ANALISIS STRUKTUR, KINERJA DAN KLUSTER...
Transcript of ANALISIS STRUKTUR, KINERJA DAN KLUSTER...
ANALISIS STRUKTUR, KINERJA DAN KLUSTER INDUSTRI LOGAM DASAR BESI DAN BAJA DI INDONESIA
OLEH MEGA DARMAYANTI
H14103044
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
MEGA DARMAYANTI. Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia (dibimbing oleh BUNGARAN SARAGIH).
Industri logam dasar besi dan baja merupakan industri strategis karena sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi suatu negara dan sebagai bahan baku vital bagi industri-industri secara keseluruhan. Permasalahan yang paling utama terjadi pada industri besi baja Indonesia yaitu industri ini memiliki ketergantungan impor bahan baku yang sangat tinggi. Hal ini karena industri besi baja nasional belum mampu menciptakan atau mengembangkan teknologi untuk pengolahan bijih besi lokal menjadi bahan mentah yang digunakan sebagai bahan baku untuk industri besi baja tersebut. Saat ini mulai terjadi krisis baja dunia akibat adanya permintaan besi baja yang sangat besar dari negara-negara seperti China, Irak, dan Rusia. Industri besi baja nasional ini pun masih menggunakan sumber energi gas yang harganya semakin meningkat dalam proses produksinya menyebabkan teknik pengolahannya pun menjadi kurang efisien. Berdasarkan permasalahan ini mencerminkan bahwa industri besi baja Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar baja internasional sehingga sedikit saja terjadi guncangan perekonomian yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga bahan baku baja sangat berpengaruh buruk terhadap struktur dan kinerja industri besi baja Indonesia.
Guncangan perekonomian seperti yang terjadi di pertengahan tahun 1997 yaitu adanya krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk juga Indonesia yang menyebabkan kenaikan harga-harga yang tajam, termasuk kenaikan harga bahan baku baja. Hal ini tentu berdampak pada struktur pasar besi baja dan juga mempengaruhi kinerja industrinya. Pada akhirnya dapat berdampak pula pada daya saing produk yang dihasilkan industri ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa struktur pasar dan juga kinerja industri logam dasar besi dan baja di Indonesia, serta mengidentifikasi kabupaten-kabupaten yang merupakan kluster (pengelompokan) industri besi baja di Indonesia.
Untuk menganalisa struktur pasar industri besi baja dilakukan analisis struktur industri dengan menggunakan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4). Untuk menganalisa kinerja industrinya maka dilakukan analisis kinerja yang dilihat berdasarkan pertumbuhan output dan nilai tambah; kontribusi industri besi baja terhadap industri manufaktur dari sisi tenaga kerja, unit usaha, dan nilai tambah yang dihasilkan; efisiensi; serta keuntungannya. Untuk melihat daya saing industri dilakukan dengan melihat kluster-kluster yang ada pada industri tersebut. Maka dalam penelitian ini dilakukan analisis kluster industri untuk melihat bagaimana kluster atau sebaran geografis industri logam dasar besi dan baja. Analisis kluster ini menggunakan alat analisis Sistem Informasi Geografis (SIG), skala, dan indeks spesialisasi. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder time series tahun 1995-2004, sumber data Badan Pusat Statistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia adalah oligopoli ketat dengan CR4 sebesar 71,15 persen. Krisis ekonomi telah melemahkan struktur industrinya karena sejak krisis ekonomi nilai rasio konsentrasinya terus mengalami penurunan sehingga keuntungan yang diperoleh semakin menurun. Saat krisis ekonomi, terjadi pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif pada industri besi baja Indonesia. Ini karena adanya kenaikan biaya input produksi yang sangat besar akibat kenaikan harga bahan baku baja impor. Pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif juga terjadi setelah krisis ekonomi, dimana pada tahun 2002 pertumbuhan negatif tersebut karena industri besi baja nasional menghadapi serangan dari produk-produk baja impor dimana hampir sebagian besar produk baja impor tersebut adalah produk dengan harga dumping dan ilegal sehingga hal ini mematikan perusahaan-perusahaan baja dalam negeri karena adanya persaingan yang tidak sehat. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan terpaksa menutup usahanya sehingga menurunkan output industri besi baja.
Isu terjadinya kelangkaan bahan baku besi baja yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku dunia pada tahun 2003 menyebabkan pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif pula. Kondisi-kondisi yang mengancam industri besi baja Indonesia tersebut menyebabkan kinerja industri besi baja nasional sangat terganggu sehingga menurunkan kontribusi industri besi baja terhadap industri manufaktur dalam penyerapan tenaga kerja, nilai tambah,dan jumlah unit usahanya; menurunkan efisiensi dan juga keuntungan yang diperoleh perusahaannya. Dari analisis sebaran geografis dapat disimpulkan bahwa sampai tahun 2004 diindikasikan terdapat satu kluster terbesar industri logam dasar besi dan baja di Indonesia yaitu terletak di kabupaten Cilegon Propinsi Banten. Hal ini terbukti karena industri logam dasar besi dan baja di Cilegon memberikan sumbangan cukup besar baik pada penyerapan tenaga kerja maupun nilai tambahnya. Kabupaten-kabupaten dengan nilai indeks spesialisasi lebih dari satu cukup potensial untuk dibangun dan dikembangkan menjadi kluster-kluster industri logam dasar besi baja yang kuat sehingga dampaknya dapat meningkatkan daya saing industrinya.
Berdasarkan penelitian ini, peran pemerintah dapat membuat kebijakan yang mengatur dan mengontrol terlaksananya program pengolahan bijih besi lokal dengan memprioritaskan dana-dana untuk tujuan tersebut agar ketergantungan impor bahan baku baja dapat berkurang. Untuk meningkatkan daya saing produk yang tinggi, peran yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan kebijakan pengembangan kluster-kluster industri terutama kluster industri besi baja Indonesia yang kuat.
ANALISIS STRUKTUR, KINERJA DAN KLUSTER INDUSTRI LOGAM DASAR BESI DAN BAJA DI INDONESIA
Oleh
MEGA DARMAYANTI H14103044
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Mega Darmayanti
Nomor Registrasi Pokok : H14103044
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster
Industri Logam Dasar Besi dan Baja di
Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. NIP. 130 350 045
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S.
NIP. 131 846 872
Tanggal kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2007
Mega Darmayanti H14103044
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Mega Darmayanti lahir pada tanggal 31 Juli 1985 di
Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang berada di Provinsi Banten. Penulis
anak keempat dari empat bersaudara, dari pasangan Dharma Sastra dan Rani
Susanti. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari menamatkan sekolah di TK dan
SD Mardi Yuana Labuan, kemudian melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 1
Labuan dan lulus pada tahun 2000. Setelah itu, kembali melanjutkan sekolah ke
SMU Mardi Yuana Serang dan lulus pada tahun 2003.
Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), akhirnya penulis
diterima sebagai mahasiswi Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di
organisasi Keluarga Mahasiswa Buddhis Adhithana (KMBA) serta berperan aktif
dalam kepanitiaan-kepanitiaan acara di kampus.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah
“Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja
di Indonesia”. Topik struktur, kinerja dan kluster terutama terhadap industri
logam dasar besi dan baja di Indonesia sangat menarik untuk dianalisis. Selain
karena masih sedikitnya analisis ekonomi yang dilakukan kepada industri logam
dasar besi dan baja Indonesia, hal ini juga karena ada beragam permasalahan yang
terjadi pada industri tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang struktur, kinerja dan kluster pada industri ini. Di samping hal
tersebut, penulisan skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis
sampaikan kepada :
1. Papa (Dharma Sastra) dan Mama (Rani Susanti) atas kasih sayang, doa,
semangat dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis. Ko Ahaw, Ko
Cun-cun, Ko Ayong yang selalu membantu dan melindungiku. Semoga
selalu berbahagia.
2. Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. yang banyak membantu dalam
membimbing penulis baik secara teknis dan teoritis serta baik moril dan
materil dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan.
3. Ir. Tanti Novianti, M.Si yang telah bersedia menguji dan memberikan
masukan yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
Widyastutik, M.Si sebagai penguji dari komisi pendidikan yang juga telah
memberikan masukan dalam perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.
4. Syamsul Hidayat Pasaribu, S.E, M.Si sebagai pembimbing akademik yang
telah bersedia memberikan bimbingan dalam proses akademik selama
perkuliahan.
5. Bapak Marsel sebagai guru di SMU. Mardi Yuana serang yang telah
memperkenalkan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB kepada penulis.
Terima kasih kepada keluarga besar Departemen Ilmu Ekonomi yang
banyak membantu. Guru-guru tercinta di SMU Mardi Yuana Serang, SLTP.
N. 1 Labuan, TK/SD Mardi Yuana Labuan atas bekal pendidikan yang
penulis dapatkan.
6. KMBA 40 (Linda, Hudar, Beni, Hansen, Rika, Herni, dan Hendri) sebagai
teman yang selalu membawa keceriaan dan semangat. KMBA 39 (Ci Fany,
Ko Edi.C, Ko Pocil, Ko Andi, Ko Edi. S) yang telah memberikan semangat
luar biasa bagi penulis. KMBA 41, 42, 43, dan 44. Semoga kalian
berbahagia.
7. Ci Hanie (IE 39) yang selalu meminjamkan buku-buku perkuliahan dan juga
memberikan segala masukan yang bermanfaat dalam proses akademik.
Teman-teman IE 40, terutama Ria Lubis, Dewi Sondari, dan Mukti Asih atas
persahabatan yang telah terjalin selama ini. Rina, Erni, Dian Timor, dan
Winsih atas bantuan yang diberikan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan, tetapi semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain
yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2007
Mega Darmayanti H14103044
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Perumusan Permasalahan .................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .................... 9
2.1. Tinjauan Teori ..................................................................................... 9
2.1.1. Definisi Industri ....................................................................... 9
2.1.2. Struktur Pasar ........................................................................... 10
2.1.3. Kinerja Industri ........................................................................ 13
2.1.4. Teori Lokasi ............................................................................. 15
2.1.5. Kluster Industri ........................................................................ 18
2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 19
2.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 22
III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 25
3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 25
3.2. Metode Analisis .................................................................................. 25
3.2.1. Analisis Struktur Industri .......................................................... 26
3.2.2. Analisis Kinerja Industri ........................................................... 26
3.2.3. Analisis Kluster Industri ........................................................... 27
IV. GAMBARAN UMUM .............................................................................. 32
4.1 Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia .................................. 32
4.2 Sejarah Perkembangan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ............................................................................................. 33
4.2.1. Periode Antara 1950-1960 ........................................................ 33
4.2.2. Periode Antara 1960-1965 ........................................................ 34
4.2.3. Periode Antara 1965-1997 ........................................................ 35
4.2.4. Periode Antara 1997-2007 ........................................................ 36
4.3. Regulasi Pemerintah Terhadap Industri Logam Dasar Besi dan Baja ...................................................................................... 38
4.4. Produksi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia .................. 41
4.5. Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ..................................................................... 43
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 45
5.1. Analisis Struktur Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ............................................................................................. 45
5.2. Analisis Kinerja Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ............................................................................................. 50
5.2.1. Pertumbuhan Output Produksi dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ....................... 50
5.2.2. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur .................................................... 54
5.2.3. Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ........ 58
5.2.4. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ................................................................................. 62
5.3. Analisis Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ...... 66
5.4. Rekomendasi Kebijakan .................................................................... 77
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 81
6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 81
6.2. Saran ................................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 83
LAMPIRAN ........................................................................................................ 86
vi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen) .................................................. 2
1.2. Nilai Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2001-2004 (US $ juta) .................................................... 3
2.1. Contoh Tipe Pasar mulai dari Monopoli Murni sampai Persaingan Murni ....................................................................................... 10
3.1. Prosedur dan Aktifitas Utama dalam SIG .................................................. 28
4.1. Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Indonesia Tahun 1996-2000 ....................................................................................... 37
4.2. Perkembangan Volume Produksi Beberapa Produk Besi Baja Indonesia Tahun 2002-2004 (ribu ton) ...................................................... 42
4.3. Perkembangan Ekspor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005 ....................................................................... 43
4.4. Perkembangan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005 ....................................................................... 44
5.1. CR4 Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 ....................................................................................... 45
5.2. Pertumbuhan Output dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 (persen) ................................. 51
5.3. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur 1995-2004 (persen) .................................... 55
5.4. Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia Tahun 1995-2004 (persen) ......................................................................... 59
5.5. Efisiensi Industri Penggilingan Baja Indonesia, tahun 1998 ..................... 60
5.6. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia .................... 63
5.7. Rasio Skewness dan Kurtosis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 dan 2004 ................................................................ 69
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Konsumsi Baja Dunia Tahun 2003 ............................................................ 4
2.1. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 24
5.1. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Jawa ................................................................................................. 67
5.2. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Kalimantan ....................................................................................... 68
5.3. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Sumatera .......................................................................................... 68
5.4. Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 .............................................. 70
5.5. Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 .............................................. 70
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Nilai Tambah, Output, Tenaga Kerja, dan Input Industri Logam Dasar Besi dan Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 1995 ...................... 87
2. Data Nilai Tambah, Output, Tenaga Kerja, dan Input Industri Logam Dasar Besi dan Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 2004 ...................... 89
3. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 ....................................................................................... 91
4. Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi Baja Indonesia Tahun 1995 .... 92
5. Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi Baja Indonesia Tahun 2004 .... 93
6. Daerah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Berdasarkan
Subsektor Tahun 2004 ............................................................................... 94
7. Indeks Spesialisasi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia 2004 ........................................................................................... 95
8. Indeks Spesialisasi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia 1995 ........................................................................................... 96
9. Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 ................................................................................ 97
10. Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 ................................................................................ 98
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa perubahan yang
sangat cepat bagi dunia perekonomian. Dampak yang sangat dirasakan yaitu
semakin ketatnya persaingan sektor industri di berbagai negara. Oleh karena itu,
agar sektor industri ini mampu berkembang dalam ketatnya persaingan dunia pada
saat ini maka industri harus mampu meningkatkan perekonomian yang berdaya
saing tinggi. Hal ini juga yang hendaknya dimiliki oleh sektor industri di
Indonesia agar mampu bertahan dalam perekonomian dunia. Dengan demikian,
banyak tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia dalam membangun sektor
industrinya.
Adanya industrialisasi mengakibatkan transformasi struktural di Indonesia,
ditandai dengan terjadinya penurunan kontribusi sektor pertanian (sektor primer)
dan peningkatan di sektor sekunder atau tersier. Kinerja suatu industri, dapat
dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun
1993 sampai 2006, sektor industri manufaktur atau industri pengolahan telah
menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB dibandingkan sektor-
sektor lainnya. Pada tahun 1993, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap
PDB sebesar 22,30 persen, dan pada tahun 2006, kontribusi industri pengolahan
telah mencapai 28,72 persen (Tabel 1.1). Bila dibandingkan dengan sektor
pertanian bahwa pada tahun 1993, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
sebesar 17,88 persen dan di tahun 2006, kontribusi sektor pertanian menurun
2
menjadi 13,36 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor industri telah
menggeser sektor pertanian dalam pembangunan.
Tabel 1.1. Kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen)
Kontribusi PDB Sektor / Lapangan Usaha 1993 2006
1. Pertanian 17,88 13,362. Pertambangan 9,55 10,513. Industri Pengolahan 22,30 28,724. Listrik, Gas, Air bersih 1,00 0,875. Konstruksi 6,83 6,436. Perdagangan, Hotel dan Restoran 16,77 14,977. Pengangkutan dan Komunikasi 7,05 7,048. Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 8,51 8,329. Jasa-jasa 10,30 9,78 PDB 100,00 100,00
Sumber : BPS, Pendapatan Nasional Indonesia, 1993 dan 2006 (Triwulan I)
Perkembangan ekspor industri nasional menunjukkan adanya
ketergantungan ekspor andalan pada sepuluh komoditi industri. Kesepuluh
industri andalan tersebut adalah tekstil dan produk tekstil; pengolahan kayu; kulit,
barang kulit, dan sepatu/alas kaki; pengolahan karet; elektronika; logam dasar besi
dan baja; mesin dan automotif; pengolahan kelapa/kelapa sawit; pulp dan kertas;
makanan dan minuman; pengolahan tembaga dan lainnya. Dari sepuluh komoditas
andalan tersebut, terdapat tiga komoditas andalan yang padat modal yaitu industri
elektronika, industri logam dasar besi dan baja serta industri mesin dan automotif.
Pada tahun 1995, kontribusi kesepuluh komoditas ekspor andalan tersebut
terhadap nilai total ekspor nonmigas yakni sebesar 72,08 persen
(ElektoIndonesia,2006).
Kasus yang menarik terjadi pada industri logam dasar besi dan baja adalah
walaupun industri logam dasar besi dan baja menjadi salah satu ekspor andalan
3
tetapi penerimaan industri ini masih tetap defisit karena nilai impornya masih
lebih besar daripada nilai ekspor (Tabel 1.2). Industri logam dasar besi dan baja
nasional mempunyai ketergantungan yang sangat besar pada impor bahan
bakunya. Padahal, Indonesia dikenal kaya akan sumber daya alamnya tetapi masih
harus mengimpor hampir 100 persen pellet (bahan baku baja) dan 60 sampai 70
persen scrap (potongan) baja untuk keperluan industri bajanya (Ikhsan,2005).
Sementara itu, untuk mendapatkan impor baja ini pun, Indonesia harus bersaing
dengan negara-negara lain yang juga mengkonsumsi baja lebih banyak daripada
Indonesia seperti China, Irak dan Rusia.
Tabel 1.2. Nilai Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2001-2004 (US $ juta)
Tahun Nilai Ekspor Nilai Impor 2001 451 1.5472002 476 1.6952003 578 1.7382004 883 3.400
Sumber : Departemen Perindustrian, 2001-2004 Pada tahun 2003, konsumsi baja China sebesar 246,5 juta ton atau sebesar
28,5 persen dari konsumsi baja dunia (Gambar 1.1). Namun, China juga
merupakan salah satu produsen baja terbesar di dunia dengan produksi 220 juta
ton pada tahun 2003. Produksinya terus meningkat hingga menjadi 300 juta ton
pada 2004. Pada tahun 2005, angkanya meningkat menjadi 350 juta ton tetapi hal
ini tetap belum mampu memenuhi peningkatan kebutuhan baja negara tersebut
(Ikhsan,2005). Meningkatnya jumlah permintaan baja oleh negara-negara seperti
China, Irak, Rusia, dan negara-negara lainnya dalam jumlah cukup besar, dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan harga baja di pasar internasional. Hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya eksploitasi besi baja terutama eksploitasi bijih
4
besi sebagai bahan baku pembuatan besi baja untuk memenuhi permintaan yang
besar terhadap besi baja tersebut.
Gambar 1.1 Konsumsi Baja Dunia Tahun 2003 Sumber : Warta Ekonomi, 2006
Eksploitasi besi baja saat ini menduduki peringkat pertama diantara barang
tambang logam lainnya, melingkupi hampir 95 persen dari produk berbahan
logam (Rochman,2003). Dengan adanya eksploitasi ini, dalam jangka panjang
dikhawatirkan dapat menyebabkan kelangkaan besi baja di dunia. Hal ini juga
sangat mengkhawatirkan keberlanjutan aktivitas produksi industri logam dasar
besi baja di Indonesia yang sebagian besar bahan bakunya diimpor. Permasalahan
lainnya pada industri besi baja nasional adalah industri ini masih menggunakan
teknologi pengolahan baja yang kurang efisien karena masih menggunakan
sumber energi gas yang harganya semakin meningkat dan kondisi mesin produksi
yang sudah tua pada beberapa pabrik sehingga memberikan skala produksi yang
terbatas dan tingkat efisiensi rendah.
Pokok permasalahan bagi industri besi baja nasional adalah adanya
ketergantungan impor bahan baku yang tinggi, ini menunjukkan bahwa aktivitas
5
produksi industri besi baja nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi
di pasar internasional sehingga sedikit saja terjadi guncangan perekonomian di
pasar internasional sangat mempengaruhi kondisi industri besi baja nasional.
Guncangan perekonomian seperti krisis ekonomi yang melanda beberapa negara
Asia termasuk juga Indonesia di pertengahan tahun 1997 menyebabkan fluktuasi
kenaikan harga-harga yang tajam, begitu pula dengan kenaikan harga bahan baku
baja yang meningkat. Kenaikan harga bahan baku baja selain akibat pengaruh
krisis ekonomi juga akibat kelangkaan baja di dunia dapat mempengaruhi output
produksi besi baja Indonesia. Selain itu, tantangan lain bagi industri besi baja
Indonesia yaitu masuknya produk-produk baja impor dengan harga dumping atau
ilegal, inefisiensi produksi, hingga tidak kondusifnya iklim persaingan di dalam
negeri. Semua ini akan berpengaruh pada struktur pasar dan kinerja industri besi
baja nasional serta berpengaruh pula pada daya saing produknya.
Dengan demikian, baja dengan nilai ekonomi tinggi dan berfungsi vital
dalam pembangunan industri perlu mendapatkan perhatian yang baik agar produk-
produk industri besi baja nasional mampu berkompetisi dengan produk dari
negara lain baik dalam hal harga, jumlah produksi, kualitas, dan ketepatan waktu
penyebaran karena besi baja merupakan bahan baku vital untuk industri-industri
keseluruhan. Porter (1990) berpendapat bahwa derajat pengelompokan industri
secara geografis dalam suatu negara memainkan peranan penting dalam upaya
meningkatkan daya saing produk yang berkelanjutan. Porter (1990) mengatakan
bahwa kluster industri yang ditandai dengan konsentrasi geografis dari
perusahaan-perusahaan, lembaga dan industri-industri yang saling berkaitan satu
6
sama lain pada suatu bidang tertentu lebih produktif untuk meningkatkan daya
saing produk suatu industri.
1.2. Perumusan Permasalahan
Banyaknya permasalahan pada industri logam dasar besi dan baja di
Indonesia seperti ketergantungan impor bahan baku industri yang sangat tinggi,
adanya permintaan besi baja yang sangat besar dari negara-negara di dunia
menyebabkan industri besi baja nasional harus bersaing untuk mendapatkan bahan
baku tersebut dengan harga bahan baku yang tinggi pula, dan adanya teknologi
pengolahan baja yang kurang efisien, serta masuknya berbagai produk baja impor
dengan harga dumping dan ilegal sangat mengganggu kondisi industri besi baja
nasional.
Adanya permasalahan ini juga sangat mengkhawatirkan keberlanjutan
proses produksi industri ini kedepannya. Apalagi dipicu oleh kondisi
perekonomian yang kacau dan tidak menentu, seperti yang terjadi pada
pertengahan tahun 1997 yaitu saat terjadi krisis ekonomi yang melanda beberapa
negara Asia termasuk Indonesia yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku
baja di pasar internasional. Hal ini tentu saja mempengaruhi struktur industri dan
kinerja industri besi baja Indonesia. Berdampak pula pada daya saing produk
industri besi baja tersebut. Salah satu pendekatan yang dikemukakan oleh Porter
(1990) untuk melihat daya saing industri adalah dengan menciptakan dan
mengembangkan kluster-kluster yang kuat pada industri tersebut. Bila suatu
industri memiliki kluster-kluster industri yang kuat maka diharapkan industri
tersebut mampu menciptakan produk yang berdaya saing tinggi.
7
Berdasarkan uraian tersebut, ada beberapa perumusan masalah yang akan
di jawab dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana struktur pasar industri logam dasar besi dan baja di Indonesia ?
2. Bagaimana kinerja industri logam dasar besi dan baja yang dihasilkan ?
3. Apakah terdapat pengelompokan (pengklusteran) industri logam dasar besi
dan baja di suatu area tertentu ?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisa kondisi yang terjadi
pada industri baja di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh kondisi
perekonomian internasional. Berdasarkan pada perumusan masalah yang telah
diungkapkan sebelumnya, maka tujuan spesifik dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisa struktur pasar industri logam dasar besi dan baja di
Indonesia.
2. Menganalisa kinerja industri logam dasar besi dan baja yang dihasilkan.
3. Mengidentifikasi pengelompokan (pengklusteran) industri logam dasar
besi dan baja di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah agar dapat memberikan informasi
mengenai kondisi pada industri logam dasar besi dan baja di Indonesia. Manfaat
penelitian ini secara lebih khusus adalah sebagai berikut :
1. Merekomendasikan wilayah-wilayah yang potensial untuk dibangun dan
dikembangkan kluster industri besi baja berdasarkan analisis kluster
8
industri agar industri mampu menghasilkan daya saing produk yang
berkelanjutan.
2. Bagi para pelaku pasar, semoga penelitian ini bisa memberikan tambahan
informasi atas kondisi yang terjadi pada industri logam dasar besi dan baja
Indonesia sehingga menjadi motivasi untuk meningkatkan kinerja
industrinya dan mencari solusi untuk mengurangi ketergantungan impor
bahan bakunya.
3. Bagi penulis, penelitian ini sebagai proses belajar dalam menganalisa
suatu permasalahan yang ada dan tentunya memberikan tambahan ilmu
pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui serta membuka pemahaman
untuk mencari jawaban atas perumusan masalah.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teori
2.1.1. Definisi Industri
Dumairy (1995) mengatakan ada dua pengertian industri. Pertama, industri
adalah himpunan perusahaan sejenis. Kedua, industri diartikan sebagai suatu
sektor ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah
bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi.
Industri logam dasar besi dan baja merupakan salah satu dari berbagai
macam industri manufaktur yang ada. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik)
(1999), industri manufaktur adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan
kegiatan mengubah suatu barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi dan
barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan
sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir secara mekanis, kimia, atau dengan
tangan.
Menurut BPS (1999), sektor industri digolongkan menjadi empat golongan
berdasarkan banyaknya pekerja, yaitu :
1. Industri Besar, dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih.
2. Industri Sedang, dengan tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang.
3. Industri Kecil, dengan tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang.
4. Indusri Rumah tangga, dengan tenaga kerja satu sampai empat orang.
BPS mempunyai sistem klasifikasi standar industri yang terperinci yang
biasa dikenal sebagai International Standard Industrial Classification (ISIC) atau
10
Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI). Sistem penggolongan ISIC ini
ditetapkan oleh Organisasi Industri pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO).
2.1.2. Struktur Pasar
Salah satu ukuran yang digunakan untuk mengetahui struktur pasar suatu
industri adalah rasio konsentrasi. Nilai rasio konsentrasi ini merupakan intensitas
kompetisi yang terjadi diantara perusahaan-perusahaan dan industri (BPS,1999).
Kondisi utama dari tipe struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Contoh Tipe Pasar mulai dari Monopoli Murni sampai Persaingan Murni
Tipe Pasar Kondisi Utama Contoh Sehari-hari
Monopoli Murni Perusahaan yang dominan (dominant firm) Oligopoli ketat Oligopoli longgar Persaingan monopolistik Persaingan murni
Suatu perusahaan memiliki 100 persen dari pangsa pasar Suatu perusahaan yang memiliki 50-100 % dari pangsa pasar dan tanpa pesaing yang kuat. Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar 60-100 %. Kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga relatif mudah. Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki 40% atau kurang, kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga sebenarnya tidak mungkin. Banyak pesaing yang efektif, tidak satupun yang memiliki lebih dari 10 % pangsa pasar. Lebih dari 50 pesaing yang mana tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar yang berarti.
PLN, Telkom, PAM. Surat kabar lokal/nasional, film kodak, batu bateray. Perbankan lokal, siaran TV, bola lampu, sabun, toko buku, rokok kredit dan semen. Kayu, pekakas rumah, mesin-mesin kecil, perangkat keras, majalah, batu bateray, obat-obatan. Pedagang eceran, pakaian. Sapi dan unggas
Sumber : Stepherd dalam Jaya, 2001
Menurut Shaw dan Sutton (1976) dalam Jaya (2001), ada dua pengertian
struktur industri. Pertama, struktur menggambarkan karakteristik dan komposisi
11
pasar atau industri di suatu ekonomi. Kedua, struktur juga berarti jumlah dan
ukuran distribusi perusahaan di suatu ekonomi secara keseluruhan.
Struktur industri juga berhubungan dengan karakteristik dan pentingnya
pasar tertentu (individual) di dalam ekonomi. Dalam hal ini, struktur pasar
menggambarkan lingkungan dimana suatu pasar beroperasi. Elemen-elemen
struktur pasar antara lain pangsa pasar (market share), konsentrasi, dan hambatan
untuk memasuki pasar (barrier to entry).
a. Pangsa Pasar (market share)
Menurut Jaya (2001), yang menjadi landasan posisi pasar perusahaan
adalah pangsa pasar yang diraihnya. Pangsa pasar dalam praktek bisnis
merupakan tujuan atau motivasi perusahaan. Perusahaan dengan pangsa pasar
yang besar akan menikmati keuntungan dari penjualan produknya. Peranan
pangsa pasar, seperti halnya elemen struktur pasar yang lain adalah sebagai
sumber keuntungan bagi perusahaan.
Jika skala ekonomi besar, maka tingkat keuntungan yang diraih akan
semakin tinggi karena pangsa pasar yang naik. Pangsa pasar yang kuat biasanya
menandakan kekuatan pasar yang besar, sebaliknya pangsa pasar perusahaan yang
kecil berarti perusahaan tidak mampu bersaing dalam tekanan persaingan.
b. Konsentrasi
Konsentrasi (pemusatan) merupakan kombinasi pangsa pasar dari
perusahaan-perusahaan “oligopolis” dan adanya saling ketergantungan. Kelompok
perusahaan ini terdiri dari 2 sampai 8 perusahaan. Kombinasi pangsa pasar ini
akan membentuk suatu tingkat pemusatan dalam pasar. Bain dalam Jaya (2001)
12
mengatakan bahwa antara tingkat konsentrasi dengan penghasilan terdapat tingkat
korelasi yang rendah. Penerimaan rata-rata industri yang terkonsentrasi akan lebih
tinggi daripada penghasilan jenis industri yang kurang terkonsentrasi. Weiss
dalam Jaya (2001) dengan mengunakan suatu regresi berganda mendapatkan suatu
hubungan yang positif antara keuntungan (profit) dengan produk-produk yang
berkonsentrasi tinggi. Ada hubungan positif antara keuntungan dengan tingkat
konsentrasi mengindikasikan adanya halangan masuk yang besar bagi perusahaan
baru, karena dengan keuntungan yang besar maka perusahaan tersebut akan terus
berusaha untuk meningkatkan lagi konsentrasinya (Jaya, 2001).
c. Hambatan Untuk Masuk (Barrier to entry)
Segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan, kesempatan
atau kecepatan masuknya pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk.
Hambatan-hambatan ini mencakup seluruh cara dengan menggunakan perangkat
tertentu yang sah seperti paten, hak mineral, dan franchise.
Ada beberapa hal umum mengenai hambatan memasuki suatu pasar.
Pertama, hambatan-hambatan timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak
hanya dalam bentuk perangkat yang legal atau dalam bentuk kondisi-kondisi yang
berubah dengan cepat. Kedua, hambatan dibagi dalam tingkatan mulai dari tanpa
hambatan sama sekali (bebas masuk), hambatan rendah, sedang sampai tingkatan
tinggi di mana tidak ada lagi yang masuk. Ketiga, hambatan merupakan sesuatu
yang kompleks.
13
2.1.3. Kinerja Industri
Menurut Caves (1982) dalam Marbun (2004), kinerja adalah seberapa baik
hasil yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan oleh perusahaan dalam
mencapai tujuan perekonomian dimana tujuan perekonomian adalah untuk
memaksimumkan kesejahteraan ekonomi yang meliputi :
1. Penggunaan faktor produksi secara efisien, dimana efisiensi ini dapat diukur
melalui return (profit) yang dihasilkan atau dari struktur biayanya.
2. Progresifitas yang meliputi peningkatan kualitas produksi, jenis produk dan
peningkatan teknik produksi.
3. Tingkat tenaga kerja penuh (full employment) dan kestabilan harga.
4. Pemerataan.
Menurut Shepperd (1990) bahwa kinerja didefinisikan dan diakibatkan
dari nilai yang dihasilkan oleh perilaku pasar. Kinerja berhubungan dengan
pencapaian atau hasil akhir dari fungsi pasar. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa kinerja berhubungan dengan seberapa baik (how well) pasar berfungsi.
Menurut Jaya (2001) dikatakan bahwa kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi
memiliki banyak aspek, namun hanya dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu
efisiensi, kemajuan teknologi dan keseimbangan dalam distribusi.
1. Efisiensi dalam Pengalokasian Sumber Daya
Efisiensi adalah menghasilkan suatu nilai output maksimum dengan
menggunakan sejumlah input tertentu, secara kuantitas fisik maupun nilai
ekonomis (harga). Dengan kata lain, sejumlah input yang boros dapat dihindarkan
sehingga tidak ada sumber daya yang tidak digunakan dan terbuang. Efisiensi
14
digolongkan dalam dua kategori yaitu efisiensi internal dan efisiensi
pengalokasian.
a. Efisiensi Internal
Efisiensi Internal diperoleh melalui pengelolaan yang baik dalam perusahaan.
Para manager menggunakan segala macam cara untuk memacu para pekerja,
menekan segala macam biaya dan mengawasi pelaksanaan-pelaksanaan yang
menyimpang.
b. Efisiensi Alokasi
Alokasi yang efisien terjadi pada saat output berada pada tingkat dimana
marginal cost (MC) sama dengan harga (P) dari masing-masing produk setiap
perusahaan di dalam perekonomian secara keseluruhan.
2. Kemajuan Teknologi
Melalui penemuan dan pembaharuan teknologi, seseorang dapat membuat
suatu karya yang baru serta dapat meningkatkan produktivitas suatu produksi
barang yang telah ada. Jika kemajuan teknologi bekerja dengan baik, produksi-
produksi baru ditawarkan, biaya-biaya menurun dan harga-harga yang turun akan
memperbesar keuntungan konsumen.
3. Keadilan (equity)
Keadilan adalah keseimbangan dalam distribusi. Keadilan memiliki tiga
dimensi yaitu kesejahteraan, pendapatan, dan kesempatan (oportunity).
Kesejahteraan dan pendapatan berhubungan dengan nilai uang sedangkan
kesempatan berhubungan dengan keinginan atau kemampuan seseorang untuk
memperoleh kesejahteraan, pendapatan dan kedudukan ekonomi lainnya di masa
15
depan. Keseimbangan mempengaruhi etika dan terdapat kriteria etika yang harus
dikombinasikan yaitu equity (kesamarataan), effort (upaya), dan contribution
(kontribusi) atau produktivitas (Sheppred, 1990).
2.1.4. Teori Lokasi
Menurut Djojodipuro (1992) bahwa dalam usaha untuk meminimumkan
biaya, maka suatu perusahaan berusaha untuk memilih lokasi yang tepat. Barang
yang diproduksi memerlukan bahan mentah dan tenaga kerja yang tidak jarang
harus diperoleh dari berbagai tempat yang berbeda, yang memerlukan biaya
angkutan untuk mendatangkannya. Pada umumnya biaya angkutan bagi bahan
mentah akan makin rendah bila ia menentukan tempat usahanya mendekati tempat
bahan mentah tersebut, sebaliknya akan makin tinggi bila menjauhi lokasi maupun
pasar tempat menjual hasilnya. Oleh karena itu, penting untuk menentukan lokasi
sehingga diperoleh biaya angkutan total yang minimum.
Djojodipuro (1992) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi lokasi industri. Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah
sebagai berikut :
1. Factor endowment
Tersedianya faktor produksi secara kualitatif maupun kuantitatif di suatu
negara atau daerah. Factor endowment meliputi tanah, tenaga kerja dan modal.
Makin banyak factor endowment yang dimiliki suatu negara atau daerah maka
makin banyak pula yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi suatu
industri.
16
2. Pasar dan Harga
Suatu daerah yang berpenduduk banyak secara potensial merupakan pasar
yang perlu diperhatikan pengusaha. Bila daerah ini disertai pendapatan per
kapita yang tinggi, maka pasar tersebut akan menjadi efektif. Gejala ini makin
meningkat, bila distribusi pendapatan merata.
3. Bahan baku dan Energi
Proses produksi merupakan usaha untuk mentransformasikan bahan baku ke
dalam hasil akhir yang mempunyai nilai lebih tinggi. Proses transformasi ini
terjadi dengan mempergunakan energi dalam berbagai bentuk. Bahan baku
yang dipergunakan dapat merupakan bahan mentah atau barang setengah jadi.
Minyak bumi, biji besi, dan kayu gelondongan merupakan bahan mentah,
sedangkan besi baja, kayu lapis dan bebagai sekrup atau baut merupakan
barang setengah jadi.
4. Aglomerasi, Kaitan antar Industri dan Penghematan Ekstern
Kota-kota besar biasanya sering dijadikan sebagai lokasi industri sehingga
kota mudah terjadi gejala aglomerasi. Berkumpulnya berbagai jenis industri
mengakibatkan timbulnya penghematan eksternal, dalam hal ini merupakan
penghematan aglomerasi. Penghematan ini terjadi karena faktor-faktor luar
yang dinikmati oleh semua industri yang ada di kota tersebut. Terdapat dua
jenis penghematan aglomerasi, yaitu :
1. Penghematan yang diperoleh industri sejenis atau industri yang mempunyai
hubungan satu sama lain.
17
2. Penghematan yang diperoleh perusahaan individual yang berlokasi di daerah
perkotaan. Penghematan ini terutama didapat karena adanya infrastruktur di
daerah perkotaan yang telah berkembang pesat. Infrastruktur meliputi jalan
yang lebar dan licin, pelabuhan laut dan udara, sarana telekomunikasi, daerah
pertokoan, lembaga pendidikan dan latihan, lembaga penelitian dan jasa
lainnya.
5. Kebijaksanaan Pemerintah
Pemerintah dapat menentukan lokasi industri, kebijakan ini dapat merupakan
dorongan atau hambatan dan larangan untuk industri berlokasi di tempat
tertentu.
6. Kebijakan Pengusaha
Dalam hal ini menyangkut penentuan lokasi cabang suatu perusahaan oleh
pusat perusahaannya. Lokasi cabang ini ditentukan sesuai dengan fungsinya
sebagai unit produksi, unit distribusi atau unit penjualan. Bila cabang
berfungsi sebagai unit produksi maka masalah bahan baku maupun pasar akan
masuk dalam pertimbangan, sebaliknya bila cabang berfungsi sebagai unit
distribusi maka lokasi persimpangan jalan raya akan menarik karena
memungkinkan penggunaan sarana angkutan ke berbagai arah. Cabang yang
berfungsi sebagai unit pemasaran akan berlokasi mendekati konsumen yaitu di
kota-kota besar.
18
2.1.5. Kluster Industri
Kluster (pengelompokan) menurut teori lokasi tradisional terjadi karena
adanya minimisasi biaya transportasi atau biaya produksi. Pemilihan lokasi suatu
industri merupakan upaya dari industri tersebut untuk menguasai areal pasar
terluas melalui maksimisasi penjualan. Kluster industri pada dasarnya merupakan
kelompok aktifitas produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya
berspesialisasi pada satu atau dua industri saja (Kuncoro,2002).
Perusahaan-perusahaan atau industri tersebut memiliki persamaan
kebutuhan terhadap tenaga kerja, teknologi dan infrastruktur. Perusahaan-
perusahaan atau industri yang termasuk dalam kluster tersebut saling berkompetisi
antar sesama anggota kluster, membeli bahan baku, atau bergantung pada layanan
jasa sesama anggota untuk mengoperasikan bisnisnya masing-masing. Kluster
industri yang dikelola atau terorganisir dengan baik akan memberikan sumbangan
kesejahteraan bagi daerah tersebut karena dapat meningkatkan sumber daya
manusia melalui pelatihan terprogram atau tidak terprogram bagi tenaga kerjanya,
pembangunan infrastruktur yang diperlukan daerah tersebut dan penelitian di
berbagai universitas.
Porter (1990) telah meneliti tentang kluster industri di tingkat kota atau
kabupaten, propinsi, dan internasional. Berdasarkan penelitiannya, ia
mengembangkan “diamond of advantage”, yaitu suatu model yang menawarkan
pemahaman tentang apa yang terjadi di dalam kluster maupun tentang persaingan
yang terjadi didalamnya. Porter (1990) berpendapat bahwa daerah akan
mengembangkan suatu keunggulan kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi,
19
dan vitalitas ekonomi yang merupakan hasil langsung dari persaingan industri
lokal.
Berbagai faktor yang memicu inovasi dan pertumbuhan kluster
diantaranya :
1. Faktor : misalnya tenaga kerja terampil yang dibutuhkan, infrastruktur khusus
yang tersedia dan hambatan-hambatan tertentu.
2. Permintaan sektor rumah tangga, atau pelanggan-pelanggan lokal yang
mendorong perusahaan-perusahaan untuk berinovasi.
3. Dukungan industri terkait, industri-industri pemasok lokal yang kompetitif
yang menciptakan infrastruktur bisnis dan memacu inovasi.
4. Strategi, struktur, dan persaingan. Tingkat persaingan antar industri lokal lebih
memberikan motivasi dibanding persaingan dengan pihak luar negeri, dan
“budaya” lokal yang mempengaruhi perilaku masing-masing industri dalam
melakukan persaingan dan inovasi.
Porter (1990) juga menyertakan peran pemerintah dan peluang. Peristiwa
historis dan campur tangan pemerintah cenderung berperan pula secara signifikan
dalam pembangunan kluster industri.
2.2. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai analisis struktur, kinerja dan kluster telah
dilakukan oleh Sumarno dan Kuncoro (2003). Penelitian ini dilakukan terhadap
industri rokok kretek di Indonesia pada periode 1996-1999. Tujuan penelitian
tersebut untuk mengetahui apakah struktur dan kinerja industri rokok kretek
Indonesia mengalami perubahan pada periode sebelum dan selama krisis ekonomi
20
serta untuk mengetahui dimana lokasi kluster industri rokok Indonesia. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa industri rokok kretek Indonesia merupakan
industri yang berstruktur oligopoli dimana pada saat krisis ekonomi industri ini
tidak mengalami perubahan secara drastis. Kinerja industrinya juga mengalami
pertumbuhan walaupun kondisi perekonomian mengalami krisis. Daerah kluster
industri rokok kretek Indonesia terdapat di Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang.
Terdapat penelitian lain yaitu dilakukan pada industri elektronika
Indonesia oleh Kuncoro dan Salamun (2005). Tujuan dari penelitian yang
dilakukannya adalah untuk mengetahui struktur kinerja industri elektronika di
Indonesia pada periode 1990 hingga 1999; dan untuk mengetahui kluster industri
elektronika yang digunakan alat analisis SIG, skala industri, keanekaragaman
industri, dan spesialisasi serta melihat apakah variabel tersebut mampu
mempercepat pertumbuhan industri pada suatu wilayah. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa struktur industri elektronika di Indonesia dari tahun 1990
hingga 1999 secara umum berbentuk oligopoli dengan tingkat konsentrasi
tergolong tinggi. Tingginya rasio konsentrasi berdampak buruk bagi kinerja
ekspornya. Jabotabek EIA dan Bandung EIA dapat diindikasikan sebagai kluster
industri elektronika di Indonesia.
Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian yang membahas tentang
analisis struktur, perilaku, dan kinerja terhadap berbagai jenis industri. Salah
satunya oleh Safitri (2006), ia melakukan penelitian mengenai struktur, perilaku,
dan kinerja industri besi baja Indonesia. Hasil dari penelitiannya bahwa struktur
pasar pada industri besi baja adalah oligopoli ketat, namun tetap ada persaingan
21
dalam merebut pangsa pasar antara perusahaan. Analisis kinerja dilakukan dengan
melihat kemampuan industri besi baja dalam meminimumkan biaya input
produksi. Hasil yang didapatkan bahwa industri besi baja menerima margin
keuntungan atas biaya langsung (PCM) rata-rata sebesar 36,68 persen dan
efisiensi-X yang dicapai (XEF) rata-rata sebesar 71,70 persen. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa adanya kemampuan industri besi baja dalam
meminimumkan biaya input produksinya. Selain itu, ia melakukan penelitian
tentang adanya hubungan struktur pasar dengan kinerja pada industri tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh nyata pada taraf 10 persen dari
seluruh variabel bebas yang digunakan, dimana CR4 dan XEF berhubungan
positif terhadap PCM, sedangkan variabel lain (MES, GROWTH, dan DUMMY)
berpengaruh negatif terhadap PCM.
Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Safitri
terhadap industri besi baja Indonesia, penelitian ini menggunakan konsep analisis
yang telah dilakukan oleh Sumarno dan Kuncoro (2003) terhadap industri rokok
kretek Indonesia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Safitri (2006) yaitu
pada analisis kinerja dan kluster industrinya. Analisis kinerja yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan indikator kinerja yaitu pertumbuhan output dan
nilai tambah, kontribusi industri besi baja terhadap industri manufaktur, efisiensi,
dan tingkat keuntungan, sedangkan analisis kinerja yang dilakukan Safitri adalah
dengan melihat kemampuan industri besi baja dalam meminimumkan biaya
produksi dan tingkat efisiensi yang dihasilkan, serta menganalisa faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja industrinya. Safitri tidak melakukan analisis kluster
22
melainkan analisis perilaku industrinya, sedangkan penelitian ini melakukan
analisis kluster industri. Dalam penelitian ini dilakukan pada industri logam dasar
besi dan baja (ISIC 271), juga terhadap subsektor industri lima digitnya yaitu
industri besi dan baja dasar (ISIC 27101), industri penggilingan baja (ISIC
27102), dan industri pipa dan sambungan dari besi dan baja (ISIC 27103).
2.3. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yang terdapat pada
Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia, antara lain yang disebabkan oleh
meningkatnya harga bahan baku baja dan kelangkaan baja di pasar internasional
akibat banyaknya permintaan yang sangat besar dari negara-negara yang sedang
melakukan program pembangunan negaranya seperti China, Rusia dan Irak. Di
lain pihak, industri besi baja Indonesia masih memiliki ketergantungan yang
sangat besar terhadap impor bahan baku bajanya. Hal ini tentu akan berdampak
pada kondisi industri logam dasar besi dan baja Indonesia. Masalah lainnya dari
industri ini yaitu adanya teknologi pengolahan baja yang kurang efisien karena
masih menggunakan sumber energi gas yang harganya semakin meningkat serta
penggunaan mesin-mesin produksi yang sudah tua .
Adanya krisis ekonomi dipertengahan tahun 1997 juga dipastikan turut
mempengaruhi struktur dan kinerja industri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia masih rapuh karena industri
besi baja sangat dipengaruhi oleh pasar baja di pasar internasional dan akan
berdampak kepada kinerja industrinya sehingga dapat melemahkan daya saing
produk industri logam dasar besi dan baja.
23
Berdasarkan latar belakang tersebut mendorong peneliti untuk melakukan
penelitian terkait dengan industri logam dasar besi dan baja Indonesia dengan
melihat struktur, kinerja dan juga kluster industri tersebut pada periode 1995
sampai 2004. Analisis struktur dilakukan dengan melihat rasio konsentrasi
industri, menggunakan salah satu metode yakni metode CR4 (rasio konsentrasi
empat perusahaan besar). Dari analisis struktur ini akan dilanjutkan dengan
analisis kinerja industrinya karena struktur industri mempunyai pengaruh terhadap
kinerja suatu industri.
Analisis kinerja industri dilakukan dengan melihat bagaimana kontribusi
tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usaha industri logam dasar besi dan
baja Indonesia terhadap total industri manufaktur di Indonesia; menganalisa
pertumbuhan output produksi dan nilai tambah; efisiensi; serta melihat kinerjanya
dari sisi profit (keuntungan) yang diperoleh industri tersebut.
Struktur industri yang lemah dapat menyebabkan lemahnya daya saing
industrinya sehingga mengacu pada pendekatan yang dikemukakan oleh Porter
(1990) bahwa untuk melihat daya saing industri dilakukan dengan melihat kluster-
kluster yang ada pada industri tersebut. Bila suatu industri memiliki kluster-
kluster industri yang kuat maka diharapkan industri tersebut mampu menciptakan
produk yang berdaya saing tinggi maka dalam penelitian ini dilakukan analisis
kluster industri untuk melihat bagaimana kluster atau sebaran geografis industri
logam dasar besi dan baja yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Analisis kluster
ini dilakukan dengan alat analisis yang dikenal dengan Sistem Informasi
Geografis (SIG), skala, dan indeks spesialisasi. Dengan analisis kluster, hasilnya
24
dapat dijadikan suatu rekomendasi kepada pemerintah untuk menunjukkan
daerah-daerah mana saja yang potensial untuk dikembangkan menjadi kluster
industri besi baja di Indonesia sehingga dapat memperkuat daya saing produknya.
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia (Isic 271): • Industri Besi dan Baja Dasar (Isic 27101) • Industri Penggilingan Baja (Isic 27102) • Industri Pipa dan Sambungan Pipa dari Besi
Baja
Bahan baku vital yang menunjang industri-industri secara keseluruhan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
• Ketergantungan impor bahan baku tinggi. • Teknologi pengolahan baja kurang efisien. • Permintaan bahan baku baja dunia meningkat. • Masuknya produk dengan harga dumping dan
ilegal
Struktur industri terganggu
Penurunan kinerja Daya saing menurun
Analisis Kinerja Analisis Struktur Analisis Kluster
• Pertumbuhan output dan nilai tambah.
• Kontribusi Industri besi baja terhadap industri menufaktur.
• Efisiensi • Keuntungan.
Metode : Rasio Konsetrasi (CR4)
Metode : SIG, skala, dan indeks spesialisasi.
Keterangan :
Analisis Metode Analisis
Pengaruh
Rekomendasi Kebijakan
25
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder time
series dari tahun 1995 sampai 2004. Data ini berupa data industri logam dasar besi
dan baja Indonesia yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS). Data ini
menggunakan sistem penggolongan industri, yang disebut dengan nama
International Standard Industrial Classification (ISIC). Data yang digunakan
adalah nilai output, nilai input atau biaya antara, jumlah tenaga kerja, nilai
tambah, dan daerah kabupaten maupun propinsi yang mempunyai industri logam
dasar besi dan baja.
3.2. Metode Analisis
Penelitian ini menganalisa struktur, kinerja dan kluster industri logam
dasar besi dan baja Indonesia. Analisis struktur industri akan digunakan metode
rasio konsentrasi empat (CR4). Analisis kinerja hanya melihat bagaimana
kontribusi tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usaha industri baja nasional
terhadap total industri manufaktur di Indonesia; menganalisa pertumbuhan output
produksi dan nilai tambah; dan efisiensi industri besi baja, serta melihat
kinerjanya dari sisi profit (keuntungan) yang diperolah industri baja tersebut.
Analisis kluster akan digunakan metode SIG (Sistem Informasi Geografi), skala,
dan indeks spesialisasi.
26
3.2.1. Analisis Struktur Industri
Struktur industri digunakan untuk menganalisa seberapa jauh konsentrasi
perusahaan terbesar dalam industri logam dasar besi dan baja Indonesia. Untuk
mengetahui struktur industri ini digunakan metode analisis rasio konsentrasi.
Rasio konsentrasi yang umum digunakan adalah CR4, yang menunjukkan pangsa
pasar empat perusahaan terbesar dalam industri (Church dan Ware, 2000 dalam
Kuncoro dan Salamun,2005), yang dirumuskan sebagai berikut :
∑=
=4
14
tMSiCR ;
OtOiMSi = .....................................................................(1)
Dimana : CR4 = Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar dalam industri
MSi = Pangsa pasar perusahaan ke-i
Oi = Nilai output perusahaan ke-i
Ot = Nilai output seluruh perusahaan dalam industri
Berdasarkan analisis struktur dalam ekonomi industri, struktur industri
dikatakan berbentuk oligopoli bila empat perusahaan terbesar menguasai minimal
40 persen pangsa pasar penjualan dari industri yang bersangkutan
(Kuncoro,2002).
3.2.2. Analisis Kinerja Industri
Analisis kinerja industri dalam penelitian ini dapat diamati dari kontribusi
tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usaha industri logam dasar besi dan
baja Indonesia terhadap total industri manufaktur; dan menganalisa pertumbuhan
output produksi dan nilai tambah; efisiensi industri besi baja; selain itu kinerja
industri ini juga dilihat dari sudut profit (keuntungan) yang diperoleh.
27
3.2.3. Analisis Kluster Industri
Analisis kluster dilakukan untuk melihat daerah sebaran geografis industri
logam dasar besi dan baja yang ada di seluruh wilayah kabupaten atau kota di
Indonesia. Analisis dilakukan pada daerah industri logam dasar besi dan baja,
apakah industri mengelompok di suatu area atau tidak, mengukur besarnya skala
kluster industri, dan konsentrasi kluster industrinya. Lokasi wilayah sebaran
industri dianalisis dengan mengaplikasikan Sistem Informasi Geografi (SIG),
konsentrasi kluster industri dianalisis dengan melihat spesialisasi industri, dan
besarnya skala industri dianalisis dengan melihat skala tenaga kerja dan nilai
tambah pada lokasi sebaran (Kuncoro,2002)
• Sistem Informasi Geografi (SIG)
Dalam menganalisa sebaran geografis dan kluster industri baja di
Indonesia, digunakan metode analisis Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG
merupakan alat analisis yang bermanfaat untuk mengidentifikasi lokasi industri
dan untuk mengidentifikasi di daerah mana mereka cenderung mengelompok
secara spasial (Kuncoro,2002).
Menurut Kuncoro (2002), SIG dapat mentransformasikan data menjadi
informasi dengan mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan
analisis fokus, dan menyajikan output dalam rangka mendukung pengambilan
keputusan. Kemampuan SIG dalam penyimpanan, analisis, pemetaan dan
membuat model mendorong aplikasi yang luas dalam berbagai disiplin ilmu, dari
teknologi informasi hingga sosial ekonomi maupun analisis yang berkaitan
dengan populasi. Beberapa prosedur standar dalam merancang dan menggunakan
28
SIG, yaitu pengumpulan data, pengolahan data awal, konstruksi basis data,
analisis dan kajian spasial, dan penyajian grafis. Prosedur dan aktivitas utama
dalam Sistem Informasi Geografi dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Prosedur dan Aktivitas Utama dalam SIG Prosedur Aktivitas
Memperoleh data • Pemberian keterangan pada peta-peta dan dokumen-dokumen termasuk juga pengkodean data, verifikasi data, dan pengkoreksian kesalahan.
• Menjelaskan sekumpulan data yang telah ada, khususnya yang berasal dari survey industri yang dipublikasikan tahunan oleh BPS.
Persiapan Pengolahan data • Menginterpretasikan atau mengklasifikasikan data yang dapat dari survey
• Menyusun struktur data digital untuk memilih model-spasial/ ruang (berdasarkan objek, jaringan, dan lapangan)
• Mentransformasikan atau mengubah menjadi koordinat biasa/ umum.
Pengkontruksian data dasar atau database (penyimpanan data dan pemanggilan kembali data)
• Membuat mode dari konsep data • Menetapkan struktur data base • Menetapkan prosedur terbaru • Mengirim data ke database
Penelitian spasial/lokasi/wilayah beserta analisanya
• Pemanggilan data berdasarkan lokasi • Pemanggilan data berdasarkan kelas atau atribut • Menemukan lokasi yang paling cocok berdasarkan kriteria • Mencari pola, kelompok, jalur dan interaksi • Membuat model dan menstimulasikan pada fenomena fisik dan
sosial.
Tampilan secara grafik (visualisasi dan interaksi)
• Menciptakan peta • Menggali data • Menciptakan tampilan tiga dimensi • Membuat laporan
Sumber : Jones dalam Kuncoro, 2002
SIG merupakan alat yang bermanfaat untuk mengidentifikasikan dimana
suatu industri cenderung mengumpul atau membentuk kluster. SIG pada dasarnya
adalah suatu tipe sistem informasi, yang memfokuskan pada penyajian dan
analisis realitas geografis. Titik beratnya adalah mengelola dan menganalisa data
spasial dengan suatu sistem informasi.
29
• Indikator Skala (size)
Menurut Kuncoro (2002), indikator skala (size) sangat penting karena
tidak hanya untuk memahami perbedaan skala kluster industri secara spasial,
namun juga dapat digunakan untuk membedakan antara kluster dan aglomerasi.
Pada pembahasan indikator ini, industri logam dasar besi dan baja dikelompokkan
dalam daerah industri utama yang diperluas (EIA atau Extended Industrial Areas).
Indikator skala menggunakan data penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah.
• Indeks Spesialisasi
Spesialisasi digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi industri di
suatu kluster industri. Mengikuti metode yang dirintis oleh Glaeser, et all. (1992)
dalam Kuncoro (2002), indeks spesialisasi menunjukkan seberapa jauh
spesialisasi industri dalam suatu kluster dibandingkan apabila industri tersebut
tersebar secara random di seluruh Indonesia. Perhitungan indeks spesialisasi,
sebagai berikut :
Ѕirt = EitEir ................................................................................................(2)
Dimana : Sirt = rasio indeks spesialisasi suatu industri
Eir = tenaga kerja yang diserap industri i dibagi dengan total
penyerapan tenaga kerja dalam daerah tersebut.
Eit = tenaga kerja yang diserap industri i untuk seluruh daerah di
Indonesia dibagi dengan total penyerapan tenaga kerja
untuk seluruh daerah di Indonesia.
Dengan ketentuan bahwa jika Sirt lebih dari 1, artinya industri tersebut
memiliki pangsa yang lebih besar dalam penciptaan kesempatan kerja di daerah
30
tersebut daripada pangsa industri itu di Indonesia. Sebaliknya, bila nilai Sirt lebih
kecil daripada 1, artinya suatu daerah tidak memiliki spesialisasi atas suatu
industri karena industri itu memiliki pangsa tenaga kerja yang lebih rendah di
daerah tersebut daripada rata-rata pangsa industri tersebut di Indonesia. Bila
terdapat kenaikan Sirt untuk suatu daerah maka hal ini mencerminkan adanya
kenaikan spesialisasi industri tersebut di daerah itu. Hal ini didasarkan atas suatu
asumsi bahwa spesialisasi yang tinggi pada suatu industri di suatu daerah akan
mempercepat pertumbuhan industri tersebut di daerah itu.
• Analisis frequencies
Analisis frequencies dengan menggunakan SPSS versi 13.0 merupakan
analisis yang digunakan untuk memberikan deskripsi statistika data tentang
prosentase, prosentase kumulatif, rata-rata, median, sum, standar deviasi, variasi,
range, minimum dan maksimum, sesatan rata-rata, skewness dan kurtosis, kuartil,
serta diagram dalam berbagai bentuk. Dalam penelitian ini melihat nilai skewness
dan kurtosis yang dihasilkan dari industri logam dasar besi dan baja dengan
menggunakan data tenaga kerja dan nilai tambah untuk melihat distribusi
sebarannya.
Skewness merupakan ukuran kemencengan suatu data. Untuk mengukur
kenormalan distribusi data maka akan digunakan rasio skewness (RS) dengan
rumus sebagai berikut : RS = sdarskewnesssesa
Skewnesstantan
................................ (3)
Dianggap mengikuti distribusi normal jika memenuhi syarat bahwa -2<RS<2.
31
Kurtosis merupakan ukuran keruncingan suatu data. Untuk mengukur
kenormalan distribusi data maka akan digunakan rasio kurtosis (RK) dengan
rumus sebagai berikut : RK = sdarkurtosisSesa
Kurtosistantan
............................. (4)
Dianggap mengikuti distribusi normal jika memenuhi syarat bahwa -2<RK<2.
32
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Industri Logam Dasar Besi dan Baja
Industri logam dasar besi dan baja biasa dikenal dengan sebutan industri
besi baja merupakan industri yang memfokuskan dalam memproduksi besi baja.
Besi baja digunakan sebagai bahan baku dasar bagi industri-industri lainnya,
mulai dari industri peralatan dapur, transportasi, generator pembangkit listrik,
kerangka gedung, dan juga jembatan semuanya menggunakan bahan dasar baja.
Besi pertama kali ditemukan dalam bentuk pasir-pasir besi dan besi ini
tidak digunakan dalam keadaan murni tetapi biasanya digunakan dalam bentuk
persenyawaan atau campuran, salah satunya yang disebut Cast Iron. Cast Iron
merupakan suatu campuran Fe (besi) dengan C sebanyak 3-4 persen dan beberapa
elemen seperti Si, Mn dan sebagainya tetapi bila C sebanyak 2 persen, inilah yang
dinamakan baja. Dengan kata lain, baja merupakan paduan logam yang tersusun
dari besi sebagai unsur utama dan karbon sebagai unsur penguat. Unsur karbon ini
berperan dalam peningkatan performan. Adanya perlakuan panas terhadap baja
dapat mengubah baja dari lunak seperti kawat menjadi baja keras seperti pisau
karena perlakuan panas mengubah struktur mikro besi yang berubah-ubah dari
susunan kristal berbentuk kubik berpusat menjadi kubik berpusat sisi atau
heksagonal.
Menurut Rochman (2003), saat ini dalam proses pembuatan baja bahwa
besi kasar diproduksi dengan menggunakan blast furnace (dapur bijih besi) yang
berisi kokas pada lapisan paling bawah kemudian batu kapur dan bijih besi. Kokas
terbakar dan menghasilkan gas CO yang naik ke atas sambil mereduksi oksida
33
besi. Besi yang telah tereduksi melebur dan terkumpul dibawah tanur menjadi besi
kasar yang biasanya mengandung C, Si, Mn, P, dan S. Kemudian leburan besi
dipindahkan ke tungku lain (converter) dan diembuskan gas oksigen untuk
mengurangi kandungan karbon. Melalui cara ini dapat diproses besi kasar menjadi
baja sebanyak kurang lebih 300 ton dalam waktu 15 sampai 20 menit. Untuk
menghilangkan kandungan oksigen dalam baja cair dapat ditambahkan Al, Si, dan
Mn, proses ini dinamakan dioksidasi. Setelah dioksidasi, baja cair dialirkan dalam
mesin cetakan kontinu berupa slab atau dicor dalam cetakan berupa ingot. Slab
dan ingot diproses dengan penempaan panas, rolling panas, penempaan dingin,
perlakuan panas, pengerasan permukaan dan lain-lain untuk dibentuk menjadi
sebuah produk atau kerangka dasar dari sebuah produk.
4.2. Sejarah Perkembangan Industri Logam Dasar Besi dan Baja
Indonesia 4.2.1. Periode Antara 1950-1960
Perkembangan industri masih berat sebelah karena perindustrian masih
berorientasi pada barang-barang konsumsi yang sebagian besar bahan baku atau
penolong masih harus di impor dari luar negeri. Pertumbuhan industri di sektor
pembuatan barang-barang modal (capital goods atau mesin-mesin) atau
perindustrian kimia dasar dilakukan untuk membantu mengurangi ketergantungan
dari luar negeri, namun hal ini kurang mendapat perhatian yang semestinya.
Akibatnya pertumbuhan industri tidak terarah dan tidak seimbang sehingga impor
bahan baku, penolong atau mesin-mesin masih dirasakan sebagai beban yang
berat (kurang lebih 35 persen dari devisa untuk impor).
34
Bahan baku atau penolong yang diperlukan untuk aktivitas industri besi
baja masih harus di impor dari luar negeri. Hal ini akan mengganggu kontinuitas
produksi karena membutuhkan stok bahan baku atau penolong yang sangat
banyak sedangkan devisa Indonesia masih terbatas. Dengan demikian, pada tahun
1955 pemerintah mulai memikirkan untuk membangun industri besi baja dengan
menunjuk sebuah firma dari Jerman Barat yang bergerak dalam bidang
Engineering dan Consulting untuk mengadakan survey dan mempelajari
kemungkinan didirikannya industri besi baja yang didasarkan pada bahan baku
dalam negeri yang bisa diperoleh.
Hasil yang diperoleh dari penyelidikan-penyelidikan tersebut memberikan
saran-saran untuk mendirikan tiga buah pabrik yang mempunyai keseluruhan hasil
produksi 300.000 ton/tahun dan sebuah tanur tinggi (Blast Furnace) di Lampung
dengan kapasitas produksi 35.000 ton/tahun. Pada periode 1950-1960 telah
didirikan sebuah Reroller (1956) yang mempunyai kapasitas permulaan sebesar
5.000 ton/tahun.
4.2.2. Periode Antara 1960-1965
Setelah pemerintah menerima hasil survey sebuah Firma Jerman Barat
yang bergerak dalam bidang Engineering dan Consulting yang ditunjuk
pemerintah untuk survey dalam mendirikan industri besi dan baja di Indonesia.
Maka pada tahun 1960, terdapat tiga proyek yang direncanakan untuk direalisir
yakni tanur tinggi di Lampung, pabrik baja di Cilegon dan sebuah pabrik integrasi
yang terletak di Kalimantan Selatan dengan menggunakan bahan baku dari dalam
negeri.
35
Tanur tinggi di Lampung, direncanakan untuk menghasilkan 35.000 ton
setiap tahunnya dengan memakai biji besi lokal serta double coke dari batu bara
Bukit Asam sebagai bahan baku. Persiapan telah diadakan pada awal 1960 akan
tetapi proyek ini tidak terealisasikan. Pada tahun 1962, realisasi pembangunan
pabrik besi baja tersebut dilaksanakan dan direncanakan akan selesai pada tahun
1968 tetapi pembangunannya terhenti pada tahun 1965 karena meletusnya
pemberontakan G30S PKI.
4.2.3. Periode Antara 1965-1997
Tahun 1965 merupakan sejarah baru bagi negara dan bangsa Indonesia
karena tumbangnya orde lama dan digantikan oleh orde baru. Tahun 1966
pemerintah menitikberatkan pada rehabilitasi ekonomi, stabilisasi moneter,
produksi pangan dan pembangunan fasilitas-fasilitas infrastruktur untuk
mendukung produksi pangan nasional. Pada tahun 1967, Undang-Undang
Penanaman Modal Asing dikeluarkan dan tahun 1968 dilanjutkan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kedua
Undang-Undang tersebut sebagai perangsang bagi pemilik modal untuk
berinvestasi di Indonesia.
Untuk melanjutkan program pembangunan tersebut maka pada tanggal 20
Desember 1967 dikeluarkan Instruksi Presiden untuk merubah Proyek Baja
Trikora menjadi bentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan nama PT Krakatau Steel
yang diresmikan pada tanggal 27 Oktober 1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 35 tanggal 31 Agustus 1970. Proyek baja Kalimantan yang telah
diintegrasikan direncanakan untuk memberikan hasil produksi permulaan sebesar
36
250.000 ton baja/tahun. Berbagai penyelidikan dilaksanakan dan beberapa
pengusaha swasta melakukan survey terhadap kemungkinan pembangunan sebuah
pabrik baja.
Pada bulan april 1969, pemerintah memulai Repelita pertama dimana
difokuskan pada produksi pangan terutama produksi beras, meningkatkan ekspor
dan membangun fasilitas-fasilitas infrastruktur yang harus saling menunjang.
Akibatnya pemakaian baja meningkat secara mencolok sehingga terjadi
perkembangan yang pesat di pasaran baja. Hal ini menarik perusahaan-perusahaan
untuk menanamkan modalnya pada sektor ini. Banyaknya jumlah perusahaan
yang bergerak dalam bidang ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Proyek-
proyek pembangunan di dalam telah berjalan dengan baik sehingga terdapat
peningkatan konsumsi besi baja. Oleh karena itu, kondisi industri besi baja
nasional menunjukkan hasil yang baik. Pada tahun 1985, industri besi baja
nasional mulai melakukan ekspor perdana yang dilakukan oleh PT. Krakatau Steel
ke beberapa negara seperti Jepang, Amerika, Inggris, India, China, Timur Tengah,
dan Korea. Hingga tahun 1995, industri besi baja Indonesia terus mengadakan
proyek-proyek perluasan industrinya.
4.2.4. Periode Antara 1997-2007
Tahun 1997 merupakan tahun awal terjadinya krisis ekonomi yang
melanda beberapa negara Asia yang juga melanda Bangsa Indonesia. Krisis
ekonomi berdampak buruk terhadap perkembangan sektor industri terutama
perkembangan industri manufaktur karena kebanyakan berbahan baku impor yang
tinggi sehingga menyebabkan industri ini cukup sulit untuk mempertahankan
37
produksinya. Krisis ekonomi menyebabkan fluktuasi nilai tukar yang tajam, hal
ini mengakibatkan industri mengalami pertumbuhan negatif.
Tabel 4.1. Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Indonesia Tahun 1996- 2000
Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Subsektor 1996 1997 1998 1999 2000
Makanan, Minuman, dan Tembakau 17,2 14,9 -3,1 5,3 0,7Tekstil, Barang kulit dan alas kaki 8,7 -4,4 -14,0 8,0 10,5Barang kayu dan hasil hutan lainnya. 3,2 -2,1 -26,0 -13,7 6,1Kertas dan barang cetakan 6,9 9,0 -5,4 3,2 10,2Pupuk Kimia dan Barang dari Karet 9,0 3,4 -15,0 9,8 12,8Semen dan barang galian Non Logam 11,0 4,5 -30,5 5,3 7,3Logam Dasar Besi dan Baja 8,0 -1,4 -25,6 -1,1 16,2Alat angkut, Mesin dan peralatan 4,6 -0,4 -52,6 -10,3 51,5Barang lainnya 9,7 6,0 -34,7 -2,8 8,1Total 11,7 7,4 -14,4 3,8 7,2
Sumber : BPS, 1996-2000
Krisis ekonomi berdampak kurang baik bagi kondisi industri besi baja di
Indonesia karena dengan krisis ekonomi menyebabkan adanya kenaikan biaya-
biaya input produksi yang sangat besar sehingga dengan krisis ekonomi jumlah
perusahaan dan tenaga kerja industri besi baja di Indonesia mengalami penurunan.
Sejak terjadinya krisis ekonomi hingga tahun 1999, kondisi industri besi baja
belum menunjukkan perbaikan yang baik. Di tahun 2000, walaupun terjadi
penurunan jumlah unit usaha akan tetapi kondisi industri besi baja nasional secara
keseluruhan sudah menunjukkan adanya perbaikan ditandai dengan pertumbuhan
ekonomi yang membaik seiring dengan berjalannya proyek-proyek pembangunan
kembali infrastruktur yang rusak. Pada tahun 2001 hingga saat ini, industri besi
baja nasional sangat terancam dengan masuknya produk-produk baja ilegal dan
produk baja dengan harga dumping karena menyebabkan adanya persaingan usaha
yang tidak sehat. Berbagai kasus mengenai adanya produk baja dumping dan
ilegal ini telah ditangani oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
38
Pada tahun 2003, beberapa negara seperti China, Irak, dan Rusia sedang
giat-giatnya dalam melakukan pembangunan sehingga hampir sebagian besar
bahan baku baja terserap untuk keperluan pembangunan negara tersebut. Menurut
laporan Komite Studi Ekonomi Internasional Iron and Steel Institute (IISI) bahwa
pada tahun 2003, impor besi baja China mencapai 257 juta ton/tahun atau naik
hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2000 yang mencapai 142 juta ton/tahun.
China menyerap sepertiga dari total impor besi baja dunia. Hingga tahun 2004,
konsumsi baja China meningkat kembali menjadi 290 juta ton/tahun (warta
ekonomi, 2006). Hal ini menyebabkan telah terjadi kelangkaan bahan baku baja
untuk keperluan produksi industri besi baja Indonesia. Besarnya permintaan bahan
baku baja menyebabkan terjadinya kenaikan harga bahan baku baja tersebut
sehingga dapat berpengaruh pada aktifitas produksi industri besi baja dalam
negeri yang sebagian besar bahan bakunya impor. Barulah diawal tahun 2006,
China mengalami kelebihan pasokan besi baja hasil produksi yang berlebihan
sehingga banyak produk-produk baja China yang masuk ke Indonesia dan
diketahui ada beberapa produk disalurkan dengan harga dumping. Tahun 2006,
dikabarkan bahwa China mengalami kelebihan pasokan sebanyak 116 juta ton
(Kompas, 2006).
4.3. Regulasi Pemerintah Terhadap Industri Logam Dasar Besi dan Baja
Industri baja sebagai industri strategis yang cukup berpotensi
dikembangkan sehingga pemerintah memandang perlu adanya suatu regulasi guna
mendorong pertumbuhan industri baja ini. Salah satu langkahnya yaitu dengan
memproteksi industri ini. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan yang
39
dikeluarkan pemerintah bagi industri baja. Kebijakan-kebijakan proteksi ini
menyangkut tata niaga impor, bea masuk dan bentuk proteksi lainnya yang
diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi industri baja.
Pemerintah mengeluarkan tata niaga impor yang baru dengan
pertimbangan bahwa perlu adanya :
1. Perlindungan terhadap kelanjutan dan perkembangan industri baja hulu serta
peningkatan industri baja hilir di dalam negeri
2. Jaminan kelancaran dan penyederhanaan prosedur pengadaan distribusi besi
baja pada tingkat harga yang terkendali
3. Jaminan standar dan mutu bahan baku industri besi baja di dalam negeri.
Maka pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor. 36 tahun
1979 tentang pengaturan pengadaan besi baja di Indonesia. Pemerintah beberapa
kali mengeluarkan peraturan-peraturan berupa deregulasi disektor industri baja
yang menyangkut tata niaga dan bea masuk. Secara kronologis maka proses
pelaksanaan deregulasi tersebut adalah sebagai berikut :
Tahun 1979 : PT Krakatau Steel sebagai Pusat Pengadaan Besi Baja (PPBB yang
bersumber dari dalam negeri maupun impor).
Tahun 1981 : Merupakan awal pelaksanaan tata niaga pengadaan impor besi
baja, hanya mengatur komoditi bahan baku yaitu billet/ingot,
batang kawat dan besi tua.
Tahun 1985 : Mengatur 117 tarif pos dengan pelaksanaan impor adalah PT KS,
Persero Niaga, PT. Tambang Timah, PT. Giwang Slogam, PT.
Kemas Inti Nusa Bakti atas nama PT. KS.
40
Tahun 1986 : Mengatur 100 tarif pos dengan pelaksanaan impor adalah PT. KS,
PT Kemas Inti Nusa Bakti, PT. Giwang Slogam atas nama PT. KS
dan PT. Tambang Timah.
Tahun 1987 : Dalam tata niaga penyederhanaan ketentuan tata niaga impor
produk baja dimana 108 komoditi menjadi importir umum (IU) dan
sisanya 56 komoditi masih tetap dipegang oleh PT KS sedangkan
untuk bea masuk atau bea masuk tambahan diterapkan tarif bea
masuk (BM) dan Bea Masuk Tambahan (BMT).
Tahun 1988 : - Tata niaga : Perubahan dan tambahan mengenai penyederhanaan
tata niaga impor barang yang semula tata niaga dua puluh enam
komoditi dipegang oleh PT. KS diubah lima belas komoditi
menjadi importir Produsen (IP) dan sebelas menjadi IU.
- BM/BMT : Perubahan tarif BM dan pengenaan BMT atas impor-
impor tertentu sejumlah 9 komoditi ( 7 komoditi dengan BMT
sebesar 30 persen dan 2 komoditi dengan BMT sebesar 20 persen ).
Tahun 1990 : - Tata niaga : Perubahan tata niaga yang semula dipegang oleh PT.
KS menjadi IP sebanyak 35 komoditi dan menjadi IU sebanyak 18
komoditi.
- BM/BMT : Penyempurnaan klasifikasi perubahan BM dan BMT.
Tahun 1991 : Surat Keputusan Menteri Perdagangan mengenai tata niaga
seluruhnya dicabut dan digantikan dengan SK No. 135/KP/6/91
(Paket Juni 1991) yang mengatur bahwa 32 komoditi tetap
41
dipegang oleh PT. KS dan 135 komoditi menjadi Importir
Produsen (IP).
Tahun 1992 : Pelepasan tata niaga dari 32 tarif pos yang diatur melalui PT.KS /
PPBB menjadi Importir Produsen.
Tahun 1994 : Keluarnya paket 27 Juni 1994 yang intinya adalah sebagai berikut :
1) Penetapan kembali IP untuk produk-produk plat baja serta
2) Penghilangan tarif BMT untuk beberapa komoditi tertentu.
Adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah atau adanya
deregulasi terhadap industri besi baja ini, maka dapat dilihat bahwa peranan sektor
industri baja ini harus mendapat perhatian yang besar karena industri besi baja
dapat menunjang industri-industri terkait lainnya.
4.4. Produksi Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Industri logam dasar besi dan baja yang merupakan salah satu industri
strategis dan vital harus cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah karena
perannya ini sangat dibutuhkan bagi pembangunan industri-industri penting
lainnya. Dampak dari adanya globalisasi ini dapat dirasakan oleh negara-negara di
dunia, berupa adanya pembangunan-pembangunan infrastruktur yang memadai
oleh banyak negara. Dengan banyaknya pembangunan tersebut peran industri besi
baja tidak dapat diabaikan karena tentu saja permintaan besi dan baja ini akan
meningkat. Industri logam dasar besi dan baja harus pula meningkatkan
produksinya.
Kendala sekaligus tantangan yang harus dihadapi oleh industri ini yaitu
adanya ancaman dari negara luar yang menjual produk-produk yang lebih murah
42
daripada produk yang diproduksi di dalam negeri, salah satu contoh terjadi pada
produk tin plate. Perusahaan pembuat tin plate dalam negeri menilai adanya
politik dumping yang dilakukan negara pengimpor karena harga yang ditawarkan
lebih murah di Indonesia dibandingkan harga yang dijual di negaranya sendiri.
Hal ini tentu saja sangat merusak dan dapat mematikan produksi dalam negeri
karena produk dalam negeri akan sulit untuk bersaing.
Tabel 4.2. Perkembangan Volume Produksi Beberapa Produk Besi Baja Indonesia Tahun 2002-2004 (ribu ton) Kelompok Volume Produksi No
2002 2003 2004 1 Besi Spons 1.478,0 1.171,0 1.367,0
2 Slab Baja 1.291,7 1.002,3 1.190,0
3 Billet 976,3 1.042,2 1.198,5
4 Besi Beton 1.141,1 1.212,5 1.423,9
5 Batang Kawat Baja 625,3 578,4 651,1
6 HRC & Plate 2.032,1 1.928,0 2.441,6
7 Pipa Las Lurus/Spiral 405,2 435,6 459,6
8 CRC/Sheet 754,6 680,0 680,0
9 BjLS/warna 437,5 460,5 491,7
10 Tin Plate 88,0 89,6 92,7
Sumber : Departemen Perindustrian dalam Safitri, 2006
Adanya ancaman masuknya produk impor dengan cara dumping dan ilegal
sangat berpengaruh pada produksi industri besi baja Indonesia, karena produk baja
nasional menjadi kalah bersaing dalam hal harga yang dipasarkan. Menurut
catatan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) bahwa KADI pernah menangani
kasus anti dumping pipa baja dari Jepang, China, dan Korea Selatan pada tahun
2001. Kemudian menangani dua kasus antidumping terhadap produk baja impor
yaitu lembaran baja canai panas (HRC) dari India, Rusia, China, dan Ukraina pada
43
tahun 2002. Selain itu, KADI juga menangani kasus anti dumping besi beton wire
rod impor dari India dan Turki pada tahun yang sama (Kompas,2003).
4.5. Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan
Baja Indonesia
Hasil produksi industri logam dasar besi dan baja Indonesia tidak hanya
dimanfaatkan oleh industri-industri hilir di dalam negeri, tetapi juga telah diekspor
ke negara-negara yang membutuhkan besi dan baja. Berdasarkan data tahun 2000
sampai tahun 2002, volume ekspor baik untuk industri besi dan baja dasar (ISIC
27101), industri penggilingan baja (ISIC 27102), dan industri pipa dan sambungan
dari besi dan baja (ISIC 27103) mengalami penurunan. Khususnya untuk industri
besi dan baja dasar (ISIC 27101) penurunan ekspor cukup besar dimana pada
tahun 2000 ekspornya sebanyak 101.270.174 kg per tahun menurun menjadi
73.709.135 kg per tahun. Namun, di tahun 2003 mulai mengalami peningkatan
kembali terhadap volume ekspornya dan peningkatan ekspor terus terjadi hingga
tahun 2005 tersebut (Tabel 4.3).
Tabel 4.3. Perkembangan Ekspor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005
Perkembangan Ekspor Industri Logam Dasar Besi dan Baja ISIC 27101 ISIC 27102 ISIC 27103
Tahun
Volume Nilai (US$) Volume Nilai (US$) Volume Nilai (US$) 2000 101.270.174 113.963.142 807.875.285 256.611.100 230.584.229 128.548.116
2001 79.709.135 65.863.368 686.150.984 181.845.563 245.334.502 136.817.237
2002 73.674.224 50.282.896 824.193.810 241.031.791 155.751.826 126.154.922
2003 110.168.960 94.289.174 828.552.068 285.342.201 178.791.972 135.966.610
2004 160.566.415 119.357.741 979.573.659 519.536.515 139.321.988 145.719.347
2005 202.424.282 130.772.275 777.960.641 486.347.622 200.049.819 246.528.236
Sumber : BPS, 2000-2005
Dari data tahun 2001 sampai tahun 2005 baik volume atau nilai ekspor
industri ini mengalami peningkatan tetapi secara keseluruhan ternyata besarnya
44
ekspor diperkirakan hanya sebesar 4 persen saja dari total produk impor yang
masuk. Jadi, pendapatan dari ekspor yang diperoleh tidak sebanding dengan nilai
impornya. Impor tidak selalu berdampak negatif bagi suatu industri, selama daya
saing produk domestik yang dihasilkan lebih baik daripada produk impor atau
apabila produsen dalam negeri tidak sanggup memenuhi kebutuhan baja dalam
negeri.
Tabel 4.4. Perkembangan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005
Perkembangan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja ISIC 27101 ISIC 27102 ISIC 27103
Tahun
Volume Nilai (US$) Volume Nilai (US$) Volume Nilai (US$) 2000 2.989.830.445 460.682.992 1.618.969.328 783.948.179 517.402.410 365.997.038
2001 2.848.024.786 385.774.627 1.305.634.402 555.427.436 234.622.110 299.568.303
2002 2.878.498.324 413.118.128 1.496.507.379 647.087.516 281.372.849 328.053.090
2003 2.528.721.686 455.257.576 1.500.107.832 697.032.757 239.814.910 254.487.652
2004 3.637.273.905 1.237.303.450 2.101.234.818 1.250.376.271 252.442.382 328.373.007
2005 3.414.466.303 1.232.139.609 2.646.018.785 1.837.219.778 560.628.108 760.205.898
Sumber : BPS, 2000-2005
Bila melihat perkembangan impor industri logam dasar besi dan baja
Indonesia dari tahun 2000 sampai 2005, nilai impornya cenderung mengalami
trend yang meningkat terutama untuk subsektor industri penggilingan baja (ISIC
27102), pada tahun 2005 mengalami kenaikan nilai impor yang begitu melonjak
dari tahun 2004. Untuk volume impor yang sangat tinggi kapasitasnya dialami
oleh industri besi dan baja dasar (ISIC 27101) (Tabel 4.4). Masuknya produk besi
baja impor ke Indonesia terutama produk baja impor dengan harga dumping atau
ilegal menyebabkan industri besi baja Indonesia harus bersaing dalam merebut
pangsa pasarnya. Namun, dalam hal ini persaingan menjadi tidak sehat sehingga
mematikan perusahaan-perusahaan besi baja dalam negeri.
45
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Struktur Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Dalam penelitian ini, analisis struktur industri logam dasar besi dan baja di
Indonesia dilakukan dengan menggunakan perhitungan rasio konsentrasi empat
perusahaan terbesar yang menguasai pangsa pasar dalam industri tersebut, yang
dikenal dengan indikator CR4. Hasil perhitungan CR4 untuk industri logam dasar
besi dan baja di Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 5.1.
Tabel 5.1. CR4 Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia, Tahun 1995-2004
CR4 Industri Logam Dasar Besi dan Baja Subsektor 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Rata2
Isic 27101 98,74 96,42 96,28 92,90 66,03 68,93 86,24 81,66 75,79 71,33 83,43 Total ∑ Firm 16 12 17 27 21 16 22 16 19 24 Isic 27102 82,52 88,45 83,52 61,64 84,91 85,98 77,56 74,30 64,11 60,74 76,37 Total ∑ Firm 59 57 60 47 48 44 62 54 48 50 Isic 27103 47,92 54,60 56,83 67,18 53,73 51,57 60,68 40,92 53,98 49,03 53,64 Total ∑ Firm 62 55 61 32 38 38 44 49 42 45 CR4 Industri Total ∑ Firm
76,39 (137)
79,82 (124)
78,88 (138)
73,91 (106)
68,22 (107)
68,83 (98)
74,83 (128)
65,63 (119)
64,63 (109)
60,37 (119)
71,15
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004 Keterangan : Isic 27101 = Industri Besi dan Baja Dasar Isic 27102 = Industri Penggilingan Baja Isic 27103 = Industri Pipa dan Sambungan dari Besi dan Baja
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa rata-rata struktur pasar industri logam dasar
besi baja Indonesia dari tahun 1995 sampai tahun 2004 berbentuk oligopoli ketat
dengan nilai rasio konsentrasi sebesar 71,15 persen. Pada tahun 1995, rata-rata
rasio konsentrasi industri besi baja sebesar 76,39 persen sedangkan tahun 2004
mengalami penurunan rasio konsentrasi menjadi 60,37 persen. Penurunan ini
bukan dikarenakan meningkatnya jumlah perusahaan dalam industri tersebut
tetapi justru karena banyak perusahaan yang keluar dalam industri. Perusahaan
yang keluar itu merupakan perusahaan dengan skala produksi yang rendah.
Penurunan rasio konsentrasi juga karena perusahaan-perusahaan yang bertahan
46
dalam industri ini tidak mampu berproduksi menyamai atau melebihi produksi
pada saat sebelum krisis ekonomi dan akibat permasalahan eksternal lainnya yang
menghambat aktifitas produksi industri besi baja di Indonesia. Permasalahan
eksternal terberat bagi industri besi baja nasional yaitu adanya serbuan produk
impor besi baja yang menggunakan harga dumping atau impor ilegal, selain itu
juga kendala bahan bakar gas dan pasokan listrik dengan harga yang semakin
meningkat dan kurang mencukupi untuk produksi sehingga industri mengalami
kendala untuk meningkatkan penjualan output produksinya.
Subsektor yang mempunyai rasio konsentrasi terbesar adalah industri besi
baja dasar dengan nilai CR4 sebesar 83,43 persen dan struktur pasarnya berbentuk
oligopoli ketat. Subsektor industri penggilingan baja memiliki nilai CR4 sebesar
76,37 persen, industri ini juga termasuk tipe oligopoli ketat sedangkan industri
pipa dan sambungan pipa dari besi baja memiliki nilai CR4 lebih rendah
dibandingkan kedua subsektor industri tersebut. Industri pipa dan sambungan pipa
dari besi baja termasuk tipe struktur pasar oligopoli moderat dengan nilai CR4
sebesar 53,64 persen. Tingginya rasio konsentrasi yang terdapat pada industri besi
baja menunjukkan bahwa pangsa pasar yang dihasilkan perusahaan-perusahan
pada industri ini cukup besar sehingga keuntungan perusahaan yang dapat
diperoleh juga besar.
Tingginya rasio konsentrasi perusahaan juga mengindikasikan adanya
hambatan masuk yang besar bagi perusahaan-perusahaan baru untuk masuk dalam
industri tersebut. Begitu pula yang terjadi pada industri logam dasar besi baja di
Indonesia yang mempunyai rasio konsentrasi cukup besar, ini berarti ada
47
hambatan masuk bagi perusahaan pada industri besi baja Indonesia. Hambatan
masuk yang besar pada industri besi baja ini bukan disebabkan oleh adanya
larangan atau adanya kebijakan pemerintah yang membatasi masuknya
perusahaan-perusahaan dalam industri ini tetapi hambatan masuk itu lebih
disebabkan karena adanya skala ekonomi yang besar untuk membangun
perusahaan tersebut agar perusahaan dapat berproduksi dengan efisien, juga
hambatan dari besarnya modal yang harus dimiliki untuk mendirikan industri ini.
Perusahaan-perusahaan yang ingin masuk dalam industri ini mengalami kendala-
kendala tersebut karena bila tidak memiliki skala ekonomi yang besar atau modal
yang besar, perusahaan akan tidak efisien dalam berproduksi sehingga perusahaan
akan kalah bersaing dan sulit mempertahankan keberlanjutan proses produksinya.
Krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk juga
Indonesia menyebabkan harga-harga meningkat dengan tajam terutama untuk
harga bahan baku baja di pasar internasional sehingga memberikan dampak
negatif bagi proses produksi industri besi baja nasional sebab industri ini masih
menggunakan bahan baku yang sebagian besar adalah impor. Adanya
ketergantungan impor bahan baku besi baja yang sangat tinggi membuat industri
besi baja nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di pasar
internasional seperti saat terjadi krisis ekonomi tersebut. Dampaknya, telah
mempengaruhi struktur pasar industri besi baja nasional yang ditunjukkan dengan
menurunnya rasio konsentrasi industrinya.
Menurunnya rasio konsentrasi pada saat terjadi krisis ekonomi ini, bukan
karena meningkatnya jumlah perusahaan yang masuk dalam industri ini atau
48
meningkatnya persaingan. Hampir semua subsektor industri besi baja di Indonesia
terkena pengaruh krisis ekonomi yang diperkirakan terjadi dari tahun 1997 sampai
1999, yaitu berupa penurunan jumlah unit usaha terutama perusahaan-perusahaan
dengan skala usaha yang kecil. Hal ini karena unit usaha yang berskala kecil
kurang memiliki efisiensi sehingga banyak unit usaha tidak mampu bertahan
dalam persaingan ketika terjadi kenaikan harga bahan baku atau kenaikan biaya
input produksinya. Meningkatnya biaya input produksi tersebut juga berdampak
pada penurunan output produksi perusahaan-perusahaan terbesarnya. Jadi,
menurunnya rasio konsentrasi pada saat krisis ekonomi disebabkan oleh dua hal
yaitu karena penurunan output produksi empat perusahaan terbesar dalam industri
tersebut dan juga karena banyaknya jumlah unit usaha berskala kecil dengan
kapasitas produksi yang rendah keluar dalam industri tersebut.
Walaupun bentuk struktur pasar pada industri besi baja di Indonesia adalah
oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi yang tinggi tetapi persaingan antar
perusahaan-perusahaan pada industri ini cukup besar, selain itu persaingan juga
terjadi dengan produk-produk impor besi baja yang masuk dari negara lain. Ada
beberapa negara yang diindikasikan melakukan praktek dumping dalam
memasarkan produknya atau adanya produk baja ilegal sehingga dapat
menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini tentu saja sangat
mengancam kondisi industri besi baja dalam negeri. Namun, beberapa perusahaan
pada industri besi baja nasional yang memiliki efisiensi baik dalam berproduksi
masih mampu bertahan dalam persaingan tersebut sehingga masih mendapatkan
pangsa pasar yang besar di pasar domestiknya walaupun pangsa pasar cenderung
49
menurun. Justru, yang menjadi kekhawatiran bagi keberlanjutan industri besi baja
nasional adalah karena industri ini sangat bergantung terhadap impor bahan baku
besi bajanya. Ditambah lagi, muncul permasalahan bahwa telah terjadi krisis baja
dunia atau kelangkaan bahan baku baja di dunia akibat besarnya permintaan besi
baja dari negara seperti China, Rusia, dan Irak pada tahun 2003. Hal ini tentu saja
mempengaruhi struktur pasar pada industri besi baja Indonesia dan juga
berpengaruh pula terhadap kinerja industrinya sebab adanya kelangkaan tersebut
menyebabkan kenaikan harga bahan baku di dunia.
Kondisi tersebut menyebabkan pada tahun 2003 sampai 2004, struktur
pasar industri ini semakin memiliki rasio konsentrasi yang rendah. Penurunan ini
terjadi akibat naiknya harga bahan baku baja dunia sehingga dengan adanya
kenaikan harga bahan baku baja ini menyebabkan banyak perusahaan besi baja
Indonesia yang mengurangi output industrinya dan banyak perusahaan dengan
skala produksi kecil terpaksa keluar dari industri besi baja karena tidak mampu
berproduksi dengan efisien. Penurunan pangsa pasar industri besi baja Indonesia
diperkirakan masih akan terus terjadi karena China telah mengalami kelebihan
produksi besi bajanya di tahun 2006. Hal ini menyebabkan membanjirnya produk-
produk besi baja China di negara-negara berkembang, salah satunya ke pasar
Indonesia mengingat proteksi untuk bea masuk impor dan hambatan non tarif besi
baja Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya seperti
Malaysia atau Thailand. Oleh karena itu, adanya permasalahan baik internal dan
eksternal yang terjadi pada industri besi baja Indonesia menyebabkan lemahnya
50
struktur industri besi baja Indonesia karena pangsa pasar yang diraih industri ini
semakin berkurang sehingga mengganggu pula kinerja industrinya.
5.2. Analisis Kinerja Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Kinerja industri logam dasar besi dan baja Indonesia dapat dilihat dari
pertumbuhan output produksi dan nilai tambah; besarnya kontribusi industri
logam dasar besi dan baja terhadap total industri manufaktur di Indonesia dari sisi
total penyerapan tenaga kerja, nilai tambah, dan penyediaan lapangan usaha atau
unit usaha yang tersedia. Selain itu, kinerja industri dilihat dari efisiensi, dan
besarnya keuntungan yang diperoleh oleh setiap perusahaan pada industri besi
baja ini.
5.2.1. Pertumbuhan Output Produksi dan Nilai Tambah Industri Logam
Dasar Besi dan Baja Indonesia.
Untuk melihat pertumbuhan output dan nilai tambah industri besi baja di
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.2. Pertumbuhan output industri besi baja
Indonesia sebelum terjadi krisis ekonomi sebesar 39,16 persen, pada saat itu
kondisi perekonomian nasional dan dunia masih stabil. Akan tetapi, pada saat
terjadi krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk juga
Indonesia dipertengahan tahun 1997 menyebabkan pertumbuhan output produksi
industri besi baja Indonesia mengalami pertumbuhan yang negatif. Hal ini karena
adanya kenaikan biaya produksi yang sangat besar sehingga banyak perusahaan
mengurangi output produksinya bahkan menghentikan produksinya. Oleh karena
itu, pada saat terjadi krisis ekonomi banyak perusahaan berskala kecil keluar dari
industri tersebut, begitu pula dengan perusahaan yang berskala besar juga
51
menurunkan output produksinya sehingga berdampak pada penurunan rasio
konsentrasinya. Penurunan output karena kenaikan biaya input tersebut, juga
menyebabkan pertumbuhan nilai tambah yang negatif pada saat terjadi krisis.
Tabel 5.2. Pertumbuhan Output dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 (persen)
Output Nilai Tambah Tahun 27101 27102 27103 271 27101 27102 27103 271
1995 - - - - - - - - 1996 19,88 41,86 33,93 39,16 13,43 93,46 41,83 83,971997 - 11,62 - 25,29 -30,56 - 25,05 - 2,43 - 59,70 - 35,39 - 55,931998 479,08 - 74,79 - 60,37 - 30,14 141,35 - 63,40 - 69,47 - 49,731999 - 84,71 135,72 34,41 - 12,73 - 48,71 7,47 39,89 - 9,172000 46,83 0,65 39,61 9,77 55,42 7,67 46,56 21,042001 92,45 72,87 232,13 96,17 - 20,68 69,46 416,30 93,582002 - 77,09 - 29,00 58,48 - 17,18 - 39,39 - 11,36 0,18 - 10,072003 - 8,51 27,02 - 12,54 9,19 - 61,93 - 41,57 - 5,83 - 28,812004 - 64,02 12,22 - 36,06 - 6,40 - 65,04 - 2,51 - 40,88 - 24,84
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004 Keterangan : ISIC 271 = Industri Logam Dasar Besi dan Baja
ISIC 27101 = Industri Besi dan Baja Dasar ISIC 27102 = Industri Penggilingan Baja ISIC 27103 = Industri Pipa dan Sambungan dari Besi dan Baja
Krisis ekonomi cukup berpengaruh terhadap aktifitas produksi industri
besi baja nasional karena sebagian besar bahan baku untuk industri besi bajanya
adalah impor. Impor bahan baku yang besar ini karena industri besi baja Indonesia
tidak memiliki mesin-mesin untuk pengolahan bijih besi (bahan baku baja) yang
ada di Indonesia, padahal Indonesia memiliki kandungan bijih besi yang sangat
banyak. Seandainya industri besi baja nasional mampu mengolah sendiri bijih besi
tersebut maka adanya kenaikan harga bahan baku besi baja dapat memberikan
peluang keuntungan yang besar bagi industri besi baja Indonesia sehingga dapat
meningkatkan kinerja industrinya dan pengaruh krisis ekonomi tidak terlalu besar
mempengaruhi aktivitas produksinya.
52
Adanya krisis ekonomi yang menyebabkan kondisi perekonomian tidak
stabil, mengakibatkan segala proyek-proyek pembangunan mulai terhenti
sehingga konsumsi besi baja pun mengalami penurunan. Tahun 2000, masa
setelah krisis ekonomi industri besi baja mulai mengarah pada usaha pemulihan
sehingga industri ini memberikan pertumbuhan output dan nilai tambah yang
positif. Hingga tahun 2001, kondisi industri besi baja secara keseluruhan mulai
mengalami perbaikan karena perekonomian nasional mulai membaik sehingga
konsumsi besi baja mulai meningkat ditandai dengan berbagai proyek
pembangunan mulai berjalan kembali seperti proyek jalan tol, jembatan,
apartemen, pusat perbelanjaan, maupun permintaan industri lain yang
menggunakan produk baja sebagai bahan baku industrinya juga meningkat. Oleh
karena itu, terjadi peningkatan output produksi besi baja nasional. Namun, hal itu
tidak berarti industri besi baja nasional tidak mengalami tantangan lagi.
Pada tahun 2002, industri besi baja nasional kembali menghadapi
tantangan yang besar karena industri ini mengalami persaingan yang besar dengan
produk baja impor. Pada tahun tersebut, banyak produk baja impor yang masuk
terutama produk besi baja impor dengan harga dumping dan ilegal sehingga
menyebabkan kinerja industri besi baja nasional terganggu. Oleh karena itu,
terjadi pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif pula.
Menurut data dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) (2002)
menunjukkan bahwa pada tahun 2002 ada beberapa kasus dumping produk baja
impor yang ada di Indonesia yaitu berupa produk lembaran canai panas (hot rolled
coil/ HRC) dari India, Rusia, Turki, dan Ukraina; serta adanya kasus dumping
53
besi beton wire rod impor dari India dan Turki (Kompas, 2003). Hal tersebut
menyebabkan persaingan yang tidak sehat pada industri besi baja nasional.
Dampaknya, adanya produk-produk impor tersebut banyak mematikan
perusahaan-perusahaan besi baja dalam negeri yang kurang efisien. Perusahaan
dengan efisiensi produksi yang kurang terpaksa menutup usahanya karena tidak
mampu bertahan dalam persaingan tersebut sehingga di tahun tersebut industri
besi baja nasional mengalami penurunan jumlah unit usaha dan menyebabkan
penurunan output produksinya sebesar 17,18 persen, juga penurunan nilai
tambahnya sebesar 10,07 persen.
Sejak tahun 2003, terjadi kelangkaan bahan baku baja di dunia karena
adanya kenaikan konsumsi besi baja yang sangat besar untuk negara-negara
seperti China, Irak, dan Rusia. Besarnya konsumsi baja China ini karena pesatnya
pertumbuhan ekonomi China dan adanya rencana pembangunan stadion olimpiade
yang diselenggarakan di China pada tahun 2008. Irak pun meningkatkan
konsumsi baja untuk memperbaiki infrastruktur yang hancur akibat perang. Begitu
pula dengan Rusia, besarnya konsumsi baja karena seiring dengan semakin
membaiknya kondisi negaranya. Saat itu, Rusia juga mulai mengurangi ekspor
bahan baku besi baja karena untuk memenuhi sendiri kebutuhan bajanya
(Ikhsan,2005).
Kondisi tersebut menyebabkan bahan baku baja lebih banyak terserap
untuk negara-negara yang mengkonsumsi baja dalam jumlah besar sehingga
menyebabkan harga bahan baku baja mengalami kenaikan. Hal ini tentu
berdampak pada aktivitas produksi dan kinerja industri besi baja Indonesia.
54
Industri besi baja Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain untuk
mendapatkan bahan baku baja yang harganya meningkat sehingga industri besi
baja nasional mengalami kenaikan biaya input produksi yang besar. Ini
menyebabkan terjadi pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Pada tahun 2003,
pertumbuhan nilai tambah menurun sebesar 28,81 persen dan di tahun 2004
terjadi penurunan output produksi sebesar 6,40 persen serta penurunan nilai
tambah sebesar 24,84 persen. Dengan demikian, kinerja industri besi baja nasional
sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu.
Hal ini sangat mengkhawatirkan keberlanjutan proses produksi industri besi baja
di masa yang akan datang sehingga menghambat pula perannya dalam
memberikan sumbangan atau kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia.
5.2.2. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap
Industri Manufaktur
Kontribusi industri besi baja Indonesia terhadap industri manufaktur dapat
dilihat pada Tabel 5.3. Kinerja suatu industri dapat dilihat juga dari berapa besar
kontribusinya dalam pembentukan PDB. Industri logam dasar besi baja
merupakan salah satu industri manufaktur, untuk itu dalam penelitian ini melihat
kinerja industri besi baja dari kontribusi yang diberikannya kepada industri
manufaktur yang secara tidak langsung juga memberikan sumbangan terhadap
PDB Indonesia.
55
Tabel 5.3. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur 1995-2004 (persen)
Nilai Tambah Tenaga kerja Unit Usaha Tahun 27101 27102 27103
Rata2 27101 27102 27103
Rata2 27101 27102 27103
Rata2
1995 0,35 5,82 0,72 1,91 0.091 0.595 0.363 0.350 0,074 0,274 0,288 0,212 1996 0,32 8,92 0,80 2,12 0.093 0.589 0.361 0.348 0,052 0,246 0,265 0,188 1997 0,34 3,92 0,57 1,73 0.103 0.632 0.311 0.349 0,076 0,268 0,246 0,197 1998 0,88 1,54 0,19 1,22 0.313 0.325 0.116 0.252 0,126 0,219 0,149 0,165 1999 0,41 1,51 0,24 1,06 0.170 0.378 0.176 0.241 0,095 0,218 0,172 0,162 2000 0,56 1,30 0,23 0,99 0.168 0.369 0.165 0.234 0,072 0,198 0,072 0,114 2001 0,40 2,17 1,42 1,71 0.108 0.471 0.279 0.286 0,103 0,290 0,206 0,199 2002 0,23 1,80 1,33 1,26 0.010 0.505 0.309 0.305 0,076 0,255 0,232 0,188 2003 0,09 1,09 1,30 1,57 0.113 0.433 0.317 0.288 0,094 0,236 0,207 0,179 2004 0,04 1,32 0,95 1,71 0.065 0.495 0.310 0.290 0,116 0,242 0,218 0,192 Total 0,36 2,94 0,77 1,36 0,132 0,479 0,271 0,294 0,088 0,245 0,205 0,179
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004
Besarnya kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri
manufaktur dari tahun 1995 sampai tahun 2004 sebesar 1,36 persen. Pada tahun
2004, kontribusi nilai tambah yang diberikan industri besi baja nasional sebesar
1,71 persen. Tahun 1996 merupakan kondisi sebelum terjadinya krisis ekonomi,
kontribusi yang diberikan industri besi baja cukup besar yaitu sebesar 2,12 persen
kepada industri manufaktur. Namun, setelah terjadi krisis ekonomi pada
pertengahan tahun 1997 sampai 1999 kontribusi nilai tambahnya mengalami
penurunan yang cukup besar. Hal ini karena pada saat krisis ekonomi, terjadi
kenaikan harga bahan baku besi baja yang diimpor sehingga menyebabkan
naiknya biaya-biaya input produksinya. Banyak perusahaan terutama perusahaan
berskala kecil terpaksa menghentikan proses produksinya, sedangkan perusahaan
berskala besar yang masih bertahan terpaksa juga harus menurunkan kapasitas
produksinya. Hal ini mengakibatkan terjadi penurunan nilai tambah industrinya
sehingga mengurangi kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri
manufaktur.
Rata-rata kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri
manufaktur paling besar disumbangkan oleh subsektor industri penggilingan baja
56
yaitu sebesar 2,94 persen. Hal ini karena nilai tambah yang dihasilkan oleh
industri penggilingan baja cukup besar tetapi belum mampu memberikan
kontribusi nilai tambah yang menyamai atau melebihi kontribusi pada saat
sebelum krisis ekonomi yaitu sebesar 8,92 persen kepada industri manufaktur.
Kontribusi nilai tambah terendah diberikan oleh subsektor industri besi dan baja
dasar. Rata-rata industri ini memberikan kontribusi sebesar 0,36 persen dari tahun
1995 sampai 2004. Hal ini karena jumlah unit usaha yang terdapat pada subsektor
ini masih relatif lebih sedikit dibandingkan jumlah unit usaha dari subsektor
industri besi baja yang lain sehingga nilai tambah yang dihasilkan rendah tetapi
industri ini mampu menciptakan pangsa pasar terbesar pada industri besi baja di
Indonesia.
Dampak dari krisis ekonomi ini menyebabkan industri logam dasar besi
dan baja sulit untuk memperbaiki bahkan meningkatkan produksinya sehingga
mengakibatkan pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Sejak krisis ekonomi
tahun 1997, kinerja industri logam dasar besi dan baja mengalami penurunan dari
tahun ke tahun dalam memberikan sumbangan nilai tambah terhadap total industri
manufaktur di Indonesia.
Bila dilihat dari kontribusi yang diberikan industri logam dasar besi dan
baja Indonesia terhadap industri manufaktur dari sisi penyerapan tenaga kerja
menunjukkan bahwa sektor ini merupakan industri yang padat modal karena
penyerapan tenaga kerja industri ini rendah. Rata-rata kontribusi total penyerapan
tenaga kerja terhadap industri manufaktur selama periode tahun 1995 sampai
tahun 2004 hanya sebesar 0,294 persen. Angka ini sangat rendah bila
57
dibandingkan dengan kontribusi sektor industri manufaktur lainnya, seperti
industri rokok kretek. Pada tahun 1999, kontribusi penyerapan tenaga kerja
industri rokok kretek terhadap industri manufaktur sebesar 4,65 persen (Sumarno
dan Kuncoro, 2003) sedangkan untuk tahun yang sama kontribusi penyerapan
tenaga kerja industri logam dasar besi dan baja hanya sebesar 0,291 persen.
Besarnya penyerapan tenaga kerja industri rokok kretek dikarenakan industri
tersebut merupakan industri yang padat karya atau padat tenaga kerja sehingga
total penyerapan tenaga kerjanya pun cukup besar.
Industri yang padat modal cenderung pada penggunaan mesin-mesin
berteknologi tinggi sehingga penyerapan tenaga kerjanya cenderung pada tenaga
kerja yang terampil dan terdidik yang menguasai teknologi produksi besi dan baja.
Berbeda dengan industri yang padat modal, industri padat tenaga kerja
memberikan kinerja yang baik dalam penyerapan tenaga kerja industrinya
sehingga memberikan peluang kesempatan kerja yang banyak untuk para pekerja.
Hal ini dapat membantu mengatasi masalah pengangguran yang banyak
diperbincangkan.
Kontribusi industri logam dasar besi dan baja terhadap total industri
manufaktur Indonesia dilihat dari sisi kontribusi jumlah unit usaha dari tahun
1995 sampai tahun 2004 secara rata-rata yaitu sebesar 0,179 persen. Nilai
kontribusinya rendah karena jumlah unit usaha pada industri logam dasar besi dan
baja Indonesia sangat sedikit dibandingkan industri-industri lain yang termasuk
dalam industri manufaktur. Selama sepuluh tahun terakhir mulai dari tahun 1995
hingga tahun 2004, rata-rata kontribusi jumlah unit usaha terhadap industri
58
manufaktur untuk industri besi dan baja dasar hanya sebesar 0,088 persen, industri
penggilingan baja memberikan kontribusi sebesar 0,245 persen, sedangkan
industri pipa dan sambungan pipa dari besi baja memberikan kontribusi sebesar
0,205 persen. Kontribusi jumlah unit usaha terendah adalah industri besi dan baja
dasar. Pengaruh dari krisis ekonomi memberikan kontribusi unit usaha industri
besi baja terhadap industri manufaktur semakin rendah karena saat krisis banyak
unit usaha yang menutup usahanya.
Fluktuasi nilai mata uang rupiah terhadap dolar yang berlebihan pada masa
krisis ekonomi, yang diikuti oleh peningkatan harga-harga yang sangat tinggi
telah membawa kinerja yang kurang baik pada dunia usaha terutama juga yang
dialami oleh industri logam dasar besi dan baja. Adanya krisis ekonomi
menyebabkan banyak dunia usaha dalam industri ini tidak mampu
mempertahankan proses produksinya sehingga banyak unit usaha yang terpaksa
tutup akibat fluktuasi harga tersebut. Fluktuasi harga yang tajam ini menyebabkan
harga bahan baku yang di impor mengalami peningkatan harga yang cukup tinggi.
Kondisi setelah terjadi krisis ekonomi, juga mengancam bahkan mematikan unit
usaha besi baja nasional yaitu karena masuknya produk-produk baja impor yang
menggunakan harga dumping atau bahkan merupakan produk baja ilegal.
5.2.3. Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Salah satu indikator yang juga digunakan untuk melihat kinerja suatu
industri adalah dari tingkat efisiensi yang dihasilkan oleh industri tersebut.
Efisiensi menunjukkan kemampuan suatu perusahaan atau industri untuk
59
meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan. Tabel 5.4 menunjukkan tingkat
efisiensi industri logam dasar besi baja di Indonesia.
Tabel 5.4. Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia Tahun 1995-2004 (persen)
Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Tahun ISIC 27101 ISIC 27102 ISIC 27103 ISIC 271
1995 44,34 94,09 58,14 83,861996 40,98 195,05 63,76 151,861997 47,25 55,43 56,81 54,921998 15,45 107,41 38,71 34,271999 81,38 30,91 40,94 36,152000 86,02 28,86 37,81 35,812001 24,34 32,90 90,12 40,632002 107,45 44,10 42,78 45,362003 27,48 16,58 47,63 25,722004 26,50 14,09 42,51 19,65Total 50,12 61,94 51,92 52,82
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004
Kemampuan industri besi baja Indonesia meminimumkan biaya produksi
yang dikeluarkan selama sepuluh tahun terakhir dari tahun 1995 sampai 2004
yaitu sebesar 52,82 persen. Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya
krisis ekonomi yaitu di tahun 1996 menunjukkan bahwa tingkat efisiensi industri
besi baja nasional cukup besar yaitu sebesar 151,86 persen. Hal ini berarti bahwa
sebelum krisis ekonomi, kemampuan industri besi baja dalam menekan biaya
produksi sangat baik sehingga menunjukkan industri besi baja berproduksi secara
efisien dan memberikan kinerja industri yang cukup baik pula. Dengan demikian,
industri besi baja mampu memberikan keuntungan yang besar. Hal ini juga dapat
dilihat dari besarnya rasio konsentrasi yang dimiliki industri besi baja pada saat
sebelum krisis ekonomi.
Pada masa krisis ekonomi yang terjadi dipertengahan tahun 1997, efisiensi
yang dihasilkan oleh industri besi baja semakin menurun dibandingkan sebelum
60
terjadi krisis ekonomi. Hal ini karena banyak perusahaan pada industri besi baja
yang berproduksi kurang efisien karena adanya kenaikan harga-harga bahan baku
besi baja yang sangat tinggi. Di tahun 1998, industri penggilingan baja
mempunyai efisiensi yang besar yaitu sebesar 107,41 persen. Ini karena ada
sebagian wilayah tempat berproduksinya industri tersebut, mampu menekan biaya
input produksinya sehingga perusahaan tersebut efisien dalam berproduksi. Hal
inilah yang menyebabkan tingkat efisiensi industri penggilingan baja secara
keseluruhan cukup besar. Wilayah yang mampu meminimumkan biaya produksi
yaitu industri penggilingan baja yang terletak di kabupaten Surabaya, Bekasi,
Serang, dan Jakarta Utara (Tabel 5.5).
Tabel 5.5. Efisiensi Industri Penggilingan Baja Indonesia, Tahun 1998 Kabupaten Nilai Tambah
(ribu rupiah) Nilai Input
(ribu rupiah) Efisiensi (persen)
Medan 24198609 45558501 53,12Jaktim 100335769 130319203 76,99Jakut 54046981 42856109 126,11Bogor 86565 20586512 0,42Karawang 716659 4778378 14,99Bekasi 109109369 83168959 131,19Tanggerang 2920088 12486954 23,39Serang 18361749 7940793 231,23Semarang 49878726 164460567 30,33Sidoarjo 131180054 132809098 98,77Gresik 2475458 9989607 24,78Surabaya 639801121 360372798 177,54Pontianak 7471640 16126604 46,33Ujung Pandang 4652844 34763301 13,38
Sumber : Diolah dari data BPS, 1998
Saat terjadinya kelangkaan bahan baku baja di tahun 2003 akibat
meningkatnya permintaan baja oleh negara-negara yang sedang melakukan
proyek pembangunan besar-besaran yang menyebabkan kenaikan harga bahan
baku baja di pasar dunia, juga mempengaruhi kinerja industri besi baja di
61
Indonesia sehingga industri besi baja nasional memiliki efisiensi produksi yang
rendah. Di tahun 2003 tersebut, nilai efisiensinya hanya sebesar 25,72 persen dan
efisiensi terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu dengan nilai efisiensi sebesar
19,65 persen.
Adanya kelangkaan bahan baku baja menyebabkan kenaikan harga bahan
baku baja di pasar internasional sehingga mempengaruhi efisiensi produksi bagi
ketiga subsektor industri besi baja nasional. Hal tersebut memberikan
pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Ini berarti bahwa adanya ketergantungan
impor bahan baku yang sangat besar untuk industri besi baja Indonesia
menjadikan industri besi baja Indonesia sangat tergantung atau terpengaruh dari
kondisi yang terjadi di pasar internasionalnya sehingga berdampak kurang baik
bagi kinerja industri besi baja Indonesia.
Dalam teori ekonomi industri, dinyatakan bahwa semakin tinggi rasio
konsentrasi maka dapat menyebabkan semakin tidak efisien industri tersebut
berproduksi karena tingginya rasio konsentrasi menunjukkan perusahan dalam
industri tersebut tidak bersaing sempurna. Perusahaan pada pasar persaingan
sempurna cenderung efisien dalam mengalokasikan sumber dayanya. Namun,
kondisi tersebut berbeda dengan yang terjadi pada industri logam dasar besi baja.
Misalnya, walaupun industri besi baja mempunyai konsentrasi rasio yang cukup
besar saat sebelum terjadi krisis ekonomi tetapi industri ini menunjukkan tingkat
efisiensi yang cukup besar. Akan tetapi, setelah terjadi krisis ekonomi
mengakibatkan ada sebagian besar perusahaan pada industri ini berproduksi
kurang efisien sehingga memberikan rasio konsentrasi yang menurun. Oleh
62
karena itu, tingginya rasio konsentrasi tidak selalu berpengaruh buruk atau
merugikan karena ada industri yang harus berproduksi dengan skala ekonomi
yang besar atau membutuhkan modal yang sangat besar untuk berproduksi dengan
efisien. Bila industri tersebut dipaksa untuk mengurangi atau menurunkan rasio
konsentrasinya justru akan membuat perusahaan tersebut kurang efisien.
Besarnya rasio konsentrasi sering diidentikkan dengan tingkat persaingan
yang rendah. Untuk industri besi baja, tingginya rasio konsentrasi yang dihasilkan
bukan karena tidak ada persaingan diantara perusahaannya tetapi karena adanya
kemampuan perusahaan untuk meminimumkan biaya input untuk menghasilkan
output yang optimal. Persaingan yang ada pada industri ini cukup besar, baik
persaingan antar perusahaan di dalam industri tersebut ataupun persaingan dengan
produk-produk baja impor.
5.2.4. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Tabel 5.6 memperlihatkan kinerja industri logam dasar besi dan baja
Indonesia dilihat dari sisi keuntungan (profit) yang dihasilkan pada tahun 1995
dan 2004. Dari Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa kinerja industri logam dasar besi dan
baja dari sisi keuntungan yang diperoleh mengalami penurunan baik untuk
industri besi dan baja dasar, industri pengilingan baja, dan industri pipa dan
sambungan pipa dari besi dan baja. Pada tahun 1995, industri besi dan baja dasar
mempunyai keuntungan per perusahaan sebesar 1,92 persen sedangkan pada tahun
2004 menurun menjadi 0,87 persen. Hal ini berarti adanya hubungan yang negatif
dengan jumlah perusahaan yang masuk sehingga semakin banyak perusahaan
63
yang masuk maka keuntungan per perusahaan menjadi semakin kecil dan
memiliki korelasi positif dengan rasio konsentrasi industri.
Tabel 5.6. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Keuntungan/output
(persen) Keuntungan/perusahaan
(persen) CR4 (persen) Jumlah
perusahaan Isic 1995 2004 1995 2004 1995 2004 1995 200427101 30,72 20,95 1,92 0,87 98,74 71,33 16 2427102 48,48 12,35 0,82 0,25 82,52 60,74 59 5027103 36,76 29,83 0,59 0,66 47,92 49,03 62 45
Sumber : Diolah dari Data BPS, 1995 dan 2004
Keuntungan per perusahaan industri penggilingan baja pada tahun 1995
sebesar 0,82 persen kemudian pada tahun 2004 menjadi 0,25 persen. Namun
mempunyai korelasi yang positif dengan jumlah perusahaan yang ada. Hal ini
berarti bahwa jumlah perusahaan yang keluar dari industri hanyalah perusahaan-
perusahaan dengan skala usaha kecil atau sedang, juga terjadi penurunan output
produksi disebagian besar perusahaan-perusahaan yang ada pada industri tersebut
sehingga tidak mampu meningkatkan rasio konsentrasinya.
Pada tahun 1995, industri pipa dan sambungan pipa dari besi dan baja
mempunyai keuntungan per perusahaan sebesar 0,59 persen dengan jumlah
perusahaan sebanyak 62 unit sedangkan pada tahun 2004 keuntungan per
perusahaan sebesar 0,66 persen dengan penurunan jumlah perusahaan yang sangat
besar sebanyak 17 perusahaan yang keluar dari industri ini. Penurunan jumlah
perusahaan yang banyak ini hanya meningkatkan keuntungan per perusahaan
sebesar 0,07 persen, kenaikannya hanya sedikit dibandingkan banyaknya jumlah
usaha yang keluar. Ini juga berarti bahwa banyaknya jumlah perusahaan yang
keluar tersebut merupakan perusahaan dengan skala usaha yang kecil. Begitu pula
dengan rasio konsentrasi yang meningkat hanya sebesar 1,11 persen saja,
64
seharusnya secara teori bahwa semakin banyak perusahaan yang keluar maka
semakin besar rasio konsentrasinya dan keuntungan per perusahaan yang dapat
diperoleh juga besar.
Pada saat terjadi krisis ekonomi, jumlah perusahaan pada industri besi baja
semakin sedikit dan keuntungan yang diterima perusahaan juga semakin menurun
karena nilai rasio konsentrasinya juga mengalami penurunan. Jadi, pada saat krisis
ekonomi terdapat korelasi yang positif baik antara jumlah unit usaha, rasio
konsentrasi dengan keuntungan per perusahaannya. Saat krisis ekonomi,
banyaknya perusahaan yang keluar disertai dengan penurunan keuntungan yang
diterima perusahaan dalam industri tersebut dan juga menurunnya rasio
konsentrasi menyebabkan penurunan keuntungannya.
Dilihat dari keuntungan per output industri logam dasar besi dan baja
Indonesia mengalami penurunan, dimana untuk industri besi dan baja dasar pada
tahun 2004 terjadi penurunan sebesar 9,77 persen dibandingkan pada tahun 1995,
industri penggilingan baja tahun 2004 mengalami penurunan sebesar 36,13 persen
dibanding tahun 1995, dan untuk industri pipa dan sambungan pipa dari besi dan
baja mengalami penurunan sebesar 6,9 persen pada tahun 2004 bila dibandingkan
tahun 1995.
Dengan demikian bahwa secara teori, bertambah atau berkurangnya
jumlah perusahaan mempengaruhi pangsa pasar industri logam dasar besi dan baja
di Indonesia dan mempengaruhi pula nilai rasio konsentrasi industrinya serta
akhirnya mempengaruhi keuntungan yang diperoleh tiap perusahaan. Adanya
krisis ekonomi pada pertengahan 1997 dengan fluktuasi mata uang rupiah yang
65
sangat tajam disertai dengan stabilitas politik dan keamanan yang sangat kacau
telah membawa dampak negatif bagi kinerja industri logam dasar besi dan baja
karena secara keseluruhan telah mengurangi total produksinya, juga mengurangi
penyerapan tenaga kerja dan penciptaan nilai tambah serta jumlah unit usahanya.
Praktek dumping dan masuknya impor besi baja yang sangat besar di pasar
dalam negeri terutama pula impor baja illegal, menurut Direktur Utama PT.
Krakatau Steel berdampak sangat signifikan terhadap penjualan baja nasional
karena penjualan baja menurun tajam (Tempointetaktif,2007). Hal ini karena,
harga baja yang diproduksi dalam negeri lebih tinggi daripada baja impor yang
djual dengan cara dumping tersebut sehingga keuntungan yang dihasilkan oleh
industri besi baja nasional menjadi semakin menurun, berdampak pula pada
penurunan kinerja industrinya.
Hal pokok yang juga mempengaruhi terjadinya penurunan kinerja industri
besi baja nasional sehingga mengganggu proses produksinya adalah karena
adanya ketergantungan impor bahan baku baja yang sangat besar dan berpengaruh
pula pada daya saing produk besi baja yang dihasilkan. Sangat sulit untuk
menjadikan industri besi baja nasional tumbuh menjadi industri yang kuat jika
bahan baku utamanya masih tergantung pada impor. Apalagi, adanya kenaikan
gas dan energi listrik yang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah harus menjadikan
industri besi baja nasional tumbuh dan kuat dengan memanfaatkan potensi
tambang bijih besi lokal dan juga membangun industri besi baja nasional menjadi
kluster-kluster industri yang menghasilkan produk berdaya saing tinggi.
66
5.3. Analisis Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Adanya kluster suatu industri memberikan banyak keuntungan bagi
industri atau perusahaan-perusahaan yang ada dalam industri tersebut karena
dengan pengembangan kluster diharapkan memberikan penghematan-
penghematan biaya baik biaya transportasi, biaya produksi, pemasaran dan
sebagainya. Adanya kluster dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi
industri bersangkutan, salah satunya karena industri dengan mudah memiliki
akses yang efisien terhadap bahan baku, tenaga kerja, informasi, industri terkait,
industri pendukung dan sebagainya. Dengan meningkatnya produktivitas dan
efisiensi maka daya saing industri dapat meningkat pula.
Industri besi dan baja merupakan industri yang memiliki keterkaitan yang
sangat erat antar sektor industri lainnya, baik dengan industri hulu atau industri
hilirnya. Secara geografis, industri logam dasar besi dan baja ini amat
terkonsentrasi pada sebagian wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, masing-
masing perusahaan dalam wilayah tersebut dapat berperan dalam tumbuh dan
berkembangnya kluster industri logam dasar besi dan baja yang dapat
menciptakan keunggulan kompetitif bagi industri tersebut.
Pemilihan suatu lokasi industri logam dasar besi dan baja sangat
tergantung pada beberapa faktor yang mendukung, diantaranya bahwa lokasi
tersebut merupakan daerah bahan baku atau bahan pendukung, memiliki daerah
pemasaran yang cukup baik, adanya atau dekat dengan pelabuhan dan prasarana
yang mendukung, tersedianya tanah yang cukup luas, tersedia air yang cukup
banyak untuk keperluan produksinya, kondisi politis daerah yang baik, serta
67
adanya tenaga kerja yang banyak. Faktor inilah yang cukup menunjang untuk
didirikannya industri logam dasar besi dan baja serta potensial untuk dibangun
dan dikembangkan suatu kluster industrinya.
Berdasarkan analisis sebaran geografis diperoleh bahwa daerah atau lokasi
industri logam dasar besi dan baja di Indonesia terdapat di empat pulau Indonesia
yaitu Pulau Jawa (Gambar 5.1), Sumatera (Gambar 5.2), Kalimantan (Gambar5.3)
dan Sulawesi. Dari empat pulau tersebut, industri logam dasar besi dan baja
Indonesia terdapat di 25 kabupaten/kota yang ada. Pulau Jawa merupakan daerah
utama industri logam dasar besi dan baja karena industri logam dasar besi dan
baja hampir keseluruhan berada di Pulau Jawa yakni terdapat di 18 kabupaten dan
kabupaten sisanya terdapat di luar Pulau Jawa. Berdasarkan analisis SIG
ditunjukkan bahwa terdapat konsentrasi spasial untuk industri logam dasar besi
dan baja, industri cenderung mengelompok di suatu daerah terutama daerah yang
memiliki bahan baku atau bahan penolong dan dekat dengan sarana transportasi
seperti pelabuhan-pelabuhan. Konsentrasi spasial lebih jelas terlihat di bagian
barat Pulau Jawa.
Gambar 5.1. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Jawa
Sumber : Diolah dari Peta BPS
68
Gambar 5.2 menunjukkan peta sebaran geografis industri logam dasar besi
dan baja di Pulau Kalimantan. Daerah utama industri besi baja di Pulau
Kalimantan, tepatnya berada di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.
Industri besi baja yang terdapat di Kabupaten Pontianak ini hanya terdapat satu
subsektor industri yaitu industri penggilingan baja. Pada tahun 1995, jumlah
tenaga kerja yang diserap oleh industri penggilingan baja di Kabupaten Pontianak
hanya sebanyak 66 tenaga kerja, sedangkan pada tahun 2004, jumlah tenaga kerja
yang diserap meningkat menjadi 89 tenaga kerja (Lampiran 1 dan 2).
Gambar 5.2. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Kalimantan
Sumber : Diolah dari Peta BPS
Industri logam dasar besi dan baja di Pulau Sumatera terletak di beberapa
daerah yaitu di Kabupaten Asahan, Deli Serdang, Medan, Musi Banyuasin, dan
Batam (Gambar 5.3). Sebagian besar subsektor industri besi baja di Pulau
Sumatera lebih banyak berspesialisasi pada subsektor industri penggilingan baja
dan pada industri pipa dan sambungan pipa dari besi baja. Pada tahun 1995, hanya
terdapat empat kabupaten di Pulau Sumatera sebagai tempat industri besi baja
beroperasi yaitu terletak di Kabupaten Dairi, Medan, Batam, dan Musi Banyuasin.
69
Pada tahun 2004, industri besi baja di Pulau Sumatera terletak di lima kabupaten,
akan tetapi industri di kabupaten Dairi sudah tidak beroperasi lagi.
Gambar 5.3. Peta Sebaran Geografis Indsutri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Sumatera
Sumber : Diolah dari Peta BPS
Tabel 5.7 menunjukkan hasil analisis frequencies dengan menggunakan
SPSS Versi 13 yang memperlihatkan distribusi tenaga kerja dan nilai tambah
industri logam dasar besi dan baja di Indonesia. Hasil dari uji tersebut
memperlihatkan bahwa pada tahun 1995 dan 2004, distribusi tenaga kerja dan
nilai tambah industri logam dasar besi dan baja tidak merata yang dilihat dari hasil
uji nilai skewness dan kurtosis dimana rasio skewness dan rasio kurtosis tidak
berada diantara -2 dan 2. Distribusi dikatakan normal jika rasio skweness maupun
kurtosis berada diantara -2 dan 2.
Tabel 5.7. Rasio Skewness dan Kurtosis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 dan 2004
Tenaga Kerja Nilai Tambah Rasio Tahun 1995 Tahun 2004 Tahun 1995 Tahun 2004
Skewness 4,085 3,983 8,658 5,282 Kurtosis 3,392 4,053 18,256 7,795
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995 dan 2004.
70
Gambar 5.4 dan 5.5 memperlihatkan histogram distribusi tenaga kerja dan
nilai tambah industri logam dasar besi dan baja pada tahun 1995 dan 2004 untuk
seluruh kabupaten di Indonesia, dimana menunjukkan adanya kecondongan positif
dan memiliki sebaran tidak normal. Kecondongan positif menunjukkan bahwa ada
beberapa kabupaten atau kota mempunyai tingkat kepadatan industri logam dasar
besi dan baja yang tinggi dilihat dari jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang
dihasilkan, tetapi ada juga kabupaten yang memiliki kepadatan industri besi baja
yang rendah. Jadi, dari hasil uji frequencies dapat diindikasikan bahwa terdapat
kluster industri logam dasar besi dan baja pada beberapa wilayah di Indonesia.
Gambar 5.4 Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995
Gambar 5.5 Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2004
71
Untuk membedakan kabupaten yang memiliki tingkat kepadatan industri
yang tinggi atau rendah pada industri besi baja ini, maka dibuat suatu kriteria
“tinggi”, ”sedang”, dan “rendah” berdasarkan penyerapan tenaga kerja dan nilai
tambah yang dihasilkan. Penentuan kriteria untuk menentukan daerah kepadatan
industri dalam penelitian ini mengikuti kriteria yang digunakan oleh Kuncoro
(2002). Kriteria-kriteria tersebut sebagai berikut :
1. Tinggi, untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 6.000
pekerja, sedangkan untuk nilai tambah bila memiliki nilai lebih dari Rp. 100
miliyar.
2. Sedang, untuk tenaga kerja bila memiliki tenaga kerja antara 1.000 sampai
6.000 pekerja, sedangkan untuk nilai tambah bila memiliki nilai antara Rp.15
miliyar sampai Rp. 100 miliyar.
3. Rendah, untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja kurang dari
1.000 pekerja, sedangkan untuk nilai tambah bila memiliki nilai kurang dari
Rp. 15 miliyar.
Diasumsikan bahwa ciri daerah industri besi baja utama adalah daerah
yang memiliki kepadatan industri yang tinggi atau sedang, yang diterapkan secara
bersamaan baik untuk tenaga kerja dan nilai tambahnya. Dapat dilihat pada
lampiran 4 dan 5, kabupaten-kabupaten yang merupakan daerah industri besi baja
utama di Indonesia pada tahun 2004 terdapat di 9 kabupaten. Kabupaten Cilegon
sebagai daerah industri besi baja yang memiliki tingkat kepadatan industri yang
tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan
dibandingkan kabupaten lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa Cilegon dapat
72
dianggap sebagai daerah kluster industri logam dasar besi baja di Indonesia.
Kabupaten lain yang juga merupakan daerah industri logam dasar besi baja di
Indonesia adalah Bekasi, Sidoarjo, Surabaya, Semarang, Batam, Medan,
Tanggerang dan Jaktim. Daerah-daerah tersebut juga potensial untuk dapat
dikembangkan menjadi kluster industri besi baja di Indonesia.
Pada tahun 2004, penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah terbesar pada
industri logam dasar besi dan baja Indonesia berada di kabupaten Cilegon.
Sebelum otonomi daerah, Cilegon termasuk ke dalam kabupaten Serang, tetapi
setelah otonomi daerah tahun 2001, Cilegon membentuk kabupaten sendiri yaitu
kabupaten Cilegon. Hal ini berarti bahwa mulai dari tahun 1995 hingga tahun
2004 penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah terbesar untuk industri logam
dasar besi dan baja paling besar disumbangkan oleh daerah Cilegon karena Serang
sendiri setelah otonomi daerah hanya menduduki kelas “rendah” sehingga tidak
dianggap sebagai daerah utama industri besi baja sebab di kabupaten Serang
terdapat industri lain yang lebih berperan dalam memberikan nilai tambah dan
menyerap tenaga kerjanya.
Pada tahun 2004, Cilegon yang termasuk dalam kelas “tinggi” memiliki
jumlah unit usaha sebanyak 7 unit usaha pada industri logam dasar besi dan baja.
Jumlah unit usaha terbanyak berada di kabupaten Bekasi dengan unit usaha
sebanyak 18 unit usaha. Hal ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan logam
dasar besi dan baja beroperasi di daerah tersebut daripada di daerah lain sehingga
dapat disimpulkan terdapat pengelompokan industri besi baja dan dapat
diindikasikan ada kluster pada daerah tersebut. Menurut Marshall (1919) dalam
73
Kuncoro (2002), kluster industri terjadi karena adanya konsentrasi pekerja yang
terampil, berdekatan dengan pemasok spesialis dan tersedianya fasilitas untuk
mendapatkan pengetahuan sehingga membuat perusahaan-perusahaan dalam satu
industri cenderung mengelompok.
Untuk mengetahui perbedaan skala kluster industri dapat digunakan
indikator skala. Indikator skala dihitung dengan menggunakan total penyerapan
tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri tersebut. Dalam
pembahasan ini, diasumsikan bahwa industri logam dasar besi dan baja
dikelompokkan menjadi kluster-kluster industri dengan cara menggabungkan
daerah-daerah industri baja yang saling berdekatan secara geografis menjadi
daerah industri besi baja utama yang diperluas (Extended Industrial Areas).
Kelompok industri yang diperluas tersebut terdiri dari Serang EIA (Serang dan
Cilegon), Jabotabeka EIA (Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, dan Karawang),
Bandung, Semarang EIA (Semarang dan Klaten), Surabaya EIA (Pasuruan,
Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik), Medan EIA (Asahan, Deli Serdang
dan Medan), Batam, Musi Banyuasin, Pontianak, dan Ujung Pandang.
Lampiran 6 menunjukkan daerah industri logam dasar besi dan baja
Indonesia dilihat dari sisi skala, daerah yang paling menonjol adalah Jabotabeka
EIA dan Serang EIA baik dalam penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah yang
dihasilkan. Namun, Serang EIA menghasilkan nilai tambah yang lebih besar
daripada Jabotabeka EIA. Hal ini berarti Serang EIA merupakan daerah perluasan
industri logam dasar besi dan baja terbesar di Indonesia, setelah itu barulah
74
Jabotabeka EIA sebagai daerah perluasan industri logam dasar besi dan baja
kedua terbesar.
Terdapat ketimpangan distribusi aktivitas industri logam dasar besi baja
antara Pulau Jawa dengan pulau lainnya dalam hal penyerapan tenaga kerja dan
nilai tambah. Rata-rata kontribusi tenaga kerja dan nilai tambah yang terdapat di
kabupaten di Pulau Jawa memberikan kontribusi lebih tinggi dibandingkan
kabupaten yang ada di luar Pulau Jawa. Penyerapan tenaga kerja industri besi baja
di Pulau Jawa pada tahun 2004 sebesar 84,86 persen terhadap total tenaga kerja
industri besi baja di Indonesia, sedangkan untuk kontribusi nilai tambah
kabupaten di Pulau Jawa sebesar 78,83 persen, sisanya untuk industri di luar
Pulau Jawa. Oleh karena itu, kluster industri logam dasar besi dan baja di
Indonesia lebih terkonsentrasi secara spasial di Pulau Jawa. Daerah-daerah
industri utama besi baja di Jawa lebih banyak terdapat di daerah bagian barat dan
timur Pulau Jawa.
Konsentrasi industri dalam suatu kluster dapat diukur dengan
menggunakan salah satu ukuran yang dinamakan indeks spesialisasi. Indeks
spesialisasi juga digunakan untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam
menciptakan kesempatan kerja (Kuncoro, 2002). Lampiran 7 dan 8
memperlihatkan indeks spesialisasi untuk kabupaten atau kota industri logam
dasar besi dan baja di Indonesia. Pada tahun 1995, secara rata-rata indeks
spesialisasi industri logam dasar besi dan baja di Indonesia sebesar 2,13
sedangkan tahun 2004 nilai indeks spesialisasinya sebesar 3,61. Nilai indeks
spesialisasi yang melebihi satu berarti bahwa daerah tersebut mampu menciptakan
75
kesempatan kerja yang sangat besar. Hal ini berarti, industri logam dasar besi dan
baja di Indonesia cenderung memberikan kesempatan pangsa tenaga kerja yang
besar hingga tahun 2004, terkecuali pada saat terjadi krisis ekonomi dipertengahan
tahun 1997 karena pada saat krisis banyak tenaga kerja yang di PHK.
Pada tahun 1995, Kabupaten Serang masih tergabung dengan propinsi
Jawa Barat memberikan nilai indeks spesialisasi terbesar dibandingkan dengan
daerah lainnya yaitu sebesar 16,38. Kemudian pada tahun 2004, setelah otonomi
daerah Banten memisahkan diri dari Jawa barat dan membentuk propinsi sendiri
ternyata kabupaten Cilegonlah yang mempunyai nilai indeks spesialisasi yang
sangat tinggi yaitu sebesar 44,61. Daerah-daerah yang memberikan sumbangan
tenaga kerja dan nilai tambah yang besar atau yang termasuk dalam kelas “tinggi”
ternyata mempunyai indeks spesialisasi yang lebih dari satu.
Menurut Kuncoro (2002) dikatakan bahwa indeks spesialisasi yang tinggi
pada suatu industri diasumsikan akan mempercepat pertumbuhan industri yang
terdapat di daerah tersebut. Tingginya indeks spesialisasi yang dimiliki Cilegon
mengindikasikan ada keunggulan komparatif yang dimiliki daerah tersebut
dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Artinya bahwa industri logam dasar
besi dan baja di Cilegon memiliki pangsa tenaga kerja yang besar.
Daerah-daerah yang memiliki indeks spesialisasi kurang dari satu
menunjukkan bahwa daerah tersebut kurang atau tidak memiliki keunggulan
komparatif. Pada tahun 1995, daerah industri besi dan baja di Indonesia yang
memiliki indeks spesialisasi terendah adalah industri di kabupaten Malang
sehingga tahun 2004 industri di kabupaten malang sudah tidak beroperasi lagi
76
akibat rendahnya keunggulan komparatif yang dimiliki. Pada tahun 2004, indeks
spesialisasi terendah berada di kabupaten Pasuruan karena pangsa tenaga kerja
industri besi baja di daerah tersebut sangat rendah.
Dari analisis sebaran geografis dapat diindikasikan bahwa sampai tahun
2004 hanya ada satu daerah kluster industri utama logam dasar besi dan baja di
Indonesia yaitu terletak di kabupaten Cilegon Propinsi Banten. Hal ini terbukti
karena industri logam dasar besi dan baja di Cilegon memberikan sumbangan
cukup besar baik pada penyerapan tenaga kerja maupun nilai tambahnya
dibandingkan dengan industri logam dasar besi dan baja yang terdapat di
kabupaten lain (Lampiran 5). Kabupaten Cilegon pun mempunyai indeks
spesialisasi yang besar, oleh karena itu industri besi baja yang ada di Cilegon
diharapkan akan mempercepat pertumbuhan industri maupun kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut karena memberikan kesempatan pangsa tenaga
kerja yang besar.
Cilegon diindikasikan sebagai kluster bagi industri logam dasar besi dan
baja karena lokasi Cilegon strategis yaitu dekat dengan pelabuhan Merak sehingga
memudahkan untuk mendatangkan bahan baku dan memasarkan produknya;
terdapat universitas yang menyediakan banyak tenaga kerja terampil dan terdidik;
dekat dengan para pemasok besi baja seperti industri seng, pipa, kaleng dan
sebagainya; adanya sarana dan prasarana pendukung seperti infrastruktur jalan
yang baik dan sebagainya; selain itu dukungan dari pemerintah daerah setempat.
77
5.4. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis struktur, kinerja, dan kluster pada industri logam
dasar besi baja maka terdapat beberapa kebijakan yang diajukan dari hasil
penelitian ini. Pertama, peran pemerintah dan juga pihak-pihak terkait untuk
menciptakan strategi dalam rangka meningkatkan atau memulihkan kembali
kinerja industri besi baja. Kinerja industri besi baja nasional yang menurun lebih
disebabkan karena adanya ketergantungan impor bahan baku besi baja yang
sangat besar sehingga menyebabkan aktivitas produksi industri besi baja nasional
sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar baja internasional. Sedikit saja terjadi
guncangan perekonomian seperti krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997
mempengaruhi kinerja industri baja nasional. Ketergantungan impor bahan baku
ini dikarenakan industri besi baja Indonesia belum mampu menciptakan dan
mengembangkan teknologi pengolahan bijih besi lokal yang digunakan sebagai
bahan baku besi baja.
Pemerintah dapat membuat kebijakan yang mengatur dan mengontrol
terlaksananya program pengolahan bijih besi lokal dengan memprioritaskan dana-
dana untuk tujuan tersebut karena dana yang berkaitan dengan riset untuk
pengembangan teknologi pengolahan bijih besi lokal sangat sedikit bahkan tidak
ada, selain itu mendorong pihak-pihak terkait lainnya untuk mensukseskan
program tersebut seperti peneliti atau lembaga penelitian dan pihak industri itu
sendiri. Penciptaan teknologi pengolahan besi baja berbasis sumber daya lokal ini
dapat mengurangi ketergantungan impor bahan baku industri besi baja nasional
yang sangat besar sehingga industri tersebut tidak lagi terpengaruh oleh kondisi
78
pasar internasional yang tidak menentu. Oleh karena itu, industri besi baja
nasional diharapkan mampu memiliki efisiensi yang tinggi sehingga dapat
menciptakan nilai tambah yang besar dan memiliki produk yang berdaya saing
tinggi di pasar domestik maupun internasional.
Kedua, untuk mengatasi persoalan mengenai masuknya produk-produk
baja ilegal atau produk impor dengan harga dumping, kebijakan yang harus
ditempuh adalah kebijakan yang mengharuskan penggunaan standard nasional
(SNI) bagi produk-produk baja yang masuk ke Indonesia atau dengan kata lain
memproteksi industri besi baja melalui hambatan non tarif. Hal ini karena
hambatan non tarif untuk melindungi industri dalam negeri masih sangat kurang.
Selain hambatan non tarif, pemerintah juga perlu melakukan harmonisasi tarif bea
masuk agar antara industri hulu dan hilir sama-sama tidak dirugikan. Olah karena
itu, untuk perlindungan industri dalam negeri harus dilakukan dengan kebijakan
tarif dan non tarif sebab kebijakan tarif saja tidak akan cukup. Selain itu pula,
pemerintah perlu menetapkan kebijakan adanya izin impor anti dumping bagi
produk baja impor dari negara-negara pengimpor.
Mengatasi permasalahan produk dumping yang masuk ke Indonesia,
sebaiknya pemerintah memberikan dukungan untuk menjadikan Komite Anti
Dumping Indonesia (KADI) sebagai lembaga independen yang benar-benar
mengatasi kasus dumping tersebut beserta menetapkan sanksinya dan tidak lagi
menjadi lembaga yang hanya sekedar melaporkan atau merekomendasikan kasus
dumping kepada pemerintah. Akan tetapi, memberikan wewenang sepenuhnya
kepada KADI untuk menuntaskan dan membuat keputusan terhadap kasus
79
tersebut. Untuk mengatasi masalah impor ilegal, hal ini benar-benar perlu
pengawasan yang ketat oleh pemerintah seperti pengawasan di sejumlah
pelabuhan dan juga pengecekan ulang terhadap dokumen-dokumen impor yang
ada sebab tidak menutup kemungkinan adanya pemalsuan dokumen impor
tersebut. Misalnya, dengan memasukkan nilai baja impor yang lebih rendah dari
seharusnya pada dokumen tersebut sehingga bea masuk impor yang dikenakan
menjadi lebih kecil.
Ketiga, untuk meningkatkan daya saing produk yang tinggi, peran yang
dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan kebijakan pengembangan kluster-kluster
industri terutama kluster industri besi baja Indonesia yang kuat. Kebijakan umum
yang diperhatikan dalam upaya pembentukan kluster industri yang kuat adalah
dengan memperkuat industri-industri yang terdapat dalam rantai nilai mencakup
industri inti, industri pendukung, dan industri-industri terkait sehingga dapat
mendorong keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Berdasarkan
analisis kluster industri, ada beberapa kabupaten sebagai daerah utama industri
besi baja dengan mempunyai indeks spesialisasi lebih dari satu.
Daerah yang memiliki indeks spesialisasi lebih dari satu menunjukkan
bahwa daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif sehingga sangat potensial
untuk dikembangkan menjadi kluster-kluster industri yang kuat. Kabupaten-
kabupaten yang memiliki nilai indeks spesialisasi lebih dari satu meliputi
Kabupaten Bekasi, Sidoarjo, Surabaya, Semarang, Batam, Medan, Jakarta Timur,
dan Cilegon sehingga berdasarkan analisis kluster ini dapat menjadi rekomendasi
kepada pemerintah untuk mengembangkan daerah-daerah tersebut menjadi
80
kluster-kluster industri logam dasar besi baja yang kuat dan berkembang agar
industri besi baja Indonesia mampu menciptakan daya saing yang tinggi diantara
produk-produk baja dari negara lainnya. Namun, inti permasalahan yang harus
diatasi oleh pemerintah adalah dengan mengatasi secepat mungkin ketergantungan
impor bahan baku baja bagi industri besi baja Indonesia agar dapat meningkatkan
efisiensi sehingga tidak mengkhawatirkan keberlanjutan industri besi baja
nasional kedepannya dan kemudian membangun dan mengembangkan menjadi
kluster-kluster industri besi baja yang kuat.
81
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis mengenai struktur, kinerja dan kluster industri logam
dasar besi dan baja Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia adalah oligopoli
ketat (CR4= 71,15 persen). Tingginya rasio konsentrasi menunjukkan
adanya hambatan masuk pada industri ini. Hambatan masuk yang besar
pada industri besi baja ini bukan disebabkan oleh adanya larangan atau
adanya kebijakan pemerintah yang membatasi masuknya perusahaan-
perusahaan dalam industri ini tetapi hambatan masuk itu karena adanya
skala ekonomi yang besar agar dapat berproduksi dengan efisien.
2. Kinerja industri logam dasar besi baja di Indonesia secara keseluruhan
kurang memberikan kinerja usaha yang memuaskan terutama saat terjadi
krisis ekonomi dan setelah munculnya beberapa permasalahan pada
industri tersebut ditandai dengan pertumbuhan output dan nilai tambah
yang negatif, selain itu terjadi penurunan kontribusi nilai tambah, unit
usaha dan tenaga kerja industri logam dasar besi baja terhadap industri
manufaktur. Pada saat terjadinya kelangkaan bahan baku baja pada tahun
2003 akibat meningkatnya permintaan baja dunia, juga diindikasikan
mempengaruhi kinerja industri besi baja Indonesia sehingga efisiensi yang
dihasilkan rendah dan memberikan keuntungan yang menurun.
3. Pada tahun 2004 diindikasikan terdapat satu kluster terbesar industri
logam dasar besi dan baja di Indonesia yaitu terletak di kabupaten Cilegon
82
Propinsi Banten. Hal ini terbukti karena industri logam dasar besi dan baja
di Cilegon memberikan sumbangan cukup besar baik pada penyerapan
tenaga kerja maupun nilai tambahnya. Kabupaten-kabupaten dengan nilai
indeks spesialisasi lebih dari satu cukup potensial untuk dibangun dan
dikembangkan menjadi kluster-kluster industri logam dasar besi baja yang
kuat sehingga dampaknya dapat meningkatkan daya saing industrinya.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka ada
beberapa saran yang diajukan yaitu sebagai berikut :
1. Mendorong dan mengembangkan teknologi-teknologi pengolahan untuk
mengolah bahan baku baja lokal yang diperlukan industri logam dasar besi
dan baja Indonesia yang selama ini masih diimpor karena kandungan bijih
besi yang ada di Indonesia tidak bisa diolah dengan menggunakan teknik
pengolahan bijih besi yang konvensional. Dengan menciptakan teknologi
pengolahan bijih besi tersebut sehingga dapat mengurangi ketergantungan
impor yang tinggi di masa yang akan datang.
2. Perlu dukungan pihak-pihak terkait dalam upaya pengembangan kluster
industri yang kuat sehingga diharapkan dapat menghasilkan produk yang
berdaya saing tinggi. Dengan daya saing produk yang tinggi maka akan
meningkatkan kinerja industri besi baja kedepannya.
83
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistika. 1995-2004. Statistika Industri Besar dan Sedang. BPS, Jakarta.
----------------------------. 1995-2004. Direktori Industri Pengolahan. BPS, Jakarta. ----------------------------. 1995-2004. Indikator Industri Besar dan Sedang. BPS,
Jakarta. ----------------------------. 1995-2004. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB).
BPS, Jakarta Barus, B dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi Sarana
Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Departemen Perindustrian. 2005. Profil Industri Logam. Departemen
Perindustrian, Jakarta. Djojodipuro, M. 1992. Teori Lokasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI,
Jakarta. Dumairy. 2000. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Elektro Indonesia. 2006. “Mempertanyakan Struktur Industri Manufaktur
Nasional”. http://www.elektroindonesia.com/elektro/khusus4a.html [Desember 1996]
Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri : Persaingan, Monopoli, dan Regulasi.
LP3ES, Jakarta. Ikhsan. A. 2005. “Kebutuhan Bahan Baku Baja Masih Terus Meningkat”. BEI
NEWS Edisi 28 Thn. V. Jaya, W. K. 2001. Ekonomi Industri. PT.BPFE, Jogyakarta. Kompas. 2006. “Industri Baja Diminta ke Kalsel”. [Kompas Online].
http://kompas.com/kompas-cetak/0603/24/ekonomi/2536494.htm [24 Maret 2006]
----------- 2003. “Industri Baja Tak Sekuat Baja itu Sendiri”. [Kompas Online].
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/13/ekonomi/309106.htm [13 Mei 2003]
84
Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. AMP YKPN, Jogyakarta.
Kuncoro, M dan A. Salamun. 2005. “Analisis Struktur Kinerja dan Kluster
Industri elektronika Indonesia 1990-1999”. Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol 1 No.2.
Marbun, S.I. 1994. Dampak Proteksi Bagi Industri Dasar Besi dan Daja di
Indonesia: Analisis Tabel I-O 1990 [tesis]. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Fakultas Ekonomi: Universitas Indonesia.
Porter, M.E. 1990. The Competitive Adventage Of Nation. Free Press, New York. Prahasta, E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografi. CV
Informatika, Bandung. PT. Krakatau Steel. 1973. Sejarah Berdirinya Pabrik Baja Indonesia (P.T
Krakatau Steel). PT. Krakatau Steel, Cilegon. Razif, M.2005. Aglomerasi Industri Besar dan Sedang di Jabodetabek [tesis].
Sekolah Pasca Sarjana : IPB, Bogor. Rochman, N.T. 2003. “Baja dan Baja Super, Pilar Masyarakat Berbasis Industri”.
[Kompas Online]. www.nano.lipi.go.id/utama.artikel&1112532268&1. [20 Februari 2006].
Safitri, S. 2006. Analisis Struktur Perilaku Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia
[skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor.
Shepherd, W. G. 1990. The Economics of Industrial Organization. Third Edition.
Prentice-Hall.Inc, New Jersey. Simatupang, E.P. 2006. Dampak Efisiensi Lokasi Industri Terhadap Nilai Tambah
Sektor Industri Manufaktur di Kabupaten Bogor [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor.
Sumarno,S.B dan Mudrajad. K. 2003. “Struktur Kinerja dan Kluster Industri
Rokok Kretek Indonesia 1996-1999”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 18, No.1 : 61-87.
Tempointeraktif. 2007. “30 Persen Perusahaan Baja Kolaps”.
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/06/27/brk,20070627-102616,id.html [27 Juni 2007]
85
Wartaekonomi. 2006. “Industri Baja: Defisit Mengancam”. http://www.wartaekonomi.com/indikator.asp?aid=7211&cid=25 [12 Juni 2006]
Yuliawati. 2007. “Kadin Memuat Sepuluh Kluster Industri Dalam Road Map
2010”.[tempointeratif].http://www.tempointeratif.com/hg/ekbis/2007/03/26/brk,20070326-96404,id.html [26 Maret 2007].
86
LAMPIRAN
87
Lampiran 1. Data Nilai Tambah, Output, Tenaga kerja dan Input Industri Logam Dasar Besi Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 1995
Kabupaten Nilai Tambah Tenaga Kerja Output Input
27101 27102 27103 27101 27102 27103 27101 27102 27103 27101 27102 27103
Dairi 82786.687 1292937.72 1167241.28 25 308 241 193343.278 6520675.928 13612424.02 110556.591 5227738.21 12445182.73
Medan 31273009.5 12002832.4 3582 716 238880523 29782195.6 207607514 17779363.23
Batam 93920975.2 1145 117487860.3 23566885.14
Musi. B 3176220.4 120 23396233.45 20220013.1
Jaksel 2636168.19 325 5188145.627 2551977.438
Jakarta Timur 14684671 270940841 30094852.7 884 3631 2704 132935495 805030061.5 155536553.2 118250824 534089221 125441700.5
Jakarta Barat 587134.07 50 856450.681 269316.614
Jakarta Utara 10875155 157198619 8242476.23 648 1090 181 127601940 401911303.4 11985828.83 116726785 244712684 3743352.601
Bogor 7697962.89 604 13677184.41 5979221.518
Karawang 6111441.36 142 13337850.08 7226408.73
Bekasi 27807025 33450501.6 1528 1170 375308528.8 145599849.9 347501504 112149348.3
Tanggerang 2157526.6 3588595 100314924 420 334 380 7073856.05 78113484.06 176424090.1 4916329.48 74524889.1 76109165.58
Serang 377875.26 2222288140 29893610.9 89 7252 1412 1306824.54 4033558723 119202124.7 928949.282 1811270583 89308513.89
Bandung 2071246.5 770575.238 175 26 10693378.71 2443819.69 8622132.2 1673244.453
Tanggerang 5845192.1 3391546.71 4255544.47 451 275 561 50848871.9 33865095.1 38190109.08 45003679.8 30473548.4 33934564.61
Klaten 561380.757 274 2637522.842 2076142.085
Karang Anyar 25554.7268 23 462381.13 436826.4031
Pati 28398.2845 23 89041.5812 60643.29666
Tegal 126960.656 45 438842.066 311881.4097
Semarang 53849428.5 16946846 978 2164 239825915.5 156963470.1 185976487 140016624.1
Malang 38131.6427 20 92620.73466 54489.09193
Pasuruan 117208160 861 136288633.2 19080473.62
Sidoarjo 209653065 103445546 13232005.4 1184 2648 1139 474763799 283741270.7 55261008.76 265110735 180295724 42029003.36
Gresik 221004.102 796145.814 85 60 3051929.89 1643017.9 2830925.79 846872.0865
Pasuruan 33753.4962 22 64764.12456 31010.62838
88
Lampiran 1. Lanjutan. Surabaya 298479.4 1077145285 20103913.9 35 2118 969 594407.048 1590602690 155010707.6 295927.652 513457404 134906793.8
Pontianak 29611131.8 66 43528347.01 13917215.2
Bitung 4650881.04 88 23060369.2 18409488.2
Ujungpandang 15095434.5 475629.312 426 86 73849245.76 5674177.699 58753811.3 5198548.387
244561884 4013158334 494024545 3786 24846 15151 796174988 8278275625 1343756373 551613104 4265117291 849731828.3 Sumber : Diolah dari data BPS,1995
89
Lampiran 2. Data Nilai Tambah, Output, Tenaga kerja dan Input Industri Logam Dasar Besi Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 2004
Kabupaten
Nilai Tambah
Tenaga Kerja
Output
Input
2004 27101 27102 27103 27101 27102 27103 27101 27102 27103 27101 27102 27103
Asahan 6902.6062 20 22574.7115 15672.1053 Deli Serdang 7622784.21 941337.283 177 248 70099684.43 4137738.946 62476900.2 3196401.663
Medan 83204627.7 1584017.58 1932 190 765155878.7 8739040.873 681951251 7155023.291
Musi. B 233717.541 127 5515913.38 5282195.84
Batam 263374428 2313 491870056.9 228495628.4 Jakarta Timur 967143.64 85194621.5 60 947 4583389.55 544570170.1 3616245.91 459375549 Jakarta Barat 364996.06 63 854016.865 489020.807 Jakarta Utara 483571.82 32101154.8 2977972.34 30 788 130 2291694.9 217817582.7 17816692.15 1808123.07 185716428 14838719.81
Bogor 1408958.94 9712771.31 359 424 4708873.892 58109826.57 3299914.96 48397055.25
Karawang 18542103.4 235122.19 618 77 94933049.38 299336.3751 76390946 64214.18504
Bekasi 140774919 11614092.1 3191 507 1232605182 69485099.02 1091830263 57871006.9
Bandung 8139583.14 189 74852205.63 66712622.5
Bekasi 20302564.7 71958250.4 508 686 89199705.69 191627895.4 68897141 119669645
Klaten 162745.276 145 620751.5348 458006.2588
Semarang 31155186.7 50201250.3 860 2070 283793484.1 196976718.4 252638297 146775468.1
Pasuruan 40863.811 20 66876.3288 26012.5176
Sidoarjo 17691615 140805326 45733644.2 1112 1702 1437 83561808.6 608775458.1 202461147.6 65870193.5 467970132 156727503.4
Mojokerto 1212091 1040020.31 173 230 7455626.96 3860560.665 6243535.99 2820540.36
Gresik 7065035.2 2409109.91 4991037.48 606 365 381 33063659.3 27641144.74 16530815.8 25998624 25232034.8 11539778.31
Surabaya 73059459.2 152947701 1311 2553 401503615.5 738300577.6 328444156 585352876.4
Tanggerang 3659026.8 4214487.71 5994705.81 227 360 270 17340490.9 17681837.75 38506721.29 13681464.1 13467350 32512015.48
Serang 29371405.8 682 270101609.4 240730204
Tanggerang 1833809 3499040.16 7742186.52 493 221 209 9844580.87 27021993.02 43728259.72 8010771.84 23522952.9 35986073.19
90
Lampiran 2. Lanjutan Cilegon 390230766 184579693 6412 1503 4287143024 650425206 3896912257 465845512.8
Pontianak 55875435.4 89 83737130.03 27861694.7 Ujung Pandang 5755838.13 458149.59 580 20 72787635.51 2741029.598 67031797.4 2282880.008
33325055 1133901091 816249126 2804 21418 13393 159084719 9179645178 2736237474 125759664 8045744088 1919988349 Sumber : Diolah dari data BPS,1995
91
Lampiran 3. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004. Keuntungan per Output Keuntungan per Perusahaan (%) Tahun
27101 27102 27103 27101 27102 27103 1995 0.307171021 0.484781918 0.367644429 1.919818883 0.821664268 0.5929748861996 0.290657915 0.661079393 0.38933418 2.422149292 1.159788408 0.6279583551997 0.320873394 0.356628471 0.362265979 1.887490552 0.594380785 0.5938786531998 0.133730613 0.517865472 0.279088277 0.495298568 1.10184143 0.8721508671999 0.448683628 0.236092412 0.290464427 2.136588704 0.491859192 0.764380072000 0.474943276 0.252557258 0.304922348 2.968395476 0.573993767 0.8024272312001 0.195745309 0.247578171 0.474006227 0.889751405 0.399319631 1.0772868792002 0.517965602 0.309102127 0.29964354 3.237285011 0.572411347 0.6115174282003 0.215553052 0.142189622 0.322636157 1.134489746 0.29622838 0.7681813262004 0.209479925 0.123523412 0.298310776 0.872833023 0.247046823 0.662912837
Sumber : Diolah dari Data BPS.
92
Lampiran 4. Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Pada Industri Logam Dasar Besi Dan Baja Indonesia Tahun 1995.
Kelas Propinsi Kabupaten Unit Usaha
TK Kelas Propinsi Kabupaten Nilai Tambah (000 Rupiah)
Tinggi Jabar Serang 9 8753 Tinggi Jabar Serang 2.252.559.626 DKI Jakarta Jaktim 16 7219 Jatim Surabaya 1.097.547.679 Sedang Jatim Sidoarjo 12 4971 Jatim Sidoarjo 326.330.616,30 Sumut Medan 9 4298 DKI Jakarta Jaktim 315.720.364,50 Jateng Semarang 7 3142 DKI Jakarta Jakut 176.316.250,20 Jatim Surabaya 9 3122 Jabar Tanggerang 119.553.329,30 Jabar Bekasi 9 2698 Jatim Pasuruan 117.241.913,10 Jabar Tanggerang 13 2421 Sedang Riau Batam 93.920.975,20 DKI Jakarta Jakut 8 1919 Jateng Semarang 70.796.274,47 Riau Batam 7 1145 Jabar Bekasi 61.257.526,57 Rendah Jatim Pasuruan 2 883 Sumut Medan 43.275.841,88 Jabar Bogor 5 604 Kalbar Pontianak 29.611.131,83 Sumut Dairi 4 574 Sulsel Ujung P 15.571.063,77 Sulsel Ujung P. 5 512 Rendah Jabar Bogor 7.697.962,89 DKI Jakarta Jaksel 1 325 Jabar karawang 6.111.441,36 Jateng Klaten 6 274 Sulut Bitung 4.650.881,04 Jabar Bandung 2 201 Sumsel Musi. B 3.176.220,40 Jatim Gresik 3 145 Jabar Bandung 2.841.821,74 Jabar Karawang 1 142 DKI Jakarta Jaksel 2.636.168,19 Sumsel Musi. B 1 120 Sumut Dairi 2.542.965,69 Sulut Bitung 1 88 Jatim Gresik 1.017.149,92 Kalbar Pontianak 1 66 DKI Jakarta Jakbar 587.134,07 DKI Jakarta Jakbar 2 50 Jateng Klaten 561.380,76 Jateng Tegal 1 45 Jateng Tegal 126.960,66 Jateng Karanganyar 1 23 Jatim Malang 38.131,64 Jateng Pati 1 23 Jateng Pati 28.398,28 Jatim Malang 1 20 Jateng Karanganyar 25.554,73
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995
93
Lampiran 5. Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Pada Industri Logam Dasar Besi Dan Baja Indonesia Tahun 2004.
Kelas Propinsi Kabupaten Unit Usaha TK Kelas Propinsi Kabupaten Nilai Tambah (000 Rupiah)
Tinggi Banten Cilegon 7 7915 Tinggi Banten Cilegon 574.810.459,60Sedang Jabar Bekasi 18 4892 Riau Batam 263.374.428,50 Jatim Sidoarjo 9 4251 jabar Bekasi 244.649.826,30 Jatim Surabaya 8 3864 Jatim Surabaya 226.007.160,40 Jateng Semarang 6 2930 jatim Sidoarjo 204.230.585,50 Riau Batam 11 2313 Sedang DKI jakarta Jaktim 86.161.765,13 Sumut Medan 4 2122 Sumut Medan 84.788.645,28 Banten Tanggerang 11 1780 Jateng Semarang 81.356.437,02 Jatim Gresik 10 1352 Kalbar Pontianak 55.875.435,37 DKI Jakarta Jaktim 5 1007 DKI Jakarta Jakut 35.562.698,93Rendah DKI Jakarta jakut 6 948 Banten serang 29.371.405,84 Jabar Bogor 3 783 Banten Tanggerang 26.943.256,01 Jabar Karawang 4 695 Jabar karawang 18.777.225,58 Banten Serang 2 682 Rendah Jatim gresik 14.465.182,63 Sulsel Ujung P 4 600 Jabar Bogor 11.121.730,25 Sumut Deli S 4 425 Sumut Deli S 8.564.121,50 Jatim Mojokerto 3 403 Jabar bandung 8.139.583,14 Jabar bandung 1 189 Sulsel Ujung P 6.213.987,72 Jateng klaten 2 145 Jatim mojokerto 2.252.111,27 Sumsel Musi B 127 DKI Jakarta Jakbar 364.996,06 Kalbar Pontianak 89 Sumsel Musi B 233.717,54 DKI Jakarta Jakbar 2 63 Jateng klaten 162.745,28 jatim Pasuruan 1 20 Jatim Pasuruan 40.863,81 Sumut Asahan 1 20 Sumut Asahan 6.902,61
Sumber : Diolah dari data BPS, 2004.
94
Lampiran 6. Daerah Utama Industri Logam Dasar Besi Dan Baja Utama Indonesia Berdasarkan Subsektor Tahun 2004. EIA TK Nilai tambah (Juta Rupiah)
27101 % 27102 % 27103 % Total 27101 % 27102 % 27103 % Total Serang tda 0 7094 18,86 1503 3,99 8597 tda 0 419602 21,1 184579 9,30 604181
Jabotabeka 873 2,32 6992 18,59 2303 6,12 10168 7308 0,37 306037 15,4 110235 5,55 423581 Bandung tda 0 189 0,50 tda 0 189 tda 0 8139 0,41 tda 0 8139
Semarang tda 0 860 2,29 2215 5,89 3075 tda 0 31155 1,57 50363 2,54 81519 Surabaya 1911 5,08 3378 8,98 4601 12,2 9890 26009 1,31 216273 10,9 204712 10,32 446995
Medan 20 0,05 2109 5,61 438 1,16 2567 6,9 0,00035 90827 4,58 2525 0,13 93359 Batam tda 0 tda 0 2313 6,15 2313 tda 0 tda 0 263374 13,27 263374
Musi B tda 0 127 0,34 tda 0 127 tda 0 234 0,01 tda 0 234 Pontianak tda 0 89 0,24 tda 0 89 tda 0 55874 2,82 tda 0 55875
Ujung P tda 0 580 1,54 20 0,05 600 tda 0 5755 0,29 458 0,023 6214 EIA (Jawa) 2784 18513 10622 31919 33318 981208 549891 1564418
Industri Baja
2804 7,45 21418 56,94 13393 35,6 37615 33325 1,68 1134901 57,19 816249 41,13 1984475
Sumber : Diolah dari data BPS, 2004.
95
Lampiran 7. Indeks Spesialisasi Industri Logam dasar besi dan Baja Indonesia 2004. Propinsi Kabupaten TK
Industri Besi Baja
TK Industri Manufaktur
Eir Eit Sirt
Sumut Asahan 20 14419 0,00139 0,00869 0,15995 Deli Serdang 425 49162 0,00864 0,00869 0,99425 Medan 2122 41650 0,05095 0,00869 5,86306Riau Batam 2313 102278 0,02261 0,00869 2,60184Sumsel Musi B 127 2442 0,05201 0,00869 5,98504DKI Jakarta
Jaktim 1007 97036 0,01038 0,00869 1,19448
Jakbar 63 61370 0,00102 0,00869 0,11738 Jakut 948 196314 0,00483 0,00869 0,55581Jabar Bogor 783 164145 0,00477 0,00869 0,54891 Karawang 695 79514 0,00874 0,00869 1,00575 Bekasi 4892 272751 0,01794 0,00869 2,06444 Bandung 189 92721 0,00204 0,00869 0,23475Jateng Klaten 145 15125 0,00959 0,00869 1,10357 Semarang 2930 82520 0,03551 0,00869 4,08631Jatim Pasuruan 20 87916 0,00023 0,00869 0,02647 Sidoarjo 4251 149267 0,02848 0,00869 3,27733 Mojokerto 403 30436 0,01324 0,00869 1,52359 Gresik 1352 81116 0,01667 0,00869 1,91829 Surabaya 3864 156101 0,02475 0,00869 2,84810Banten Tanggerang 1780 214752 0,00829 0,00869 0,95397 Serang 682 71740 0,00951 0,00869 1,09436 Cilegon 7915 20417 0,38767 0,00869 44,61105Kalbar Pontianak 89 21848 0,00407 0,00869 0,46835Sulsel Ujung P 600 19804 0,03029 0,00869 3,48562Sumber : Diolah dari data BPS.
96
Lampiran 8. Indeks Spesialisasi Industri Logam dasar besi dan Baja Indonesia 1995. Propinsi Kabupaten TK
Industri Besi Baja
TK Industri Manufaktur
Eir Eit Sirt
Sumut Dairi 574 56252 0,01020 0,01049 0,97235 Medan 4298 54531 0,07882 0,01049 7,51382 Riau Batam 1145 56483 0,02027 0,01049 1,93232 Musi B 120 20311 0,00591 0,01049 0,56339 DKI Jakarta
Jaksel 325 20059 0,01620 0,01049 1,54433
Jaktim 7219 138671 0,05206 0,01049 4,96282 Jakbar 50 78801 0,00063 0,01049 0,06006 Jakut 1919 196999 0,00974 0,01049 0,92850 Jabar Bogor 604 223987 0,00269 0,01049 0,25643 Karawang 142 45731 0,00311 0,01049 0,29647 bekasi 2698 185930 0,01451 0,01049 1,38322 Bandung 201 256333 0,00078 0,01049 0,07436 Tanggerang 2421 178994 0,01353 0,01049 1,28979 Serang 8753 50938 0,17184 0,01049 16,38131 Jateng Klaten 274 21826 0,01255 0,01049 1,19638 Karanganyar 23 38706 0,00059 0,01049 0,05624 Pati 23 15596 0,00147 0,01049 0,14013 Tegal 45 10378 0,00434 0,01049 0,41373 Semarang 3142 43690 0,07192 0,01049 6,85605 Jatim Malang 20 34659 0,00058 0,01049 0,05434 Pasuruan 883 68047 0,01298 0,01049 1,23737 Sidoarjo 4971 180568 0,02753 0,01049 2,62440 Gresik 145 67359 0,00215 0,01049 0,20496 Surabaya 3122 159295 0,01959 0,01049 1,86749 Kalbar Pontianak 66 25898 0,00255 0,01049 0,24309 Sulut Bitung 88 5033 0,01748 0,01049 1,66635 Sulsel Ujung P 512 18095 0,02829 0,01049 2,69685 Sumber : Diolah dari data BPS.
97
Lampiran 9. Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995.
Tenaga Kerja Nilai Tambah Valid 27 27 N Missing 0 0
Mean 1621.5926 175990546.7959
Std. Error of Mean 447.68859 90333349.70915
Median 512.0000 7697962.8900 Std. Deviation 2326.25818 469385853.94
240 Variance 5411477.097 22032307988
1231800.000 Skewness 1.830 3.879 Std. Error of Skewness .448 .448 Kurtosis 2.958 15.919 Std. Error of Kurtosis .872 .872 Range 8733.00 2252534071.2
7 Minimum 20.00 25554.73 Maximum 8753.00 2252559626.0
0 10 23.0000 36184.9680 25 88.0000 1017149.9200 50 512.0000 7697962.8900
Percentiles
75 2698.0000 117241913.1000
Sumber : Diolah dari data BPS
98
Lampiran 10. Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2004. Tenaga Kerja Nilai Tambah
Valid 24 24 N Missing 0 0
Mean 1567.2917 82644802.9696
Std. Error of Mean 400.00760 27470945.67948
Median 739.0000 22860240.7950
Std. Deviation 1959.62903 134579599.33289
Variance 3840145.955 18111668556600940.000
Skewness 1.880 2.493 Std. Error of Skewness .472 .472 Kurtosis 3.721 7.156 Std. Error of Kurtosis .918 .918 Range 7895.00 574803556.99 Minimum 20.00 6902.61 Maximum 7915.00 574810459.60
10 41.5000 101804.5450 25 156.0000 3242580.3825 50 739.0000 22860240.795
0
Percentiles
75 2265.2500 85818485.1675
Sumber : Diolah dari data BPS.