA’I PASEE mempunyai dua warna suara (timbre)
yaitu dum dan teng16.
RAPA’I PASEE mempunyai ukiran di pinggiran kayunya yang disebut
larik17. Setiap larik mempunyai makna, larik satu bermakna siang dan malam,
larik lima bermakna rukun Islam ada lima perkara, larik tujuh bermakna seminggu
ada tujuh hari dan ada satu garis besar menandakan hari jumat dilarang untuk
memukul rapa’i dan larik delapan ada empat garis besar dan empat garis kecil
bermakna yaitu tuha peut dan tuha lapan orang yang dituakan atau penasehat
dalam sebuah desa setempat18. Dalam masyarakat Aceh kesenian sebuah ajang
untuk menguatkan tali persaudaraan antar masyarakat Aceh dan silaturahmi
seperti ajaran dalam Agama Islam.
3.3.2 Organologi RAPA’I PASEE
Organologi mempunyai maksud sebagai gambaran tentang bentuk dan rupa
susunan pembangun konstruksi suatu alat musik sehingga dapat menghasilkan
suara. Organologi dalam istilah musik merupakan ilmu alat musik, studi mengenai
alat-alat musik. Organologi muncul sejak abad 16 oleh Sebastian Virdung dalam
bukunya yang berjudul Musica Getuscht und Ausgezogen (1511). Martin Agricola
dalam bukunya yang berjudul Instrumentalis Deudsch (1929).
Berikut gambar RAPA’I PASEE beserta penjelasan secara organologi :
16Dum untuk suara rendah dan teng untuk suara sedang atau tinggi. 17Larik garis melingkar dipinggiran baloh (kayu) yang jumlahnya berbeda –beda . 18Hasil wawancara dengan Hasbullah, S. Pd
55
Gambar 3.1. Skema ukuran RAPA’I PASEE
a. Baloh (Kayu) yang diambil dari batang kayu yang namanya tuwalang
mempunyai panjang 16 inch dan lebar 15 inch, menurut sejarah dari
narasumber19 bahwa dahulu cara memotong kayu untuk pembuatan RAPA’I
PASEE harus dengan syarat dan tata cara tertentu, yaitu dengan melakukan
puasa sunat senin kamis dan melakukan pesijuk (tepung tawar) berdoa dan
memohon kepada Allah SWT agar diberikan petunjuk dan kebenaran sehingga
alat musik rapa’i dapat dipergunakan untuk jalan kebenaran. Adapun yang
dipotong bukan batang kayu tuwalang melainkan akar yang besar di pinggiran
pohon tersebut. Oleh karena itu dahulu pohon besar dihutan tetap terjaga
karena bukan pohon yang ditebang melainkan hanya memotong pingggiran
akar dari pohon tuwalang.
19Hasil wawancara dengan tengku Razali pemimpin sanggar jeumpa Pasee.
56
Gambar 3.2. Baloh (Kayu)
b. Kulet (kulit membran) kulit diambil dari kulit lembu pilihan mempunyai
diameter 32 inch dan bervariasi dari 30 inch sampai 36 inch. Pembuat RAPA’I
PASEE mengumpulkan kulit dan membelinya hanya setahun sekali disaat Hari
Raya Idul Adha dan hari Raya Qurban pada umat Islam. Kulit tersebut dijemur
dan disimpan serta diolah untuk dipasang pada baloh RAPA’I PASEE.
Gambar 3.3. Kulet (Kulit)
BALOH
kulet
57
c. Pengapet dan seudak RAPA’I PASEE terbuat dari bambu lentur yang fungsinya
untuk mengikat kulit dengan baloh agar kuat dan menghasilkan suara yang
bagus. Seudak ada di pinggiran dalam kulit yang berfungsi juga sama untuk
membuat kulit ketat dan menghasilkan suara nyaring.
Gambar 3.4. Pengapet (Seudak)
d. Larek (Garis) terdapat dipinggiran kayu RAPA’I PASEE untuk menjelaskan
makna larik yang ada pada RAPA’I PASEE. Penulis sudah mencari sumber
data baik pada buku-buku di perpustakaan Banda Aceh dan buku-buku
karangan sekarang tidak ditemukan lagi pembahasan tentang makna larik.
Satu-satunya sumber sekarang adalah seorang narasumber Hasbullah yang
pernah menjabat sebagai kabid kebudayaan kota Lhokseumawe. Beliau aktif
dalam berbagai kegiatan kesenian di Aceh dalam rentang waktu 1985-2014.
Beliau banyak mendapat wawasan seni dengan seniman senior Aceh melalui
ucapan-ucapan dan cerita-cerita (tradisi lisan). RAPA’I PASEE mempunyai
kayu yang disebut baloh yang terbuat dari batang pohon kayu tuwalang. Pada
PENGAPET/SEUDAK
58
baloh tersebut terdapat larik (garis-garis hiasan) dan larik tersebut mempunyai
makna diantaranya sebagai berikut: RAPA’I PASEE mempunyai ukiran di
pinggiran kayunya yang disebut larik20. Setiap larik mempunyai makna, larik
satu bermakna siang dan malam, larik lima bermakna rukun Islam ada lima
perkara, larik tujuh bermakna seminggu ada tujuh hari dan ada satu garis besar
menandakan hari jumat dilarang untuk memukul rapa’i dan larik delapan ada
empat garis besar dan empat garis kecil bermakna yaitu tuha peut dan tuha
lapan orang yang dituakan atau penasehat dalam sebuah desa setempat21.
Gambar 3.5. Larik (garis)
20Larik garis melingkar di pinggiran baloh (kayu) yang jumlahnya berbeda –beda . 21Hasil wawancara dengan Hasbullah, S. Pd
LARIK
59
3.3.3 Bentuk kesenian RAPA’I PASEE
Gambar 3.6. Format Posisi pemain RAPA’I PASEE
Menurut pakar seni budaya wilayah Aceh utara saudara Hasbullah bahwa
RAPA’I PASEE adalah alat musik tradisional Aceh (uroh doeng). Maksudnya alat
musik yang dimainkan secara berdiri dan masyarakat menampilkan RAPA’I
PASEE secara (tunang) yaitu lawan antara satu grup desa dan satu grup desa
lainnya. Setiap satu grup atau lawan harus dapat bermain RAPA’I PASEE ini
dengan menghasilkan suara yang besar, membuat variasi pukulan dan dapat
bertahan selama waktu yang ditentukan. Bentuk penampilan RAPA’I PASEE pada
60
sebuah pertunjukan terdiri dari jenis pukulan yang berurutan. Pemain RAPA’I
PASEE memainkannya sambil berdiri. Penampilannya dalam sebuah ansambel
(grup) biasanya satu grup terdiri dari jumlah pemain terkecil 15 0rang dan terbesar
sampai 60 orang. Pertunjukan RAPA’I PASEE dalam sebuah grup mempunyai
pembagian tugas dalam memainkan alat musik tersebut yaitu :
a. Syeh
Sebutan untuk pemimpin grup RAPA’I PASEE dan bertugas sebagai
pemberi isyarat saat awal permulann lagu dan peralihan lagu satu ke lagu
selanjutnya. Posisi berdiri syeh dibarisan paling depan.
b. Rando
Sebutan untuk pemain RAPA’I PASEE yang bertugas memainkan
pukulan/ritem dasar tanpa motif variasi. Posisi berdiri rando ada disetiap baris.
c. Canang
Sebutan untuk pemain RAPA’I PASEE yang bertugas memainkan
pukulan/ritem variasi atau motif berbeda dari pukulan dasar. Posisi berdiri canang
di baris kedua ditengah-tengah.
Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa syeh, rando dan canang
untuk pemain RAPA’I PASEE mempunyai peran penting dalam sebuah
pertunjukan RAPA’I PASEE agar dalam penampilan RAPA’I PASEE dapat
terpenuhi komposisi struktur musiknya.
Bentuk pukulan/ryhtem RAPA’I PASEE terdiri dari tujuh motif untuk urutan
permainan ryhtem pada RAPA’I PASEE. Adapun urutannya sebagai berikut :
61
1. Lagu sa (lagu satu)
2. Lagu dua (lagu dua)
3. Lagu lhee (lagu lhee)
4. Lagu limeung (lagu limong)
5. Lagu tujoh (lagu tujoh)
6. Lagu sikureung (lagu sembilan)
7. Lagu duablah (lagu dua belas)
3.4 Proses Pentranskripsian
Proses pentranskripsian merupakan langkah awal dalam kerja analisis
yang tujuannya adalah untuk mengubah bentuk bunyi musik ke dalam satu
lambang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nettl bahwa:
“transkripsi adalah proses menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual atau kegiatan memvisualisasikan bunyi musik kedalam bentuk notasi dengan cara menulisnya ke atas kertas”22.
Maka dalam hal ini penulis mencoba mendapatkan transkripsi lagu-lagu
RAPA’I PASEE dengan beberapa langkah yang penulis lakukan, diantaranya
sebagai berikut:
1. Untuk mendapatkan rekaman motif pukulan RAPA’I PASEE, penulis
merekam langsung motif pukulan dari pelaku (syeh) baik dalam proses
penelitian maupun dalam konteks petunjukannya di berbagai event
pertunjukan kesenian lokal maupun nasional.
22Brono nettle: The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine issues and Concepts (Chicago
University Press, 1983.
62
2. Rekaman tersebut didegarkan secara berulang-ulang agar mendapatkan
hasil yang maksimal dan kemudian ditranskripsikan ke dalam bentuk
notasi.
3. Ritem maupun melodi lagu dalam RAPA’I PASEE ditulis dengan notasi
barat agar dapat lebih mudah dimengerti karena dalam notasi barat tinggi
dan rendahanya nada, pola ritme, dan simbol-simbol terlihat lebih jelas
ditrasmisikan kepada para pembaca melalui tanda-tanda dalam garis
paradana.
Oleh karena kesenian RAPA’I PASEE ini hanya memiliki satu unsur
musik yaitu bentuk ritmis sebagai pola-pola atau motif tabuhan rapa’i nya , maka
dalam tulisan ini penulis menampilkan satu bentuk notasi secara rithmisnya. Pada
umumnya dalam budaya orang, notasi yang digunakan ialah konvensional barat.
Hal ini menjadi alternatif pilihan yang paling besar kemungkinannya digunakan,
terutama jika dalam budayanya musikal yang diteliti tidak tersedia sistem
penulisan notasi musik.
Dalam melalukan pentranskripsian, ada dua jenis fenomena musikal yang
biasanya menjadi persoalan bagi transkriptor: (1) fenomena yang tidak dapat
digunakan oleh simbol-simbol sistem notasi konvensional (barat), dan (2)
fenomena yang terlalu rumit (Inggris: detalend) untuk bisa dinotasikan. Persoalan
pertama dapat dipecahkan dengan menggunakan simbol-simbol tambahan,
sedangkan persoalan kedua pada umumnya tidak ada pemecahan. Hal ini dapat
dimengerti bila mengingat kerumitan bunyi musiknya seperti terjadinya
pengeseran-pengeseran tinggi rendahnya nada yang sangat halus pada saat sebuah
63
nada dinyanyikan atau perbedaan yang begitu kecil dalam nilai (ritmis) diantara
nada yang nilainya lebih sama, dan lain sebagainya.
Sebagai mana dikemukakan oleh Seeger (1958), dalam melakukan
trasnkripsi terdapat dua jenis notasi musik berdasarkan tujuan dan
penggunaannya. Kedua notasi itu adalah, notasi preskriptif dan notasi deskriptif
dan karena itu pentranskripsianpun dibedakan atas transkripsi preskriptif (Inggris:
prescriptive) dan transkipsi deskriptif (Inggris: descriptive).
Transkripsi preskriptif ialah pencatatan bunyi musikal kedalam lambang
notasi dengan hanya menuliskan nada-nada pokoknya saja. Notasi seperti ini
umumnya dipakai hanyalah sebagai petunjuk bagi para pemusik atau sebagai alat
pembatu untuk si penyanyi supaya ia dapat mengingat (apa yang telah
dipelajarinya secara lisan). Sedangkan transkripsi deskriptif ialah menuliskan
bunyi musikal ke dalam lambang notasi (konvensional barat) secara detail
menurut apa yang ditangkap oleh indera pendengaran si transkriptor dengan
maksud untuk menyampaikan ciri-ciri dan detail-detail komposisi musik yang
belum diketahui oleh pembaca.23
Thee hazard are inherent in our pactices of writing music. The first lies in an assumption that the full auditory parameter of music is or can be represented by a partial visual parameter...upon a flat surface.
The second lies in ignoring the historical log of musicwriting behind speechwriting, and the consequent traditional interposition of the art of speech in thematching of auditory and visual signals in music writing. The third lies in ourhaving failed to distinguish between prescriptive and descriptive uses of musicwriting, which is to say, between a blue-print of haw a specific piece of musicshall be
23Charles Seeger. “Prescriptive music writing.” Musical Quarterly 44(1958), 184-195,
seperti yang dikutip oleh Nettl, Theory and Method, op. cit., 99.
64
made to sound and a report of how a specific performance of it actuallydidsound.24
Dalam Webster’s Third New Internasaional Distionory of theAmerican
Language disebutkan bahwa analisis adalah pemisahan suatu kesantunan ke dalam
unsur-unsur fundamental atau bagian-bagian komponen24. Tujuannya adalah
untuk menguji sifat-sifat dan konotasi-konotasi dari sebuah konsep, ide, ataupun
wujud. Dengan demikian, hasil akhir dari sebuah analisis adalah pemisahan atas
sifat-sifat sebuah objek, baik dilihat secara keseluruhan maupun secara terpisah.
Selanjutnya, dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan,
menerangkan, mengujicoba, dan merancang bagian-bagiannya secara umum,
mengikuti logika keilmuan dan harus memiliki alasan-alasan tertentu yang jelas25.
Maka dalam penulisan notasi RAPA’I PASEE dari tesis ini, penulis
menggunakan metode traskripsi dan deskriptif, agar pembaca dapat mengetahui
secara detil susunan ryhtem dalam struktur kesenian RAPA’I PASEE ini dalam
metode notasi barat. Selain dengan mentraskripsikan secara deskriptif penulis
mencoba menganalisis musik secara kajian makna yang terkandung dalam motif
pukulan. Analisis musikal membicarakan setiap unsur-unsur bermakna tertuang
dalam sebuah musik. Dilakukanya analisis terhadap masing-masing unsur musikal
itu ialah karena ada tujuan untuk menjelaskan unsur bermakna tersebut. Namun
sebagaimana dikatakan oleh Nicolas Cook bahwa hingga saat ini belum ada
24PhilipB. Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the American
Language (New York: The World Publishing Company, 1966), 77. 25Marcia Herndorn, “ Analisa Struktur Musik dalam Etnomusikologi.” Seperti naskah
terjemahan M. Takari, Perikutet Tarigan (Medan: Jurusan Etnomusicologi, Fakulas Sastra Universitas Sumatera Utara, 1994),4.
65
metode analisi oral maupun formal tunggal yang sudah baku dan berlaku secara
umum yang dapat dipakai untuk menganalisis musik secara menyeluruh.
There is not any one fixem way of starting an analysis. It depends of the music, as wel as on wel as on the analyst and the reason the analysis is being done. But there is a presequisite to any sensible analysis, an this it familiarity with the music.26
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa analisis adalah suatu pekerjaan
lanjutan setelah selesai melakukan transkripsi komposisi musik. Melalui proses
analisis tersebut akan diperoleh gambaran tentang gaya atau prinsip-prinsip dasar
stuktur musikal dan yang tersembunyi di balik komposisi itu. Berkenaan dengan
gaya atau prinsip dasr struktur musical, Willy Apel mengatakan bahwa gaya
adalah unsur atau elemen penting yang sangat berhubungan dengan struktur suatu
komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah bentuk (Inggris: from), melodi,
maupun ritmen atau irama.
Selanjunya, oleh Nettl dikatakan bahwa suatu komposisi musik di dalam
suatu tradisi musikal akan pula memiliki kumpulan karakter atau gaya yang sama
dengan karakter-karakter pada komposisi lainnya di dalam ruang lingkup tradisi
kebudayaan dimana musik itu berada27. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa gaya adalah elemen-elemen musikal yang dijadikan sebagai dasar atau
perangkat untuk membangun musik hingga menghasilkan sebuah komposisi
musik.
Dalam melakukan analisis, selain metode-metode di atas juga akan
digabungkan dengan metode weighted scale (“bobot tangga nada”) dari William
26Nicolas Cook, A Guide to Musical Analysis (london & Melbourne: J.M. Dent & Sons
Ltd 1987),237 27Bruno Nettl, Theory and Method, op.cit. 169
66
P. Malm serta langkah-langkah description of musical compositions yang
ditawarkan oleh Bruno Nettl.
Malm mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang tidak
terpisahkan, yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi berkaitan
dengan ruang, dimana setiap nada dalam garis melodi begerak sesuai dengan
tinggi rendahnya nada. Sementara ketinggian dan kerendahan nada mempunyai
durasi secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan hasil dari ritme.
Dengan perkataan lain, ritme berkaiatan dengan waktu, dimana setiap masa
melodi memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan perbedaan durasi itulah
tercipta gerak melodi yang harmonis.
Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri dari, (1) tangga nada
(Inggris: modus), (2) nada dasar (Inggris: pitch centre), (3) wilayah nada (Inggris:
range), (4) jumlah nada-nada, (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa, (7)
formula-formula melodi, (8) kontur, (9) durasi, (10) ritme, (11) frase dan kalimat,
serta (12) periode atau siklus. Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu, (1)
tempo, (2) pulsa (3) ketukan, (4) pola dan motif, serta (5) birama.28
Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa mendeskripsikan komposisi
musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut, (1) perbedaan nada, (2) tangga
nada (Inggris: modus), (3) tonalitas, (4) interval, (5) kantur melodi, (6) ritme, (7)
tempo, dan (8) bentuk.29
28Malm, op. cit., 7. 29 Netll, Theory and Method.op.cit., 145-149.
67
Berkaitan dengan teori diatas maka penulis mentraskripsikan bentuk
ritmis serta menganalisis makna yang terkandung dalam kesenian RAPA’I PASEE
adalah sebagai berikut:
3.5 Notasi Ritem (Motif Pukulan) Pada Struktur Musik RAPA’I PASEE
Sebutan lagu pada pertunjukan RAPA’I PASEE adalah bentuk motif
pukulan, lagu yang dimaksud adalah bukan lagu dalam bentuk nyanyian atau
mempunyai lirik / syair, RAPA’I PASEE mempunyai timbre yaitu bunyi dum dan
teng, dum untuk suara rendah dan teng untuk suara tinggi, pemain RAPA’I PASEE
di desa Biara timu kecamatan jambo aye menyebut motif pukulan atau ritem
RAPA’I PASEE dengan sebutan lagu sa, lagu dua, lagu lhee, lagu limeung, lagu
tujoh, lagu sikureung dan lagu duablah. Dalam kesenian RAPA’I PASEE ini
sangat jelas menunjukan pola-pola ritem dan motif pukulan yang mencerminkan
kehidupan sosial dan semangat dalam batasan-batasan dan aturan ajaran agama
Islam.
Berikut ini penulis lampirkan struktur melodi dalam lagu yang ada dalam
kesenian RAPA’I PASEE sebagai bentuk transkripsi dalam metode musik barat,
diantaranya sebagai berikut:
3.5.1 Deskripsi ritem satu (Lagu sa)
Motif pukulan lagu sa dengan tempo sedang, dan motif repetisi
menunjukkan awal mulainya lagu dimainkan secara unison (dimainkan secara
68
serempak), yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu bersiap-siap diawali
dengan do’a dalam berkegiatan atau melakukan aktivitas sehari-hari.30
Syeh
Rando
Canang
Gambar 3.7. lagu satu (lagu sa)
3.5.2 Deskripsi ritem dua (lagu dua)
Motif pukulan lagu dua dengan tempo lambat, dan motif repetisi yang
bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas
sehari-hari.
Syeh
Rando
Canang
Gambar 3.8. lagu dua (lagu dua)
30Wawancara dengan Hasbullah
69
3.5.3 Deskripsi ritem tiga (lagu lhee)
Motif pukulan lagu lhee dengan tempo sedang, dan motif repetisi yang
bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas
sehari-hari dan adanya hambatan dan rintangan.
Syeh
Rando
Canang
Gambar 3.9. lagu tiga (lagu lhee)
3.5.4 Deskripsi ritem lima (lagu limeung)
Motif pukulan lagu limeung dengan tempo sedang, dan motif repetisi yang
bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas
sehari-hari dan adanya hambatan serta rintangan dan bagaimana mencari
solusinya.
Syeh
Rando
Canang
70
Sy
Rd
Cn
Gambar 3.10. lagu lima (lagu limeung)
3.5.5 Deskripsi ritem tujuh (lagu tujoh)
Motif pukulan lagu tujoh dengan tempo cepat, dan motif repetisi yang
bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu mencari solusi dan harus dapat
penyelesaiannya atau jalan keluar.
Syeh
Rando
Canang
Sy
Rd
Cn
Gambar 3.11. lagu tujuh (lagu tujoh)
71
3.5.6 Deskripsi ritem sembilan (lagu sikureung)
Motif pukulan lagu sikureung dengan tempo cepat dan motif repetisi yang
bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu dalam kehidupan sehari-hari pasti
ada permasalahan dan jalan keluarnya bisa dilakukan dengan bermusyawarah.
Syeh
Rando
Canang
Sy
Rd
Cn
Gambar 3.12. lagu sembilan (lagu sikureung)
3.5.7 Deskripsi ritem dua belas (lagu duablah)
Motif pukulan lagu duablah dengan tempo cepat dan motif repetisi yang
bermakna dalam kehidupan sehari-hari yaitu dalam kehidupan sehari-hari jika
bermusyawarah harus melibatkan orang yang dianggap tua atau tengku dalam satu
desa, disebut tuha peut atau tuha lapan bermakna orang yang dituakan agar semua
permasalahan dalam terselesaikan.
72
Khusus motif pukulan lagu duablah diibaratkan dalam peperangan seperti suara
gemuruh tembakan dalam medan peperangan.31
Syeh
Rando
Canang
Sy
Rd
Cn
Gambar 3.13. lagu dua belas (lagu duablah)
31Ibid
73
BAB IV
DESKRIPSI FUNGSI SOSIO BUDAYA RAPA’I PASEE : DI BIARA TIMU
JAMBO AYE PANTON LABU ACEH UTARA
4.1 Penggunaan dan Fungsi RAPA’I PASEE
4.1.1.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi
Untuk mengakaji suatu objek penelitian dalam dunia ilmiah tentunya harus
didasari pada suatu teori. Hal ini mejadi suatu keharusan bagi seorang ilmuwan di
seluruh dunia. Menurut Marckward32, pengertian teori adalah (1) Sebuah
rancangan atau skema pikiran, (2) Prinsip dasar atau penerapan ilmu pengetahuan,
(3) Abstrak pengetahuan yang antonym dengan praktik, (4) Rancangan hipotesis
untuk menangani berbagai fenomena, (5) Hipotesis yang mengarahkan seseorang,
(6) Dalam matematika adalah teorema yang menghadirkan pandangan sistematik
dari beberapa subjek, dan (7) Ilmu pengetahuan tentang musik. Jadi dengan
demikian teori berada dalam tataran idea atau gagasan seorang ilmuwan yang
kebenarannya secara empiris dan rasional telah diuji coba. Dalam dimensi waktu
teori-teori dari semua disiplin ilmu terus berkembang. Teori-teori yang
dipergunakan dalam mengkaji fungsi budaya, para pengkaji budaya menggunakan
teori fungsionalisme. Menurut Lorimer, teori fungsionalisme adalah salah satu
teori yang dipergunakan pada ilmu sosial yang menekankan pada saling
ketergantungan antara institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat
tertentu.
32Marckward, Albert H, et al.(eds).1990. Webster Comperhensive Dictionary (volume 2)
chicago: ferguson Publising Company, h.1302.
74
4.1.1.2 Pengertian Fungsi
Analisis terhadap suatu fungsi objek kebudayaan menjelaskan bagaimana
susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti : negara, agama,
keluarga. Aliran dan pasar terwujud, sebagai contoh pada masyarakat yang
kompleks seperti Ameriaka Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai
yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi
pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakaat tribal, partisipasi
dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara
kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun teori
ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abat ke-19, khususnya Emile Durkheim,
fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang
mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun
1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosialisasi Anglo-
Amerika dalam dekade 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-
Brown, mengembangkan teori ini dibidang antropologi dengan memusatkan
perhatian pada masyarakat bukan barat. Sejak dekade 1970-an, teori
fungsionalisme dipergunakan pula untuk mengaji dinamika konflik sosial33.
Lebih lanjut Alan P. Merriam menjalankan dalam The Anthropology of
Music (Chicago: North Western University Press. 1964) mengemukakan beberapa
pandagan tentang fungsi suatu produk kebudayaan pada suatu tatanan kehidupan
masyarakat. Untuk mengkaji apa fungsi komunikasi seni pertunjukan, serta
bagaimana fungsi lagu dan tari dalam masyarakat, biasanya digunakan teori
33Lawrence T. Lorimer et al., 1991, Grolier Encyclopedia of knowledge (volume 1-20)
Danbury, Connecticut: Groller Incorporated. Vol. 18.h. 112-113.
75
fungsionalisme. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan
pada ilmu sosial yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-
institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu34.
Teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi mulai dikembangkan oleh
seorang pakar yang sangat penting dalm sejarah toeri antropologi, yaitu Bronislaw
Malinowski (1884-1942). Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstrak
yaitu:
1. Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada
tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat,
perilaku manusia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2. Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial, atau unsur kebudayaan pada
tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap
keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti
yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat;
3. Fungsi sosial suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga
mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak untuk
berlangsungnya secara terinteraksi suatu sistem sosial tertentu.
Dalam bidang komunikasi, ada beberapa pakar yang mengemukakan
pendapatnya mengenai fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi memperlihatkan
arus gerakan yang seiring dengan masyarakat atau individu. Komunikasi berfungsi
menurut keperluan pengguna atau individu yang berinteraksi. Oleh karena itu,
fungsi komunikasi bisa dikaitkan dengan ekspresi (emosi), arahan, puitis, fatik,
34ibid
76
dan metalinguitik yang berkaitan dengan bahasa. Secara umum fungsi komunikasi
terdiri dari empat kategori utama yaitu :
1. Fungsi untuk memberi tahu, artinya adalah melalui komunikasi
berbagai konsep atau gagasan diberitahukan kepada orang lain (penerima
komunikasi) dan penerima ini menerimanya yang kemudian dampaknya ia
tahu tentang gagasan yang dikomunikasikan tersebut. Akhirnya isi
komunikasi itu akan direspon oleh penerima, boleh jadi dalam bentuk
perilaku, balasan, dan lainnya. Pemberitahuan ini sangat penting dalam
konteks sosial kemasyarakatan. Misalnya orang yang diberitahu bahwa salah
seorang warganya meninggal dunia, melalui saluran komunikasi, seperti
dalam bentuk lisan atau bukan lisan seperti bunyi bedug dengan pukulan dan
irama tertentu, atau lambang-lambang, seperti bendera merah atau hijau di
depan rumah, dan lainnya. Akibatnya penerima komunikasi akan menafsir
pesan komunikasi dalam bentuk lisan dan bukan lisan tadi, kemudian datang
bertakziah ke tempat warganya yang meninggal dunia.
2. Fungsi komunikasi lainnya adalah mendidik. Artinya adalah bahwa
komunikasi berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi
menjadi saluran ilmu dari seseorang kepada orang lainnya. Ilmu
pengetahuan dipindahkan dari seseorang yang tahu kepada orang yang
belum tahu. Berkat terjadinya komunikasi maka kelestarian kebudayaan
akan terus berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhirnya
masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam melalui ilmu pengetahuan.
77
3. Komunikasi juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau
membujuk khalayak untuk merubah pandangannya. Melalui komunikasi,
pandangan seseorang atau masyarakat dapat diubah, dari satu pandangan ke
pandangan lainnya. Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih baik
buruk menurut standar norma-norma sosial. Dalam konteks bernegara
misalnya, pandangan yang tak sesuai dengan ideologi negara akan bisa
dipujuk untuk menuruti ideologi yang selaras dengan negara. Dalam konteks
ini umumnya suatu kabinet didalam negara, membentuk departemen
komunikasi, informasi, atau penerangan. Tujuan utamanya adalah memujuk
masyarakat bangsa itu untuk menurut untuk ideologi dan program-program
pembangunan yang dianut dan dilaksanakan oleh pemerintah.
4. Fungsi komunikasi lainnya adalah menghibur orang lain. Maksudnya
adalah bahwa melalui komunikasi seorang penyampai atau sumber
komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi yang
memang dalam konteks sosial diperlukan. Fungsi komunikasi sebagai sarana
hiburan ini akan dapat membantu seseorang atau sekumpul orang terhibur
dari beban sosial budaya yang dialaminya. Hiburan ini dapat berupa rasa
simpati sumber kepada penerima. Bentuknya boleh saja seperti ungkapan
verbal turut merasakan apa yang dirasakan penerima komunikasi atau juga
seperti bernyanyi, bermain musik, melawak, dan lain-lainnya. Dengan
demikian, melalui komunikasi terjadi hiburan yang juga melegakan diri dari
himpitan dan tekanan sosial. Demikian sekilas teori fungsionalisme
komunikasi dalam seni pertunjukan. Selanjutnya kita lihat bagaiman teori
78
fungsionalisme dibidang antropologi serta bagaimana fungsi seni
pertunjukan.
Dalam konteks kajian budaya di Aceh, teori fungsionalisme atau kajian
fungsional ini dipergunakan dalam berbagai ilmu. Diantaranya adalah bidang
komunikasi di berbagai universitas35. Demikian pula halnya dibidang linguistik
dan sastra, yang dikenal dengan kajian linguistic systemic functional (LSF), yang
ditokohi oleh Halliday dan kawan-kawan. Termasuk di bidang seni digunakan
teori fungsi ini. Teori tersebut diterapkan oleh merriam dalam etnomusikologi,
dijelaskan bahwa pengertian fungsi dapat dibedakan dalam dua istilah, yaitu
pengguna dan fungsi. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita
merujuk pada kebiasaan (the ways) musik yang dipergunakan dalam masyarakat
sebagai praktik yang biasa dilakukan atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat
istiadat baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-
aktivitas lain36. Selanjutnya Merriam menjelaskan fungsi musik dan kegunaan-
kegunaan musik dalam suatu masyarakat sering disadari dan diakui oleh para
pewaris musik itu sendiri, tetapi fungsi-fungsi musik dalam sebuah masyarakat
tidak bisa dimengerti oleh anggota masyarakat itu, tetapi harus diungkapkan oleh
peneliti dari luar37. Sedangkan kegunaan musik mencakup semua kebiasaan
memakai musik, baik sebagai suatu aktifitas yang berdiri sendiri maupun sebagai
iringan aktivitas lain. Misalnya, sebuah nyanyian dalam suatu masyarakat tertentu
biasanya dipakai oleh pemuda untuk merayu gadis idamannya (kebiasaan tersebut
merupakan kegunaan nyanyian itu). Sebagai contoh lain, suatu lagu dapat
35Takari, Muhammad., Seni Perubahan dan Makna, 2013 hal:13 36 ibid 37Wiliam P.Malm, Tradisional Japanese Music, 1959
79
digunakan untuk memanggil para dewa pada upacara agama, sedangkan fungsinya
adalah sama dengan fungsi agama pada umumnya. Fungsi agama (kepercayaan)
barangkali dapat dikatakan menimbulkan rasa aman dan nyaman pada hati
manusia terhadap alam semesta38.
Dalam hal ini, kegunaan musik adalah menyangkut cara pemakain musik
dalam konteksnya, sedangkan fungsi musik menyangkut tujuan pemakaian musik
dalam pandangan luas. Berikut adalah tinjauan umum penggunaan musik
berdasarkan kategori-kategori yang diajukan Herkovits untuk pengklasifikasian
unsur-unsur budaya39:
a. Kategori pertama adalah kebudayaan material, yang dibagi dalam dua
bagian : teknologi dan ekonomi.
b. Kategori kedua adalah kelembagaan sosial, dibagi kedalam organisasi
sosial, pendidikan, dan sistem politik.
c. Kategori ketiga adalah hubungan manusia dan alam, dibagi kedalam
sistem kepercayaan dan pengendalian kekuatan.
d. Kategori ke empat adalah estetika, dibagi ke dalam seni rupa, Folklore,
dan musik. Maka disini hubungan musik dengan semua unsur kebudayaan
tersebut erat sekali.
e. Kategori ke lima adalah bahasa. Jelas bahwa bahasa yang terdapat dari
makna larik dan makna dari setiap lagu, berkaitan erat dengan musiknya.
Disamping itu, terdapat beberapa kasus dimana instrument musik seperti
38Alan.P.Merriam.1964. The Anthropology of Music.Chicago Nortwestern
University.H.210 39Melville J.Herskovits, continuity and Change in African Culture,1959
80
gendang dan RAPA’I PASEE digunakan untuk menyampaikan pesan
melalui semacam ‘bahasa’ larik dan ritmisnya.
Apabila kita jabarkan menurut beberapa teori di atas maka ada sepuluh
fungsi musik yang dalam hal ini adalah fungsi utama musik yang dikemukakan
oleh Merriam, yaitu : fungsi pengungkapan emosional, fungsi penghayatan estetis,
fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambangan, fungsi reaksi jasmani,
fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, fungsi pengesahan lembaga
sosial dan upacara agama, fungsi kesinambungan kebudayaan, dan fungsi
pengintegrasian masyarakat.
1. Fungsi Pengungkapan Emosional
Musik dalam hal ini mempunyai daya yang sangat besar sebagai sarana untuk
mengungkapkan rasa atau emosi para penyanyi dan pemain yang dapat
menimbulkan rasa atau emosi kepada para pendengarnya. Rasa yang diungkapkan
sangat beraneka ragam, termasuk rasa kagum pada dunia ciptaan Tuhan, rasa
sedih, rasa rindu rasa birahi (seksual) rasa kebanggaan terhadap tanah air, rasa
tenang, dan lain-lain. Sering kita lihat dalam beberapa tema tentang lagu-lagu
cinta, yang menggambarkan suatu keinginan seorang manusia (laki-laki) untuk
memiliki manusia lain (perempuan), kemudian ada juga yang melantunkan lagu
cinta yang menggambarkan tentang cintannya kepada tuhannya sebagai bentuk
penghayatan dalam meyakini suatu pandangan agamanya. Atau pengungkapan
rasa marah terhadap fenomena sosial yang menurut perasaannya tidak sesuai
dengan semestinya, misalnya banyaknya peperangan yang disaksikannya melalui
81
media, ataupun melihat banyaknya para koruptor yang merusak tatanan kehidupan
bangsa, dan sebagainya.
2. Fungsi Penghayatan Estetis
Walaupun konsepsi penghayatan estetis terhadap beberapa masyarakat yang
perdabannya sudah tinggi melalui literature sebagai bahan referensinya seperti
masyarakat Barat (Eropa, Amerika), Timur (Arab, India, Cina, Jepang, Korea, dan
Indonesia). Akan tetapi kita belum bisa memastikan kalau konsepsi tersebut
terdapat pada masyarakat-masyarakat non-literate seperti pada masyarakat
pedalaman yang belum mengenal budaya baca tulis, karena dalam hal ini
pengayatan estetis baik terhadap pengungkapan rasa keindahan akan dilukiskan
atau dituliskan pada sebuah syair yang akhirnya menjadi sebuah gubahan lagu
untuk mengungkapkan rasa keindahan tersebut, baik yang berupa objek alam,
manusia, maupun keagungan tuhan.
3. Fungsi Hiburan
Fungsi hiburan tentunya sudah sangat jelas pada setiap masyarakat di dunia.
Musik dapat berfungsi sebagai alat hiburan. Maksudnya adalah bahwa melalui
komunikasi seorang penyampai atau sumber komunikasi akan menghibur orang
lain sebagai penerima komunikasi yang memang dalam konteks sosial diperlukan.
Sebagai sarana hiburan fungsi ini akan dapat membantu seseorang atau sekumpul
orang terhibur dari beban sosial budaya yang dialaminya. Hiburan ini dapat
berupa rasa simpati sumber kepada penerima. Bentuknya boleh saja seperti
82
ungkapan verbal turut merasakan apa yang dirasakan penerima komunikasi atau
juga seperti bernyanyi, bermain musik, melawak, dan lain-lainnya. Dengan
demikian melalui komunikasi terjadi hiburan yang juga melegakan diri dari
himpitan dan tekanan sosial.
4. Fungsi Komunikasi
Secara umum komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu: (1) fungsi
memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) membujuk khalayak mengubah pandangan
dan (4) untuk memberikan kenyamanan terhadap orang lain.
Tentu saja dalam hal ini syair dalam lagu yang dilantunkan melalui
pengolahan seni vokal yang menyampaikan pesan yang terkandung dalam teks
nyanyian merupakan sejenis komunikasi. Tetapi disamping itu, musik itu sendiri
(tanpa teks) dapat mengkomunikasikan sesuatu. Hanya saja kita belum
mengetahui apa sebenarnya yang dikomunikasikan oleh musik, bagaimana, dan
kepada siapa. Musik bukanlah suatu ‘bahasa universal’ yang dapat dimengerti
oleh siapa saja di mana saja karena setiap jenis musik lahir dan tumbuh pada suatu
masyarakat tertentu dengan kebudayaannya.
5. Fungsi Perlambangan
Pada semua masyarakat, musik dalam hal ini berfungsi sebagai lambang dari
hal-hal, ide-ide dan tingkah laku masyarakatnya, seperti misalnya dalam pukulan
RAPA’I PASEE dalam motif pukulannya menandakan untuk mengumpulkan
83
masyarakat bermusyawarah, tanda bahaya, tanda orang meninggal dan tanda
bahwa berbuka puasa telah tiba.40
6. Fungsi Reaksi Jasmani
Fungsi ini adalah konsepsi ‘biologis’. Meskipun tidak ada hubungannya
dengan konteks sosial. Namun demikian, daya rangsang musik yang dapat
menggugah reaksi jasmani jelas dimengerti dan dimanfaatkan di dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebagai contoh, kita sering melihat sebuah upacara ritual yang
dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dengan adat tertentu yang menunjukan
gejala kesurupan (tranch, possession) yang hal ini sering kali diakibatkan oleh
musik dan gerakan tari dapat dirangsang oleh musik dalam beberapa suku dari
negara-negara yang ada di dunia terutama di Afrika, Amerika Tengah (Suku
Indian), Asia Selatan seperti India, Srilangka, Bangladesh, Asia Tenggara
(Thailand, Vietnam, termasuk Indonesia). Pengaruh musik terhadap hal ini banyak
dijumpai pada masyarakat khususnya di daerah pedalaman yang masih
menggunakan cara-cara tradisional dalam kegiatan sosial budayanya.
7. Fungsi yang Berkaitan Dengan Norma-Norma Sosial
Artinya adalah bahwa fungsi seni berperan dalam konteks pendidikan
manusia. Komunikasi menjadi saluran ilmu dari seseorang yang tahu kepada
orang yang belum tahu. Maka dalam hal ini kelestarian kebudayaan akan terus
berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhirnya masyarakat itu cerdas
40Hasil wawancara dengan Hasbullah mantan staf kebudayaan Kota Lhokseumawe pakar
seni
84
dan dapat mengelola alam melalui ilmu pengetahuan baik itu pengetahuan tentang
sikap, dan tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tercipta suatu
tatanan masyarakat yang beradab yang memiliki nilai-nilai luhur yang
diyakininya.
Musik juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau membujuk
khalayak untuk merubah pandangannya. Melalui komunikasi, pandangan
seseorang atau masyarakat dapat diubah, dari satu pandangan ke pandangan lain.
Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih buruk menurut standar norma-
norma sosial yang berlaku. Dalam konteks bernegara misalnya, pandangan yang
tak sesuai dengan ideologi negara akan bisa dibujuk untuk menuruti ideologi yang
selaras dengan negara. Dalam konteks ini umumya suatu kabinet di dalam negara,
membentuk departemen komunikasi, informasi, atau penerangan. Tujuan
utamanya adalah membujuk masyarakat bangsa itu untuk menuruti ideologi dan
program-program pembangunan yang dianut dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Beberapa masyarakat memfungsikan musik dalam hal ini melalui lagu-lagu
yang bertujuan untuk pengendalian sosial dengan mengkritik orang-orang
menyeleweng dari kebiasaan-kebiasaan setempat yang melanggar nilai-nilai yang
menjadi norma sosial tersebut. Selain itu teks nyanyian yang di pakai untuk lagu
upacara inisiasi seringkali berupa nasehat bagi kaum muda untuk menaati
peraturan-peratutan adat. Fungsi ini adalah salah satu fungsi musik yang utama.
85
8. Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial dan Upacara Agama
Dalam hal ini belum bisa memastikan sejauh mana musik berfungsi sebagai
pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan. Sistem-sistem agama
biasanya didukung dan disahkan oleh mitos-mitos dan legenda-legenda. Mitos dan
legenda itu sering kali dinyanyikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai
bentuk pengakuan terahadap keabsahan lembaga sosial tersebut.
9. Fungsi Kesinambungan Kebudayaan
Musik sebagai wahana mitos, legenda dan cerita sejarah, ikut
menyambungkan sebuah masyarakat dengan masa lampaunya. Sebagai wahana
pengajaran adat, musik menjamin kesinmbungan dan stabilitas kebudayaan
sampai enerasi penerus. Dalam hal ini musik dapat diwariskan kepada generasi
penerusnya sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai yang dibagun oleh suatu
pranata sosial masyarakat, kejayaan dan kemasyuran suatu bangsa. Dapat dilihat
dari perkembangan budaya termasuk perkembagan musiknya, seperti masyarakat
Eropa mewariskan musik klasik kepada anak-anaknya melalui pendidikan musik-
musik formal sehingga masyrakat dapat mempertahankan “budaya elegan”
terhadap pola hidup masyarakat seperti dalam sikap disiplin, pola pikir yang
terbuka, mau belajar, dan teliti. Pada masyrakat Islam, penebaran Agama Islam
melalui musik sarana dakwah dapat membuktikan bahwa fungsi kesinambungan
kebudayan telah berhasil menerapkan ideologi-ideologi dan pemahaman tentang
islam yang berasal dari Jazirah Arab hingga menyebar keseluruh dunia, termasuk
Indonesia melalui pandagan Asia.
86
10. Fungsi Penginteraksian Masyarakat
Fungsi ini telah menjadi perhatian beberapa peneliti. Umpamanya menurut
Nketia, pada masyarakat Yoruba di Accra (Ghana, Afrika Barat), pertunjukan-
pertunjukan musik tradisioanal menimbulkan rasa kebersamaan dalam hati (para
peserta dan penonton), kebersamaan dalam suatu masyarakat yang mempunyai
satu sistem nilai satu gaya kehidupan dan satu gaya kesenian. Oleh karena itu,
musik dapat membangkitkan rasa solidaritas berkelompok. Dalam kasus lain
(antropolog) Radiclif-Brown menulis mengenai tarian dari pulau Andaman.
Tarian Andaman (dan lagu iringannya) merupakan suatu kegiatan dimana
semua anggota suatu masyarakat dapat menyatu dalam nada dan irama, dan
bekerja sama dengan rukun. Rasa senang timbul drai hati si penari sehingga dia
bersikap baik terhadap seluruh kawannya dan hatinya dipenuhi rasa persahabatan
yang meluap-luap. Dengan demikian, tarian Andaman menghasilkan suatu
kesatuan, kerukunan, dan keselarasan yang dapat diserahkan oleh setiap warga
masyarakat. Justru disini terletak fungsi sosial utama dari tarian.
Kesejahteraan (bahkan eksitensi) masyarakat bergantung pada kesatuan dan
keselarasan masyrakat. Oleh karena tarian adalah salah satu sarana untuk
menciptkan rasa kesatuan dan kesalarasan. Maka tarian merupakan sarana untuk
menjaga dan membina eksistenti dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini
teori difusi juga dipergunakan dalam mengkaji seni. Pada prinsipnya, teori ini
mengemukakan bahwa suatu kebudayan dapat menyebar ke kebudayaan lain
melalui kontak budaya. Karena teori ini berpijak pada alasan adanya suatu sumber
budaya, maka ia sering disebut juga dengan teori ini berpijak pada alasan adanya
87
suatu sumber budaya, maka ia sering disebut juga dengan teori monogenesis (lahir
dari suatu kebudayaan). Lawannya adalah teori poligenesis, yang menyatakan
bahwa beberapa kebudayaan mungkin saja memiliki persamaan-persamaan baik
ide, aktivitas, maupun benda. Tetapi sejarah persamaan itu bukanlah menjadi
alasan adanya suatu sumber kebudayaan. Bisa saja persamaan itu muncul secara
kebetulan karena ada unsur universalitas dalam diri manusia.
Masyarakat bentuk dayung perahu hampir sama dimana-mana di dunia ini.
Namun itu tidak berarti bahwa ada satu sumber budaya pembentuk dayung perau.
Katakan lah dayung perahu berasal adari China Selatan. Teori ini banyak di
pergunakan oleh para pengkaji seni yang mencoba mencari adanya sebuah sumber
budaya. Dalam kajian seni, misalnya sebagian besar peneliti percaya bahwa zapin
besar dari Yaman. Hal ini didukung oleh fakta-fakta sejarah dan bukti-bukti
peningalanya di zaman sekarang ini dan persebaran kesenian ini ke berbagai
kawasan di Nusantara.
4.1.1.2 Penggunaan RAPA’I PASEE
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa jika kita berbicara tentang penggunaan
musik, maka kita merujuk pada kebiasaan (the ways) musik yang dipergunakan
dalam masyarakat sebagai praktik yang bisa dilakukan atau sebagai bagian dari
pelaksanaan adat istiadat. Baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya
dengan aktivitas-aktivitas lain, maka dalam hal ini berbagai aktivitas
menunjukkan bahwa yang membawa pengaruh kebudayaan terutama pada
kesenian di Aceh. Jika kita menunjuk pada beberapa teori yang disampaikan oleh
88
Herkovitc maka kegunaan kesenian RAPA’I PASEE terhadap masyarakat kesenian
di kota Panton Labu dapat diaplikasikan sebagi berikut, teori yang disampaikan
oleh Herkovitc peneliti sesuaikan dengan temuan di lapangan, peneliti akan
menjelaskannya sebagai berikut :
a. Pertama adalah kegunaan RAPA’I PASEE sebagai kebudayaan materil,
dimana terbagi dalam dua bagian yaitu teknologi dan ekonomi. Dalam hal
kebudayaan materil yang melibatkan unsur teknologi, hasil penelitian
lapangan alat musik RAPA’I PASEE tidak berpengaruh banyak terhadap
perkembangan teknologi dari zaman ke zaman baik dari cara pembuatannya
masih secara tradisional, bahan bakunya, bentuk dan ukuran tidak berubah
dalam hal struktur musiknya juga tidak ada penambahan teknologi musik
modern didalam pertunjukannya. Dalam hal ekonomi kesenian RAPA’I
PASEE tidak berdampak menguntungkan hanya kecil persentasenya bagi para
senimannya, hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa RAPA’I PASEE
hanya sebuah ajang pertunjukan seni sebatas kesenangan para seniman pada
dasarnya tidak ada unsur untuk mendapatkan penghasilan berupa bayaran,
melainkan hanya kepuasan bathin para seniman saja. Jika ada undangan
khusus dari pemerintah setempat untuk mempertunjukkan kesenian RAPA’I
PASEE para seniman dengan senang hati untuk menampilkannya, dan
pemerintah setempat hanya memberikan insentif secukupnya.
b. Kedua adalah kelembagaan sosial, dibagi kedalam organisasi sosial,
pendidikan, dan sistem politik. Dalam organisasi sosial kesenian RAPA’I
PASEE bagi masyarakat kota panton labu sebagai ajang silaturahmi dan
89
menjalin ikatan persudaraan antar satu desa dengan desa lainnya, adanya
grup-grup kesenian RAPA’I PASEE yang telah lahir di sanggar-sanggar
sebatas desa saja, dalam dunia pendidikan sekolah-sekolah baik tingkat SD,
SMPmaupun SMA bahkan tinggkat perguruan tinggi di kota Panton Labu.
Dalam hal pendidikan RAPA’I PASEE hanya sebatas pengetahuan saja tidak
ada pertunjukan disetiap sekolah. Jika dilihat dari besarnya sebuah alat
RAPA’I PASEE yang digantung, hingga untuk dunia pendidikan sekolah tidak
dapat ditampilkan mengingat sulitnya dan terbatasnya kemampuan siswa-
siswa, guru- guru dan alat musik RAPA’I PASEE itu sendiri. Dalam hal
politik RAPA’I PASEE sekarang sudah dipertunjukan untuk kegiatan acara
politik pemilihan caleg, RAPA’I PASEE digunakan oleh oknum politik
sebagai media untuk mengumpulkan masyarakat dan pihak oknum politik
dengan mudah menyampaikan ideologi pemerintah dan seruan untuk memilih
atau menyoblos nomor calek tertentu, memprovokasi masyarakat agar
memilih pemimpin putra daerah asli Aceh untuk memimpin pemerintah, yang
pada dasarnya bahwa RAPA’I PASEE adalah murni sebuah bentuk kesenian
bukan alat politik atau untuk menyampaikan pesan politik yang seperti saat
sekarang ini.
c. Ketiga adalah hubungan manusia dan alam, dibagi kedalam sistem
kepercayaan dan pengendalian kekuatan. Dalam kaitanya dengan hal ini,
sangat jelas bahwa kesenian RAPA’I PASEE sebagai wujud kebudayaan Islam
yang mengajarkan pada masyarakat agar selalu bertakwa kepada Allah
Subhanahu Wata’ala, Tuhan yang menguasai alam dan Muhammad SAW
90
sebagai utusan, yang dikomunikasikan melalui struktur musik dan makna
yang terdapat pada larik atau garis yang ada pada RAPA’I PASEE yang
kemudian diharapkan dapat diaplikasikan oleh masyrakat kedalam kehidupan
sehari-hari.
d. Keempat adalah estetika, dibagi dalam seni musik dan rupa. Maka di sini
hubungan musik dengan semua unsur kebudayaan tersebut erat sekali.
Sebagai sebuah seni pertunjukan RAPA’I PASEE tentunya memiliki estetika
tersendiri baik dalam struktur musiknya. Motif pukulan yang mengandung
makna semangat dalam peperangan dan dalam menjalani kehidupan sehari-
hari. Bunyi pukulan yang bervariasi dan suaranya besar hingga dapat
terdengar dari satu desa ke desa sebelahnya. Dalam estetika penataan
busananya yang dominan berwarna kuning agar menarik perhatian
penontonya. Dalam hal ini unsur seni rupa juga diperhatikan kemudian dalam
bagian bunyi musiknya dan makna larik atau garis yang terdapat pada RAPA’I
PASEE menunjukkan bahwa RAPA’I PASEE merupakan kebudayaan
masyarakat Islam yang menjunjung tinggi Nabi Muhammad SAW sebagai
pemimpinnya yang membawa umat manusia dari alam yang tidak ada ilmu
pengetahuan hingga ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. RAPA’I
PASEE sebagai bentuk penampilan yang atraktif dan dinamis sehingga
sanggat menarik bagi masyarakat sebagai penonton dalam penampilannya.
5.1 Fungsi Kesenian RAPA’I PASEE
Merujuk pada pendapat Marriam bahwa dalam disiplin etnomusikologi
dikenal kajian penggunaan dalam fungsi (use and function) musik didalam
91
kebudayaan. Kajian ini adalah selaras dengan pendapat Marriam bahwa ada
sepuluh fungsi musik dalam kebudayaan manusia dalam kebudayaannya, yaitu (1)
fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengkapan estetika, (3) fungsi
hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi
jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan
lembaga sosial dalam ucapan keagamaan, (9) fungsi kesinambuangan
kebudayaan, (10) fungsi pengiterasian masyarakat.
Maka dalam tesis ini penulis mencoba mengamplikasikan teori ini sebagai
pembahasan masalah dalam mengkaji fungsi sosial budaya kesenian RAPA’I
PASEE terhadap masyarakat kesenian di kota Panton Labu. Dari sepuluh fungsi
yang dirumuskan oleh Marriam, penulis hanya menemukan delapan fungsi
kesenian RAPA’I PASEE terhadap masyarakat kota Panton Labu diantaranya
adalah sebagai berikut :
5.1.1 Fungsi Penggungkapan Emosional
Menurut Marriam, musik mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk
mengungkapkan rasa atau emosi para penyayi dan pemain yang dapat
menimbulkan perasaan atau emosi kepada para pendengarnya. Rasa yang
diungkapaan sangat beraneka ragam, termasuk rasa kagum pada dunia ciptaan
Tuhan, rasa sedih, rasa rindu, rasa birahi (seksual) rasa tenang dan lain-lain.
Kadang-kadang pengungkapan emosi tersebut perlu untuk kesehatan jiwa karena
emosi negative yang tidak tersalurkan dalam kehidupan sehari-hari dapat
dituangkan dalam bentuk nyanyian.
92
Dalam hal ini fungsi RAPA’I PASEE menunjukkan pengungkapan perasaan
bangga terhadap sejarah dan budaya Aceh yang dimiliki oleh masyarakat Aceh,
dan Islam sebagai agama dan pedoman hidupnya hingga digambarkan dalam
dinamika musiknya yang bersemangat dalam menjalani hidup sehari-hari. Oleh
karena itu, RAPA’I PASEE sering dijadikan sebagai pertunjukan andalan (selain
tari saman) untuk dibawa dan ditampilkan pada beberapa acara pada masyarakat
Aceh yang akhirnya perasaan bangga ini tidak hanya dimiliki oleh masyarakat
Panton Labu saja, akan tetapi masyarakat Aceh secara umum dan bangga
Indonesia secara luas.
5.1.2 Fungsi Penggungkapan Estetika
Estetika atau yang dikenal dengan teori keindahan adalah salah satu cabang
filsafat. Menurut Alexsander Bonganten, secara sederhana estetika adalah ilmu
yang membahas keindahan, keindahan tersebut merupakan keseluruhan yang
tersusun secara teratur dari bagian-bagian yang saling berhubungan antara satu
dengan yang lain (beaty is on order of parts in their manual relations and in their
relation on the whole)41. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah
sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap
sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang
sangat dekat dengan filosofi seni28.
Seperti dijelaskan dalam ilmu budaya dasar bahwa meskipun awalnya suatu
yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun
41 Sujarwa “Manusia dan Fenomena Budaya ‘’Pustaka pelajar,2005: hal.54 28Alexander baungarten, “Aestethic of Philosopy”, disalur dari wiki pedia
93
perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut mempengaruhi penilain
terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Prancis keindahan berarti
kemampuan menyajiakan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa
maraknya di Stiil di Belanda, keindahan berarti pengakuan mengkomposisikan
warna dan ruang dan kemampauan mengabtrasi benda.
Manusia pada umumnya menyukai sesuatu yang indah, baik terhadap
keindahan alam maupun keindahan seni. Keindahan alam adalah keharmonisan
yang menanjukkan dari hukum-hukum alam yang dibukakan untuk mereka yang
mempunyai kemampuan untuk menerimanya. Sedangkan keindahan seni adalah
keindahan hasil cipta manusia (seniman) yang memiliki bakat untuk menciptakan
sesuatu yang indah. Pada umumnya manusia mempunyai perasaan keindahan.
Rata-rata manusia yang melihat sesuatu yang indah akan terpesona. Namun pada
hakikatnya tidak semua orang memiliki kepekaan terhadap keindahan itu, seperti
keindahan tentang seni telah lama menarik perhatian para filosof mulai dari zaman
Plato sampai zaman modern sekarang ini.
Teori tentang keindahan muncul karena mereka menganggap bahwa seni
adalah pengetahuan perspektif perasaan yang khusus. Keindahan juga telah
memberikan warna tersendiri dalam sejarah peradaban manusia. Oleh karena itu,
dalam tesis ini penulis akan membahas pengertian estetika sejarah perkembangan
estetika, serta hubungan antara manusia dengan estetika.
Konsep the beauty and the ugly berkembang lebih lanjut menyadarkan bahwa
keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai
penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya.
94
Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty,
suatu karya yang memang diakui pihak memenuhi tanda keindahan dan the ugly,
suatu karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan oleh masyarakat.
Biasanya dinilai buruk, maupun jika dipandang dari banyak hal ternyata
memperlihatkan keindahan.
Sejarah penilain keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni
pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi
adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan,
dan kesantunan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-
aturan, kesimetrisan, dan keberadaan42.
Sebagai sebuah bentuk seni pertunjukan, RAPA’I PASEE mempunyai nilai
keindahan baik yang disajikan memalui macam-macam bunyi pukulan yang
diciptakan oleh para seniman Aceh. Dalam hal ini nilai estestis sebagi ungkapan
perasaan keindahan yang diungkapkan oleh masyarakat kesenian khususnya di
Panton Labu melalui ritme pukulan dan variasi pukulan yang bersemangat seperti
tempo marcia yang mewakili rasa semangat bagi pemain dan penikmatnya dalam
penataan busana sebagi pengungkapan lambang sosial diwakili oleh perpaduan
warna yang didominasi warna kuning keemasan yang melambangkan kejayaan
Aceh masa lalu dalam pertunjukannya.
Dalam estetika gerak tubuh pemain RAPA’I PASEE dituntut untuk bergerak
secara dinamis, tidak kaku, gerak cepat dan paling menjaga kekompakan dengan
tingkat konsentrasi yang tinggi sehingga struktur geraknya mempunyai makna
42ibid
95
yang terkandung di dalamnya. Dalam estetika bentuk RAPA’I PASEE mempunyai
keindahan dari bidang atau ukuran RAPA’I PASEE yang besar dimainkan secara
digantung dalam satu grup terdapat 16 sampai 30 orang lebih dengan cara
memukulnya dengan kekompakan dan menghasilkan suara yang bergema besar,
suara yang dapat membangkitkan semangat baik dari para pemainnya dan
penontonnya.
5.1.3 Fungsi Hiburan
Pada setiap masyarakat di dunia, musik berfungsi sebagai alat hiburan hal ini
dapat dilihat dalam setiap penampilan kesenian tentunya selalu ada unsur-unsur
hiburan agar jenis kesenian tersebut dapat menarik penontonya. Demikian juga
halnya dengan penampilan RAPA’I PASEE. Ada beberapa hal yang dapat
dijadikan masyarakat yang menontonya merasa terhibur, seperti hal dalam rapa’i
tunang (Rapai yang dilombakan). Maka selain motif pukulan yang saling berbalas,
penonton dapat terhibur dengan gerak pemusiknya yang enerjik dan variatif dari
penampilannya, kemudian penataan kostum yang mencolok, dan intensitas
musikal yang dinamik.
5.1.4 Fungsi Komunikasi
Seperti yang telah dijelaskan di atas dalam teori fungsisonalisme bahwa
musik mempuyai fungsi komunikasi dimana fungsi komunikasi ini meliputi empat
katagori utama yaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) membujuk
khalayak mengubah pandangan, dan (4) untuk memberikan bentuk kenyataan
terhadap orang lain.
96
Dalam fungsi pertama yaitu fungsi memberitahu, maka dalam hal ini bentuk
RAPA’I PASEE ini sebagai mana awal terbentuknya mempunyai isi pesan yang
disampaikan oleh para ulama kepada umatnya untuk menjelaskan tentang ajaran
Islam sebagai sarana dahwah maka dalam setiap penampilan seni RAPA’I PASEE
saat ini pun tidak jauh berbeda. RAPA’I PASEE mempunyai isi pesan dan makna
di dalam penyajiannya. Adapun pesan yang disampaikan adalah berupa makna
larik yang terdapat pada RAPA’I PASEE sedangkan musik RAPA’I PASEE untuk
mengajak umat Islam agar selalu bersemangat dan ikut berselawat untuk kepada
Nabi Muhammad SAW yang kemudian mengajak umat Islam untuk menjalankan
syariat Islam, dan nasehat-nasehat dari endatu (nenek moyang) tentang kebaikan
dalam hidup.
Dalam fungsi kedua yaitu fungsi mendidik. Dalam permainan RAPA’I
PASEE mendidik dalam disiplin, mendidik masyarakat untuk dapat menjalankan
kebaikan-kebaikan dalam kehidupan seperti besikap sopan suatu dalam beretika,
menjaga kebersihan dan kesehatan di lingkungannya, bersikap baik pada tetangga,
tidak berbuat maksiat yang manggar aturan agama serta adat industri, dan
sebagainya.
Sebagai fungsi ketiga dalam komunikasi yaitu membujuk khalayak untuk
mengubah pandangan, maka RAPA’I PASEE berfungsi sebagai media persuasif
terhadap pola pikir dan cara pandang masyarakat terhadap situasi dan kondisi
tertentu, misalnya bagi pemerintah melalui kesenian RAPA’I PASEE difungsikan
sebagai media penyampain pesan dalam situasi konflik politik yang terjadi di
Aceh bahwa masyarakat Aceh diharapkan dapat kembali berinteraksi dengan
97
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengurungkan niatnya untuk
memisahkan diri (disintegrasi) sebagai negara Aceh merdeka. Situasi ini
menimbulkan konflik politik yang berkepanjangan di Aceh selama puluhan tahun
dan banyak memakan korban jiwa baik di kalangan aparat militer maupun
masyarakat sipil hal ini tentunya sangat merugikan bangsa. Maka RAPA’I PASEE
berfungsi sebagai media untuk membujuk masyarakat terutama yang tergabung
dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk dapat kembali ke pangkuan Negara
Republik Indonesia.
Fungsi komunikasi keempat yaitu untuk memberikan kenyamanan terhadap
orang lain. Dalam hal ini penampilan kesenian RAPA’I PASEE mampu menghibur
penontonnya dalam gerakan-gerakan pemusiknya yang dinamis dan atraktif serta
motif pukulan yang bervariasi menimbulkan rasa semangat membara dengan
pihak lawan jika RAPA’I PASEE ini dipertandingkan (tunang). Sehingga respon
penonton begitu antusias terhadap penampilan dan menjadikan rasa nyaman bagi
yang menyaksikan.
5.1.5 Fungsi Perlambangan
Pada semua masyarakat, musik berfungsi sebagai lambang dari hal-hal, ide-
ide dan tingkah laku sehingga dapat diaplikasikan dalam sebuah karya yang
mempunyayi makna, ide-ide yang dapat difungsikan sebagai fungsi komunikasi
yang dapat ditangkap oleh penontonnya.
Dalam penampilan RAPA’I PASEE, ide-ide dan gagasan tertuang dalam
bentuk motif pukulan rapa’i yang dimainkan oleh penaboh (pemusik) yang
memiliki simbol-simbol yang melambangkan suatu makna tertentu yang ingin
98
disampaikan oleh penyajinya. Dalam hal ini penulis menujuk pada teori semiotik.
Menurut Peice seorang tokoh teori semiotik mengemukakan teori segi tiga makna
atau tiangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sing),
object, dan interpretant. Tanda adalah suatu yang berbentuk fisik yang dapat
ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan suatu yang merujuk
(mepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri
dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari
perwakilan fisik), dan indeks) tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat).
Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks
sosial yamg menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda43.
Seorang tokoh teori semiotik lainnya Ferdinand de Saussure (1857-1913)
mengembangkan dalam teori semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu
penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau
wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang
pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-
nilai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure
adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut
dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari
relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan konvensi tertentu.
Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut30. Bangan
berikut tentang tanda (sign) yang dikemukakan oleh Ferdianand de Soussere31.
29(Sentosa, 1993:10) dan (Pudentia,2008:323). 30(Culler, 1996:7) 31 Djajasudarman, 1993:23.
99
Dari kedua teori di atas dapat disimpulkan bahwa kaitanya pembahasan ini
RAPA’I PASEE adalah mempunyai fungsi perlambangan yang diungkapkan oleh
penciptanya yang disampaikan penyajian melalui bentuk motif pukulan yang
melambangkan suatu gagasan-gagasan disiplin dan menimbulkan semangat rasa
patriotisme. Demikian halnya dengan larik yang ada pada pinggiran kayu RAPA’I
PASEE ini tedapat simbol-simbol yang melambangkan ide dan gagasan yang
mempunyai makna dalam penyajiannya.
5.1.6 Fungsi Berkaitan dengan Norma Sosial
Pada masyarakat Aceh kesenian RAPA’I PASEE berperan dalam membentuk
masyarakat yang saling menghargai, kerja sama, disiplin dan menumbuhkan rasa
semangat dalam menjalani kehidupan sehari-hari bertujuan untuk pengendalian
sosial dengan mengkritik orang-orang menyeleweng dari kebiasaan-kebiasaan
setempat berupa nasehat bagi kaum muda untuk menaati peraturan dalam
masyarakat.
5.1.7 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan
Menurut Marriam, musik adalah sebagai wahana mitos, legenda dan cerita
sejarah, ikut menyambungkan sebuah masyarakat dengan masa lampaunya.
Sebagai wahana pengajaran adat, musik menjamin kesinambungan dan stabilitas
kebudayaan sampai generasi penerus. Dalam hal ini musik dapat diwariskan
kepada generasi penerusnya sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai yang
dibagun oleh suatu pranata sosial masyarakat, kejayaan dan kemasyuran suatu
bangsa. Merujuk pada pendapat tersebut, jika dikaitkan dengan sikap
100
masyarakatan Aceh pada umumnya Junus Melalatoa mempunyai pandangan
sebagai berikut:
masyarakat Aceh pada umumnya sangat bangga akan nilai-nilai kegemilanagan sejarah masa lalunya. Warga Aceh khususnya dan kelompok masyarakat “asal” lainnya dalam komunitas Nanggroe Aceh Darussalam umumnya memiliki kesadaran sejarah amat kuat. Mereka cenderung mengingat dan mengembangkan masalalu yang pernah gemilang, makmur, sejahtera, maju meskipun dibumbui pengalaman-pengalaman pahit. Semua itu telah melahirkan tonggak-tonggak sejarah bermakna besar bagi mereka dan bahkan bagi bangsa Indonesia umumnya tonggak sejarah dan pemahaman yang amat berharga bagi mereka adalah pengetahuan dan nilai-nilai yang bertumbuh kembang setelah masuknya ajaran Islam ke Aceh. Melalui proses enkulturasi semua ini merasuk dalam terinternalisasi kedalam diri mereka yang kemudian mengalir ke dalam berbagai aspek kehidupannya yang pada akhirnya mereka merasa memilikinya sebagai unsur identitas (Melalatoa, 1997:220-221).44
Dari pandagan tersebut dapat kita simpulkan bahwa dengan berkembangnya
musik RAPA’I PASEE di Panton Labu adalah suatu bukti bahwa kesenian tersebut
mempunyai fungsi sebagai kesinambungan kebudayaan rapa’i yaitu musik dari
Baghdad yang dibawa oleh Syeh Rifa’i yang bertujuan untuk berdakwah dan
menyebarkan agama Islam melalui kesenian alat musik rapa’i. Pesan-pesan telah
sampai secara kesinambungan melalui berbagai cara dalam dakwah melalui para
sahabat nabi, keluarga nabi, para ulama dari waktu lampau (20 abad yang lalu)
dan dari tanah Mekkah (Jazirah Arab) maupun meneyebar dan bertahan di bumi
Serambi Mekah ini sehingga berkembang melalui bentuk kesenian RAPA’I
PASEE saat ini yang telah melewati beberapa generasi-generasi baik yang
44Melalatoa, Junus: “Aceh kembali kemasa depan”. Memahami Aceh Sebuah perspektif
budaya 2005.
101
bersumber dari Jazirah Arab sampai akhiranya berkembang di daerah asalnya
Samudera Pasai hingga berkembang di kota Panton Labu.
5.1.8 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat
Dalam fungsi penginterasian masyrakat, kesenian RAPA’I PASEE adalah
sebagai media untuk pemersatu antarkelompok masyarakat baik dalam tatanan
lingkungan sosial seperti gampong-gampong maupun mukim. Dalam hal ini
RAPA’I PASEE disajikan dalam bentuk-bentuk perlombaan (tunang) dengan
teknik penampilan berbalas pukulan melalui isi pesan sehingga dengan adanya
pertandingan RAPA’I PASEE ini masyarakat antarkelompok saling berdatangan
dan bertemu kemudian melakukan permainan kesenian rapa’i ini secara
bergantian dan disaksikan oleh masyarakat dari daearah masing-masing sebagai
pendukungnya. Hal ini menunjukkan pengintegritas masyarakat Aceh melalui
kesenian RAPA’I PASEE yang menonjolkan kekhasan budayanya.
Aceh dikenal dalam sejarahnya sebagai daerah yang sering mengalami
konflik sejak zaman kerajaan Sultan Iskandar Muda berkuasa hingga perebutan
tahta di konsultan. Disusul dengan penjajahan kolonial Belanda dan Jepang serta
dilanjutkan dengan konflik horizontal (seperti perang cumbok45) dan disintegrasi
antara pemerintah Republik Indonesia (pada masa orde lama dan orde baru),
hingga masa reformasi (2000-2005). Aktivitas kesenian mengalami kemunduran
akibat konflik-konflik tersebut hingga munculnya tragedi kemanusiaan yaitu
bencana gempa dan Tsunami yang melanda sebagai besar wilayah pesisir timur
31Perang cumbok adalah konflik horizontal yang melibatkan sesama masyarakat Aceh
antara kaum Teuku (bangsawan) dan Teungku (kalangan ulama/cendikiawan Islam) akibat adu domba penjajah Belanda.
102
(Banda Aceh) yang menimbulkan kerusakan yang sangat dahsyat. Ratusan ribu
korban jiwa menjadi korban. Dunia pun turut berempati dan merokonstruksi
kepada Aceh yang sedang mengalami kerusakan pada saat itu. Hal ini menjadi
momentum bagi perdamaian antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan menandatanagani perjanjian damai di kota
Helsinky-Finlandia pada tanggal 15 agustus 2005.
Dalam mensosialisasikan perdamaian kepada rakyat Aceh, maka perlu
adanya pendekatan kebudayaan sebagai media sosialisasi tersebut. Dengan hal ini
seni RAPA’I PASEE khususnya rapa’i uroh yang berasal dari daerah Pase Aceh
Utara sebagai media dan simbol perdamaian dalam kampanye damai yang
dilakukan oleh pemerintah RI dan GAM. Masyarakat Aceh menyambut di
sepanjang jalan dengan menabuh rapa’i secara massal di setiap daerah rawan
konflik yang dilewati oleh tim kampanye damai tersebut. Maka di sini sangat jelas
fungsi dan peranan RAPA’I PASEE sebagai local wisdom (kearifan lokal) untuk
mewakili kebudayaan masyarakat Aceh khususnya kota Panton Labu.
103
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Setelah penulis mendeskripsikan secara rinci dari bab I sampai bab V, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: seperti yang dikemukakan dalam
pokok permasalahan bahwa penelitian mendeskripsikan struktur musik dan fungsi
sosial budaya serta pada seni pertunjukan tradisional RAPA’I PASEE sebagai
bentuk kesenian yang menggunakan alat musik tradisional Aceh yang merupakan
kebudayaan masyarakat Aceh pada umumnya dan khususnya masyarakat di kota
Panton Labu. Kesimpulan ini juga menjadi hasil penelitian yang penulis lakukan
dalam mengkaji kesenian RAPA’I PASEE dalam kebudayaan masyarakat kota
Panton labu Aceh Utara.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
Struktur musik RAPA’I PASEE yang terdiri motif pukulan yang mempunyai
warna suara (timbre) dum dan teng, bunyi dum terdengar lebih rendah dan bunyi
teng terdengar tinggi, bentuk pukulan RAPA’I PASEE terdiri dari lagu sa yang
menunjukkan awal mulainya sebuah permainan musik yang bermakna dalam
kehidupan sehari-hari yaitu bersiap-siap diawali dengan do’a dalam berkegiatan
atau melakukan aktivitas sehari-hari, lagu dua yang bermakna dalam kehidupan
sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas sehari-hari, lagu lhee yang
bermakna dalam kehidupa sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas
sehari-hari dan adanya hambatan dan rintangan, lagu limeung yang bermakna
dalam kehidupan sehari-hari yaitu sudah mulai melakukan aktivitas sehari-hari
104
adanya hambatan dan rintangan dan bagaimana mencari solusinya, lagu tujoh
yang bermakna dalam kehidupan sehari hari yaitu mencari solusi dan harus dapat
menyelesaikannnya atau mencari jalan keluar, lagu sikureung yang bermakna
dalam kehidupan sehari-hari pasti ada permasalahan dan jalan keluarnya bisa
dilakukan dengan bermusyawarah, dan lagu duablah yang bermakna dalam
kehidupan sehari-hari jika bermusyawarah harus melibatkan orang yang dianggap
tua atau tengku dalam suatu desa disebut tuha peut atau tuha lapan bermakna
orang yang dituakan, agar permasalahan dapat terselesaikan. Motif pukulan-
pukulan RAPA’I PASEE mencerminkan kebersamaan dan semangat perjuangan.
RAPA’I PASEE mempunyai delapan fungsi hasil penelitian lapangan dari
sepuluh fungsi yang dikemukakan oleh Merriam. Tidak semua fungsi sesuai
dengan RAPA’I PASEE ini. Fungsi-fungsinya sebagai: (1) Kesenian RAPA’I
PASEE mempunyai fungsi penghayatan estetis baik pada pemainnya sebagai
pelaku, yang kemudian dapat menarik penonton sehingga masyarakat dapat
menikmati keindahan dari gerak, musik dan keunikan dari ukuran RAPA’I PASEE
yang besar digantung dan dipukul dengan tangan. (2) RAPA’I PASEE mempunyai
fungsi sebagai hiburan terhadap pemain dan masyarakat penontonnya. (3) Pada
fungsi komunikasi RAPA’I PASEE adalah sebagai media mengumpulkan
masyarakat untuk menyampaikan pesan tentang ajaran islam dan semangat
patriotisme. (4) Pada fungsi perlambangan RAPA’I PASEE mempunyai simbol-
simbol dalam larik-larik yang ada pada baloh (kayu) Rapa’i yang menggambarkan
pesan-pesan simbol ajaran Islam, peraturan-peraturan norma adat istiadat, dan
musyawarah. (5) Pada fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, kesenian
105
RAPA’I PASEE merupakan pengungkapan nila-nilai adat dan hukum agama agar
masyarakat kota Panton Labu dapat menjalankannya dalam kehidupan sosial
sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah kota melalui undang-
undang atau qanun yang telah dibuat oleh lembaga legislatif kota Panton Labu,
yang disampaikan melalui pesan-pesan syiar kesenian RAPA’I PASEE sebagai
media sosialisasi kepada masyarakat. (6) Sebagai fungsi kesinambungan budaya,
RAPA’I PASEE merupakan kesenian tradisional yang sudah diwariskan secara
turun-temurun kepada generasinya, (7) pada fungsi pengintegrasian masyarakat,
RAPA’I PASEE dapat menyatukan masyarakat kota Panton Labu yang multietnik
dan multikultur melalui pertunjukan tunang (lomba) sehingga setiap masyarakat
daerah yang mempunyai kelompok rapa’i tersebut. (8) Fungsi emosional apabila
dilihat dari motif ritem yang enerjik, serentak, dan penuh semangat dalam tempo
irama musiknya yang perlahan dari lambat, sedang dan cepat sehingga membawa
emosi penonton untuk turut bersemangat dalam mengapresiasinya dan menerima
pesan-pesan yang terkandung dalam permainan musiknya.
Dari dimensi fungsi sosial budaya tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
motif pukulan yang terdapat pada kesenian RAPA’I PASEE mengandung nilai-
nilai sosial budaya dan ajaran agama islam, yang menjadi dasar bagi pola hidup
masyarakat kota Panton labu, yang terdiri dari berbagai multi etnis dan agama
sebagai sebuah masyarakat Urban tentunya bergandengan tangan dalam
membangun. Para pemain RAPA’I PASEE ini mencerminkan kebersamaan sosial
budaya dalam rangka menjabarkan ajaran Islam Habluminannas (hubungan antara
sesama manusia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama).
106
7.2. Saran
Harapan penulis, semoga para seniman di Aceh khususnya Aceh Utara kota
Panton Labu dapat bersinergi dengan pemerintah melalui Departemen Budaya dan
Pariwisata dalam menggalakkan aktivitas kesenian sebagai bentuk pemberdayaan
masyarakat kesenian dan potensi wisata budaya di Aceh Utara kota Panton Labu.
Dengan harapan kesenian tradisional ini hidup dan terus berkembang perlu lebih
dikembangkan terhadap fungsi secara intens di dalam masyarakat. Untuk itu Dinas
Budaya dan Pariwisata perlu melakukan dokumentasi akademis dan santifik,
menyelenggrakan seminar tentang kesenian RAPA’I PASEE secara kontinu dan
berkala serta menunjukkan kesenian tersebut sesuai dengan fungsinya di
masyarakat atau difungsikan untuk kepentingan dunia wisata.
Selain perguruan tinggi yang ada dalam mengelola ilmu seni, seperti
Departemen Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara, sendratasik Universitas
Negeri Medan, Univeristas Syah Kuala Banda Aceh, Universitas Malikulsaleh
Lhokseumawe, pemerintah perlu membangun sebuah institut seni di Banda Aceh
sebagai lembaga yang akan mengkaji, meneliti dan mendokumentasikan kesenia-
kesenian yang ada di kawasan ini. Sebagai upaya melestarikan kekayaan khasanah
sebi budaya Aceh dan sebagai bahan literatur bagi perkembangan kesenian Aceh
selanjutnya. Dengan demikian masyarakat Aceh khusunya akan sadar budaya dan
menjadi insan seutuhnya yang diridhai Allah keberadaannya di dunia ini.
107
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. 2003. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Beneditct, Ruth. 1962. Pola-Pola Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Rakyat. Bent, Ian. 1987. Analysis. New York : Macmiian Press. Budhi, Santoso, S. 1984. Upacara Tradisional Kedudukan dan Fungsinya dalam
Kehidupan Masyarakat dalam Analisa Kebudayaan, Tahun IV Nomor 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdikbud RI. 1976. Petunjuk Pelaksanaan Penelitian dan Upacara Perkawinan. Jakarta. Pusat Sejarah dan Budaya. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni. Dewi, Rita. Rapai Pasee pada Masyarakat Aceh di desa Lam Awe Kecamatan
Syamtalira Aron: Analisis Musik Dalam Konteks Pertunjukan (Skripsi Sarjana), Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Satra, Universitas Sumatera Utara.
Hartoko, Dick. 1983. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius. HasanHusein, T.A.Drs. dkk. 1984. Upacara Tradisional Daerah Istimewa Aceh.
Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek IDKD Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Hasjmy. A. 1983. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah : Jakarta: Penerbit Benua Aceh Dalam Angka.
Hasjmy.A, 1990. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Jakarta : Penebit Benua. Aceh Dalam Angka
Hoesin, Muehammad. 1978. Adat Aceh. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Http//www.Waspada_co_id Seni dan Budaya. Tubuh-Tubuh Visual yang Ornamentik.
Koentjaraningrat. 1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Koentjaraningrat.1980. Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan
Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Djambatan. Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian
Rakyat. Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pusat Utama. Kuntowijoyo. 1975. Pembangunan Pariwisata di Daerah Istimewa Aceh. Proyek
Pembinaan Kepariwisataan Sekretariatan Wilayah Daerah Istimewa Aceh.
Kuntowijoyo. 1977. Pembangunan Pariwisata di Daerah Istimewa Aceh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Departemen Perhubungan Direktorat Jendral Pariwisata.
110
LAMPIRAN
Foto : Wawancara dengan narasumber Tgk. Razali di desa Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara
Foto : Wawancara dengan narasumber Tgk. Razali di Desa Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara
111
Foto : Nama grup Rapa’i Pasee di desa Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara
Foto : Nama grup rapa’i pasee di Desa Jambo Aye Panton Labu Aceh Utara
112
Foto : Narasumber menjelaskan makna larik pada rapa’i pasee
Foto : Pertunjukan rapa’i pasee
113
Foto : Pertunjukan rapa’i pasee